• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN - BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN - BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi

Asosiasi Psikologi Amerika (APA) mendefinisikan resiliensi sebagai proses beradaptasi ketika menghadapi kemalangan, trauma, bencana atau ancaman yang dapat mengakibatkan stress (Bonanno, Brick, dan Yehuda, 2014). Masten (2001) menguraikan resiliensi sebagai suatu sistem yang dinamis untuk beradaptasi dengan baik terhadap gangguan yang mengancam kelangsungan hidup, fungsi dan perkembangan sebuah sistem. Resiliensi didefinisikan oleh Grotberg (Schoon, 2006) sebagai kapasitas manusia untuk menghadapi, mengatasi, dan bahkan berubah menjadi lebih baik akibat pengalaman traumatik yang menimpa hidup seseorang.

(2)

bila terjadi sesuatu yang merugikan. Resiliensi adalah sebuah proses yang

(3)

sehingga tiap individu dapat meningkatkan daya resiliensi dari waktu ke waktu saat menghadapi kesengsaraan hidup sehari-hari. Henderson & Milstein (dalam Sari, 2014) mengartikan resiliensi sebagai kemampuan dalam diri seseorang untuk bangkit dari pengalaman negatif yang dialami, bahkan menjadi lebih kuat menghadapi pengalaman hidup selanjutnya.

Voysoy (2014) menguraikan resiliensi sebagai kemampuan membuat lompatan setelah orang mengalami hantaman dalam hidup. Seorang yang memiliki daya lenting bisa jadi berada dalam kondisi terjatuh tetapi mampu bangkit kembali, bahkan menjadi jauh lebih kuat dari sebelumnya. Daya resiliensi menurut Mulyani (2011) disebut sebagai sebuah sikap yang mampu mendorong seseorang menemukan pengalaman baru dan memiliki pandangan bahwa kehidupan adalah sebuah proses yang makin hari makin memiliki peningkatan, memiliki rasa percaya diri berinteraksi dengan orang lain serta memiliki keberanian dalam mengambil risiko atas tindakan atau perbuatan yang telah dilakukan. Hasil penelitian lain mengungkapkan resiliensi merupakan proses perkembangan untuk memiliki kemampuan beradaptasi dengan menggunakan sumber dari dalam dan luar diri seseorang agar mencapai kemampuan positif saat menghadapi kesengsaraan atau kemalangan (Yates, Egeland & Sroufe, 2003)

(4)

dan mengatasi tekanan hidup kemudian menemukan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya serta menunjukan kualitas hidup yang lebih baik.

2. Aspek-Aspek Resiliensi

Resiliensi bukan sebuah bakat tetapi kemampuan dasar yang dimiliki semua orang yang harus selalu dikembangkan. Reivich dan Shatte (2002), menguraikan tujuh aspek yang membentuk kemampuan daya lentur atau resiliensi pada diri seseorang yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri, dan reaching out. 1. Regulasi Emosi

Rahmawati (dalam Ismuninggar, 2017) menyampaikan bahwa regulasi emosi adalah kemampuan seseorang dalam menata emosi sehingga tetap menunjukan sikap tenang ketika berada dalam situasi yang banyak tekanan. Kemampuan ini sangat nampak dalam diri seseorang ketika kesal, sedih atau marah yang berdampak baik pada proses pemecahan masalah. Kemampuan mengatur, mengawasi, dan mengontrol emosi ketika menghadapi masalah dengan diri sendiri, orang lain atau pekerjaan adalah tanda orang yang mempunyai kecerdasan emosional. Kemampuan mengekspresikan emosi, baik emosi positif maupun negative, secara tepat merupakan bagian dari resiliensi (Reivich & Shatte, 2002).

(5)

emosi dan perasaan positif. Regulasi emosi membantu seseorang untuk menyesuaikan emosinya dengan situasi yang dihadapi, menjauhkan dari emosi negatif dan menjaga emosi tetap terkendali. Reivich dan Shatte (2002) menyampaikan bawa regulasi emosi ditandai dengan dua keterampilan yaitu tenang (calming) dan fokus (focusing). Dua keterampilan tersebut membantu individu untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali dengan menunjukan sikap tenang dan tidak mudah terprovokasi oleh keadaan, serta tetap fokus pada usaha menghadapi dan menyelesaikan masalah ketika banyak hal-hal yang mengganggu, hingga sampai pada keberhasilan mengurangi stress yang dialami.

- Tenang (Calming)

Tekanan atau stress yang dialami oleh individu dapat dengan segera dihadapi dan dikelola dengan cara merubah cara berpikir ketika berhadapan dengan stressor. Individu tersebut tidak selalu mampu menghindari keseluruhan stress yang dialami tetapi ia terdorong untuk dapat menemukan cara untuk membuat diri berada dalam kondisi tenang ketika stress menghadang.

(6)

mengontrol pernapasan, relaksasi otot serta dengan menggunakan teknik positive imagery, yaitu membayangkan suatu tempat yang tenang dan menyenangkan.

- Fokus (Focusing)

Keterampilan diri untuk tetap fokus pada permasalahan yang ada sangat membantu individu menemukan jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi (Reivich & Shatte, 2002). Individu yang memiliki ketrampilan fokus mampu menganalisis dan membedakan antara sumber permasalahan yang sebenarnya dengan permasalahan yang justru timbul sebagai akibat dari sumber permasalahan yang sebenarnya. Pada akhirnya keterampilan fokus membantu individu dalam mencari solusi yang tepat. Hal ini tentunya akan mengurangi stres yang dialami oleh individu.

(7)

2. Pengendalian Impuls

Kemampuan mengendalikan emosi sangat berhubungan dengan kemampuan mengendalikan impuls dalam diri. Pengendalian impuls merupakan kemampuan untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan atau tekanan dalam diri seseorang. Kemampuan mengendalikan impuls menghindarkan seseorang dari kekakuan pada pola pikir tertentu sehingga dapat mendeteksi efek negatif dari situasi atau keinginan yang muncul (Reivich & Shatte, 2002).

Reivich & Shatte (2002) mengungkapkan bahwa kemampuan mengontrol dorongan-dorongan dalam diri mencakup kemampuan mengelola tindakan, tindak tanduk dan emosi-emosi dengan cara yang realistis selama mengalami kesengsaraan. Resiliensi bukan kondisi dimana seseorang terbebas dari dorongan-dorongan impul tetapi tentang bagaimana seseorang mampu mempertimbangkan sebelum mengikuti dorongan emosinya. Seorang yang resilien akan mampu melihat secara jernih terhadap dorongan-dorongan keinginan dalam diri agar terhindar dari permasalahan baru yang dapat memperburuk keadaan.

(8)

hidup, menggugurkan kandungan atau bahkan menyakiti orang yang dianggap sudah merusak kehidupannya. Dia akan melihat lebih dahulu resiko yang akan dihadapi bila memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu tidak hanya mengejar rasa puas semata.

3. Optimisme

Reivich & State (2002) mengungkapkan orang yang memiliki kemampuan resiliensi adalah pribadi yang optimis dimana dia melihat bahwa masa depannya cemerlang. Sikap optimis menjadi pendukung untuk tetap kuat dan yakin pada harapan di masa depan sehingga seseorang tetap mampu mengendalikan jalan hidupnya. Seorang yang optimis adalah pribadi yang memiliki efikasi diri (self-efficacy) dimana ia selalu yakin dapat menyelesaikan masalah dengan baik serta mengendalikan hidupnya sendiri tanpa dipengaruhi oleh situasi di luar dirinya.

(9)

Keadaan hamil sebelum melakukan pernikahan terlebih dahulu adalah suatu keadaan yang sangat berat bagi remaja. Remaja dengan kondisi tersebut dapat saja merasa hidupnya tak berguna, merasa bersalah dan tak memiliki meraih masa depan. Kemampuan bersikap optimis sangat membantu remaja dengan permasalahan hamil sebelum menikah. Mereka akan memiliki kemampuan melihat masa depan meski sedang berada dalam kondisi sulit dan penuh kesengsaraan. Mereka masih memiliki keyakinan bahwa kesempatan menata hidup, melihat peluang untuk lebih sukses di masa yang akan datang masih menjadi milik mereka.

4. Kemampuan menganalisis Penyebab Masalah (Causal-Analysis)

Kemampuan menganalisis penyebab masalah membantu individu mengenali dan mengidentifikasi permasalahan secara baik dan akurat. Kemampuan ini membantu seseorang menjelaskan hal buruk dan baik yang menimpa dirinya sehingga tidak terkurung pada prasangka buruk. Orang yang tidak memiliki kemampuan menganalisis masalah cenderung membuat kesalahan yang sama. Kemampuan menganalisis penyebab masalah memampukan seseorang untuk fokus pada apa yang harus dilakukan untuk keluar dari kesulitan dan tidak terjebak pada tindakan menyalahkan lingkungan di luar dirinya.

(10)

penyebab sebuah masalah yang muncul, yaitu 1) gaya berpikir personal (saya-bukan-saya), 2) gaya berpikir permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive (meluas-tidak meluas).

Remaja dengan kehamilan di luar pernikahan dengan dimensi personal “saya” memiliki keyakinan bahwa masalah yang dihadapi

bersumber dari dirinya sendiri. Sementara remaja dengan kehamilan di luar nikah dengan dimensi berpikir “selalu” memiliki kecenderungan

untuk menjelaskan bahwa masalah yang dihadapi tidak akan bisa diselesaikan dan tidak akan bisa dirubah. Remaja dengan kehamilan di luar pernikahan yang memiliki gaya berpikir “meluas” akan mampu menjelaskan persoalan atau masalah yang dihadapi sebagai sesuatu yang berdampak bagi kehidupannya.

Remaja dengan kehamilan di luar pernikahan yang memiliki kemampuan refleksi “saya, selalu, seluruhnya’ menganggap bahwa

persoalan yang muncul bersumber dari dalam dirinya. Sedangkan remaja dengan kehamilan di luar pernikahan yang memiliki pandangan “bukan

saya, tidak selalu, tidak seluruhnya” berpandangan bahwa penyebab dari

persoalan yang muncul berasal dari faktor di luar dirinya.

(11)

melihat dan menganalisis berbagai penyebab dari kesengsaraan yang dialami karena kondisi hamil. Kemampuan menganalisis tersebut membantu remaja tersebut untuk mengambil langkah selanjutnya da menghindari kesalahan yang sama.

5. Empati

(12)

Remaja dengan kehamilan di luar pernikahan yang memiliki kemampuan berempati mudah memahami dan merasakan apa yang orang lain rasakan terkait dengan perbuatan yang telah dilakukan. Ia menjadi peka pada apa yang orang-orang terdekatnya rasakan, misalnya orang tua dan keluarga dekat lainnya, bayi yang tak berdosa yang berhak untuk hidup. Bagi remaja dengan kehamilan di luar pernikahan yang tinggal di rumah pengungsian, kemampuan berempati akan menjadi dukungan yang baik dalam membangun hubungan dengan residen lain.

6. Efikasi Diri (Self-efficacy)

Efikasi diri merupakan keyakinan bahwa seseorang dapat secara efektif menjalani hidup. Keyakinan ini adalah wujud dari rasa percaya diri bahwa ia mampu mengatasi kesulitan yang akan dihadapi (Reivich & Shatte, 2002). Kemampuan ini menjadi salah satu faktor pendukung dalam resiliensi. Menurut Bandura (dalam Junianto, 2015) individu yang memiliki kemampuan efikasi diri lebih mudah menghadapi tantangan karena memiliki rasa percaya diri yang sehat terkait kemampuan yang dimiliki. Individu ini akan secara efektif menghadapi masalah, bangkit dari kegagalan, kemudian mendapat hidup yang lebih bahagia.

(13)

Efikasi diri nampak dalam diri seseorang yang memiliki keyakinan bahwa masih ada acara lain yang dapat dilakukan agar dapat keluar dari persoalan yang dihadapi. Efikasi diri juga menjadi salah satu kemampuan yang dimiliki seorang yang resilien.

Kemampuan efikasi diri pada remaja yang mengalami kehamilan di luar pernikahan dengan percaya diri menghadapi persoalan yang dihadapi, memiliki jiwa yang sehat untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan mencari berbagai cara agar keluar dari persoalan yang dihadapi tetapi tidak membuat kesalahan baru. Secara wajar remaja tersebut menunjukan sikap percaya diri bahwa ia mampu melewati kesulitan hidup yang sedang dialami, mencari solusi dan berhubungan dengan orang-orang yang dapat membantunya. Remaja dengan kehamilan di luar pernikahan tidak menghabiskan waktu dengan menyalahkan keadaan dan orang di luar dirinya tetapi menunjukan komitmen yang tinggi untuk bertangung jawab atas kesalahan yang dilakukan.

7. Reaching Out

(14)

Reaching out merupakan kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan, meskipun harus melampaui perkiraan atau batasan kemampuan yang dimiliki sebelumnya. Kemampuan menjangkau keluar ini merupakan sumber internal dalam diri individu untuk melakukan hal yang baru. Kemampuan ini menjadi bagian terpenting bagi individu untuk menemukan hidup yang lebih baik dan tetap optimis meski menghadapi kesulitan hidup.

Remaja dengan kehamilan di luar pernikahan berada dalam kondisi sulit. Sikap optimis mencapai cita-cita dan harapan dibalik kesulitan yang dihadapi mendukung mereka dalam melihat peluang dan rencana-rencana baru bagi hidupnya setelah melahirkan bayinya dan optimis menghadapi hidup barunya.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek resiliensi sangat berperan dalam diri seseorang ketika menghadapi persoalan hidup. Aspek-aspek tersebut mendorong seseorang untuk mengatasi persoalan yang dihadapi tanpa merusak diri dan hubungannya dengan orang lain. aspek-aspek positif tersebut akan membantu seseorang untuk tetap merasa bahagia dan percaya diri menatap masa depannya.

3. Ciri-Ciri Orang dengan Resiliensi

(15)

mengalami pertumbuhan dan perubahan baru dalam hidup (Mowbray, 2011). Siebert (2005) menguraikan ciri-ciri individu yang memiliki kemampuan resiliensi adalah sebagai berikut:

a. Mampu mengatasi perubahan-perubahan dalam hidup

Hidup pada dasarnya sangat dinamis. Manusia selalu dihadapkan pada perubahan-perubahan yang bisa datang kapan saja dan tidak terduga. Pribadi yang resilien selalu mampu mengatasi perubahan dengan tenang dan fokus.

b. Mampu mempertahankan kesehatan dan energi yang baik.

Perubahan yang dapat berupa kemalangan atau masalah yang sulit dalam hidup tentu sangat mempengaruhi kesehatan fisik maupun psikologis. Beberapa orang menjadi sangat sedih dan putus asa atau bahkan mengalami simpton patologis. Seorang yang resilien mampu mengatasi situasi sulit dalam hidupnya, menunjukan indvidu yang sehat lahir dan batin untuk melanjutkan kehidupannya. Secara dewasa ia dapat memahami dan membuat pilihan agar tetap dalam kondisi sehat.

c. Mampu bangkit dari keterpurukan

(16)

d. Mampu mengatasi kesulitan-kesulitan hidup

Masalah adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup. Individu yang resilien memiliki kemampuan menyelesaikan kesulitan hidup dan menemukan kehidupan yang lebih bahagia dari sebelumnya.

e. Mampu merubah cara berfikir dan cara mengatasi masalah ketika cara yang lama tidak berhasil

Seorang yang memiliki daya resiliensi dapat secara kreatif menemukan cara-cara baru dan tidak menunjukan sikap pesimis. Seorang yang resilien memiliki keyakinan bahwa terdapat lebih dari satu cara untuk menyelesaikan persoalan hidup ketika cara yang dipilih menemui jalan buntu.

f. Fokus pada tujuan dan mampu memperhitungkan resiko yang realistis dan tidak realistis.

Individu yang memiliki daya resilien tidak menggunakan cara-cara tanpa perhitungan. Resiko yang kemungkinan akan muncul akan menjadi dilihat secara baik, tidak membabi buta dan memperhatikan secara seksama apakah resiko tersebut cukup realistis untuk dihadapi atau harus dihindari.

(17)

Selain aspek-aspek yang diuraikan oleh Reivich dan Shatte, Grotberg (1999) menjelaskan dalam teori resiliensinya bahwa terdapat tiga sumber pada individu yang dapat membangkitkan daya resiliensi. Ketiga sumber tersebut adalah mengetahui siapa diri mereka (I AM), apa yang mereka miliki (I HAVE), dan apa yang dapat mereka lakukan (I CAN). Sumber resiliensi tersebut menjadi daya dukung bagi individu dalam menghadapi kesulitan atau kesengsaraan yang dihadapi.

(18)

Apa yang dimiliki (I Have) adalah sumber resiliensi dari luar diri seseorang. I Have berupa dukungan, cinta, perhatian dan penerimaan dari orang-orang yang dekat dengan kehidupan seseorang-orang seperti orang-orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan teman. I Have ditunjukan dalam sebuah hubungan yang sehat dengan orang-orang di sekitarnya, seperti keluarga, lingkungan sekolah maupun lingkungan yang lebih luas. Dukungan dari luar individu sangat bermakna dalam membangun kemandirian, rasa percaya diri, tanggung jawab dan keinginan memahami dan berempati dengan orang lain

(19)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sumber resiliensi dapat ditemukan dari dalam diri seseorang dan dukungan dari orang lain. Pribadi yang resilien tidak perlu mendapat ketika sumber tersebut. Salah satu sumber mencapai dan meningkatkan resiliesi salah satunya dipengaruhi oleh kecerdasan kognitif seseorang sebagai salah satu sumber untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi.

B. Remaja 1. Pengertian Remaja

Peraturan Menteri Kesehatan No. 25 Tahun 2014 mendefinisikan remaja adalah penduduk dengan rentang usia 10-18 tahun. Sementara BKKBN menyebut remaja adalah mereka yang berusia 10-24 tahun dan belummenikah (depkes.go.id). Hurlock (1981) menyebutkan remaja adalah mereka yang berusia 12 hingga 18 tahun. Monks, Knoers dan Haditono (2000) memberi batasan usia remaja pada usia 12 sampai 21 tahun. WHO memberi batasan usia remaja antara 10-20 tahun.

(20)

Remaja Awal (12-15 tahun), Remaja Madya (15-18 tahun), dan Remaja Akhir (19-22 tahun).

Berdasarkan uraian tentang remaja di atas, secara kronologis dapat dikatakan bahwa berakhirnya masa remaja terdapat perbedaan yang cukup bervariasi tetapi hampir semua ahli memiliki kesamaan pendapat tentang dimulainya masa remaja. Pada penelitian ini, peneliti membatasi masa remaja adalah mereka yang berusia 12-23 tahun sebagaimana disampaikan oleh Stanley Hall (dalam Santrock, 2013).

2. Karakteristik Remaja

(21)

Pada aspek sosial-emosional, remaja berada di tahap “sense of identity vs role confusion” (Yusuf, 2006). Proses pencarian jati diri berkembang seiring

dengan kesadaran remaja akan sangat pentingnya pandangan orang lain terhadap keberadaannya. Remaja sangat ingin diakui, melakukan berbagai hal untuk memperkuat kepercayaan diri, dan menegaskan kemandirian (Agustiani, 2006). Menurut Oswelt (dalam Herlina, 2011) remaja mengalami perkembangan yang lebih mendalam dalam membangun hubungan dengan orang lain dibanding pada masa anak-anak. Remaja menginginkan dan menuntut kebebasan diri tetapi disisi lain masih takut dan ragu-ragu untuk bertanggung jawab untuk mengatasi persoalan yang dihadapi (Hurlock, 1981).

Bapak Psikologi Remaja, Stanley Hall, menyebut masa remaja adalah masa “storm and stress". Masa tersebut ditandai dengan situasi dimana remaja mengalami kegoncangan, penderitaan, asmara dan pemberontakan pada orang tua. Masa badai dan stress banyak terjadi pada tiga hal utama yaitu konflik dengan orang tua, mood yang sangat mudah berubah serta perilaku yang beresiko, misalnya terlibat dalam tindakan kenakalan remaja, masalah-masalah emosional dan kehamilan (Arnett, 2015).

(22)

Sistem limbik mengambil peran lebih banyak dibanding korteks pre-frontal yang berhubungan dengan kemampuan perencanaan, pengendalian dorongan dan daya nalar yang lebih tinggi. Johnson (2009) mengungkapkan “"The brain continues to change throughout life, but there are huge leaps in development during

adolescence," diungkapkan bahwa otak manusia terus berubah sepanjang hidup tetapi terjadi lompatan besar pada masa remaja. Pada tahap tersebut terjadinya perubahan hormonal sehingga terjadi dinamika emosi yang lebih intens, misalnya kemarahan, ketakutan, agresi, kegembiraan dan daya tarik seksual (Johnson, 2012).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja adalah manusia yang sedang berada di tahap sangat kritis dimana mereka memasuki tahap meninggalkan masa anak-anak untuk menjadi manusia dewasa. Terdapat berbagai perkembangan yang banyak dan cepat yang kemudian sangat mempengaruhi perilaku remaja. Keberhasilan atau kegagalan remaja menjalani masa transisi akan mempengaruhi kehidupan di masa dewasa.

3. Tugas Perkembangan Remaja

(23)

ketrampilan yang seharusnya dimiliki oleh semua individu sesuai usia dan tahap perkembangannya (Yusuf, 2011)

Terdapat tiga sumber pada tugas perkembangan menurut Havighurst (1972), pertama tugas perkembangan yang muncul dari kematangan fisik seperti belajar berjalan, belajar berbicara dan sikap menerima perbedaan jenis kelamin di masa remaja, menyesuaikan atau menyiapkan diri memasuki masa menopause di usia pertengahan; kedua disebut oleh Havighurst (1972) sebagai tugas perkembangan dari sumber-sumber diri seseorang. Sumber-sumber diri seseorang dipandang sebagai sumber yang berasal dari dalam diri seseorang. Salah satu contoh dari sumber-sumber diri sesorang adalah munculnya kematangan kepribadian dan pembentukan nilai dan cita-cita, belajar berbagai ketrampilan yang diperlukan untuk bekerja; sumber ketiga adalah tugas perkembangan dimana seseorang menggunakan sumber-sumber dalam dirinya di tengah masyarakat, misalnya belajar membaca atau mempelajari peran apa yang dapat diambil sebagai bentuk tanggung jawab sebagai warga Negara

Tugas-tugas perkembangan remaja menurut Havighurts (dalam Monks, 2001), adalah :

a. Mencapai relasi baru dan lebih matang dengan teman sebaya baik teman perempuan maupun laki-laki

(24)

d. Mencapai kebebasan emosional dari orang tua maupun orang dewasa lainnya

e. Menyiapkan pernikahan dan kehidupan berkeluarga f. Menyiapkan diri untuk berkarir

g. Belajar seperangkat nilai dan adat istiadat sebagai dasar untuk bertindak dan mengembangkan ideology

h. Mulai memiliki tanggung jawab untuk terlibat dalam aktivitas kemasyarakatan dan politik

C. Kehamilan di Luar Pernikahan 1. Definisi Kehamilan di Luar Pernikahan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hamil adalah saat dimana wanita mengandung janin dalam rahim karena sel telur dibuahi oleh spermatozoa. Seseorang benar-benar dikatakan hamil hanya ketika terjadi proses implant yang telah lengkap. Proses implant adalah saat dimana sebuah telur yang subur telah ditanam di dalam uterus atau rahim wanita (Gold, 2005). Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (2015) mendefinisikan hamil adalah keluarnya sel telur matang pada saluran telur lalu bertemu dengan sperma.

(25)

Kehamilan adalah dikandungnya janin hasil pembuahan sel telur oleh sel sperma (Kushartanti, 2004).

undang Perkawinan Tahun 1974 Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kartono (1992) perkawinan atau pernikahan diuraikan sebagai peristiwa sepasang mempelai atau sepasang laki-laki dan perempuan yang dipertemukan secara resmi di hadapan penghulu/ kepala agama tertentu, saksi dan hadirin, dan diresmikan sebagai suami-istri dengan ucapan dan tata cara tertentu.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kehamilan di luar pernikahan adalah hadirnya janin di dalam rahim seorang perempuan sebelum secara resmi disahkan sebagai suami istri sesuai undang-undang yang berlaku di Indonesia.

D. Dinamika Resiliensi pada Remaja dengan Kehamilan di Luar Pernikahan

(26)

keinginan untuk mencoba hal baru sekaligus memenuhi rasa ingin tahu dalam bentuk membangun hubungan dengan lawan jenis hingga perilaku seksual pranikah. Perilaku seksual pranikah adalah semua bentuk tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh individu dengan individu lain sebelum menikah. Hurlock (2002) mengungkapan perilaku seksual pranikah adalah salah satu bentuk ungkapan tingkah laku atau rasa cinta yang dilampiaskan dimulai pada tahap berdekatan, berciuman sampai melakukan senggama tanpa adanya ikatan pernikahan.

Sulistyana (2007) menjelaskan bahwa hamil di luar nikah sulit diterima oleh masyarakat. Kehamilan menjadi sebuah aib dan masalah besar bagi diri remaja, keluarga dan orang-orang terdekatnya. Masyarakat Indonesia masih memandang remaja yang hamil di luar nikah sebagai pribadi dengan perilaku yang menyimpang di masyarakat. Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (dalam Bungin, 2001) menjelaskan penyimpangan adalah setiap perilaku yang dinyatakan sebagai suatu pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat.

(27)

mengalami perubahan mood yang kuat, cepat dan sering, perasaan mudah tersinggung, kesepian, pola tidur dan nafsu makan yang bermasalah, putus asa dan juga bingung. Respon remaja dalam menghadapi kesengsaraan akibat kehamilan yang dialami berbeda-beda. Siebert (2005) mengungkapkan bahwa reaksi tiap individu dalam menghadapi persoalan atau perubahan dalam hidup berbeda-beda. Terdapat individu yang menghadapi persoalan dengan sikap emotional bahkan kecenderungan melakukan kekerasan dengan menyakiti orang lain, ada individu yang pasrah dan merasa tidak berdaya (helpless) menghadapi persoalan dan perubahan dalam hidup. Namun ada individu yang berani menghadapi persoalan, beradaptasi dengan kenyataan dan menjadi individu yang lebih kuat serta menemukan kehidupan yang lebih baik.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja dengan kehamilan di luar pernikahan memiliki dinamika resiliensi yang berbeda satu sama lain. Remaja dengan persoalan yang sama, dapat saja menunjukan respon yang berbeda. Beberapa ada yang berupaya keras untuk keluar dari kesulitan bahkan menemukan kehidupan yang lebih baik tetapi beberapa menunjukan sikap menyerah atau hanya sekedar bertahan saja.

E. Pertanyaan Penelitian

(28)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa efikasi diri adalah keyakinan individu pada kemampuan dirinya sendiri dalam menghadapi atau meyelesaikan suatu

Minat berwirausaha banyak di minati apabila semua pembelajaran dari diri yang sudah mempunyai jiwa kompetensi yang baik, tidak hanya itu tetapi di dukung dengan efikasi diri

Faktor internal yang dapat mempengaruhi persepsi remaja adalah yang datangnya dari diri remaja itu sendiri yaitu faktor usia, jenis kelamin, tingkat pengetahuan yang dimiliki

Sebagai contoh, seorang remaja yang mempunyai social confidence yang rendah maka remaja tersebut akan memiliki rasa percaya diri yang tinggi terhadap kemampuan-kemampuan

pengertian tentang pengetahuan umum dan pengetahuan ekonomi pada umumnya, termasuk peningkatan kemampuan teori pengambilan keputusan dalam menghadapi

Masalah pernikahan dini dapat dicegah jika remaja memiliki perilaku atau pola hidup yang sehat dan berdampak baik pada penundaan usia kawin (Ambrus, 2006)..

Seorang remaja putri dikatakan siap dalam menghadapi haid pertama, apabila remaja putri tersebut sudah mendapat informasi atau pengetahuan yang lengkap semenjak masa pubertas

Dapat disimpulkan bahwa orang yang percaya diri atau self confidence memiliki sikap yang tenang dan bersikap positif dalam menghadapi berbagai masalah dan tidak mudah menyerah,