i
KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM
MENGADILI ISBAT NIKAH PADA PERKAWINAN YANG
DILAKSANAKAN PASCA BERLAKUNYA UU PERKAWINAN
(Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Mungkid
Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh
Widodo
NIM : 21111039
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
v
MOTTO
نم مكريخ
ت
هملعو نارقلا ملع
(Rasulullah saw)
“SEBAIK
-BAIK MANUSIA
ORANG YANG SELALU
MENEBAR KEBAIKAN
DAN MEMBERI MANFAAT
BAGI ORANG LAIN”
(Rasulullah saw)
“Teringat ku teringat akan janji
-MU ku terikat
Hanya sekejap ku berdiri
Ku lakukan sepenuh hati
Peduli ku peduli siang dan malam yang berganti
Sedih ini tak ada arti
Jika KAU lah sandaran hati”
vi
PERSEMBAHAN
Ayahanda & Ibunda Tercinta…
Karena dengan bimbingan, kasih sayang dan doa restu keduanyalah aku mampu melangkah ke depan dengan penuh optimis untuk meraih cita-citaku
Bapak KH. Abdullah Hanif & Ibu Nyai Hj. Anis Thoharoh Pengasuh PP. Bustanu Usysyaqil Qur’an
Yang saya nanti-nantikan berkah & ridhonya
Rektor IAIN Salatiga beserta segenap sivitas akademika IAIN Salatiga, yang telah banyak memberikan ilmu, dukungan, dan bantuannya.
Ibu Heni Satar Nurhaida, M.Si selaku dosen pembimbing, yang telah dengan senang hati membimbing saya hingga berhasil menyelesaikan skripsi ini
Ketua Pengadilan Agama Mungkid beserta seluruh Hakim dan jajaran pegawai Pengadilan Agama Mungkid, yang telah mengizinkan saya melakukan penelitian di instansinya.
Teman-teman seperjuangan AS 2011
Segenap Pengurus Putra & Putri PP. Bustanu Usysyaqil Qur’an Semua santri Putra & Putri PP. Bustanu Usysyaqil Qur’an
Terima kasih atas persahabatan yang indah ini
vii
KATA PEGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahi Robbil ‘Aalamien, segala puji syukurku hanya bagi Allah SWT yang Maha Mengetahui apa yang tampak maupun tersembunyi, karena atas
rahmat, hidayah, dan inayah serta taufiq-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan lancar.
Lantunan Shalawat beriring salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada
baginda Rosulullah Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari
zaman Jahiliah menuju zaman Islamiah atau zaman kegelapan menuju zaman
terang benderang, semoga pada ahir kelak kita diakui oleh umatnya dan mendapat syafa’atnya, Amin.
Alhamdulillah, dengan rasa syukur penulis skripsi dengan judul “KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENGADILI ISBAT
NIKAH PADA PERKAWINAN YANG DILAKSANAKAN PASCA
BERLAKUNYA UU PERKAWINAN (Studi Analisis Terhadap Keputusan
Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd)” ini telah
selesai.
Skripsi ini merupakan salah satu karya guna memperoleh gelar Sarjana Syariah
Ahwal Al-Syakhshiyyah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Hasil
karya ini tidak lepas dari peran dan bantuan segala pihak yang dengan tulus tanpa
pamrih memperlancar penulisan ini. Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa
penyusunan skripsi ini tidak dapat berhasil dan terlaksana dengan baik tanpa
bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, peneliti menyampaikan ucapan terima
kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Ag sebagai Rektor Institut Agama Islam
Negeri Salatiga.
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah.
viii
4. Ibu Heni Satar Nurhaida, M.Si selaku pembimbing skripsi dan
pembimbing akademik yang telah meluangkan waktunya semata-mata
untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun hingga
terselesainya skripsi ini.
5. Seluruh Bapak, Ibu Dosen IAIN Salatiga.
6. Drs. Lanjarto, MH, besrta stafnya di Pengadilan Agama Mungkid
yangberkenan memberikan izin kepada penulis untuk mengadakan
penelitian di sana.
7. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang selalu memberikan doa serta
motivasinya, baik moral maupun spiritual.
8. Kepada siapapun yang memberikan ilmunya padaku, semoga Allah
memberikan pembalasan dan mendapatkan pahala dari Allah SWT.
9. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan dan dukungannya hingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Terima kasih kepada semuanya atas bantuan yang diberikan, penulis berdoa
semoga amal baik dari beliau semua mendapatkan balasan yang sesuai dan
mendapatkan ridlo Allah SWT.
Peneliti sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, peneliti membuka tangan yang selebar-lebarnya terhadap kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, peneliti
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan
peneliti pada khususnya.
Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamit Thorieq.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Salatiga, 13 Juli 2015
ix
ABSTRAK
Widodo. 2015. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Mengadili Isbat Nikah Pada Perkawinan yang Dilaksanakan Pasca Berlakunya UU Perkawinan (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd). Skripsi Fakultas Syari’ah, Jurusan Ahwal al -Syakhshiyyah., Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dosen Pembimbing : Heni Satar Nurhaida, M.Si.
Kata Kunci : Kewenangan, Pengadilan Agama, Isbat Nikah, Perkawinan, UU
Perkawinan.
Berdasarkan penjelasan dari pasal 49 huruf (a) angka 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 bahwa permohonan Isbat Nikah yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah perkawinan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Namun Pengadilan Agama Mungkid melalui penetapan Isbat Nikah Nomor: 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd mengabulkan permohonan Isbat Nikah yang perkawinan para pemohon dilakukan pada tahun 1989. Hakim Pengadilan Agama dalam mengabulkan permohonan Isbat Nikah pada perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI (Inpres No. 1 Tahun 1991) dilihat dari kedudukannya, berada dibawah Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Maka sesuai dengan asas lex superiori derogate lex inferiori,
KHI tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Berdasarkan latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang akan penulis kaji : Pertama, apa dasar hukum dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama Mungkid mengabulkan permohonan Isbat Nikah perkara Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd. Kedua, bagaimana kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili Isbat Nikah menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum Islam.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian yang dilakukan perpaduan antara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi dokumentasi, wawancara, dan studi pustaka. Analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif analisis dengan menggunakan pola pikir deduktif.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………...i
PENGESAHAN………..ii
NOTA PEMBIMBING………..iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN……….iv
MOTTO………v
PERSEMBAHAN………...vi
KATA PENGANTAR………...vii
ABSTRAK………..ix
DAFTAR ISI………x
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..……….1
B. Rumusah Masalah………....6
C. Tujuan Penelitian.………....6
D. Kegunaan Penelitian……...……….….7
E. Penegasan Istilah………..8
F. Tinjauan Pustaka………..9
G. Metode Penelitian………...11
H. Sistematika Penulisan……….15
BAB II ISBAT NIKAH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA A. Isbat Nikah……….………17
xi
2. Dasar Hukum Isbat Nikah ……….……….18
3. Prosedur Isbat Nikah di Pengadilan Agama………20
B. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Sistem Perundang-undangan Indonesia. ……….22
1. Sejarah Lahirnya KHI……….22
2. Sistematika KHI………..23
3. Kedudukan KHI dalam Sistem Perundang-undangan di Indonesia…25 BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA MUNGKID DAN PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd A. Peradilan Agama………27
1. Pengertian Peradilan Agama………27
2. Sejarah Peradilan Agama……….28
3. Kewenangan Peradilan Agama………33
B. Profil Pengadilan Agama Mungkid………44
1. Lokasi Pengadilan Agama Mungkid………44
2. Sejarah Pengadilan Agama Mungkid………...………45
3. Visi dan Misi Pengadilan Agama Mungkid……….……46
4. Wewenang dan Fungsi Pengadilan Agama Mungkid………….…….47
5. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Mungkid………51
6. Prosedur Berperkara di Pengadilan Agama Mungkid………..52
C. Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid Nomor :
xii
1. Duduk Perkara Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid
Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd………..56
2. Penyelesaian Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd………..57
3. Dasar Hukum Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd………..60
BAB IV ANALISIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR : 0146/PDT.P/2014/PA.Mkd A. Analisis Hukum Acara (Hukum Formil) Penetapan Hakim Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd………64
1. Pihak-Pihak dalam Perkara………..64
2. Prosedur Administrasi Permohonan Isbat Nikah……….64
3. Proses Persidangan………...66
4. Format Penetapan……….70
B. Analisis Dasar Pertimbangan Hukum (Hukum Materil) terhadap Penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd……….73
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………78
B. Saran-Saran………80
C. Penutup………...81
DAFTAR PUSTAKA………82
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sudah menjadi sunnatullah jika segala sesuatu diciptakan
berpasang-pasangan, demikian halnya dengan manusia yang diciptakan
berpasangan yaitu laki-laki dan perempuan. Hikmah yang terkandung
adalah untuk menjaga kelangsungan hidup manusia di dunia melalui
perkawinan yang sah.
Dengan perkawinan yang sah, akan terjalin hubungan yang
terhormat dan harmonis antara laki-laki dan perempuan. Sehingga dari
pergaulan harmonis tersebut akan terbina rumah tangga yang damai dan
tenteram. Perkawinan yang sah menurut Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang kuat sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Mengingat kedudukan hukum
perkawinan sangat penting menurut Islam, maka tidak salah jika Islam
mengatur masalah perkawinan dengan sangat rinci.
Negara juga turut campur dalam menangani masalah yang
berkaitan seputar perkawinan dengan diterbitkannya peraturan yang
mengatur perkawinan. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Sipil (BW), Ordonasi Perkawinan Indonesia
Kristen (Huwelyks Ordonansi voor de Christenen Indonesiers), Staatsblad
2
Huwelyken), Staatblad 1898 No. 158 dan Undang-undang Pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk, Lembaran Negara 1954 No. 32 serta
Peraturan-peraturan Menteri Agama mengenai pelaksanaannya. (Basyir, 1980:7)
Kemudian pada tanggal 2 Januari 1974 diterbitkanlah Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan diterbitkannya
undang-undang tersebut, maka peraturan-peraturan sebelumnya sejauh telah diatur
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan tidak berlaku.
Menurut pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 “Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam pasal
2 (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa ”Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu”. Dalam pasal 2 (2) undang-undang ini disebutkan
“Bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 2 (2)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak mempengaruhi keabsahan
perkawinan menurut hukum Islam. Namun pencatatan ini hanya bersifat
administratif guna memperoleh akta nikah sebagai bukti otentik telah
dilakukannya suatu perkawinan. Dengan memiliki akta nikah berarti
pernikahan tersebut secara yuridis telah diakui negara dan memperoleh
3
Dengan demikian, pasca terbitnya Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 menjadi sebuah keharusan perkawinan supaya dicatatkan ke Pegawai
Pencatat Nikah (PPN). Untuk melegitimasi perkawinan yang dilakukan
sebelum dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dapat
mengajukan permohonan Isbat Nikah ke Pengadilan Agama bagi yang
beragama Islam atau ke Pengadilan Negeri bagi non-muslim.
Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama dijelaskan kewenangan dan kekuasaan mengadili yang menjadi
beban tugas Pengadilan Agama. Dalam pasal 49 ditentukan bahwa
Peradilan Agama bertugas dan berwenang, memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infak, sedekah dan ekonomi syariah. (Djalil, 2006:142)
Salah satu kompetensi absolut Pengadilan Agama yang diberikan
undang-undang tersebut dalam bidang perkawinan adalah permohonan
Isbat Nikah. Dalam penjelasan dari pasal 49 huruf (a) angka 22
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dinyatakan yang dimaksud Isbat Nikah adalah
“Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang
-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut
peraturan yang lain”.
Dari ketentuan tersebut, dapat dirumuskan bahwa permohonan
Isbat Nikah yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah
4
1 Tahun 1974. Namun dalam prakteknya, Isbat Nikah yang diajukan ke
Pengadilan Agama sebagian besar adalah perkawinan yang dilakukan
setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Salah satu
contoh adalah penetapan Isbat Nikah yang dikeluarkan oleh Pengadilan
Agama Mungkid Nomor: 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd yang perkawinan para
pemohon dilakukan pada tahun 1989.
Dasar hukum yang sering digunakan oleh hakim di Pengadilan
Agama dalam mengabulkan permohonan Isbat Nikah pada perkawinan
yang dilakukan setelah terbitnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam pasal 7 (2) disebutkan
“Dalam perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat
diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama”. Pasal 7 (3) berbunyi :
Isbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b) Hilangnya Akta Nikah;
c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan;
e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991) dilihat dari
kedudukannya, tidak ditemukan dalam hierarki perundang-undangan yang
diatur Undang-Undang No. 10 Tahun 2004. Dengan demikian, posisi KHI
berada dibawah Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Maka sesuai dengan
perundang-5
undangan terbawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berada di atasnya. (Farkhani, 2009:44-45) Jika Inpres
(KHI) bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, maka KHI
tidak dapat dijalankan. Hal ini sesuai dengan asas lex superiori derogate
lex inferiori (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum di
bawahnya).
Berdasarkan paparan di atas, seharusnya hakim Pengadilan Agama
menolak permohonan Isbat Nikah pada perkawinan yang dilakukan setelah
diberlakukannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Dikhawatirkan
dengan diterimanya permohonan Isbat Nikah pada perkawinan yang
dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,
berakibat semakin maraknya nikah sirri karena pada akhirnya dapat
diisbatkan di Pengadilan Agama.
Dari uraian di atas, peneliti bermaksud meneliti kasus tersebut
dengan judul “KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM
MENGADILI ISBAT NIKAH PADA PERKAWINAN YANG
DILAKSANAKAN PASCA BERLAKUNYA UU PERKAWINAN”
(Studi Analisis terhadap Penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor :
6
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas ada beberapa masalah yang akan
penulis kaji, yaitu :
1. Apa dasar hukum dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama
Mungkid mengabulkan permohonan Isbat Nikah perkara Nomor :
0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd?
2. Bagaimana kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili Isbat
Nikah menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Kompilasi
Hukum Islam?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian yang telah dirumuskan di atas,
maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dasar hukum dan pertimbangan hakim Pengadilan
Agama Mungkid mengabulkan permohonan Isbat Nikah pada perkara
Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd.
2. Untuk mengetahui bagaimana kewenangan Pengadilan Agama dalam
mengadili Isbat Nikah menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
7
D. Kegunaan Penelitian
Adapun manfaat penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Secara Teoritis
a. Dapat menambah pengetahuan dalam mempelajari dan
mendalami ilmu hukum khususnya tentang permohonan Isbat
Nikah di Pengadilan Agama.
b. Untuk pengembangan ilmu hukum dan penelitian hukum serta
berguna sebagai masukan bagi praktik penyelenggara di bidang
Hukum Perkawinan terutama terkait dengan masalah Isbat Nikah
masa kini dan masa yang akan datang.
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :
a. Bagi Hakim
Dapat menerapkan kaidah-kaidah hukum secara benar dan
tepat dalam mempertimbangkan dan menetapkan dasar hukum
yang dipakai dalam mengadili permohonan Isbat Nikah.
b. Bagi Para Pihak
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan berkaitan
dengan masalah Isbat Nikah. Serta dapat menjadi rujukan terkait
8
E. Penegasan Istilah
Kata “kewenangan” di sini sering disebut juga dengan
“kompetensi”. Kompetensi (kewenangan) Pengadilan Agama terdiri atas
kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Isbat Nikah merupakan salah
satu kompetensi absolut dari Pengadilan Agama.
Pengertian kompetensi absolut adalah “kewenangan suatu badan
pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak
tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain”. (Mahkamah Agung RI,
2014:69)
Pengadilan Agama “merupakan salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam, mengenai
perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang”. (Mahkamah
Agung RI, 2014:55)
Mengadili artinya “memeriksa, menimbang, dan memutuskan
(perkara, persengketaan dsb)”. (Poerwadarminta, 1982:16)
Isbat Nikah adalah pengesahan perkawinan yang tidak dicatatkan
ke Kantor Urusan Agama (KUA) oleh Pengadilan Agama. (KHI pasal 7)
Menurut pasal (1) UU No. 1 tahun 1974 (2006:40), Perkawinan
ialah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
9
F. Tinjauan Pustaka
Sebagaimana diketahui bahwa judul skripsi ini adalah
“Kewenangan Pengadilan Agama dalam Mengadili Permohonan Isbat
Nikah Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum
Islam (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Mungkid
Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd)”. Melalui Penelitian ini, Penulis ingin
mengungkapkan bagaimana kewenangan yang menjadi kompetensi
absolut dari Pengadilan Agama dalam mengadili permohonan Isbat Nikah
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan
Kompilasi Hukum Islam. Serta bagaimana pendapat hakim Pengadilan
Agama Mungkid dalam menyikapi terjadinya perbedaan kewenangan yang
diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum
Islam dan dasar pertimbangan yang digunakan dalam mengabulkan
permohonan Isbat Nikah.
Untuk membedakan kajian ini dengan kajian sebelumnya, di
bawah ini akan penulis sebutkan beberapa penelitian yang pernah
dilakukan tentang Isbat Nikah :
1. Skripsi karya Asa Maulida Sulhah dengan judul “Pelaksanaan Isbat
Nikah Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun
2009-2011)”. Dalam skripsi tersebut dipaparkan pelaksanaan Isbat
Nikah di Pengadilan Agama Salatiga mulai pendaftaran perkara sampai
10
masyarakat Salatiga mengajukan Isbat Nikah adalah karena Akta
Nikah mereka hilang. Untuk itu mereka mengajukan permohonan Isbat
Nikah supaya KUA mengeluarkan Akta Nikah baru yang menjadi
bukti otentik adanya perkawinan.
2. Skripsi karya Achmad Kurniawan dengan judul “Isbat Nikah dalam
Rangka Poligami (Studi Putusan Pengadilan Agama Ambarawa
Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)”. Dari penelitian tersebut,
diuraikan bahwa hakim mengabulkan permohonan pemohon yang
mengajukan Isbat Nikah pada perkawinan kedua (poligami) pemohon
meskipun perkawinan tersebut dilakukan secara sirri. Dasar
pertimbangan hakim mengabulkan permohonan tersebut dikarenakan
seluruh syarat dan rukun nikah pemohon tidak ada yang dilanggar dan
tidak ada indikasi penyimpangan serta penyalahgunaan terhadap
perkawinan tersebut. Sementara dasar hukum yang dipergunakan oleh
hakim mengesahkan perkawinan dalam rangka izin poligami adalah
karena perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan sesuai bunyi pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Sehingga perkawinan yang sudah sesuai
11
G. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang akurat guna menjawab rumusan
masalah yang diformulasikan, maka metode penelitian yang penulis
gunakan adalah :
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif yaitu
penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak
menggunakan prosedur analisis statistif atau cara kuantifikasi lainnya.
(Moleong, 2008:6)
Penelitian yang dilakukan meliputi penelitian kepustakaan dan
penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk
mendapatkan data dengan bahan atau materi salinan penetapan Isbat
Nikah Pengadilan Agama Mungkid. Selanjutnya dilakukan penelitian
lapangan untuk menggali lebih dalam alasan-alasan hakim Pengadilan
Agama Mungkid dalam mengabulkan permohonan Isbat Nikah pada
perkawinan yang dilaksanakan setelah berlakunya UU Perkawinan.
Sedangkan pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan
Yuridis Normatif. Yaitu pendekatan untuk menemukan apakah suatu
perbuatan hukum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku
atau tidak. Dengan pendekatan ini akan dapat mengetahui semua hal
tentang kewenangan mengadili permohonan Isbat Nikah menurut
12
2. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini, penulis bertindak sebagai instrumen sekaligus
menjadi pengumpul data. Instrumen lain yang penulis gunakan adalah
alat perekam, alat tulis, serta alat dokumentasi. Akan tetapi instrumen
ini hanya sebagai pendukung. Oleh karena itu, kehadiran penulis di
lapangan mutlak diperlukan. Kehadiran penulis di lokasi adalah untuk
mencari dokumen salinan penetapan Isbat Nikah yang akan dijadikan
bahan analisis serta untuk melakukan wawancara dengan hakim guna
menggali keterangan yang diperlukan. Kehadiran penulis diketahui
statusnya sebagai peneliti.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di Pengadilan Agama Mungkid.
Karena kasus yang sesuai dengan judul penelitian, penulis temukan di
Pengadilan Agama Mungkid.
4. Sumber Data
Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah salinan
penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Mungkid. Sebagai sumber
data tambahan, penulis juga melakukan wawancara dengan hakim
Pengadilan Agama Mungkid untuk lebih memperjelas data yang
dibutuhkan. Selain itu, data juga diperoleh dari literatur yang
13
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Dokumentasi
Dokumentasi adalah teknik mencari data mengenai hal-hal
yang variabel yang memungkinkan untuk dijadikan referensi
berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,
agenda dan sebagainya. (Suharsimi, 1998:236) Dalam hal
penelitian ini, dokumentasi yang dimaksud adalah berupa berkas
salinan penetapan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Mungkid.
b. Wawancara
Wawancara digunakan untuk memperoleh beberapa jenis
data dengan teknik komunikasi secara langsung. (Surakhmad,
1990:170) Wawancara ini dilakukan untuk menggali keterangan
tentang pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam mengadili
permohonan Isbat Nikah. Sasaran wawancara adalah hakim
Pengadilan Agama Mungkid.
c. Studi Pustaka
Studi pustaka yaitu penelitian yang mencari data dari
bahan-bahan tertulis (M. Amirin, 1990:135) berupa catatan, buku,
surat kabar, makalah, undang-undang dan sebagainya. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan buku-buku tentang hukum
perkawinan di Indonesia maupun fiqh munakahat sebagai rujukan.
Penulis juga menggunakan hasil penelitian terdahulu yang
14
6. Analisa Data
Analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif analisis
dengan menggunakan pola pikir deduktif. Artinya, menggambarkan
hasil penelitian dengan diawali teori atau dalil yang bersifat umum
tentang Isbat Nikah, kemudian mengemukakan kenyataan yang bersifat
khusus dari hasil penelitian terhadap penetapan Pengadilan Agama
Mungkid Nomor : 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd. Hasil penelitian
kemudian dianalisa dengan menggunakan metode tersebut, sehingga
mendapatkan gambaran yang jelas mengenai masalah yang diteliti
dalam penelitian ini.
7. Pengecekan Keabsahan Data
Keabsahan data merupakan hal yang sangat penting dalam
penelitian, karena dari data itulah nantinya akan muncul beberapa
fakta. Fakta-fakta ini nanti digunakan penulis sebagai bahan
pembahasan. Untuk memperoleh keabsahan temuan, penulis akan
menggunakan teknik-teknik kehadiran peneliti di lapangan, pelacakan
kesesuaian dan wawancara. Jadi temuan data tersebut dapat diketahui
keabsahannya.
8. Tahap-tahap Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini penulis melakukan penelitian
pendahuluan ke Pengadilan Agama Mungkid untuk mencari data awal
mengenai kasus Isbat Nikah. Kemudian penulis melakukan
15
melakukan penelitian yang sebenarnya. Setelah itu penulis melakukan
penulisan laporan hasil penelitian tersebut.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempeoleh gambaran yang jelas dan mudah dalam
memahami penulisan penelitian ini, maka penulis akan memberikan
gambaran singkat mengenai permasalahan yang akan dibahas, dengan
sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab I merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
penegasan istilah, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
Bab II berisi kajian pustaka yang menjelaskan tinjauan umum
tentang Wewenang Pengadilan Agama, Isbat Nikah, dan Kedudukan
Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia.
Bab III merupakan hasil temuan di lapangan yang meliputi profil
Pengadilan Agama Mungkid, salinan Penetapan Isbat Nikah Nomor :
00146/Pdt.P/2014/PA.Mkd dan faktor-faktor yang melatarbelakangi
dikabulkannya permohonan tersebut.
Bab IV merupakan analisis data dan temuan di lapangan, yang
meliputi analisis terhadap pertimbangan dan dasar hukum yang digunakan
oleh hakim dalam mengabulkan permohonan Isbat Nikah Nomor :
16
Bab V adalah kesimpulan dari beberapa bab terdahulu. Di samping
17
BAB II
ISBAT NIKAH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
A. Isbat Nikah
1. Pengertian Isbat Nikah
Isbat berasal dari bahasa Arab
تابثلاا
yang berarti penetapanatau pengukuhan. Menurut pasal 7 KHI, Isbat Nikah adalah
pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat
agama Islam, yang tidak dicatatkan ke KUA oleh Pengadilan Agama.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan mengatur bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatatkan
kepada Pegawai Pencatat Nikah. Pencatatan ini memang tidak
mempengaruhi keabsahan suatu perkawinan, karena pencatatan hanya
untuk keperluan administratif. Dengan dicatatkannya suatu
perkawinan, maka yang bersangkutan akan mendapat Akta Nikah yang
merupakan bukti otentik suatu perkawinan. Sehingga perkawinan
tersebut memiliki kekuatan hukum dan perlindungan dari negara.
Bentuk jaminan kepastian dan perlindungan hukum itu bagi
suami-isteri adalah, jika salah satu dari suami atau isteri melalaikan
kewajibannya maka pihak yang dirugikan dapat menggugat ke
pengadilan. Anak-anak yang lahir dalam perkawinan yang dicatatkan
18
pendidikan dari ayahnya jika ayah dan ibunya bercerai. Atau jika
ayahnya meninggal dunia maka anak tersebut berhak untuk
mendapatkan warisan.
Untuk melegitimasi perkawinan yang dilakukan sebelum
diberlakukannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dapat diajukan
permohonan Isbat Nikah ke Pengadilan Agama bagi yang beragama
Islam. Isbat Nikah atau penetapan perkawinan adalah pengesahan
perkawinan yang dicatatkan kepada PPN oleh Pengadilan Agama.
Pengadilan Agama hanya diperbolehkan mengabulkan
permohonan Isbat Nikah sepanjang perkawinan memenuhi syarat dan
rukun yang ditetapkan Islam dan tidak melanggar larangan perkawinan
sebagaimana diatur dalam pasal 8 s/d 10 Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 dan pasal 39 s/d 44 Kompilasi Hukum Islam. Dengan penetapan
dari Pengadilan Agama itu, pemohon dapat mengajukan pencatatan
perkawinannya ke KUA.
2. Dasar Hukum Isbat Nikah
Kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili permohonan
Isbat Nikah diatur dalam pasal 49 ayat (2) angka 22 Undang-Undang
No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Pasal tersebut berbunyi
“Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang
-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan
19
Pasal 7 ayat (2) dan (3) Kompilasi Hukum Islam juga
menjelaskan kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili Isbat
Nikah. Dalam pasal 7 ayat (2) disebutkan “Dalam hal perkawinan tidak
dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan Isbat Nikahnya
ke Pengadilan Agama”. Dan pasal 7 ayat (3) berbunyi :
Isbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b. Hilangnya Akta Nikah;
c. Adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d. Adanya perkawinan yang dilakukan sebelum
berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974;
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halanganmenurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Berdasarkan penjelasan pasal 49 ayat (2) angka 22
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, permohonan Isbat Nikah yang dapat
diajukan ke Pengadilan Agama hanya pada perkawinan yang dilakukan
sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Sementara
Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat (3) huruf a, b, c, dan e membuka
peluang bagi Pengadilan Agama untuk mengisbatkan perkawinan yang
20
3. Prosedur Isbat Nikah di Pengadilan Agama
Proses pengajuan, pemeriksaan dan penyelesaian permohonan Isbat
Nikah sebagaimana diatur pada Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Peradilan Agama (2014:143-146) harus memedomani
hal-hal sebagai berikut :
a. Permohonan Isbat Nikah dapat dilakukan oleh suami-isteri atau salah satu dari suami atau isteri, anak, wali nikah, dan pihak lain yang berkepentingan dengan perkawinan tersebut kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah dalam
wilayah hukum pemohon bertempat tinggal, dan
permohonan Isbat Nikah harus dilengkapi dengan alasan dan kepentingan yang jelas serta konkrit.
b. Proses pemeriksaan permohonan Isbat Nikah yang diajukan oleh suami dan isteri bersifat voluntair, produknya berupa penetapan. Jika isi penetapan tersebut menolak permohonan Isbat Nikah, maka para pemohon dapat mengajukan upaya hukum kasasi.
c. Proses pemeriksaan permohonan Isbat Nikah yang diajukan oleh salah seorang suami atau isteri bersifat kontensius,
dengan mendudukkan suami atau isteri yang tidak
mengajukan permohonan sebagai pihak termohon.
Produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi.
d. Jika dalam proses pemeriksaan permohonan Isbat Nikah dalam huruf (b) dan (c) diketahui bahwa suami masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan perempuan lain, maka isteri terdahulu harus dijadikan pihak dalam perkara. Jika pemohon tidak bersedia merubah permohonannya dengan memasukkan isteri terdahulu sebagai pihak, permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. e. Permohonan Isbat Nikah yang dilakukan oleh anak, wali nikah, dan pihak lain yang berkepentingan harus bersifat
kontensius, dengan mendudukkan suami dan isteri dan/atau ahli waris lain sebagai termohon.
f. Suami atau isteri yang telah ditinggal mati oleh isteri atau suaminya, dapat mengajukan permohonan Isbat Nikah secara kontensius dengan mendudukkan ahli waris lainnya sebagai pihak termohon. Produknya berupa putusan dan atas putusan tersebut dapat diupayakan banding dan kasasi. g. Dalam hal suami atau isteri yang ditinggal mati tidak
21
permohonan Isbat Nikah diajukan secara voluntair,
produknya berupa penetapan. Jika permohonan tersebut ditolak, maka pemohon dapat mengajukan upaya hukum kasasi.
h. Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan Isbat Nikah tersebut dalam huruf (b) dan (f), dapat melakukan perlawanan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang memeriksa perkara Isbat Nikah tersebut selama perkara belum diputus.
i. Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan Isbat Nikah tersebut dalam huruf (c), (d), dan (e), dapat mengajukan intervensi kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang memeriksa perkara Isbat Nikah tersebut selama perakara belum diputus.
j. Pihak lain yang mempunyai kepentingan hukum dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan Isbat Nikah tersebut dalam huruf (c), (d), dan (e), sedangkan permohonan tersebut telah diputus oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah, dapat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan yang telah disahkan oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah tersebut.
k. Ketua Majelis Hakim 3 hari setelah menerima PMH, membuat PHS sekaligus memerintahkan juru sita pengganti untuk mengumumkan permohonan pengesahan nikah tersebut 14 hari terhitung sejak tanggal pengumuman pada media massa cetak atau elektronik atau sekurang-kurangnya
diumumkan pada papan pengumuman Pengadilan
Agama/Mahkamah Syariah.
l. Majelis Hakim dalam menetapkan hari siding paling lambat 3 hari setelah berakhirnya pengumuman. Setelah hari pengumuman berakhir, Majelis Hakim segera menetapkan hari sidang.
22
B. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Sistem Perundang-undangan Indonesia
1. Sejarah Lahirnya KHI
Dalam Islam dikenal ada tiga sumber hukum utama yaitu,
al-Qur’an, Sunnah dan Ra’yu (akal) untuk berijtihad. Ketentuan hukum
yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah masih bersifat umum
sehingga masih memerlukan penafsiran dan perincian sehingga mudah
untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hukum yang diperoleh
dari al-Qur’an dan Sunnah yang telah diperinci inilah yang disebut
dengan Fiqh.
Fiqh yang berlaku dikalangan umat Islam beraneka ragam.
Kalangan Sunni mengenal empat mazhab yaitu Maliki, Hanafi, Syafii
dan Hanbali yang masing-masing memiliki kitab fiqh sendiri-sendiri
sebagai pedoman. Di Indonesia, sebagian besar mengikuti mazhab
Syafii sebagai panutan dalam menentukan hukum.
Di lingkungan peradilan agama, ada 13 kitab yang semuanya
mazhab Syafii sebagai hukum materiil yang digunakan untuk
menyelesaikan perkara yang diajukan. Banyaknya kitab fiqh yang
digunakan berakibat sering dijumpai putusan yang berbeda untuk
perkara yang sama. Hal ini memicu ketidakpastian hukum dikalangan
umat Islam yang mencari keadilan. Inilah yang mendorong pakar
23
Untuk menyusun sebuah unifikasi hukum ini, diadakan
berbagai kegiatan seperti penelitian kitab kuning, penelitian
yurisprudensi, wawancara dengan ulama seluruh Indonesia, studi
banding ke Timur Tengah dan diakhiri dengan pengolahan data dan
lokakarya nasional. Dari lokakarya ini berhasil disusun Kompilasi
Hukum Islam (KHI). (Muhibbin & Wahid, 2009:176)
2. Sistematika KHI
Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdiri dari tiga buku yang
berisi ketentuan-ketentuan hukum Islam tentang Perkawinan (Buku 1),
Kewarisan (Buku 2), dan Perwakafan (Buku 3). Sistematika dari ketiga
buku tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
a. Hukum Perkawinan (Buku 1)
1) Bab I Ketentuan Umum (Pasal 1)
2) Bab II Dasar-Dasar Perkawinan (Pasal 2-10)
3) Bab III Peminangan (Pasal 11-13)
4) Bab IV Rukun dan Syarat Perkawinan (Pasal 14-29)
5) Bab V Mahar (Pasal 30-38)
6) Bab VI Larangan Perkawinan (Pasal 39-44)
7) Bab VII Perjanjian Perkawinan (Pasal 45-52)
8) Bab VIII Kawin Hamil (Pasal 53-54)
9) Bab IX Beristeri Lebih dari Satu Orang (Pasal 55-59)
24
11)Bab XI Batalnya Perkawinan (Pasal 70-76)
12)Bab XII Hak dan Kewajiban Suami Isteri (Pasal 77-84)
13)Bab XIII Harta Kekayaan dalam Perkawinan (Pasal 85-97)
14)Bab XIV Pemeliharaan Anak (Pasal 98-106)
15)Bab XV Perwalian (Pasal 107-112)
16)Bab XVI Putusnya Perkawinan (Pasal 113-148)
17)Bab XVII Akibat Putusnya Perkawinan (Pasal 149-162)
18)Bab XVIII Rujuk (Pasal 163-169)
19)Bab XIX Masa Berkabung (Pasal 170)
b. Hukum Kewarisan (Buku 2)
1) Bab I Ketentuan Umum (Pasal 171)
2) Bab II Ahli Waris (Pasal 172-175)
3) Bab III Besarnya Bahagian (Pasal 176-191)
4) Bab IV Auld anRad (Pasal 192-193)
5) Bab V Wasiat (Pasal 194-209)
6) Bab VI Hibah (Pasal 210-214)
c. Hukum Perwakafan (Buku 3)
1) Bab I Ketentuan Umum (Pasal 215)
2) Bab II Fungsi, Unsur-Unsur dan Syarat Wakaf (Pasal
216-222)
3) Bab III Tata Cara Perwakafan (Pasal 223-224)
4) Bab IV Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan Benda
25
5) Bab V Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup (Pasal
228-229)
3. Kedudukan KHI dalam Sistem Perundang-Undangan di Indonesia Dasar hukum KHI yang hanya berupa Instruksi Presiden
(Inpres) dianggap belum memiliki kedudukan yang kuat dalam sistem
perundang-undangan di Indonesia. Meskipun begitu, fakta di lapangan
menunjukkan KHI tetap digunakan sebagai rujukan oleh hakim di
lingkungan peradilan agama dalam menyelesaikan perkara. Hal ini
dikarenakan KHI dianggap sebagai fiqh khas Indonesia yang sesuai
dengan kondisi masyarakat Indonesia. Pasal-pasal KHI banyak diambil
dari pendapat Imam Syafii yang diikuti oleh mayoritas orang
Indonesia, sehingga KHI dapat diterima oleh masyarakat.
Pada dasarnya Inpres memang bukan merupakan salah satu
jenis peraturan perundang-undangan sehingga tidak dicantumkan
dalam tata urutan perundang-undangan. Inpres merupakan arahan atau
perintah presiden kepada bawahannya yang bersifat individual,
konkret, dan sekali selesai. Instruksi presiden hanya dapat mengikat
menteri, atau pejabat-pejabat pemerintah yang berkedudukan di bawah
presiden dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan.
Kedudukan Inpres No.1 tahun 1991 tentang KHI memang
sangat problematik. Jika ditinjau sisi luarnya Inpres ini bukan termasuk
26
presiden terhadap bawahannya. Akan tetapi jika ditinjau dari
pasal-pasalnya, dapat dikatakan Inpres tersebut mengandung norma atau
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, abstrak, dan
terus-menerus. (Harahab dan Omara, 2010:643)
Dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2004 pasal 7 ayat (1)
yang menjelaskan jenis dan hierarki perundang-undangan, Inpres tidak
termasuk salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam tata
urutan perundang-undangan. Akan tetapi dalam pasal 7 ayat (4)
disebutkan “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaanya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Dengan demikian,
dimungkinkan Inpres menjadi salah satu jenis peraturan
perundang-undangan meskipun tidak tercantum dalam tata urutan peraturan
perundang-undangan. Akan tetapi posisi dari Inpres juga masih tidak
jelas, apakah di bawah Peraturan Presiden (Perpres) atau di bawah
27
BAB III
PROFIL PENGADILAN AGAMA MUNGKID DAN PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd TENTANG ISBAT NIKAH PADA PERKAWINAN YANG DILAKUKAN
PASKA BERLAKUNYA UU PERKAWINAN
A. Peradilan Agama
1. Pengertian Peradilan Agama
Peradilan adalah proses mengadili atau suatu upaya untuk mencari
keadilan atau penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan
peradilan menurut peraturan yang berlaku. Sementara Pengadilan
adalah lembaga tempat mengadili atau menyelesaikan sengketa hukum
yang mempunyai kekuasaan absolut dan relatif sesuai peraturan
perundang-undangan. (Musthofa, 2005:5-6)
Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara Indonesia
yang sah, yang bersifat Peradilan Khusus, yang berwenang dalam jenis
perkara perdata Islam tertentu, bagi orang-orang Islam di Indonesia.
(Rasyid, 2010:6) Jadi kompetensi Peradilan Agama tidak mencakup
tindak pidana, perkara perdata pun dibatasi pada perkara perdata
tertentu menurut Islam.
Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989,
disebutkan “Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang
28
merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata
tertentu yang diatur dalam undang-undang ini”.
Namun dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 berbunyi
“Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu yang diatur dalam undang-undang ini”.
Dengan demikian, setelah perubahan tersebut Pengadilan Agama juga
diberi kewenangan untuk mengadili perkara non perdata, seperti
perkara pidana atas pelanggaran terhadap UU Perkawinan dan sanksi
jinayah atas pelanggaran qanun di Nanggroe Aceh Darussalam.
2. Sejarah Peradilan Agama
Peradilan Agama sudah mulai dikenal sejak masuknya Islam di
Indonesia (Nusantara). Semakin berkembangnya eksistensi Peradilan
Agama disebabkan oleh kesadaran hukum dan kebutuhan masyarakat
akan adanya lembaga yang mampu menyelesaikan sengketa hukum.
Hal ini dapat dipahami mengingat jabatan dan fungsi hakim atau qadhi
merupakan alat kelengkapan dalam pelaksanaan syara’.
Seiring dengan semakin berkembangnya agama Islam dan semakin
tingginya kesadaran hukum masyarakat muslim, maka kebutuhan akan
29
ada hakim, masyarakat menyelesaikan sengketa dengan cara tahkim.
Tahkim adalah penyerahan kedua belah pihak yang bersengketa
kepada pihak ketiga (muhakkam) untuk menyelesaikan
persengketaannya. Penyelesaian sengketa oleh muhakkam berlangsung
beberapa waktu, hingga peradilan menjadi lebih teratur dan sistematis
pada masa Kesultanan Islam.
Periode selanjutnya itu adalah periode Tauliyah dari Imam, yang
dimulai ketika Islam datang dan diterima raja-raja seperti pada
kerajaan Mataram, sehingga para hakim pelaksana peradilan diangkat
oleh sultan atau imam atau disebut wali al amr. (Musthofa, 2005:13)
Dengan dalih untuk menertibkan Pengadilan Agama, pada tahun
1882 Raja Belanda mengeluarkan keputusan tentang pembentukan
Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dengan menerbitkan
Staatsblad No. 24 tanggal 19 Januari 1882. Badan peradilan ini
bernama Priesterraden yang kemudian lazim disebut Raad Agama dan
kemudian lebih dikenal dengan nama Pengadilan Agama. (Musthofa,
2005:15)
Staatsblaad 1882 yang mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1882
berisi 7 pasal yaitu :
Pasal 1
Di samping setiap Landraad (Pengadilan Negeri) di Jawa dan Madura diadakan suatu Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya sama dengan wilayah hokum landraad.
Pasal 2
30
anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh gubernur/residen.
Pasal 3
Pengadilan Agama tidak boleh menjatuhkan putusan, kecuali dihadiri oleh sekurang-kurangnya tiga anggota termasuk ketua. Kalau suara sama banyak, maka suara ketua yang menentukan.
Pasal 4
Keputusan Pengadilan Agama dituliskan dengan disertai alasan-alasannya yang singkat, juga harus diberi tanggal dan ditanda-tangani oleh para anggota yang turut member keputusan. Dalam beperkara itu disebutkan pula jumlah ongkos yang dibebankan kepada pihak-pihak yang beperkara.
Pasal 5
Kepada pihak-pihak yang beperkara harus diberikan salinan surat keputusan yang ditandatangani oleh ketua.
Pasal 6
Keputusan Pengadilan Agama harus dimuat dalam suatu daftar yang harus diserahkan kepada residen setiap tiga bulan sekali untuk memperoleh penyaksian (visum) dan pengukuhan.
Pasal 7
Keputusan Pengadilan Agama yang melampaui batas wewenang/kekuasaannya atau tidak memenuhi ketentuan Ayat (2), (3), dan (4) di atas tidak dapat dinyatakan berlaku. (Zuhriah, 2009:83-84)
Selanjutnya pemerintah Belanda kembali mengeluarkan peraturan
tentang Pengadilan Agama. Peraturan tersebut dimuat dalam
Staatsblaad No. 128 tahun 1909 dan Staatsblaad No. 232 tahun 1926.
Kedua Staatsblaad tersebut menimbulkan kekecewaan bagi kalangan
ahli hukum maupun umat Islam.
Pemerintah Belanda memang melegalisasi keberadaan Peradilan
Agama, tapi mereka ingin mematikan secara perlahan keberadaan
Peradilan Agama dengan terus mengurangi kewenangan yang
diberikan. Pada masa penjajahan Jepang, Peradilan Agama tetap
31
Pada masa penjajahan Jepang, semua peraturan
perundang-undangan yang berasal dari Belanda masih diberlakukan sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan Jepang. Kemudian pada tahun
1942 diterbitkan UU No. 14 Tahun 1942 tentang Pengadilan Bala
Tentara Dai Nippon. Dalam undang-undang tersebut sebagimana
dijelaskan Basiq Djalil (2006:60) bahwa telah dibentuk Gunsei Hooin
(Pengadilan Pemerintahan Bala Tentara) yang terdiri atas:
a. Tiho Hooin (Pengadilan Negeri);
b. Keiza Hooin (Pengadilan Polisi);
c. Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten);
d. Gun Hooin (Pengadilan Kawedanan);
e. Kiaikoyo Kootoo Hooin (Mahkamah Islam Tinggi);
f. Sooryo Hooin (Rapat Agama).
Keberadaan Pengadilan Agama sempat terancam pada saat
penjajahan Jepang, hal ini disebabkan dengan akan diberikannya
wewenang Pengadilan Agama pada pengadilan biasa. Namun hal
tersebut urung terjadi karena Jepang terlebih dahulu menyerah pada
sekutu dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Pada tahun 1970, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
32
Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer
dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Berdasarkan ketentuan pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, semua putusan Pengadilan Agama
harus dikukuhkan oleh Peradilan Umum. Ketentuan ini membuat
Peradilan Agama secara de facto kedudukannya berada di bawah
Peradilan Umum. (Rasyid & Syaifuddin, 2009:1) Hal ini bertentangan
dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, yang
menyebut kedudukan keempat peradilan tersebut setara.
Lalu diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang
mengakhiri pluralisme peraturan Peradilan Agama tersebut, fungsi dan
struktur susunan kekuasaan Peradilan Agama disempurnakan dan
ditegakkan tanpa campur tangan lingkungan Peradilan Umum.
(Musthofa, 2009:18) Undang-undang ini juga mengatur pembinaan
teknis dengan sistem satu atap di bawah Mahkamah Agung. Dengan
tujuan, terciptanya peradilan yang mandiri, bertanggung jawab, dan
33
3. Kewenangan Peradilan Agama a. Kewenangan Relatif
Kompetensi relatif adalah kewenangan dari lembaga peradilan
sejenis mana yang berwenang memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara. Misalnya, antara Pengadilan Agama Mungkid
dengan Pengadilan Agama Boyolali.
Tiap-tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum atau
yuridiksi relatif tertentu yang meliputi satu kotamadya atau satu
kabupaten, atau dalam kondisi tertentu memungkinkan adanya
pengecualian. Yuridiksi relatif ini mempunyai arti penting
berhubungan dengan ke Pengadilan Agama mana orang akan
mengajukan perkaranya dan berhubungan dengan hak eksepsi
tergugat. (Rasyid, 2010:26)
b. Kewenangan Absolut
Kompetensi absolut berkaitan dengan badan peradilan mana
yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Misalnya, Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan perceraian
bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan bagi yang non
muslim perkara perceraiannya menjadi kewenangan Pengadilan
Negeri.
Kompetensi absolut Peradilan Agama diatur dalam pasal 49
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, hanya meliputi bidang
34
setelah perubahan, dengan disahkannya Undang-Undang No. 3
Tahun 2006 untuk mengganti Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
kewenangan Pengadilan Agama menjadi bertambah luas. Dalam
undang-undang baru tersebut, yang menjadi kompetensi absolut
Peradilan Agama adalah masalah perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.
Dalam penjelasan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 memberikan peluang pada Peradilan Agama untuk
menyelesaikan sengketa non muslim sepanjang yang
disengketakan termasuk kewenangan absolut Peradilan Agama dan
yang bersangkutan menundukkan diri secara suka rela kepada
hukum Islam. (Rasyid & Syaifuddin, 2009:13)
Untuk memperjelas rincian tentang kewenangan Peradilan
Agama dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Bidang Perkawinan
a) Izin Beristri Lebih dari Seorang
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menganut asas monogami. Tetapi
pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tidak menutup kemungkinan beristri lebih
dari seorang. Suami yang menghendaki beristri
35
permohonan izin poligami kepada Pengadilan
Agama.
b) Izin Kawin, Dispensasi Kawin dan Wali Adhal
Permohonan izin melangsungkan
perkawinan diajukan calon mempelai yang
belum berusia 21 tahun dan tidak mendapat izin
dari orang tuanya. Pengadilan Agama dapat
memberikan izin melangsungkan perkawinan
setelah mendengar keterangan dari orang tua,
keluarga dekat atau walinya.
Calon suami isteri yang belum mencapai
usia 19 dan 16 tahun yang ingin melangsungkan
perkawinan harus mengajukan permohonan
dispensasi kawin kepada Pengadilan Agama.
Permohonan dispensasi kawin dapat diajukan
oleh calon mempelai berdua dan/atau orang tua
yang bersangkutan.
Calon mempelai wanita yang akan
melangsungkan perkawinan yang wali nikahnya
tidak mau menjadi wali dapat mengajukan
permohonan penetapan wali adhal kepada
36
mengabulkan permohonan penetapan wali adhal
setelah mendengar keterangan orang tua.
c) Penolakan Perkawinan
Calon suami isteri yang akan
melangsungkan perkawinan harus memenuhi
syarat sebagaimana diatur Undang-Undang No.
1 Tahun 1974. Jika salah satu atau kedua calon
mempelai tidak memenuhi persyaratan, maka
PPN dapat menolak mencatat perkawinan
tersebut. Calon mempelai dapat mengajukan
permohonan pencabutan surat penolakan
perkawinan dari PPN kepada Pengadilan
Agama. Pengadilan Agama dalam wilayah
hukum di mana PPN berkedudukan dapat
mengabulkan permohonan pencabutan surat
penolakan perkawinan dari PPN dan
memerintahkan PPN untuk melaksanakan
perkawinan kedua mempelai, bila menurut
Pengadilan Agama surat penolakan perkawinan
tersebut tidak mempunyai alasan hukum.
d) Pencegahan Perkawinan
Jika salah satu atau kedua calon mempelai
37
memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka orang
tua, keluarga, wali pengampu, dari calon
mempelai dapat mengajukan pencegahan
perkawinan kepada Pengadilan Agama.
Pengadilan Agama menyampaikan salinan surat
permohonan pencegahan perkawinan kepada
KUA, agar KUA tidak melangsungkan
perkawinan yang bersangkutan, selama proses
pemeriksaan di Pengadilan Agama
berlangsuing. Jika permohonan pencegahan
perkawinan tersebut dikabulkan, Pengadilan
Agama akan menyampaikan salinan penetapan
kepada KUA tempat perkawinan akan
dilangsungkan.
e) Pembatalan Perkawinan
Jika perkawinan telah dilangsungkan,
sedangkan salah satu atau kedua mempelai tidak
memenuhi syarat-syarat yang diatur
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka orang tua,
keluarga, PPN, dan jaksa dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan kepada
38
dimulai setelah putusan Pengadilan Agama
mempunyai kekuatan hukum tetap.
f) Pengesahan Perkawinan/Isbat Nikah
Perkawinan yang dilangsungkan
berdasarkan agama yang tidak dicatat oleh PPN
dapat diajukan permohonan pengesahan
perkawinan kepada Pengadilan Agama.
g) Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran adalah perkawinan
dua orang yang berbeda kewarganegaraan dan
satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jika
pejabat yang berwenang mencatat perkawinan di
negara pihak yang akan melangsungkan
perkawinan menolak untuk memberikan surat
keterangan bahwa syarat-syarat perkawinan
telah terpenuhi, maka pihak yang bersangkutan
dapat mengajukan permohonan pembatalan
surat penolakan tersebut kepada Pengadilan
Agama.
h) Cerai Talak
Cerai talak diajukan oleh pihak suami yang
petitumnya memohon untuk diizinkan
39
i) Harta Bersama
Suami isteri yang telah bercerai jika terjadi
perselisihan dalam pembagian harta bersama
dapat mengajukan gugatan harta bersama
kepada Pengadilan Agama. Gugatan pembagian
harta bersama sedapat mungkin diajukan setelah
terjadi perceraian.
j) Talak Khuluk
Talak khuluk merupakan gugatan isteri untu
bercerai dari suaminya dengan tebusan. Proses
penyelasaian gugatan tersebut dilaksanakan
sesuai dengan prosedur cerai gugat dan harus
diputus hakim.
k) Asal-Usul Anak
Anak sah adalah anak yang lahir dalam atau
akibat perkawinan yang sah (pasal 42
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo pasal 99 KHI).
Sedangkan anak yang tidak sah adalah anak
yang lahir di luar perkawinan yang sah atau lahir
dalam perkawinan yang sah akan tetapi
disangkal oleh suami dengan sebab li’an. Pengadilan Agama paling lambat satu bulan
40
tetap mengirimkan salinan putusan tersebut
kepada Kantor Catatan Sipil untuk didaftarkan.
l) Pemeliharaan dan Nafkah Anak
Suami isteri yang telah bercerai jika terjadi
perselisihan dalam pemeliharaan dan nafkah
anak, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Agama.
m) Perwalian
Pengadilan Agama mempunyai kewenangan
untuk memutus masalah perwalian meliputi;
pencabutan kekuasaan orang tua, pencabutan
kekuasaan wali, penunjukan orang lain sebagai
wali, penunjukan seorang wali bagi anak yang
belum berusia 18 tahun yang ditinggal kedua
orang tuanya, dan pembebanan kewajiban ganti
rugi atas harta benda anak yang ada di bawah
kekuasaannya.
n) Pengankatan Anak
Permohonan pengangkatan anak oleh Warga
Negara Indonesia (WNI) yang beragama Islam
merupakan kewenangan Pengadilan Agama
41
2) Bidang Kewarisan
Yang dimaksud waris adalah penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta
peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli
waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan
tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan
seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini
menghapus hak opsi dalam penyelesaian sengketa
waris. Dengan demikian sengketa waris bagi yang
beragama Islam hanya dapat diselesaikan di Pengadilan
Agama.
3) Bidang Wasiat
Yang dimaksud dengan wasiat adalah perbuatan
seseorang memberikan suatu benda atau manfaat
kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang
berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal
dunia.
4) Bidang Hibah
Yang dimaksud dengan hibah adalah pemberian
42
seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau
badan hukum untuk dimiliki.
5) Bidang Wakaf
Wakaf adalah perbuatan seseorang atau sekelompok
orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah. Kalau dipahami
secara literal ketentuan yang terdapat dalam pasal 49
huruf e Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, maka
kewenangan menyelesaikan sengketa dalam perwakafan
termasuk kewenangan absolut Peradilan Agama,
termasuk di dalamnya perwakafan dengan uang tunai
(cash waqf). (Rasyid & Syamsuddin, 2009:26)
6) Bidang Zakat
Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh
seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh
orang muslim sesuai dengan ketentuan syariah untuk
43
7) Bidang Infaq dan Shadaqah
Infaq dan Shadaqah adalah pemberian harta dari
seseorang yang beragama Islam, badan hukum atau
lembaga sosial Islam kepada mustahik guna
kepentingan tertentu dengan mengharap ridha Allah.
(Mahkamah Agung RI, 2014:170)
8) Bidang Ekonomi Syariah
Dalam penjelasan pasal 49 huruf I Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006, bahwa yang dimaksud dengan
ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha
yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain
meliputi :
a) Bank syariah;
b) Lembaga keuangan mikro syariah;
c) Asuransi syariah;
d) Reasuransi syariah;
e) Reksa dana syariah;
f) Obligasi syariah dan surat berharga berjangka
menengah syariah;
g) Sekuritas syariah;
h) Pembiayaan syariah;
i) Pegadaian syariah;
44
k) Bisnis syariah.
9) Isbat Rukyat Hilal
Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama, tidak mencantumkan penetapan Isbat
Rukyat Hilal sebagai salah satu kewenangan dari
Pengadilan Agama. Akan tetapi dalam buku Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama,
yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI (2014:173)
dijelaskan “Pemohon (Kantor Kementerian Agama)
mengajukan permohonan itsbat kesaksian rukyat hilal
kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang
mewilayahi tempat pelaksanaan rukyat hilal”. Sidang
itsbat rukyat hilal merupakan sidang di tempat yang
dilaksanakan di tempat rukyat hilal. Sidang dilakukan
dengan cepat , sederhana, dan dipimpin oleh hakim
tunggal.
B. Profil Pengadilan Agama Mungkid 1. Lokasi Pengadilan Agama Mungkid
Lokasi Gedung Pengadilan Agama Mungkid terletak di Jl.
Soekarno Hatta No. 36 Kota Mungkid Kab. Magelang. Secara
astronomis Pengadilan Agama Mungkid terletak antara 110º-01’-51”
45
dengan 7º-42’-16” Lintang Selatan. Berdiri di atas tanah seluas 1695
m² dengan status hak guna pakai dari Pemerintah Daerah Magelang,
dan luas bangunannya adalah 1335 m².
2. Sejarah Pengadilan Agama Mungkid
Pengadilan Agama Mungkid terbentuk melalui Surat
Keputusan Menteri Agama No. 207 Tanggal 22 Juli 1986, tetapi
realisasinya baru pada tahun 1987. Untuk pertama kali Pengadilan
Agama Mungkid diketuai oleh Drs. H. Yahya Arul, SH (1987-1997).
Waktu itu menempati gedung di Jalan Sailendra Raya seluas ± 150 m²
dengan cara menyewa. Pada tahun 1989 kantor pindah ke gedung
kantor milik Depag (Departemen Agama). Pada masa kepemimpinan
Drs. H. Qomaruddin Mudzakir, SH (2002-2006 ) kantor lama dapat
diubah kepemilikannya dari Depag menjadi milik Mahkamah Agung
RI serta Pengadilan Agama Mungkid mendapatkan tanah untuk
digunakan membangun gedung kantor yang baru.
Pada masa kepemimpinan Drs. H. Nikmat Hadi, SH sebagai
Ketua Pengadilan Agama Mungkid (2006-2008), Pengadilan Agama
Mungkid mendapat anggaran untuk pembangunan gedung kantor yang
baru. Setelah dalam masa satu tahun pembangunan dilaksankan, maka
pada tanggal 19 Juni 2008 gedung kantor Pengadilan Agama Mungkid