• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENGADILI ISBAT NIKAH PADA PERKAWINAN YANG DILAKSANAKAN PASCA BERLAKUNYA UU PERKAWINAN (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146Pdt.P2014PA.Mkd) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Sy

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENGADILI ISBAT NIKAH PADA PERKAWINAN YANG DILAKSANAKAN PASCA BERLAKUNYA UU PERKAWINAN (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146Pdt.P2014PA.Mkd) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Sy"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

i

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM

MENGADILI ISBAT NIKAH PADA PERKAWINAN YANG

DILAKSANAKAN PASCA BERLAKUNYA UU PERKAWINAN

(Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Mungkid

Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh

Widodo

NIM : 21111039

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

MOTTO

نم مكريخ

ت

هملعو نارقلا ملع

(Rasulullah saw)

“SEBAIK

-BAIK MANUSIA

ORANG YANG SELALU

MENEBAR KEBAIKAN

DAN MEMBERI MANFAAT

BAGI ORANG LAIN”

(Rasulullah saw)

“Teringat ku teringat akan janji

-MU ku terikat

Hanya sekejap ku berdiri

Ku lakukan sepenuh hati

Peduli ku peduli siang dan malam yang berganti

Sedih ini tak ada arti

Jika KAU lah sandaran hati”

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Ayahanda & Ibunda Tercinta…

Karena dengan bimbingan, kasih sayang dan doa restu keduanyalah aku mampu melangkah ke depan dengan penuh optimis untuk meraih cita-citaku

Bapak KH. Abdullah Hanif & Ibu Nyai Hj. Anis Thoharoh Pengasuh PP. Bustanu Usysyaqil Qur’an

Yang saya nanti-nantikan berkah & ridhonya

Rektor IAIN Salatiga beserta segenap sivitas akademika IAIN Salatiga, yang telah banyak memberikan ilmu, dukungan, dan bantuannya.

Ibu Heni Satar Nurhaida, M.Si selaku dosen pembimbing, yang telah dengan senang hati membimbing saya hingga berhasil menyelesaikan skripsi ini

Ketua Pengadilan Agama Mungkid beserta seluruh Hakim dan jajaran pegawai Pengadilan Agama Mungkid, yang telah mengizinkan saya melakukan penelitian di instansinya.

Teman-teman seperjuangan AS 2011

Segenap Pengurus Putra & Putri PP. Bustanu Usysyaqil Qur’an Semua santri Putra & Putri PP. Bustanu Usysyaqil Qur’an

Terima kasih atas persahabatan yang indah ini

(7)

vii

KATA PEGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahi Robbil ‘Aalamien, segala puji syukurku hanya bagi Allah SWT yang Maha Mengetahui apa yang tampak maupun tersembunyi, karena atas

rahmat, hidayah, dan inayah serta taufiq-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini dengan lancar.

Lantunan Shalawat beriring salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada

baginda Rosulullah Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari

zaman Jahiliah menuju zaman Islamiah atau zaman kegelapan menuju zaman

terang benderang, semoga pada ahir kelak kita diakui oleh umatnya dan mendapat syafa’atnya, Amin.

Alhamdulillah, dengan rasa syukur penulis skripsi dengan judul “KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENGADILI ISBAT

NIKAH PADA PERKAWINAN YANG DILAKSANAKAN PASCA

BERLAKUNYA UU PERKAWINAN (Studi Analisis Terhadap Keputusan

Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd)” ini telah

selesai.

Skripsi ini merupakan salah satu karya guna memperoleh gelar Sarjana Syariah

Ahwal Al-Syakhshiyyah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Hasil

karya ini tidak lepas dari peran dan bantuan segala pihak yang dengan tulus tanpa

pamrih memperlancar penulisan ini. Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa

penyusunan skripsi ini tidak dapat berhasil dan terlaksana dengan baik tanpa

bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, peneliti menyampaikan ucapan terima

kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Ag sebagai Rektor Institut Agama Islam

Negeri Salatiga.

2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah.

(8)

viii

4. Ibu Heni Satar Nurhaida, M.Si selaku pembimbing skripsi dan

pembimbing akademik yang telah meluangkan waktunya semata-mata

untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun hingga

terselesainya skripsi ini.

5. Seluruh Bapak, Ibu Dosen IAIN Salatiga.

6. Drs. Lanjarto, MH, besrta stafnya di Pengadilan Agama Mungkid

yangberkenan memberikan izin kepada penulis untuk mengadakan

penelitian di sana.

7. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang selalu memberikan doa serta

motivasinya, baik moral maupun spiritual.

8. Kepada siapapun yang memberikan ilmunya padaku, semoga Allah

memberikan pembalasan dan mendapatkan pahala dari Allah SWT.

9. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang telah

memberikan bantuan dan dukungannya hingga peneliti dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih kepada semuanya atas bantuan yang diberikan, penulis berdoa

semoga amal baik dari beliau semua mendapatkan balasan yang sesuai dan

mendapatkan ridlo Allah SWT.

Peneliti sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh

karena itu, peneliti membuka tangan yang selebar-lebarnya terhadap kritik dan

saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, peneliti

berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan

peneliti pada khususnya.

Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamit Thorieq.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Salatiga, 13 Juli 2015

(9)

ix

ABSTRAK

Widodo. 2015. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Mengadili Isbat Nikah Pada Perkawinan yang Dilaksanakan Pasca Berlakunya UU Perkawinan (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd). Skripsi Fakultas Syari’ah, Jurusan Ahwal al -Syakhshiyyah., Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dosen Pembimbing : Heni Satar Nurhaida, M.Si.

Kata Kunci : Kewenangan, Pengadilan Agama, Isbat Nikah, Perkawinan, UU

Perkawinan.

Berdasarkan penjelasan dari pasal 49 huruf (a) angka 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 bahwa permohonan Isbat Nikah yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah perkawinan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Namun Pengadilan Agama Mungkid melalui penetapan Isbat Nikah Nomor: 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd mengabulkan permohonan Isbat Nikah yang perkawinan para pemohon dilakukan pada tahun 1989. Hakim Pengadilan Agama dalam mengabulkan permohonan Isbat Nikah pada perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI (Inpres No. 1 Tahun 1991) dilihat dari kedudukannya, berada dibawah Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Maka sesuai dengan asas lex superiori derogate lex inferiori,

KHI tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Berdasarkan latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang akan penulis kaji : Pertama, apa dasar hukum dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama Mungkid mengabulkan permohonan Isbat Nikah perkara Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd. Kedua, bagaimana kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili Isbat Nikah menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum Islam.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian yang dilakukan perpaduan antara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi dokumentasi, wawancara, dan studi pustaka. Analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif analisis dengan menggunakan pola pikir deduktif.

(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...i

PENGESAHAN………..ii

NOTA PEMBIMBING………..iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN……….iv

MOTTO………v

PERSEMBAHAN………...vi

KATA PENGANTAR………...vii

ABSTRAK………..ix

DAFTAR ISI………x

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..……….1

B. Rumusah Masalah………....6

C. Tujuan Penelitian.………....6

D. Kegunaan Penelitian……...……….….7

E. Penegasan Istilah………..8

F. Tinjauan Pustaka………..9

G. Metode Penelitian………...11

H. Sistematika Penulisan……….15

BAB II ISBAT NIKAH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA A. Isbat Nikah……….………17

(11)

xi

2. Dasar Hukum Isbat Nikah ……….……….18

3. Prosedur Isbat Nikah di Pengadilan Agama………20

B. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Sistem Perundang-undangan Indonesia. ……….22

1. Sejarah Lahirnya KHI……….22

2. Sistematika KHI………..23

3. Kedudukan KHI dalam Sistem Perundang-undangan di Indonesia…25 BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA MUNGKID DAN PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd A. Peradilan Agama………27

1. Pengertian Peradilan Agama………27

2. Sejarah Peradilan Agama……….28

3. Kewenangan Peradilan Agama………33

B. Profil Pengadilan Agama Mungkid………44

1. Lokasi Pengadilan Agama Mungkid………44

2. Sejarah Pengadilan Agama Mungkid………...………45

3. Visi dan Misi Pengadilan Agama Mungkid……….……46

4. Wewenang dan Fungsi Pengadilan Agama Mungkid………….…….47

5. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Mungkid………51

6. Prosedur Berperkara di Pengadilan Agama Mungkid………..52

C. Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid Nomor :

(12)

xii

1. Duduk Perkara Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid

Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd………..56

2. Penyelesaian Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd………..57

3. Dasar Hukum Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd………..60

BAB IV ANALISIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR : 0146/PDT.P/2014/PA.Mkd A. Analisis Hukum Acara (Hukum Formil) Penetapan Hakim Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd………64

1. Pihak-Pihak dalam Perkara………..64

2. Prosedur Administrasi Permohonan Isbat Nikah……….64

3. Proses Persidangan………...66

4. Format Penetapan……….70

B. Analisis Dasar Pertimbangan Hukum (Hukum Materil) terhadap Penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd……….73

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………78

B. Saran-Saran………80

C. Penutup………...81

DAFTAR PUSTAKA………82

(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sudah menjadi sunnatullah jika segala sesuatu diciptakan

berpasang-pasangan, demikian halnya dengan manusia yang diciptakan

berpasangan yaitu laki-laki dan perempuan. Hikmah yang terkandung

adalah untuk menjaga kelangsungan hidup manusia di dunia melalui

perkawinan yang sah.

Dengan perkawinan yang sah, akan terjalin hubungan yang

terhormat dan harmonis antara laki-laki dan perempuan. Sehingga dari

pergaulan harmonis tersebut akan terbina rumah tangga yang damai dan

tenteram. Perkawinan yang sah menurut Islam adalah pernikahan, yaitu

akad yang kuat sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah. Mengingat kedudukan hukum

perkawinan sangat penting menurut Islam, maka tidak salah jika Islam

mengatur masalah perkawinan dengan sangat rinci.

Negara juga turut campur dalam menangani masalah yang

berkaitan seputar perkawinan dengan diterbitkannya peraturan yang

mengatur perkawinan. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Kitab

Undang-undang Hukum Sipil (BW), Ordonasi Perkawinan Indonesia

Kristen (Huwelyks Ordonansi voor de Christenen Indonesiers), Staatsblad

(14)

2

Huwelyken), Staatblad 1898 No. 158 dan Undang-undang Pencatatan

Nikah, Talak dan Rujuk, Lembaran Negara 1954 No. 32 serta

Peraturan-peraturan Menteri Agama mengenai pelaksanaannya. (Basyir, 1980:7)

Kemudian pada tanggal 2 Januari 1974 diterbitkanlah Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan diterbitkannya

undang-undang tersebut, maka peraturan-peraturan sebelumnya sejauh telah diatur

dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan tidak berlaku.

Menurut pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 “Perkawinan

ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam pasal

2 (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa ”Perkawinan

adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu”. Dalam pasal 2 (2) undang-undang ini disebutkan

“Bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku”.

Pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 2 (2)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak mempengaruhi keabsahan

perkawinan menurut hukum Islam. Namun pencatatan ini hanya bersifat

administratif guna memperoleh akta nikah sebagai bukti otentik telah

dilakukannya suatu perkawinan. Dengan memiliki akta nikah berarti

pernikahan tersebut secara yuridis telah diakui negara dan memperoleh

(15)

3

Dengan demikian, pasca terbitnya Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 menjadi sebuah keharusan perkawinan supaya dicatatkan ke Pegawai

Pencatat Nikah (PPN). Untuk melegitimasi perkawinan yang dilakukan

sebelum dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dapat

mengajukan permohonan Isbat Nikah ke Pengadilan Agama bagi yang

beragama Islam atau ke Pengadilan Negeri bagi non-muslim.

Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan

Agama dijelaskan kewenangan dan kekuasaan mengadili yang menjadi

beban tugas Pengadilan Agama. Dalam pasal 49 ditentukan bahwa

Peradilan Agama bertugas dan berwenang, memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang

beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf,

zakat, infak, sedekah dan ekonomi syariah. (Djalil, 2006:142)

Salah satu kompetensi absolut Pengadilan Agama yang diberikan

undang-undang tersebut dalam bidang perkawinan adalah permohonan

Isbat Nikah. Dalam penjelasan dari pasal 49 huruf (a) angka 22

Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dinyatakan yang dimaksud Isbat Nikah adalah

“Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang

-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut

peraturan yang lain”.

Dari ketentuan tersebut, dapat dirumuskan bahwa permohonan

Isbat Nikah yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah

(16)

4

1 Tahun 1974. Namun dalam prakteknya, Isbat Nikah yang diajukan ke

Pengadilan Agama sebagian besar adalah perkawinan yang dilakukan

setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Salah satu

contoh adalah penetapan Isbat Nikah yang dikeluarkan oleh Pengadilan

Agama Mungkid Nomor: 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd yang perkawinan para

pemohon dilakukan pada tahun 1989.

Dasar hukum yang sering digunakan oleh hakim di Pengadilan

Agama dalam mengabulkan permohonan Isbat Nikah pada perkawinan

yang dilakukan setelah terbitnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam pasal 7 (2) disebutkan

“Dalam perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat

diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama”. Pasal 7 (3) berbunyi :

Isbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b) Hilangnya Akta Nikah;

c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;

d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan;

e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991) dilihat dari

kedudukannya, tidak ditemukan dalam hierarki perundang-undangan yang

diatur Undang-Undang No. 10 Tahun 2004. Dengan demikian, posisi KHI

berada dibawah Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Maka sesuai dengan

(17)

perundang-5

undangan terbawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berada di atasnya. (Farkhani, 2009:44-45) Jika Inpres

(KHI) bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, maka KHI

tidak dapat dijalankan. Hal ini sesuai dengan asas lex superiori derogate

lex inferiori (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum di

bawahnya).

Berdasarkan paparan di atas, seharusnya hakim Pengadilan Agama

menolak permohonan Isbat Nikah pada perkawinan yang dilakukan setelah

diberlakukannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Dikhawatirkan

dengan diterimanya permohonan Isbat Nikah pada perkawinan yang

dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,

berakibat semakin maraknya nikah sirri karena pada akhirnya dapat

diisbatkan di Pengadilan Agama.

Dari uraian di atas, peneliti bermaksud meneliti kasus tersebut

dengan judul “KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM

MENGADILI ISBAT NIKAH PADA PERKAWINAN YANG

DILAKSANAKAN PASCA BERLAKUNYA UU PERKAWINAN”

(Studi Analisis terhadap Penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor :

(18)

6

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas ada beberapa masalah yang akan

penulis kaji, yaitu :

1. Apa dasar hukum dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama

Mungkid mengabulkan permohonan Isbat Nikah perkara Nomor :

0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd?

2. Bagaimana kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili Isbat

Nikah menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Kompilasi

Hukum Islam?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan fokus penelitian yang telah dirumuskan di atas,

maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dasar hukum dan pertimbangan hakim Pengadilan

Agama Mungkid mengabulkan permohonan Isbat Nikah pada perkara

Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd.

2. Untuk mengetahui bagaimana kewenangan Pengadilan Agama dalam

mengadili Isbat Nikah menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2006

(19)

7

D. Kegunaan Penelitian

Adapun manfaat penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

a. Dapat menambah pengetahuan dalam mempelajari dan

mendalami ilmu hukum khususnya tentang permohonan Isbat

Nikah di Pengadilan Agama.

b. Untuk pengembangan ilmu hukum dan penelitian hukum serta

berguna sebagai masukan bagi praktik penyelenggara di bidang

Hukum Perkawinan terutama terkait dengan masalah Isbat Nikah

masa kini dan masa yang akan datang.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :

a. Bagi Hakim

Dapat menerapkan kaidah-kaidah hukum secara benar dan

tepat dalam mempertimbangkan dan menetapkan dasar hukum

yang dipakai dalam mengadili permohonan Isbat Nikah.

b. Bagi Para Pihak

Dapat menambah wawasan dan pengetahuan berkaitan

dengan masalah Isbat Nikah. Serta dapat menjadi rujukan terkait

(20)

8

E. Penegasan Istilah

Kata “kewenangan” di sini sering disebut juga dengan

“kompetensi”. Kompetensi (kewenangan) Pengadilan Agama terdiri atas

kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Isbat Nikah merupakan salah

satu kompetensi absolut dari Pengadilan Agama.

Pengertian kompetensi absolut adalah “kewenangan suatu badan

pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak

tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain”. (Mahkamah Agung RI,

2014:69)

Pengadilan Agama “merupakan salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam, mengenai

perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang”. (Mahkamah

Agung RI, 2014:55)

Mengadili artinya “memeriksa, menimbang, dan memutuskan

(perkara, persengketaan dsb)”. (Poerwadarminta, 1982:16)

Isbat Nikah adalah pengesahan perkawinan yang tidak dicatatkan

ke Kantor Urusan Agama (KUA) oleh Pengadilan Agama. (KHI pasal 7)

Menurut pasal (1) UU No. 1 tahun 1974 (2006:40), Perkawinan

ialah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

(21)

9

F. Tinjauan Pustaka

Sebagaimana diketahui bahwa judul skripsi ini adalah

“Kewenangan Pengadilan Agama dalam Mengadili Permohonan Isbat

Nikah Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum

Islam (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Mungkid

Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd)”. Melalui Penelitian ini, Penulis ingin

mengungkapkan bagaimana kewenangan yang menjadi kompetensi

absolut dari Pengadilan Agama dalam mengadili permohonan Isbat Nikah

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan

Kompilasi Hukum Islam. Serta bagaimana pendapat hakim Pengadilan

Agama Mungkid dalam menyikapi terjadinya perbedaan kewenangan yang

diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum

Islam dan dasar pertimbangan yang digunakan dalam mengabulkan

permohonan Isbat Nikah.

Untuk membedakan kajian ini dengan kajian sebelumnya, di

bawah ini akan penulis sebutkan beberapa penelitian yang pernah

dilakukan tentang Isbat Nikah :

1. Skripsi karya Asa Maulida Sulhah dengan judul “Pelaksanaan Isbat

Nikah Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun

2009-2011)”. Dalam skripsi tersebut dipaparkan pelaksanaan Isbat

Nikah di Pengadilan Agama Salatiga mulai pendaftaran perkara sampai

(22)

10

masyarakat Salatiga mengajukan Isbat Nikah adalah karena Akta

Nikah mereka hilang. Untuk itu mereka mengajukan permohonan Isbat

Nikah supaya KUA mengeluarkan Akta Nikah baru yang menjadi

bukti otentik adanya perkawinan.

2. Skripsi karya Achmad Kurniawan dengan judul “Isbat Nikah dalam

Rangka Poligami (Studi Putusan Pengadilan Agama Ambarawa

Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)”. Dari penelitian tersebut,

diuraikan bahwa hakim mengabulkan permohonan pemohon yang

mengajukan Isbat Nikah pada perkawinan kedua (poligami) pemohon

meskipun perkawinan tersebut dilakukan secara sirri. Dasar

pertimbangan hakim mengabulkan permohonan tersebut dikarenakan

seluruh syarat dan rukun nikah pemohon tidak ada yang dilanggar dan

tidak ada indikasi penyimpangan serta penyalahgunaan terhadap

perkawinan tersebut. Sementara dasar hukum yang dipergunakan oleh

hakim mengesahkan perkawinan dalam rangka izin poligami adalah

karena perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaan sesuai bunyi pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Sehingga perkawinan yang sudah sesuai

(23)

11

G. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang akurat guna menjawab rumusan

masalah yang diformulasikan, maka metode penelitian yang penulis

gunakan adalah :

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif yaitu

penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak

menggunakan prosedur analisis statistif atau cara kuantifikasi lainnya.

(Moleong, 2008:6)

Penelitian yang dilakukan meliputi penelitian kepustakaan dan

penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk

mendapatkan data dengan bahan atau materi salinan penetapan Isbat

Nikah Pengadilan Agama Mungkid. Selanjutnya dilakukan penelitian

lapangan untuk menggali lebih dalam alasan-alasan hakim Pengadilan

Agama Mungkid dalam mengabulkan permohonan Isbat Nikah pada

perkawinan yang dilaksanakan setelah berlakunya UU Perkawinan.

Sedangkan pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan

Yuridis Normatif. Yaitu pendekatan untuk menemukan apakah suatu

perbuatan hukum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku

atau tidak. Dengan pendekatan ini akan dapat mengetahui semua hal

tentang kewenangan mengadili permohonan Isbat Nikah menurut

(24)

12

2. Kehadiran Peneliti

Dalam penelitian ini, penulis bertindak sebagai instrumen sekaligus

menjadi pengumpul data. Instrumen lain yang penulis gunakan adalah

alat perekam, alat tulis, serta alat dokumentasi. Akan tetapi instrumen

ini hanya sebagai pendukung. Oleh karena itu, kehadiran penulis di

lapangan mutlak diperlukan. Kehadiran penulis di lokasi adalah untuk

mencari dokumen salinan penetapan Isbat Nikah yang akan dijadikan

bahan analisis serta untuk melakukan wawancara dengan hakim guna

menggali keterangan yang diperlukan. Kehadiran penulis diketahui

statusnya sebagai peneliti.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Pengadilan Agama Mungkid.

Karena kasus yang sesuai dengan judul penelitian, penulis temukan di

Pengadilan Agama Mungkid.

4. Sumber Data

Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah salinan

penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid. Sebagai sumber

data tambahan, penulis juga melakukan wawancara dengan hakim

Pengadilan Agama Mungkid untuk lebih memperjelas data yang

dibutuhkan. Selain itu, data juga diperoleh dari literatur yang

(25)

13

5. Teknik Pengumpulan Data

a. Dokumentasi

Dokumentasi adalah teknik mencari data mengenai hal-hal

yang variabel yang memungkinkan untuk dijadikan referensi

berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,

agenda dan sebagainya. (Suharsimi, 1998:236) Dalam hal

penelitian ini, dokumentasi yang dimaksud adalah berupa berkas

salinan penetapan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Mungkid.

b. Wawancara

Wawancara digunakan untuk memperoleh beberapa jenis

data dengan teknik komunikasi secara langsung. (Surakhmad,

1990:170) Wawancara ini dilakukan untuk menggali keterangan

tentang pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam mengadili

permohonan Isbat Nikah. Sasaran wawancara adalah hakim

Pengadilan Agama Mungkid.

c. Studi Pustaka

Studi pustaka yaitu penelitian yang mencari data dari

bahan-bahan tertulis (M. Amirin, 1990:135) berupa catatan, buku,

surat kabar, makalah, undang-undang dan sebagainya. Dalam

penelitian ini penulis menggunakan buku-buku tentang hukum

perkawinan di Indonesia maupun fiqh munakahat sebagai rujukan.

Penulis juga menggunakan hasil penelitian terdahulu yang

(26)

14

6. Analisa Data

Analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif analisis

dengan menggunakan pola pikir deduktif. Artinya, menggambarkan

hasil penelitian dengan diawali teori atau dalil yang bersifat umum

tentang Isbat Nikah, kemudian mengemukakan kenyataan yang bersifat

khusus dari hasil penelitian terhadap penetapan Pengadilan Agama

Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd. Hasil penelitian

kemudian dianalisa dengan menggunakan metode tersebut, sehingga

mendapatkan gambaran yang jelas mengenai masalah yang diteliti

dalam penelitian ini.

7. Pengecekan Keabsahan Data

Keabsahan data merupakan hal yang sangat penting dalam

penelitian, karena dari data itulah nantinya akan muncul beberapa

fakta. Fakta-fakta ini nanti digunakan penulis sebagai bahan

pembahasan. Untuk memperoleh keabsahan temuan, penulis akan

menggunakan teknik-teknik kehadiran peneliti di lapangan, pelacakan

kesesuaian dan wawancara. Jadi temuan data tersebut dapat diketahui

keabsahannya.

8. Tahap-tahap Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini penulis melakukan penelitian

pendahuluan ke Pengadilan Agama Mungkid untuk mencari data awal

mengenai kasus Isbat Nikah. Kemudian penulis melakukan

(27)

15

melakukan penelitian yang sebenarnya. Setelah itu penulis melakukan

penulisan laporan hasil penelitian tersebut.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempeoleh gambaran yang jelas dan mudah dalam

memahami penulisan penelitian ini, maka penulis akan memberikan

gambaran singkat mengenai permasalahan yang akan dibahas, dengan

sistematika penulisan sebagai berikut :

Bab I merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,

penegasan istilah, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

Bab II berisi kajian pustaka yang menjelaskan tinjauan umum

tentang Wewenang Pengadilan Agama, Isbat Nikah, dan Kedudukan

Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia.

Bab III merupakan hasil temuan di lapangan yang meliputi profil

Pengadilan Agama Mungkid, salinan Penetapan Isbat Nikah Nomor :

00146/Pdt.P/2014/PA.Mkd dan faktor-faktor yang melatarbelakangi

dikabulkannya permohonan tersebut.

Bab IV merupakan analisis data dan temuan di lapangan, yang

meliputi analisis terhadap pertimbangan dan dasar hukum yang digunakan

oleh hakim dalam mengabulkan permohonan Isbat Nikah Nomor :

(28)

16

Bab V adalah kesimpulan dari beberapa bab terdahulu. Di samping

(29)

17

BAB II

ISBAT NIKAH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

A. Isbat Nikah

1. Pengertian Isbat Nikah

Isbat berasal dari bahasa Arab

تابثلاا

yang berarti penetapan

atau pengukuhan. Menurut pasal 7 KHI, Isbat Nikah adalah

pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat

agama Islam, yang tidak dicatatkan ke KUA oleh Pengadilan Agama.

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan mengatur bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatatkan

kepada Pegawai Pencatat Nikah. Pencatatan ini memang tidak

mempengaruhi keabsahan suatu perkawinan, karena pencatatan hanya

untuk keperluan administratif. Dengan dicatatkannya suatu

perkawinan, maka yang bersangkutan akan mendapat Akta Nikah yang

merupakan bukti otentik suatu perkawinan. Sehingga perkawinan

tersebut memiliki kekuatan hukum dan perlindungan dari negara.

Bentuk jaminan kepastian dan perlindungan hukum itu bagi

suami-isteri adalah, jika salah satu dari suami atau isteri melalaikan

kewajibannya maka pihak yang dirugikan dapat menggugat ke

pengadilan. Anak-anak yang lahir dalam perkawinan yang dicatatkan

(30)

18

pendidikan dari ayahnya jika ayah dan ibunya bercerai. Atau jika

ayahnya meninggal dunia maka anak tersebut berhak untuk

mendapatkan warisan.

Untuk melegitimasi perkawinan yang dilakukan sebelum

diberlakukannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dapat diajukan

permohonan Isbat Nikah ke Pengadilan Agama bagi yang beragama

Islam. Isbat Nikah atau penetapan perkawinan adalah pengesahan

perkawinan yang dicatatkan kepada PPN oleh Pengadilan Agama.

Pengadilan Agama hanya diperbolehkan mengabulkan

permohonan Isbat Nikah sepanjang perkawinan memenuhi syarat dan

rukun yang ditetapkan Islam dan tidak melanggar larangan perkawinan

sebagaimana diatur dalam pasal 8 s/d 10 Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 dan pasal 39 s/d 44 Kompilasi Hukum Islam. Dengan penetapan

dari Pengadilan Agama itu, pemohon dapat mengajukan pencatatan

perkawinannya ke KUA.

2. Dasar Hukum Isbat Nikah

Kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili permohonan

Isbat Nikah diatur dalam pasal 49 ayat (2) angka 22 Undang-Undang

No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Pasal tersebut berbunyi

“Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang

-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan

(31)

19

Pasal 7 ayat (2) dan (3) Kompilasi Hukum Islam juga

menjelaskan kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili Isbat

Nikah. Dalam pasal 7 ayat (2) disebutkan “Dalam hal perkawinan tidak

dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan Isbat Nikahnya

ke Pengadilan Agama”. Dan pasal 7 ayat (3) berbunyi :

Isbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;

b. Hilangnya Akta Nikah;

c. Adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat perkawinan;

d. Adanya perkawinan yang dilakukan sebelum

berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974;

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halanganmenurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

Berdasarkan penjelasan pasal 49 ayat (2) angka 22

Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, permohonan Isbat Nikah yang dapat

diajukan ke Pengadilan Agama hanya pada perkawinan yang dilakukan

sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Sementara

Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat (3) huruf a, b, c, dan e membuka

peluang bagi Pengadilan Agama untuk mengisbatkan perkawinan yang

(32)

20

3. Prosedur Isbat Nikah di Pengadilan Agama

Proses pengajuan, pemeriksaan dan penyelesaian permohonan Isbat

Nikah sebagaimana diatur pada Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan

Administrasi Peradilan Agama (2014:143-146) harus memedomani

hal-hal sebagai berikut :

a. Permohonan Isbat Nikah dapat dilakukan oleh suami-isteri atau salah satu dari suami atau isteri, anak, wali nikah, dan pihak lain yang berkepentingan dengan perkawinan tersebut kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah dalam

wilayah hukum pemohon bertempat tinggal, dan

permohonan Isbat Nikah harus dilengkapi dengan alasan dan kepentingan yang jelas serta konkrit.

b. Proses pemeriksaan permohonan Isbat Nikah yang diajukan oleh suami dan isteri bersifat voluntair, produknya berupa penetapan. Jika isi penetapan tersebut menolak permohonan Isbat Nikah, maka para pemohon dapat mengajukan upaya hukum kasasi.

c. Proses pemeriksaan permohonan Isbat Nikah yang diajukan oleh salah seorang suami atau isteri bersifat kontensius,

dengan mendudukkan suami atau isteri yang tidak

mengajukan permohonan sebagai pihak termohon.

Produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi.

d. Jika dalam proses pemeriksaan permohonan Isbat Nikah dalam huruf (b) dan (c) diketahui bahwa suami masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan perempuan lain, maka isteri terdahulu harus dijadikan pihak dalam perkara. Jika pemohon tidak bersedia merubah permohonannya dengan memasukkan isteri terdahulu sebagai pihak, permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. e. Permohonan Isbat Nikah yang dilakukan oleh anak, wali nikah, dan pihak lain yang berkepentingan harus bersifat

kontensius, dengan mendudukkan suami dan isteri dan/atau ahli waris lain sebagai termohon.

f. Suami atau isteri yang telah ditinggal mati oleh isteri atau suaminya, dapat mengajukan permohonan Isbat Nikah secara kontensius dengan mendudukkan ahli waris lainnya sebagai pihak termohon. Produknya berupa putusan dan atas putusan tersebut dapat diupayakan banding dan kasasi. g. Dalam hal suami atau isteri yang ditinggal mati tidak

(33)

21

permohonan Isbat Nikah diajukan secara voluntair,

produknya berupa penetapan. Jika permohonan tersebut ditolak, maka pemohon dapat mengajukan upaya hukum kasasi.

h. Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan Isbat Nikah tersebut dalam huruf (b) dan (f), dapat melakukan perlawanan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang memeriksa perkara Isbat Nikah tersebut selama perkara belum diputus.

i. Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan Isbat Nikah tersebut dalam huruf (c), (d), dan (e), dapat mengajukan intervensi kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang memeriksa perkara Isbat Nikah tersebut selama perakara belum diputus.

j. Pihak lain yang mempunyai kepentingan hukum dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan Isbat Nikah tersebut dalam huruf (c), (d), dan (e), sedangkan permohonan tersebut telah diputus oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah, dapat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan yang telah disahkan oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah tersebut.

k. Ketua Majelis Hakim 3 hari setelah menerima PMH, membuat PHS sekaligus memerintahkan juru sita pengganti untuk mengumumkan permohonan pengesahan nikah tersebut 14 hari terhitung sejak tanggal pengumuman pada media massa cetak atau elektronik atau sekurang-kurangnya

diumumkan pada papan pengumuman Pengadilan

Agama/Mahkamah Syariah.

l. Majelis Hakim dalam menetapkan hari siding paling lambat 3 hari setelah berakhirnya pengumuman. Setelah hari pengumuman berakhir, Majelis Hakim segera menetapkan hari sidang.

(34)

22

B. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Sistem Perundang-undangan Indonesia

1. Sejarah Lahirnya KHI

Dalam Islam dikenal ada tiga sumber hukum utama yaitu,

al-Qur’an, Sunnah dan Ra’yu (akal) untuk berijtihad. Ketentuan hukum

yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah masih bersifat umum

sehingga masih memerlukan penafsiran dan perincian sehingga mudah

untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hukum yang diperoleh

dari al-Qur’an dan Sunnah yang telah diperinci inilah yang disebut

dengan Fiqh.

Fiqh yang berlaku dikalangan umat Islam beraneka ragam.

Kalangan Sunni mengenal empat mazhab yaitu Maliki, Hanafi, Syafii

dan Hanbali yang masing-masing memiliki kitab fiqh sendiri-sendiri

sebagai pedoman. Di Indonesia, sebagian besar mengikuti mazhab

Syafii sebagai panutan dalam menentukan hukum.

Di lingkungan peradilan agama, ada 13 kitab yang semuanya

mazhab Syafii sebagai hukum materiil yang digunakan untuk

menyelesaikan perkara yang diajukan. Banyaknya kitab fiqh yang

digunakan berakibat sering dijumpai putusan yang berbeda untuk

perkara yang sama. Hal ini memicu ketidakpastian hukum dikalangan

umat Islam yang mencari keadilan. Inilah yang mendorong pakar

(35)

23

Untuk menyusun sebuah unifikasi hukum ini, diadakan

berbagai kegiatan seperti penelitian kitab kuning, penelitian

yurisprudensi, wawancara dengan ulama seluruh Indonesia, studi

banding ke Timur Tengah dan diakhiri dengan pengolahan data dan

lokakarya nasional. Dari lokakarya ini berhasil disusun Kompilasi

Hukum Islam (KHI). (Muhibbin & Wahid, 2009:176)

2. Sistematika KHI

Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdiri dari tiga buku yang

berisi ketentuan-ketentuan hukum Islam tentang Perkawinan (Buku 1),

Kewarisan (Buku 2), dan Perwakafan (Buku 3). Sistematika dari ketiga

buku tersebut dapat dirinci sebagai berikut :

a. Hukum Perkawinan (Buku 1)

1) Bab I Ketentuan Umum (Pasal 1)

2) Bab II Dasar-Dasar Perkawinan (Pasal 2-10)

3) Bab III Peminangan (Pasal 11-13)

4) Bab IV Rukun dan Syarat Perkawinan (Pasal 14-29)

5) Bab V Mahar (Pasal 30-38)

6) Bab VI Larangan Perkawinan (Pasal 39-44)

7) Bab VII Perjanjian Perkawinan (Pasal 45-52)

8) Bab VIII Kawin Hamil (Pasal 53-54)

9) Bab IX Beristeri Lebih dari Satu Orang (Pasal 55-59)

(36)

24

11)Bab XI Batalnya Perkawinan (Pasal 70-76)

12)Bab XII Hak dan Kewajiban Suami Isteri (Pasal 77-84)

13)Bab XIII Harta Kekayaan dalam Perkawinan (Pasal 85-97)

14)Bab XIV Pemeliharaan Anak (Pasal 98-106)

15)Bab XV Perwalian (Pasal 107-112)

16)Bab XVI Putusnya Perkawinan (Pasal 113-148)

17)Bab XVII Akibat Putusnya Perkawinan (Pasal 149-162)

18)Bab XVIII Rujuk (Pasal 163-169)

19)Bab XIX Masa Berkabung (Pasal 170)

b. Hukum Kewarisan (Buku 2)

1) Bab I Ketentuan Umum (Pasal 171)

2) Bab II Ahli Waris (Pasal 172-175)

3) Bab III Besarnya Bahagian (Pasal 176-191)

4) Bab IV Auld anRad (Pasal 192-193)

5) Bab V Wasiat (Pasal 194-209)

6) Bab VI Hibah (Pasal 210-214)

c. Hukum Perwakafan (Buku 3)

1) Bab I Ketentuan Umum (Pasal 215)

2) Bab II Fungsi, Unsur-Unsur dan Syarat Wakaf (Pasal

216-222)

3) Bab III Tata Cara Perwakafan (Pasal 223-224)

4) Bab IV Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan Benda

(37)

25

5) Bab V Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup (Pasal

228-229)

3. Kedudukan KHI dalam Sistem Perundang-Undangan di Indonesia Dasar hukum KHI yang hanya berupa Instruksi Presiden

(Inpres) dianggap belum memiliki kedudukan yang kuat dalam sistem

perundang-undangan di Indonesia. Meskipun begitu, fakta di lapangan

menunjukkan KHI tetap digunakan sebagai rujukan oleh hakim di

lingkungan peradilan agama dalam menyelesaikan perkara. Hal ini

dikarenakan KHI dianggap sebagai fiqh khas Indonesia yang sesuai

dengan kondisi masyarakat Indonesia. Pasal-pasal KHI banyak diambil

dari pendapat Imam Syafii yang diikuti oleh mayoritas orang

Indonesia, sehingga KHI dapat diterima oleh masyarakat.

Pada dasarnya Inpres memang bukan merupakan salah satu

jenis peraturan perundang-undangan sehingga tidak dicantumkan

dalam tata urutan perundang-undangan. Inpres merupakan arahan atau

perintah presiden kepada bawahannya yang bersifat individual,

konkret, dan sekali selesai. Instruksi presiden hanya dapat mengikat

menteri, atau pejabat-pejabat pemerintah yang berkedudukan di bawah

presiden dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan.

Kedudukan Inpres No.1 tahun 1991 tentang KHI memang

sangat problematik. Jika ditinjau sisi luarnya Inpres ini bukan termasuk

(38)

26

presiden terhadap bawahannya. Akan tetapi jika ditinjau dari

pasal-pasalnya, dapat dikatakan Inpres tersebut mengandung norma atau

peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, abstrak, dan

terus-menerus. (Harahab dan Omara, 2010:643)

Dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2004 pasal 7 ayat (1)

yang menjelaskan jenis dan hierarki perundang-undangan, Inpres tidak

termasuk salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam tata

urutan perundang-undangan. Akan tetapi dalam pasal 7 ayat (4)

disebutkan “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaanya dan mempunyai

kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan

Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Dengan demikian,

dimungkinkan Inpres menjadi salah satu jenis peraturan

perundang-undangan meskipun tidak tercantum dalam tata urutan peraturan

perundang-undangan. Akan tetapi posisi dari Inpres juga masih tidak

jelas, apakah di bawah Peraturan Presiden (Perpres) atau di bawah

(39)

27

BAB III

PROFIL PENGADILAN AGAMA MUNGKID DAN PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd TENTANG ISBAT NIKAH PADA PERKAWINAN YANG DILAKUKAN

PASKA BERLAKUNYA UU PERKAWINAN

A. Peradilan Agama

1. Pengertian Peradilan Agama

Peradilan adalah proses mengadili atau suatu upaya untuk mencari

keadilan atau penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan

peradilan menurut peraturan yang berlaku. Sementara Pengadilan

adalah lembaga tempat mengadili atau menyelesaikan sengketa hukum

yang mempunyai kekuasaan absolut dan relatif sesuai peraturan

perundang-undangan. (Musthofa, 2005:5-6)

Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara Indonesia

yang sah, yang bersifat Peradilan Khusus, yang berwenang dalam jenis

perkara perdata Islam tertentu, bagi orang-orang Islam di Indonesia.

(Rasyid, 2010:6) Jadi kompetensi Peradilan Agama tidak mencakup

tindak pidana, perkara perdata pun dibatasi pada perkara perdata

tertentu menurut Islam.

Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989,

disebutkan “Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang

(40)

28

merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat

pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata

tertentu yang diatur dalam undang-undang ini”.

Namun dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 berbunyi

“Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan

kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam

mengenai perkara tertentu yang diatur dalam undang-undang ini”.

Dengan demikian, setelah perubahan tersebut Pengadilan Agama juga

diberi kewenangan untuk mengadili perkara non perdata, seperti

perkara pidana atas pelanggaran terhadap UU Perkawinan dan sanksi

jinayah atas pelanggaran qanun di Nanggroe Aceh Darussalam.

2. Sejarah Peradilan Agama

Peradilan Agama sudah mulai dikenal sejak masuknya Islam di

Indonesia (Nusantara). Semakin berkembangnya eksistensi Peradilan

Agama disebabkan oleh kesadaran hukum dan kebutuhan masyarakat

akan adanya lembaga yang mampu menyelesaikan sengketa hukum.

Hal ini dapat dipahami mengingat jabatan dan fungsi hakim atau qadhi

merupakan alat kelengkapan dalam pelaksanaan syara’.

Seiring dengan semakin berkembangnya agama Islam dan semakin

tingginya kesadaran hukum masyarakat muslim, maka kebutuhan akan

(41)

29

ada hakim, masyarakat menyelesaikan sengketa dengan cara tahkim.

Tahkim adalah penyerahan kedua belah pihak yang bersengketa

kepada pihak ketiga (muhakkam) untuk menyelesaikan

persengketaannya. Penyelesaian sengketa oleh muhakkam berlangsung

beberapa waktu, hingga peradilan menjadi lebih teratur dan sistematis

pada masa Kesultanan Islam.

Periode selanjutnya itu adalah periode Tauliyah dari Imam, yang

dimulai ketika Islam datang dan diterima raja-raja seperti pada

kerajaan Mataram, sehingga para hakim pelaksana peradilan diangkat

oleh sultan atau imam atau disebut wali al amr. (Musthofa, 2005:13)

Dengan dalih untuk menertibkan Pengadilan Agama, pada tahun

1882 Raja Belanda mengeluarkan keputusan tentang pembentukan

Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dengan menerbitkan

Staatsblad No. 24 tanggal 19 Januari 1882. Badan peradilan ini

bernama Priesterraden yang kemudian lazim disebut Raad Agama dan

kemudian lebih dikenal dengan nama Pengadilan Agama. (Musthofa,

2005:15)

Staatsblaad 1882 yang mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1882

berisi 7 pasal yaitu :

Pasal 1

Di samping setiap Landraad (Pengadilan Negeri) di Jawa dan Madura diadakan suatu Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya sama dengan wilayah hokum landraad.

Pasal 2

(42)

30

anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh gubernur/residen.

Pasal 3

Pengadilan Agama tidak boleh menjatuhkan putusan, kecuali dihadiri oleh sekurang-kurangnya tiga anggota termasuk ketua. Kalau suara sama banyak, maka suara ketua yang menentukan.

Pasal 4

Keputusan Pengadilan Agama dituliskan dengan disertai alasan-alasannya yang singkat, juga harus diberi tanggal dan ditanda-tangani oleh para anggota yang turut member keputusan. Dalam beperkara itu disebutkan pula jumlah ongkos yang dibebankan kepada pihak-pihak yang beperkara.

Pasal 5

Kepada pihak-pihak yang beperkara harus diberikan salinan surat keputusan yang ditandatangani oleh ketua.

Pasal 6

Keputusan Pengadilan Agama harus dimuat dalam suatu daftar yang harus diserahkan kepada residen setiap tiga bulan sekali untuk memperoleh penyaksian (visum) dan pengukuhan.

Pasal 7

Keputusan Pengadilan Agama yang melampaui batas wewenang/kekuasaannya atau tidak memenuhi ketentuan Ayat (2), (3), dan (4) di atas tidak dapat dinyatakan berlaku. (Zuhriah, 2009:83-84)

Selanjutnya pemerintah Belanda kembali mengeluarkan peraturan

tentang Pengadilan Agama. Peraturan tersebut dimuat dalam

Staatsblaad No. 128 tahun 1909 dan Staatsblaad No. 232 tahun 1926.

Kedua Staatsblaad tersebut menimbulkan kekecewaan bagi kalangan

ahli hukum maupun umat Islam.

Pemerintah Belanda memang melegalisasi keberadaan Peradilan

Agama, tapi mereka ingin mematikan secara perlahan keberadaan

Peradilan Agama dengan terus mengurangi kewenangan yang

diberikan. Pada masa penjajahan Jepang, Peradilan Agama tetap

(43)

31

Pada masa penjajahan Jepang, semua peraturan

perundang-undangan yang berasal dari Belanda masih diberlakukan sepanjang

tidak bertentangan dengan kepentingan Jepang. Kemudian pada tahun

1942 diterbitkan UU No. 14 Tahun 1942 tentang Pengadilan Bala

Tentara Dai Nippon. Dalam undang-undang tersebut sebagimana

dijelaskan Basiq Djalil (2006:60) bahwa telah dibentuk Gunsei Hooin

(Pengadilan Pemerintahan Bala Tentara) yang terdiri atas:

a. Tiho Hooin (Pengadilan Negeri);

b. Keiza Hooin (Pengadilan Polisi);

c. Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten);

d. Gun Hooin (Pengadilan Kawedanan);

e. Kiaikoyo Kootoo Hooin (Mahkamah Islam Tinggi);

f. Sooryo Hooin (Rapat Agama).

Keberadaan Pengadilan Agama sempat terancam pada saat

penjajahan Jepang, hal ini disebabkan dengan akan diberikannya

wewenang Pengadilan Agama pada pengadilan biasa. Namun hal

tersebut urung terjadi karena Jepang terlebih dahulu menyerah pada

sekutu dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

Pada tahun 1970, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan

(44)

32

Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer

dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Berdasarkan ketentuan pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, semua putusan Pengadilan Agama

harus dikukuhkan oleh Peradilan Umum. Ketentuan ini membuat

Peradilan Agama secara de facto kedudukannya berada di bawah

Peradilan Umum. (Rasyid & Syaifuddin, 2009:1) Hal ini bertentangan

dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, yang

menyebut kedudukan keempat peradilan tersebut setara.

Lalu diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang

mengakhiri pluralisme peraturan Peradilan Agama tersebut, fungsi dan

struktur susunan kekuasaan Peradilan Agama disempurnakan dan

ditegakkan tanpa campur tangan lingkungan Peradilan Umum.

(Musthofa, 2009:18) Undang-undang ini juga mengatur pembinaan

teknis dengan sistem satu atap di bawah Mahkamah Agung. Dengan

tujuan, terciptanya peradilan yang mandiri, bertanggung jawab, dan

(45)

33

3. Kewenangan Peradilan Agama a. Kewenangan Relatif

Kompetensi relatif adalah kewenangan dari lembaga peradilan

sejenis mana yang berwenang memeriksa, mengadili, dan

memutus perkara. Misalnya, antara Pengadilan Agama Mungkid

dengan Pengadilan Agama Boyolali.

Tiap-tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum atau

yuridiksi relatif tertentu yang meliputi satu kotamadya atau satu

kabupaten, atau dalam kondisi tertentu memungkinkan adanya

pengecualian. Yuridiksi relatif ini mempunyai arti penting

berhubungan dengan ke Pengadilan Agama mana orang akan

mengajukan perkaranya dan berhubungan dengan hak eksepsi

tergugat. (Rasyid, 2010:26)

b. Kewenangan Absolut

Kompetensi absolut berkaitan dengan badan peradilan mana

yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

Misalnya, Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan perceraian

bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan bagi yang non

muslim perkara perceraiannya menjadi kewenangan Pengadilan

Negeri.

Kompetensi absolut Peradilan Agama diatur dalam pasal 49

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, hanya meliputi bidang

(46)

34

setelah perubahan, dengan disahkannya Undang-Undang No. 3

Tahun 2006 untuk mengganti Undang-Undang No. 7 Tahun 1989

kewenangan Pengadilan Agama menjadi bertambah luas. Dalam

undang-undang baru tersebut, yang menjadi kompetensi absolut

Peradilan Agama adalah masalah perkawinan, waris, wasiat, hibah,

wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.

Dalam penjelasan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 memberikan peluang pada Peradilan Agama untuk

menyelesaikan sengketa non muslim sepanjang yang

disengketakan termasuk kewenangan absolut Peradilan Agama dan

yang bersangkutan menundukkan diri secara suka rela kepada

hukum Islam. (Rasyid & Syaifuddin, 2009:13)

Untuk memperjelas rincian tentang kewenangan Peradilan

Agama dapat diuraikan sebagai berikut :

1) Bidang Perkawinan

a) Izin Beristri Lebih dari Seorang

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan menganut asas monogami. Tetapi

pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tidak menutup kemungkinan beristri lebih

dari seorang. Suami yang menghendaki beristri

(47)

35

permohonan izin poligami kepada Pengadilan

Agama.

b) Izin Kawin, Dispensasi Kawin dan Wali Adhal

Permohonan izin melangsungkan

perkawinan diajukan calon mempelai yang

belum berusia 21 tahun dan tidak mendapat izin

dari orang tuanya. Pengadilan Agama dapat

memberikan izin melangsungkan perkawinan

setelah mendengar keterangan dari orang tua,

keluarga dekat atau walinya.

Calon suami isteri yang belum mencapai

usia 19 dan 16 tahun yang ingin melangsungkan

perkawinan harus mengajukan permohonan

dispensasi kawin kepada Pengadilan Agama.

Permohonan dispensasi kawin dapat diajukan

oleh calon mempelai berdua dan/atau orang tua

yang bersangkutan.

Calon mempelai wanita yang akan

melangsungkan perkawinan yang wali nikahnya

tidak mau menjadi wali dapat mengajukan

permohonan penetapan wali adhal kepada

(48)

36

mengabulkan permohonan penetapan wali adhal

setelah mendengar keterangan orang tua.

c) Penolakan Perkawinan

Calon suami isteri yang akan

melangsungkan perkawinan harus memenuhi

syarat sebagaimana diatur Undang-Undang No.

1 Tahun 1974. Jika salah satu atau kedua calon

mempelai tidak memenuhi persyaratan, maka

PPN dapat menolak mencatat perkawinan

tersebut. Calon mempelai dapat mengajukan

permohonan pencabutan surat penolakan

perkawinan dari PPN kepada Pengadilan

Agama. Pengadilan Agama dalam wilayah

hukum di mana PPN berkedudukan dapat

mengabulkan permohonan pencabutan surat

penolakan perkawinan dari PPN dan

memerintahkan PPN untuk melaksanakan

perkawinan kedua mempelai, bila menurut

Pengadilan Agama surat penolakan perkawinan

tersebut tidak mempunyai alasan hukum.

d) Pencegahan Perkawinan

Jika salah satu atau kedua calon mempelai

(49)

37

memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka orang

tua, keluarga, wali pengampu, dari calon

mempelai dapat mengajukan pencegahan

perkawinan kepada Pengadilan Agama.

Pengadilan Agama menyampaikan salinan surat

permohonan pencegahan perkawinan kepada

KUA, agar KUA tidak melangsungkan

perkawinan yang bersangkutan, selama proses

pemeriksaan di Pengadilan Agama

berlangsuing. Jika permohonan pencegahan

perkawinan tersebut dikabulkan, Pengadilan

Agama akan menyampaikan salinan penetapan

kepada KUA tempat perkawinan akan

dilangsungkan.

e) Pembatalan Perkawinan

Jika perkawinan telah dilangsungkan,

sedangkan salah satu atau kedua mempelai tidak

memenuhi syarat-syarat yang diatur

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka orang tua,

keluarga, PPN, dan jaksa dapat mengajukan

permohonan pembatalan perkawinan kepada

(50)

38

dimulai setelah putusan Pengadilan Agama

mempunyai kekuatan hukum tetap.

f) Pengesahan Perkawinan/Isbat Nikah

Perkawinan yang dilangsungkan

berdasarkan agama yang tidak dicatat oleh PPN

dapat diajukan permohonan pengesahan

perkawinan kepada Pengadilan Agama.

g) Perkawinan Campuran

Perkawinan campuran adalah perkawinan

dua orang yang berbeda kewarganegaraan dan

satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jika

pejabat yang berwenang mencatat perkawinan di

negara pihak yang akan melangsungkan

perkawinan menolak untuk memberikan surat

keterangan bahwa syarat-syarat perkawinan

telah terpenuhi, maka pihak yang bersangkutan

dapat mengajukan permohonan pembatalan

surat penolakan tersebut kepada Pengadilan

Agama.

h) Cerai Talak

Cerai talak diajukan oleh pihak suami yang

petitumnya memohon untuk diizinkan

(51)

39

i) Harta Bersama

Suami isteri yang telah bercerai jika terjadi

perselisihan dalam pembagian harta bersama

dapat mengajukan gugatan harta bersama

kepada Pengadilan Agama. Gugatan pembagian

harta bersama sedapat mungkin diajukan setelah

terjadi perceraian.

j) Talak Khuluk

Talak khuluk merupakan gugatan isteri untu

bercerai dari suaminya dengan tebusan. Proses

penyelasaian gugatan tersebut dilaksanakan

sesuai dengan prosedur cerai gugat dan harus

diputus hakim.

k) Asal-Usul Anak

Anak sah adalah anak yang lahir dalam atau

akibat perkawinan yang sah (pasal 42

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo pasal 99 KHI).

Sedangkan anak yang tidak sah adalah anak

yang lahir di luar perkawinan yang sah atau lahir

dalam perkawinan yang sah akan tetapi

disangkal oleh suami dengan sebab li’an. Pengadilan Agama paling lambat satu bulan

(52)

40

tetap mengirimkan salinan putusan tersebut

kepada Kantor Catatan Sipil untuk didaftarkan.

l) Pemeliharaan dan Nafkah Anak

Suami isteri yang telah bercerai jika terjadi

perselisihan dalam pemeliharaan dan nafkah

anak, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan

Agama.

m) Perwalian

Pengadilan Agama mempunyai kewenangan

untuk memutus masalah perwalian meliputi;

pencabutan kekuasaan orang tua, pencabutan

kekuasaan wali, penunjukan orang lain sebagai

wali, penunjukan seorang wali bagi anak yang

belum berusia 18 tahun yang ditinggal kedua

orang tuanya, dan pembebanan kewajiban ganti

rugi atas harta benda anak yang ada di bawah

kekuasaannya.

n) Pengankatan Anak

Permohonan pengangkatan anak oleh Warga

Negara Indonesia (WNI) yang beragama Islam

merupakan kewenangan Pengadilan Agama

(53)

41

2) Bidang Kewarisan

Yang dimaksud waris adalah penentuan siapa yang

menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta

peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli

waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan

tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan

seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli

waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini

menghapus hak opsi dalam penyelesaian sengketa

waris. Dengan demikian sengketa waris bagi yang

beragama Islam hanya dapat diselesaikan di Pengadilan

Agama.

3) Bidang Wasiat

Yang dimaksud dengan wasiat adalah perbuatan

seseorang memberikan suatu benda atau manfaat

kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang

berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal

dunia.

4) Bidang Hibah

Yang dimaksud dengan hibah adalah pemberian

(54)

42

seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau

badan hukum untuk dimiliki.

5) Bidang Wakaf

Wakaf adalah perbuatan seseorang atau sekelompok

orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan

sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan

selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai

dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau

kesejahteraan umum menurut syariah. Kalau dipahami

secara literal ketentuan yang terdapat dalam pasal 49

huruf e Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, maka

kewenangan menyelesaikan sengketa dalam perwakafan

termasuk kewenangan absolut Peradilan Agama,

termasuk di dalamnya perwakafan dengan uang tunai

(cash waqf). (Rasyid & Syamsuddin, 2009:26)

6) Bidang Zakat

Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh

seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh

orang muslim sesuai dengan ketentuan syariah untuk

(55)

43

7) Bidang Infaq dan Shadaqah

Infaq dan Shadaqah adalah pemberian harta dari

seseorang yang beragama Islam, badan hukum atau

lembaga sosial Islam kepada mustahik guna

kepentingan tertentu dengan mengharap ridha Allah.

(Mahkamah Agung RI, 2014:170)

8) Bidang Ekonomi Syariah

Dalam penjelasan pasal 49 huruf I Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006, bahwa yang dimaksud dengan

ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha

yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain

meliputi :

a) Bank syariah;

b) Lembaga keuangan mikro syariah;

c) Asuransi syariah;

d) Reasuransi syariah;

e) Reksa dana syariah;

f) Obligasi syariah dan surat berharga berjangka

menengah syariah;

g) Sekuritas syariah;

h) Pembiayaan syariah;

i) Pegadaian syariah;

(56)

44

k) Bisnis syariah.

9) Isbat Rukyat Hilal

Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang

Peradilan Agama, tidak mencantumkan penetapan Isbat

Rukyat Hilal sebagai salah satu kewenangan dari

Pengadilan Agama. Akan tetapi dalam buku Pedoman

Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama,

yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI (2014:173)

dijelaskan “Pemohon (Kantor Kementerian Agama)

mengajukan permohonan itsbat kesaksian rukyat hilal

kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang

mewilayahi tempat pelaksanaan rukyat hilal”. Sidang

itsbat rukyat hilal merupakan sidang di tempat yang

dilaksanakan di tempat rukyat hilal. Sidang dilakukan

dengan cepat , sederhana, dan dipimpin oleh hakim

tunggal.

B. Profil Pengadilan Agama Mungkid 1. Lokasi Pengadilan Agama Mungkid

Lokasi Gedung Pengadilan Agama Mungkid terletak di Jl.

Soekarno Hatta No. 36 Kota Mungkid Kab. Magelang. Secara

astronomis Pengadilan Agama Mungkid terletak antara 110º-01’-51”

(57)

45

dengan 7º-42’-16” Lintang Selatan. Berdiri di atas tanah seluas 1695

m² dengan status hak guna pakai dari Pemerintah Daerah Magelang,

dan luas bangunannya adalah 1335 m².

2. Sejarah Pengadilan Agama Mungkid

Pengadilan Agama Mungkid terbentuk melalui Surat

Keputusan Menteri Agama No. 207 Tanggal 22 Juli 1986, tetapi

realisasinya baru pada tahun 1987. Untuk pertama kali Pengadilan

Agama Mungkid diketuai oleh Drs. H. Yahya Arul, SH (1987-1997).

Waktu itu menempati gedung di Jalan Sailendra Raya seluas ± 150 m²

dengan cara menyewa. Pada tahun 1989 kantor pindah ke gedung

kantor milik Depag (Departemen Agama). Pada masa kepemimpinan

Drs. H. Qomaruddin Mudzakir, SH (2002-2006 ) kantor lama dapat

diubah kepemilikannya dari Depag menjadi milik Mahkamah Agung

RI serta Pengadilan Agama Mungkid mendapatkan tanah untuk

digunakan membangun gedung kantor yang baru.

Pada masa kepemimpinan Drs. H. Nikmat Hadi, SH sebagai

Ketua Pengadilan Agama Mungkid (2006-2008), Pengadilan Agama

Mungkid mendapat anggaran untuk pembangunan gedung kantor yang

baru. Setelah dalam masa satu tahun pembangunan dilaksankan, maka

pada tanggal 19 Juni 2008 gedung kantor Pengadilan Agama Mungkid

Referensi

Dokumen terkait

Terinspirasi dari dinamika sejarah pergerakan nasional yang tak hanya diwarnai oleh perjuangan bersenjata, tetapi juga dengan penyebar luasan ide dan gagasan

Mengaudit dalam lingkungan teknologi informasi yang tidak terlalu rumit, dimana dalam memroses transaksi bisnis dan merancang system sedemikian rupa, sehingga

Lalu, diluar Sentul City, daya tarik utama BKSL adalah kepemilikannya atas PT Bukit Jonggol Asri (BJA), perusahaan patungan yang dimiliki bersama-sama dengan ELTY, dimana BJA

Keperawatan di rumah sakit berkembang pada akhir abad E/E, tetapi di komunitas, keperawatan tidak menunjukkan peningkatan yang berarti sampai tahun &8'- ketika

Musim Hujan I = Padi- Padi- Padi Musim Hujan II = Padi – Padi- Palawija Musim Kemarau = Padi- Palawija- Palawija Sehingga implementasi pola tanam dengan metode pemberian

Hasil penelitian tentang Pengaruh Ketersediaan Koleksi Perpustakaan Terhadap Kunjungan Pemustaka di Perpustakaan STIESIA adalah (1)tingkat ketersediaan koleksi di

Orang tua adalah ayah dan atau ibu kandung, atau ayah dan atau ibu tiri, atau ayah dan atau ibu angkat (UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak).Menurut peneliti

Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji dampak dari citra merek yang dirasakan, efek langsung dan tidak langsung (mediator dan efek moderator) keterlibatan produk dan produk