• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS AKHIR. STABILISASI TANAH LEMPUNG MENGGUNAKAN GYPSUM, KAPUR (CaO) DAN SEMEN DITINJAU DARI NILAI CBR (CALIFORNIA BEARING RATIO)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TUGAS AKHIR. STABILISASI TANAH LEMPUNG MENGGUNAKAN GYPSUM, KAPUR (CaO) DAN SEMEN DITINJAU DARI NILAI CBR (CALIFORNIA BEARING RATIO)"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS AKHIR

STABILISASI TANAH LEMPUNG MENGGUNAKAN GYPSUM, KAPUR (CaO) DAN SEMEN DITINJAU DARI NILAI CBR (CALIFORNIA

BEARING RATIO)

Diajukan untuk melengkapi tugas – tugas dan memenuhi syarat untuk menjadi Sarjana

Disusun Oleh :

SYAWALI HIMAWAN SIMBOLON 13 0404 109

BIDANG STUDI GEOTEKNIK DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

ABSTRAK

Kondisi tanah di Indonesia sangat bervariasi ditinjau dari segi kemampuan dukungnya. Tanah lempung yang mempunyai kuat geser yang rendah perlu distabilisasi agar memenuhi syarat teknis untuk dijadikan sebagai tanah dasar. Salah satu stabilisasi tanah yang biasa dilakukan yaitu dengan menambahkan bahan kimia pada tanah. Dalam penelitian ini digunakan penambahan semen, kapur dan gypsum.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui indek properties dan nilai CBR (California Bearing Ratio) laboratorim terendam dan tak terendam, dengan penambahan semen, kapur dan gypsum pada tanah lempung dengan masing masing varian 2%, 4%, 6%, 8% dan 10%.

Dari penelitian ini diperoleh bahwa sampel tanah asli memiliki kadar air 34,43%; berat spesifik 2,65; batas cair 52.43 %; dan indeks plastisitas 28.09%.

Berdasarkan klasifikasi USCS, sampel tanah tersebut termasuk dalam jenis (CL) yaitu lempung anorganik dengan plastisitas rendah sampai sedang. Berdasarkan klasifikasi AASHTO, sampel tanah tersebut termasuk dalam jenis A-7-6.

Nilai CBR pada tanah asli sebesar 7,01% untuk pengujian CBR tidak terendam (unsoaked). Nilai paling maksimum dari masing masing variasi campuran dengan pemeraman 14 hari adalah pada penambahan semen 10% sebesar 10,15%, pada penambahan kapur 10% sebesar 9,78%, pada penambahan gypsum 10% sebesar 9,05%, untuk seluruhnya waktu pemeraman 14 hari dan untuk pengujian CBR terendam (soaked) nilai paling maksimum dari masing masing variasi campuran adalah pada penambahan semen 4% sebesar 5,52%, pada penambahan kapur 4%

sebesar 5,26%, pada penambahan gypsum 4% sebesar 4,89%. Penambahan semen, kapur dan gypsum tidak merubah klasifikasi tanah baik menurut AASHTO maupun USCS.

Kata Kunci : lempung, kapur, semen, gypsum, stabilisasi tanah, curring time, california bearing ratio.

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, segala puji dan syukur saya panjatkan kehadiran Allah SWT atas berkat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul “Stabilisasi Tanah Lempung Menggunakan Gypsum, Kapur (CaO) dan Semen Ditinjau dari Nilai CBR (California Bearing Ratio)”. Tugas Akhir ini disusun untuk diajukan sebagai syarat dalam ujian sarjana Teknik Sipil, Bidang Studi Geoteknik pada Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

Saya menyadari bahwa dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Kedua orang tua saya yang tercinta, kepada Ayah H. Jusra El Karim Simbolon dan kepada Ibu saya Hj. Nelly Bangun yang telah sabar dalam merawat, mendidik, menjaga, mendoakan saya hingga sampai saat ini.

Semoga Allah Swt selalu melimpahkan kesehatan dan rezeki bagi orang tua saya yang tiada putus-putusnya.

2. Adik dan saudara sepupu saya yaitu Taufik Bangun, Dian Anisah Sari Bangun, Siti Meisita Bangun, atas doa, dukungan dan bantuan semangat dalam mengerjakan Tugas Akhir ini.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Roesyanto, MSCE, sebagai dosen pembimbing yang telah memberi bimbingan, arahan, saran, serta motivasi kepada Penulis untuk menyelesaikan Tugas Akhir ini. Ika Puji Hastuty, S.T, M.T.

4. Ibu Ika Puji Hastuty, S.T, M.T., dan Bapak Ir. Rudi Iskandar, M.T sebagai Dosen Pembanding dan Penguji yang telah memberikan masukan dalam pengerjaan Tugas Akhir ini.

(4)

5. Ibu Ika Puji Hastuty, S.T, M.T., sebagai Kepala Laboratorium Mekanika Tanah Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Pengajar Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengajaran kepada Penulis selama menempuh masa studi.

7. Seluruh Staf Pegawai Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

8. Para Asisten Laboratorium Mekanika Tanah USU yang telah membantu dan memberikan penjelasan dalam pengerjaan Tugas Akhir ini terkhusus Prasetyo Ramadhan, Ade Indra Utama Lubis, M. Novratama Limbong, Tri Alby Sofyan, Juanda Andika Siregar, Yayang Haslika Dasopang, Farid dan Agung yang selalu membantu dan tidak pernah bosan mengajari saya.

9. Sahabat – sahabat saya KONAWAK (yang terdiri dari Juanda, Akbar, Herru, Fachruzi (uzi), Alby, Firmansyah, Anugerah (bopak), Zharfan, Dian Fajar (wawan), Alif) yang selalu memberi dukungan dan semangat dalam keadaan apapun, yang menjadi tempat bercerita, tertawa bersama selama kuliah di Teknik Sipil USU.

10. Teman kelompok Tugas Akhir Farras Nasywa yang selalu bersemangat dan menghibur saat mengerjakan Tugas Akhir ini.

11. Rekan-rekan seperjuangan Stambuk 2013, Novra, Raihan, Alfred, Rivaldy, Ivan, Utama, Rio, Jacko, Akmal, Arif, Yashir dan yang lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya yang telah memberi dukungan serta semangat.

(5)

12. Adik-adik Stambuk 2015, Agung, Farid, yang telah membantu dalam pengerjaan Tugas Akhir ini.

13. Adik-adik Stambuk 2016, Okta, Mu’ammar, Shaleh, Zal, Dandy, Anhar, Farhan dan yang lainnya yang telah membantu dalam pengerjaan Tugas Akhir ini

14. Seluruh teman-teman sub-jurusan geoteknik yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas doa, semangat, dukungan, serta motivasi yang diberikan.

15. Tibor Kupi Ulee Kareng dan Grand Keude Kupie Elee Kareng Gayo yang telah membantu menyediakan tempat dan prasarana untuk proses pengerjaan Tugas Akhir ini.

Saya menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih banyak kekurangan yang disebabkan keterbatasan pengetahuan dan kurangnya pemahaman saya. Oleh karena itu, saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca.

Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih dan semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, November 2017

Syawali Himawan Simbolon 13 0404 109

(6)

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi... v

Daftar Gambar ... ix

Daftar Tabel ... xiii

Daftar Notasi ... xv

Daftar Lampiran ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan dan Manfaat ... 3

1.3.1 Tujuan ... 3

1.3.2 Manfaat ... 4

1.4 Pembatasan Masalah ... 4

1.5 Sistematika penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Tinjauan Umum ... 7

2.1.1 Tanah ... 7

2.1.2 Sifat-sifat Fisik Tanah ... 9

2.1.2.1 Porositas (Porosity) ... 9

2.1.2.2 Angka Pori (Void Ratio) ... 9

2.1.2.3 Derajat Kejenuhan (S) ... 10

2.1.2.4 Kadar air (Moisture Water Content) ... 10

(7)

2.1.2.5 Berat Volume (Unit Weight) ... 11

2.1.2.6 Berat Volume Kering ... 11

2.1.2.7 Berat volume butiran padat ... 12

2.1.2.8 Batas-batas Atterberg ... 12

2.1.2.8.1 Batas cair (liquid limit)... 13

2.1.2.8.2 Batas plastis (plastic limit)... 13

2.1.2.8.3 Batas susut (shrinkage limit)... 14

2.1.2.8.4 Indeks plastisitas ... 15

2.1.2.8.5 Indeks cair (liquidity indeks)... 15

2.1.2.9. Berat jenis (specific gravity)... 16

2.1.2.10. Klasifikasi tanah... 17

2.1.2.10.1. Sistem klasifikasi (USCS)... 18

2.1.2.10.2. Sistem kalsifikasi AASHTO... 21

2.1.3. Sifat-sifat mekanis tanah ... 25

2.1.3.1. Pemadatan tanah (Compaction)... 25

2.1.3.2. Pengujian California Bearing Ratio ... 27

2.2. Bahan-bahan penelitian ... 29

2.2.1. Tanah lempung (Clay) ... 29

2.2.1.1. Lempung dan mineral penyusun ... 31

2.2.1.2. Sifat umum tanah lempung ... 37

2.2.1.3. Flokulasi dan dispersi ... 38

2.2.1.4. Pengaruh zat cair ... 38

2.2.2. Semen ... 42

2.2.2.1. Umum... 42

(8)

2.2.2.2. Semen Portland ... 42

2.2.2.2.1. Hidrasi Semen... 43

2.2.2.2.2. Jenis-jenis semen Portland...43

2.2.3. Gypsum ... 45

2.2.4. Kapur ... 47

2.3. Stabilisasi Tanah ... 48

2.3.1. Stabilisasi tanah dengan Semen ... 50

2.3.2. Stabilisasi tanah dengan Kapur ... 51

2.3.3. Stabilisasi tanah dengan Gypsum ... 54

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 56

3.1. Program Penelitian ... 56

3.2. Pekerjaan Persiapan ... 56

3.3. Pembuatan Benda Uji ... 57

3.3.1. Benda uji untuk pengujian Water Content ... 57

3.3.2. Benda uji untuk pengujian berat spesifik dan analisa saringan ... 58

3.4. Uji Sifat Mekanis Tanah ... 58

3.4.1. Uji Proctor standar ... 58

3.4.2. Uji CBR (California Bearing Ratio) ... 59

3.5. Analisis Data Laboratorium ... 61

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 63

4.1. Pendahuluan ... 63

4.2. Pengujian Sifat Fisik Tanah ... 63

4.2.1. Pengujian sifat fisik tanah asli ... 63

(9)

4.2.2. Pengujian sifat fisik gypsum ... 69

4.2.3. Pengujian sifat fisik kapur ... 70

4.2.4. Pengujian sifat fisik semen ... 71

4.2.5. Pengujian sifat fisik tanah dengan stabilitator... 72

4.2.5.1. Batas cair (Liquid limit) ... 73

4.2.5.2. Batas plastis (Plastic limit) ... 75

4.2.5.3. Indeks Plastisitas (Plasticity Indeks) ... 78

4.3. Pengujian Sifat Mekanis Tanah ... 80

4.3.1. Pengujian pemadatan tanah asli (Compaction)... 80

4.3.2. Pengujian pemadatan tanah (Compaction) dengan bahan stabilitator ... 81

4.3.3. Berat isi kering maksimum (d maks) ... 82

4.3.4. Kadar air optimum (wopt) ... 85

4.3.5. Pengujian CBR laboratorium ... 87

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

5.1. Kesimpulan ... 97

5.2. Saran ... 99

Daftar Pustaka ... xviii

Lampiran ... xix

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 (a) Elemen tanah dalam keadaan asli; (b) Tiga fase elemen

elemen tanah 8

Gambar 2.2 Batas-batas Atterberg 12

Gambar 2.3 Cawan Cassagrande dan Grooving Tool 13

Gambar 2.4 Klasifikasi tanah sistem USCS 20

Gambar 2.5 Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO 22

Gambar 2.6 Klasifikasi Tanah berdasarkan tingkat ekspansif menurut Prof.

Seed 22

Gambar 2.7 Klasifikasi Tanah berdasarkan tingkat ekspansif menurut Prof.

William 23

Gambar 2.8 Hubungan antara kadar air dan berat isi kering tanah 27

Gambar 2.9 Struktur Atom Mineral Lempung 33

Gambar 2.10 Struktur Kaolinite 34

Gambar 2.11 Struktur Illite 35

Gambar 2.12 Struktur Montmorillonite 36

Gambar 2.13 Sifat dipolar molekul air 39

Gambar 2.14 Molekul air dipolar dalam lapisan ganda 40

Gambar 2.15 Kation dan anion pada partikel 41

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian 62

Gambar 4.1 Plot Grafik Klasifikasi USCS 64

Gambar 4.2 Grafik analisa saringan tanah asli 65

Gambar 4.3 Grafik batas cair (Liquid Limit), Atterberg Limit 65

(11)

Gambar 4.4 Klasifikasi Tanah berdasarkan tingkat ekspansif

menurut Prof. Seed 66

Gambar 4.5 Klasifikasi Tanah berdasarkan tingkat ekspansif

menurut Prof. William 66

Gambar 4.6 Grafik analisa saringan gypsum 69

Gambar 4.7 Grafik analisa saringan kapur 70

Gambar 4.8 Grafik analisa saringan semen 71

Gambar 4.9 Grafik hubungan antara nilai batas cair dengan variasi

campuran semen 73

Gambar 4.10 Grafik hubungan antara nilai batas cair dengan variasi

campuran kapur 73

Gambar 4.11 Grafik hubungan antara nilai batas cair dengan variasi

campuran gypsum 74

Gambar 4.12 Grafik perbandingan hubungan antara nilai batas cair

dengan variasi campuran semen, kapur, dan gypsum 75 Gambar 4.13 Grafik hubungan antara nilai batas plastis dengan variasi

campuran semen 75

Gambar 4.14 Grafik hubungan antara nilai batas plastis dengan variasi

campuran kapur 76

Gambar 4.15 Grafik hubungan antara nilai batas plastis dengan variasi

campuran gypsum 77

Gambar 4.16 Grafik perbandingan hubungan antara nilai batas plastis

dengan variasi campuran semen, kapur, dan gypsum 77 Gambar 4.17 Grafik hubungan antara nilai inkeds plastisitas dengan

variasi campuran semen 78

(12)

Gambar 4.18 Grafik hubungan antara nilai indeks plastisitas dengan

variasi campuran kapur 78

Gambar 4.19 Grafik hubungan antara nilai indeks plastisitas dengan

variasi campuran gypsum 79

Gambar 4.20 Grafik perbandingan hubungan antara nilai indeks plastisitas dengan variasi campuran semen, kapur, dan

gypsum 79

Gambar 4.21 Kurva kepadatan tanah asli 80

Gambar 4.22 Grafik hubungan antara nilai berat isi kering maksimum

(d maks) dengan variasi campuran semen 82 Gambar 4.23 Grafik hubungan antara nilai berat isi kering maksimum

(d maks) dengan variasi campuran kapur 83 Gambar 4.24 Grafik hubungan antara nilai berat isi kering maksimum

(d maks) dengan variasi campuran gypsum 83 Gambar 4.25 Grafik perbandingan hubungan antara nilai berat isi

kering maksimum (d maks) dengan variasi campuran

semen, kapur dan gypsum 84

Gambar 4.26. Grafik hubungan antara nilai kadar air optimum (wopt)

dengan variasi campuran semen 85

Gambar 4.27. Grafik hubungan antara nilai kadar air optimum (wopt)

dengan variasi campuran kapur 85

Gambar 4.28. Grafik hubungan antara nilai kadar air optimum (wopt)

dengan variasi campuran gypsum 86

(13)

Gambar 4.29. Grafik perbandingan hubungan antara nilai kadar air optimum (wopt) dengan variasi campuran semen, kapur

dan gypsum 87

Gambar 4.30. Grafik hubungan antara nilai CBR tidak terendam

(unsoaked) dengan variasi campuran semen 90 Gambar 4.31. Grafik hubungan antara nilai CBR tidak terendam

(unsoaked) dengan variasi campuran kapur 90 Gambar 4.32. Grafik hubungan antara nilai CBR tidak terendam

(unsoaked) dengan variasi campuran gypsum 91 Gambar 4.33. Grafik perbandingan hubungan antara nilai CBR

(California Bearing Ratio) tak terendam (unsoaked)

dengan variasi campuran semen, kapur dan gypsum 91 Gambar 4.34. Grafik hubungan antara nilai CBR terendam (soaked)

dengan variasi campuran semen 93

Gambar 4.35. Grafik hubungan antara nilai CBR terendam (soaked)

dengan variasi campuran kapur 93

Gambar 4.36. Grafik hubungan antara nilai CBR terendam (soaked)

dengan variasi campuran gypsum 94

Gambar 4.37. Grafik perbandingan hubungan antara nilai CBR (California Bearing Ratio) terendam (soaked) dengan

variasi campuran semen, kapur dan gypsum 94 Gambar 4.38. Grafik perbandingan hubungan antara nilai CBR

(California Bearing Ratio) terendam (soaked) dan tidak terendam (unsoaked) dengan variasi campuran semen,

kapur dan gypsum 95

(14)

DAFTAR GAMBAR

Tabel 2.1 Derajat Kejenuhan dan Kondisi Tanah 10

Tabel 2.2 Indeks Plastisitas Tanah 15

Tabel 2.3 Berat Jenis Tanah 17

Tabel 2.4 Klasifikasi tanah Ekspansif Berdasarkan Indeks

Plastisitas dan Batas Susut 23

Tabel. 2.5 Klasifikasi berdasarkan Indeks Plastisitas 24 Tabel 2.6 Klasifikasi Tanah Ekspansif Berdasarkan Persentasi

Lolos Ayakan No. 200, Batas Cair, dan SPT. 24 Tabel 2.7 Klasifikasi Potensial Pengembangan Menurut Snethen. 24

Tabel 2.8 Aktivitas tanah lempung 38

Tabel. 2.9 Komposisi kimia semen Portland 45

Tabel 2.10 Komposisi kimia gypsum 46

Tabel 4.1 Data uji sifat fisik tanah asli 63

Tabel 4.2 Klasifikasi tanah Ekspansif Berdasarkan Indeks

Plastisitas dan Batas Susut 67

Tabel 4.3 Klasifikasi berdasarkan Indeks Plastisitas 67 Tabel 4.4 Klasifikasi Tanah Ekspansif Berdasarkan Persentasi

Lolos Ayakan No. 200, Batas Cair, dan SPT. 68 Tabel 4.5 Klasifikasi Potensial Pengembangan Menurut Snethen. 68

Tabel 4.6 Data uji sifat fisik gypsum 69

Tabel 4.7 Data uji sifat fisik kapur 70

Tabel 4.8 Data uji sifat fisik semen 71

Tabel 4.9 Data hasil uji Atterberg limit penambahan semen 72

(15)

Tabel 4.10 Data hasil uji Atterberg limit penambahan kapur 72 Tabel 4.11 Data hasil uji Atterberg limit penambahan gypsum 72

Tabel 4.12 Data uji pemadatan tanah asli 80

Tabel 4.13 Data hasil uji Compation penambahan semen 81 Tabel 4.14 Data hasil uji Compation penambahan kapur 81 Tabel 4.15 Data hasil uji Compation penambahan gypsum 82 Tabel 4.16 Data hasil uji CBR tidak terendam (unsoaked)

penambahan semen 88

Tabel 4.17 Data hasil uji CBR tidak terendam (unsoaked)

penambahan kapur 89

Tabel 4.18 Data hasil uji CBR tidak terendam (unsoaked)

penambahan gypsum 89

Tabel 4.19 Data hasil uji CBR terendam (soaked) penambahan

semen 92

Tabel 4.20 Data hasil uji CBR terendam (soaked) penambahan

kapur 92

Tabel 4.21 Data hasil uji CBR terendam (soaked) penambahan

gypsum 92

(16)

DAFTAR NOTASI

V Volume tanah (cm3)

Vs Volume butiran padat (cm3) Vv Volume pori (cm3)

Vw Volume air di dalam pori (cm3) Va Volume udara di dalam pori (cm3) W Berat tanah (gr)

𝑊𝑠 Berat butiran padat (gr) 𝑊𝑤 Berat air (gr)

ω Kadar air (%)

𝑛 Porositas

𝑒 Angka pori

γb Berat volume basah (gr/cm3) 𝛾𝑑 Berat volume kering (gr/cm3) 𝛾𝑠 Berat volume butiran padat (gr/cm3) 𝐺𝑠 Berat jenis tanah

Sr Derajat kejenuhan (%) IP Indeks plastisitas (%) LL Batas cair (%)

PL Batas plastis (%) 𝜏𝑓 Kuat geser (kg/cm2) 𝜎1 Tegangan utama (kg/cm2) 𝑞𝑢 Kuat tekan bebas tanah (kg/cm2)

(17)

𝑐𝑢 Kohesi (kg/cm2) Ø Sudut geser tanah (0) 𝜏𝑓 Tegangan runtuh (kg/cm2) St Sensitivitas

ε Regangan axial(%)

∆L Perubahan panjang (cm) Lo Panjang mula-mula (cm)

A Luas rata-rata pada setiap saat (cm2) Ao Luas mula-mula (cm2)

σ Tegangan (kg/cm2) P Beban (kg)

k Faktor kalibrasi proving ring N Pembacaan proving ring (div)

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran-1, Data Uji Laboratorium, Kadar Air dan Berat Jenis Lampiran-2, Data Uji Laboratorium, Analisa Saringan

Lampiran-3, Data Uji Laboratorium, Atterberg Limit Lampiran-4, Data Uji Laboratorium, Compaction Test

Lampiran-5, Data Uji Laboratorium, CBR Laboratorium Test Lampiran-6, Data Komposisi Kimia Kapur

Lampiran-7, Data Komposisi Kimia Gypsum Lampiran-8, Data Komposisi Kimia Semen Lampiran-9, Dokumentasi Pelaksanaan

(19)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Tanah lempung sering ditemukan di lapangan. Tanah lempung memiliki sifat sangat keras dalam kondisi kering dan bersifat plastis pada kadar air sedang, namun ketika kadar air tinggi, tanah lempung akan bersifat lengket (kohesif) dan sangat lunak., sehingga menyebabkan perubahan volume yang besar karena pengaruh air dan menyebabkan tanah mengembang dan menyusut dalam jangka waktu yang relatif cepat.

Sifat inilah yang menjadi alasan perlunya dilakukan proses stabilisasi agar sifat tersebut diperbaiki sehingga dapat meningkatkan daya dukung tanah tersebut. (Hardiyatmo, 2002)

Salah satu cara untuk memperbaiki sifat tanah yang tidak stabil yaitu dengan cara stabilisasi. Stabilisasi tanah dapat dilakukan dengan cara mekanis, fisis dan kimiawi (modification of admixture). Stabilisasi dengan menggunakan bahan tambah sering disebut juga stabilisasi kimia yang bertujuan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah, dengan cara mencampur tanah menggunakan bahan sesuai perbandingan tertentu.

Pada penelitian ini akan dibahas tentang stabilisasi tanah lempung dengan penambahan serbuk gypsum, kapur dan semen sebagai bahan stabilisator yang diharapkan dapat memperbaiki sifat-sifat fisis maupun mekanis dari sampel tanah sehingga didapat tanah lempung yang memenuhi syarat teknis penggunaan pada konstruksi di lapangan.

Kandungan bahan kimia yang terdapat pada gypsum disebut Kalsium Sulfat Hidrat (CaSO42(H2O)), yaitu suatu material yang termasuk ke dalam mineral sulfat yang berada di bumi dan nilainya sangat menguntungkan. Sekarang ini gypsum banyak digunakan

(20)

dalam hiasan bangunan, bahan dasar pembuat semen, pengisi (filler) cat, bahan pembuat pupuk (feltilizer) dan berbagai macam keperluan lainnya. Salah satu keuntungan penggunaan gypsum dalam pekerjaan teknik sipil adalah gypsum dapat meningkatkan stabilitas tanah organik karena mengandung kalsium yang mengikat tanah bermateri organik terhadap lempung yang memberikan stabilitas terhadap agregat tanah.

Semen adalah material yang mempunyai sifat-sifat adhesif dan kohesif sebagai perekat yang mengikat fragmen-fragmen mineral menjadi suatu kesatuan yang kompak.

Semen dikelompokan ke dalam 2 (dua) jenis yaitu semen hidrolis yang dimana bahan pengikatnya mengeras jika bereaksi dengan air serta menghasilkan produk yang tahan air. Contohnya seperti semen Portland, semen putih dan sebagainya, sedangkan semen non-hidrolis adalah semen yang tidak dapat stabil dalam air.

Semen Portland adalah semen hidrolis yang dihasilkan dengan cara mencampur silika (SiO2), oksida alumina (Al2O3) dan oksida besi (Fe2O3) dalam oven dengan suhu kira-kira 145°C sampai menjadi klinker. Klinker ini dipindahkan, digiling sampai halus disertai penambahan 3-5% gips untuk mengendalikan waktu pengikat semen agar tidak berlangsung terlalu cepat (Subakti,1994).

Kapur merupakan salah satu material yang cukup efektif untuk proses stabilisasi tanah. Stabilisasi tanah dengan kapur sangat lazim digunakan dalam penelitian dengan berbagai jenis tanah mulai dari tanah lempung biasa sampai tanah lempung ekspansif.

Kapur yang biasa digunakan dalam stabilisasi adalah kapur hidup CaO dan Ca(OH)2.

Kapur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kapur bubuk (CaO) yang dibeli di toko material. Kapur tersebut berasal dari batu kapur (CaCo3) yang telah dibakar sampai dengan suhu 1000 oC. Kapur hasil pembakaran apabila ditambahkan air akan mengembang dan retak retak. Banyak panas yang keluar (seperti mendidih) selama

(21)

proses ini, hasilnya adalah kalsium hidroksida Ca(OH)2. Apabila kapur dan mineral lempung atau mineral halus lainnya bereaksi, maka akan membentuk suatu gel yang kuat, yaitu kalsium silikat yang mengikat butir – butir atau partikel yanah (Ingles dan Metcalf, 1972).

I.2. Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini yaitu antara lain:

1. Apakah serbuk gypsum, kapur, dan semen dapat dimanfaatkan untuk bahan stabilisasi tanah ?

2. Apakan tanah lempung seperti dari Patumbak dapat digunakan sebagai tanah timbunan dengan memperbaiki index propertiesnya ?

3. Berapakah kadar campuran serbuk gypsum, kapur dan semen yang sesuai untuk stabilisasi tanah ?

4. Berapa kadar air optimum kombinasi serbuk gypsum, kapur dan semen untuk stabilisasi tanah Patumbak ?

I.3. Tujuan Dan Manfaat 1.3.1. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini diantaranya:

1. Mengetahui pengaruh variasi penambahan stabilisator semen, kapur dan gypsum pada tanah lempung dengan masing masing varian 2%, 4%, 6%, 8% dan 10% terhadap nilai index properties.

2. Mencari campuran yang optimal yang memberikan persentase nilai CBR terbesar dari tanah lempung yang distabilisasi dengan serbuk gypsum, kapur dan semen.

(22)

1.3.2. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan suatu timbunan yang menggunakan tanah lempung Patumbak dapat distabilisasi. Sifat tanah lempung ini dapat membahayakan suatu konstruksi dan dapat memperlambat suatu pekerjaan konstruksi ataupun pekerjaan timbunan. Dalam penelitian akan menggunakan serbuk gypsum, kapur maupun semen yang sedemikian rupa agar hasil yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan.

Diharapkan juga bahwa dengan campuran tersebut dapat mencapai hasil yang diharapkan sehingga dapat digunakan sebagai referensi untuk menjadi satu bahan stabilisator sehingga bahan tersebut dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin agar dapat mengurangi dampak lingkungannya dan juga pemanfaatan limbah.

I.4. Pembatasan Masalah

Pada Tugas Akhir ini, batasan-batasannya antara lain :

1. Tanah yang dipakai tanah lempung dari PTPN II Kebun Patumbak, Deli Serdang.

2. Bahan stabilitas yang digunakan adalah serbuk gypsum, kapur dan semen yang telah lolos saringan no 200.

3. Uji index properties tanah asli untuk mengetahui sifat fisis tanah yang dilakukan pada awal penelitian, meliputi:

 Uji kadar air

 Uji berat jenis tanah

 Uji nilai Atterberg (batas-batas konsistensi)

 Uji distribusi butiran atau analisa saringan

(23)

4. Berat tanah yang dimaksud adalah tanah dalam kondisi kering setelah dijemur di bawah sinar matahari dan lolos saringan no 4.

5. Pengujian untuk engineering properties dilakukan dengan uji Proctor Standard, uji CBR Laboratorium (California Bearing Ratio) Terendam (Soaked) dan Tidak Terendam (Unsoaked).

6. Masa pemeraman yaitu 14 hari.

I.5. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini akan dibuat dalam 5 bab dengan uraian sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan

Bab ini berisi tentang latar belakang penulisan, tujuan dan manfaat, rumusan masalah, pembatasan masalah.

Bab II: Tinjauan Pustaka

Bab ini mencakup hal-hal yang dijadikan penulis sebagai dasar dalam membahas pengaruh penambahan serbuk gypsum, kapur dan semen pada tanah lempung, terhadap peningkatan daya dukung tanah dengan pengujian CBR Laboratorium (California Bearing Ratio) Terendam (Soaked) dan Tidak Terendam (Unsoaked).

Bab III : Metodologi Penelitian

Bab ini berisi tentang segala metodologi yang dilakukan dalam penelitian berupa urutan-urutan tahapan pelaksanaan penelitian mulai dari pekerjaan di lapangan sampai jenis penelitian yang dilakukan di laboratorium hingga analisis data laboratorium yang telah diperoleh.

(24)

Bab IV: Pembahasan

Bab ini berisi tentang pembahasan mengenai pengaruh penambahan serbuk gypsum, kapur dan semen pada tanah lempung yang dilihat dari pengujian laboratorium yaitu CBR Laboratorium Terendam (Soaked) dan Tidak Terendam (Unsoaked) sesuai dengan variasi kadar campuran yang direncanakan. Membahas tentang data-data yang didapat dari penelitian yang dilakukan yakni nilai CBR pada uji CBR Lab. sesuai dengan variasi kadar campuran yang direncanakan. Membahas tentang data-data yang didapat dari penelitian yang dilakukan yakni membahas grafik gypsum, kapur dan semen dengan lama pemeraman terhadap kekuatan tanah yang diperoleh, serta analisa angka dari pengujian Atterberg.

Bab V: Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran yang diberikan atas hasil yang didapat.

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum 2.1.1. Tanah

Tanah penyusun kerak bumi secara garis besar dibagi menjadi dua kategori yaitu tanah (soil) dan batuan (rock). Batuan merupakan agregat mineral yang satu sama lainnya diikat oleh gaya gaya kohesif yang permanen. Sedangkan tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang ruang kosong di antara partikel-partikel padat tersebut (Das, 1991).

Berdasarkan sifat lekatnya tanah dapat dibedakan menjadi dua yaitu, tanah tak berkohesif dan tanah berkohesif. Tanah tak berkohesif adalah tanah yang tidak mempunyai atau sedikit sekali lekatan antara butir – butirnya seperti tanah berpasir.

Tanah kohesif adalah tanah yang memiliki sifat lekatan antara butir – butirnya, contohnya adalah tanah lepung.

Tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral- mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong di antara partikel-partikel padat tersebut (Das,1991).

Tanah merupakan komposisi dari dua atau tiga fase yang berbeda. Jika tanah dalam keadaan kering maka tanah tersebut terdiri dari dua fase yaitu partikel padat dan pori-pori udara. Tanah yang jenuh seluruhnya juga terdiri dari dua fase yaitu partikel

(26)

padat dan air pori. Sedangkan tanah dalam keadaan jenuh sebagian maka terdiri dari tiga fase yaitu partikel padat, pori-pori udara dan air pori (Fadilla, 2014). Fase-fase tersebut dapat digambarkan dalam bentuk diagram fase seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1 berikut.

Dari gambar tersebut diperoleh h persamaan hubungan antara volume-berat dari tanah berikut:

(2.1) (2.2) Dimana :

𝑉𝑆 : volume butiran padat (cm3) 𝑉𝑉 : volume pori (cm3)

𝑉𝑊 : volume air di dalam pori (cm3) 𝑉𝑎 : volume udara di dalam pori (cm3)

Apabila udara dianggap tidak mempunyai berat, maka berat total dari contoh tanah dapat dinyatakan dengan :

(2.3) Dimana:

𝑊𝑆 : berat butiran padat (gr) 𝑉 = 𝑉𝑆+ 𝑉𝑉

𝑉 = 𝑉𝑆+ 𝑉𝑊+ 𝑉𝑎

𝑊 = 𝑊𝑆+ 𝑊𝑊

Gambar 2.1 (a) Elemen tanah dalam keadaan asli; (b) Tiga fase elemen tanah (Hardiyatmo, 1992)

(27)

𝑊𝑊 : berat air (gr)

2.1.2. Sifat – sifat fisik tanah 2.1.2.1. Porositas (Porosity)

Porositas atau porosity (n) didefinisikan sebagai persentase perbandingan antara volume rongga (𝑉𝑉) dengan volume total (𝑉) dalam tanah, atau :

(2.4)

Dimana:

𝑛 : porositas

𝑉𝑉 : volume rongga (cm3) 𝑉 : volume total (cm3)

2.1.2.2. Angka pori (void ratio)

Angka pori atau void ratio (e) didefinisikan sebagai perbandingan antara volume rongga (𝑉𝑉) dengan volume butiran (𝑉𝑆) dalam tanah, atau :

(2.5) Dimana:

𝑒 : angka pori

𝑉𝑉 : volume rongga (cm3) 𝑉𝑆 : volume butiran (cm3)

𝑛 = 𝑉𝑉

𝑉 𝑥 100

𝑒 = 𝑉𝑉 𝑉𝑆

(28)

2.1.2.3. Derajat kejenuhan (degree of saturation)

Derajat kejenuhan atau degree of saturation (S) didefinisikan sebagai perbandingan antara volume air (𝑉𝑊) dengan volume total rongga pori tanah (𝑉𝑉). Bila tanah dalam keadaan jenuh, maka S = 1. Derajat kejenuhan suatu tanah (S) dapat dinyatakan dalam persamaan:

(2.6)

Dimana:

S : derajat kejenuhan 𝑉𝑊 : berat volume air (cm3)

𝑉𝑉 : volume total rongga pori tanah (cm3)

Tabel 2.1 Derajat Kejenuhan dan Kondisi Tanah

2.1.2.4. Kadar air (moisture water content)

Kadar air atau water content (w) adalah persentase perbandingan berat air (𝑊𝑊) dengan berat butiran (𝑊𝑆) dalam tanah, atau :

(2.7) 𝑆 (%) = 𝑉𝑊

𝑉𝑉 𝑥 100

Keadaan Tanah Derajat Kejenuhan

Tanah kering 0

Tanah agak lembab > 0 - 0,25 Tanah lembab 0,26 - 0,50 Tanah sangat lembab 0,51 - 0,75

Tanah basah 0,76 - 0,99

Tanah jenuh 1

(Hardiyatmo, 1992)

𝑤(%) = 𝑊𝑊

𝑊𝑆 𝑥 100

(29)

Dimana : 𝑤𝑆 : kadar air 𝑊𝑊 : berat air (gr) 𝑊𝑆 : berat butiran (gr)

2.1.2.5. Berat volume (unit weight)

Berat volume ( γ ) adalah berat tanah per satuan volume.

(2.8) Para ahli tanah kadang-kadang menyebut berat volume (unit weight) sebagai berat volume basah (moist unit weight).

Dimana:

γ : berat volume basah (gr/cm3) 𝑊 : berat butiran tanah (gr) 𝑉 : volume total tanah (cm3)

2.1.2.6. Berat volume kering (dry unit weight)

Berat volume kering (γ𝑑) adalah perbandingan antara berat butiran tanah (𝑊𝑆) dengan volume total tanah (𝑉). Berat volume tanah (γ𝑏) dapat dinyatakan dalam persamaan :

(2.9) Dimana:

γ𝑑 : berat volume kering (gr/cm3) 𝑊𝑆 : berat butiran tanah (gr) 𝑉 : volume total tanah (cm3)

γ = 𝑊 𝑉

γ𝑑 = 𝑊𝑆 𝑉

(30)

2.1.2.7. Berat volume butiran padat (soil volume weight)

Berat volume butiran padat (γ𝑠) adalah perbandingan antara berat butiran tanah (𝑊𝑆) dengan volume butiran tanah padat (𝑉𝑆). Berat volume butiran padat (γ𝑠) dapat dinyatakan dalam persamaan :

(2.10)

Dimana:

γ𝑠 : berat volume padat (gr/cm3) 𝑊𝑆 : berat butiran tanah (gr) 𝑉𝑆 : volume total padat (cm3)

2.1.2.8. Batas-batas Atterberg (Atterberg Limit)

Atterberg adalah seorang peneliti tanah berkebangsaan Swedia yang telah menemukan batas-batas Atterberg pada tahun 1911. Atterberg mengusulkan ada lima keadaan konsistensi tanah. Batas-batas konsistensi tanah ini didasarkan pada kadar air, yaitu batas cair (liquid limit), batas plastis (plastic limit), batas susut (shrinkage limit), batas lengket (sticky limit) dan batas kohesi (cohesion limit). Tetapi pada umumnya batas lengket dan batas kohesi tidak digunakan (Bowles, 1991). Batas-batas konsistensi dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Batas-batas Atterberg (Soedarmo, 1997) γ𝑠 = 𝑊𝑆

𝑉𝑆

(31)

2.1.2.8.1. Batas cair (liquid limit)

Batas cair (liquid limit) adalah kadar air tanah ketika tanah berada diantara keadaan cair dan keadaan plastis, yaitu pada batas atas dari daerah plastis. Batas cair ditentukan dari pengujian Cassagrande (1948), yakni dengan meletakkan tanah ke cawan dan dibentuk sedemikian rupa, kemudian tanah tersebut dibelah oleh grooving tool dan dilakukan pemukulan dengan cara engkol dinaikkan dan sampai mangkuk menyentuh dasar, dilakukan juga perhitungan ketukan sampai tanah yang dibelah tadi berhimpit. Untuk lebih jelasnya, alat uji batas cair berupa cawan Cassagrande dan grooving tool dapat dilihat pada Gambar 2.3

Gambar 2.3 Cawan Cassagrande dan Grooving Tool (Hardiyatmo, 1992)

2.1.2.8.2. Batas plastis (plastic limit)

Batas plastis (plastic limit) dapat didefinisikan sebagai kadar air pada tanah dimana pada batas bawah daerah plastis atau kadar air minimum. Untuk mengetahui batas plastis suatu tanah dilakukan dengan percobaan menggulung tanah berbentuk silinder dengan diameter sekitar 3,2 mm (1/8 inchi) dengan menggunakan telapak

(32)

tangan di atas kaca datar. Apabila tanah mulai mengalami retak-retak atau pecah ketika digulung, maka kadar air dari sampel tersebut adalah batas plastis.

2.1.2.8.3. Batas susut (shrinkage limit)

Batas susut (shrinkage limit) adalah kadar air tanah pada kedudukan antara daerah semi padat dan padat, yaitu persentase kadar air di mana pengurangan kadar air selanjutnya tidak mengakibatkan perubahan volume tanahnya. Dapat dikatakan bahwa tanah tersebut tidak akan mengalami penyusutan lagi meskipun dikeringkan secara terus menerus.

Percobaan batas susut dilakukan dengan cawan porselin diameter 44,4 mm dengan tinggi 12,7 mm. Pada bagian dalam cawan dilapisi oleh pelumas dan diisi dengan tanah jenuh sempurna yang kemudian dikeringkan dalam oven. Volume ditentukan dengan mencelupkannya dalam air raksa. Batas susut dapat dinyatakan dalam persamaan :

(2.12)

Dengan :

𝑚1 = berat tanah basah dalam cawan percobaan (gr) 𝑚2 = berat tanah kering oven (gr)

𝑣1 = volume tanah basah dalam cawan (cm3) 𝑣2 = volume tanah kering oven (cm3)

γ𝑤 = berat jenis air

𝑆𝐿 = {(𝑚1 − 𝑚2)

𝑚2 − (𝑣1− 𝑣2) γ𝑤

𝑚2 } 𝑥 100%

(33)

2.1.2.8.4. Indeks plastisitas (plasticity index)

Indeks plastisitas adalah selisih batas cair dan batas plastis. Indeks plastisitas merupakan interval kadar air dimana tanah masih bersifat plastis. Indeks plastisitas dapat menunjukkan sifat keplastisitasan tanah tersebut. Jika tanah memiliki interval kadar air daerah plastis yang kecil, maka tanah tersebut disebut tanah kurus, sedangkan apabila suatu tanah memiliki interval kadar air daerah plastis yang besar disebut tanah gemuk. Persamaan 2.13 dapat digunakan untuk menghitung besarnya nilai indeks plastisitas dari suatu tanah. Tabel 2.2 menunjukkan batasan nilai indeks plastisitas dari jenis-jenis tanah.

(2.13) Dimana :

LL = batas cair PL = batas plastis

Tabel 2.2 Indeks Plastisitas Tanah

(Hardiyatmo, 2002)

2.1.2.8.5. Indeks cair (liquidity indeks)

Kadar air tanah asli relatif pada kedudukan plastis dan cair, dapat didefinisikan oleh indeks cair (liquidity indeks) dan dinyatakan menurut persamaan :

IP = LL - PL

PI Sifat Macam Tanah Kohesi

0 Non-Plastis Pasir Non – Kohesif

<7 Plastisitas Rendah Lanau Kohesif Sebagian 7-17 Plastisitas Sedang Lempung berlanau Kohesif

>17 Plastisitas Tinggi Lempung Kohesif

𝐿𝐼 = 𝑤𝑁 − 𝑃𝐿

𝐿𝐿 − 𝑃𝐿 − 𝑤𝑁 − 𝑃𝐿 𝑃𝐼

(34)

Dengan :

LI = indeks cair (liquidity indeks) Wn = Kadar air dilapangan

Jika Wn = LL, maka LI = 1, sedangkan jika Wn = PL, maka LI = 0. Jadi untuk lapisan tanah asli yang didalam kedudukan plastis . nilai LL >Wn > PL. Jika kadar air bertambah dari PL menuju LL, maka LI bertambah dari 0 sampai 1. lapisan tanah asli dengan wN > LI, akan mempunyai LL > 1. Tapi jika wN kurang dari PL, LI akan negatif.

2.1.2.9. Berat spesifik (specific gravity)

Berat spesifik tanah atau specific gravity (Gs) didefinisikan sebagai perbandingan antara berat volume butiran tanah (γ𝑠) dengan berat volume air (γ𝑤) dengan isi yang sama pada temperatur tertentu. Berat spesifik tanah (Gs) dapat dinyatakan dalam persamaan:

(2.11) Dimana :

γ𝑠 : berat volume padat (gr/cm3) γ𝑤 : berat volume air(gr/cm3) G𝑠 : berat spesifik tanah

Batas-batas besaran berat spesifik tanah dapat dilihat pada Tabel 2.3.

G𝑠 = γ𝑠 γ𝑤

(35)

Tabel 2.3 Berat Spesifik Tanah

(Hardiyatmo, 2002)

2.1.2.10. Klasifikasi tanah

Sistem klasisfikasi tanah adalah suatu sistem pengaturan beberapa jenis tanah yang berbeda - beda tapi mempunyai sifat yang serupa ke dalam kelompok - kelompok dan subkelompok - subkelompok berdasarkan pemakaiannya (Das,1991). Sistem klasisfikasi tanah didasarkan atas ukuran partikel yang diperoleh dari analisa saringan dan plastisitasnya. Tujuan dari pengklasifikasian tanah ini adalah untuk memungkinkan memperkirakan sifat fisis tanah dengan mengelompokkan tanah dengan kelas yang sama yang sifat fisisnya diketahui dan menyediakan sebuah metode yang akurat mengenai deskripsi tanah.

Beberapa sistem klasifikasi telah dikembangkan dan pengklasifikasian tersebut yaitu :

1. Klasifikasi tanah sistem USCS 2. Klasifikasi tanah sistem AASHTO

Macam Tanah Berat Spesifik Kerikil 2,65 - 2,68

Pasir 2,65 - 2,68

Lanau tak organik 2,62 - 2,68 Lempung organik 2,58 - 2,65 Lempung tak organik 2,68 - 2,75

Humus 1,37

Gambut 1,25 - 1,80

(36)

2.1.2.10.1. Sistem klasifikasi Unified Soil Classification System (USCS)

Sistem ini pertama kali dikembangkan oleh Casagrande (1942) sebagai sebuah metode untuk pekerjaan pembuatan lapangan terbang oleh The Army Corps of Engineers pada Perang Dunia II. Pada saat ini sistem ini telah dipergunakan secara luas oleh para ahli teknik. Sistem ini selain biasa digunakan untuk desain lapangan terbang juga untuk spesifikasi pekerjaan tanah untuk jalan.

Klasifikasi berdasarkan Unified System (Das, 1991), tanah dikelompokkan menjadi :

1. Tanah butir kasar (coarse-grained-soil)

Merupakan tanah yang lebih dari 50% bahannya tertahan pada ayakan no.200 (0,075 mm). Simbol dari kelompok ini dimulai dengan huruf awal G atau S. G adalah untuk kerikil (gravel) atau tanah berkerikil, dan S adalah untuk pasir (sand) atau tanah berpasir.

2. Tanah berbutir halus (fine-grained-soil)

Merupakan tanah yang lebih dari 50 % berat total contoh tanah lolos ayakan no.200 (0,075 mm). Simbol dari kelompok ini dimulai dengan huruf awal M untuk lanau (silt) anorganik, C untuk lempung (clay) anorganik, dan O untuk lanau-organik dan lempung-organik. Simbol PT digunakan untuk tanah gambut (peat), muck, dan tanah-tanah lain dengan kadar organik yang tinggi.

Tanah berbutir kasar ditandai dengan simbol kelompok seperti : GW, GP, GM, GC, SW, SP, SM dan SC. Adapun simbol-simbol lain yang digunakan dalam klasifikasi tanah ini adalah :

W : well graded (tanah dengan gradasi baik)

(37)

P : poorly graded (tanah dengan gradasi buruk) L : low plasticity (plastisitas rendah) (LL < 50) H : high plasticity (plastisitas tinggi) ( LL > 50)

Untuk klasifikasi yang benar, perlu memperhatikan faktor-faktor berikut ini:

1. Persentase butiran yang lolos ayakan no.200 (fraksi halus).

2. Persentase fraksi kasar yang lolos ayakan no.40.

3. Koefisien keseragaman (Uniformity coefficient, Cu) dan koefisien gradasi (gradation coefficient, Cc) untuk tanah dimana 0-12% lolos ayakan no.200.

4. Batas cair (LL) dan Indeks Plastisitas (PI) bagian tanah yang lolos ayakan no.40 (untuk tanah dimana 5% atau lebih lolos ayakan no.200).

Bagan pengklasifikasian sistem ini dapat dilihat pada Gambar 2.4.

(38)

Gambar 2.4 Klasifikasi tanah sistem USCS (Das, 1991)

(39)

2.1.2.10.2. Sistem kalsifikasi AASHTO

Sistem klasifikasi tanah sistem AASHTO (American Association of State Highway Transportation Official) dikembangkan pada tahun 1929 sebagai Public Road Administration Classification System. Kemudian sistem ini mengalami beberapa perbaikan, sampai saat ini versi yang berlaku adalah yang diajukan oleh Committee on Classification of Materials for Subgrade and Granular Type Road of the Highway Research Board pada tahun 1945. Sistem ini mengklasifikasikan tanah kedalam tujuh kelompok besar, yaitu A-1 sampai A-7. Tanah yang diklasifikasikan ke dalam A-1 sampai A-3 adalah tanah berbutir yang 35% atau kurang dari jumlah butiran tanah tersebut lolos ayakan no. 200. Sedangkan tanah A-4 sampai A-7 adalah tanah yang lebih dari 35% butirannya lolos ayakan no. 200.

Pengklasifikasian tanah dilakukan dengan cara memproses dari kiri ke kanan pada bagan tersebut sampai menemukan kelompok pertama yang data pengujian bagi tanah tersebut memenuhinya dan pada awalnya membutuhkan data-data sebagai berikut :

1. Analisis ukuran butiran.

2. Batas cair, batas plastis dan IP yang dihitung.

3. Batas susut.

Khusus untuk tanah-tanah yang mengandung bahan butir halus diidentifikasikan lebih lanjut dengan indeks kelompoknya. Bagan pengklasifikasian sistem ini dapat dilihat seperti pada Gambar 2.5.

(40)

Gambar 2.5 Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO (Das, 1991)

Berikut ini merupakan kriteria tanah berdasarkan tingkat ekspansive, meliputi 6 kriteria menurut para ahli, yaitu:

1. Kriteria Prof. Seed (1962)

Gambar 2.6 Klasifikasi Tanah berdasarkan tingkat ekspansif menurut Prof. Seed

(41)

Skempton (1953), mendefinisikan sebvuah besaran yang dinamakan aktivitas dalam rumus sebagai berikut:

2. Menurut Prof. William (1958)

3. Menurut Raman (1967)

(2.17)

Gambar 2.7 Klasifikasi Tanah berdasarkan tingkat ekspansif menurut Prof. William

Tabel 2.4 Klasifikasi tanah Ekspansif Berdasarkan Indeks Plastisitas dan Batas Susut

PI (%) SL (%) Degree of Expansion

< 12 < 15 Low

12 – 23 15- 30 Medium

23 – 32 30 – 40 High

> 32 >40 Very high

(42)

4. Menurut Chen (1988)

5. Menurut Chen (1965)

6. Menurut Snethen (1977)

Tabel 2.5 Klasifikasi berdasarkan Indeks Plastisitas

Potensi Pengembangan PI

Low 0 – 15

Medium 10 – 35

High 20 - 55

Very High > 35

Tabel 2.6 Klasifikasi Tanah Ekspansif Berdasarkan Persentasi Lolos Ayakan No. 200, Batas Cair, dan SPT.

Presentasi Lolos Ayakan

no. 200

LL (%) SPT

(blows/ft)

Kemungkinan Ekspansif (%)

Potensi pengembangan

> 95 > 60 > 30 > 10 Very high

60 – 95 40 -60 20 – 30 3 – 10 High

30 – 60 30 – 40 10 - 20 1 – 5 Medium

< 30 < 30 < 10 < 1 Low

Tabel 2.7 Klasifikasi Potensial Pengembangan Menurut Snethen.

LL (%) PI (%) Potensi

Mengembang (%)

Klasifikasi Potensi Mengembang

> 60 > 35 > 1,5 High

50 – 60 25 – 35 0,5 – 1,5 Medium

< 50 < 25 < 0,5 Low

(43)

2.1.3. Sifat-sifat mekanis tanah

2.1.3.1. Pemadatan tanah (Compaction)

Pemadatan tanah (Compaction) adalah suatu proses dimana udara pada pori- pori tanah dikeluarkan dengan cara mekanis (digilas/ditumbuk) sehingga partikel- partikel tanah menjadi rapat. Dengan kata lain, pemadatan adalah densifikasi tanah yang jenuh dengan penurunan volume rongga diisi dengan udara, sedangkan volume padatan dan kadar air tetap pada dasarnya sama. Hal ini merupakan cara yang paling jelas dan sederhana untuk memperbaiki stabilitas dan kekuatan dukung tanah.

Maksud pemadatan tanah menurut Hardiyatmo (1992), antara lain : 1. Mempertinggi kuat geser tanah

2. Mengurangi sifat mudah mampat (kompresibilitas) 3. Mengurangi permeabilitas

4. Mengurangi perubahan volume sebagai akibat perubahan kadar air dan lainnya.

Tanah granuler merupakan tanah yang paling mudah penanganannya untuk pekerjaan lapangan. Setelah dipadatkan tanah tersebut mampu memberikan kuat geser yang tinggi dengan sedikit perubahan volume. Hal ini dikarenakan permeabilitas tanah granuler yang tinggi. Berbeda dengan pada tanah lanau yang permeabilitasnya rendah sangat sulit dipadatkan bila dalam keadaan basah.

Tanah lempung mempunyai permeabilitas yang rendah dan tanah ini tidak dapat dipadatkan dengan baik dalam kondisi basah seperti halnya tanah lanau. Tanah lempung yang dipadatkan dengan cara yang benar akan memberikan daya dukung yang tinggi. Stabilitas terhadap sifat kembang-susut tergantung dari jenis kandungan mineralnya.

(44)

Pada tahun 1933, Proctor menemukan dasar-dasar pemadatan tanah, dimana terdapat 4 (empat) variabel yang digunakan dalam fungsi Compaction, yaitu:

- Usaha pemadatan - Jenis tanah - Kadar air tanah

- Berat isi kering tanah (Bowles, 1991).

Hubungan berat volume kering (γ𝑑) dengan berat volume basah (γ𝑏) dan kadar air (%) dinyatakan dalam persamaan :

(2.14) Pada pengujian Compaction di laboratorium alat pemadatan berupa silinder mould dengan volume 9,34 x 10-4, dan penumbuk dengan berat 2,5 kg dengan tinggi jatuh 30,5 cm. Pada pengujian Compaction tanah dipadatkan dalam 3 lapisan (standart Proctor) dan 5 lapisan (modified Proctor) dengan pukulan sebanyak 25 kali pukulan.

Pengujian-pengujian tersebut dilakukan dengan pemadatan sampel tanah basah (pada kadar air terkontrol) dalam suatu cetakan dengan jumlah lapisan tertentu. Setiap lapisan dipadatkan dengan sejumlah tumbukan yang ditentukan dengan penumbuk dengan massa dan tinggi jatuh tertentu. Standar ASTM maupun AASHTO hendaknya digunakan sebagai acuan untuk rincian pengujian tersebut.

Kadar air yang memberikan berat unit kering yang maksimum disebut kadar air optimum (OMC). Usaha pemadatan diukur dari segi energi tiap satuan volume dari tanah yang telah dipadatkan. Untuk usaha pemadatan yang lebih rendah kurva pemadatan bagi tanah yang sama akan lebih rendah dan tergeser ke kanan, yang menunjukkan suatu kadar air optimum yang lebih tinggi. Hasil dari pengujian

γ𝑑 = γ𝑏 1 + 𝑤

(45)

pemadatan berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air dan berat volume kering tanah yamg ditunjukkan Gambar 2.6.

Gambar 2.8 Hubungan antara kadar air dan berat isi kering tanah (Hardiyatmo, 1992)

Garis ZAV (Zero Air Void Line) adalah hubungan antara berat isi kering dengan kadar air bila derajat kejenuhan 100%, yaitu bila pori tanah sama sekali tidak mengandung udara. Grafik ini berguna sebagai petunjuk pada waktu menggambarkan grafik pemadatan. Grafik tersebut berada di bawah ZAV dan biasanya grafik tersebut tidak lurus tetapi agak cekung ke atas. Apabila kurva pemadatan yang dihasilkan berada lebih dekat di bawah dengan garis ZAV maka hal tersebut menunjukan tanah yang dipadatkan memiliki derajat kejenuhan mendekati 100% dan sedikit mengandung udara. Pada penelitian ini, percobaan pemadatan tanah di laboratorium yang digunakan untuk menentukan kadar air optimum dan berat isi kering maksimum adalah percobaan pemadatan standar (standard Compaction test).

2.1.3.2. Pengujian California Bearing Ratio (CBR)

California Bearing Ratio (CBR) adalah percobaan daya dukung tanah yang dikembangkan oleh California State Highway Departement. Prinsip pengujian ini adalah pengujian penetrasi dengan menusukkan benda ke dalam benda uji. Dengan cara ini dapat dinilai kekuatan tanah dasar atau bahan lain yang dipergunakan untuk

(46)

membuat perkerasan. Pengujian CBR adalah perbandingan antara beban penetrasi suatu bahan terhadap bahan standar dengan kedalaman dan kecepatan penetrasi yang sama. Nilai CBR dihitung pada penetrasi sebesar 0.1 inci dan penetrasi sebesar 0.2 inci dan selanjutnya hasil kedua perhitungan tersebut dibandingkan sesuai dengan SNI 03-1744-2012 diambil hasil terbesar. Ada dua macam pengukuran CBR yaitu :

1. Nilai CBR untuk tekanan penetrasi pada 0.254 cm (0,1”) terhadap penetrasi standard besarnya 70,37 kg/cm2 (1000 psi).

Nilai CBR = (PI/70,37) x 100 % ( PI dalam kg / cm2 )

2. Nilai CBR untuk tekanan penetrasi pada penetrasi 0,508 cm (0,2”) terhadap penetrasi standard yang besarnya 105,56 kg/cm2 (1500 psi)

Nilai CBR =PI/105,56) x 100 % ( PI dalam kg / cm2 ) Dari kedua hitungan tersebut digunakan nilai terbesar.

Kekuatan tanah diuji dengan uji CBR sesuai dengan SNI-1744-2012.Nilai kekuatan tanah tersebut digunakan sebagai acuan perlu tidaknya distabilisasi setelah dibandingkan dengan yang disyaratkan dalam spesifikasinya.

a. CBR laboratorium rendaman (soaked design CBR)

Pada pengujian CBR laboratorium rendaman pelaksanaannya lebih sulit karena membutuhkan waktu dan biaya relatif lebih besar dibandingkan CBR laboratorium tanpa rendaman. Disini penulis akan menggunakan pengujian CBR rendaman.

b. CBR laboratorium tanpa rendaman (Unsoaked Design CBR)

(47)

Hasil pengujian CBR laboratorium tanpa rendaman sejauh ini selalu menghasilkan daya dukung tanah lebih besar dibandingkan dengan CBR laboratorium rendaman.

2.2. Bahan-bahan penelitian

2.2.1. Tanah lempung (Clay)

Beberapa definisi tanah lempung antara lain:

1. Terzaghi (1987)

Mendefenisikan bahwa tanah lempung sebagai tanah dengan ukuran mikrokonis sampai dengan sub mikrokonis yang berasal dari pelapukan unsur- unsur kimiawi penyusun batuan. Tanah lempung sangat keras dalam keadaan kering dan permeabilitas lempung sangat rendah. Sehingga bersifat plastis pada kadar air sedang. Sedangkan pada keadaan air yang lebih tinggi tanah lempung akan bersifat lengket (kohesif) dan sangat lunak.

(48)

2. Das (1991)

Mendefenisikan bahwa tanah lempung sebagian besar terdiri dari partikel mikroskopis dan sub-mikroskopis (tidak dapat dilihat dengan jelas bila hanya dengan mikroskopis biasa) yang berbentuk lempengan-lempengan pipih dan merupakan partikel-partikel dari mika, mineral-mineral lempung (clay mineral), dan mineral-mineral yang sangat halus lain. Tanah lempung sangat keras dalam kondisi kering dan bersifat plastis pada kadar air sedang. Namun pada kadar air yang lebih tinggi lempung akan bersifat lengket (kohesif) dan sangat lunak.

3. Hardiyatmo (1992)

Mengatakan bahwa sifat-sifat yang dimiliki dari tanah lempung antara lain ukuran butiran halus lebih kecil dari 0,002 mm, permeabilitas rendah, kenaikan air kapiler tinggi, bersifat sangat kohesif, kadar kembang susut yang tinggi dan proses konsolidasi lambat.

4. Bowles (1991)

Mendefinisikan tanah lempung sebagai deposit yang mempunyai partikel berukuran lebih kecil atau sama dengan 0,002 mm dalam jumlah apabila lebih dari 50 %.

Secara umum dalam klasifikasi tanah, partikel tanah lempung memiliki diameter 2µm atau sekitar 0,002 mm (USDA, AASHTO, USCS). Dibeberapa kasus partikel berukuran antara 0,002 mm sampai 0,005 mm masih digolongkan sebagai partikel lempung (ASTM-D-653). Dari segi mineral tanah dapat juga disebut sebagai tanah bukan lempung (non clay soil) meskipun terdiri dari partikel-partikel yang sangat kecil (partikel-partikel quartz, feldspar, mika dapat berukuran sub mikroskopis tetapi umumnya tidak bersifat plastis). Partikel- partikel dari mineral lempung umumnya

(49)

berukuran koloid, merupakan gugusan kristal berukuran mikro, yaitu < 1 µm (2 µm merupakan batas atasnya). Tanah lempung merupakan hasil proses pelapukan mineral batuan induknya, yang salah satu penyebabnya adalah air yang mengandung asam atau alkali, oksigen, dan karbondioksida.

2.2.1.1. Lempung dan mineral penyusun

Mineral lempung merupakan senyawa aluminium silikat yang kompleks.

Mineral ini terdiri dari dua lempung kristal pembentuk kristal dasar, yaitu silika tetrahedra dan aluminium oktahedra. Setiap unit tetrahedra terdiri dari empat atom oksigen yang mengelilingi satu atom silikon dan unit oktahedra terdiri dari enam gugus ion hidroksil (OH) yang mengelilingi atom aluminium (Das, 1991).

Ciri tanah lempung adalah sangat keras dalam keadaan kering dan bersifat plastis pada kadar air sedang sedangkan pada kadar air yang lebih tinggi lempung akan bersifat lengket (kohesif) dan sangat lunak. Kohesif menunjukan bahwa pada keadaan basah tanah memiliki kemampuan gaya tarik-menarik yang besar sehingga partikel- pertikel itu melekat satu sama lainnya sedangkan plastisitas merupakan sifat yang memungkinkan bentuk bahan itu diubah-ubah tanpa perubahan isi atau tanpa kembali ke bentuk aslinya dan tanpa terjadi retakan- retakan atau terpecah-pecah.

Lempung merupakan mineral asli yang mempunyai sifat plastis saat basah, dengan ukuran butir yang sangat halus dan mempunyai komposisi berupa hydrous aluminium dan magnesium silikat dalam jumlah yang besar. Mineral lempung sebagian besar mempunyai struktur berlapis dimana ukuran mineralnya sangat kecil yakni kurang dari 2 µm (1µm = 0,000001m), meskipun ada klasifikasi yang menyatakan bahwa batas atas lempung adalah 0,005 m (ASTM) dan merupakan partikel yang aktif secara elektrokimiawi yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop elektron.

(50)

Bowles (1991) menyatakan bahwa sumber utama dari mineral lempung adalah pelapukan kimiawi dari batuan yang mengandung :

 felspar ortoklas

 felspar plagioklas

 mika (muskovit)

Dimana semuanya itu dapat disebut silikat aluminium kompleks (complex aluminium silicates). Lempung terdiri dari berbagai mineral penyusun, antara lain mineral lempung (kaolinite, montmorillonite dan illite group) dan mineral-mineral lain yang mempunyai ukuran sesuai dengan batasan yang ada (mika group, serpentinite group). Satuan struktur dasar dari mineral lempung terdiri dari silika tetrahedron dan aluminium oktahedron. Satuan-satuan dasar tersebut bersatu membentuk struktur lembaran.

Unit-unit silika tetrahedra berkombinasi membentuk lembaran silika (silica sheet) dan unit-unit oktahedra berkombinasi membentuk lembaran oktahedra (gibbsite sheet). Bila lembaran silika itu ditumpuk di atas lembaran oktahedra, atom- atom oksigen tersebut akan menggantikan posisi ion hidroksil pada oktahedra untuk memenuhi keseimbangan muatan mereka.

(a) (b)

(51)

a Kaolinite

Istilah “kaolinite” dikembangkan dari kata “ Kauling” yang berasal dari nama sebuah bukit yang tinggi di Jauchau Fu, China, dimana lempung kaolinite putih mula-mula diperoleh beberapa abad yang lalu (Bowles, 1991). Kaolinite merupakan hasil pelapukan sulfat atau air yang mengandung karbonat pada temperatur sedang dan umumnya berwarna putih, putih kelabu, kekuning- kuningan atau kecoklat-coklatan.

Struktur unit kaolinite terdiri dari lembaran-lembaran silika tetrahedral yang digabung dengan lembaran alumina oktahedran (gibbsite). Lembaran silika dan gibbsite ini sering disebut sebagai mineral lempung 1:1 dengan tebal kira- kira 7,2 Å (1 Å=10-10 m). Mineral kaolinite berwujud seperti lempengan-

(c) (d)

(e)

Gambar 2.9 Struktur Atom Mineral Lempung ( a ) silica tetrahedra ; ( b ) silica sheet ; ( c ) aluminium oktahedra ; ( d ) lembaran oktahedra (gibbsite) ; ( e )

lembaran silika – gibbsite (Das, 1991).

(52)

lempengan tipis dengan diameter 1000 Å sampai 20000 Å dan ketebalan dari 100 Å sampai 1000 Å dengan luasan spesifik per unit massa ± 15 m2/gr yang memiliki rumus kimia:

(OH)8Al4Si4O10

Keluarga mineral kaolinite 1:1 yang lainnya adalah halloysite. Halloysite memiliki tumpukan yang lebih acak dibandingkan dengan kaolinite sehingga molekul tunggal dari air dapat masuk. Halloysite memiliki rumus kimia sebagai berikut.

(OH)8Al4Si4O10 . 4H2O

Gambar dari struktur kaolinite dapat dilihat dalam Gambar 2.8.

Gambar 2.10 Struktur Kaolinite (Das, 1991)

b Illite

Illite adalah mineral lempung yang pertama kali diidentifikasi di Illinois.

Mineral illite bisa disebut pula dengan hidrat-mika karena illite mempunyai hubungan dengan mika biasa (Bowles, 1991). Mineral illite memiliki rumus kimia sebagai berikut:

(OH)4Ky(Si8-y . Aly)(Al4. Mg6 .Fe4 . Fe6)O20

(53)

Dimana y adalah antara 1 dan 1,5. Illite memiliki formasi struktur satuan kristal, tebal dan komposisi yang hampir sama dengan montmorillonite.

Perbedaannya ada pada :

 Kalium (K) berfungsi sebagai pengikat antar unit kristal sekaligus sebagai penyeimbang muatan.

 Terdapat ± 20% pergantian silikon (Si) oleh aluminium (Al) pada lempeng tetrahedral.

 Struktur mineral illite tidak mengembang sebagaimana montmorillonite.

Pembentukan mineral lempung yang berbeda disebabkan oleh subtitusi kation-kation yang berbeda pada lembaran oktahedral. Bila sebuah anion dari lembaran oktahedral adalah hydroxil dan dua per tiga posisi kation diisi oleh aluminium maka mineral tersebut disebut gibbsite dan bila magnesium disubstitusikan kedalam lembaran aluminium dan mengisi seluruh posisi kation, maka mineral tersebut disebut brucite. Struktur mineral illite dapat dilihat dalam Gambar 2.9

Gambar 2.11 Struktur Illite (Das, 1991) c Montmorillonite

Montmorillonite adalah nama yang diberikan pada mineral lempung yang ditemukan di Montmorillon, Perancis pada tahun 1847 yang memiliki rumus kimia:

(54)

(OH)4Si8Al4O20 . nH2O

Dimana nH2O adalah banyaknya lembaran yang terabsorbsi air. Mineral montmorillonite juga disebut mineral dua banding satu (2:1) karena satuan susunan kristalnya terbentuk dari susunan dua lempeng silika tetrahedral mengapit satu lempeng alumina oktahedral ditengahnya.

Struktur kisinya tersusun atas satu lempeng Al2O3 diantara dua lempeng SiO2. Inilah yang menyebabkan montmorillonite dapat mengembang dan mengkerut menurut sumbu C dan mempunyai daya adsorbsi air dan kation lebih tinggi. Tebal satuan unit adalah 9,6 Å (0,96 μm), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.16. Gaya Van Der Walls mengikat satuan unit sangat lemah diantara ujung-ujung atas dari lembaran silika, oleh karena itu lapisan air (nH2O) dengan kation dapat dengan mudah menyusup dan memperlemah ikatan antar satuan susunan kristal. Sehingga menyebabkan antar lapisan terpisah. Ukuran unit massa montmorillonite sangat besar dan dapat menyerap air dengan sangat kuat sehingga mudah mengalami proses pengembangan. Gambar dari struktur kaolinite dapat dilihat di dalam Gambar 2.10.

Gambar 2.12 Struktur Montmorillonite (Das, 1991)

(55)

2.2.1.2 Sifat umum tanah lempung

Bowles (1991) menyatakan beberapa sifat umum mineral lempung adalah:

1. Hidrasi

Partikel lempung hampir selalu mengalami hidrasi, hal ini disebabkan karena lempung biasanya bermuatan negatif, yaitu partikel dikelilingi oleh lapisan- lapisan molekul air yang disebut sebagai air teradsorbsi (adsorbed water).

Lapisan ini umumnya memiliki tebal dua molekul. Sehingga disebut sebagai lapisan difusi (diffuse layer) lapisan difusi ganda atau lapisan ganda.

2. Aktivitas

Aktivitas tanah lempung adalah perbandingan antara Indeks Plastisitas (IP) dengan persentase butiran lempung, dan dapat disederhanakan dalam persamaan:

(2.23)

Dimana persentase lempung diambil sebagai fraksi tanah yang < 2 µm untuk nilai A (Aktivitas),

A > 1,25 : tanah digolongkan aktif dan bersifat ekspansif 1,25 <A< 0,75 : tanah digolongkan normal

A < 0,75 : tanah digolongkan tidak aktif.

Nilai- nilai khas dari aktivitas dapat dilihat pada Tabel 2.4.

𝐴 = 𝑃𝐼

𝑓𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ 𝑙𝑒𝑚𝑝𝑢𝑛𝑔

Gambar

Gambar 2.3 Cawan Cassagrande dan Grooving Tool (Hardiyatmo, 1992)
Tabel 2.3 Berat Spesifik Tanah
Gambar 2.4 Klasifikasi tanah sistem USCS (Das, 1991)
Gambar 2.7 Klasifikasi Tanah berdasarkan tingkat ekspansif menurut Prof. William
+7

Referensi

Dokumen terkait

Iklan itu hanya &#34;mengambilalih&#34; sesuatu yang dianggap wajar dan seharusnya terjadi dalam kehidupan, yakni salah satu jenis pekerjaan yang melekat pada perempuan sebagai

Selanjutnya pada bagian jari tengah memegang pangkal atau tepian dari ujung tali bagian belakang lembing yaitu dengan cara melingkarkan, ditopang dengan ibu jari berada di tepi

7) aspek merencanakan percobaan, yaitu kemampuan menentukan obyek yang akan diteliti, alat dan bahan yang akan digunakan, menentukan variabel yang akan diamati dan

Berdasarkan hasil analisis yang sudah dijelaskan pada bagian variabel niat berkunjung kembali, dalam variabel tersebut masih banyak responden yang menjawab

When you’re ready, you’ll want to Review Code with other team members (and we’ll look at that on page 165 ).. As the project rolls along and you complete tasks and take on new ones,

LEMBAR BUKU INDUK ANAK DIDIK

Menurut pendapat kami, laporan keuangan yang kami sebut di atas menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan PT Asuransi Dayin Mitra Tbk tanggal 31

[r]