• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN TINGKAT HARGA DIRI ANTARA PRIA DAN WANITA DEWASA AWAL PENYANDANG CACAT TUBUH SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERBEDAAN TINGKAT HARGA DIRI ANTARA PRIA DAN WANITA DEWASA AWAL PENYANDANG CACAT TUBUH SKRIPSI"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

DITA ANGGRAINI NIM : 019114093

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

ii SKRIPSI

PERBEDAAN TINGKAT HARGA DIRI ANTARA PRIA DAN WANITA DEWASA AWAL PENYANDANG CACAT TUBUH

Oleh:

DITA ANGGRAINI NIM : 019114093

Telah disetujui oleh:

Pembimbing,

(3)

iii

PERBEDAAN TINGKAT HARGA DIRI ANTARA PRIA DAN WANITA PENYANDANG CACAT TUBUH

Yang dipersiapkan dan disusun oleh: DITA ANGGRAINI

NIM : 019114093

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada tanggal 9 Juni 2009

dan dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh derajat

Sarjana S1 Psikologi

Susunan Panitia Penguji

Ketua : Y. Heri Widodo, S.Psi, M.Psi. _____________________ Sekretaris : P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. _____________________

Anggota : P. Henrietta PDADS., S.Psi. _____________________

Yogyakarta, 9 Juni 2009

Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Dekan,

(4)

iv

K au akan sampai di daerah yang disebut…

K EL U L U SAN… (anonim)

K upersembahkan K arya yang sungguh sederhana ini untuk:

(5)
(6)

vi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat harga diri antara pria dan wanita dewasa awal penyandang cacat tubuh. Hipotesis yang diajukan adalah harga diri wanita dewasa awal penyandang cacat tubuh lebih rendah daripada pria dewasa awal penyandang cacat tubuh.

Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif. Subyek penelitian ini berjumlah 90 penyandang cacat tubuh di Yogyakarta, yang terdiri dari 45 pria penyandang cacat tubuh dan 45 wanita penyandang cacat tubuh, yang berusia 18-40 tahun, tanpa diserta gangguan penyerta berupa cacat mata, tuli atau gangguan mental. Metode sampling yang digunakan adalah gabungan antara purposive samplingdan incidental sampling. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala harga diri yang diadopsi dari skala harga diri milik Yovie yang telah melalui proses seleksi item dan telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Setelah dilakukan tryout dengan koefisien α sebesar 0,843, diperoleh empat item

yang dinyatakan gugur. Setelah ke empat item dihilangkan koefisien α menjadi

0,860.

Pengujian hipotesis menggunakan Independent Sample t-Test dari program SPSS for Windows versi 15 dengan membandingkan mean kedua kelompok subyek. Mean pria penyandang cacat tubuh sebesar 95,91 dan mean wanita penyandang cacat tubuh sebesar 93. Hasil uji-t menunjukkan nilai t = 1,355 dengan probabilitas 0,179 (p > 0,05), artinya Ha (harga diri wanita dewasa awal penyandang cacat tubuh lebih rendah dari pria dewasa awal penyandang cacat tubuh) ditolak. Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat harga diri yang signifikan antara pria dan wanita dewasa awal penyandang cacat tubuh.

(7)

vii

The purpose of this research was to find out the difference level of self esteem between physically difable adult men and women. Hypothesis that was proposed was the physically difable adult women self esteem was lower than physically difable adult men.

The research type was a comparative study. The subjects of research were 90 physically difable peoples in Yogyakarta, consist of 45 physically difable adult men and 45 physically difable adult women whose ages around 18-40 years old, was not blind, deaf or mental retarded. The sampling method was aliance between purposive sampling and incidental sampling. Data collected method in this research applied self esteem scale adopted from self esteem scale property of Tanoyo (2008) which has passed selection item process that the validity and the reliability of the scale had been tested before. After done the tryout with the coefficientα = 0,843, obtained four items expressed fall. The coefficient α became 0,860, after four items were eliminated.

The hypothesis was analyzed by using Independent Sample t-Test of SPSS program for Windows versi 15, to compare the two groups of subject. The physically difable adult men mean was 95,91 and the physically difable adult women mean was 93. The result of the t-test showed the value of the t = 1,355 with probability 0,179 (p > 0,05). Therefore, Ha (physically difable adult women self esteem was lower than physically difable adult men) was rejected. The result of this research was not significantly difference level of self esteem between physically difable adult men and women.

(8)
(9)

ix

skripsi yang berjudul ”Perbedaan Tingkat Harga Diri antara Pria dan Wanita Dewasa Awal Penyandang Cacat Tubuh”.

Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program sarjana pada Jurusan Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama persiapan hingga terselesaikannya skripsi ini, penulis menyadari tidak lepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini dengan segenap ketulusan dan kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Yogyakarta yang telah berkenan memberikan izin dan dukungan untuk melakukan penelitian ini.

2. Ibu Sylvia Carolina M. Y. M., S.Psi., M.Si., selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah berkenan membantu dan memberikan dukungan kepada penulis.

(10)

x

5. Ibu Lusia Pratidarmanastiti, S.Psi., M.Si., terimakasih atas diskusi dan saran yang diberikan kepada penulis.. Bu, semoga Ibu selalu diberkati oleh Tuhan..terimakasih banyak ya Bu.

6. Segenap staf pengajar Fakultas Psikologi Univesitas Sanata Dharma. Terima kasih atas seluruh ilmu yang diberikan sehingga penulis dapat belajar banyak hal tentang psikologi.

7. Karyawan Fakultas Psikologi. Mas Muji, Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas Doni dan Pak Gie, terima kasih atas bantuannya selama ini.

8. Bapak dan Ibuku yang telah memberikan dukungan spiritual dan material kepada penulis. Kakak-kakakku: Mah Nie-Pak Ayip, Pak Andri-Wik Nya’, Brow Pramu-Mb. Indri, Om Wahyu-Mb. Jarti...hehehe..ahuahua..

9. Buat keponakanku yang seabreg: Dendri, Mas Neza, Adelia ”Menik”, Dik Dimas, Mas Rafli, Dik Hana, Aurora... ”.

10. Buat Papi... atas support ’n back up-nya yaaa.. entah apa jadinya tanpa Papi???

11. Buat Mas Ratman, Mas-ku.. atas segala ketulusan, doa yang selalu menyejukkan, menjadi Imam ketika Sholat, cinta dan rasa sayang. Mas tuh kaya kipas angin..menyejukkan hatiku....whuekekekekeke..

(11)

xi

tidak hanya sekedar ada ketika kau butuhkan!”; Dian ”meski jauh, thanks supportnya. Katana taon ini nikah?Yuuuuukk..”.

15. Septiyati Purwandari, S.Pd., thank’s yo Ndar..Bu Ndari..dosen bayangan nie yeee..bimbingan nyampe jam 12 malem gtu looch..whuekekekeke.. Sukses buat KB Melati ’n Rumahku Tumbuh 

16. Teman-teman di PPCS&Paguyuban Tuna Daksa: Mas Himawan, Pak Budianto BPOC, Mas Tasik, Mas Udin, Mas Dayat, Mb. Haning, Pak Widodo, Mb. Nuning dan teman-teman yang lain, terimakasih atas keterbukaan&penerimaannya sehingga penulis merasakan kemudahan mencari data. Buat Mas Doddy&Bu Asih ”tanpa totalitas kalian membantu cari subyek pasti aku ga akan bisa slesain skripsi ini...tak doa’in cepet dapet momongan yah, amin..amin”,

17. Teman-teman Psikologi 2001: Devi ” makasih banget ya Vi, dah dipinjemin buku, atas sharing ’n masukannya...”; Special buat Yovie ”makasih dah diijinin pake skala na”; Seto ”ajarin download software lagi yaaa..”; Sylva, Jely, Desi...ayo! Tetep SEMANGAT yah!

18. Teman-teman Guru&Tentor, Jeng Risa, Bu Puja-Puji , Bu Hesti, Bu Ningrum, Bu Ambar, Pak Ali, dan Bu Retno.

(12)

xii

Penulis mengharapkan semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi siapa saja dan bernilai ibadah di sisi Allah SWT.

Yogyakarta, 20 Juni 2009

(13)

xiii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN ……….. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……….... v

ABSTRAK ……….. vi

ABSTRACT ……… vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ………. viii

(14)

xiv

2. Penyebab Terjadinya Cacat Tubuh ... 3. Klasifikasi Cacat Tubuh ... 4. Penyandang Cacat Tubuh Dewasa Awal ... 5. Perbedaan Pria dan Wanita Penyandang Cacat Tubuh ... C. Perbedaan Tingkat Harga Diri antara Pria dan Wanita Dewasa C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... D. Subyek Penelitian ... 1. Uji Asumsi Analisis Data ……… a. Uji Normalitas ……… BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………..

A. Orientasi Kancah …….………... B. Deskripsi Subyek ……….

(15)

xv

b. Uji Homogenitas ………. 3. Uji Hipotesis ……… 4. Hasil Tambahan (Kategorisasi) ……… D. Pembahasan ………...

63 64 65 67 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………...

A. Kesimpulan ………... B. Keterbatasan Penelitian ... C. Saran ……….

72 72 72 73

DAFTAR PUSTAKA ………. 75

(16)

xvi

Tabel 3 Pemberian Skor Skala Harga Diri pilihan jawaban unfavorable ……… Tabel 4 Blue print Skala Harga Diri Seleksi Item ... Tabel 5 Blue-print Skala Harga Diri untuk Tryout ……… Tabel 6 Distribusi Koefisien α Try Out Skala Harga Diri………... Tabel 7 Distribusi Item Sahih untuk Analisis Uji t ………... Tabel 8 Jumlah Prosentase Subyek Berdasarkan Kategori Usia ... Tabel 9 Ringkasan Hasil Perhitungan Uji Normalitas K-S Z ... Tabel 10 Ringkasan Hasil Perhitungan Uji Homogenitas ... Tabel 11 Ringkasan Uji-t ... Tabel 12 Ringkasan Mean Teoritik & Mean Empirik ... Tabel 13 Ringkasan Hasil Uji Beda Mean Pria dan Wanita terhadap Mean

Teoritik ...

49 51 52 54 55 61 63 64 64 66

(17)

xvii

Data Hasil Penelitian (Pria) ……… Data Hasil Penelitian (Wanita) ……… Uji Reliabilitas Sebelum Tryout ………... Uji Reliabilitas Hasil Penelitian ……….. Uji Normalitas ………. Uji Homogenitas ………... Uji Hipotesis ……… Uji Beda Mean Empirik dengan Mean Teoritik ……….. Surat Keterangan Penelitian ………

(18)

1

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai makhluk sosial, tugas manusia bukan hanya untuk hidup dan berkembang biak, melainkan juga untuk membangun kehidupan yang beradab dalam masyarakat. Hari-hari yang dijalani, seharusnya dapat dijadikan kesempatan untuk mengikis karakter buruk dalam diri dan mengembangkan kebiasaan yang baik untuk mewujudkan harga diri yang sesungguhnya. Dengan inilah diharapkan seorang individu bisa menjadi orang yang benar-benar berharga.

(19)

Harga diri (self-esteem) merupakan sikap jalan tengah (middle path). Ia berada di antara dua ekstrimitas sikap “anti-sosial”: minder dan sombong. Jadi, seorang dengan harga diri sempurna tidak akan minder atas kekurangan yang dimiliki, tapi juga tidak akan sombong pada kelebihan yang disandang. Ia akan merasa “bebas” untuk bergaul dengan siapa saja; tanpa memandang kelebihan/kekurangan materi, tanpa melihat kelebihan/kekurangan fisik, tanpa peduli dengan kelebihan/kekurangan jabatan/titel rekan bergaulnya. Mereka menghargai seseorang dari segi kemanusiaannya: bahwa setiap orang diciptakan sama dan patut mendapat respek yang tidak beda (dalam Syuhud, 2004).

Menurut Maslow (dalam Goble, 1987), setiap orang memiliki dua kategori kebutuhan akan penghargaan, salah satunya adalah harga diri yang meliputi kebutuhan akan kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan dan kebebasan. Seseorang yang memiliki harga diri yang cukup akan memiliki kepercayaan diri serta kemampuan yang lebih untuk menjadi lebih produktif. Sebaliknya jika harga dirinya kurang maka ia akan diliputi rasa rendah diri serta tidak berdaya, yang selanjutnya dapat menimbulkan rasa putus asa serta tingkah laku neurotik.

(20)

baru. Oleh karena itu, pada masa ini, individu disibukkan dengan sulitnya menyesuaikan diri dalam berbagai aspek kehidupan. Penyesuaian diri ini menjadikan periode ini suatu periode yang khusus dan sulit dari rentang hidup seseorang (Hurlock, 1999). Batasan dewasa secara fisikologis dan psikologis seperti diungkapkan oleh Mappiere (1983), yaitu: individu-individu yang disebut dewasa adalah individu-individu yang telah memiliki kekuatan tubuh secara maksimal dan siap bereproduksi dan telah dapat diharapkan memiliki kesiapan kognitif, afektif, dan psikomotor, serta dapat memainkan peranannya bersama dengan individu-individu lain dalam masyarakat.

(21)

memiliki harga diri yang rendah, pesimis terhadap kehidupan, perasaan tidak mampu, dan lain sebagainya (Salim, 1996).

Menurut ilmu kedokteran, cacat tubuh adalah kelainan pada anggota gerak yang meliputi tulang, otot dan persendian baik dalam struktur maupun fungsinya sehingga dapat menjadikan rintangan bagi penderita untuk melakukan kegiatan(Poerwanti, 2000). Kelainan pada anak cacat tubuh dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu kelainan pada sistem serebral (Cerebral System), dan kelainan pada sistem otot dan rangka (Musculus Skeletal System). Penyebab keadaan cacat dapat berasal dari penyakit yang dibawa sejak lahir yang kemudian disebut dengan cacat bawaan dan cacat yang berasal dari perjalanan hidupnya setelah lahir (acquired) baik merupakan penyakit maupun kecelakan (Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2006).

(22)

sosial dimana individu tersebut tinggal dan berinteraksi, terkandung di dalamnya dari pihak keluarga dan masyarakatnya (Coopersmith, 1967).

Penyandang cacat tubuh terkadang dihakimi sebagai ‘an existence which should not exist’. Mereka merupakan eksistensi yang seharusnya tidak ada. Kelompok penyandang cacat tubuh ini telah tersub-ordinasi menjadi masyarakat kelas dua. Suatu prototipe masyarakat yang didesain untuk menerima diskriminasi fisik dan non-fisik (Raff, 2008).

Bentuk-bentuk ekspresi sosial sebenarnya telah digunakan oleh penyandang cacat, atau belakangan disebut dengan difable (different ability, bukan disabled ability), di berbagai negara (Raff, 2008). Mereka membentuk kelompok-kelompok difable, yang menurut Noesjirwan (dalam Eryunanti, 2000), ketika seorang individu berada dalam sebuah kelompok, diterima dan dihargai oleh anggota kelompok yang lain, individu tersebut memperoleh keyakinan bahwa dirinya mempunyai arti dalam suatu kelompok dan selanjutnya akan timbul perasaan berharga dalam dirinya.

(23)

terhadap bentuk tubuh dan bahwa daya tarik fisik berperan penting dalam hubungan sosial.

Tuhan menciptakan pria dan wanita sesuai dengan peranannya masing-masing. Bagi penyandang cacat tubuh, baik pria maupun wanita juga diharapkan berusaha untuk memenuhinya peranannya. Peranan ini sangat terlihat ketika seseorang sedang berada dalam rentang waktu dewasa. H. S. Becker (dalam Mappiare, 1983) menyatakan bahwa manusia dewasa awal diharapkan memainkan peranan–peranan baru sebagai suami/istri, orang tua dan sebagai pemimpin rumah tangga, serta mengembangkan sikap–sikap, minat–minat dan nilai–nilai dalam memelihara peranan–peranannya yang baru tersebut. Pria dan wanita tersebut mempunyai peran, motivasi, konsep diri dan pola tingkah laku yang berbeda satu sama lain.

Pada umumnya bentuk tubuh ideal laki-laki adalah atletis, berotot dan kekar; sedangkan, bentuk tubuh ideal wanita adalah halus, lemah dan kecil. Dengan adanya gambaran ideal ini, penyandang cacat tubuh baik pria maupun wanita merasa malu, tidak puas dengan dirinya, serta merasa tidak berharga, terlebih bagi seorang wanita yang belum menikah, apabila mengalami cacat fisik akan lebih berpengaruh daripada pria (Kompas, 2006). Hal ini dikarenakan, daya tarik fisik semacam penampilan fisik, tubuh, wajah, rambut, atau pakaian memainkan peranan paling penting dalam diri seorang wanita (Wolf, 2002).

(24)

penyandang cacat. Hal ini dikarenakan selain adanya sifat wanita yang relatif lebih sensitif serta lebih menitikberatkan pada sifat afektif daripada pria, juga adanya sifat serta perlakuan yang diterapkan para orang tua terhadap anaknya yang cacat. Kecacatan berubah menjadi masalah bagi seseorang yang mengalaminya ketika kondisi cacat tersebut dikaitkan dengan mitos, stigma, dan kepercayaan-kepercayaan tak berdasar yang berkembang dalam masyarakat. Keadaan cacat dianggap sebagai aib yang memalukan, sehingga banyak orang tua menyembunyikan anaknya yang cacat dan cenderung overprotective terhadap anaknya yang cacat terutama bila anaknya perempuan. Akibatnya anak itu pun merasa malu dan merasa rendah diri (Parlin, tanpa tahun).

(25)

pada diri penyandang cacat tubuh terutama wanita, sehingga perasaan seperti rasa percaya diri dan harga diri dengan sendirinya akan sulit tumbuh (Munandar, 1999).

Berdasarkan fenomena di atas, peneliti bermaksud untuk mengetahui apakah ada perbedaan tingkat harga diri antara pria dan wanita dewasa awal penyandang cacat tubuh.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan tingkat harga diri antara pria dan wanita dewasa awal penyandang cacat tubuh?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat harga diri antara pria dan wanita dewasa awal penyandang cacat tubuh.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu Psikologi khususnya Psikologi Sosial dan Psikologi Kepribadian.

(26)

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pemerintah, pendidik, dan masyarakat, memberikan wacana mengenai tingkat harga diri dan perbedaan tingkat harga diri penyandang cacat tubuh pria dan wanita sebagai bahan refleksi terhadap diskriminasi dari masyarakat bagi penyandang cacat tubuh.

(27)

10 A. Harga Diri

1. Pengertian Harga Diri

Harga diri atau self esteemmerupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Hal ini disebabkan, dalam harga diri terkandung unsur-unsur penghargaan, penerimaan, dan keyakinan diri yang merupakan kebutuhan-kebutuhan penting manusia. Coopersmith (1967) menyatakan bahwa harga diri merupakan hasil penilaian yang dilakukan oleh seseorang pada dirinya sendiri yang sifatnya relatif tetap, diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan, seperti penerimaan, penghargaan, dan perilaku orang lain terhadap dirinya.

Menurut Coon (dalam Tjahjaningsih, 1994) harga diri adalah suatu keyakinan yang berasal dari anggapan bahwa diri sendiri berharga. Pendapat Coon ini sejalan dengan pendapat Bee (dalam Tjahjaningsih, 1994), yang mengungkapkan bahwa harga diri merupakan penilaian diri terhadap individu itu sendiri. Hal ini juga dikemukakan oleh Rosenberg (dalam Burn, 1982) bahwa harga diri adalah perasaan yang dimiliki individu bahwa dirinya berharga, menerima diri apa adanya, puas dengan apa yang dimilikinya, serta tidak merasa kecewa terhadap keterbatasan-keterbatasannya.

(28)

yang dipikirkan dan dirasakan tentang diri sendiri, bukanlah apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain tentang siapa diri kita sebenarnya. Harga diri mempunyai dua komponen yaitu perasaan kompetensi pribadi dan perasaan nilai pribadi. Dengan kata lain, harga diri merupakan perpadauan antara kepercayaan diri (self confidence) dengan penghormatan diri (self respect)

Menurut Maslow (dalam Tjahjaningsih dan Nuryoto, 1994) harga diri bisa diperoleh melalui penghargaan seseorang terhadap dirinya sendiri maupun penghargaan dari orang lain. Penghargaan dari diri sendiri meliputi: kebutuhan prestasi, keunggulan dan kompetisi, kepercayaan diri, kemandirian, dan kebebasan. Sedangkan penghargaan dari orang lain meliputi: prestise, kedudukan, kemasyuran dan nama baik, martabat, dan penghargaan. Maslow (dalam Goebel, 1981) juga mengungkapkan bahwa seseorang yang memiliki cukup harga diri akan mempunyai sifat percaya diri, lebih mampu menjalani kegiatannya dengan berhasil. Sebaliknya jika harga diri kurang atau rendah maka seseorang akan diliputi rasa rendah diri, tidak berdaya dan putus asa.

(29)

kepuasan terhadap terpenuhinya kebutuhan harga diri menimbulkan perasaan percaya diri, kuat, stabil, merasa berguna dan diperlukan oleh orang lain. Sebaliknya, kegagalan untuk memenuhi kebutuhan harga diri menyebabkan timbulnya perasaan inferior, lemah, dan tidak berdaya.

Dari berbagai pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa harga diri merupakan suatu hasil penilaian atau evaluasi yang dibuat dan dipertahankan oleh individu terhadap dirinya sendiri, sifatnya relatif tetap, kualitasnya (tinggi-rendahnya) dipengaruhi oleh interaksinya dengan lingkungan yang menunjukkan tingkat kepercayaan individu bahwa dirinya mampu, berarti, berhasil dan berharga.

2. Pembentukan Harga Diri

Harga diri bukan merupakan faktor yang dibawa individu sejak lahir, melainkan terbentuk dari interaksi individu dengan lingkungannya, yaitu melalui pengalaman seseorang dalam kehidupan sehari-hari bersama individu lain. Hal ini diperkuat oleh pendapat Clemes, dkk. (1995) bahwa pandangan seseorang tentang dirinya dan harga dirinya berkembang secara bertahap sepanjang hidup. Setiap tahap perkembangan memberinya kesan dan perasaan baru, dan pada akhirnya adalah perasaan menyeluruh tentang diri atau ketidakmampuan diri.

(30)

faktor internal dalam pembentukan harga diri juga bisa berupa harapan individu terhadap dirinya sendiri. Epstein ( dalam Colhoun&Acocella, 1990) menyatakan bahwa seseorang membuat evaluasi terhadap dirinya sendiri berdasarkan penilaian antara ”gambaran diri individu” dengan “gambaran yang diharapkan” ( I could be dan I should be). Selanjutnya Rogers (dalam Colhoun&Acocella,1990) mengatakan semakin besar ketidaksesuaian antara I could bedan I should bemaka akan mengganggu proses pembentukan harga diri yang sehat, yaitu semakin rendah harga diri individu tersebut.

Sumbangan faktor eksternal dalam pembentukan harga diri yaitu lingkungan sosial dimana individu tersebut tinggal dan berinteraksi, terutama dari keluarga. Setiap individu akan belajar menilai dirinya melalui sikap orang tua dan anggota keluarga yang lain. Perhatian, penerimaan, dan kasih sayang dari keluarga akan mempengaruhi perkembangan harga diri seorang individu (Coopersmith, 1967).

(31)

Selain lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan kelompok sosial juga berpengaruh bagi pembentukan harga diri seseorang. Brehm & Kassin (dalam Tjahjaningsih, 1994) mengatakan bahwa apabila individu merasa ditolak, kurang dicintai dan kurang mendapat penghargaan dari lingkungan sosialnya, maka individu tersebut akan mengembangkan rasa harga diri yang kurang baik. Sebaliknya, apabila individu diterima, dicintai, dan dihargai oleh lingkungannya, maka ia akan membentuk dan mengembangkan harga diri yang baik.

Selain itu, berdasarkan beberapa penelitian di Indonesia telah menunjukkan bahwa harga diri dapat ditingkatkan melalui pelatihan-pelatihan, baik itu pelatihan pengenalan diri, pelatihan sosial, maupun pelatihan mengembangkan potensi untuk berwirausaha (Handayani, 1998). Hal ini juga didukung oleh pendapat Ife (1995) yang mengungkapkan bahwa harga diri bisa ditingkatkan dengan meningkatkan keahlian yang dimiliki. Kemampuan, keahlian, dan keterampilan yang dimiliki memberikan sumbangan untuk meningkatkan harga diri. Semakin banyak dan beragam keahlian yang dimiliki, akan semakin besar penghargaan terhadap diri sendiri.

Dengan demikian, kesimpulannya adalah harga diri berkembang secara bertahap sepanjang hidup terbentuk dari faktor internal dan faktor eksternal individu.

3. Aspek-aspek Harga Diri

(32)

a. Power

Power adalah kemampuan untuk mempengaruhi, mengontrol orang lain dan mengontrol dirinya sendiri. Pada situasi tertentu kebutuhan ini ditunjukkan dengan penghargaan dan penghormatan dari orang lain. Aspek ini dapat berupa pengaruh dan wibawa pada seorang individu. Ciri-ciri individu yang mempunyai aspek ini biasanya menunjukkan sikap asertif.

b. Virtue

Virtue adalah ketaatan pada nilai moral, etika, dan aturan-aturan yang ada dalam masyarakat. Seseorang yang taat pada aturan-aturan dan ketentuan ketentuan yang ada dalam masyarakat akan mempunyai perasaan berharga dan bangga pada diri sendiri. Hal ini disebabkan bahwa dengan menunjukkan perilaku yang diharapkan dan diinginkan oleh masyarakat, maka orang lain akan menghargai dan menghormati individu yang bersangkutan sebagai orang yang berkelakuan baik dan bisa dijadikan teladan. Hal ini akan mendorong terbentuknya harga diri yang positif, demikian juga sebaliknya. Aspek ini ditunjukkan dengan bagaimana individu melihat persoalan benar atau salah berdasarkan moral, norma, dan etika yang berlaku di dalam lingkungan interaksinya.

c. Significance

(33)

individu akan membuat individu semakin berarti yang akhirnya membentuk harga diri yang positif. Sebaliknya, jika lingkungan tidak atau jarang memberikan stimulus positif yang berupa penerimaan, penghargaan atau dukungan kepada seorang individu, maka ia akan merasa ditolak dan kemudian akan mengucilkan diri. Selain itu menurut Noesjirwan (dalam Eryunanti, 2000) yaitu adanya perasaan individu bahwa dirinya adalah bagian dari suatu kelompok yang diterima dan dihargai oleh anggota kelompok yang lain. Individu yang memperoleh keyakinan bahwa dirinya mempunyai arti dalam suatu kelompok akan timbul perasaan berharga.

d. Competence

Competence adalah kemampuan untuk mencapai apa yang dicita-citakan atau diharapkan. Hal ini berhubungan dengan kemampuan yang dimiliki individu, dengan adanya kemampuan yang cukup individu merasa yakin untuk mencapai apa yang dicita-citakan dan mampu mengatasi setiap masalah yang dihadapinya. Aspek ini didukung oleh pengalaman tentang kesuksesan yang pernah diraih seseorang yang membuat individu yakin dan mampu menghadapi setiap masalah, sedangkan pengalaman masa lalu yang penuh dengan kegagalan akan membuat individu bermasalah dengan harga dirinya.

(34)

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Diri

Harga diri tidak dibawa sejak lahir, namun merupakan faktor yang terbentuk sepanjang pengalaman hidup individu dalam relasinya dengan dirinya sendiri dan orang lain. Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri, yaitu :

a. Lingkungan keluarga

Pembentukan harga diri dimulai dari lingkungan keluarga. Kaluarga merupakan lingkungan pertama dan ter-utama bagi seorang individu. Di tengah sebuah keluarga seorang anak pertama kali belajar berhubungan dengan orang lain selain dirinya, seperti orang tua, kakak/adiknya dan anggota keluarganya yang lain. Hurlock (1999) mengungkapkan bahwa membangun rasa harga diri harus dilakukan pada saat seseorang masih berada pada usia anak-anak. Hal ini dikarenakan apa yang sudah tertanam dalam diri individu ketika masa kecilnya akan terus dibawa sampai individu tersebut beranjak dewasa.

(35)

ditolak dan tidak diperhatikan oleh orang tuanya akan merasa gagal dan cenderung menjadi anak yang bermasalah (Mappiere, 1983).

Dalam Coopersmith (1967) pengaruh orang tua terhadap harga diri anak bukan hanya karena siapa mereka dan apa yang mereka percayai, namun yang terpenting adalah apa yang mereka lakukan. Orang tua yang sering memuji anaknya, lebih demokratis, penuh penerimaan dan pengungkapan cinta, tidak mudah menghukum anak, akan cenderung mempengaruhi perkembangan harga diri anak kearah harga diri yang relatif tinggi. Sedangkan, pada orang tua yang menerapkan aturan yang kurang jelas, acara mendidik yang kasar, menunjukkan emosi yang tidak stabil, akan cenderung mempengaruhi harga diri anak ke arah harga diri yang rendah.

b. Lingkungan sosial

(36)

c. Kondisi psikologis individu

Rosenberg (dalam Coopersmith, 1967) mengungkapkan bahwa adanya beberapa variabel dalam harga diri yang dapat dijelaskan melalui konsep nilai (value), aspirasi, mekanisme pertahanan diri, pengalaman hidup, dan nilai-nilai kebajikan.

Nilai adalah sesuatu yang dianggap penting dan berharga dan telah terinternalisasikan dalam diri individu. Individu akan merasa berharga apabila mampu melakukan sesuatu sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya.

Aspirasi merupakan penilaian obyektif, jadi apabila seseorang mempunyai harga diri yang tinggi, orang tersebut akan menilai sesuatu secara logis, realistis dan obyektif. Akibatnya, jika seseorang menghadapi suatu masalah dia tidak akan menggunakan mekanisme pertahanan diri.

Pengalaman akan keberartian dan keberhasilan akan membawa individu kearah harga diri yang tinggi. Individu yang berhasil melakukan sesuatu sesuai dengan harapan dan keinginannya maka akan menilai dirinya secara lebih positif.

(37)

d. Kondisi fisik individu

Seseorang yang berpenampilan menarik akan lebih percaya diri dalam bergaul dan merasa berharga, sedangkan orang yang berpenampilan tidak menarik dapat menghambat pergaulannya (Hurlock, 1999). Hal ini juga dijelaskan oleh Mathes&Khan sebagai berikut:

“Dalam interaksi sosial penampilan fisik yang menarik merupakan potensi yang menguntungkan dan dapat dimanfaatkan untuk memperoleh berbagai hasil yang menyenangkan bagi pemiliknya. Salah satu keuntungan yang sering diperoleh ialah bahwa ia mudah berteman. Orang-orang yang menarik lebih mudah diterima dalam pergaulannya dan dinilai lebih positif oleh orang lain dibandingkan teman-teman lainnya yang kurang menarik. Melalui banyaknya hal-hal positif yang disebabkan oleh penampilan yang menarik ini, sehingga mereka pun lebih berbahagia dan lebih mudah menyesuaikan diri daripada mereka yang kurang menarik. Dengan demikian, sangat mungkin pula banyaknya orang yang menyukainya terpantul dalam harga diri yang tinggi.” (dalam Hurlock, 1999)

Masalah penampilan ini berkaitan dengan bentuk tubuh, misalnya cacat, terlalu gemuk, terlalu kurus, terlalu tinggi, terlalu pendek, dan sebagainya (Mappiere, 1983). Dalam hal ini penampilan fisik yang kurang menarik tidak selalu cenderung berpengaruh negatif terhadap harga diri seseorang tetapi lebih tergantung pada mampu tidaknya seseorang menerima dirinya apa adanya.

e. Hubungan individu dengan teman/sahabatnya

(38)

memiliki teman adalah positif sebab teman dapat mendorong self esteem dan menolong individu dalam mengatasi stres.

f. Konformitas individu terhadap kelompok sosialnya

Sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti setiap individu membutuhkan keberadaan orang lain. Hal ini tercermin dalam kehidupan bermasyarakat ketika seorang individu membentuk kelompok dan membagi tugas di dalam kelompok. Melalui kelompok itulah individu dapat memuaskan keseluruhan kebutuhan yang fundamental dan memperoleh kesempurnaan yang besar (Ahmadi, 1991). Dari kelompok-kelompok masyarakat yang ada, sebagai individu yang tergabung di dalamnya timbul perasaan-perasaan untuk menegaskan diri bahwa dirinya adalah bagian dari kelompok tersebut atau perasaan tidak ingin berbeda dari yang lain. Terkadang dari perasaan tersebut, timbullah tingkah laku yang disebut dengan konformitas sosial, yaitu perubahan perilaku atau keyakinan individu ke arah kelompok sosial sebagai akibat dari tekanan atau tuntutan kelompok, baik tuntutan nyata maupun tuntutan yang dibayangkan (Kiesler&Kiesler dalam Ahmadi, 1996).

(39)

g. Kondisi sosial ekonomi

Coopersmith (1967) berpendapat bahwa ada hubungan antara harga diri dengan status sosial. Individu dengan harga diri tinggi lebih banyak ditemukan pada kalangan sosial ekonomi tinggi. Hal ini disebabkan karena status sosial ekonomi yang dimiliki seseorang akan memberikan prestise tertentu dalam masyarakat yang akan mempengaruhi harga diri individu tersebut.

h. Jenis kelamin

Adanya perlakuan lingkungan yang berbeda terhadap pria dan wanita bisa berpengaruh terhadap kualitas harga diri seseorang. Pandangan yang menganggap bahwa wanita lebih rendah daripada pria dapat menyebabkan harga diri wanita lebih rendah dari pada pria. Hal tersebut terjadi karena wanita merasa dirinya lebih rendah, kurang mampu dan harus dilindungi oleh pria (Bachman&O’Malley, 1977).

5. Penggolongan Harga Diri

Harga diri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu harga diri tinggi dan harga diri rendah (Coopersmith, 1967), yaitu :

a. Harga diri tinggi

(40)

memandang dirinya sebagai orang yang beruntung dan dapat menikmati hidup, dapat menerima kegagalan dan keberhasilan secara wajar dan lebih realistik, menyukai tugas baru yang menantang serta tidak cepat bingung bila segala sesuatunya berjalan di luar rencana, mempunyai motivasi yang kuat untuk menghadapi kegagalan, mencoba menghadapi situasi kompetitif, lebih percaya diri dan lebih mampu cenderung cemerlang dan lebih beraspirasi. Sedangkan orang yang mempunyai harga diri rendah tidak mempunyai keyakinan ini.

b. Harga Diri Rendah.

(41)

teman dan family atau kelompok sosial tempat berbagi minat dan aktivitas (Arishanti, 2006).

B. Penyandang Cacat Tubuh

1. Pengertian Cacat Tubuh

a. Istilah Cacat Tubuh

Istilah yang sering digunakan untuk menyebut anak cacat tubuh, seperti cacat fisik, tuna fisik, tuna daksa atau cacat orthopedi. Dalam bahasa asingpun sering kali dijumpai istilah crippled, physically handicapped, physically disabled, Physical and Health Impairments dan lain sebagainya (Direktorat PLB, 2006).

(42)

Berdasarkan uraian di atas, kesimpulannya bahwa keragaman istilah yang dikemukakan untuk menyebutkan kecacatan/cacat tubuh tergantung dari kesenangan atau alasan tertentu dari para ahli dan juga faktor kenyamanan para penyandang cacat tubuh itu sendiri dalam memaknai dirinya. Meskipun istilah yang dikemukakan berbeda-beda, namun secara material pada dasarnya memiliki makna yang sama.

b. Pengertian Cacat Tubuh

Cacat fisik atau cacat tubuh mempunyai pengertian yang luas dimana secara umum dikatakan ketidakmampuan tubuh secara fisik untuk menjalankan fungsi tubuh seperti dalam keadaan normal. Dalam hal ini yang termasuk cacat fisik adalah individu yang lahir dengan cacat fisik bawaan seperti anggota tubuh yang tidak lengkap, kehilangan anggota badan karena amputasi, atau individu yang menderita penyakit kronis (Poerwanti, 2002).

(43)

adalah penderita cacat yang sifatnya menetap pada alat gerak (tulang, otot, dan sendi)

Kesimpulan yang dapat diambil mengenai pengertian cacat tubuh yaitu, cacat tubuh adalah berbagai jenis gangguan fungsi fisik, yang berhubungan dengan kemampuan motorik dan beberapa gejala penyerta yang mengakibatkan seseorang mengalami hambatan dalam mengikuti pendidikan normal, serta dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan.

2. Penyebab Terjadinya Cacat tubuh

Ada beberapa macam sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada anak hingga menderita cacat tubuh (Direktorat PLB, 2006). Kerusakan tersebut, yaitu:

a. Sebab-sebab sebelum lahir (fase prenatal), terjadi pada saat bayi masih dalam kandungan, kerusakan disebabkan oleh infeksi atau penyakit yang menyerang ketika ibu mengandung, kelainan kandungan, bayi terkena radiasi, ibu yang sedang mengandung mengalami trauma (kecelakaan). b. Sebab-sebab pada saat kelahiran (fase natal, peri natal),antara lain: proses

kelahiran yang terlalu lama sehingga bayi kekurangan oksigen, pemakaian alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran, pemakaian anestasi yang melebihi ketentuan.

(44)

abses serebri, trombofeblitis, ensefalomielitis), anoxia/hypoxia (tidak ada/kekurangan oksigen)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya cacat tubuh dapat dikelompokkan menjadi dua, yang pertama adalah cacat tubuh karena faktor kelahiran atau cacat tubuh yang dibawa sejak lahir yang kemudian disebut juga dengan cacat bawaan. Hal ini terjadi karena beberapa kesalahan pada masa ibu sedang hamil, dan yang kedua adalah cacat yang terjadi setelah kelahiran yang disebut juga dengan cacat bukan bawaan, hal ini disebabkan karena kesalahan yang terjadi pada waktu kelahiran, kecelakaan, peperangan, penyakit, maupun karena gangguan dalam proses pembentukan zat-zat dalam tubuh.

3. Klasifikasi Cacat Tubuh

Dalam Direktorat PLB (2006) pada dasarnya kelainan pada anak cacat tubuh dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu : a. kelainan pada sistem serebral (Cerebral System), dan b. kelainan pada sistem otot dan rangka (Musculus Skeletal System).

a. Kelainan pada sistem serebral (cerebral system disorders).

(45)

kecerdasan, pusat motorik, pusat sensoris dan lain sebagainya. Kelompok kerusakan bagian otak ini disebut Cerebral Palsy(CL).

Menurut derajat kecacatannya, cerebal palsydapat digolongkan atas : 1) Golongan ringan adalah mereka yang dapat berjalan tanpa menggunakan

alat, berbicara tegas, dapat menolong dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat hidup bersama-sama dengan anak normal lainnya, meskipun cacat tetapi tidak mengganggu kehidupan dan pendidikannya.

2) Golongan sedang adalah mereka yang membutuhkan treatment/latihan khusus untuk bicara, berjalan, dan mengurus dirinya sendiri, golongan ini memerlukan alat-alat khusus untuk membantu gerakannya, seperti brace untuk membantu menyangga kaki, kruk/tongkat sebagai penopang dalam berjalan. Dengan pertolongan secara khusus, anak-anak kelompok ini diharapkan dapat mandiri mengurus dirinya sendiri.

3) Golongan berat adalah mereka yang tetap membutuhkan perawatan dalam ambulasi, bicara, dan menolong dirinya sendiri, mereka tidak dapat hidup mandiri di tengah-tengah masyarakat.

b. Kelainan pada Sistem Otot dan Rangka (Musculus Sceletal System)

Penggolongan anak cacat tubuh kedalam kelompok system otot dan rangka didasarkan pada letak penyebab kelainan anggota tubuh yang mengalami kelainan yaitu: kaki, tangan dan sendi, dan tulang belakang.

(46)

1) Poliomyelitis

Penyakit ini disebabkan virus yang menyerang otot dan dapat menyebabkan perubahan bentuk kaki dan tangan yang bisa menyebabkan kelumpuhan. Penderita polio mengalami kelumpuhan otot sehingga otot akan mengecil dan tenaganya melemah. Peradangan akibat virus polioyang menyerang otot dan sumsum tulang belakang biasanya pada anak usia 2 (dua) tahun sampai 6 (enam) tahun (Direktorat PLB 2006).

Pattirajanawe (dalam Intisari, Juli 2005) menjelaskan bahwa otot yang banyak dilumpuhkan polioantara lain: otot bahu, otot belakang lengan, otot jari, otot yang meluruskan atau menekuk paha atau membuka dan menutup kaki, otot yang meluruskan lutut, dan otot penarik kaki.

2) Skoliosis

Skoliosisadalah gangguan dari posisi lekukan susunan tulang belakang yang membengkok kearah lateral, sehingga bentuk badan nampak membengkong ke samping. Penyebabnya adalah neuromuscular akibat cerebral palsy, kelemahan otot, atau cedera pada tulang belakang. Biasanya penyadang skoliosisdibantu dengan penggunaan bracesdan latihan-latihan (Poerwanti, 2002).

3) Cacat anggota tubuh

(47)

terjadi karena pengaruh obat-obatan yang diminum selama ibu hamil. Ini banyak terjadi pada tahun 1960, dimana banyak dilahirkan bayi-bayi dengan cacat tangan dan kakinya. Selain itu cacat tubuh juga dapat terjadi karena kecelakaan yang menyebabkan tangan/kaki harus diamputasi (dipotong). Amputasi juga dapat dilakukan karena penyakit lain, misalnya tangan/kaki yang membusuk (gangrene) yang harus segera dipotong supaya tidak menular pada bagian yang sehat (Poerwanti, 2002).

Mengingat begitu banyaknya klasifikasi cacat tubuh, sehingga peneliti perlu melakukan pembatasan subyek cacat tubuh yang akan digunakan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, subyek yang digunakan sebagai sampel adalah penyandang cacat tubuh baik dalam kondisi bawaan maupun bukan bawaan tanpa gejala penyerta berupa cacat mata dan mental. Jadi, yang menjadi subyek hanya penyandang cacat yang mengalami kelainan pada sistem otot dan rangka atau penderita cerebral palsy golongan ringan dan sedang, karena diharapkan mereka masih memiliki kemampuan intelegensi yang baik dalam memahami alat tes dalam penelitian ini.

4. Penyandang Cacat Tubuh Dewasa Awal

(48)

tubuh secara maksimal dan siap bereproduksi dan telah dapat diharapkan memiliki kesiapan kognitif, afektif, dan psikomotor, serta dapat memainkan peranannya bersama dengan individu-individu lain dalam masyarakat.

Penyandang cacat tubuh yang sedang dalam masa dewasa juga diharapkan memiliki ciri-ciri kematangan dewasa menurut Anderson (dalam Mappiere, 1983) berikut ini:

a. Berorientasi pada tugas, bukan pada diri atau ego.

b. Memiliki tujuan-tujuan yang jelas dan kebiasaan kerja yang efisien.

c. Mampu mengendalikan perasaan pribadi dan tidak mementingkan dirinya sendiri tetapi juga mempertimbangkan perasaan orang lain.

d. Memiliki sikap obyektif yang berusaha mencapai keputusan dalam keadaan yang sesuai dengan kenyataan.

e. Terbuka menerima kritik dan saran.

f. Memiliki pertanggungjawaban terhadap usaha-usaha pribadi. g. Memiliki penyesuaian yang realistis terhadap situasi-situasi baru.

Menurut Hurlock (1999), masa dewasa awal merupakan suatu periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan dalam harapan-harapan sosial baru. Oleh karena itu, pada masa ini, individu disibukkan dengan sulitnya menyesuaikan diri dalam berbagai aspek kehidupan.

(49)

juga dialami oleh penyandang cacat tubuh. Adapun ciri-ciri masa dewasa awal yang juga dialami oleh penyandang cacat tubuh adalah sebagai berikut:

a. Masa reproduktif

Bagi sebagian besar orang dewasa awal, menjalani masa reproduktif dengan menjadi orang tua atau sebagai ayah/ibu merupakan satu di antara peranannya yang sangat penting dalam hidupnya. Dalam hal ini, perlu disadari bagi penyandang cacat tubuh dan masyarakat bahwa kebanyakan penyandang cacat tubuh mampu menikah dan melahirkan anak, meskipun pada jenis kecacatan tertentu memiliki kemungkinan yang kecil melahirkan anak normal. Meskipun begitu, mereka bisa mengadopsi anak, sehingga tetap bisa membina hubungan perkawinan. Namun, ada kendala besar bagi penyandang cacat tubuh, terutama yang tinggal dalam masyarakat yang memandang bahwa penampilan fisik menjadi daya tarik utama untuk disenangi dan dicintai orang lain. Akibat dari cacat tubuh yang dialaminya, mereka menjadi merasa bahwa dirinya tidak menarik bagi siapapun (Werner, 2007-2009).

b. Masa bermasalah

(50)

tubuh secara kenyataannya mengalami kesulitan yang lebih besar dalam menjalani kehidupan sosialnya. Akibat adanya hambatan ini, penyandang cacat tubuh yang sedang dalam usia dewasa tidak dapat mencapai keberhasilan maksimum mereka dalam mencapai prestasi, pekerjaan, ataupun pergaulan sosial (Hurlock, 1999).

Dengan adanya kesempatan memperoleh bantuan pemecahan masalah misalnya dari pihak keluarga, lembaga-lembaga bimbingan keluarga dan komunitas sosialnya, para dewasa awal bermasalah ini pun dapat memperoleh kepuasan hidup.

c. Masa ketegangan emosional

Ketegangan emosi yang muncul pada masa dewasa awal ini bertingkat-tingkat selaras dengan intensitas persoalan yang dihadapinya dan sejauh mana seseorang dapat mengatasi persoalan yang dihadapinya tersebut. Ketegangan emosional seringkali ditunjukkan dalam ketakutan-ketakutan atau kekhawatiran-kekhawatiran. Ketakutan atau kekhawatiran yang timbul itu pada umumnya bergantung pada ketercapaian penyesuaian terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi pada suatu saat tertentu, dan sejauh mana sukses atau kegagalan yang dialami dalam pergumulan persoalan.

d. Masa keterasingan sosial

(51)

dia akan menunjukkan reaksi emosi berupa depresi, kemarahan dan rasa kecewa yang mendalam disertai dengan kedengkian dan permusuhan, begitu susah dan frustasi merasa dibenci orang lain, dijauhi dan diasingkan (Yuliani, 2007). Apabila hal ini terjadi secara berulang-ulang, negativitas personal akan mendorong timbulnya belief bahwa orang lain mempersepsikan individu tersebut (dalam hal ini penyandang cacat tubuh) secara negatif, seperti halnya self-perception yang ia miliki, dan interaksi sosial menjadi semakin maladaptif. Selanjutnya, orang lain benar-benar berespon secara negatif, dan hasilnya adalah negativitas personal yang semakin bertambah (Furr & Funder dalam Baron&Byrne, 2003).

e. Masa perubahan nilai

Banyak nilai di masa kanak-kanak dan remaja berubah karena pengalaman dan hubungan sosial yang lebih luas dengan orang-orang yang berbeda usianya. Pada masa dewasa, individu mulai merubah nilai-nilai dengan beberapa alasan, dan alasan yang paling utama adalah diterima oleh anggota kelompoknya. Hal ini terkait dengan kecenderungan penyandang cacat tubuh untuk tergabung dalam kelompok sosialnya sesama penyandang cacat tubuh.

(52)

yang ada di masyarakat. Perubahan ini didapatkan berdasarkan proses pengalaman dan hubungan sosial yang dialami oleh masing-masing individu.

Selain memiliki ciri-ciri dewasa awal tersebut di atas, seorang dewasa awal juga memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dijalaninya (menurut Hurlock), yaitu: memilih pasangan hidup, mulai belajar hidup dan mengelola rumah tangga dan keluarga, mulai bertanggung jawab sebagai warga negara, dan mencari kelompok sosial yang menyenangkan dan seirama dengan nilai-nilainya. Dengan adanya tugas perkembangan ini, baik pria maupun wanita, baik cacat maupun tidak akan berusaha untuk memenuhinya. Tugas perkembangan harus dipenuhi agar individu tidak mengalami hambatan dalam proses perkembangan selanjutnya.

5. Perbedaan Pria dan Wanita Penyandang Cacat Tubuh

Meskipun mengalami cacat tubuh baik pria maupun wanita, secara umum, bentuk fisik pria berbeda dengan wanita. Pria mempunyai tubuh yang lebih kekar, otot dan tenaga yang lebih kuat, struktur otak yang lebih besar, tidak melahirkan, dan tidak mengalami penurunan dorongan seks. Sedangkan wanita, memiliki tubuh yang lebih kecil, suara yang lebih halus, mengalami siklus menstruasi dan melahirkan anak. Cara berpikir seorang wanita lebih pada hal-hal yang praktis dan menonjolkan sifat kesosialannya, melindungi dan menjaga kehidupannya (Hurlock, 1999).

(53)

tubuh adalah sama dengan pria dan wanita pada umumnya. Yang membedakan mereka adalah bahwa adanya anggapan bentuk tubuh dan daya tarik fisik berperan penting dalam hubungan sosial, sehingga akibat kecacatannya menimbulkan reaksi sosial yang cenderung negatif dan diskriminatif bagi pria dan wanita penyandang cacat tubuh.

Seorang pria penyandang cacat tubuh juga mengalami diskriminasi, namun tidak seberat pada wanita, baik itu dari segi gender, seksualitasnya, latar belakangnya, usia, agama, dan bahasanya. Menurut Fallon (dalam Chiril, 2008), dalam hal seksualitas misalnya, penderita paraplegia (lumpuh pada kedua tungkai kakinya) akan mengalami permasalahan seksualitas, dimana kalau wanita tidak mampu merasakan sensasi sedangkan pada pria kemungkinan besar kehilangan kemampuan ereksi. Namun hal ini bukan berarti bahwa mereka aseksual dan tidak mampu membina hubungan keluarga. Banyak penyandang cacat tubuh yang berkeluarga dan melahirkan anak-anak yang bukan cacat tubuh (Solider, April 2008).

Seorang wanita pada umumnya telah mengalami diskriminasi karena adanya penyimpangan jenis kelamin dimana keadaannya dianggap lebih lemah daripada pria. Terlebih lagi kehidupan di masyarakat ini didominasi oleh laki-laki, yang telah melakukan diskriminasi terhadap perempuan dan tidak memperhatikan secara sungguh-sungguh kebutuhan ekonomis dan emosional para wanita (Santrock, 2002).

(54)

sedangkan akibat kecacatannya juga makin menimbulkan diskriminasi. Status sosial penyandang cacat tubuh wanita bervariasi tergantung di mana individu itu tinggal. Penyandang cacat tubuh wanita yang tinggal di daerah yang miskin sangat mudah untuk termarjinalkan. Bagi mereka bukan hanya sulit tapi sangat mungkin untuk tidak memperoleh pendidikan atau mendapatkan pekerjaan. Sehingga, sangat mungkin mereka tidak mendapat tempat dalam masyarakat, dianggap tidak bisa menjadi istri atau ibu yang baik. Mereka juga tidak bisa menikmati kehidupannya karena banyak penghalang baik dari akses maupun sikap negatif dari masyarakat (Independent Living Institute, 1996).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ratnawati (1990), jenis kelamin mempengaruhi penerimaan diri pada penyandang cacat tubuh pria dan wanita. Pria penyandang cacat tubuh dinilai lebih tinggi penerimaan dirinya dibanding pada wanita penyandang cacat tubuh. Hal ini berkaitan dengan sifat serta perlakuan yang diterapkan para orang tua terhadap anak-anaknya. Selain itu, perbedaan itu juga disebabkan dalam diri penyandang cacat tubuh wanita ada sifat yang relatif lebih sensitif serta lebih menitikberatkan pada sifat afektif dibandingkan dengan kaum pria penyandang cacat tubuh.

(55)

teman-teman berdasarkan kecocokan, mempunyai kepentingan dan nilai yang sama dengan kepentingannya. Namun, akibat adanya penolakan sosial menyebabkan mereka kesulitan dalam menentukan kelompok sosial yang bisa menerima mereka dan pada akhirnya mereka membentuk kelompok-kelompok sosial yang senasib dengan mereka dengan kata lain sesama penyandang cacat tubuh. Bagi wanita penyandang cacat tubuh pemilihan kelompok sosial didasarkan pada kelompok yang bisa memberikan perlindungan pada dirinya, menjauhkannya dari rasa takut dan depresi, sehingga dia merasa aman dari segala bentuk kekerasan (Peckham, 2007).

C. Perbedaan Tingkat Harga Diri pada Pria dan Wanita Dewasa Awal

Penyandang Cacat Tubuh

Individu mulai belajar mengenal berbagai perasaan, sikap dan nilai-nilai dalam kontak dengan orang-orang terdekat, seperti dengan orang tua, kelompok sosial, dan sanak saudara (Hurlock, 1999). Apabila terjadi penolakan dari lingkungan sekitar dan merasa diremehkan akan mengakibatkan munculnya perasaaan kurang dihargai, tidak menyenangkan dan tidak berguna bagi diri individu yang bersangkutan.

(56)

kelamin pria dan wanita dapat mempengaruhi perbedaan tingkat harga diri antara individu yang satu dengan individu yang lain. Pembedaan perlakuan sosial ini juga menimpa para penyandang cacat tubuh pria dan wanita.

Menurut Meekosha (2004), penyandang cacat tubuh seringkali diwakili tanpa ada pembedaan jenis kelamin, sama-sama sebagai makhluk yang tidak berkelamin, dianggap monster, dan berlainan dengan norma sosial. Hal ini terjadi karena hanya ada sedikit dasar pembedaan pria dan wanita pada penyandang cacat tubuh. Namun, gambaran dari cacat tetap bisa ditunjukkan oleh jenis kelamin. Bagi wanita kecacatannya makin memperkuat anggapan dasar bahwa wanita memiliki perasaan yang pasif dan tidak berdaya, sedangkan bagi pria, kecacatannya mengurangi sifat maskulinitas yang membuatnya menjadi tidak mandiri. Pembedaan ini terlihat dalam hal pendidikan, pekerjaan, keluarga dan hubungan sosial penyandang cacat tubuh pria dan wanita.

(57)

rendah karena adanya perasaan depresi, terisolasi secara sosial, dan pelecehan-pelecehan. Akibat dari depresi ini, tenaganya melemah sehingga sedikit saja bekerja sudah dirasa lelah, lalu harga dirinya menjadi turun, merasa tidak berarti, tidak percaya diri, sulit berkosentrasi pada pekerjaan dan sulit mengambil keputusan, serta sering putus asa, sehingga seorang penyandang cacat wanita terkesan memiliki prestasi yang lebih rendah dari pria.

Dalam hal penerimaan diri, juga ada perbedaan antara pria dan wanita penyandang cacat tubuh. Pria penyandang cacat tubuh dinilai lebih tinggi penerimaan dirinya dibanding pada wanita penyandang cacat tubuh. Hal ini berkaitan dengan sifat serta perlakuan yang diterapkan para orang tua, serta sifat sensitif dan afektif yang dimiliki wanita penyandang cacat tubuh. Padahal seperti kita ketahui, bahwa penerimaan diri menjadi hal penting dalam pembentukan harga diri seseorang. Hal ini didukung oleh pendapat David W. Johnson (dalam Wrastari, 2003), yang menyebutkan bahwa penerimaan diri dipandang sebagai suatu keadaan dimana seseorang memiliki penghargaan yang tinggi pada dirinya sendiri.

(58)

perempuan. Akibatnya anak itu pun merasa malu dan merasa rendah diri (Parlin, tanpa tahun).

Setiap manusia baik cacat maupun tidak memiliki kebutuhan yang sama untuk makan, perlindungan dan cinta. Namun sayangnya di masyarakat tumbuh pemahaman bahwa difabel adalah bagian masyarakat yang tidak membutuhkan seksualitas. Seorang perempuan penyandang cacat tubuh diklaim tidak akan bisa merawat anak, menjaga dan memelihara rumah. Pria penyandang cacat tubuh diragukan kemampuannya untuk mencukupi semua kebutuhan rumah tangga (Solider, 2003). Adanya anggapan masyarakat ini jelas mengancam harga diri pria dan wanita penyandang cacat tubuh.

Hal lain yang mengancam harga diri wanita penyandang cacat tubuh, yaitu ketika seorang wanita penyandang cacat tubuh berada dalam lingkungan pekerjaan. Wanita penyandang cacat tubuh menjadi mudah dipojokkan dan termarjinalkan dalam lingkungan sosial (David, tanpa tahun). Hal tersebut dijelaskan berdasarkan pendapat Meekosha (2004), bahwa dalam dunia pekerjaan, wanita penyandang cacat tubuh lebih sering mengalami pelecehan dan disakiti daripada pria penyandang cacat tubuh. Selain itu wanita penyandang cacat tubuh juga dianggap lebih miskin daripada pria penyandang cacat.

(59)

Nosek dan Collegaues (dalam Bonnie, 2004) melaporkan bahwa harga diri wanita penyandang cacat tubuh lebih dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, seperti dalam lingkungan pekerjaan dan hubungan pertemanan. Dalam hubungan sosial, wanita penyandang cacat tubuh lebih sering mengalami permasalahan psiko-sosial, karena adanya kecenderungan depresi, stres, dan harga diri yang rendah daripada pria penyandang cacat tubuh. Sebuah contoh kasus yang terjadi di Zimbabwe, penyandang cacat terutama seorang wanita, dianggap sebagai seorang anak-anak, dan dalam kehidupan mereka, mereka tidak terlalu memberi repon pada anak-anak, sehingga penyandang cacat wanita karena dianggap sebagai anak-anak kesulitan memperoleh pendidikan, kesehatan, serta memiliki tempat tinggal, dll (Maxwell, 2006).

Ketika seorang wanita penyandang cacat tubuh tidak mendapat akses dalam hal sumber daya, pendidikan, dan peluang-peluang yang lain mereka lebih mudah untuk jatuh miskin, tereksploitasi, dan mengalami pelecehan-pelecehan. Tanpa adanya kepercayaan diri dan kesadaran akan hak mereka, mereka akan dipinggirkan dan terisolasi (Maxwell, 2006).

D. Hipotesis Penelitian

(60)

43

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif dengan metode komparasi/perbandingan. Metode komparasi/perbandingan merupakan penelitian yang bertujuan untuk memperbandingkan variabel yang sama dari 2 kelompok subyek yang berbeda, dalam penelitian ini kelompok subyek yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin pria dan wanita dewasa awal pada penyandang cacat tubuh (Suryabrata, 1998).

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel penelitian merupakan suatu atribut dalam suatu penelitian yang akan dipelajari dan ditarik suatu kesimpulan (Suryabrata, 1998).

1. Variabel Terikat : Harga diri 2. Variabel Bebas : Jenis kelamin

a. Pria b. Wanita

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

(61)

karena digunakan sebagai acuan untuk menyusun alat pengambilan data yang akan digunakan dalam penelitian (Suryabrata, 1998).

Berikut ini akan dirumuskan definisi operasional masing-masing variabel agar diperoleh pengertian yang jelas mengenai variabel bebas dan variabel tergantung dalam penelitian ini. Definisi variabel-variabel dalam penelitian ini adalah:

1. Harga Diri

Harga diri merupakan suatu hasil penilaian atau evaluasi yang dibuat dan dipertahankan oleh individu terhadap dirinya sendiri, sifatnya relatif tetap, dan diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Harga diri berkembang seiring dengan bertambahnya usia. Dengan kata lain, harga diri terbentuk selama pengalaman hidup individu dalam berinteraksi baik dengan dirinya sendiri maupun dengan individu lain dalam lingkungan sosialnya.

Tingkat harga diri diukur dengan menggunakan skala yang diadopsi dari skala milik Tanoyo (2008) yang disusun berdasarkan aspek-aspek pembentukan harga diri dari Coopersmith (1967), yaitu :

a. Power : Kemampuan untuk mempengaruhi dan mengontrol orang lain dan mengontrol dirinya sendiri. Pada situasi tertentu, kebutuhan ini ditunjukkan dengan penghargaan dan penghormatan dari orang lain. Aspek ini dapat berupa pengaruh dan wibawa pada seorang individu. Ciri-ciri individu yang mempunyai aspek ini biasanya menunjukkan sikap asertif.

(62)

benar atau salah berdasarkan moral, norma, dan etika yang berlaku di dalam lingkungan interaksinya.

c. Significance : Keberartian individu dalam lingkungan. Hal ini berhubungan dengan penerimaan dan perhatian dari lingkungan interaksinya. Semakin banyak ekspresi kasih sayang yang diterima individu, individu akan semakin berarti. Tetapi bila individu tidak atau jarang mendapatkan stimulus positif dari orang lain, maka individu akan merasa ditolak dan kemudian akan mengucilkan diri dari pergaulannya.

d. Competence : Kemampuan untuk mencapai apa yang dicita-citakan atau diharapkan. Aspek ini berhubungan dengan kemampuan yang dimiliki individu, dengan adanya kemampuan yang cukup individu merasa yakin untuk mencapai apa yang dicita-citakan dan mampu mengatasi setiap masalah yang dihadapinya.

Hasil jawaban subyek terhadap Skala Harga Diri akan di skor untuk melihat tinggi rendahnya tingkat harga diri subyek. Semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat harga diri subyek.

2. Jenis kelamin

a. Pria b. Wanita

(63)

D. Subyek Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah penyandang cacat tubuh, dewasa awal jenis kelamin pria dan wanita, domisili di Yogyakarta. Pengambilan data pada penelitian ini menggunakan teknik sampling yang didasarkan atas ciri-ciri, sifat atau karakteristik subyek yang dianggap mewakili populasi. Pendekatan semacam ini disebut dengan pendekatan sampel bertujuan (purposive sampling), yaitu teknik sampling yang berdasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang diperkirakan mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat yang ada dalam populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Suryabrata, 1998). Selain itu peneliti juga menggunakan metode accidental sampling/incidental sampling, yaitu menjadikan sampel kepada mereka yang kebetulan ditemui yang sekiranya sesuai dengan karakteristik subyek penelitian (Suryabrata, 1998).

Peneliti menggunakan 90 orang subyek sebagai responden penelitian ini. Adapun kriteria subyek yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Seseorang yang mengalami cacat fisik, baik dalam kondisi bawaan maupun bukan bawaan tanpa gejala penyerta berupa cacat mata, tuna rungu, dan mental. Jadi, yang menjadi subyek adalah seseorang yang mengalami kelainan pada sistem otot dan rangka atau penderita Cerebral Palsy golongan ringan dan sedang.

(64)

b. Dewasa awal berusia 18-40 tahun (Hurlock, 1999).

Alasan: Pada usia ini diharapkan individu telah dianggap memiliki kematangan secara fisikologis dan psikologis, dalam penelitian ini yang akan dilihat adalah harga dirinya.

c. Berdomisili di Yogyakarta.

Alasan: Memudahkan peneliti mengambil data.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode skala. Menurut Allen dan Yen (Supratiknya, 1998), skala adalah rangkaian pengukuran yang mengikuti aturan tertentu untuk mengukur satu sifat. Metode yang digunakan dalam skala ini adalah Summated Ratings ala Likert yang telah dimodifikasi dengan meniadakan jawaban tengah (ragu-ragu) sehingga alternatif jawaban hanya terdiri dari 4 alternatif jawaban, yaitu SS (sangat sesuai), S (sesuai), TS (tidak sesuai), dan STS (sangat tidak sesuai).

Dalam skala ini, peniadaan jawaban tengah (ragu-ragu) dimaksudkan untuk: (a) menghindari kegandaan jawaban akibat kategori jawaban yang bermakna ganda, (b) mencegah kecenderungan subyek untuk menjawab ke tengah (central tendency effect), (c) supaya responden lebih tegas dalam memilih jawaban kearah setuju atau tidak setuju (Hadi, 1991).

(65)

1. Skala Harga Diri

Skala Harga Diri ini dibuat oleh Tanoyo (2008). Pada mulanya Skala Harga Diri ini terdiri dari 80 item pernyataan harga diri. Namun setelah melalui uji coba yang dilakukannya terhadap 80 subyek, item yang tersisa adalah 61 item. Setelah seleksi item dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan jumlah sebaran pada setiap aspek pada skala harga diri, Skala final Harga Diri yang digunakannya adalah 47 item.

Skala harga diri disusun berdasarkan 4 aspek harga diri Coopersmith (1967) yaitu power, virtue, significant, dan competence. Berikut ini keempat aspek harga diri yang akan disajikan dalam suatu kawasan ukur:

Tabel 1.

Blueprint Skala Harga Diri Sebelum Adaptasi No. Aspek Harga

(66)

Tabel 2. Pemberian skor Skala Harga Diri pilihan jawaban favorable

S S TS STS

4 3 2 1

b. Unfavorable, dengan pilihan jawaban dan skor jawaban sebagai berikut : Tabel 3. Pemberian skor Skala Harga Diri pilihan jawaban unfavorable

SS S TS STS

1 2 3 4

Semakin tinggi skor yang diperoleh menunjukkan semakin tinggi tingkat harga diri subyek.

F. Pertanggungjawaban Mutu

Pada penelitian ini pertanggungjawaban mutu yang digunakan adalah dengan cara melakukan seleksi item dan menguji validitas dan reliabilitas skala. 1. Validitas

(67)

Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi yang berguna untuk mengukur sejauh mana item-item yang dibuat sudah mencakup dan mempresentasikan isi atribut yang akan diukur. Validitas isi memiliki dua macam tipe yaitu, face validity dan logical validity atau sering disebut sebagai sampling validity. Pemeriksaan face validity dalam penelitian ini menggunakan analisis rasional yang menunjukkan bahwa tiap-tiap item pada skala yang dipakai sudah mencerminkan aspek yang akan diukur.

Face validity hanya berdasarkan pada akal sehat saja maka tingkat signifikansinya rendah. Untuk itu perlu dilakukan uji validitas dengan tipe lain yaitu dengan logical validity atau sampling validity.

Dalam pengukuran validitas isi tidak menggunakan analisis statistik, namun menggunakan suatu metode analisis rasional terhadap item atau disebut juga dengan judgement rational expert yaitu suatu proses pemeriksaan atau evaluasi item yang dilakukan oleh orang yang dianggap ahli atau profesional di bidangnya, dalam hal ini adalah dosen pembimbing, untuk memastikan bahwa item-item yang dibuat telah mencakup keseluruhan dari hal yang akan diungkap (Azwar, 2003). Berdasarkan pemeriksaan dengan logical validity, item-item yang dibuat dalam Skala Harga Diri telah representatif dan relevan dengan maksud dan tujuan dari penelitian, sehingga layak untuk diujikan.

2. Seleksi Item

(68)

rangka mengadaptasi Skala Harga Diri buatannya dan juga untuk menyeleksi item-item sebelum uji coba. Seleksi item diawali dengan melakukan penyeleksian item-item terhadap item Skala Harga Diri sebelum dimulai proses adaptasi. Seleksi item ini dilakukan untuk memperoleh item-item yang memang layak dan relevan dengan subyek dalam penelitian ini. Pada mulanya seleksi item dilakukan dengan membuang item-item yang tidak sesuai dengan tujuan dan subyek penelitian. Dari seleksi item ini, diperoleh 7 item yang tidak sesuai dengan tujuan dan subyek penelitian, yaitu item 8, 12, 15, 27, 31, 33, dan item 34.

Seleksi item selanjutnya dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan proposional antara item favorabel dengan unfavourable. Pada seleksi item kali ini, peneliti menyisihkan empat item pada aspek power dan competence bagian unfavourable, yaitu item 7, 16, 29, dan item 32. Proses seleksi item ini, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini:

Tabel 4

(69)

Berdasarkan hasil seleksi item, maka hanya ada 36 item yang dirasa layak dan relevan dengan tujuan dan subyek penelitian ini dan digunakan sebagai Skala Final Harga Diri dalam penelitian ini. Berikut Skala Final Harga Diri setelah dilakukan penyusunan ulang nomor item.

Tabel 5

Blue-print Skala Harga Diri untuk Tryout No. Aspek Harga

Diri

Item Jum

lah

Favorable Unfavorable

1. Power 2, 3, 7, 15, 24, 36 8,12, 25, 35 10

2. Virtue 1, 13, 16, 21, 30 19, 28, 7

3. Significant 20, 23, 27, 32, 33 4, 9, 18, 29 9 4. Competence 5, 6, 11, 14, 22, 31 10, 17, 26, 34 10

Jumlah Keseluruhan 36

(70)

dimana subyek uji coba juga sekaligus merupakan subyek penelitian itu sendiri.

Uji coba ini dilakukan dalam 3 kali pertemuan karena subyek berada dalam kelompok komunitas yang berbeda-beda. Pada tanggal 28 April 2009 uji coba dilakukan di organisasi PPCS (Persatuan Penyandang Cacat Sleman) dengan jumlah subyek 1 wanita dan 10 pria dan ke 11 data subyek layak untuk diskoring. Kemudian pada tanggal 3 Mei 2009 dilakukan uji coba di Paguyuban Tuna Daksa. Di Paguyuban ini, peneliti menyebar 42 skala, namun yang lolos untuk skoring hanya 36 skala, 22 wanita dan 12 pria, sedangkan yang 6 dinyatakan gugur karena 2 skala tidak ada keterangan jenis kelamin, 3 skala dengan usia subyek lebih dari 40 tahun dan 1 skala lainnya tidak diisi secara lengkap. Selanjutnya diperoleh 14 skala yang didapat melalui metode accidental sampling, yaitu meminta siapa saja yang ditemui secara tidak sengaja yang sesuai dengan kriteria subyek penelitian untuk mengisi skala, semuanya lolos dengan spesifikasi 5 pria dan 9 wanita penyandang cacat tubuh. Kemudian, peneliti melalui teman menyebar 35 skala terhadap penyandang cacat tubuh yang mengikuti program rehabilitasi di Yakkum dan alumni Rehabilitasi Yakkum. Dari 35 skala yang disebarkan, hanya 29 ( 13 wanita dan 18 pria) yang layak diskoring karena 4 skala dengan usia di bawah 18 tahun dan 2 skala tidak diisi secara lengkap.

Berdasarkan kisaran reliabilitas α totalyang sebesar 0,843, hasil dari uji

Gambar

Tabel 1.Blueprint Skala Harga Diri Sebelum Adaptasi
Tabel 2. Pemberian skor Skala Harga Diri pilihan jawaban favorable
Tabel 4Blue print Skala Harga Diri Seleksi Item
Tabel 5Blue-print Skala Harga Diri untuk Tryout
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu, pengeloalaan dana umat seperti Zakat, Infaq, dan Sedekah yang dilakukan oleh Dompet Dhuafa Kota Makassar sebagai wadah oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang

Dari Tabel 10 diatas dapat dilihat bahwa perbedaan isohyet jumlah kekeringan terbesar empat stasiun hujan dan delapan stasiun hujan dengan panjang data yang sama tidak

Setelah semua syarat materiil dipenuhi maka PPAT akan membuatkan akta jual belinya, sesuai dengan ketentuan Pasal 37 PP 24/1997 harus dibuat oleh PPAT. Akta peralihan

Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Kota Bandar Lampung.. Perceived Family Support, Depression, and Suicidal Ideation among

mahasiswa untuk memilih jurusan akutansi atau non akuntansi dalam.. mempelajari suatu ilmu dari jurusan yang mahasiswa pilih di

- bahwa saya/kami dengan ini mengerti bahwa SMA Sampoerna (Sampoerna Academy), Kampus Bogor berhak untuk menghentikan bantuan pendidikan program Sampoerna Academy

Suatu ruang vektor adalah suatu himpunan objek yang dapat dijumlahkan satu sama lain dan dikalikan dengan suatu bilangan, yang masing-masing menghasilkan anggota lain

Isolasi metil ester asam lemak telah dilakukan dengan cara distilasi fraksinasi, tetapi pada penelitian ini tidak dapat diperoleh isolat yang diharapkan2. Kromatogram