ZOMBIE
AEDES
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, meng-edar-kan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pe-langgaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Penerbit PT Elex Media Komputindo
Reinecke Bayu
Editor: Rayendra L. Toruan
HIGH YIELD INVESTMENT PROGRAM
T R I K M E R A U P L A B A
RATUSAN RIBU DOLAR
DALAM BELASAN MENIT
Trik Meraup (i-xvi)new.indd 3 8/25/2003 12:44:31 AM
ZOMBIE
AEDES
II
Zombie Aedes II Oleh Satria Satire
Copyright © 2017 oleh Satria Satire Penerbit PT Elex Media Komputindo Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Diterbitkan pertama kali tahun 2017 oleh Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta
717031628 ISBN: 978-602-04-4673-8
Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan
BAGIAN
SATU
3
Para Penerbang
STPI, Curug, Kabupaten Tangerang, Dua Tahun Setelah Status Darurat
E
ga mengintip dari depan hanggar ke arah belakang bangunan berbentuk kotak dan beratap setengah lingkaran itu, melihat melampaui pagar jaring besi dengan gulungan kawat duri di bagian atas tembok beton oranye, ke arah kebun bayam yang berupa gundukan tanah memanjang. Ia memastikan tidak ada korban terinfeksi di sekitar tempat yang akan ia tuju. Hanya hamparan sawah kering yang bersebelahan dengan kebun.Di samping Ega, Arif sudah menapakkan kaki kanannya di pedal sepeda, siap mengayuh, sementara kaki kirinya masih menginjak rumput. Ia menoleh ke belakang menunggu aba-aba Ega. Sedetik kemudian, Ega mengangguk ke arahnya lalu berjalan cepat sembari menunduk, mende kati tembok beton. Arif pun mulai menggowes sepeda. Ia mengayuh dengan cepat melewati rerumputan di samping landasan berlapis aspal. Sesekali ia harus mengencangkan genggamannya pada setang, saat tanah berumput membuat laju sepeda bergoyang. Rerumputan itu memang tidak serata permukaan landasan, hanya saja Arif tidak mau ambil risiko, karena jatuh di aspal tentu jauh lebih menyakitkan daripada jatuh di tanah berumput. Lagi pula, suara bel sepeda akan lebih terdengar oleh korban terinfeksi jika ia melaju di rerumputan.
Arif menoleh sebentar ke belakang kanan, ke arah Ega, memastikan temannya belum melompat. Karena seperti biasa, ia harus membuat
4
Z O M B I E A E D E S I Ikebi singan lebih dulu. Ia membelokkan sepeda ke kanan, lebih dekat dengan jajaran pagar kawat berduri di bagian atas yang menjadi perba-tasan sekolah penerbangan dengan hamparan sawah dan kebun yang ta-dinya milik warga sekitar. Beberapa korban terinfeksi melihat Arif. Arif mulai membunyikan bel sepeda dengan jempol kanannya berkali-kali.
KRINIIING.... KRINIIING.... KRINIIING....
Membuat makin banyak korban terinfeksi melihat ke arahnya. Ega sudah bisa mendengar suara bel itu, ia bergegas memanjat tembok beton sekolah, tembok itu dibangun sepanjang seribu enam ratus meter, setiap lima puluh meternya diselingi rangkaian pagar jaring kawat berduri. Bagian yang Ega panjat sudah bebas kawat berduri, karena sudah ia po-tong sejak bulan pertama mereka terkurung di sekolah penerbangan ini. Bagian itu menjadi satu-satunya celah tanpa duri di atas jaring kawat yang mengelilingi sekolah sekaligus landasan terbang seluas sepuluh hektar. Ega menarik napas ketika sudah sampai di atas, sebelum akhirnya melompat ke gundukan tanah lembek yang masih membentuk jejak alas sepatu ku-litnya. Tanah yang lebih rendah daripada tanah di kanan-kirinya karena sudah hampir satu tahun ini diinjaknya seminggu sekali. Tanah yang jauh lebih mudah ditanami ketimbang harus membajak tanah di sekitar lan-dasan yang sangat keras.
Ega bergegas berlari mendekati jajaran gundukan tanah. Ia melihat-lihat tanaman-tanaman di situ, bukan memilih jenisnya, karena cuma ada bayam, melainkan ukuran yang ia rasa sudah cukup untuk dipanen. Ia harus menunduk untuk mencabut daun bayam yang sudah cukup lebar, yang langsung ia masukkan ke ransel. Lima genggam sudah masuk, dan ia mencabut lagi dua genggam untuk dijejalkan ke ransel.
Masih dengan langkah menunduk, Ega mendekati gundukan lain di sebelah kanan. Ia melihat dulu ke arah kerumunan sosok terinfeksi yang masih melangkah lambat ke arah pagar kawat, mendekati Arif yang masih membunyikan bel di dekat situ sambil melihat ke arah Ega, memastikan temannya masih aman. Arif selalu menyesal karena pernah merendahkan hobi Ega yang sama dengan hobi ayahnya, bercocok tanam.
Melihat belasan korban terinfeksi itu masih terpancing ke arah Arif, Ega merasa aman dan lanjut mengambil tang ujung runcing yang selalu ia
5
SATRIA SATIREtancapkan di ujung gundukan tanah bagian tengah. Ia memotong ujung-ujung daun bayam dengan tang, lalu langsung menanamnya di gundukan yang sudah ia bajak minggu lalu. Sesekali ia harus melihat ke arah para pengisap darah yang masih memunggunginya.
Ega menepuk-nepuk tanah yang baru ia gunduk untuk mengubur bibit terakhir yang ia semai, lalu melihat lagi ke sekeliling. Setelah merasa masih aman, ia mengambil dua botol plastik air mineral dari bagian luar ransel, dan mengucurkan isinya ke sekeliling bibit bayam yang baru ia potong. Belum sempat siramannya merata, suara bel sepeda di kejauhan sudah berubah menjadi ketukan cepat.
KRINING! KRINING! KRINING!
Itu pertanda buruk! Ega langsung memasukkan botol airnya ke ransel lalu memanggul ranselnya dan berlari. Ia melihat dua sosok terinfeksi, ke-duanya wanita, sudah frustrasi karena tidak sanggup melewati pagar kawat yang terlalu tebal untuk dipatahkan dengan tangan kosong hingga tidak bisa memburu Arif yang begitu ribut dengan bunyi bel sepeda. Dua sosok itu berpaling lalu melihat Ega. Erangan mereka terdengar sayup di telinga Ega.
Suara bel sepeda semakin cepat dan nyaring. Rupanya Arif mencoba mengabarkan kalau sekarang sudah semakin banyak sosok terinfeksi yang mendekati Ega, dan itu membuat Ega sedikit panik. Tapi ia sudah sampai di dekat pagar kawat. Ia pun mengarah ke kanan, lebih jauh beberapa meter dari tempatnya melompat sebelumnya, karena tidak ada celah un-tuk pijakan kaki di tempat itu. Ega melempar ranselnya tinggi-tinggi agar sampai ke balik pagar kawat dan melewati bagian berdurinya. Lalu ia lan-jut memanjat pohon akasia yang berada persis di luar pagar. Dahan paling tinggi di pohon itu bisa membuatnya menggapai tembok beton oranye, dan ranting tebalnya membuat ia bisa bergelantung untuk turun. Kaki-nya akhirKaki-nya menapak tanah di bagian dalam tembok. Sosok terinfeksi di belakang sudah begitu dekat. Mereka hanya bisa mencakar-cakar pagar kawat. Beberapa mencoba mengangkat tubuhnya, tapi terlalu lemah den-gan kaki yang kaku, tidak mampu menden-gangkat bagian paha mereka. Satu kekurangan dari mereka yang terinfeksi yang sangat Ega syukuri.
6
Z O M B I E A E D E S I IArif sudah mengayuh sampai di depan hanggar. Ia lalu memarkir sepeda nya di dalam hanggar, bersebelahan dengan pesawat latih C-23 yang rusak dan tanpa bahan bakar. Ia dan Ega menyeberangi landasan menuju menara ATC—Air Traffi c Control, menara cokelat berbentuk obor tanpa api yang tinggi menjulang hingga lima puluh meter, bagian atasnya berbentuk lingkaran dengan bingkai-bingkai kaca lebar.
Waktu sore sudah hampir habis. Ega menoleh ke belakang, memasti-kan tidak ada korban terinfeksi yang melewati barikade pagar kawat. Ia selalu yakin kalau kawat dan tembok itu cukup kuat dan tinggi. Tapi itu tidak pernah membuatnya tenang.
Ega lalu menyusul Arif yang sudah membuka pintu besi tebal berwarna cokelat di dasar menara ATC. Keduanya masuk lalu bersama-sama menu-tup kembali pintu itu. Arif menggeser slot kunci sementara Ega mengge-ser meja di samping lift ke balik pintu besi, sebagai tambahan keamanan. Mereka tidak bisa lagi menggunakan lift sejak listrik benar-benar padam, karena itu, setelah mengatur napas sebaik mungkin, keduanya mulai me-napaki tangga yang melingkari bagian dalam menara. Sejak tidak ada lagi listrik, Arif sering menyebut menara ini sebagai mercusuar.
Mereka berdua sudah hampir mencapai puncak, melewati ruang isti-rahat yang berada tepat di bawah ruang navigasi. Ruang itu berisikan sofa empuk, televisi, kulkas, dan dispenser, yang sekarang terasa tidak berguna.
Setelah membuka pintu besi ruang navigasi, Arif langsung berteriak, “ERWIN, BANGUN!”
Orang yang Arif panggil membuka matanya. Ia sudah tidur cukup lama. Dan ia ingat kalau sekarang sudah gilirannya untuk masak dan jaga malam.