• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Ika Fajriyati BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Ika Fajriyati BAB I"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Seiring dengan berkembangnya zaman di era globalisasi, telah membawa manusia pada suatu tatanan hidup yang serba cepat dan praktis. Perkembangan zaman yang semakin maju dan modern juga menjadikan kesehatan sebagai hal

yang sangat penting serta mahal nilainya.

Pengaruh globalisasi di segala bidang, perkembangan teknologi dan industri

mengakibatkan perubahan pada perilaku dan gaya hidup masyarakat serta situasi lingkungannya, seperti perubahan pola konsumsi makanan, berkurangnya aktifitas fisik dan meningkatnya perilaku merokok. Perubahan tersebut telah memberi

kontribusi terhadap semakin meningkatnya kasus-kasus penyakit tidak menular seperti jantung, tumor, diabetes, hipertensi, gagal ginjal dan sebagainya (Aditama,

2011). Cahyono (2008) menambahkan penyakit jantung koroner, stroke sebagian penyakit kanker, kecelakaan lalu-lintas, hipertensi, kencing manis, penyakit paru obstruktif menahun, HIV/AIDS, bunuh diri akibat depresi, merupakan bentuk

penyakit modern akibat perubahan gaya hidup.

(2)

tahun, resiko stroke meningkat dua kali lipat. Sekitar lima persen individu berusia di atas 65 tahun pernah mengalami setidaknya satu kali stroke. Pada tahun 2020 diperkirakan 7,6 juta individu akan meninggal karena stroke. Peningkatan tertinggi akan terjadi di negara berkembang, terutama di wilayah Asia Pasifik. Di

Indonesia sendiri diperkirakan terjadi sekitar 800-1.000 kasus stroke setiap tahunnya (Junaidi, 2011).

Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar RI (2013) pada tahun 2007 jumlah

penderita stroke 8,3 per 1000 penduduk. Kemudian di tahun 2013 melonjak menjadi 12,1 per 1000 penduduk. Sedangkan di Kabupaten Banyumas,

berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Banyumas yang diambil dari setiap puskesmas di masing-masing kecamatan pada tahun 2013 jumlah penderita stroke mencapai 486 individu. Kecamatan Wangon merupakan kecamatan yang terdapat jumlah penderita stroke terbanyak di Kabupaten Banyumas. Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas di

Kecamatan Wangon tahun 2013 sampai 2014 terdapat penderita stroke sejumlah 98 penderita.

Pada penderita stroke terjadi penurunan fungsi dan aktifitas salah satu atau sekelompok otot yang diurus oleh satu saraf otak tertentu. Kejadian stroke sangat tiba-tiba dan sangat dramatis. Pada kondisi yang berat bisa terjadi kelumpuhan

(3)

yang terganggu (Yatim, 2005). Nabyl (2012) menambahkan stroke ditandai dengan koma jangka pendek (kehilangan kesadaran), kelumpuhan pada tangan

atau kaki, kehilangan kemampuan berbicara, perubahan daya pikir, gangguan perilaku dan emosional dan kehilangan indera rasa. Stroke tidak hanya menyebabkan gangguan fisik saja namun hal ini juga menyebabkan gangguan psikologis seperti contohnya mudah marah, berperilaku seperti anak kecil, emosi mudah berubah.

Perubahan fisik yang begitu tiba-tiba seringkali menimbulkan masalah baru bagi penderita stroke. Salah satunya seperti sulitnya untuk beradaptasi dengan kondisi baru dan kurangnya dalam melakukan interaksi sosial dengan lingkungan sekitarnya. Tidak hanya perubahan secara fisik saja, penderita pasca stroke juga akan mengalami perubahan secara psikologis. Hal ini dijelaskan oleh Lingga

(2013) kondisi tidak berdaya akibat stroke yang dialami penderita pasca stroke membuat penderita mengalami perubahan mental yang sulit ditutupi.

Perubahan-perubahan fisik yang telah dijelaskan sebelumnya menyebabkan penderita akhirnya mengalami stres, depresi, mudah tersinggung, mudah marah, dan sedih. Ada pula yang putus asa dan kehilangan semangat hidup.

(4)

kala. Penderita stroke akan mengalami perubahan dalam berbagai aktifitas sehingga kondisi psikologisnya pun menjadi berubah.

Permasalahan-permasalahan yang dialami oleh penderita pasca stroke baik secara fisik maupun psikologis tersebut membuat penderita menjadi tidak dapat

menemukan kebahagiaan dalam kehidupannya. Padahal, menurut Myers (2015) keadaan jasmani individu yang bahagia lebih sehat, cepat sembuh dari penyakit dan lebih tahan menghadapi penyakit dibandingkan individu yang tidak bahagia.

Kebahagiaan dapat ditemukan ketika seseorang individu memiliki subjective well-being. Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Wyller, dkk (1998) ditemukan hasil yang menunjukkan bahwa kondisi subjective well-being pada penderita stroke lebih rendah dibandingkan penderita non-stroke.

Stock menjelaskan subjective well-being didefinisikan sebagai suatu evaluasi positif mengenai kehidupan individu yang diasosiasikan dengan diperolehnya perasaan menyenangkan (dalam Pinquart & Sorenson, 2000). Biswas-Diener &

Dean (2007) menambahkan, individu yang merasakan subjective well-being yang melimpah dan hanya sedikit perasaan tidak nyaman, ketika terlibat dalam kegiatan yang menarik dan ketika individu merasakan banyak kesenangan dan sedikit rasa

(5)

Peneliti melakukan studi pendahuluan untuk mengidentifikasi permasalahan yang terjadi di lapangan. Wawancara dilakukan terhadap 6 penderita pasca stroke, 4 diantaranya yakni subjek S yang diwawancarai pada tanggal 29 Oktober 2014, subjek R pada tanggal 1 November 2014, subjek M pada tanggal 10 Februari

2015 dan subjek D pada tanggal 10 Februari 2015. Keempat subjek tersebut diwawancarai di rumah masing-masing yaitu di Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas. Berdasarkan hasil wawancara, keempat subjek mengalami kondisi

yang hampir sama yaitu merasakan keterpukulan saat mengetahui bahwa subjek mengalami stroke. Subjek mengalami berbagai perubahan setelah terserang stroke. Perubahan tersebut diantaranya adalah subjek sudah tidak mampu melakukan berbagai kegiatan sendiri tanpa bantuan orang lain, hal ini membuat subjek menilai dirinya telah menjadi beban bagi keluarganya. Kesedihan juga

dirasakan oleh subjek, karena subjek berpikir bahwa orang lain tidak mengerti keadaan subjek, seperti anak-anaknya yang menjadi beban pikiran bagi subjek

disaat subjek mengalami penderitaan akibat stroke.

Subjek juga menilai kondisi ekonominya sudah tidak memuaskan lagi. karena stroke membuat pekerjaan subjek terganggu sehingga subjek tidak dapat mencari nafkah secara maksimal. Hal ini sangat dirasakan bagi subjek yang berjenis kelamin laki-laki sangat merasakan dampak tersebut karena mencari

(6)

bagi subjek yang memiliki taraf ekonomi menengah ke bawah, dimana subjek tidak memiliki banyak biaya untuk sekedar periksa ke dokter. Kondisi tersebut

menggambarkan masalah kepuasan dalam hidup setelah mengalami stroke pada subjek.

Kesulitan-kesulitan yang dialami oleh subjek juga membuat subjek menjadi mudah marah, terkadang melamun dan meyayangkan kenapa hal tersebut bisa terjadi pada dirinya. Kebanyakan subjek juga sudah jarang melakukan interaksi

dengan orang lain, karena waktunya hanya dihabiskan di rumah sehingga subjek merasakan kesepian. Ada pula subjek yang mengatakan bahwa stroke membuatnya tidak lagi merasakan kesenangan seperti pergi ke rumah saudara, bersolek, berbelanja dan kegiatan lainnya yang membuatnya terhibur. Meskipun begitu, subjek tetap berusaha untuk menghibur diri dengan menonton televisi atau

sekedar melihat anak-anak serta cucu-cucunya sedang bermain.

Subjek mengatakan sangat ingin sembuh seperti sediakala, karena keadaan

yang dirasakannya membuat subjek menjadi merasa tersiksa, terutama kondisi tubuh subjek yang sangat sensitif membuat subjek menjadi tidak nyaman. Subjek takut jika sewaktu-waktu subjek terserang stroke kembali dan mengalami kematian. Perubahan-perubahan tersebut tidak hanya diakui oleh subjek saja, akan tetapi juga dirasakan oleh orang-orang terdekatnya seperti istrinya dan

(7)

menggambarkan kondisi emosi subjek setelah mengalami stroke. Walaupun subjek tetap dapat merasakan emosi positif, akan tetapi subjek lebih sering

merasakan emosi negatif dan sulit untuk mengendalikannya.

Wawancara yang dilakukan kepada 2 subjek lainnya yaitu subjek T yang

diwawancarai pada tanggal 12 November 2014 dan subjek B pada tanggal 15 Februari 2015 di rumah masing-masing subjek di Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas. Hasil wawancara pada kedua subjek tersebut terdapat beberapa hal

yang sama dengan 4 subjek lainnya dimana subjek merasa terpukul, sedih, banyak melamun dan merasa menjadi beban bagi keluarganya. Terlepas dari hal itu,

kedua subjek tersebut merasakan kondisi yang hampir sama yaitu setelah subjek mulai bisa menyesuaikan diri dengan keadaan barunya, subjek berpikir bahwa kejadian tersebut merupakan suatu ujian dari Tuhan sehingga tetap harus

dijalaninya.

Subjek juga mencoba untuk mengisi waktu luangnya dengan kegiatan yang

bermanfaat seperti menjaga warung yang dimilikinya dan melakukan hal-hal kecil, seperti menyapu halaman, dan mencabuti rumput. Hal ini dilakukan subjek meskipun subjek mengalami kelumpuhan dibeberapa bagian tubuhnya. Subjek

(8)

mengeluh. Bagi subjek dengan menjalani segala permasalahan yang terjadi di dalam hidupnya akan membuatnya menjadi bahagia.

Subjek T memiliki kondisi ekonomi yang kurang, namun subjek tidak menilai dirinya masih kekurangan, karena bagi subjek semua yang terjadi harus

disyukuri. Hal ini menunjukkan dengan kondisi subjek setelah mengalami stroke subjek tetap mampu merasakan kepuasan di dalam hidupnya meskipun kondisi ekonomi subjek kurang. Menurut subjek tidak dapat dipungkiri, ketika ada hal

yang membuatnya marah atau sedih, subjek akan merasakan hal tersebut, akan tetapi subjek berusaha untuk mengontrol dirinya agar perasaan marah dan sedih

tidak begitu dirasakan oleh subjek. Hal tersebut dilakukan dengan cara menghibur diri seperti melakukan aktifitas yang dapat membantunya melupakan perasaan negatif tersebut. Subjek berharap dapat tetap berpikir positif dan merasakan

perasaan yang positif, meskipun subjek mengalami kondisi sulit akibat terserang stroke.

Pada kedua subjek tersebut terlihat lebih bisa merasakan kepuasan dalam hidup dan subjek berusaha untuk mengontrol emosi negatifnya serta tetap merasakan emosi positif. Hal tersebut dilakukan dengan cara berpikir bahwa

apapun yang terjadi di dalam kehidupannya merupakan suatu ujian dari Tuhan yang harus diterima dan dijalaninya. Meskipun subjek mengalami kelumpuhan

(9)

Berdasarkan hasil studi pendahuluan di atas, peneliti menduga ada permasalahan subjective well-being pada penderita pasca stroke. Perbedaan kondisi subjective well-being antara 4 dan 2 subjek yang telah dijelaskan di atas, membuat peneliti menduga apakah dengan cara subjek menerima kondisi setelah

mengalami stroke akan berpengaruh terhadap subjective well-being subjek. Dugaan peneliti tersebut diperkuat dengan teori yang menjelaskan bahwa penerimaan diri merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi subjective well-being. Di dalam studi yang dilakukan yang dimulai di akhir tahun 1940-an, sebagian besar di bawah pengaruh perspektif humanistik pada penerimaan diri,

telah menegaskan bahwa tingkat penerimaan diri yang tinggi terkait dengan emosi positif, memuaskan hubungan sosial, prestasi, dan penyesuaian terhadap peristiwa kehidupan negatif (Szentagotai dan David dalam Bernard, 2013).

Berbagai penelitian tentang subjective well-being dan penerimaan diri telah dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Nayana (2013) yang menjelaskan

bahwa walaupun individu memiliki kondisi diri yang tidak stabil namun bila individu tersebut memiliki penerimaan diri, penyesuaian diri atau adaptasi yang baik dengan lingkungannya juga akan membuatnya menjadi nyaman dengan

kondisi dirinya. Selain itu, Noviyanti (2014) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa ketika individu mampu berpikir positif dengan melihat kelebihan dibalik

(10)

mengendalikan diri secara emosional. Jika individu mampu mengendalikan emosinya maka individu tersebut akan mampu merasakan emosi yang positif.

Selain itu, banyak pula penelitian yang telah membuktikan bahwa penerimaan diri memiliki hubungan yang positif dengan subjective well-being. Makino dan Tagami (1998) menemukan bahwa penerimaan diri berhubungan positif dengan subjective well-being. Temuan ini juga didukung oleh beberapa peneliti lain seperti (Hoffman, 2006; Kasser dan Ryan, 1993, 1996; Ryff,

1989; Sanjuan, 2011) yang juga menemukan hubungan positif antara penerimaan diri dan subjective well-being. Dengan demikian, bukti-bukti menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara penerimaan diri dan subjective well-being (dalam Xu,, dkk, 2014). Penelitian yang lebih mendalam pada pengaruh antara penerimaan diri terhadap subjective well-being juga telah ditemukan oleh Wibisono (2010) yakni diperoleh hasil yang menunjukkan adanya pengaruh penerimaan diri terhadap subjective well-being.

Pannes (dalam Sari & Nuryoto, 2002) menyatakan bahwa penerimaan diri adalah suatu keadaan dimana individu memiliki keyakinan akan karakteristik dirinya, serta mampu dan mau untuk hidup dengan keadaan tersebut. Hal tersebut

didukung oleh pendapat dari Hjelle dan Ziegler (dalam Sari & Nuryoto, 2002) yang menyatakan bahwa individu dengan penerimaan diri memiliki toleransi

(11)

hidupnya dengan berbagai keadaan yang dialaminya. Individu yang memiliki penerimaan diri memiliki toleransi akan frustasi dan kelemahan dirinya sehingga

tidak merasakan kesedihan ataupun marah.

Di dalam penelitiannya, Masyithah (2012) menjelaskan penderita pasca stroke yang mempunyai penerimaan diri tinggi, akan dapat memiliki kesehatan mental yang

baik dan dapat memacu semangat untuk mencapai kesembuhan. Sedangkan Pieper dan Uden (2006) mengemukakan bahwa kesehatan mental adalah suatu keadaan dimana seseorang individu tidak mengalami perasaan bersalah terhadap dirinya sendiri, memiliki estimasi yang relistis terhadap dirinya sendiri dan dapat

menerima kekurangan atau kelemahannya. Individu juga memiliki kemampuan menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam

kehidupan sosialnya, serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya.

Kesehatan psikologis individu berkaitan erat dengan kualitas perasaan individu terhadap diri individu sendiri. Individu yang sehat secara psikologis

memandang dirinya disenangi, mampu, berharga, dan diterima oleh individu lain. Individu yang menolak dirinya biasanya tidak bahagia dan tidak mampu

membangun serta melestarikan hubungan baik dengan individu lain (Supratiknya, 1995).

(12)

bahwa individu yang terkena stroke akan menjadi kurang percaya diri untuk bersosialisasi yang mengakibatkan penerimaan diri penderita pasca stroke menjadi rendah. Penerimaan diri juga dikatakan sangat penting bagi penderita pacsa stroke, hal ini dikemukakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Murray & Harisson (2004) yang menemukan hasil bahwa penerimaan diri terhadap cacat fisik yang dialami stelah terserang stroke akan mampu mendorong diri penderita menjadi lebih psoitif.

Berdasarkan pemaparan permasalahan di atas, penelitian mengenai subjective well-being pada penderita pasca stroke menjadi penting untuk diteliti, dimana peneliti menduga apakah penerimaan diri merupakan faktor yang mempengaruhi subjective well-being itu sendiri. Pentingnya penelitian ini karena berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan menemukan hasil yang menunjukkan

bahwa penerimaan diri sangat penting untuk membantu penderita pasca stroke untuk dapat tetap merasakan kepuasan dalam hidup, emosi yang lebih positif dan

mampu mengontrol emosi negatif sehingga penderita pasca stroke akan senantiasa merasakan subjective well-being.

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai

penerimaan diri dan subjective well-being dengan mengadakan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul “Pengaruh Penerimaan Diriterhadap Subjective

(13)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan tersebut, rumusan

masalah yang ingin diungkap dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Apakah ada pengaruh penerimaan diri terhadap subjective well-being pada

penderita pasca stroke di Puskesmas wilayah Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas?”

C. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara empiris

pengaruh penerimaan diri terhadap subjective well-being pada penderita pasca stroke di Puskesmas wilayah Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

(14)

2. Manfaat Praktis

a. Bagi penderita pasca stroke, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi sehingga penderita pasca stroke senantiasa meningkatkan penerimaan diri maupun subjective well-being.

b. Akademisi, penelitian ini dijadikan sebagai referensi untuk melakukan penelitian yang terkait dengan penerimaan diri maupun subjective well-being.

c. Peneliti, melalui penelitian ini peneliti dapat menerapkan ilmu yang telah didapat selama pendidikan serta dapat meningkatkan pengetahuan dan

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, peristiwa turunnya Al Qur’an selalu terkait dengan kehidupan para sahabat baik peristiwa yang bersifat khusus atau untuk pertanyaan yang muncul.Pengetahuan

[r]

Pada dasarnya istilah-istilah yang dipakai oleh kitab ini dalam menentukan awal bulan hijriyah adalah istilah-istilah yang sudah sering dipakai.. Dalam kitab ini

mengimplementasikan rencana / keterlibatan mereka sangat penting orang biasanya lebih berkomitmer pada rencana yang pembentukannya mereka bantu .bahkan ketika suatu organisasi

Alhamdulilah setelah mengerjakan sesuatu sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT tentu dengan bimbingan terapis pada saat terapi kerja atas kesepakatan kerja sama

Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin besar Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) maka se- makin kecil pendapatan yang dihasilkan, sehingga

Tässä tutkimuksessa plasman histidiinipitoisuus oli keskimäärin hieman suurempi kaikissa ruokinnoissa (soija 63,4, Spirulina 52,3, Chlorella 56,9 ja Chlorella- Nannochloropsis 45,5

Berlebihan 1 15 14 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 1 X=3,19 Y=4,07 2 Berdasarkan Gambar 2 memperlihatkan bahwa secara umum indikator-indikator kualitas pelayanan dalam penelitian ini