7 2.1. Kerangka Teori
2.1.1. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Siswa secara rutin bekerja dengan kelompok untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Jadi, hakikat sosial dan penggunaan kelompok sejawat menjadi aspek utama dalam pembelajaran kooperatif (Trianto, 2009:56). Pembelajaran kooperatif terkadang disebut juga kelompok pembelajaran.
Hal ini sejalan dengan Warsono dan Hariyanto (2012 : 161) yang mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan istilah generik bagi bermacam prosedur intruksional yang melibatkan kelompok kecil yang interaktif.
Menurut Solihatin dan Raharjo (2008 : 5) mengemukakan bahwa: Cooperatif Learning merupakan sebagai suatu sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih di mana keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri.
Hal yang penting dalam model pembelajaran kooperatif adalah bahwa siswa dapat belajar dengan cara bekerja sama dengan teman. Bahwa teman yang lebih mampu dapat menolong teman yang lemah. Setiap anggota kelompok tetap memberi sumbangan pada prestasi kelompok. Para siswa juga mendapat kesempatan untuk bersosialisasi (Uno, 2013:120). Pembelajaran metode talking stick berbantuan media audio visual mendorong peserta didik untuk berani mengemukakan pendapat (Suprijono, 2009:109).
Berdasarkan pendapat di atas bahwa pembelajaran kooperatif merupakan suatu pembelajaran di mana siswa dikondisikan untuk belajar dalam kelompok kecil dengan struktur kelompok yang heterogen, dan dalam menyelesaikan tugas kelompok setiap anggota kelompok bekerja sama secara kolaboratif untuk memahami bahan pelajaran, membantu teman, serta kegiatan lain dengan tujuan untuk mencapai kreatifitas yang tinggi.
Perbedaan kelompok belajar kooperatif dengan kelompok belajar ceramah menurut Killen (1996) dalam Trianto (2009:59) adalah sebagai berikut.
Tabel 2.1
Perbedaan kelompok belajar kooperatif dengan kelompok belajar ceramah
Kelompok belajar kooperatif Kelompok belajar ceramah
Adanya saling ketergantungan positif, saling membantu dan saling memberikan motivasi sehingga ada interaksi promotif.
Guru sering membiarkan adanya siswa yang mendominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok.
Adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan materi pelajaran tiap anggota kelompok, dan kelompok diberi umpan balik tentang hasil belajar para anggotanya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan.
Akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok sedangkan anggota kelompok lainnya hanya “mendompleng”
keberhasilan “pemborong”.
Kelompok belajar heterogen, baik dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, etnik, dan sebagainya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang memberika bantuan.
Kelompok belajar biasanya homogen.
Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis atau bergilir untuk memberikan pengalaman memimpin bagi para anggota kelompok.
Pimpinan kelompok sering ditentukan oleh guru atau kelompok dibiarkan untuk
memilih pemimpinnya
dengancara masing-masing.
Keterampilan sosial yang diperlukan dalam kerja gotong royong seperti
kepemimpinan, kemampuan
berkomunikasi, mempercayai orang lain, dan mengelola konflik secara langsung diajarkan.
Keterampilan sosial sering tidak secara langsung diajarkan.
Pada saat belajar kooperatif sedang berlangsung guru terus melakukan pemantauan melalui observasi dan melakukan intervesi jika terjadi masalah dalam kerja sama antar-anggota kelompok.
Pemantauan melalui observasi dan intervensi sering tidak dilakukan oleh guru pada saat belajar kelompok sedang berlangsung.
Guru memperhatikan secara proses kelompok yang terjadi dalam kelompok- kelompok belajar.
Guru sering tidak memperhatikan proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar.
Penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tetapi juga hubungan interpersonal (hubungan antar pribadi yang saling menghargai)
Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas.
2.1.2. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif
Ibrahim, dkk (2010) dalam Trianto (2009:66) terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pembelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif. Langkah-langkah itu ditunjukkan pada tabel 2.2.
Tabel 2.2
Langkah-Langkah Model Pembelajaran Kooperatif
Fase Tingkah Laku Guru
Fase-1
Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
Fase-2
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa degan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
Fase-3
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok kooperatif
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu
setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.
Fase-4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Guru membimbing kelompok- kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.
Fase-5 Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
Bab-6
Memberikan Penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hail belajar individu dan kelompok.
Menurut Sukarmin (2002: 2), unsur-unsur dasar yang perlu ditanamkan pada diri siswa agar model pembelajaran kooperatif lebih efekif adalah sebagai berikut.
1) Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka tenggelam atau berenang bersama-sama.
2) Para siswa memiliki tanggung jawab terhadap tiap siswa lain dalam kelompoknya,di samping tanggung jawab terhadap diri sendiri, dalam mempelajari materi yang dihadapi.
3) Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semuanya memiliki tujuan yang sama.
4) Para siswa harus membagi tugas dan berbagi tanggung jawab sama besarnya di antara anggota kelompok
5) Para siswa akan diberikan suatu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok.
6) Para siswa berbagi kepemimpinan, sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama selama belajar.
7) Para siswa akan diminta mempertanggungjawabkan individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
2.1.3. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Talking Stick
Menurut Suyatno (2009:124) Pembelajaran Talking Stick adalah pembelajaran dengan bantuan tongkat, siapa yang memegang tongkat harus menjawab pertanyaan dari guru setelah siswa mempelajari materi pokoknya.
Talking stick (tongkat berbicara) merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif. Menurut Ramadhan (2010) model pembelajaran ini melatih siswa untuk berani mengemukakan pendapat. Pembelajaran talking stick diawali oleh penjelasan guru mengenai materi pokok yang akan dipelajari. Siswa diberi kesempatan membaca dan mempelajari materi tersebut. Guru selanjutnya meminta kepada siswa menutup bukunya. Guru mengambil tongkat yang telah dipersiapkan sebelumnya. Tongkat tersebut diberikan kepada salah satu siswa, kemudian tongkat bergulir dari satu siswa ke siswa yang lain dengan diiringi musik. Ketika musik berhenti, siswa yang mendapatkan tongkat wajib menjawab pertanyaan. Tongkat akan bergulir lagi dari siswa yang terakhir menjawab pertanyaan, demikian seterusnya hingga seluruh pertanyaan telah dijawab . Langkah akhir dari metode talking stick adalah guru memberikan kesempatan kepada siswa melakukan refleksi terhadap materi yang telah dipelajarinya. Guru memberi ulasan terhadap seluruh jawaban yang diberikan siswa, selanjutnya bersama-sama siswa merumuskan simpulan.
Tahapan dari metode talking stick (Suyatno, 2009 : 71) adalah sebagai berikut.
1. secara umum
2. membentuk kelompok
3. pemanggilan ketua dan diberi tugas membahas materi tertentu di kelompok
4. tiap kelompok menuliskan pertanyaan dan diberikan kepada kelompok lain
5. kelompok lain menjawab secara bergantian 6. penyimpulan, dan
7. refleksi serta evaluasi.
Langkah-langkah model pembelajaran talking stick (Uno, 2013:86) yaitu sebagai berikut:
1. Guru menyiapkan sebuah tongkat;
2. Guru menyiapkan materi pokok yang akan dipelajari, kemudian memberikan kesempatan kepada siswa untuk membaca dan mempelajari materi pada pegangannya/paketnya;
3. Setelah selesai membaca buku dan mempelajarinya, guru mempersilahkan siswa untuk menutup bukunya;
4. Guru mengambil tongkat dan memberikan kepada siswa, setelah itu guru memberikan pertanyaan dan siswa yang memegang tongkat tersebut harus menjawabnya, demikian seterusnya sampai sebagian besar siswa mendapat bagian untuk menjawab setiap pertanyaan dari guru;
5. Guru memberikan kesimpulan;
6. Evaluasi;
7. Penutup;
Berdasarkan pendapat Suyatno dan Uno di atas, langkah-langkah yang digunakan oleh peneliti ketika penelitian dapat dilihat dari tabel 2.3 berikut ini.
Tabel 2.3
Langkah-Langkah Peneliti dalam Proses Pembelajaran
Langkah-Langkah Kegiatan Alokasi
Waktu
Pendahuluan
Peneliti mengucapkan salam, memimpin do’a dan mengabsen siswa.
10 menit Peneliti menyampaikan tujuan pembelajaran,
dan mengingat kembali materi yang telah dipelajari, dalam hal ini yaitu materi bangun datar persegi dan persegi panjang.
Kegiatan Inti
Peneliti menjelaskan materi pokok yang akan dipelajari kubus dan balok.
70 menit Setelah selesai menjelaskan materi, peneliti
menyiapkan 3 buah tongkat / stick.
Peneliti membagi 3 kelompok dengan cara siswa tersebut menghitung 1 sampai 3, siswa yang mendapat hitungan ke-1 maka dia mendapat kelompok 1, begitupun siswa yang mendapat hitungan ke-2 dan ke-3.
Setelah mendapat kelompok masing-masing, peneliti memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari materi pokok kubus dan balok dengan waktu yang telah ditentukan.
Setelah waktu habis, siswa dipersilahkan untuk menutup bukunya. Peneliti kemudian menuliskan soal di depan kelas dan masing- masing kelompok menyanyikan lagu wajib nasional, jika tongkat berhenti pada salah satu siswa maka siswa tersebut harus mengerjakan soal di depan kelas.
Masing-masing perwakilan kelompok menuliskan jawabannya di depan kelas, kelompok yang menjawab dengan benar diberikan penghargaan.
Penutup
Setelah semua soal terjawab peneliti dan siswa bersama-sama menyimpulkan materi
dan memberikan evaluasi. 10 menit
Peneliti mengucapkan salam dan berdo’a bersama setelah belajar.
Model kooperatif tipe Talking Stick merupakan jenis pembelajaran yang dirancang untuk menguji kesiapan peserta didik dalam menjawab pertanyaan dan materi yang telah mereka pelajari sebelumnya. Dengan menerapkan model kooperatif tipe Talking Stick diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik. Di bawah ini merupakan aspek dan indikator angket respon siswa terhadap pembelajaran talking stick yang mengacu pada pendapat Sukarmin (2002 : 2).
Tabel 2.4
Aspek dan indikator angket respon siswa terhadap pembelajaran talking stick
Variabel Aspek Indikator
Pembelajaran talking stick
Kekompakkan antar Anggota Kelompok
Bekerja sama dalam menyelesaikan kegiatan maupun tugas kelompok Kekompakan tim
Saling mendukung antar anggota kelompok Tanggung Jawab individu
dalam kelompok
Menyelesaikan tugas individu Memahami materi yang disampaikan
Komunikasi Antar Anggota Kelompok
Berinteraksi dengan orang lain Kemampuan berkomunikasi 2.1.4. Kesiapan Belajar
Kesiapan / readiness menurut Jamies Drever dalam Slameto (2010:59) adalah “ preparedness to respond or react ”. Kesiapan adalah keseluruhan semua kondisi individu yang membuatnya siap untuk memberi respon atau jawaban di dalam cara tertentu terhadap suatu situasi. Kondisi individu yang dimaksud adalah kondisi fisik dan psikologisnya sehingga untuk mencapai kesiapan yang maksimal dibutuhkan kondisi fisik dan psikologis yang saling menunjang kesiapan individu tersebut dalam proses pembelajaran (Slameto, 2003: 113).
Kondisi fisik yang dimaksud adalah kondisi fisik yang temporer seperti lelah, keadaan, alat indera dan lain-lainnya, sedangkan kondisi psikologis menyangkut kecerdasan anak yang berbakat (di atas normal) memungkinkan untuk
melaksanakan tugas-tugas yang lebih tinggi. Kondisi emosional juga mempengaruhi kesiapan untuk berbuat sesuatu hal ini dengan hubungan motif, intensif positif, negatif, hukuman dan pemberian hadiah.
Melalui kesiapan belajar yang baik, maka siswa tersebut dapat mengikuti pembelajaran dan mudah menyerap pelajaran yang disampaikan oleh guru ketika dalam proses pembelajaran dan siswa akan lebih berkonsentrasi dalam belajar.
Aktivitas belajar bagi setiap individu, tidak selamanya dapat berlangsung secara wajar. Kadang-kadang lancar, kadang-kadang tidak, kadang-kadang cepat menangkap apa yang dipelajari dan terkadang juga teramat sulit. Adanya penetapan nilai minimal kelulusan peserta didik yang ditentukan oleh pemerintah, menjadikan para orang tua serta siswa merasa perlu menambah jam belajar di luar jam belajar di sekolah formal.
Kondisi siap belajar akan melahirkan siswa yang aktif sehingga dapat memberikan respon atau jawaban ketika proses pembelajaran. Kesiapan belajar sangat diperlukan oleh siswa agar dapat mencapai tujuan dari proses pembelajaran.
Jika dilihat dari kacamata agama Islam, salah satu adab seorang siswa adalah meluruskan niat belajarnya untuk ibadah. Manusia diciptakan tak lain untuk beribadah kepada Allah SWT. Ibadah tidak hanya sholat 5 waktu saja, tetapi belajar juga termasuk kegiatan ibadah. Hubungannya dengan penelitian ini adalah siswa sebagai seorang pelajar yang berilmu, dan orang yang berilmu akan Allah tinggikan derajatnya. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al An’am ayat 162 dan surat Al Mujadalah ayat 11 :
ِّبَر ِ ِ ِ َ َ َو َي َ ۡ َ َو ِ ُ ُ َو ِ َ َ نِإ ۡ ُ َ ِ َ ٰ َ ۡ ٱ
Artinya : Katakanlah (Muhammad) Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (Q.S Al An’am/6 : 162)
َ َ َ
ِ ٱ ِ ْا ُ َ َ ۡ ُ َ َ ِ اَذِإ ْآ ُ َ اَء َ ِ ِ ٰ َ َۡٱ
َ ْا ُ َ ۡ ِ َ ۡ َ َ ِ اَذ ۖۡ ُ َ ُ ٱ
ْاوُ ُ ٱ َ ْاوُ ُ ِ َ ۡ َ
ُ ٱ َ ِ ٱ َو ۡ ُ ِ ْا ُ َ اَء َ ِ ٱ
ْا ُ وُ َ ۡ ِ ۡ ٱ أ َو ٖ ٰ َ َرَد َ َن ُ َ ۡ َ َ ِ ُ ٱ
ٞ ِ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman apabila dikatakan kepadamu:
“Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al Mujadalah/58 : 11)
Kesiapan belajar adalah kondisi-kondisi yang mendahului kegiatan belajar mengajar itu sendiri. Tanpa kesiapan dan kesediaan ini proses belajar tidak akan terjadi. Pernyataan ini menerangkan bahwa hal-hal yang dilakukan siswa atu ditunjukkan oleh perilaku siswa sebelum terjadinya proses belajar mengajar hal tersebut perlu dilakukan oleh siwa agar lebih mendukung keterlaksanaan proses belajar yang optimal (Dimyati, 2006: 34).
Menurut Russefendi (dalam skripsi Fitri 2003:15) kesiapan siswa untuk belajar digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu kesiapan mental dan kesiapan pengetahuan prasyarat. Kesiapan mental yaitu kesiapan siswa dalam memahami materi matematika. Kesiapan materi yaitu apabila seorang anak telah mengerti pengetahuan prasyarat maka ia akan dapat menerima materi baru dalam bidang studi matematika. Kesiapan sarana prasarana yaitu apabila seorang anak sudah menyiapkan alat-alat untuk belajar maka ia telah siap untuk belajar matematika.
Kondisi siswa adalah cermin dari kesiapan siswa yang meliputi tiga aspek (Slameto, 2003: 115), yaitu:
1. Kondisi fisik, mental dan emosional 2. Kebutuhan-kebutuhan, motif dan tujuan
3. Keterampilan, pengetahuan dan pengertian yang lain yang telah dipelajari Tiga aspek tersebut akan sangat mempengaruhi siswa untuk melakukan sesuatu. Adapun maksud dari kondisi fisik seperti siswa merasa lelah, sakit, dll.
Kondisi mental di sini menyangkut keaktifan siswa dalam proses pembelajaran.
Kondisi emosional juga sangat mempengaruhi kesiapan belajar siswa dalam pengendalian diri seperti siswa masih membuat gaduh, mengobrol dan mengantuk.
Kebutuhan yang didasari mendorong usaha/membuat seseorang siap untuk berbuat, sehingga jelas ada hubungannyadengan kesiapan. Kebutuhan akan sangat menentukan kesiapan belajar. Anak sebelum mempelajari permulaan ia belum siap untuk belajar yang berikutnya, sehingga ada prasyarat dan kosyarat dalam belajar (Slameto, 2010 : 114).
Hubungan antara kebutuhan, motif dan tujuan adalah sebagai berikut :
1. Kebutuhan ada yang disadari dan ada yang tidak disadari
2. Kebutuhan yang tidak disadari akan mengakibatkan tidak adanya dorongan untuk berusaha
3. Kebutuhan mendorong usaha, dengan kata lain akan timbul motif 4. Motif tersebut diarahkan ke pencapaian tujuan
Adapun keterampilan dalam belajar, menurut pendapat Reber yang dikutip oleh Muhibbin Syah (2000 : 119), keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu. Keterampilan bukan hanya meliputi gerakan motorik melainkan juga fungsi mental yang kognitif.
Prinsip kesiapan belajar dalam proses belajar (Putra, 1997 : 33) adalah sebagai berikut:
1. Seorang individu akan dapat belajar dengan sebaik-baiknya bila tugas-tugas yang diberikan kepadanya erat hubungannya dengan kemampuan, minat dan latar belakangnya.
2. Kesiapan untuk belajar harus dikaji bahan diduga. Hal ini mengandung arti bila seorang guru ingin mendapatkan gambaran kesiapan muridnya untuk mempelajari sesuatu, ia harus melakukan pengetesan kesiapan.
3. Jika seorang individu kurang memiliki kesiapan untuk suatu tugas, kemudian tugas itu seyogyanya ditunda sampai dapat dikembangkannya kesiapan itu atau guru sengaja menata tugas itu sesuai dengan kesiapan siswa.
4. Kesiapan untuk belajar mencerminkan jenis dan taraf kesiapan, misalnya dua orang siswa yang memiliki kecerdasan yang sama mungkin amat berbeda dalam pola kemampuan mentalnya.
5. Bahan-bahan, kegiatan dan tugas seyogyanya divariasikan sesuai dengan faktor kesiapan kognitif, afektif dan psikomotor dari berbagai individu.
Berdasarkan uraian pendapat tersebut dapat menyimpulkan kesiapan belajar ialah kondisi-kondisi yang mendahului kegiatan belajar mengajar itu sendiri.
Tanpa kesiapan dan kesediaan ini proses belajar tidak akan terjadi. Dengan demikian kesiapan belajar siswa sangat penting bagi pembelajaran matematika demi tercapainya tujuan.
Mengacu kepada pendapat Slameto (2003 : 115), aspek kesiapan belajar yang diukur oleh peneliti meliputi: kondisi fisik, kondisi mental, kondisi emosional,
kebutuhan-kebutuhan, motif, tujuan, faktor ekstern. Indikator kesiapan belajar yang ingin diketahui meliputi: kondisi fisik temporer, kecerdasan, kesadaran, kemandirian, minat, keingintahuan, percaya diri, kebutuhan dalam belajar matematika, motif dalam belajar matematika, tujuan yang hendak dicapai dalam belajar matematika, keluarga, sekolah, masyarakat. Bisa dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.5
Aspek dan indikator angket kesiapan belajar siswa mengacu pada pendapat Slameto
Variabel Aspek Indikator
Kesiapan Belajar
Kondisi fisik Kondisi fisik Temporer Kondisi mental
Kecerdasan Kesadaran Kemandirian Kondisi Emosional
Minat
Keingintahuan Percaya diri
Kebutuhan – Kebutuhan Kebutuhan dalam belajar matematika
Motif Motif dalam belajar
matematika
Tujuan Tujuan yang hendak dicapai dalam belajar matematika
Faktor ekstern Keluarga, Sekolah,
Masyarakat 2.1.5. Hasil Belajar Matematika Siswa
Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai pengertian, sikap- sikap, apresiasi dan keterampilan (Agus, 2009: 5). Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar banyak jenisnya, tetapi dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu faktor intern dan faktor ekstern (Slameto, 2010: 54);
1. Faktor intern
Faktor ini dibedakan menjadi tiga faktor, yaitu faktor jasmani, faktor psikologis dan faktor kelelahan.
a. Faktor jasmani - Faktor kesehatan
Sehat berarti dalam keadaan baik segenap badan beserta bagian- bagiannya atau bebas dari penyakit. Kesehatan seseorang berpengaruh terhadap belajarnya.
- Faktor cacat tubuh atau panca indera
Cacat tubuh adalah sesuatu yang menyebabkan kurang baik atau kurang sempurna mengenai tubuh atau badan. Cacat itu dapat berupa buta, setengah buta, tuli, setengah tuli, paath kaki, dan patah tangan, lumpuh dan lain-lain.
b. Faktor psikologis - Inteligensi
Inteligensi adalah kecakapan yang terdiri dari tiga jenis yaitu kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan ke dalam situasi yang baru dengan cepat dan efektif, mengetahui/menggunakan konsep-konsep yang abstrak secara efektif, mengetahui relasi dan mempelajarinya dengan cepat.
- Perhatian
Perhatian menurut Ghazali adalah keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa itupun semata-mata tertuju pada suatu obyek (benda/hal) atau sekumpulan objek. untuk dapat menjamin hasil belajar yang baik, maka siswa harus mempunyai perhatian terhadap bahan yang dipelajarinya, jika bahan pelajaran tidak menjadi bahan perhatian siswa, maka timbul kebosanan, sehingga ia tidak lagi suka belajar.
- Minat
Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan. Minat besar pengaruhnya terhadap belajar, karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa, siswa tidak akan belajar dengan sebaik-baiknya karena tidak ada daya tarik baginya.
- Bakat
Bakat adalah kemampuan untuk belajar. kemampuan itu baru akan terealisasi menjadi kecakapan yang nyata sesuai belajar dan berlatih. jadi jelaslah bahwa bakat itu mempengaruhi belajar, jika bahan pelajaran yang dipelajari siswa sesuai dengan bakatnya, maka hasil belajarnya
lebih baik karena ia senang belajar dan pastilah selanjutnya ia lebih giat lagi dalam belajarnya itu.
- Motif
Motif erat sekali hubungannya dengan tujuan yang akan dicapai . Di dalam menentukan tujuan itu dapat disadari atau tidak, akan tetapi untuk mencapai tujuan itu perlu berbuat, sedangkan yang menjadi penyebab berbuat adalah motif itu sendiri sebagai daya penggerak/pendorongnya.
- Kematangan
Kematangan adalah suatu tingkat atau fase dalam pertumbuhan seseorang, dimana alat-alat tubuhnya sudah siap untuk melaksanakan kecakapan baru. Kematangan belum berarti anak dapat melaksanakan kegiatan secara terus-menerus, untuk itu diperlukan latihan-latihan dan pelajaran.
- Kesiapan
Kesiapan adalah kesediaan untuk memberi respon atau bereaksi.
Kesediaan itu timbul dari dalam diri seseorang dan juga berhubungan dengan kematangan, karena kematangan berarti kesiapan untuk melaksanakan kecakapan. Kesiapan itu perlu diperhatikan dalam proses belajar, karena jika siswa belajar dan sudah ada kesiapan, maka hasil belajarnya akan lebih baik.
c. Faktor kelelahan
Faktor kelelahan, yang meliputi kelelahan jasmani dan kelelahan rohani.
Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh dan timbul kecenderungan untuk membaringkan tubuh. Sedangkan kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan kebosanan, sehingga minat dan dorongan untuk menghasilkan sesuatu hilang.
2. Faktor ekstern
Faktor ekstern yaitu faktor yang berasal dari luar diri siswa, yang termasuk ke dalam faktor eksternal adalah:
a. Faktor keluarga
Siswa yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga berupa : cara orang tua mendidik, relasi antara anggota keluarga, suasana rumah tangga dan keadaan ekonomi keluarga.
b. Faktor sekolah
Faktor sekolah yang mempengaruhi belajar ini mencakup metode belajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas rumah.
c. Faktor lingkungan masyarakat
Masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga berpengaruh terhadap belajar siswa. Pengaruh itu terjadi karena keberadaanya siswa dalam lingkungan masyarakat, kegiatan siwa dalam masyarakat diantaranya yaitu media masa, teman bergaul, bentuk kehidupan masyarakat yang semuanya mempengaruhi belajar.
Hasil belajar yang diukur peneliti yaitu dengan melakukan tes pilihan ganda dengan materi kubus dan balok, dapat dilihat pada tabel 2.6 di bawah ini.
Table 2.6
SK, KD dan Indikator kubus dan balok Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Indikator
Memahami sifat- sifat kubus, balok
dan bagian- bagiannya, serta
menentukan ukurannya.
Mengidentifikasi sifat-sifat kubus dan
balok, serta bagian- bagiannya.
Menentukan sifat-sifat kubus dan balok
Menentukan jaring-jaring kubus dan balok
Menentukan unsur-unsur kubus dan balok (titik sudut, sisi, diagonal bidang, diagonal ruang, ruas garis yang sejajar)
Menghitung panjang diagonal sisi dan diagonal ruang kubus dan balok
Menghitung luas permukaan dan volume kubus dan
balok.
Menentukan luas permukaan kubus dan balok
Menentukan volume kubus dan balok
(Sumber : kurikulum KTSP)
2.1. Tinjauan Hasil Penelitian yang Relevan
Untuk menghindari duplikasi dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan terlebih dahulu yang ada kaitannya dengan masalah penelitian yang akan dilakukan, maka peneliti mencoba menelusuri beberapa penelitian yang sudah dilaksanakan oleh mahasiswa di beberapa perguruan tinggi. Dari hasil penelusuran tersebut ditemukan lima buah hasil penelitian yang ada kemiripan dengan masalah penelitian yang akan diteliti, yakni :
1. Penelitian tentang kesiapan belajar pernah dilakukan oleh Rofatul Fuadz mahasiswi Tadris Matematika di IAIN Syekh Nurjati Cirebon tahun 2012 di MTs. Islamic Centre Kec. Kedawung Kab. Cirebon dengan judul “Upaya Meningkatkan Kesiapan Belajar Siswa Melalui Strategi Pembelajaran Kooperatif NHT Pada Pembelajaran Matematika Pokok Bahasan Bangun Ruang”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) dengan 3 siklus yang terdiri dari perencanaan, tindakan, observasi, refleksi. Hasil pengamatan kesiapan belajar siswa pada siklus I adalah 65%, pada siklus II adalah 72% dan siklus III 81%. Pada respon siswa terhadap strategi pembelajaran kooperatif NHT sebesar 76%. Dengan perolehan hasil di atas diketahui bahwa penggunaan strategi pembelajaran kooperatif NHT dapat meningkatkan kesiapan belajar siswa dalam pembelajaran matematika.
Persamaan dengan penelitian yang dilakukan peneliti yaitu sama-sama menggunakan variabel kesiapan belajar dan model pembelajaran kooperatif, serta materi yang digunakan yaitu kubus dan balok, perbedaannya pada metode yang digunakan yaitu PTK, sedangkan untuk peneliti menggunakan metode kuantitatif.
2. Penelitian tentang kesiapan belajar pernah dilakukan oleh Titin mahasiswi Tadris Matematika di Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon tahun 2012 di SMP Negeri 4 Palimanan Kabupaten Cirebon. Dari penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara kesiapan belajar terhadap hasil belajar matematika siswa pada pokok bahasan bangun ruang sisi datar kubus dan balok. Pada penelitian ini diperoleh hasil penyebaran angket kesiapan belajar dengan nilai keseluruhan sebesar 72,6 termasuk ke dalam interpretasi tinggi dan hasil pemberian tes hasil belajar dengan nilai keseluruhan 61,3 termasuk ke dalam interpretasi sedang. Persamaan regresi diperoleh = 3,951 + 0.788 . Persamaan tersebut mengandung arti semakin besar nilai kesiapan belajar maka akan semakin
tinggi hasil belajar matematika siswa. Nilai koefisien determinasi diperoleh sebesar 0,458. Dapat disimpulkan bahwa kesiapan belajar mempengaruhi hasil belajar matematika siswa dengan kontribusi sebesar 45,8% .
Persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah sama-sama menggunakan variabel kesiapan belajar dan hasil belajar, serta materi yang digunakan yaitu kubus dan balok, perbedaannya yaitu peneliti menambah jumlah variabel yaitu menambahkan pembelajaran talking stick untuk variabel X.
3. Penelitian tentang pengaruh kesiapan belajar terhadap prestasi belajar siswa pernah dilakukan oleh Erna Nurdiani mahasiswi Pendidikan Matematika di STAIN Cirebon tahun 2004 di SLTPN 1 Jatiwangi Kabupaten Majalengka tahun ajaran 2003/2004. Dari penelitiannya menyimpulkan, dari hasil pengolahan data diperoleh skor rata-rata angket sebesar 62,79 dan nilai rata-rata prestasi belajar sebesar 60,34.
Dari perhitungan uji korelasi diperoleh = 0,68. Dengan menggunakan statistik uji-t maka diketahui bahwa didapat 7,3026 > 1,6697, > . Maka diambil kesimpulan terdapat pengaruh atau korelasi yang positif antara kesiapan belajar terhadap prestasi belajar siswa.
Persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu sama-sama menggunakan variabel kesiapan belajar, perbedaannya yaitu untuk Erna veriabel Y yang digunakan adalah prestasi belajar sedangkan untuk peneliti variabel Y yang digunkan adalah hasil belajar.
2.2. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan observasi yang penulis lakukan di SMPN 1 Talun Kabupaten Cirebon, pendidiknya masih menggunakan model pembelajaran ceramah yang bersifat konvensional yaitu suatu pembelajaran di mana dalam proses belajar mengajar dilakukan dengan cara lama, yaitu dalam penyampaian materi guru masih mengandalkan ceramah dan peserta didik mendengarkan secara teliti dan mencatat pokok-pokok penting yang dikemukakan guru sehingga pada proses pembelajaran masih didominasi oleh guru. Hal ini mengakibatkan peserta didik bersifat pasif karena peserta didik hanya menerima apa yang disampaikan oleh guru, akibatnya peserta didik mudah jenuh, kurang inisiatif, dan bergantung pada guru. Berdasarkan nilai ulangan harian yang diberikan oleh guru kepada peneliti, nilai rata-rata yang diperoleh siswa masih tidak terlalu tinggi terutama dalam mata pelajaran matematika. Selain itu, untuk kelas yang mempunyai siswa berjumlah banyak suasana di dalam kelas menjadi semakin kurang kondusif, karena pendidik tidak bisa mengawasi satu-persatu anak didiknya. Untuk itu, dalam rangka membantu mengkondusifkan suasana belajar di dalam kelas digunakanlah model pembelajaran kooperatif dalam hal ini model pembelajaran kooperatif tipe talking stick.
Pembelajaran ini dilakukan dengan bantuan tongkat, siapa yang memegang tongkat wajib menjawab pertanyaan dari guru setelah siswa mempelajari materi pokoknya. Untuk mengukur respon siswa terhadap pembelajaran talking stick, peneliti mengukur tiga aspek yaitu aspek kekompakkan antar anggota kelompok, tanggung jawab individu dalam kelompok dan komunikasi antar anggota kelompok. Selain melatih siswa untuk berbicara, model pembelajaran ini akan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan membuat siswa aktif serta menguji kesiapan belajar siswa.
Kesiapan merupakan keseluruhan semua kondisi individu yang membuatnya siap untuk memberikan respon atau jawaban di dalam cara tertentu terhadap situasi tertentu. Kondisi yang dimaksud di sini adalah kondisi fisik dan mental, sehingga untuk mencapai kesiapan yang maksimal diperlukan kondisi fisik dan mental yang saling menunjang kesiapan individu tersebut dalam proses pembelajaran. Kesiapan belajar yang diukur sesuai dengan pendapat Slameto yaitu Faktor intern (Fisik, mental, emosional, kebutuhan, motif dan tujuan) dan faktor ekstern (Keluarga, sekolah dan masyarakat). Hasil belajar yang diukur yaitu materi
bangun ruang kubus dan balok yang diambil dari buku paket dengan menggunakan kurikulum KTSP.
Dari uraian di atas, dalam kerangka pemikiran di sini ditunjukkan keterkaitan antara pembelajaran talking stick dan kesiapan belajar terhadap hasil belajar matematika siswa dapat digambarkan dalam skema berikut.
Pembelajaran Talking Stick Kesiapan Belajar
Faktor Intern:
- Fisik - Mental - Emosional - Kebutuhan - Motif - Tujuan
Faktor Ekstern:
- Keluarga - Sekolah - Masyarakat
Hasil Belajar Matematika Siswa Aspek :
-Kekompakkan antar anggota kelompok
-Tanggung jawab individu dalam kelompok
-Komunikasi antar anggota kelompok
2.3. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban atau dugaan sementara yang harus diuji lagi kebenarannya (Riduan, 2003 : 162). Secara statistik hipotesis diartikan sebagai pernyataan mengenai keadaan populasi yang akan diuji kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh sampel peneliti. Rumusan masalah tersebut bisa berupa pernyataan tentang hubungan dua variabel mandiri. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas hipotesis dapat disusun sebagai berikut :
1. Respon siswa terhadap pembelajaran talking stick di kelas VIII SMPN 1 Talun Kabupaten Cirebon sama dengan 50% dari yang diharapkan.
2. Kesiapan belajar siswa di kelas VIII SMPN 1 Talun Kabupaten Cirebon sama dengan 70% dari yang diharapkan.
3. Hasil belajar matematika siswa di kelas VIII SMPN 1 Talun paling tinggi atau sama dengan 70% dari yang diharapkan.
4. Terdapat pengaruh pembelajaran talking stick terhadap hasil belajar matematika siswa di kelas VIII SMPN 1 Talun Kabupaten Cirebon.
5. Terdapat pengaruh kesiapan belajar terhadap hasil belajar matematika siswa di kelas VIII SMPN 1 Talun Kabupaten Cirebon.
6. Terdapat pengaruh pembelajaran talking stick dan kesiapan belajar terhadap hasil belajar matematika siswa di kelas VIII SMPN 1 Talun Kabupaten Cirebon.