A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikologi dan Toksikologi - Balai Penelitian Veteriner Bogor, Laboratorium Mutu dan Keamanan Pangan – SEAFAST IPB, Laboratorium Kimia Pangan – Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan pada bulan Mei 2003 sampai Agustus 2005.
B. Bahan dan Alat
Ragi tape diperoleh dari pasar tradisional di beberapa daerah di Pulau Jawa yaitu DKI Jakarta, Bandung (Jawa Barat), Semarang, Rembang (Jawa Tengah), Yogyakarta, dan Madiun (Jawa Timur) (Gambar 3). Kapang toksigen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Aspergillus parasiticus
F. 010 yang diperoleh dari Balitvet Culture Collection (BCC), Balai Penelitian Veteriner Bogor. Sedangkan media yang digunakan adalah Potato Dextrose Agar (OXOID), Potato Dextrose Broth (DIFCO), Malt Extract Broth
(DIFCO), Pepton (DIFCO), dan Yeast Nitrogen Base (DIFCO), Corn Meal Agar (DIFCO), Czapek Yeast Extract Agar, Malt Extract Agar dan 25 Glycerol Nitrate Agar.
Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam pe nelitian ini adalah aquades, larutan Tween 80, asam tartarat 10%, alcohol, bromocresol purple, lactophenol cotton blue, larutan iod, beberapa jenis gula untuk uji fermentasi dan asimilasi khamir seperti dektrosa, galaktosa, laktosa, maltosa, sukrosa, rafinosa dan trehalosa. Bahan-bahan kimia seperti kloroform, aseton, natrium sulfat anhidrat, dietil eter dan strandar aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 digunakan untuk ekstraksi dan analisis aflatoksin.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat gelas seperti cawan Petri, tabung reaksi, labu Erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, pipet Mohr, corong gelas ; kertas saring Whatman 41, 42, membran filter Millipore 0,45µm dan 0,22µm, mikropipet beserta tipnya, jarum ose, gelas
obyek dan cover glass, hemasitometer Neubaeur improved, mikroskop, vortex,
autoklaf, oven, waterbath, peralatan sentrifugasi, neraca analitik, pHmeter, peralatan rotavapor, shaker, pelat TLC, bejana kaca untuk elusi TLC, UV
chamber CAMAG.
(1) (2)
(3)
Gambar 3. Ragi Tape (1) Daerah DKI Jakarta dan Jawa Barat ; (2) Daerah Yogyakarta dan Jawa Timur (3) Daerah Jawa Tengah
C. Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan terdiri dari dua tahap yaitu penelitian pendahuluan yang meliputi isolasi serta identifikasi kapang dan khamir, kemudian uji kemampuan isolat kapang/khamir dalam mereduksi aflatoksin. Selanjutnya dipilih satu isolat kapang/khamir yang berpotensi tinggi dalam mereduksi aflatoksin tertinggi untuk digunakan dalam penelitian utama. Penelitian utama meliputi uji kemampuan penghambatan isolat kapang dan khamir terhadap pertumbuhan A. parasiticus, uji pengaruh filtrat isolat kapang dan khamir terhadap pertumbuhan A. parasiticus dan biosintesis aflatoksin serta uji kemampuan isolat kapang dan khamir dalam mendegradasi aflatoksin. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
1. Isolasi Kapang dan Khamir (Daulay 1989)
Sebanyak 5 g ragi tape berbentuk bubuk ditambah dengan 45 ml akuades steril, setelah itu dilakukan pengenceran 10-2, 10-3, 10-4 dan seterusnya. Selanjutnya dilakukan pemupukan cawan sebanyak 1 ml suspensi ragi tape, kemudian 15 ml medium APDA (PDA+asam tartarat 10%) dituang ke dalam cawan dan diratakan, setelah itu diinkubasi selama 2-3 hari pada suhu 28-30oC. Setiap koloni kapang dan khamir yang berbeda warna dan penampilannya dipisahkan dan dimurnikan, selanjutnya digores kembali pada PDA miring dan disimpan di kulkas sebagai kultur stok.
2. Identifikasi Kapang dari Ragi Tape
a. Pembuatan Kultur Slide (Harrigan 1998)
Untuk membuat kultur slide dibutuhkan cawan petri yang di dalamnya terdapat gelas obyek yang diletakkan di atas batang U atau V, perangkat tersebut berada dalam keadaan steril. Potongan medium PDA steril berukuran 1x1 cm diletakkan di atas gelas obyek yang berada di dalam cawan petri, selanjutnya dilakukan inokulasi kapang pada potongan agar tepat di tengah-tengah keempat sisinya menggunakan jarum ose.
Potongan agar yang telah diinokulasi kemudian ditutup dengan
cover glass. Akuades steril diteteskan ke dalam cawan petri tanpa membasahi gelas obyek yang ada di dalamnya, selanjutnya kultur slide diinkubasi pada suhu 28-30oC sekitar 2-4 hari. Bila spora telah muncul, cover glass diangkat dan diletakkan pada gelas obyek lain yang telah diberi cairan pewarna lactophenol cotton blue, kemudian struktur kapang diamati di bawah mikroskop.
Gambar 4 Diagram alir tahap penelitian Koleksi sampel ragi tape
Jakarta, Bandung, Semarang, Rembang, Yogyakarta, Madiun
Isolasi Kapang dan Khamir
Persiapan Spora
A. parasiticus
Seleksi Isolat Kapang dan Khamir dengan Aktivitas Reduksi Aflatoksin terbaik Uji Kemampuan Isolat Kapang dan Khamir untuk Mereduksi Kandungan Aflatoksin
Uji Kemampuan Penghambatan Kapang /Khamir thd Pertumbuhan
A. parasiticus
1. Perhitungan koloni (CFU/ml) 2. Karakteristik morfologi 3. Interaksi Langsung antara
Khamir dgn A. parasiticus
Uji Pengaruh Filtrat Kapang/Khamir terhadap Biosintesis Aflatoksin
1. Pengukuran Berat Kering Miselium 2. Analisis Aflatoksin
3. Pengukuran pH
Uji Kemampuan Kapang/Khamir dalam Mendegradasi Aflatoksin
1. Analisis Aflatoksin 2. Pengukuran pH Identifikasi Kapang dan Khamir
b. Identifikasi Isolat Kapang
Identifikasi isolat kapang dilakukan baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Identifikasi secara makroskopis dilakukan dengan cara melihat langsung koloni yang tumbuh pada media CYA, MEA dan G25N setelah 2 hari inkubasi pada suhu 28-30oC. Koloni yang tumbuh akan memiliki spora dengan bentuk dan warna yang berbeda-beda tergantung spesies kapang, sedangkan identifikasi secara mikroskopis dilakukan dengan cara mengamati struktur kapang di bawah mikroskop setelah sebelumnya ditumbuhkan terlebih dahulu pada kultur slide selama 3 hari.
Identifikasi spesies kapang ditentukan dengan membandingkan ciri-ciri makroskopis dan mikroskopis kapang tersebut dengan ciri-ciri kapang yang terdapat pada pustaka. Berdasarkan kunci identifikasi Pitt dan Hocking (1997), penggolongan Ordo Mucorales ke dalam genus berdasarkan pada morfologi sporangiofor dan sporangium (Lampiran 3). Penggolongan Rhizopus dan Mucor ke dalam spesies berdasarkan kunci identifikasi Gilman (1957) di mana penggolongan
Mucor ke dalam spesies berdasarkan ukuran sporangium dan sporangiospora, warna hifa serta suhu optimum pertumbuhan (Lampiran 4), sedangkan penggolongan Rhizopus ke dalam spesies berdasarkan perkembangan rhizoid, ukuran spora dan sporangiofor (Lampiran 5). Deskripsi Chlamydomucor oryzae berdasarkan Heyne (1987) dan penggolongan Aspergillus ke dalam spesies berdasarkan warna/pigmentasi konidia Raper dan Fennell (1973) (Lampiran 6).
Konfirmasi beberapa spesies kapang dilakukan di Laboratorium Fitopatologi, SEAMEO BIOTROP Bogor.
3. Identifikasi Khamir
Identifikasi khamir yang dilakukan dalam penelitian ini hanya meliputi pengamatan terhadap morfologi serta uji-uji sifat fisiologis khamir yang meliputi uji fermentasi dan asimilasi gula-gula, kemampuan
tumbuh pada suhu 37oC serta kemampuan untuk membentuk pati ekstraseluler (Lampiran 7). Hasil pengamatan morfologi dan uji fisiologis selanjutnya dicocokkan dengan ciri-ciri khamir pada pustaka Lodder (1974) dan Barnett et al. (2000).
a. Karakteristik Morfologi Khamir (Lodder 1974)
Isolat khamir digoreskan pada permukaan media CMA kemudian ditutup dengan cover glass dan diinkubasi pada suhu 28-30oC selama 3 hari. Bagian sisi atau tepi koloni yang tumbuh diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 400x untuk melihat ada tidaknya miselium (semu atau sejati), blastospora dan arthrospora.
b. Uji Fermentasi Gula (Lodder 1974)
Mula-mula dilakukan penyegaran isolat khamir pada tabung agar miring PDA dan diinkubasi selama 2 hari pada suhu 28-30oC. Selanjutnya secara aseptis dibuat suspensi khamir dengan menambahkan 5 ml akuades steril ke dalam tabung yang berisi isolat khamir. Media fermentasi gula di dalam tabung reaksi diinokulasi dengan menambahkan 0,1 ml suspensi khamir (Lampiran 2). Setelah dikocok, media diinkubasi pada suhu 28-30oC dan dilakukan pengamatan terhadap pembentukan gas (pada tabung Durham) dan pembentukan asam setiap hari ke -3, 7 dan 14.
c. Uji Asimilasi Karbon (Lodder 1974)
Sebanyak 1 ml suspensi khamir diinokulasikan ke dalam cawan Petri, kemudian dita mbahkan media YNB + agar noble sebanyak 15-20ml. Setelah membeku, sebanyak 5 mg gula-gula yang akan diuji ditaburkan secara terpisah. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 28-30oC dan diamati pada hari ke-3 dan 7 untuk mengetahui ada tidaknya pertumbuhan yang menunjukkan sumber karbon tersebut dapat diasimilasi atau tidak oleh khamir yang diuji.
d. Uji Pertumbuhan pada Suhu 37oC (Lodder 1974)
Isolat khamir digoreskan pada tabung agar miring PDA dan diinkubasi pada suhu 37oC untuk menentukan kemampuan tumbuh khamir pada suhu tersebut.
e. Uji Kemampuan Membentuk Pati Ekstraseluler (Lodder 1974) Isolat khamir digoreskan pada cawan Petri yang berisi media PDA dan diinkubasi pada suhu 28-30oC selama 3 hari, selanjutnya pada koloni khamir yang terbentuk ditete si larutan iod untuk mengetahui kemampuan membentuk pati. Apabila terbentuk warna biru, berarti khamir tersebut membentuk pati.
4. Persiapan Spora Kapang dan Sel Khamir (Kim et al. 2000)
Kultur murni kapang dan khamir disegarkan dengan cara menggoreskan kembali kultur murni tersebut pada agar miring PDA yang baru, kemudian kapang diinkubasi pada suhu 28-30oC selama 7 hari, sedangkan khamir 2 hari.
Suspensi spora dibuat dengan menambahkan akuades steril yang mengandung Tween 80 0,1% ke dalam tabung agar miring, sedangkan suspensi khamir tanpa penambahan Tween 80. Suspensi spora kapang dan sel khamir dihitung menggunakan hemasitometer kemudian diatur konsentrasinya menjadi 106 spora kapang/ml atau 106 sel khamir/ml dan digunakan untuk uji selanjutnya.
5. Uji Kemampuan Isolat Kapang dan Khamir dalam Mereduksi Kandungan Aflatoksin (Modifikasi Sardjono et al. 1992)
Sebanyak 0,5 ml suspensi spora A. parasiticus dengn konsentrasi 106 spora/ml dicampur dengan 0,5 ml (106 spora/ml atau 106 sel/ml) suspens i spora isolat kapang atau sel khamir yang diuji, diinokulasikan ke
dalam 100 ml medium PDB dan diinkubasi selama 10 hari pada suhu 28-30oC.
Sebagai kontrol, sebanyak 0,5 ml suspensi spora A. parasiticus 106 spora/ml diinokulasi pada medium PDB, kemudian diinkubasi pada waktu dan kondisi yang sama. Setelah itu dilakukan analisis aflatoksin dan dihitung reduksi aflatoksin dari isolat kapang atau khamir uji dibandingkan dengan kandungan aflatoksin pada kontrol.
Persentase reduksi aflatoks in ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
( A – B )
% reduksi aflatoksin = x 100% A
Keterangan :
A : Kandungan aflatoksin yang dihasilkan oleh A. parasiticus (kontrol) B : Kandungan aflatoksin yang dihasilkan oleh A. parasiticus yang
ditumbuhkan bersama-sama dengan isolat kapang/khamir
6. Uji Kemampuan Penghambatan Kapang dan Khamir terhadap Pertumbuhan A. parasiticus (Modifikasi Gourama dan Bullerman 1995)
Sebanyak 0,5 ml suspensi spora A. parasiticus 106 spora/ml dicampur dengan 0,5 ml suspensi spora isolat kapang 106 spora/ml atau sel khamir uji, diinokulasikan ke dalam 100 ml medium MEB dan diinkubasi pada suhu 28-30oC. Sebagai kontrol, 0,5 ml suspensi spora A. parasiticus 106 spora/ml dan 0,5 ml suspensi spora isolat kapang 106 spora/ml atau sel khamir uji masing-masing diinokulasi pada medium MEB, kemudian diinkubasi pada waktu dan kondisi yang sama.
Inkubasi campuran di atas dilakukan selama 9 hari karena waktu pertumbuhan optimum kapang umumnya sekitar 5-7 hari dan selanjutnya kapang memasuki fase pertumbuhan stasioner. Selama inkubasi, pada hari ke-0, 3, 6 dan 9 dilakukan sampling dan pemupukan cawan pada medium PDA kemudian diinkubasi pada suhu 28-30oC selama 2 hari. Selanjutnya
dilakukan pengamatan dan perhitungan koloni per ml (CFU/ml) dari
A. parasiticus dan isolat kapang/khamir uji.
Pada hari ke-9, terhadap semua campuran di atas dibuat kultur slide
lalu diamati karakteristik morfologinya.
7. Pengamatan Interaksi Langsung Khamir dengan A. parasiticus secara in vitro (Modifikasi Chan dan Tian 2005)
Sebanyak 8 ml medium PDA dituang ke dalam cawan Petri. Setelah membeku, diletakkan agar (berdiameter 5 mm) yang mengandung miselium A. parasiticus (berumur 3-4 hari) di atas permukaan agar PDA. Setelah diinkubasi selama 72 jam pada suhu 28-30oC, 50 µl suspensi khamir (108 sel khamir/ml) diteteskan pada bagian tepi miselium kapang yang tumbuh dan diinkubasi kembali selama 48 jam. Selanjutnya terhadap koloni yang tumbuh di cawan Petri dicuci dengan air mengalir selama 30 detik dan kemudian diamati di bawah mikroskop cahaya.
8. Uji Pengaruh Filtrat Kapang dan Khamir terhadap Pertumbuhan
A. parasiticus dan Biosintesis Aflatoksin (Modifikasi Sardjono et al. 1992)
Mula-mula disiapkan filtrat kapang atau khamir dengan menumbuhkan isolat kapang (umur 7 hari) dan isolat khamir (umur 2 hari) pada medium PDB dan diinkubasi selama 7 hari pada suhu 28-30oC. Selanjutnya dilakukan pemisahan miselium kapang dengan filtratnya, kemudian filtrat disaring kembali dengan membran filter Whatman 0,2 µm. Sedangkan untuk mendapatkan filtrat khamir, sel khamir dipisahkan menggunakan sentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm 15 menit, selanjutnya filtrat disaring kembali menggunakan membran filter Whatman 0,2 µm.
Filtrat kapang atau khamir kemudian diinokulasi dengan 0,5 ml suspensi spora A. parasiticus 106 spora/ml dan selanjutnya diinkubasi pada suhu 28-30oC selama 12 hari. Selain itu juga dilakukan percobaan suplementasi medium MEB (Malt Extract Broth) terhadap filtrat kapang/khamir dengan komposisi 1:1 yang bertujuan untuk mengetahui
aktivitas filtrat kapang/khamir setelah penambahan nutrisi terhadap pertumbuhan A. parasiticus dan biosintesis aflatoksin. Filtrat kapang/khamir yang disuplementasi dengan medium MEB selanjutnya diinokulasi dengan 0,5 ml suspensi spora A. parasiticus 106 spora/ml.
Sebagai kontrol, 0,5 ml suspensi spora A. parasiticus 106 spora/ml diinokulasi ke dalam medium MEB tanpa filtrat kapang/khamir. Selanjutnya diukur berat kering miselium, kadar aflatoksin dan nilai pH pada hari ke-3, 6, 9 dan 12.
9. Uji Kemampuan Kapang dan Khamir dalam Mendegradasi Aflatoksin (Modifikasi Sardjono et al. 1992)
Mula-mula disiapkan filtrat aflatoksin yang diproduksi langsung dari
A. parasiticus dengan cara menumbuhkan kapang A. parasiticus (umur 7 hari) pada medium PDB dan diinkubasi selama 7 hari pada suhu 28-30oC. Selanjutnya dilakukan pemisahan miselium kapang dengan filtratnya, kemudian filtrat disaring kembali dengan membran filter Whatman 0,2 µm.
Selanjutnya aflatoksin dicampur dengan medium MEB (1:1) lalu diinokulasi dengan 0,5 ml suspensi spora kapang uji atau 0,5 ml suspensi khamir uji, diinkubasi selama 12 hari pada suhu 28-30oC. Se bagai kontrol, campuran aflatoksin dengan medium MEB diinkubasi dengan suhu dan waktu yang sama namun tanpa inokulasi spora kapang atau sel khamir. Selanjutnya diukur kadar aflatoksin dan nilai pH pada hari ke-0, 3, 6, 9 dan 12.
10. Ekstraksi Aflatoksin (Heathcot 1984)
Sebanyak 10 ml filtrat sampel yang mengandung aflatoksin ditambahkan dengan 10 ml kloroform, lalu dihomogenisasi dengan blender selama 2 menit selanjutnya dikocok selama 30 menit, dan kemudian dimasukkan ke dalam labu pemisah sehingga terbent uk dua lapisan yaitu lapisan atas dan lapisan bawah (kloroform).
Lapisan bawah yang mengandung aflatoksin disaring melalui natrium sulfat anhidrat, kemudian larutan ekstrak ini diuapkan dengan menggunakan rotavapor. Residu yang ada dilarutkan kembali menggunakan kloroform. Hasil ekstraksi tersebut selanjutnya dianalisis untuk mengetahui kadar aflatoksinnya.
11. Analisis Aflatoksin (AOAC 1995)
Analisis aflatoksin dilakukan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) satu dimensi dengan fase gerak kloroform : aseton = 9:1. Plat TLC yang digunakan adalah plat dengan fase diam Silica Gel 60 (MERCK). Tahap identifikasi dilakukan dengan cara menyuntikkan cairan sampel dan larutan standar (secara kuantitatif) pada lempeng kromatografi. Setelah itu lempeng kroma tografi dielusi di dalam bejana berisi fase gerak kloroform : aseton 9:1, kemudian dikeringanginkan. Hasil elusi yang telah dikeringkan diamati di bawah lampu UV dengan panjang gelombang 365 nm. Nilai Rf (Rate of Flow) dari fluoresensi bercak sampel dan standar dibandingkan. Aflatoksin dikatakan positif apabila Rf sampel sama dengan standar (deteksi aflatoksin secara kualitatif).
Kadar aflatoksin pada sampel (deteksi aflatoksin secara semi kuantitatif) diperoleh dengan membandingkan intensitas fluoresensinya dengan deret standar aflatoksin. Kadar aflatoksin ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
S x Y x V x Fp Kadar aflatoksin (ppb) =
W x Z Keterangan :
S : Volume aflatoksin standar (µl) yang memberikan perpendaran setara dengan Z µl sampel
Y : Konsentrasi aflatoksin atandar dalam µg/ml
Z : Volume ekstrak sampel yang dibutuhkan untuk memberikan perpendaran setara dengan S µl standar aflatoksin
V : Volume pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel ekstrak akhir (µl)
W : Volume sampel (ml) Fp : Faktor pengenceran
12. Pengukuran pH (Apriyantono et al. 1989)
Nilai pH diukur menggunakan alat pHmeter yang sebelumnya telah dikalibrasi dengan buffer pH 4 dan 7. Elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan tissue. Elektroda yang sudah kering dicelupkan ke dalam sampel, sehingga beberapa saat kemudian diperoleh pembacaan yang stabil.
13. Pengukuran Berat Kering Miselium (Gourama dan Bullerman 1995)
Miselium kapang disaring menggunakan kertas saring berdiameter 11 cm (sudah dikeringkan terlebih dahulu) menggunakan alat penyaring vakum lalu dicuci dua kali dengan akuades dan dikeringkan pada oven suhu 105oC sampai berat konstan.