• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masa Jabatan Presiden dan Merosotnya Kinerja Demokrasi Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Masa Jabatan Presiden dan Merosotnya Kinerja Demokrasi Indonesia"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi

Jl. Tebet Barat Dalam II C No.14, Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta info.spdindonesia@gmail.com | literasipolitik.org

Masa Jabatan Presiden dan Merosotnya Kinerja Demokrasi Indonesia

Isu masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden tiga periode belakangan ramai diperbincangkan. Relawan Presiden Joko WIdodo (Jokowi), yakni Jokpro 2024 mendorong Jokowi untuk kembali maju dalam Pilpres 2024 nanti. Hal tersebut jelas bertentangan dengan konstitusi yang mengatur tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, tepatnya dalam Pasal 7 UUD 1945 paska- amandemen. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, kemudian dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan. Disini jelas bahwa Presiden dan Wakil Presiden hanya diperbolehkan untuk “berkuasa”

selama dua periode.

Undang-Undang yang berlaku memang hanya memperbolehkan Presiden dan Wakil Presiden “berkuasa” selama dua periode. Bukan hal yang mustahil untuk mengubahnya menjadi tiga periode. Hal tersebut dapat terjadi apabila amandemen UUD 1945 kembali dilakukan. Namun, belajar dari Orde Lama ketika masa jabatan presiden berlaku seumur hidup, dan Orde Baru ketika pemilu hanya digunakan sebagai formalitas untuk melanggengkan kekuasaan hinga 32 tahun, maka pembatasan masa jabatan presiden selama dua periode merupakan solusi terbaik. Selain itu, wacana masa jabatan presiden menjadi tiga periode tentu bertentangan dengan semangat reformasi, yaitu mencegah otoritarianisme dan mendorong regenerasi kepemimpinan nasional.

Berdasarkan penelusuran Tempo, selain skenario membuka peluang masa jabatan tiga periode melalui pemilihan umum, terdapat skenario perpanjangan masa jabatan presiden maksimal tiga tahun. Perpanjangan tersebut disertai dengan penambahan masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Padahal dalam hal ini jelas masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, DPR dan DPD dalam satu periode adalah lima tahun. Adanya kedua skenario tersebut, mengindikasikan terdapat kepentingan dari pihak-pihak tertentu untuk mempertahankan kekuasaan dan semakin melemahkan peran oposisi sebagai kekuatan penyeimbang kekuasaan.

Refleksi Demokrasi Indonesia

2020

(2)

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi

Jl. Tebet Barat Dalam II C No.14, Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta info.spdindonesia@gmail.com | literasipolitik.org

Lemahnya regenerasi politik dan potensi otoritarianisme.

Apabila wacana perpanjangan masa jabatan tiga tahun dan penambahan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden menjadi tiga periode benar diterapkan, dikhawatirkan hal tersebut akan menyebabkan:

1. Fungsi partai politik dalam meregenerasi kader tidak berjalan dengan baik. Sebagai salah satu unsur dari negara demokrasi, partai politik memiliki fungsi untuk melakukan rekrutmen dan kaderisasi politik yang nantinya akan meneruskan kepemimpinan suatu pemerintahan dengan jabatan tertentu. Partai politik harus membuka kesempatan bagi warga negara untuk turut serta berpartisipasi politik dalam dan senantiasa melahirkan kader-kader yang potensial. Maka, penambahan masa jabatan menjadi tiga periode maupun perpanjangan masa jabatan tiga tahun, sama halnya parpol tidak menghendaki regenerasi kader terbaiknya dalam kepemimpinan nasional.

2. Indikasi terjadinya otoritarianisme politik. Sebelumnya Indonesia telah memiliki sejarah yang kurang baik pada masa Demokrasi Terpimpin dengan masa jabatan presiden seumur hidup. Iklim politik pada masa itu justru mengarah ke otoriter, yaitu dengan adanya Tap MPRS No.

III/MPRS/1963 tentang pengangkatan Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Pada masa Orde Baru, aturan mengenai masa jabatan presiden kembali ke Pasal 7 UUD 1945. Namun, meskipun masa jabatan dibatasi selama 5 tahun, pasal tersebut tak mengatur mengenai batasan berapa periode seseorang bisa menjabat sebagai presiden. Hal itulah yang kemudian membuat presiden Soeharto dapat mempertahankan kekuasaannya hingga 32 tahun, sebelum akhirnya dilengserkan. Maka, memaksakan penambahan masa jabatan presiden hanya akan mengulang sejarah kelam otoritarianisme politik di Indonesia.

3. Indikasi adanya kepentingan dari beberapa pihak tertentu untuk mempertahankan status quo kekuasaan. Penambahan masa jabatan menjadi tiga periode dirasa kurang tepat jika tujuannya hanya untuk menghilangkan polarisasi dan pembelahan social di masyarakat paska Pilpres 2014 dan 2019. Justru indikasi lain yang muncul adalah upaya untuk terus mempertahankan kekuasaan dengan cara yang mnecederai demokrasi.

4. Indikasi melemahkan peran oposisi sebagai kekuatan penyeimbang kekuasaan. Oposisi sejatinya bukan hanya sikap asal berbeda atau melawan kebijakan pemerintah, namun upaya untuk mengontrol tegas

(3)

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi

Jl. Tebet Barat Dalam II C No.14, Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta info.spdindonesia@gmail.com | literasipolitik.org

sekaligus memberi alternatif kebijakan pemerintah. Dapat dikatakan saat ini peran oposisi tampak redup karena posisinya yang tak seimbang dengan parpol pendukung pemerintah. Pada periode kedua ini, pemerintahan Presiden Jokowi disokong oleh enam dari sembilan fraksi di parlemen. Maka, penambahan masa jabatan tiga periode sama halnya dengan semakin melemahkan peran oposisi. Apa yang akan terjadi adalah ketidakstabilan dan ketimpangan karena distribusi kekuasaan terlampau didominasi petahana.

Merosotnya Kinerja Demokrasi Indonesia

The Economist Intelligence Unit (EIU) telah merilis Laporan Indeks Demokrasi 2020. EIU menyebut secara global indeks demokrasi dunia mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun lalu. Tercatat rata-rata skor indeks demokrasi dunia tahun ini adalah 5.37, menurun dari yang sebelumnya 5.44. Angka ini tercatat sebagai rata-rata skor terendah sejak EIU merilis laporan tahunannya pada 2006 silam. Indonesia sendiri menduduki peringkat ke-64 dengan skor 6.3. Meskipun dalam segi peringkat Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, namun skor tersebut mengalami penurunan dari yang sebelumnya 6.48. Ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Sehingga demokrasi Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi yang cacat.

Terbaru, International IDEA meluncurkan Indeks Negara Demokrasi Global Tahun 2020 pada 23 Juni 2021. Tercatat indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan dalam sejumlah aspek, di antaranya:

1. Indeks kebebasan partai politik mengalami penurunan, dari sebelumnya tahun 2019 senilai 0.57 menjadi 0.54 pada tahun 2020. Menurunnya aspek ini dapat dilihat dari beberapa hal, di antaranya:

a. Sejauhmana partai politik bebas untuk dibentuk. Syarat pendirian partai dapat dikatakan sangat sulit. Aturannya tertuang dalam Pasal 2 UU No. 2/2011 tentang Parpol. Salah satu syaratnya adalah bahwa partai politik harus didirikan oleh setidaknya 30 orang WNI yang telah berusia 21 tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi. Regulasi lain yang sangat memberatkan parpol untuk menjadi peserta Pemilu 2019 mengacu pada UU No. 7 tahun 2017. Syarat partai politik untuk menjadi peserta Pemilu diperketat, yaitu partai politik peserta pemilu harus memiliki kepengurusan di seluruh provinsi, memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, dan memiliki kepengurusan di 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan.

(4)

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi

Jl. Tebet Barat Dalam II C No.14, Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta info.spdindonesia@gmail.com | literasipolitik.org

b. Partai politik khususnya partai-partai baru dan partai kecil semakin terbatasi untuk mengikuti pemilu dan masuk ke dalam parlemen akibat adanya ambang batas yang cukup tinggi. Ambang batas parlemen yang meningkat dari 3.5% menjadi 4% pada Pileg 2019 berkonsekuensi pada semakin banyaknya suara terbuang. Hanya 9 partai politik yang mampu lolos ambang batas parlemen dan lainnya 7 tidak lolos. Sehingga sebanyak 9,7% atau setara dengan 13.594.842 suara pemilih terbuang (tidak terkonversi menjadi kursi). Hal lain, ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden sebanyak 20%

suara dan 25% kursi DPR juga membatasi hak pilitik warga negara untuk dipilih serta menjadi faktor yang dominan yang menghambat munculnya alternatif pilihan calon presiden/wakil presiden.

c. Sentralisasi partai politik. Intervensi pusat dalam penentuan kandidasi Pilkada menghilangnkan kedaulatan partai politik di daerah. Partai di daerah cenderung kurang memiliki kebebasan/kedaulatan dalam menentukan calon yang akan diusung dalam Pilkada. Hal ini akibat adanya intervensi berupa surat rekomendasi dari DPP.

2. Indeks demokrasi lokal mengalami penurunan, dari sebelumnya tahun 2019 senilai 0.71 menjadi 0.62. Beberapa indicator penurunan yang perlu diperhatikan yaitu:

a. Dinasti politik pada Pilkada 2020. Yang terjadi, dinasti politik pada Pilkada 2020 mengalami peningkatan tajam. Terdapat 158 calon yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elit politik. Dinasti politik berdampak pada berkumpulnya kekuasaan di satu tangan dengan sokongan dari orang-orang di lingkaran kekuasaan yang sudah ada.

Lingkaran dinasti politik itu kemudian akan saling menjaga kepentingan satu sama lain.

b. Tren pasangan calon perseorangan mengalami penurunan. Pada Pilkada 2015, diikuti 135 calon perseorangan. Pilkada 2017 turun menjadi 68 calon, Pilkada 2018 menjadi 8 calon. Terakhir pada Pilkada 2020 terdapat 23 pasangan calon. Setidaknya terdapat dua hambatan bagi pasangan calon perseorangan, yaitu syarat dukungan yang kian diperberat dalam UU Pilkada No. 10 tahun 2016 dan jalur perseorangan kerap digunakan oleh elite politik sebagai alternatif dari jalur partai politik.

c. Calon tunggal mengalami peningkatan. Pada Pilkada 2015, jumlah calon tunggal sebanyak 3 pasangan calon, menjadi 9 paslon pada 2017, kemudian 16 paslon pada 2018, dan menjadi 25 paslon pada tahun 2020.Calon tunggal muncul di tengah sistem multipartai yang diterapkan di Indonesia. Padahal mengusung calon dari kader sendiri merupakan hal yang sangat penting demi eksistensi partai. Namun

(5)

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi

Jl. Tebet Barat Dalam II C No.14, Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta info.spdindonesia@gmail.com | literasipolitik.org

yang terjadi, calon tunggal menimbulkan fenomena borong dukungan dari partai politik, yang mengakibatkan minimnya kompetisi.

3. Indeks kebebasan sipil mengalami penurunan, dari sebelumnya tahun 2019 senilai 0.64 menjadi 0.59. Beberapa indicator penurunan yang perlu diperhatikan yaitu:

a. Pemerintahan anti-kritik. Beberapa hal yang mengarah pada pemerintahan anti kritik seperti adanya RUU KUHP terkait pasal penghinaan presiden. Penerapan pasal ini berpotensi disalahgunakan oleh penguasa dan berpeluang untuk mengancam kebebasan berpendapat. Terbaru adalah soal BEM UI yang mengkritik Presiden Jokowi dalam media sosialnya. Hal tersebut berujung pada peretasan beberapa akun social media pengurus BEM UI. Apabila hal semacam ini terus terjadi, maka semakin menguatkan indikasi pemerintahan anti-kritik.

Merefleksikan kondisi demokrasi Indonesia saat ini, wacana presiden 3 periode atau perpanjangan masa jabatan presiden hanya akan memperburuk proses konsolidasi demokrasi Indonesia yang dibangun paska reformasi. Sudah selayaknya baik penguasa maupun kekuatan politik lainnya untuk berhenti mengusung gagasan tersebut.

Saat ini, pemerintahan terpilih memiliki tantangan untuk menyelesaikan sejumlah persoalan yang dihadapi bangsa ini. Tingkat kepuasan publik yang menurun terhadap pemerintah dalam penangan pandemic dan pemulihan ekonomi seharusnya menjadi concern utama yang harus dijawab oleh pemeritahan saat ini.

Selain itu, pekerjaan rumah penting dalam mendorong penguatan demokrasi pada perhelatan Pemilu 2024 seharusnya dimulai dengan agenda perubahan UU Pemilu yang fokus pada peniadaan segala hambatan masuk pemilu dan menedorong regenerasi kepemimpinan nasional. Kesepakatan Pemerintah dan DPR untuk “meniadakan” agenda revisi UU Pemilu hendaknya untuk ditinjau ulang.

Narahubung:

Aqidatul Izza Zain, Peneliti SPD (+62 857-4545-0959) Erik Kurniawan, Peneliti SPD (+62 819-3293-0908)

Referensi

Dokumen terkait

- Backpropagation dibuat untuk menggeneralisasi aturan belajar Widrow-Hoff terhadap jaringan berlapis banyak dan fungsi transfer diferensiabel.. - Pada proses belajar,

Tujuan dari kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Jurusan Tata Busana, Tata Boga dan Tata Kecantikan Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang tahun 2012 ini antara

Kepada Bapak Josia Soeharto selaku Direktur Pemasaran PT Cahaya Tirta Rasa (Tong Tji) yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menjadikan Tong Tji Tea House

keseimbangan uang riil adalah fungsi dari pendapatan (Y) dan tingkat bunga nominal (i). Semakin tinggi tingkat pendapatan Y,

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Visual Auditorial Kinestetik (VAK) terhadap

Karier saya sebagai petugas lapas dimulai dari bawah, saya sendiri memang tidak masuk dari jalur akademi yang memang disiapkan untuk menjadi pejabat Lapas,saya menjadi pegawai

Pada tekstur tanah pasir yang memiliki ruang pori yang besar maka drainasenya akan tinggi sehingga permeabilitasnya pun akan semakin cepat namun tekstur tanah liat memiliki aliran

memperoleh pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran Cooperatif Script dengan handout, Cooperatif Script dan pembelajaran