• Tidak ada hasil yang ditemukan

REMUNERASI, PELATIHAN, KECERDASAN EMOSIONAL, KECERDASAN SPIRITUAL DAN KINERJA AUDITOR DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "REMUNERASI, PELATIHAN, KECERDASAN EMOSIONAL, KECERDASAN SPIRITUAL DAN KINERJA AUDITOR DIREKTORAT JENDERAL PAJAK"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

KECERDASAN SPIRITUAL DAN KINERJA AUDITOR DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

Novanianto Rendra K.P.

putranov@gmail.com Akhmad Riduwan Bambang Suryono

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya ABSTRACT

Performance can be define as level of accomplishment in conducting job responsibility.

Generally, performance measurement is related with three aspects, those are: quantity aspect, quality aspect and cooperative aspect. The objective of this research is for testing and knowing the effect of remuneration, training, emotional quotient and spiritual quotient to the auditor performance at General Directorate of Taxes. This research is a quantitative study, determining sample using purposive sampling/judgment sampling. The data is analyzed with multiple regression analysis models.

The results of research show that remuneration, training, emotional quotient and spiritual quotient have positive effects to the auditor performance partially. The practical benefits of this research can be a reference or opinion to the Directorate-General of Taxes in order to improve the ability of Auditors in carrying out their tasks with more give attention related to remuneration, the development of training, upgrade of emotional and spiritual quotient (ESQ), so it can work with more optimal.

Keywords: tax auditor, performance, remuneration, training, emotional quotient and spiritual quotient.

ABSTRAK

Kinerja dapat diartikan sebagai tingkatan sampai sejauh mana keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan tugas pekerjaannya. Pengukuran kinerja pada umumnya terkait dengan tiga aspek, yaitu: tingkat kuantitas, tingkat kualitas dan tingkat kerjasama.

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk menguji dan mengetahui apakah terdapat pengaruh positif dari remunerasi, pelatihan, kecerdasan emosional, dan spiritual auditor terhadap kinerja auditor pada Direktorat Jenderal Pajak. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, penentuan sampel menggunakan purposive/judgment sampling. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa remunerasi, pelatihan, kecerdasan emosional dan spiritual memiliki pengaruh positif terhadap kinerja auditor pada Direktorat Jenderal Pajak secara parsial. Manfaat praktis penelitian ini dapat menjadi referensi atau masukan kepada Direktorat Jenderal Pajak agar lebih meningkatkan kemampuan auditor mereka dalam melaksanakan tugas dengan lebih memberikan perhatian terkait dengan pemberian remunerasi, pengembangan keahlian melalui pelatihan, pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual (ESQ), sehingga dapat bekerja dengan lebih optimal.

Kata-kata kunci: auditor pajak, kinerja, remunerasi, pelatihan, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.

(2)

PENDAHULUAN

Penelitian ini mengangkat isu peningkatan remunerasi, pelatihan, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual untuk memperbaiki kinerja auditor pada Direktorat Jenderal Pajak. Visi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah menjadi institusi pemerintah yang menyelenggarakan sistem administrasi perpajakan modern yang efektif, efisien, dan dipercaya masyarakat dengan integritas dan profesionalisme yang tinggi. Namun dalam kenyataannya, citra DJP di mata masyarakat adalah sangat buruk. Instansi ini dianggap sebagai salah satu instansi yang korup. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh petugas pajak, khususnya para pemeriksa pajak.

Peran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai salah satu tulang punggung penerimaan negara sangat vital, dimana penerimaan negara dari pajak merupakan bagain yang terbesar. Hal ini dapat dilihat dari target penerimaan perpajakan tahun 2012 yang dinaikkan menjadi Rp 1.024,3 triliun dari tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp 878,7 triliun.

Target dinaikkan karena perekonomian nasional diperkirakan kembali normal mulai tahun 2012 setelah didera krisis keuangan global yang menurunkan penerimaan perpajakan sekitar Rp 100 triliun pada 2010. (Direktorat Jenderal Pajak, 2012).

Perbaikan sistem remunerasi atau kesejahteraan adalah bagian dari manajemen SDM yang diawali sejak rekrutmen, pembinaan karier, hingga pensiun. Berkaitan dengan hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani, memberikan pernyataan untuk menanggapi pertanyaan pers yang mempertanyakan upaya reformasi birokrasi dikaitkan dengan remunerasi (Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2012) : “Upaya reformasi yang dilakukan oleh Direktorat jenderal Pajak atau Departemen Keuangan menjadi tidak kontraproduktif apabila cara pandang terhadap program reformasi tidak hanya dikerdilkan dan dikaitkan semata dengan pemberian remunerasi”.

Remunerasi yang ada di tubuh Kementerian Keuangan adalah penataan kembali pemberian imbalan kerja berupa tunjangan yang dikenal dengan Tunjangan Pembinaan Keuangan Negara (TKPKN) dan Tunjangan Kegiatan Tambahan (TKT) dengan didasarkan atas tingkat tanggung jawab dan risiko jabatan/pekerjaan yang diemban.

Radjagukguk (2007) meneliti pengaruh antara program modernisasi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Gambir Empat berupa (1) pemberian hadiah kepada pegawai pajak, (2) kecepatan pelayanan, (3) sikap ramah dan sopan santun, (4) kemampuan dan penguasaan peraturan perpajakan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sistem remunerasi mempunyai pengaruh terhadap kualitas kinerja pegawai.

Kebijakan remunerasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi birokrasi. Hal ini dilatarbelakangi kesadaran bahwa dalam mewujudkan clean and good governance tidak mungkin akan dapat dilaksanakan dengan baik (efektif) tanpa kesejahteraan yang layak dari pegawai.

Salah satu bentuk pembenahan dalam reformasi birokrasi jilid I adalah dengan dibentuknya unit kepatuhan internal yaitu Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA). Tugas dan fungsi dari Direktorat KITSDA adalah melakukan pengawasan internal di lingkungan DJP. Pengawasan internal di DJP pada intinya bersifat preventif dan represif, pengawasan bersifat preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pegawai DJP.

Sedangkan pengawasan yang bersifat represif dilakukan dengan cara menindak penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pegawai DJP. Penyimpangan- penyimpangan yang dimaksud adalah pelanggaran aturan disiplin Pegawai Negeri Sipil dan pelanggaran kode etik DJP (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.03/2007. (2007).

Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pegawai DJP tersebut menunjukkan buruknya kinerja aparat pajak pada umumnya dan para pemeriksa (auditor)

(3)

pajak pada khususnya. Mereka tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya, tetapi menyalahgunakan wewenang untuk mengambil keuntungan pribadi. Padahal DJP telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong kinerja para pemeriksa (auditor) pajak. Salah satu upaya yang dilakukan oleh DJP adalah menyelenggarakan program pelatihan bagi para auditor pajak.

Kasus tersebut menunjukkan buruknya kinerja aparat pajak pada umumnya dan para pemeriksa (auditor) pajak pada khususnya. Mereka tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya, tetapi menyalahgunakan wewenang untuk mengambil keuntungan pribadi. Padahal DJP telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong kinerja para pemeriksa (auditor) pajak. Salah satu upaya yang dilakukan oleh DJP adalah menyelenggarakan program pelatihan bagi para auditor pajak.

Pelatihan adalah suatu usaha untuk meningkatkan atau memperbaiki kinerja karyawan dalam pekerjaannya sekarang dan dalam pekerjaan lain yang terkait dengan yang sekarang dijabatnya, baik secara individu maupun sebagai bagian dari sebuah tim kerja.

(Ruky, 2001). Pelatihan yang dilakukan oleh auditor akan memiliki pengaruh terhadap kualitas audit (pemeriksaan) atau kinerja auditor. Dengan demikian, seharusnya para auditor pajak yang telah diberi pelatihan memiliki kinerja yang baik, misalnya tidak menyelewengkan wewenang untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, yang dipermasalahkan terkait dengan buruknya kinerja para auditor pajak di sini adalah bagaimana efektifitas pelatihan yang diberikan dalam menunjang kinerja auditor pajak di lapangan.

Selain itu, perlu juga dicermati pula adanya fakta baru yang memungkinkan untuk digunakan dalam perbaikan kinerja auditor pajak pada DJP. Memasuki abad 21, paradigma lama tentang anggapan bahwa IQ (Intelligence Quotient) sebagai satu-satunya tolok ukur kecerdasan, yang juga sering dijadikan parameter keberhasilan dan kesuksesan kinerja Sumber Daya Manusia, digugurkan oleh munculnya konsep atau paradigma kecerdasan lain yang ikut menentukan kesuksesan dan keberhasilan seseorang dalam hidupnya.

Menurut penelitian yang dilakukan Goleman menyebutkan pengaruh IQ hanyalah sebesar 20% saja, sedangkan 80% dipengaruhi oleh faktor lain termasuk di dalamnya EQ.

Dengan demikian, IQ dapat dikatakan gagal dalam menerangkan atau mempengaruhi kesuksesan seseorang (Goleman, 2000).

Kini juga telah ditemukan jenis kecerdasan ketiga yang melengkapi dua jenis kecerdasan di atas (IQ dan EQ). Kecerdasan tersebut adalah Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient/SQ). Kecerdasan Spiritual lahir seiring ditemukannya GOD SPOT (Titik Tuhan) dalam otak manusia yang dapat melejitkan kemampuan dua kecerdasan sebelumnya ke tingkat yang tak terbayangkan.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai salah satu tulang punggung penerimaan negara seharusnya bisa memanfaatkan kenyataan di atas untuk meningkatkan kemampuan para pegawainya secara umum dan para pemeriksa (auditor pajak) pada khususnya. Para pemeriksa merupakan ujung tombak DJP karena tugas pemeriksaan memiliki peran yang sangat penting. Pemeriksaan bertujuan untuk membina dan menguji kepatuhan wajib pajak dalam menjalankan kewajibannya sesuai peraturan perpajakan yang ada. Kepatuhan wajib pajak dalam pemenuhan kewajibannya pada akhirnya diharapkan akan meningkatkan penerimaan pajak.

Seperti telah diuraikan di atas, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual ternyata mampu meningkatkan kemampuan manusia. Untuk kecerdasan intelektual, DJP sudah memperhatikannya sejak proses rekruitmen para pegawainya. Sedangkan dua kecerdasan lainnya yaitu kecerdasan emosional dan spiritual sampai saat ini belum diberikan perhatian lebih oleh DJP. Dengan demikian, DJP seharusnya

(4)

segera melakukan pembinaan kecerdasan emosional dan spiritual terhadap para pemeriksa pajak.

Tanpa kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, kinerja para pemeriksa kemungkinan besar akan melenceng dari kinerja yang diharapkan oleh DJP. Kondisi tersebut disebabkan oleh banyaknya hambatan dan godaan dalam pelaksanaan pemeriksaan. Hambatan dan godaan tersebut misalnya adalah tuntutan pemenuhan batas waktu pemeriksaan, kurang kooperatifnya wajib pajak, tawaran untuk melakukan kolusi dari wajib pajak, dan lain- lain.

Beberapa penelitian juga menunjukkan adanya pengaruh positif kecerdasan emosional dan spiritual terhadap kinerja auditor. Penelitian tersebut diantaranya adalah Surya dan Hananto (2004), dan Sufnawan (2006). Namun demikian, penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya adalah pengaruh kecerdasan emosional dan spiritual (ESQ) terhadap kinerja auditor pada kantor akuntan publik.

Dengan alasan- alasan tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian ulang atau replikasi penelitian atas responden para auditor pajak untuk menguji apakah remunerasi, pelatihan, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual berpengaruh positif secara signifikan terhadap kinerja auditor yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak. Bila hasil penelitian menyatakan bahwa memang terdapat hubungan positif yang signifikan, maka diharapkan Direktorat Jenderal Pajak dapat menerapkan dan meningkatkan kualitas dari ketiga aspek yang terkait langsung dengan kinerja para auditor pajak pada Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana tersebut di atas.

Berdasarkan permasalahan terdapat pada latar belakang, yaitu rendahnya kinerja karena belum diberikannya perhatian lebih terhadap usaha peningkatan remunerasi, pelatihan, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual para pemeriksa DJP dalam rangka meningkatkan kinerjanya, maka yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah remunerasi, pelatihan, kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ) auditor berpengaruh terhadap kinerja para auditor pada Direktorat Jenderal Pajak?” Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk menguji dan mengetahui apakah terdapat pengaruh dari remunerasi, pelatihan, kecerdasan emosional, dan spiritual auditor terhadap kinerja auditor di Direktorat Jenderal Pajak

TINJAUAN TEORETIS DAN HIPOTESIS Remunerasi

Remunerasi atau kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima oleh karyawan sebagai balas jasa untuk kerja mereka. (Soekidjo, 1998 : 143). Remunerasi merupakan apa yang diterima oleh para karyawan sebagai ganti kontribusi mereka kepada organisasi, dimana komponen-komponennya dapat dibagi dalam bentuk : Remunerasi financial langsung yang meliputi : gaji/upah, insentif, merit pay, kenaikan gaji berkala, remunerasi financial tidak langsung yang meliputi : Asuransi, tunjangan dan fasilitas kantor, serta remunerasi non financial yang terdiri dari : pekerjaan dan lingkungan pekerjaan. (Simamora, 1997 : 541).

Remunerasi adalah semua pendapatan yang berbentuk uang atau barang, langsung atau tidak langsung yang diterima karyawan sebagai imbalan atau jasa yang diberikan kepada perusahaan. (Hasibuan, 2002 : 133). Remunerasi juga merupakan segala sesuatu yang diterima para karyawan sebagai balas jasa untuk kerja mereka. (Handoko, 1994 : 155).

Imbalan atau kompensasi ataupun remunerasi mempunyai cakupan yang lebih luas daripada upah atau gaji. Imbalan mencakup “semua pengeluaran yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk pekerja dan diterima atau dinikmati oleh pekerja, baik secara langsung, rutin atau tidak langsung (Ruky, 2001).

(5)

Program remunerasi merupakan salah satu program reformasi birokrasi yang telah dicanangkan pemerintah melalui pemberian tunjangan tembahan yang diberikan oleh lembaga sesuai dengan kinerja yang telah dilakukan oleh masing-masing pelaku kerja sebagai imbalan atau jasa kinerja yang dihasilkan. Paling tidak ada 12 lembaga pemerintahan yang sedang mengalami reformasi birokrasi salah satu diantaranya Departemen Keuangan.

Dari pengertian-pengertian remunerasi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa remunerasi merupakan segala sesuatu yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawannya baik berupa uang atau barang, langsung atau tidak langsung sebagai balas jasa atas kerja mereka. Remunerasi / balas jasa yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawannya secara umum dapat digolongkan menjadi dua yaitu remunerasi langsung yang biasanya terdiri dari upah, gaji, dan insentif serta remunerasi tidak langsung atau yang lebih dikenal dengan program kesejahteraan karyawan atau program tunjangan karyawan.

Remunerasi dibedakan menjadi dua : remunerasi langsung berupa gaji, upah, upah insentif dan remunerasi tidak langsung (employee welfare) atau kesejahteraan karyawan.

(Hasibuan, 2002 : 133). Remunerasi langsung adalah remunerasi yang diberikan kepada karyawan dimana besarnya remunerasi tersebut tergantung dari prestasi kerja masing- masing karyawan. Remunerasi ini berhubungan langsung dengan tugas atau pekerjaan karyawan itu sendiri. Remunerasi langsung merupakan remunerasi yang pemberiannya lebih mengarah pada bentuk finansial seperti gaji, upah, dan upah insentif. Sedangkan remunerasi tidak langsung, diantaranya ada yang menggunakan istilah remunerasi tambahan, program tunjangan karyawan, benefit and services, dan lain-lain.

Jenis imbalan / remunerasi dibagi kedalam dua kategori yaitu berbentuk ekstrinsik dan instrinsik (Hasibuan, 2002 : 303). Imbalan ekstrinsik adalah imbalan eksternal atas pekerjaan seperti pembayaran upah dan gaji, pembayaran insentif, kenaikan gaji berkala, pemberian jaminan asuransi, pemberian tunjangan, tugas-tugas yang menantang, beban dan tanggung jawab atas pekerjaan dan suasana / rekan kerja yang mendukung, sementara imbalan yang bersifat instrinsik adalah penghargaan yang menjadi bagian dari pekerjaan itu sendiri, meliputi : fasilitas kantor, penghargaan atas tugas yang menarik, pengakuan atas pekerjaan, promosi yang sehat, supervisor yang kompeten, lingkungan kerja yang nyaman.

Sukses atau gagalnya sistem remunerasi tergantung pada bagaimana sistem tersebut sesuai dengan konteks organisasi dan keseluruhan sistem organisasi dimana sistem remunerasi dilaksanakan. Keberhasilan dalam mendesain, mengelola, dan memodifikasi sistem remunerasi, diharapkan mengembangkan kerangka kerja strategis dan faktor-faktor penentu strategis remunerasi yang paling sesuai. Karena masing-masing strategi manajerial ini akan dapat mencerminkan asumsi yang berbeda tentang karyawan dan bagaimana mereka seharusnya diatur.

Dari pendapat tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa remunerasi adalah segala sesuatu yang diberikan perusahaan kepada para pegawai/karyawan sebagai balas jasa atas prestasi yang telah dilakukan, baik berupa uang, barang maupun jasa. Agar kinerja, motivasi, kepuasan kerja dan budaya kerja pegawai semakin meningkat, amatlah penting bagi perusahaan untuk menetapkan pemberian remunerasi yang adil dan layak sehingga tercipta suatu keseimbangan antara keinginan individu disatu pihak dan keinginan perusahaan dilain pihak.

Pelatihan

Pelatihan didefinisikan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan atau memperbaiki kinerja karyawan dalam pekerjaannya sekarang dan dalam pekerjaan lain yang terkait dengan yang sekarang dijabatnya, baik secara individu maupun sebagai bagian dari sebuah

(6)

tim kerja. (Ruky, 2001). Kata pelatihan (training) sering dirancukan dengan kata pengembangan (development). Pelatihan dilakukan dalam jangka pendek, dalam hal ini ada dua katagori yaitu pelatihan bagi calon pegawai disebut “ Pre-service training” dan pelatihan bagi pegawai yang sudah bekerja disebut dengan istilah “In-service training”. Pengembangan adalah suatu program yang merujuk pada penyediaan kesempatan belajar bagi staf untuk membantu mereka tumbuh dan berkembang dan tidak dibatasi pada pekerjaan yang dijabatnya sekarang.

Definisi lain menyebutkan bahwa pelatihan ditujukan untuk mempersiapkan peserta latihan untuk mengambil jalur tindakan tertentu yang dilukiskan oleh teknologi dan organisasi tempat bekerja, dan membantu peserta memperbaiki prestasi dalam kegiatannya terutama mengenai pengertian dan keterampilan. (Lynton dan Pareek, 1998). Dalam standar umum yang pertama pada standar audit disebutkan bahwa audit harus dilakukan oleh seseorang yang memiliki pelatihan teknis dan keahlian sebagai seorang auditor. Sedangkan dalam pedoman umum pemeriksaan pajak yang pertama disebutkan bahwa pemeriksaan dilaksanakan oleh Pemeriksa (auditor) Pajak yang telah mendapat pendidikan teknis dan memiliki keterampilan sebagai Pemeriksa Pajak.

Paragraf 4 SPAP SA Seksi 210 menjelaskan bahwa pendidikan formal auditor independen dan pengalaman profesionalnya saling melengkapi satu sama lain. Setiap auditor independen yang menjadi penanggung jawab suatu perikatan harus menilai dengan baik kedua persyaratan profesional ini dalam menentukan luasnya supervisi dan review terhadap hasil kerja para asistennya. Perlu disadari bahwa yang dimaksudkan dengan pelatihan seorang profesional mencakup pula kesadarannya untuk secara terus-menerus mengikuti perkembangan yang terjadi dalam bisnis dan profesinya. Ia harus mempelajari, memahami, dan menerapkan ketentuan-ketentuan baru dalam prinsip akuntansi dan standar auditing yang ditetapkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI).

Pelatihan bagi auditor meliputi jenis dan kualitas pelatihan. Materi pelatihan harus dirancang dengan sebaik-baiknya. Pelatihan harus dibuat sistematis dan berjenjang sesuai dengan tingkatan auditor yang ada. Pelatihan terhadap staf auditor akan berbeda dengan pelatihan bagi manajer atau supervisor auditor. Pelatihan didefinisikan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan atau memperbaiki kinerja karyawan dalam pekerjaannya sekarang dan dalam pekerjaan lain yang terkait dengan yang sekarang dijabatnya, baik secara individu maupun sebagai bagian dari sebuah tim kerja. (Ruky, 2001).

Dari definisi diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa semakin banyak kuantitas atau frekuensi pelatihan seharusnya semakin meningkatkan kinerja karyawan dalam pekerjaannya. Selain aspek kuantitas, pelatihan dalam kaitannya dengan kinerja seseorang juga ditentukan oleh kualitas pelatihan. Menurut Mangkunegara, (2008) terdapat beberapa komponen pelatihan yang menentukan kualitas suatu pelatihan, yaitu:

(a)Tujuan dan sasaran pelatihan dan pengembangan harus jelas dan dapat diukur; (b) Para pelatih (trainer) harus ahlinya yang berkualifikasi memadai (Profesional); (c) Materi pelatihan dan pengembangan harus disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai; (d) Metode pelatihan dan pengembangan harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan pegawai yang menjadi peserta; (e) Peserta pelatihan dan pengembangan (trainers) harus memenuhi persyaratan yang ditentukan.

Mangkunegara, (2008) juga menyatakan bahwa terdapat beberapa prinsip dasar penting yang harus diperhatikan agar sebuah pelatihan menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan apa yang ingin dicapai. Prinsip dasar utama yang harus diperhatikan adalah:

(1)

Relevansi, yaitu relevansi pelatihan dengan lingkungan hidup peserta, relevansi

dengan perkembangan kehidupan masa sekarang, dan relevansi dengan tuntutan

dunia pekerjaan; (2) Efektifitas dan Efisiensi, yaitu efektifitas pencapaian sejumlah

(7)

target yang telah ditentukan, efisiensi waktu dan efisiensi tenaga dan peralatan; (3) Kesinambungan, yaitu kesinambungan antara berbagai tingkatan pelatihan dan kesinambungan antara berbagai bidang studi. Selain itu Tambunan, (2001) menemukan adanya beberapa komponen yang menentukan mutu suatu pelatihan yaitu: (1). Materi Pelatihan; (2). Kemampuan Pelatih; (3). Fasilitas Pelatihan; (4) Peserta Pelatihan.

Kecerdasan Emosional

Otak sebagai tempat berkumpulnya bermacam-macam jenis kecerdasan yang berpengaruh terhadap kinerja seseorang; terdiri dari berbagai susunan sel syaraf yang rumit, yang mampu beregenerasi dan bersifat dinamis. Melihat fungsi dan cara kerja otak dalam keseharian kita, otak dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu: otak kanan dan otak kiri yang mana keduanya memiliki fungsi yang berbeda dalam menghadapi masalah atau memberikan respon terhadap rangsangan dari luar otak.

Berdasarkan cara kerja dan potensi otak tersebut serta dengan kemajuan teknologi dan metodelogi penelitian, para ahli psikologi di dunia menyimpulkan bahwa terkait dengan pemetaan kecerdasan (Quotient Mapping) seseorang dapat dibagi menjadi 3 (tiga)1 bagian, (lihat (Yacub, 2001), (Sukidi, 2002), (Hawari, 2004)), yaitu: (1) Kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient); (2) Kecerdasan emosional (Emotional Quotient) dan; (3) Kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient).

Pola relasi atau hubungan antara ketiga struktur yang terdapat dalam diri manusia (IQ, EQ dan SQ) akan menghasilkan sebuah relasi yang positif, meskipun di antara ketiganya tetap terjadi diferensiasi kerja atau tugas. Karena sesungguhnya diferensiasi inilah yang akan memberikan kontribusi pemetaaan struktural antara ketiganya dalam kepribadian kita. Dalam ajaran spiritualitas islam (Al-quran) Intelligence Quotient berada pada wilayah seputar otak (aql)2 , Emotional Quotient mengambil wilayah disekitar emosi (nafs)3 diri kita, sedangkan Spiritual Quotient mengambil tempat disekitar Jiwa atau hati (qalb)4 (yang merupakan wilayah spirit atau ketuhanan) (Sukidi, 2002:61-62).

Untuk lebih jelasnya, pola dan struktur hubungan antara kecerdasan IQ, EQ dan SQ dalam berbagai aspek dapat digambarkan sebagaimana dibawah ini:

1 Sebetulnya banyak terdapat berbagai jenis kecerdasan dikemukan oleh para ahli yang dimiliki oleh manusia antara lain: Daya juang dikeluarkan dan dioperasionalisasikan menjadi adversity quotient (AQ).Demikian pula kepemimpinan, leadership quotient (LQ), kemampuan interaksi sosial (SocQ), kecerdasan kreativitas (creativity quotient/CQ) dll.Akan tetapi kesemuanya tersebut merupakan pengembangan atau variasi dari IQ, EQ dan SQ.

2 Kata Aql dalam Al-Quran banyak sekali disebutkan, serta dikonotasikan dengan kecerdasan intelektual ataupun proses berpikir secara logis dalam memahami dan membaca alam semesta sebagai tanda kebesaran atau keagungan Tuhan.

3 Nafs dalam agama islam selalu disandingkan dengan al hawa dan banyak ditafsirkan sedemikian rupa oleh para penafsir (mufassirin), plural sesuai dengan konteks ayat masing-masing.Akan tetapi Nafs disini diasosiasikan ke dalam emosi-emosi yang tidak terkendali dalam diri manusia, yang karena cenderung mengajak kepada kejelekan dan kejahatan (nafsu amarah).

4 Qalb berhubungan dengan pengertian kesadaran, atau biasa4 disebut dalam wacana Islam sebagai "hati" (qalb, kalbu) saja, dari kata qalaba yang artinya "membalik" --berpotensi bolak-balik: di suatu saat merasa senang, dan di saat lain merasa susah, di suatu saat menerima, di saat lain menolak Kedudukan hati (qalb) ini sangat penting dalam Islam, hati merupakan pusat pengendali dari pikiran dan tubuh, sesuai dengan hadis nabi SAW bahwa jika segumpal darah (hati) baik maka akan baiklah seluruh amalannya dan kebalikannya jika segumpal darah (hati) itu buruk maka buruklah semua amalannya (al-hadis).

(8)

Tabel 1

Struktur Kecerdasan IQ, EQ dan SQ

Perspektif Jenis Kecerdasan

IQ EQ SQ

Psikologi modern Otak (mind) Emosi (body) Jiwa (Soul) Model berpikir Seri Asosiatif Unitif

Al-quran Aql Nafs Qalb

Kebahagian Material Instingtif Rohaniah Produk

kecerdasan Rasional Emosional Spiritual Sumber: Sukidi (2002)

Kamus Bahasa Indonesia kontemporer mendefinisikan emosi sebagai keadaan yang keras yang timbul dari hati, perasaan jiwa yang kuat seperti sedih, luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu cepat. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan yang biologis dan psikologis, serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosional adalah hal- hal yang berhubungan dengan emosi. Emosi menurut Oxford English Doctionary adalah setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu atau setiap keadaan mental yang hebat (Afufah, 2004). Sedangkan menurut Robbins, (2003:137) emosi adalah reaksi terhadap satu objek bukan pada satu sifat atau perasaan yang hebat terhadap seseorang atau sesuatu. Jadi dapat disimpulkan bahwa emosi merupakan bentuk keinginan yang kuat yang dialami seseorang yang ditimbulkan oleh keadaan atau peristiwa yang terjadi di sekelingnya.

Dalam perkembangannya kecerdasan kecerdasan intelektual (IQ) seseorang adalah bersifat tetap dan merupakan bawaan sejak lahir yang tidak dapat berubah.

Sedangkan perkembangan kecerdasan emosional terus berjalan selama kita hidup (Albin, 1983:95). Kecerdasan emosional (EQ) seseorang dapat saja bertambah dan meningkat seiring dengan pertambahan usia, pengalaman yang diperoleh dan proses belajar selama perjalan hidupnya mulai dari masa kanak-kanak hingga dewasa (Goleman, 2000). Walaupun demikian, kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional bukanlah suatu keterampilan yang bertentangan satu sama lain melainkan suatu bentuk keterampilan yang terpisah yang mana di antara kedua kecerdasan tersebut masing – masing dapat bekerja atau bersinergi dengan selaras dan dinamis.

Suatu kecerdasan dan kematangan emosional yang baik akan menentukan seberapa baik seseorang dapat menggunakan keterampilan-keterampilan yang dimilikinya termasuk kecerdasan intelektual (IQ) dan dalam menentukan sikap dan perilakunya.(Goleman, 2000).

Senada dengan pendapat tersebut diatas Howes dan Herald dalam Surya dan Hananto (2004) juga menyatakan bawha pada intinya kecerdasan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang lebih pintar menggunakan emosinya, artinya dengan kecerdasan emosional yang baik seseorang akan dapat memaksimalkan kemampuan emosi dalam kehidupannya.

Istilah kecerdasan emosi (EQ) baru dikenal secara luas pada pertengahan tahun 1990- an dengan diterbitkannya buku Daniel Goleman “Emotional Intelligence” yang isinya menekankan pentingnya kecerdasan emosi dibandingkan kecerdasan intelektual (Goleman, 1998). Goleman, (2000) menjelaskan bahwa kecerdasan emosi (Emotional Intelligence) adalah:

“Kemampuan seseorang untuk dapat mengelola perasaan atau emosi dirinya dan orang lain, agar dapat menghadapi frustasi sanggup mengatasi dorongan-dorongan primitif atau menunda kepuasan-kepuasan sesaat, mengatur suasana hati yang reaktif dan mampu berempati kepada orang lain”.

(9)

Menurut (Cooper dan Sawaf, 1998) dalam bukunya Emotional Intelligence in Leadership and Organization menyatakan: “Kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan adanya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi.yang menuntut pemilikan perasaan untuk belajar mengakui menghargai perasaan diri dan menanggapinya secara tepat, menerapkannya secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari”. Adapun menurut Robbins salah seorang pakar perilaku organisasi menyebutkan (2003:144): “Kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) dapat merujuk pada satu keanekaragaman keterampilan, kapabilitas, dan kompetensi non kognitif, yang mempengaruhi seseorang untuk berhasil menghadapi tuntutan dan tekanan lingkungan”.

Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang dalam mengakui perasaan diri sendiri, mampu menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan, serta menanggapi dan menerapkannya dengan tepat akan keberadaan energi emosi yang dimilikinya, sehingga dapat bertindak secara efektif dan rasional.

Terdapat berbagai pandangan atau pendapat tentang komponen yang terdapat dalam kecerdasan emosional, yang dilihat dari bagaimana persepsi peneliti dan akademisi tersebut dalam memandang kecerdasan emosional itu sendiri. Goleman (2000), mengemukakan beberapa komponen yang terdapat dalam kecerdasan emosional yang meliputi: (1). Self awareness (kesadaran adanya emosi-emosi tertentu); (2). Social defitness (membaca suasana lingkungan); (3). Ability to defer fratification (menunda kepuasan- kepuasan); (4). To be optimistic in the face adversity (optimis dalam kesusahan); (5). To chanel strong emotion (menyalurkan emosi yang berlebihan); dan (6). Show empathy toward others (memiliki empati kepada orang lain).

Fatmawati (1998) juga menemukan adanya 4 (empat) prinsip yang dimiliki kecerdasan emosional yaitu: (1). Keseimbangan antara emosi dan nalar; (2). Menyadari adanya emosi-emosi tertentu dengan mengenal, menerima dan mengidentifikasikannya; (3).

Bertanggung jawab terhadap nilai-nilai keyakinan, pikiran diri dan emosi; dan (4).

Berempati terhadap orang lain.

Kecerdasan Spiritual

Kecerdasan spiritual pertama kali diperkenalkan dan dipopulerkan oleh dua orang peneliti dari barat, Harvard dan Oxford University yaitu: Danah Zahar (psikolog) dan Ian Marshal (fisikawan), melalui penelitiannya menyimpulkan bahwa dalam diri setiap manusia terdapat potensi rohaniah dan spiritual yang melekat dalam diri pribadi manusia.

Bukti ilmiah akan keberadaan kecerdasan spiritual dapat dilihat pada percobaan yang dilakukan oleh riset ahli psikologi dan syaraf, Michael Persinger pada awal tahun 1990 dan pada tahun 1997, oleh seorang ahli syaraf terkemuka VS Ramachandran dan timnya dari Universitas California yang menemukan keberadaan atau eksistensi God-Spot dalam otak manusia yang menyatu, dan terletak di antara jaringan syaraf dan otak5. Bukti kedua adalah riset yang dilakukan ahli syaraf Austria Wolf Singer pada era tahun 1990-an atas The Binding Problem6, yang menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi

5 God Spot (titik tuhan) lebih tepatnya terdapat pada bagian samping kepala yang disebut dengan Lobus Temporal. Lihat Ludigdo. Mengembangkan pendidikan akuntansi berbasis IESQ untuk meningkatkan perilaku etis akuntan. TEMA VolV.No2:134-149.2004.hal:140.

6 Binding problem merupakan pengalaman yang banyak dialami oleh mereka yang melakukan meditasi yaitu perasaan menyatu dengan alam, merasa diri memiliki keseimbangan dengan sekelilingnya, perasaan ini di ikuti oleh perasaan tenang. Lihat Sangkan. Berguru kepada Allah menghidupkan kecerdasan emosi dan spiritual. Bekasi.Bukit Thursina 2002.hal :306.

(10)

pada usaha yang mempersatukan dan memberikan makna dalam pengalaman hidup kita (Agustian, 2001): prolog xxxix).

God Spot inilah yang selalu menuntun dan senantiasa memberikan makna spiritual terhadap berbagai aktivitas yang dilakukan manusia. Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam diri manusia tersimpan sifat-sifat dan nilai-nilai spritualitas (suara hati nurani) yang mulia sebagai pemberian Tuhan sebagai mahluk mulia ciptaanNya. Hal tersebut selalu disadari dalam pengertian apapun yang mengarah pada hakikat manusia itu sendiri (fitrah) ((Sangkan, 2002:58), (Tasmara, 2002)).

Otak kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient) bekerja dan berfikir unitif, yaitu kemampuan untuk menangkap seluruh konteks yang mengaitkan antar unsur yang terlibat.

Kemampuan untuk menangkap suatu situasi dan melakukan reaksi terhadapnya menciptakan pola dan aturan baru. Kemampuan inilah yang merupakan ciri utama kesadaran, yaitu kemampuan untuk mengalami dan menggunakan pengalaman tentang makna dan nilai yang lebih tinggi.

Dalam perkembanganya SQ menurut Hawari (2004) sama halnya dengan dua kecerdasan sebelumnya yaitu kecerdasan intelektual dan emosional (IQ dan EQ), yang mana kemampuan tersebut dapat dipelajari, dinaikkan dan diturunkan (Sukidi, 2002:77). Hal senada juga diungkap oleh Agustian (2001) bahwa ESQ dapat ditingkatkan dengan latihan pemahaman dan penerapan metode ajaran-ajaran agama (islam) dalam mencapai tataran manusia yang seutuhnya. Karena dalam spiritualitas islam keimanan seseorang dapat berflaktuasi tinggi dan rendah tidak menentu, sesuai dengan situasi dan kondisi dan harus terus diperbaharui .

Sukidi (2002) dengan bukunya Spiritual Intelligence, Awakening the Power of Your Spirituality and Intution menyebutkan kecerdasan spiritual sebagai: “Suatu penghayatan hidup yang sejati dan terefleksikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga membuat hidup menjadi arif dan bijaksana secara spiritual. Agustian (2001) dalam bukunya yang berjudul Rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ) berpendapat bahwa kecerdasan spiritual adalah: “Kemampuan untuk memberikan makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya (hanif) dan memiliki pemikiran tauhidi (integralistik). Jadi kecerdasan spiritual disini merupakan bagian dari agama yang masuk dalam tataran wilayah ketuhanan”.

Senada dengan Agustian, Muhammad Zuhri, dalam Imam (2004) berpendapat, bahwa kecerdasan spiritual adalah: “Kecerdasan manusia yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. SQ adalah suatu kemampuan untuk memahami dan menggali motif terdalam dari kehidupan ini. Dengan kemampuan ini seseorang dapat mengenal Tuhan, meyakininya dan mencintainya. Seseorang tidak dapat mencintai Tuhan secara benar sebelum ia mencintai sesama manusia secara tulus. Asumsinya adalah jika seseorang hubungan dengan Tuhannya baik maka bisa dipastikan hubungan dengan sesama manusiapun akan baik pula”.

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual adalah suatu kemampuan dalam memberikan makna dan nilai kehidupan dengan nilai-nilai kebajikan yang sumber utamanya adalah dari agama (ketuhanan) yang diaplikasikan dalam setiap aktivitas dan perilaku, menuju menjadi manusia yang sempurna.

Tingkat Spirital Quotient yang tinggi dan berkembang baik mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif. Hal tersebut ditegaskan oleh Eliyawati (2002), tanda dari kecerdasan spiritual yang berkembang dengan

(11)

baik antara lain sebagai berikut: (a). Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif); (b). Tingkat kesadaran diri yang tinggi; (c). Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan; (d) Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit;

(e). Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai; (f). Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu; (g). Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (holistik); (h). Kecenderungan nyata untuk bertanya "mengapa?" atau

"bagaimana jika" untuk mencari jawaban-jawaban mendasar; (i). Mandiri SQ yang berkembang dengan baik dapat menjadikan seseorang memiliki "makna" dalam hidupnya.

Dengan "makna" hidup ini seseorang akan memiliki kualitas "menjadi", yaitu suatu modus eksistensi yang dapat membuat seseorang merasa gembira, menggunakan kemampuannya secara produktif dan dapat menyatu dengan dunia.

Dalam menilai SQ, Eliyawati melihat bahwa SQ itu sendiri tidaklah berhubungan dengan agama atau tidaklah menjangkau wilayah ketuhanan (transendental). Kelemahan dari pembahasan SQ yang baru pada sebatas tatanan biologis atau psikologi semata, tidak bersifat transendental akan mengakibatkan terjadinya kebuntuan dalam diri pribadi karena tidak adanya tempat untuk bersandar, mengadu kepada yang lebih tinggi di luar jangkauan kemampuan manusia itu sendiri seperti: tingkat stress yang tinggi, frustasi, depresi dan ketidak bahagiaan hidup7 .

Karenanya memang dalam praktek dan kenyataannya adalah tidak mungkin seseorang dapat mengambil atau menggali nilai dan makna hidup tanpa bantuan dan bimbingan dari Tuhan dalam setiap langkahnya (lihat (Agustian, 2001: prolog xxxix), (Hawari, 2004 dalam Sukidi, 2002:52-54), (Tasmara, 2002:43-50), (Hawari, 2004)). Selain itu suara hati (conscience), dalam diri manusia yang merupakan bagian SQ dalam memberikan makna atau nilai sering kali tidak konsisten, karena sering kali dipengaruhi oleh situasi dan kondisi serta godaan baik dari luar atau nafsu dalam diri sendiri 8.

Tanda dari kecerdasan spiritual dapat terefleksikan juga dalam kehidupan bermasyarakat dan dengan alam sekitar. Menurut Sukidi (2002: 52) menyatakan inti (core) dari kecerdasan spiritual yang tinggi akan terefleksikan dalam sikap hidup yang toleran, terbuka, jujur, adil, penuh cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Hal senada juga diungkap Tasmara (2002:210) tanda dari seorang mempunyai kecerdasan ruhaniah yang tinggi akan membuat seseorang tersebut menjadi rahmatan lil alamin (rahmat bagi alam semesta), karena manusia sendiri adalah makhluk sosial dan bagian dinamis lingkungan sekitarnya.

Sukidi (2002:82-86) dengan bukunya yang berjudul Spritual Quotient A Practical Guide to Personal Happiness menyebutkan hubungan dengan Tuhan merupakan syarat mutlak dalam memandang tingginya SQ seseorang, semakin dekat dia dengan Tuhan maka akan semakin tinggi kearifan dalam menyikapi hidup.

Berdasarkan dari penjelasan di atas dimensi kecerdasan spiritual yang merupakan suatu bentuk kesatuan antara nilai keyakinan dan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari, antara lain dapat diukur dengan: (1). Perspektif atau sudut pandang spiritual – keagamaan

7 Beberapa survei yang dilakukan melaporkan bahwa orang spiritual lebih banyak melaporkan rasa bahagia dan puas dalam hidupnya dari pada mereka yang tidak religius, dan menurut penelitian yang dilakukan di Universitas Michigan, depresi dan stres teramati pada orang-orang yang taat beragama dengan tingkat rendah dibandingkan pada mereka yang tidak memiliki keyakinan agama. Bukti ini secara ilmiah membantah dan menepis asumsi Eliyawati (2002) yang menyatakan bahwa orang ateis dapat memiliki SQ yang tinggi, yang justru sebaliknya SQ lebih dimiliki oleh orang spiritual dan pararel dengan kebahagiaan hidup. Selengkapnya lihat Sukidi (2002). Rahasia Hidup Sukses Bahagia: Kecerdasan Spiritual Mengapa SQ lebih Penting dari IQ dan EQ.Jakarta.PT.Gramedia Pustaka Utama.2002. hal:110-112

8 Hati sebagai basis kecerdasan spiritual kondisinya bisa "bolak-balik" sebab, kadangkala ia menerima bisikan malaikat (lammah malakîyah), kadangkala bisikan setan (lammah syaithânîyah), kadangkala bisikan nafsunya sendiri. Lihat Agustian. Rahasia Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ). Jakarta. Arga. 2001. Hal-37-39.

(12)

(hubungan vertikal) yaitu: Hubungan seberapa dekatkah kita dengan Tuhan, antara manusia sebagai mahluk spiritual dengan Sang pencipta, dan pemahaman manusia terhadap makna hakikat dan nilai (value) dari apa yang dihadapinya serta keberanian dalam mempertahankan kebenaran sebagai bentuk keyakinan terhadap Tuhan; (2). Persepektif atau sudut pandang sosial – keagamaan (hubungan horizontal) yaitu: Hubungan antara manusia sebagai mahluk sosial yang saling membutuhkan antara sesama, sebagai mahluk yang hidup berdampingan dengan seluruh mahluk hidup lainnya, dan kontribusi terhadap kesejahteraan lingkungan (kebijaksanan dan keselarasan hidup dengan alam); (3) Persepektif atau sudut pandang etika sosial–keagamaan (hubungan horizontal) yaitu: Suatu rasa atau sikap menghayati akan sifat–sifat Tuhan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, di mana kecerdasan spiritual itu sendiri sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan moral dan etika yang baik.antara lain meliputi: sifat dapat dipercaya, amanah, kepatuhan terhadap etika, toleran dan anti kekerasan.

Kinerja Auditor

Kinerja didefinisikan sebagai evaluasi terhadap pekerjaan yang dilakukan melalui atasan langsung, rekan kerja, diri sendiri, dan bawahan langsung (Rahayu, 2001). Dharma (1985) mendefinisikan kinerja sebagai prestasi kerja yaitu sesuatu yang dikerjakan atau produk atau jasa yang dihasilkan atau yang diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang. Sedangkan menurut Surya dan Hananto (2004), kinerja diartikan sebagai tingkatan sampai sejauh mana keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan tugas pekerjaannya.

Adapun pengertian kinerja yang digunakan dalam penelitian ini dapat diartikan dengan penilaian seseorang terhadap hasil dari aktivitas atau tindakan tugas yang dilakukan oleh dirinya sendiri (self performance evaluation).

Dari pembahasan tersebut di atas maka pengertian kinerja auditor adalah hasil kerja yang dicapai oleh seorang auditor dalam melaksanakan tugasnya, sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan padanya dan menjadi salah satu tolak ukur yang digunakan untuk menentukan apakah suatu pekerjaan yang dilakukan akan baik ataukah sebaliknya, yang bertujuan untuk tercapainya tujuan organisasi.

Ukuran dan penilaian kinerja secara umum selalu didasarkan pada 2 (dua) hal penting, yaitu konsep: Efektifitas dan Efisiensi. Suatu pekerjaan, program atau tugas yang diberikan akan dikatakan atau dinilai berhasil jika dapat memenuhi kedua persyaratan tersebut. Sedangkan dalam melakukan penilaian pekerjaan yang dilakukan oleh perusahaan dalam tempat kerja yang juga terkait dengan kedua prinsip tersebut di atas hampir secara umum selalu mempertimbangkan faktor- faktor (Dharma, 1985: 55): (a). Kuantitas: Jumlah waktu yang harus diselesaikan. Pengukuran kuantitatif melibatkan perhitungan keluaran dari proses atau pelaksanaan kegiatan. Hal ini berkaitan dengan jumlah keluaran yang dihasilkan; (b). Kualitas: Mutu yang dihasilkan baik atau tidak. Pengukuran kualitatif keluaran mencerminkan pengukuran tingkat kepuasan, yaitu seberapa baik penyelesaian hal ini terkait dengan dengan bentuk keluaran; (c). Ketepatan waktu: Sesuai tidaknya waktu yang direncanakan. Pengukuran ketepatan waktu merupakan jenis khusus dari pengukuran kuantitatif yang menentukan ketepatan waktu penyelesaian suatu pekerjaan.

Dari beberapa penjelasan tersebut, maka dimensi pengukuran kinerja sebagai variabel dependen auditor dapat diukur dengan: (1). Tingkat kualitas: Tingkat pekerjaan yang dihasilkan yang berhubungan dengan kesesuaian antara hasil pekerjaan dengan standar yang menilai pekerjaan itu sendiri; (2). Tingkat kuantitas: Kesesuaian antara jumlah penyelesaian hasil pekerjaan dengan target yang diharapkan, berikut dengan jumlah waktu yang dibutuhkan; (3). Tingkat kooperatif: Kemampuan auditor dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaan yang diberikan dan dalam melakukan kerja sama tim dalam penugasan.

(13)

Pengembangan Hipotesis

Pengaruh remunerasi terhadap kinerja auditor.

Sebagai tindak lanjut dari reformasi birokrasi, dilakukan perbaikan struktur remunerasi melalui pemberian TKPKN dan TKT. Dengan demikian, struktur remunerasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi birokrasi Direktorat Jenderal Pajak.

Struktur remunerasi tersebut berbasis kinerja (performance based remuneration) dan diberikan berdasarkan job grade. Diharapkan pemberian remunerasi pegawai Direktorat Jenderal Pajak dalam reformasi birokrasi ini akan meningkatkan kinerja auditor dalam pelaksanaan tugas.

Radjagukguk (2007) meneliti pengaruh antara program modernisasi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Gambir Empat berupa (1) pemberian hadiah kepada pegawai pajak, (2) kecepatan pelayanan, (3) sikap ramah dan sopan santun, (4) kemampuan dan penguasaan peraturan perpajakan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sistem remunerasi mempunyai pengaruh terhadap kualitas kinerja pegawai.

Penelitian lainnya menyimpulkan ada pengaruh sistem remunerasi dengan penggajian terhadap kualitas kinerja (Zalbianis dan Sanusi, 2006). Penelitian tersebut dilakukan di tiga kota Yogyakarta, Depok, dan Tangerang, yang menemukan bahwa salah satu penyebab yang mempengaruhi kinerja adalah faktor remunerasi yang diterima pegawai. Penelitian-penelitian ini membuktikan adanya pengaruh remunerasi terhadap kinerja pegawai.

H1 : Remunerasi berpengaruh positif terhadap kinerja auditor.

Pengaruh pelatihan terhadap kinerja auditor

Pelatihan didefinisikan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan atau memperbaiki kinerja karyawan dalam pekerjaannya sekarang dan dalam pekerjaan lain yang terkait dengan yang sekarang dijabatnya, baik secara individu maupun sebagai bagian dari sebuah tim kerja. (Ruky, 2001).

Salah satu tujuan pelatihan adalah untuk meningkatkan produktivitas kerja dan kualitas kerja (Mangkunegara, 2008). Pelatihan yang diberikan secara intensif kepada pegawai dapat membangkitkan semangat kerja, karena mereka akan semakin mengetahui bagaimana cara meningkatkan kemampuan dirinya dan akhirnya diharapkan akan dapat meningkatkan kinerjanya.

Berdasarkan teori tentang pelatihan dan hasil penelitian tentang pengaruh pelatihan terhadap kinerja maka hipotesis yang diajukan adalah:

H2 : Pelatihan auditor berpengaruh positif terhadap kinerja auditor.

Pengaruh kecerdasan emosional terhadap kinerja auditor

Goleman (2000) menjelaskan bahwa kecerdasan emosi (Emotional Intelligence) adalah:

“Kemampuan seseorang untuk dapat mengelola perasaan atau emosinya dirinya dan orang lain agar dapat menghadapi frustasi, sanggup mengatasi dorongan-dorongan primitif atau menunda kepuasan-kepuasan sesaat, mengatur suasana hati yang reaktif dan mampu berempati kepada orang lain”.

Adapun menurut Robbins salah seorang pakar perilaku organisasi menyebutkan (2003:144): “Kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) dapat merujuk pada satu keanekaragaman keterampilan, kapabilitas, dan kompetensi non kognitif, yang mempengaruhi seseorang untuk berhasil menghadapi tuntutan dan tekanan lingkungan”.

Surya dan Hananto (2004) meneliti pengaruh kecerdasan emosional terhadap kinerja auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik dan berada di daerah karesidenan Surakarta dan Semarang. Dari serangkaian hasil analisis yang dilakukan membuktikan atau

(14)

menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dari kecerdasan emosional terhadap kinerja mereka dan membantu mengatasi dan mengatur masalah dalam pekerjaannya sehari-hari.

Berdasarkan uraian teori mengenai kecerdasan emosional dan hasil penelitian mengenai pengaruh kecerdasan emosional terhadap kinerja di atas, maka hipotesis yang diajukan adalah:

H3 : Kecerdasan emosional auditor berpengaruh positif terhadap kinerja auditor.

Pengaruh kecerdasan spiritual terhadap kinerja auditor

Terkait dengan produktivitas dan etos kerja, dalam bukunya Penerapan ESQ dalam perusahaan mengatakan salah satu faktor dalam mencapai kinerja yang sukses dalam perusahaan adalah dengan kedalaman spiritualitas sehingga seseorang akan bekerja tanpa menghiraukan hasil, hambatan, gangguan yang diterimanya dan bekerja dengan bahagia (produktif) (Agustian, 2001). Bekerja adalah ibadah kepada Tuhan sehingga semua hasil akan diserahkan kepada kepada-Nya dengan tetap tidak mengabaikan kerja keras (prinsip tawakkal) (Gymnastiar, 2001), dan (Tasmara, 2002).

Hal ini juga dipertegas oleh Nurkudri (1999:46), yang menyatakan: “Kesadaran nilai dan makna tentang bekerja yang dilandasi dengan nilai spiritual atau agama, menekankan konsep yang seimbang antara bekerja dan kesadaran kerja, yaitu bahwa makna dan hakikat

“bekerja” adalah fitrah manusia yang seharusnya demikian (conditio sine quanon). Manusia hanya bisa akan memanusiakan dirinya jika bekerja. Sedangkan “kesadaran kerja” akan melahirkan motivasi perbaikan (improvement) kinerja yang berkelanjutan untuk meraih sesuatu yang lebih bermakna, yang dilandasi dengan semangat tauhid dan uluhiyah.

Begitupun juga menurut Nirmala (2006) direktur The Indonesia Learning Institute, sebuah lembaga bimbingan dan pelatihan manajemen untuk para eksekutif dan profesional. Bekerja dengan penuh rasa cinta akan jauh berbeda dengan mereka yang bekerja karena materi semata. Bekerja akhirnya haruslah menjadi sesuatu yang memberi motivasi dan makna pada kehidupan kita dan menuntun kita ke arah tujuan atau takdir kehidupan kita. Bekerja adalah tugas suci sebagai makhluk spiritual .

Uraian mengenai kecerdasan spiritual di atas mengenai pengaruh kecerdasan spiritual terhadap kinerja mendasari diajukannya hipotesis berikut ini:

H4 : Kecerdasan spiritual auditor berpengaruh positif terhadap kinerja auditor.

Kinerja Auditor pada Direktorat Jenderal Pajak

Berbagai argumen dan penjelasan tersebut di atas membuktikan kepada kita akan pentingnya remunerasi, pelatihan, kecerdasan emosional dan spiritual terhadap kinerja. Di mana hal senada juga di ungkap oleh Tasmara (2002) yang menjelaskan bahwa kebutuhan yang paling mendasar bagi Sumber Daya Manusia dalam setiap perusahaan pada saat ini bukanlah hanya berkaitan dengan keterampilan teknis kerja (quality of your hand) dan pengetahuan teknis kerja (quality of your head) akan tetapi juga pemberian remunerasi dan pelatihan-pelatihan terkait dengan ketajaman nilai-nilai emosional spiritual. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan mengenai pengaruh remunerasi, pelatihan, kecerdasan emosional dan kecerdasan emosional secara bersama- sama (simultan) terhadap kinerja adalah:

H : Remunerasi, pelatihan, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual auditor berpengaruh positif terhadap kinerja auditor.

Kerangka Pemikiran

Agar pola hubungan dari variabel penelitian dapat diukur dan diamati, maka tersebut perlu dijabarkan kedalam suatu bentuk kerangka model penelitian. Berdasarkan

(15)

penjelasan tersebut di atas maka model hubungan remunerasi, pelatihan, kecerdasan emosional dan spiritual dengan kinerja dapat dirumuskan sebagai berikut:

Gambar 1

Kerangka Model Hubungan Penelitian

Dari skema tersebut di atas dapat kita lihat bahwa remunerasi, pelatihan, kecerdasan emosional, dan spiritual auditor, keempatnya menuju satu arah yang sama yaitu mempengaruhi kinerja auditor. Ini artinya, bahwa kesemuanya variabel tersebut akan mempengaruhi dan merubah nilai kinerja.

METODE PENELITIAN

Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah para auditor Direktorat Jenderal Pajak yang berada di Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Jawa Timur I Surabaya.

Jumlah auditor di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak tersebut adalah sebanyak 310 orang. Responden yang direncanakan menjadi sampel dalam penelitian ini adalah para ketua tim dan ketua kelompok (supervisor) pemeriksa pajak yang berasal dari seluruh Kantor Pelayanan Pajak yang berada di wilayah Kantor Wilayah Jawa Timur I Surabaya tersebut adalah sebanyak 84 orang.

Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Dalam pengukuran construct sikap terdapat beberapa skala pengukuran yang dapat dipakai, yaitu: Skala Sederhana, Kategori, Likert, Perbedaan Semantis, Numeris dan Grafis.

Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala likert. Skala yang mengukur kesesuaian terhadap subyek, obyek atau kejadian tertentu. (Indriantoro dan Supomo, 2002:102-104). Dalam skala ini peneliti menghilangkan adanya jawaban tengah (sedang atau netral) dengan pertimbangan: (1). jawaban tengah memiliki arti ganda; (2).

menimbulkan tendensi untuk menjawab ke tengah (central tendency); dan (3). untuk melihat jawaban responden ke arah positif atau negatif (Gulo, 2002).

Skala pengukuran penilaiannya memakai skala 4 yaitu Sangat Setuju (SS) dengan bobot penilaian 4; Setuju (S) dengan bobot penilaian 3; Tidak Setuju (TS) dengan bobot penilaian 2; Sangat Tidak Setuju (STS) dengan bobot penilaian 1.

Pelatihan

Kecerdasan Emosional (EQ)

Kecerdasan Spiritual (SQ)

Kinerja Auditor (Performance)

Variabel Dependen

Variabel Independen

Remunerasi

(16)

Variabel Independen

a. Remunerasi adalah semua pendapatan yang berbentuk uang atau barang, langsung atau tidak langsung yang diterima karyawan sebagai imbalan atau jasa yang diberikan kepada perusahaan. (Hasibuan, 2002 : 133).

b. Pelatihan adalah suatu usaha untuk meningkatkan atau memperbaiki kinerja karyawan dalam pekerjaannya sekarang dan dalam pekerjaan lain yang terkait dengan yang sekarang dijabatnya, baik secara individu maupun sebagai bagian dari sebuah tim kerja.

(Ruky, 2001).

c. Kecerdasan Emosional Menurut (Cooper dan Sawaf, 1998) dalam bukunya Emotional Intelligence in Leadership and Organization menyatakan: “Kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan adanya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi.yang menuntut pemilikan perasaan untuk belajar mengakui menghargai perasaan diri dan menanggapinya secara tepat, menerapkannya secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari”.

d. Kecerdasan Spiritual Agustian (2001) dalam bukunya yang berjudul Rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ) berpendapat bahwa kecerdasan spiritual adalah: “Kemampuan untuk memberikan makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya (hanif) dan memiliki pemikiran tauhidi (integralistik).

Variabel Dependen

Kinerja didefinisikan kinerja sebagai prestasi kerja yaitu sesuatu yang dikerjakan atau produk atau jasa yang dihasilkan atau yang diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang Dharma (1985).

Pengujian Hipotesis

Dalam penelitian ini hipotesis yang diajukan untuk menemukan apakah ada pengaruh remunerasi, pelatihan, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap kinerja auditor pada Direktorat Jenderal Pajak. Untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini digunakan metode statistik regresi berganda (Multiple Regression) dengan persamaan sebagai berikut :

KA = α + β1 REM + β2 PEL + β3 KE + β4 KS + e Dalam hal ini :

KA = Kinerja auditor α = Nilai intercept β1, β2, β3, β4 = Koefisien arah regresi REM = Remunerasi

PEL = Pelatihan

KE = Kecerdasan emosional KS = Kecerdasan spiritual

e = Error (variabel lain yang tidak dijelaskan dalam model)

Analisis data dilakukan dengan menggunakan tingkat signifikansi α = 0,05 langkah awal pengujian hipotesis dengan melakukan uji F. Uji F digunakan untuk mengetahui seberapa besar variabel-variabel independen menjelaskan variabel dependen dalam model yang diuji, dengan menggunakan tingkat signifikansi α = 0,05. Selanjutnya untuk mengetahui apakah pengaruh variabel independen yang diteliti signifikan atau tidak terhadap variabel dependen, maka perlu dilakukan uji t. Uji ini dilakukan dengan

(17)

membandingkan nilai signifikansi t hitung dengan α = 0,05, dengan ketentuan apabila nilai signifikan t hitung lebih kecil dari derajat kepercayaan maka menerima hipotesis alternatif, yang menyatakan bahwa suatu variabel independen mempengaruhi variabel dependen.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Uji Asumsi Klasik

a. Uji Multikolinearitas

Untuk mengetahui adanya multikolinieritas dengan cara melihat / mengamati besarnya VIF, regresi bebas multikolinieritas apabila VIF < 10 dan nilai tolerance > 0,10 (Ghozali; 2006:124). Adapun hasil perhitungan dengan program SPSS terlihat seperti pada Tabel 2:

Tabel 2

Multikolinieritas Model Regresi

Variabel Bebas Tolerance VIF Keterangan

Remunerasi ,962 1,040 Non kolinier

Pelatihan ,976 1,025 Non kolinier

Kecerdasan Emosional ,888 1,126 Non kolinier Kecerdasan Spiritual ,897 1,115 Non kolinier

Dari Tabel 2 di atas dapat disimpulkan bahwa semua nilai VIF seluruh variabel independen < 10 dan nilai tolerance > 0,10, maka dapat dikatakan regresi tidak terdapat gejala multikolinieritas. Artinya antara variabel independen tidak terjadi hubungan linier.

b. Uji Autokorelasi

Bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linear terdapat korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1.

Untuk mengetahui apakah terjadi autokorelasi antara variabel independen dengan cara melihat nilai Durbin-Watson (DW), bila nilai DW mendekati 2 maka tidak ada autokorelasi, sebaliknya jika nilai DW mendekati 0 atau mendekati 4 maka diduga ada autokorelasi (Widarjono; 2010:99). Hasil pengujian dengan SPSS untuk mengetahui autokoeralsi bisa dilihat pada Tabel 3:

Tabel 3 Uji Autokorelasi Model Summary b

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Durbin- Watson

1 ,663ª ,439 ,427 ,4483 2,203

a. Predictors : (Constant), Kecerdasan Spiritual, Pelatihan, Remunerasi, Kecerdasan Emosional

b. Dependent Variable : Kinerja Optimal

(18)

Hasil pengujian menunjukkan nilai Durbin-Watson = 2,203. Yang mana nilai DW mendekati 2, artinya tidak terjadi autokorelasi. Hal ini menunjukkan tidak ada autokorelsi antara variabel independen.

c. Uji Heteroskedastisitas

Salah satu metode yang dipakai untuk mengetahui adanya heteroskedastisitas adalah dengan bantuan SPSS melalui pendekatan grafis. Dengan ketentuan, jika letak titik-titik data terdistribusi di sekitar 0-Y dan tidak membentuk pola tertentu berarti tidak terjadi heteroskedastisitas. Untuk melihat heteroskedastisitas seperti Gambar 2 berikut:

Gambar 2

Heteroskedastisitas pada Regresi Linier Berganda

Dari gambar 2 di atas diketahui bahwa titik-titik data tersebar di daerah antara 0-Y dan tidak membentuk pola tertentu, maka model regresi yang dibentuk diidentifikasi tidak terjadi heteroskedastisitas.

Statistik Deskriptif

Sejauh mana hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat dengan menggunakan analisis regresi, dalam analisis ini dapat diukur derajat keeratan hubungan antara satu variabel terikat dengan satu atau lebih variabel bebas. Untuk mengetahui berpengaruh atau tidak berpengaruh, maka dilakukan uji statistik dengan menggunakan teknik analisis regresi berganda dengan model ordinari least square, perhitungan dengan SPSS, dapat dilihat seperti tabel berikut:

Tabel 4

Hasil Uji Regresi Linier Berganda

Variabel Koefisien regresi t hitung Sig (constant) 4,933

Remunerasi ,495 2,933 ,012

Pelatihan ,283 2,758 ,036

Kecerdasan Emosional ,289 2,788 ,024

Kecerdasan Spiritual ,207 2,583 ,037

R

R square

Adjusted R Square F hitung

Siginifikan N

,663 ,439 ,427 2,592 ,046 64

Sumber : Diolah dari hasil perhitungan program SPSS

Regression Standardized Predicted Value

3 2

1 0

-1 -2

Regression Standardized Residual

3

2

1

0

-1

-2

Scatterplot

Dependent Variable: Kinerja Optimal

(19)

Sesuai dengan hasil uji statistik diketahui bahwa besarnya hubungan bersama–sama remunerasi, pelatihan, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual terhadap kinerja yaitu sebesar 42,7%. Artinya variabilitas variabel kinerja yang dapat dijelaskan oleh variabilitas remunerasi, pelatihan, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual 42,7%.

Karena mempunyai nilai koefisien determinasi positf, sehingga keempat variabel mempunyai hubungan searaf. Sedangkan sisanya sebesar 57,3% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model regresi ini.

Berikut pembahasan pengaruh secara parsial variabel remunerasi, pelatihan, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual terhadap kinerja.

Pengaruh variabel remunerasi terhadap kinerja

Nilai signifikan variabel remunerasi sebesar 0,012 < 0,05, artinya remunerasi mempunyai peran dalam mempengaruhi kinerja secara optimal dari karyawan. Yang mana remunerasi yang terkait dengan perataan dan ketepatan, apabila dilaksanakann dengan baik dan teratur akan berdampak pada peningkatan kinerja karyawan secara optimal.

Sesuai dengan pendapat Simamora (1997:541), menyatakan remunerasi merupakan apa yang diterima oleh para karyawan sebagai ganti kontribusi mereka kepada organisasi, dimana komponen-komponennya dapat dibagi dalam bentuk remunerasi financial langsung yang meliputi gaji/upah, insentif, merit pay, kenaikan gaji berkala, remunerasi financial tidak langsung yang meliputi asuransi, tunjangan dan fasilitas kantor, serta remunerasi non financial yang terdiri dari pekerjaan dan lingkungan pekerjaan. Artinya remunerasi yang diberikan oleh lembaga atau perusahaan sesuai dengan kinerja yang telah dilakukan dan dihasilkan oleh masing-masing pelaku kerja. Dengan begitu remunerasi sebagai imbalan atau jasa kinerja yang dihasilkan.

Berdasarkan dari hasil penelitian, maka remunerasi yang dapat meningkatkan kinerja karyawan adalah imbalan yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawannya baik berupa uang atau barang, langsung atau tidak langsung sebagai balas jasa atas kerja mereka. Dimana pemberian remunerasi oleh perusahan kepada karyawan dengan tujuan: (1) Memperoleh personalia yang qualified, (2) Mempertahankan para karyawan yang ada sekarang, (3) Menjamin keadilan, (4) Menghargai perilaku yang diinginkan, (5) Mengendalikan biaya-biaya (6) Memenuhi peraturan-peraturan legal.

Pengaruh variabel pelatihan terhadap kinerja

Nilai signifikan variabel pelatihan sebesar 0,036<0,05, artinya pelatihan mempunyai dampak yang baik terhadap peningkatan kinerja karyawan secara optimal. Yang mana pelatihan yang terkait dengan dimensi relavansi keikutsertaan dan efektifitas kesinambungan pelatihan bila dilaksanakan dengan baik dan teratur, maka akan mampu meningkatkan kinerja karyawan.

Sesuai dengan pendapat Ruky (2001), menyatakan pelatihan adalah usaha untuk meningkatkan atau memperbaiki kinerja karyawan dalam pekerjaannya sekarang dan dalam pekerjaan lain yang terkait dengan yang sekarang dijabatnya, baik secara individu maupun sebagai bagian dari sebuah tim kerja. Artinya perusahaan dituntut untuk menentukan jenis pelatihan berdasarkan kebutuhan di lingkungan organisasinya. Hal ini disebabkan organisasi lebih mengetahui kebutuhan pelatihan dalam rangka peningkatan kemampuan SDM dalam organisasinya. Yang mana pelatihan berfokus pada pekerjaan yang secara langsung akan dapat meningkatkan kemampuan staf dalam meningkatkan kualitas pekerjaannya.

Berdasarkan dari penelitian, maka pelatihan yang diadakan bahwa oleh perusahaan atau organisasi akan berdampak pada peningkatan kinerja haruslah dalam menentukan jenis pelatihan berdasarkan kebutuhan di lingkungan organisasinya dan fokus pada kebutuhan

(20)

dalam organisasinya. Sehingga akan ada peningkatan kemampuan SDM yang sangat diperlukan dalam menunjang penyelesaian tugas yang bersifat spesifik oleh organisasi.

Pengaruh variabel kecerdasan emosional terhadap kinerja

Nilai signifikan variabel kecerdasan emosional sebesar 0,024<0,05, artinya kecerdasan emosional mempunyai dampak yang baik terhadap kinerja karyawan secara optimal. Yang mana dimensi yang terkait dengan kecerdasan emosional yaitu dimensi kesadaran dan ekspresi emosi, kecakapan terhadap emosi, dan nilai EQ dan keyakinan mempunyai peran yang baik dalam meningkatkan kinerja karyawan secara optimal.

Sesuai dengan pendapat Surya dan Hananto (2004), menyatakan bawha pada intinya kecerdasan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang lebih pintar menggunakan emosinya, artinya dengan kecerdasan emosional yang baik seseorang akan dapat memaksimalkan kemampuan emosi dalam kehidupannya. Artinya seseorang yang memiliki kemampuan atau kematangan emosional yang baik akan mampu untuk berempati, menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan sekitarnya. Selain itu, dapat dikatakan juga bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih dari seorang individu dalam hal ketahanan untuk menghadapi kegagalan dan mampu mengendalikan emosi.

Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan, maka peran dari kecerdasan emosional terhadapt peningkatan kinerja, perusahaan atau organIsasi harus bIsa menerapkan 4 komponen kecerdasan emosional yaitu: (1) Keseimbangan antara emosi dan nalar. (2) Menyadari adanya emosi-emosi tertentu dengan mengenal, menerima dan mengidentifikasikannya. (3) Bertanggung jawab terhadap nilai-nilai keyakinan, pikiran diri dan emosi dan 4). Berempati terhadap orang lain.

Pengaruh variabel kecerdasan spiritual terhadap kinerja

Nilai signifikan dari variabel kecerdasan spiritual sebesar 0,037<0,05, artinya kecerdasan spiritual mempunyai peran dalam meningkatkan kinerja karyawan secara optimal. Yang mana dimensi yang terkait dengan kecerdasan spiritual yaitu dimensi relasi spiritual, dimensi relasi sosial, dan dimensi etika sosial mempunyai dampak yang baik dalam meningkatkan kinerja karyawan secara optimal.

Sesuai dengan pendapat Agustian (2001), menyatakan bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberikan makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya (hanif) dan memiliki pemikiran tauhidi (integralistik). Jadi kecerdasan spiritual disini merupakan bagian dari agama yang masuk dalam tataran wilayah ketuhanan. Artinya kecerdasan spiritual adalah suatu kemampuan dalam memberikan makna dan nilai kehidupan dengan nilai-nilai kebajikan yang sumber utamanya adalah dari agama (ketuhanan) yang diaplikasikan dalam setiap aktivitas dan perilaku, menuju menjadi manusia yang sempurna.

Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan, maka peran kecerdasan spiritual dalam meningkatkan kinerja karyawan secara optimal haruslah perusahaan atau organisasi mendorong setiap karyawan mampu mengoptimalkan kecerdasan spiritual yang tinggi, akan terefleksikan dalam sikap hidup yang toleran, terbuka, jujur, adil, penuh cinta dan kasih sayang terhadap sesama, yang mana hal itu merupakan tanda dari seorang mempunyai kecerdasan ruhaniah yang tinggi, akan membuat seseorang tersebut menjadi rahmatan lil alamin (rahmat bagi alam semesta), karena manusia sendiri adalah makhluk sosial dan bagian dinamis lingkungan sekitarnya.

(21)

SIMPULAN DAN KETERBATASAN Simpulan

Penelitian ini dapat membuktikan bahwa : (1) Remunerasi berpengaruh positif terhadap kinerja auditor. Hal ini berarti perataan dan ketepatan dalam melaksanakan remunerasi sudah berjalan dengan baik dan teratur. Sehingga kinerja auditor meningkat secara optimal. (2) Pelatihan berpengaruh positif terhadap kinerja auditor. Hal ini berarti pelatihan yang terkait dengan dimensi relavansi keikutsertaan dan efektifitas kesinambungan pelatihan bila dilaksanakan dengan baik dan teratur, maka akan mampu meningkatkan kinerja auditor. (3) Kecerdasan Emosional berpengaruh positif terhadap kinerja auditor. Hal ini berarti dimensi kesadaran dan ekspresi emosi, kecakapan terhadap emosi, dan nilai EQ dan keyakinan mempunyai peran yang baik dalam meningkatkan kinerja auditor secara optimal. (4) Kecerdasan Spiritual berpengaruh positif terhadap kinerja auditor. Hal ini berarti dimensi yang terkait dengan kecerdasan spiritual yaitu dimensi relasi spiritual, dimensi relasi sosial, dan dimensi etika sosial mempunyai dampak yang baik dalam meningkatkan kinerja auditor secara optimal.

Saran dan Keterbatasan

Keterbatasan yang terdapat dalam penelitian ini adalah ruang lingkup daerah pengujian penelitian yang disertai dengan penggunaan responden atau sampel yang lebih banyak untuk melihat pengaruh remunerasi, pelatihan, kecerdasan emosional dan spiritual auditor terhadap kinerja auditor. Dengan demikian, hasil penelitian diharapkan akan lebih mewakili keadaan yang sebenarnya, serta memperpanjang waktu pengamatan sehingga estimasi model regresi akan lebih tepat. Dan diharapkan menggunakan model analisis lain, seperti analisis jalur dan persamaan struktur model.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang kemungkinan dapat melemahkan hasil pengujiannya. Adapun keterbatasan dan kelemahan dari hasil penelitian yaitu penelitian ini menggunakan metode survey melalui penyebaran kuesioner dalam memperoleh data yang dijadikan dasar analisis. Kelemahan model ini adalah responden mungkin tidak serius dalam memberikan jawaban atau tanggapan yang diberikan tidak jujur. Hal ini dapat menimbulkan bias terhadap hasil penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Afufah, A et al. (2004).Pengaruh Pendidikan Tinggi Akuntansi terhadap Kecerdasan Emosional. SNA VII:351-369.

Agustian, AG.(2001).Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ):

Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam.Penerbit Arga.Jakarta.

Albin, RS. (1983). Emosi Bagaimana Mengenal menerima dan Merasakannya. Kanisius.

Yogyakarta.

Cooper, RK dan A. Sawaf.(1998). Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam kepemimpinan dan Organisasi. (Terjemahan. T Hermaya). Jakarta. PT. Garamedia Pustaka Utama.

Dajan, A. (1986). Pengantar Metode Statistik. Jilid II, Cetakan kesebelas, Jakarta : LP3ES.

Direktorat Jenderal Pajak. (2012), Distribusi Target Penerimaan Pajak Tahun 2012.

http://www.pajak.go.id. diakses 26 April 2012.

Dharma, A. (1985), Manajemen Prestasi Kerja Pedoman Praktis Bagi Para Penyelia Untuk Meningkatkan Prestasi Kerja, Jakarta, Rajawali.

Eliyawati, R. (2002), Kecerdasan Spiritual (SQ), artikel .http://www.humas@untag-sby.ac.id.

diakses 13 April 2012.

Referensi

Dokumen terkait

Jenis penelitiаn ini bertujuаn untuk dаpаt menguji pengаruh аntаrа tingkаt suku bungа, current r а tio, debt to equity r а tio, dаn return on

bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a dan huruf b di atas, perlu ditetapkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Sebanyak kurang lebih 39 % pasien dengan demam reumatik akut bisa terjadi kelainan pada jantung mulai dari gangguan katup, gagal jantung, perikarditis (radang

Oleh karena itu, sebagai upaya untuk menjaga kondisi elastisitas otot yang terdiri dari elastic paralel (PEC) dan elastic seri (SEC), kegiatan senam lansia menjadi

Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk

Kecamatan Sitinjau Laut, Kayu Aro, Hamparan Rawang dan Sungai Penuh memiliki wilayah datar (0-2%) yang cukup luas, sedangkan Kecamatan Gunung Kerinci, Gunung

Meinchenbaum menyatakan bahwa pembentukan kemandirian belajar ditentukan oleh dua hal, yaitu sumber sosial dan kesempatan untuk mandiri (Tarmi di &amp; Rambe, 2010:

Karena interval Bonferroni tidak memuat nol, maka rata-rata Y1 pada group tersebut berbeda. Hal ini berarti, ada perbedaan rata-rata yang signifikan antara minat