• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terjemahan Metafora Pada Novel The Fault In Our Stars Dalam Bahasa Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Terjemahan Metafora Pada Novel The Fault In Our Stars Dalam Bahasa Indonesia"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Penerjemahan

Kajian dalam penerjemahan dipelopori oleh Newmark (1988) yang mendefinisikan terjemahan sebagai berikut: ―Translation is the superordinate term for converting the meaning of any source language utterance to the target language‖. Maksud dari definisi

tersebut adalah bahwa didalam penerjemahan terjadi suatu proses konversi makna ujaran dari bahasa sumber kedalam bahasa sasaran. Selanjutnya dalam melakukan proses penerjemahan, Newmark (1988:5) menjelaskan bahwa teks adalah sesuatu yang memiliki dinamika dan bukan sekedar sesuatu yang statis. Penerjemahan merupakan upaya mengalihkan pesan yang ditulis dalam BSu ke BSa dengan mengutamakan kesepadanan makna. Tentu dalam hal melakukan proses penerjemahan, penerjemah membutuhkan keahlian yang cukup dalam menguasai tata bahasa, kemampuan membaca dan memahami teks bacaan pada kedua bahasa.

Proses penerjemahan merupakan kegiatan pengalihan suatu pesan dari BSu ke dalam BSa. Proses ini bersifat kognitif karena sifatnya yang abstrak dan tidak dapat dilihat karena terjadi dalam otak penerjemah sehingga hanya dia sendiri yang mengetahuinya dan mengambil suatu keputusan yang tepat. Machali (2009) menyatakan bahwa ―proses penerjemahan merupakan rangkaian tahapan yang harus dilalui oleh seorang penerjemah agar bisa sampai pada hasil akhir‖.

Sementara itu, menurut Munday (2001: 5) pengertian dari penerjemahan ini adalah As changing of an original verbal language into a written text in a different verbal language.

(2)

perihal ekuivalensi yang ditetapkan sebagai suatu kata kunci, Catford (1965:20-21) menyatakan bahwa translation is The replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL) and the term equivalent is a clearly a

key term. Pemahaman dari definisi tersebut adalah bahwa suatu penerjemahan merupakan proses pertukaran atau pengalihan suatu teks dari bahasa sumber dengan mencari kesepadanan terdekat ke dalam bahasa sasaran. Meskipun sangat jarang terdapat padanan suatu kata dalam bahasa sumber yang sama dengan arti dalam bahasa sasaran, namun keduanya dapat berfungsi secara ekivalen pada saat keduanya dapat saling dipertukarkan (interchangeable). Berdasarkan ketiga definisi mengenai penerjemahan tersebut di atas, terlihat adanya kesepakatan bahwa penerjemahan adalah suatu pekerjaan yang menyangkut keterkaitan antara dua bahasa atau lebih (multy-language) yang menekankan suatu kesamaan, yakni adanya ekuivalensi makna. Dalam penerjemahan, yang kemudian terjadi adalah transfer makna dari bahasa sumber (source language) ke bahasa sasaran (sasaran language), dengan keakuratan pesan, keterbacaan, dan keberterimaan produk (Nababan, 2010).

(3)

mengungkapkan kembali makna yang sama dengan menggunakan leksikon dan struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran (Larson, 1984: 3).

Bell menegaskan pengertian penerjemahan yang hampir sama dengan Catford, yakni penerjemahan sebagai suatu bentuk pengungkapan suatu bahasa dalam bahasa lainnya sebagai bahasa sasaran, dengan mengedepankan semantik dan ekuivalensi. Translation is the expression in another language (or sasaran language) of what has been expressed in

another, source language, preserving semantic and stylistic equivalences (Bell, 1991: 4-5).

Berdasarkan beberapa definisi mengenai penerjemahan tersebut di atas, terlihat adanya kesepakatan bahwa penerjemahan merupakan suatu kegiatan yang menyangkut keterkaitan antara dua bahasa atau lebih (multy-language) yang kemudian adanya transfer makna dari bahasa sumber (BSu) ke bahasa sasaran. (BSa), dengan keakuratan pesan, keterbacaan, dan keberterimaan yang akan bermuara pada produk terjemahan yang baik, sebagaimana dikemukakan Halliday dalam Steiner bahwa terjemahan yang baik adalah suatu teks yang merupakan terjemahan ekivalen terkait dengan fitur-fitur linguistik yang bernilai dalam konteks penerjemahan. A good translation is a text which is a translation (i.e. is equivalent) in respect of those linguistic feautures which are most valued in the given

transalation context. (Halliday, 2001: 17).

(4)

Di samping keharusan akan kemahiran dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran, penerjemahan sebagai proses juga mensyaratkan keterampilan lain; keluwesan, dan kepemilikan wawasan mengenai berbagai disiplin ilmu, tergantung jenis teks yang sedang diterjemahkan. Pada poin ini, Hatim yang dikutip oleh Richards menjelaskan: Translation as very probably the most complex type of event yet produced in the evolution of the cosmos.

(Hatim, 2001: 11). Kompleksnya masalah yang dihadapi oleh seorang penerjemah seperti diuraikan di atas, menuntut keterampilan lebih untuk menerapkan penggunaan dua pilar utama sebagai penyangga penerjemahan, yakni yang pertama penerapan teknik-teknik penerjemahan dan penerapan penggeseran-pergeseran pada teks yang diterjemahkan.

Oleh karena kompleksitas proses penerjemahan, maka profesionalisme adalah sesuatu yang mutlak. Profesionalisme dalam hal ini ditandai dengan beberapa kompetensi, yakni: 1) Kompetensi dalam dua bahasa (ideal bilingual competence),

2) Memiliki keahlian (expertise) dalam pengetahuan dasar genre teks serta terampil menyimpulkan (inference), dan

3) Kompetensi dalam komunikasi (Bell, 1991: 38-41).

Kepemilikan keahlian serta kompetensi tersebut di atas merupakan penanda seorang penerjemah ideal, yang seterusnya akan dapat dengan piawai menerapkan teknik-teknik penerjemahan dalam pekerjaannya. Dalam melaksanakan kegiatan penerjemahan, penerjemah tidak terlepas dari permasalahan teknis. Berbagai jenis teknik penerjemahan tersebut di atas adalah suatu keniscayaan yang harus dimiliki.

2.2 Jenis-jenis Terjemahan

(5)

interpretasi tanda verbal dengan menggunakan bahasa lain; dan (3) terjemahan intersemiotik atau transmutation, yakni `interpretasi tanda verbal dengan tanda dalam sistem tanda non-verbal (Jakobson dalam Venuti, 2000: 114). Tipe penerjemahan pertama atau intralingual menyangkut proses menginterpretasikan tanda verbal dengan tanda lain dalam bahasa yang sama. Dalam penerjemahan tipe yang kedua (interlingual translation) tidak hanya menyangkut mencocokkan/membandingkan simbol, tetapi juga padanan kedua simbol dan tata aturannya atau dengan kata lain mengetahui makna dari keseluruhan ujaran. Terjemahan tipe ketiga yakni transmutation, menyangkut pengalihan suatu pesan dari suatu jenis sistem simbol ke dalam sistem simbol yang lain seperti lazimnya dalam Angkatan Laut Amerika suatu pesan verbal dapat dikirimkan melalui pesan bendera dengan menaikkan bendera yang sesuai dalam urutan yang benar (Nida, 1964: 4). Jenis terjemahan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah terjemahan interlingual atau translation proper.

Sementara Larson dalam Choliluddin (2005: 22) mengklasifikasi terjemahan dalam dua tipe utama, yakni terjemahan berdasarkan bentuk (Form-based translation) dan terjemahan berdasarkan makna (Meaning-based translation). Terjemahan berdasarkan bentuk, cenderung mengikuti bentuk bahasa sumber yang dikenal dengan terjemahan harfiah, sementara terjemahan berdasarkan makna cenderung mengkomunikasikan makna teks bahasa sumber dalam bahasa sasaran secara alami. Terjemahan tersebut dikenal dengan terjemahan idiomatik.

2.3 Ekuivalensi dalam Terjemahan

(6)

pragmatik. Namun dalam hal ini, Mona Baker menyatakan bahwa keseluruhan tataran tersebut digunakan dengan syarat bahwa meskipun ekuivalensi dapat dipraktikkan, hal itu tetap dipengaruhi oleh berbagai faktor linguistik dan budaya; yang oleh karena itu sifatnya adalah relatif. It is used here with the proviso that although equivalence can usually be obtained to some extent, it is influenced by a variety of linguistic and cultural factors and is

therefore always relative. (Baker, 1992: 6).

Oleh karena adanya konsep yang menyatakan bahwa penerjemahan merupakan penempatan atau representasi suatu teks yang ekivalen dari suatu bahasa ke bahasa lainnya, maka teks bahasa yang berbeda dapat menjadi ekivalen pada tingkatan yang berbeda; baik secara keseluruhan, maupun sebahagian dalam kaitannya dengan konteks semantik, sintaksis, leksem, dan lain-lain; serta dalam tingkatan penerjemahan kata demi kata, frasa demi frasa, dan klausa demi klausa. Text in different language can be equivalent in different degrees, level of presentation, and ranks. (Bell, 1991: 6).

Berbeda dengan Baker, Mary Snell dan Hornby menggunakan istilah parallel teks sebagai pengganti ekuivalen. Suatu hasil terjemahan selalu diperoleh dari teks lain; teks paralel, yakni hasil dari dua teks yang independen dari sisi linguistik dan berasal dari suatu situasi yang sangat identik. A translation is always derived from another text. Parallel texts are two linguistically independent product arising from identical situation. (Snell, 1998: 86).

Namun secara substansi keduanya adalah sama, karena ekuivalensi dengan keparalelan adalah dua terminologi yang bersinonim - yakni bahwa pesan yang dikandung oleh bahasa sumber sampai kepada pembaca melaui bahasa sasaran.

(7)

in ideational terms; if a text does not match its source text idetionally, it does not quality as a

translation, so the question whether it is a god translation does not arise. (Halliday dalam

Steiner, 2001: 16).

2.4 Penilaian Kualitas Terjemahan

Pembahasan mengenai produk terjemahan sulit untuk lepas dari aspek kualitas terjemahan. Menurut Silalahi (2012: 26), penilaian terhadap kualitas terjemahan terkait erat dengan fungsi terjemahan sebagai alat komunikasi antara penulis asli dengan pembaca sasaran. Ada tiga tingkat kualitas terjemahan yaitu keakuratan, keberterimaan dan keterbacaan. Dari ketiga tingkat di atas, masalah keakuratan pesan menempati prioritas utama sebagai konsekuensi dari konsep dasar penerjemahan bahwa suatu teks dapat disebut terjemahan jika teks tersebut mempunyai padanan (equivalence relation) dengan teks sumber. Penelitian ini hanya menilai kualitas terjemahan dari sisi keakuratannya saja. Strategi penilaian kualitas terjemahan yang digunakan khususnya penilaian tingkat keakurataan terjemahan yaitu Accuracy Rating Instrument yang dikemukakan oleh Nababan (2004) dalam Silalahi (2012). Dalam penerapannya strategi ini menggunakan penilaian angka skala 1-3 yang dibagi menjadi akurat, kurang akurat, dan tidak akurat. Angka-angka yang digunakan dalam instrumen ini ialah sebagai nilai kecenderungan untuk menilai suatu teks.

Kualitas terjemahan diibaratkan seperti tiga sisi yang saling berhubungan. Sisi pertama adalah sisi keakuratan dalam pengalihan pesan. Sisi yang kedua adalah sisi tingkat keberterimaan terjemahan dan sisi yang ketiga adalah sisi tingkat keterbacaan dari terjemahan. Keutuhan dari suatu kualitas terjemahan dapat dilihat dari ketiga sisi tersebut. 2.5 Keakuratan Terjemahan

(8)

kita menemukan terjemahan yang isi atau pesan yang terkandung pada TSa sesuai dengan isi atau pesan yang terkandung pada TSu, tetapi cara mengungkapkan isi atau pesan tersebut tidak sesuai dengan kaidah atau norma budaya yang berlaku pada Bsa. Dan terkadang ada juga suatu terjemahan yang dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca Bsa, tetapi tingkat keakuratan pesannya rendah. Hal tersebut mengakibatkan hasil terjemahan dapat berupa terjemahan akurat, terjemahan kurang akurat dan terjemahan tidak akurat.

Suatu terjemahan dapat dikatakan akurat jika terjemahan tersebut tidak mengalami distorsi makna. Maksudnya adalah makna kata, frasa, klausa dan kalimat yang ada di bahasa sumber dalihkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran. Kesimpulannya adalah jika suatu terjemahan diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa sasaran tanpa ada penambahan ataupun penghilangan informasi yang tidak sesuai dengan teks sumbernya, maka terjemahan yang dihasilkan adalah terjemahan yang akurat.

Sedangkan jika di dalam suatu terjemahan ditemukan makna kata, istilah teknis, frasa, klausa dan kalimat pada BSunya mengalami distorsi makna (terjemahan ganda) ataupun ada makna yang dihilangkan dan menggangu keutuhan pesan, maka terjemahan tersebut dikatakan terjemahan kurang akurat.

(9)

2.6Makna Figuratif

Makna figuratif atau makna kiasan (figurative meaning, tranfered meaning) adalah pemakaian leksem dengan makna yang tidak sebenarnya. Sebagai contoh frasa ‘mahkota wanita‘ tidak dimaknai sebagai sebuah benda yang dipakai seorang wanita di atas kepalanya

yang merupakan lambang kekuasaan seorang pemimpin dan berhiaskan emas atau permata, namun frasa ini dimaknai sebagai ‗rambut wanita‘ Selain itu, makna kiasan terdapat pula

pada peribahasa atau perumpamaan. Misalnya, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Makna figuratif muncul dari bahasa figuratif (figurative language) atau bahasa

kiasan. Bahasa figuratif atau kiasan merupakan penyimpangan dari bahasa yang digunakan sehari-hari, penyimpangan dari bahasa baku atau standar, penyimpangan makna, dan penyimpangan susunan (rangkaian) kata-kata supaya memperoleh efek tertentu atau makna khusus (Abrams,1981:63).

Menurut Abrams (1981:63) bahasa figuratif (figurative language) adalah penyimpangan penggunaan bahasa oleh penutur dari pemahaman bahasa yang dipakai sehari-hari (ordinary), penyimpangan dari bahasa standar, atau penyimpangan makna kata, suatu penyimpangan rangkaian kata supaya memperoleh beberapa arti khusus.

Bahasa kias atau figuratif menurut Abrams (1981:63-65) terdiri atas simile, metafora, metonimia, sinekdoke, dan personifikasi.

1. Simile adalah majas yang membandingkan sesuatu hal dengan hal yang lainnya dengan menggunakan kata penghubung atau kata pembanding. Kata penghubung yang digunakan contohnya seperti, bagaikan, bak, layaknya, laksana, dll.

Contoh:

(10)

2. Metafora adalah bahasa non-literal atau figuratif yang mengungkapkan perbandingan antara dua hal secara implicit.

Contoh:

Bibir guci itu mulai retak

3. Sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama bagian sebagai nama seluruh atau sebaliknya.

Contoh:

Mereka menjual Koran demi sesuap nasi (makan).

4. Metonimia adalah sebuah majas yang menggunakan sepatah-dua patah kata yang merupakan merek, macam atau lainnya yang merupakan satu kesatuan dari sebuah kata.

Contoh:

Kaisan selalu pergi ke sekolah dengan menggunakan Honda (seharusnya sepeda motor)

5. Personifikasi adalah salah satu majas dalam Bahasa Indonesia. Personifikasi adalah majas yang memberikan sifat-sifat manusia pada benda mati.

Contoh:

Saat ku melihat rembulan, dia seperti tersenyum kepadaku seakan-akan aku merayunya.

(11)

bahasa penyimpangan dari bahasa sehari-hari atau dari bahasa standar untuk memperoleh efek tertentu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Abrams (1981:63).

Figurative language is a deviation from what speakers of a language apprehends as the ordinary, or standard, significance or sequence of words, in order to achieve some special meaning or effect.

Bahasa kiasan atau figure of speech yaitu alat untuk memperluas makna kata atau kelompok kata untuk memperoleh efek tertentu dengan membandingkan atau membagi serta mengasosiasikan dua hal.

Keraf (1994:137) mengatakan bahwa untuk menetapkan apakah suatu perbandingan itu merupakan bahasa kiasan atau tidak, hendaknya diperhatikan tiga hal berikut:

1) tetapkanlah terlebih dahulu kelas kedua hal yang diperbandingkan

2) perhatikan tingkat kesamaan atau perbedaan antara kedua hal tersebut

3) perhatikan konteks di mana ciri-ciri kedua hal itu ditemukan. Jika tak ada kesamaan maka perbandingan itu adalah bahasa kiasan.

Keraf menyebut metafora termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Gaya ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut.

2.7 Metafora

(12)

pengalihan citra sesuatu kepada sesuatu yang lain atau dengan kata lain metafora merupakan bahasa figuratif yang membandingkan dua hal dengan mengatakan benda yang satu dengan benda lainnya. Sifat manusia yang sangat kompleks menimbulkan keragaman manusia dalam bertindak dan bertutur. Setiap orang dapat mengungkapkan sesuatu hal dengan beragam cara. Demikian juga dengan metafora, ia adalah hasil keragaman sifat manusia dalam mengungkapkan pikiran, tindakan, dan perasaannya.

Penggunaan metafora tentu ada maksudnya, atau ada sesuatu yang melatari penggunaannya, misalnya karena kesopanan, keterbatasan dari penggunaan bahasa langsung, keindahan dan sebagainya. Sebagai contoh ―Engkau adalah MATAHARIKU‖ penggunaan

kata matahari sebagai pengalihan dari engkau adalah karena konsep matahari sesuai dengan apa yang dinginkan maksudnya oleh penuturnya. Matahari mewakili sesuatu yang mempunyai daya energi maha besar tanpa habis; sebagai sumber penerangan; mampu memberi kehangatan; langgeng (dalam arti keberadaannya dipercayai akan ada sampai hari Kiamat); dan lain-lain. Kemudian kemungkinan ungkapan tersebut diucapkan oleh seseorang kepada kekasihnya dengan tujuan agar kekasihnya kagum karena dibandingkan dengan sesuatu yang luar biasa. Dengan demikian dari konteks tersebut dapat dikatakan bahwa pengalihan atas sesuatu yang lain karena memang sesuai dengan maksudnya. Apabila menggunakan istilah selain matahari, mungkin apa yang penutur inginkan tidak tercapai.

Alwi dkk (1993:484) menyatakan bahwa metafora ialah cara menyatakan sesuatu dengan memakai kata atau frasa yang artinya berbeda benar dari arti yang biasa. Ungkapan memerangi kebodohan, umpamanya, merupakan hubungan metaforis antara verba memerangi

(13)

Lakoff dan Johnson (1980:3) melihat metafora bukan sekadar fenomena bahasa,

melainkan juga melibatkan pikiran dan tindakan manusia: ―… metaphor is pervasive in

everyday life, not just in language but in thought and action. Our ordinary conceptual

system, in terms of which we both think and act is fundamentally methaporical in

nature‖.Metafora diperoleh dan dimengerti secara kognitif oleh manusia berdasarkan

pengalaman hidup sehari-hari yang diungkapkan melalui bahasa.

Batasan metafora yang dikemukakan oleh Lakoff dan Johnson (1980:

1993) terletak pada salah satu aspek utama metafora, yaitu ungkapan metaforis

{metaphorical/linguistic expression). Pada awalnya, batasan metafora hanya dibatasi pada

bentuk linguistis. Namun, dalam pengertian Lakoff dan Johnson

metafora tidak saja beroperasi pada tataran bentuk bahasa semata melainkan juga

dalam pikiran (thought) seorang penulis atau tindakan (action) seorang pembicara.

Teori metafora konseptual yang diciptakan oleh Lakoff (1993) beroperasi pada

tataran pikiran. Metafora menghubungkan dua domain konseptual, yaitu RSu dan

RSa (Deignan 2005). Dengan kata lain, definisi metafora yang digagas oleh

Lakoff dan Johnson secara komprehensif mencakup aspek linguistis dan aspek

kognitif/konseptual penggunaan bahasa dalam konteks tertentu.

(14)

predikat kalimat, sedangkan subjek dan komplemen kalimat (jika ada) masih dinyatakan dalam makna langsung, dan (4) metafora kalimat, yaitu metafora yang seluruh lambang kiasnya jenis ini tidak terbatas pada nominatif (baik subjek maupun objek) dan predikatnya saja, melainkan seluruh komponen dalam kalimat metaforis itu merupakan lambang kias (Wahab, 1990:142-144).

Secara semantik, metafora selalu mengandung dua macam makna, yaitu makna kias dan makna yang dimaksud. Makna yang dimaksud dapat diungkapkan melalui serangkaian prediksi yang dapat diterapkan bersama pada lambang atau simbol kias dan makna langsung. Berdasarkan pilihan citra yang dipakai oleh pemakai bahasa dan para penulis di pelbagai bahasa, pilihan citra oleh Ulmann (1977) dibedakan atas empat kelompok, yakni (1) metafora bercitra antropomorfik, (2) metafora bercitra hewan, (3) metafora bercitra abstrak ke konkret, (4) metafora bercitra sinestesia atau pertukaran tanggapan/persepsi indra.

Metafora bercitra antropomorfik merupakan satu gejala semesta. Para pemakai bahasa ingin membandingkan kemiripan pengalaman dengan apa yang terdapat pada dirinya atau tubuh mereka sendiri. Metafora antropomorfik dalam banyak bahasa dapat dicontohkan dengan mulut gua, mata pisau, kepala keluarga, dan lain-lain.

(15)

Metafora bercitra abstrak ke konkret adalah mengalihkan ungkapanungkapan yang abstrak ke ungkapan yang lebih konkret. Seringkali pengalihan ungkapan itu masih bersifat transparan tetapi dalam beberapa kasus penelusuran etimologi perlu dipertimbangkan untuk memenuhi metafora tertentu. Dicontohkan oleh Parera, secepat kilat ‗satu kecepatan yang luar biasa‘, moncong senjata ‗ujung senjata‘, dan lain-lain.

Metafora bercitra sinestesia, merupakan salah satu tipe metafora berdasarkan pengalihan indra, pengalihan dari satu indra ke indra yang lain. Dalam ungkapan sehari-hari orang sering mendengar ungkapan ―manis dilihat‖ untuk pakaian walaupun makna manis selalu dikatkan dengan indra rasa; ―panas di telinga‖ merupakan pengalihan dari indra rasa ke indra pendengaran.

2.7.1 Jenis Metafora

Larson (1998: 274-275) membedakan metafora ke dalam dua kelompok: metafora mati (dead metaphor) dan metafora hidup (live metaphor). Metafora mati merupakan bagian dari konstruksi idiomatis dalam leksikon sebuah bahasa. Ketika sebuah metafora mati digunakan, pendengar atau pembaca tidak memikirkan makna literal kata-kata pembentuknya, tetapi langsung memikirkan makna idiomatik ungkapan tersebut secara langsung. Sebagai contoh, ketika mendengar metafora berbentuk idiom 'kaki meja', pendengar tidak perlu memikirkan makna kata kaki dan meja secara terpisah untuk memahami metafora tersebut.

(16)

sangat kental setelah perbandingan antar dua hal dalam ungkapan tersebut dipahami dengan baik. Metafora hidup sering digunakan untuk menarik minat pembaca atau pendengar, karena jika ungkapan yang didengar atau dibaca tidak sesuai dengan pola makna yang biasa, seorang pendengar atau pembaca akan dipaksa untuk berpikir keras tentang makna ungkapan tersebut, penggunaannya, dan tujuan pembicara atau penulis menggunakannya.

Sebagai Contoh:

‗Ina‘s decision is a nightmare for his brother‘

‗Keputusan Ina adalah sebuah mimpi buruk untuk saudaranya.

Untuk memahami metafora di atas, penting untuk memahami makna dasar dari nightmare (mimpi buruk) yang berkaitan dengan topik ‗Ina‘s decision‘ (keputusan Ina). Menurut Merriam Webster Dictionary Online makna dasar nightmare adalah a dream that frightens a sleeping person; a very bad dream dan a very bad or frightening experience or

situation. Berdasarkan penjelasan di atas Nightmare adalah mimpi yang sangat buruk atau

suatu pengalaman/ situasi yang menakutkan. Oleh karena itu, Pembaca akan menarik kesimpulan bahwa apapun keputusan (decision) yang disampaikan Ina membuat saudaranya takut atau tidak bahagia.

2.7.2 Fungsi Metafora

(17)

Metafora adalah bahasa kiasan yang umum diucapkan dalam berbagai bahasa. Tentu saja, penulis menggunakan metafora dalam karya-karyanya (biasanya dalam bentuk karya seni seperti puisi, cerita dongeng, novel, dan lainnya) dengan berbagai tujuan. Sejalan dengan fungsi metafora, Newmark (1958: 292) menyatakan ada tiga fungsi metafora, yaitu:

1. Untuk menggambarkan entitas (benda atau orang), peristiwa, kualitas, konsep atau tindakan secara lebih komprehensif dan padat dari pada menggunakan bahasa harfiah. 2. Fungsi pragmatik (estetis) atau konotatif yaitu untuk mengungkapkan makna, menarik

minat pembaca, mengklarifikasikan sesuatu, menyenangkan pembaca atau memberikan kejutan pada pembaca.

3. Hal ini juga digunakan untuk menunjukkan kemiripan antara dua kurang lebih objek yang berbeda.

2.7.3 Masalah dalam Menerjemahkan Metafora

Menurut Newmark (1998: 104), masalah utama dalam penerjemahan secara umum adalah pemilihan strategi terjemahan bagi sebuah teks, sedangkan masalah penerjemahan yang paling sulit secara khusus adalah penerjemahan metafora. Sebagai akibat dari kesulitan itu, terdapat dua pandangan yang berbeda mengenai hal tersebut. Beberapa pakar penerjemahan berpendapat bahwa metafora tidak dapat diterjemahkan seperti seperti Nida (1964) dan Vinay and Darbelnet (1958) dan Fung and Kiu (1987) dalam Yingying Zhang (2009). Fung and Kiu mengungkapkan even when the same object or experience exists in both languages, the metaphors involved might still be untranslatable due to the different

values attached to it in each language (diakses tanggal 27 Mei 2015). Tetapi disisi lain juga

(18)

bahasa dan dapat diterjemahkan seperti Rolf Kloepfer (1965) dalam Dagut (1976), Katharina Reiss (1971) dalam Dagut (1976)

Newmark adalah salah satu pakar penerjemahan yang mempercayai bahwa metafora dapat diterjemahkan menggunakan strategi terjemahan. Selanjutnya menurut Dagut (1987: 24), ada tiga hal yang menyebabkan metafora itu sulit untuk diterjemahkan. Ketiga hal tersebut adalah 1) metafora dalam BSu adalah merupakan unsur semantik yang baru sehingga BSa tidak memiliki persediaan padanan untuk metafora tersebut, 2) metafora merupakan bagian dari sebuah bahasa dan semua bahasa pada dasarnya tidak dapat terpisahkan dari budaya, akibatnya hampir semua metafora sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai budaya. Kesimpulannya adalah bahwa metafora hanya dapat dipahami jika nilai-nilai budaya yang terkait dengannnya sudah dipahami terlebih dahulu. 3) metafora merupakan media untuk mengungkap makna secara kreatif, singkat, dan padat. Oleh karenanya, agar seorang penerjemah mampu menerjemahkan metafora dengan mudah maka penerjemah tersebut harus mampu menulis dengan penuh kreatifitas.

Sementara itu, Larson mempunyai pendapat yang berbeda dengan Dagut. Menurut Larson (1998: 275-276) dalam Pardede (2013), ada enam hal yang menyebabkan metafora sulit untuk dipahami dan diterjemahkan. Keenam hal tersebut adalah 1) citra yang digunakan dalam metafora mungkin saja tidak lazim dalam BSa. 2) topik metafora tidak selalu dinyatakan dengan jelas. 3) titik kesamaan kadang-kadang implisit sehingga sulit diidentifikasi atau mengakibatkan pemahaman yang berbeda bagi penutur bahasa lain. 4) perbedaan antara budaya BSu dan BSa dapat membuat penafsiran yang berbeda terhadap titik kesamaan. 5) BSa mungkin tidak membuat perbandingan seperti yang terdapat pada metafora TSu, 6) setiap bahasa memiliki perbedaan dalam penciptaan dan penggunaan ungkapan.

(19)

penerjemahan majas ini cukup beragam. Keunikan metafora ini bermakna bahwa metafora tidak dapat diterjemahkan ke dalam Bsa secara langsung, penerjemah harus menemukan padanan kata yang tepat untuk mengalihkannya ke dalam Bsa sesuai dengan pemahaman dan kebudayaan penuturnya. Berdasarkan prosedur dan strategi yang ada, terlihat bahwa keunikannya membuat penerjemahan setiap metafora perlu diawali dengan pemilahan elemen-elemen yang ada dan analisis terhadap unsur-unsur itu untuk memperoleh pemahaman linguistik, kultural, dan konteks eksternal maupun internal lainnya.

2.7.4 Strategi Penerjemahan Metafora

Strategi penerjemahan adalah langkah-langkah yang digunakan dalam memecahkan masalah-masalah penerjemahan. Lörscher (2005) dalam Silalahi (2012) mendefinisikan strategi penerjemahan sebagai prosedur yang digunakan penerjemah dalam memecahkan masalah. Oleh karena itu, strategi penerjemahan dimulai dari disadarinya permasalahan dan diakhiri dengan dipecahkannya permasalahan atau disadarinya bahwa masalah tersebut tidak dapat dipecahkan pada titik waktu tertentu. Karena metafora merupakan bentuk ungkapan yang paling sulit diterjemahkan, beberapa ahli mencoba merumuskan strategi khusus untuk menerjemahkannya. Ahli penerjemahan yang pertama kali berkontibusi secara signifikan bagi penerjemahan metafora adalah Dagut, Newmark dan Larson.

(20)

digunakan untuk menerjemahkan metafora. Newmark merupakan salah satu pakar penerjemahan yang yakin bahwa metafora dapat diterjemahkan.

Menurut Newmark (1981: 88-91), secara garis besar, penerjemahan metafora dilakukan dalam dua langkah: (1) mengidentifikasi tipe metafora yang akan diterjemahkan, dan (2) menentukan prosedur penerjemahan yang sesuai untuk mengalihkan metafora tersebut ke dalam BSu. Dia menyarankan tujuh strategi terjemahan metafora berikut. Pertama, menerjemahkan metafora BSu menjadi metafora yang sama dalam BSa dengan cara mereproduksi citra yang sama di TSa. Strategi ini sesuai untuk metafora yang memiliki frekuensi dan keberlakuan yang sepadan antara BSu dan BSa. Kedua, mengganti citra dalam BSu dengan citra standar yang berterima dalam BSa, atau menerjemahkan metafora menjadi metafora lain namun dengan makna yang sama. Strategi ini dapat digunakan dengan baik jika frekuensi citra dalam register BSa sama dengan dalam register BSu.

Pendekatan ini lazim digunakan untuk menerjemahkan metafora standar yang kompleks, seperti idiom dan pepatah yang citranya selalu mengandung konotasi kultural sehingga tidak dapat diterjemahkan secara semantis ke BSa. Ketiga, menerjemahkan metafora menjadi simile sambil mempertahankan citra. Strategi ini sesuai digunakan jika citra BSu tidak memiliki kesepadanan di dalam BSa. Sebagai contoh, ―He is hanging on a thread in the coming competition‖ diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi simile ―Nasibnya bagai telur di ujung tanduk dalam kompetisi mendatang.‖ Keempat,

menerjemahkan metafora menjadi sebuah simile dengan menambahkan citra. Strategi ini sesuai digunakan jika citra BSu tidak memiliki kesepadanan di dalam Bsa, penerjemah dapat mengubah metafora tersebut menjadi sebuah simile. Sebagai contoh, ungkapan ―I read you like a book‖ dapat diterjemahkan menjadi ―Aku memahami kamu semudah memahami buku.‖ Kelima, mengubah metafora menjadi makna harfiah (sense). Strategi ini untuk

(21)

tingkat formalitas, muatan emosional, dan keumuman). Sebagai contoh, ungkapan ―His business continues to flourish‖ dapat diterjemahkan menjadi ―Bisnisnya terus maju pesat.‖

Ke enam, menghapus metafora jika metafora tersebut tidak ada manfaatnya, atau hanya membuat TSa menjadi bertele-tele. Sebagai contoh, ungkapan ―He is a snail; he always walks slowly‖, cukup diterjemahkan menjadi ―Dia berjalan lambat sekali‖. Ketujuh,

menggunakan metafora yang sama yang dikombinasikan dengan deskripsi harfiah atau keterangan tambahan diantara dua tanda baca koma. Prosedur ini digunakan untuk menerjemahkan metafora yang tidak memiliki padanan berterima dalam BSa. Dalam konteks ini, keterangan tambahan tersebut digunakan untuk memperkuat citra agar metafora itu dipahami pembaca TSa. Newmark menyusun daftar strateginya berdasarkan preferensi. Dengan kata lain, disarankan agar penerjemah memprioritaskan penggunaan masing-masing strategi tersebut sesuai dengan urutan dalam daftar di atas.

Strategi ke dua digunakan jika, misalnya karena benturan budaya, strategi pertama tidak dapat digunakan. Strategi ke tiga dipakai hanya jika strategi ke dua tidak sesuai dengan kebutuhan, dan seterusnya. Newmark dan Larson yakin bahwa metafora dapat diterjemahkan setelah penerjemah mengidentifikasi unsur-unsur pembentuknya, yaitu topik, citra dan titik kesamaan. Selain itu, penerjemah juga harus mengetahui konteks ungkapan secara menyeluruh agar makna metafora tersebut dapat dipahami.

(22)

disertai dengan penjelasan tentang makna metafora tersebut; dan (5) menerjemahkan metafora menjadi ungkapan non-metaforis.

Contoh penggunaan strategi terjemahan metafora seperti yang dikemukakan Larson sebagai berikut. Pertama, menerjemahkan metafora BSu menjadi metafora yang sama ke dalam BSa. Hal ini dapat dilakukan jika metafora itu berterima atau dapat dipahami pembaca TSa tanpa adanya salah pengertian. Sebagai contoh, metafora bahasa Inggris ―economic growth‖ dan ―flow of traffic‖ dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi metafora ―pertumbuhan ekonomi‖ dan ―arus lalu lintas‖. Ke dua, menerjemahkan metafora

BSu menjadi sebuah simile jika dalam sistem BSa membuat simile lebih mudah dipahami daripada metafora. Sebagai contoh, metafora bahasa Inggris ―The road is a snake‘‘, yang mengungkapkan bahwa bentuk jalan tersebut berbelok-belok seperti seekor ular, lebih baik diterjemahkan menjadi simile ―Jalan itu seperti ular.‖ Ke tiga, menerjemahkan metafora BSu menjadi metafora lain dalam BSa tapi memiliki makna yang sama dengan metafora BSu tersebut. Sebagai contoh, ungkapan ―icy needles‖ lebih baik diterjemahkan menjadi ―jarum- jarum dingin‖ ke dalam bahasa Indonesia. Kedua metafora ini memang sangat berbeda. Akan

tetapi, karena dalam kultur bahasa Indonesia citra ―dingin‖ lebih sesuai daripada citra ―icy‖, sehingga makna metafora ―jarum-jarum dingin‖ lebih mudah dipahami daripada ―jarum -jarum es‖, maka penerjemahan tersebut akan lebih efektif. Ke empat, menerjemahkan

metafora BSu menjadi metafora yang sama di dalam BSa yang disertai dengan penjelasan tentang makna metafora tersebut. Sebagai contoh, metafora ―The tongue is a fire‖ bias diterjemahkan menjadi ―Lidah adalah api. Api menghanguskan benda-benda, dan ucapan kita

(23)

metaforisnya benar-benar hampir tidak disadari penutur. Sebagai contoh, metafora ―He was a pig‘‘ diterjemahkan menjadi ―Dia sangat berantakan‖ atau ―Dia tidak pernah rapi‖.

Jika daftar strategi Newmark dan Larson di atas dibandingkan, terlihat tidak ada perbedaan substansial. Jumlah strategi Newmark lebih banyak karena adanya dua strategi yang tidak terdapat dalam daftar Larson: (a) pengalihan metafora menjadi simile dengan menambahkan citra; dan (b) strategi penghapusan. Pada penelitian ini, teori strategi terjemahan yang digunakan adalah teori Larson karena menurut peneliti strategi penghapusan seharusnya dihindari karena setiap metafora sarat dengan makna.

Untuk memilih strategi penerjemahan yang baik bagi sebuah metafora tertentu, penerjemah perlu membuat pertimbangan menyeluruh terhadap semua aspek, termasuk tujuan penerjemahan, target pembaca dan jenis teks. Berikut ini adalah uraian singkat terhadap ke tiga aspek tersebut.

1. Tujuan Penerjemahan

Penerjemahan pada umumnya bertujuan untuk menghasilkan teks tertentu bagi pembaca kalangan tertentu di lingkungan tertentu. Maksud dan tujuan penerjemahan tersebut merupakan faktor kunci yang secara signifikan memengaruhi prinsip-prinsip yang digunakan penerjemah. Misalnya, jika tujuannya adalah untuk menyampaikan nilai-nilai budaya BSu, penerjemah akan memberi penekanan pada BSu sebanyak mungkin. Jika tujuannya adalah untuk memastikan bahwa teks terjemahan memiliki muatan emosional dan persuasif yang sama seperti aslinya, penerjemah akan menggunakan strategi lain, untuk memastikan pembaca dapat memahami hasil terjemahan dengan baik.

2. Pembaca Target

(24)

pembaca target dianggap sebagai faktor penting lainnya yang mempengaruhi pemilihan strategi terjemahan oleh penerjemah. Hal ini megindikasikan bahwa sebelum menerjemahkan, penerjemah perlu bertanya diri sendiri: Siapa pembaca target? Apa latar belakang mereka (misalnya golongan sosial, usia dan jenis kelamin)? Apakah mereka berwawasan luas atau sederhana, awam atau ahli? Informasi seperti itu akan membantu penerjemah untuk memutuskan tingkat formalitas, kadar emosional, dan kesederhanaan yang perlu dia buat dalam proses penerjemahan.

3. Jenis Teks

Keputusan tentang pendekatan penerjemahan yang akan digunakan tidak terlepas dari faktor jenis teks. Semua teks memiliki fungsi ekspresif, informatif dan vokatif. Namun salah satu fungsi ini akan berperan dominan, sedangkan dua lainnya bersifat tambahan. Ketika menerjemahkan karya sastra, yang secara umum dianggap sebagai saluran budaya, penerjemah harus mereproduksi bentuk dan isi BSu tanpa mengganggu ―rasa‖ budaya TSu. Di sisi lain, penerjemahan karya ilmiah dan laporan teknis, yang fungsi didominasi oleh fungsi informatif, harus menggunakan register yang sesuai. Sedangkan pada teks vokatif, gaya yang dominan adalah persuasif atau imperatif. Oleh karena itu, terjemahan yang berhasil untuk teks jenis ini adalah yang memicu tanggapan yang diinginkan dari pembaca teks sasaran.

2.8 Penelitian Yang Relevan

Beberapa penelitian dengan tema yang hampir sama dengan penelitian ini, yakni karya tulis ilmiah yang mengkaji tentang penerjemahan metafora adalah:

(25)

dan (3) menerjemahkan metafora menjadi ungkapan non-metaforis atau makna harfiah (4,6%).

(26)

linguistik, generalisasi, adaptasi, dan partikularisasi mampu menghasilkan terjemahan metafora, simile, dan personifikasi yang berkualitas. Sementara teknik reduksi, kreasi diskursif, dan penghilangan cenderung menghasilkan terjemahan yang kurang berkualitas.

Dari hasil penelitian Shafa Firda Nila dapat menyumbangkan kontribusi terhadap penelitian ini yaitu menambah pengetahuan penulis mengenai metafora dan cara mengevaluasi penilaian kualitas terjemahan metafora khususnya keakuratan terjemahan metafora.

3. Retno Hendrastuti, M.R. Nababan, Tri Wiratno (2013) dalam jurnal ―Kajian Terjemahan Metafora yang menunjukkan sikap dalam Buku Motivasi The Secret‖ menunjukkan bahwa (1) ada 15 jenis teknik penerjemahan dari total 292 teknik yang ditemukan dalam terjemahan metafora yang menunjukkan sikap dalam buku The Secret, (2) penilaian terhadap kualitas terjemahan menunjukkan hasil kualitas yang tinggi (3) penerapan teknik-teknik penerjemahan menghasilkan tingginya kualitas terjemahan karena dapat mengakomodasi perbedaan kaidah bahasa dan budaya serta mengalihkan bentuk, jenis makna, dan sikap.

Hasil penelitian jurnal ini juga memberikan kontribusi terhadap penelitian ini yaitu menambah pengetahuan penulis mengenai metafora dan cara mengevaluasi penilaian kualitas terjemahan metafora khususnya keakuratan terjemahan metafora.

4. Luh Nyoman Tri Lilasari (2012) dalam tesisnya The translation of live metaphors in ―harry potter and the deathly hallows‖ into ―harry potter dan relikui kematian‖

(27)

tersurat secara jelas. Strategi yang diterapkan penerjemah dalam menerjemahkan live metaphors pada novel ini ada tiga yaitu dengan mempertahankan citra metaforanya,

menerjemahkannya dalam bentuk simile, atau langsung menerjemahkan arti yang sebenarnya dengan atau tanpa mempertahankan citra metaforanya. Strategi yang pertama yang paling sering diterapkan yaitu mempertahankan citra metaforanya dalam versi Indonesia. Keempat jenis category shifts ditemukan dalam penerjemahan novel ini yaitu class shift, structure shift, unit shift, dan intra system shift.

Penelitian Luh Nyoman Tri Lilasari juga berkontribusi dalam menganalisis strategi terjemahan dengan penelitian ini karena menggunakan teori yang sama dalam menganalisis strategi terjemahan yaitu seperti yang dikemukakan oleh Larson (1998). Namun Luh Nyoman Tri Lilasari menganalisis strategi terjemahan dan shift dari terjemahan live metaphors saja dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Sedangkan objek penelitian ini berbeda yaitu menganalisis strategi terjemahan metafora dalam bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dan menilai keakuratan terjemahannya.

(28)

Penelitian Okta Suprajaheni tersebut dianggap memberikan konstribusi dan berelevansi juga dalam penelitian ini, karena kajiannya masih seputar metafora, walaupun isinya fokus terhadap prosedur terjemahan metafora.

6. Penelitian Yunita (2012) dalam jurnalnya The Strategy to Translate Metaphor mengungkapkan bahwa kemampuan seorang penerjemah sangat mempengaruhi hasil terjemahan metafora. Seorang penerjemah tidak hanya harus menguasai kedua bahasa teks sumber dan teks sasaran tetapi juga harus memiliki pemahaman yang dalam tentang budaya penggunaan metafora tersebut. Terdapat empat jenis metafora yaitu (1) metafora bercitra antropomorfik, (2) metafora bercitra hewan, (3) metafora bercitra abstrak ke konkret, (4) metafora bercitra sinestesia atau pertukaran tanggapan/persepsi indra.

Penelitian Yunita tersebut memberikan konstribusi dan berelevansi juga dalam penelitian ini, karena kajiannya berkaitan dengan strategi penerjemahan metafora dan jenis metafora namun penelitian ini tidak membahas keakuratan terjemahan metafora.

7. Penelitian Waluyo (2007) mengungkapkan bahwa strategi penerjemahan yang digunakan untuk mengalihkan 100 metafora bahasa Indonesia dalam penerjemahan novel Saman ke dalam bahasa Inggris adalah: (1) penerjemahan metafora menjadi metafora yang sepadan; (2) parafrase; (3) penerjemahan metafora menjadi metafora yang berbeda namun dengan makna yang sama; (4) penerjemahan harfiah. Ditemukan tiga alasan mengapa penerjemah tidak hanya menggunakan strategi pertama saja tetapi juga ketiga strategi lainnya. Pertama, penerjemah tidak dapat menemukan kesepadanan yang sesuai dalam metafora bahasa Inggris. Kedua, penerjemah bermaksud mencegah kesalahpahaman atau berupaya mempertahankan pesan sesuai dengan konteksnya. Ketiga, penerjemah memiliki waktu yang terbatas sehingga dia mengambil jalan pintas dalam menerjemahkan metafora.

(29)

8. Penelitian Suwardi (2005) tentang penerjemahan metafora bahasa Inggris dalam konteks penerjemahan novel The Wedding karya Danielle Steel ke dalam bahasa Indonesia mengungkapkan bahwa ke 41 metafora yang diidentifikasi diterjemahkan dengan menggunakan lima strategi terjemahan, yakni: (1) menerjemahkan metafora menjadi metafora dengan imaji yang sama; (2) menerjemahkan metafora menjadi metafora dengan imaji yang berbeda; (3) menerjemahkan metafora menjadi simile dengan imaji yang sama; (4) menerjemahkan metafora menjadi simile dengan imaji yang berbeda; dan (5) menerjemahkan metafora menjadi non-majas. Hasil analisis memperlihatkan kebanyakan metafora TSu sepadan dengan hasil terjemahannya dalam TSa.

Penelitian Suwardi memberikan kontribusi yang penting dalam menguasai dan memberi pengetahuan tentang strategi terjemahan yang digunakan dalam menerjemahkan metafora.

2.9 Landasan Teori

1. Beberapa Teori yang Berkaitan dengan Metafora

Penelitian ini menggunakan teori dari beberapa ahli untuk membantu peneliti dalam

memahami dan menganalisis metafora , sebagai berikut:

Lakoff & Johnson (1980:5) berpendapat bahwa, ―the essence of metaphor is

understanding and experiencing one kind of thing in terms of another‖. Esensi metafora,

menurut mereka, adalah bagaimana kita memahami dan mengalami satu hal (konsep)

melalui konsep yang lain. Dengan kata lain, metafora merupakan cara memahami satu ranah

pengalaman (RSa) melalui ranah pengalaman lain yang lebih mudah dipahami atau yang

sudah dikenal (RSu). Berdasarkan batasan itu, dapat dikatakan bahwa cara seseorang

berpikir, mengalami, dan melakukan sesuatu dalam kesehariannya pada hakikatnya adalah

(30)

konseptual manusia bersifat metaforis (Lakoff & Johnson 1980:3). Sebagai contoh, DESIRE

IS FIRE (HASRAT ADALAH API). Menurut Lakoff & Johnson, penggunaan huruf kapital

untuk menunjukkan ranah sumber dan ranah sasaran. Konsep DESIRE (HASRAT)

merupakan ranah sasaran atau topic dan FIRE (API) sebagai vehicle atau ranah sumber. Jadi

dapat dipahami bahwa DESIRE memiliki ciri dan sifat seperti api, yaitu panas, bergelora dan

membakar. Jika seseorang memiliki hasrat berarti dalam dirinya terdapat suasana hati yang

menggelora. Teori Lakoff & Johnson di atas digunakan untuk mengidentifikasi metafora

yang ada dalam teks.

Newmark (1988:104) mendefinisikan metafora: ―[__] any figurative expression: the

transfereed sense of physical word [__]: the personification of an abstraction [__]; the

application of a word or collocation to what it does not literally denote, i.e. to describe one

thing in terms of another.‖ Realisasi metafora dapat saja berupa satu kata atau gabungan

kata, mulai dari kolokasi sampai pada tataran tekstual.Metafora oleh Newmark digambarkan

dengan tiga istilah: (1) pencitraan (image) yaitu gambaran sesuatu melalui metafora yang

bersifat universal, cultural atau individual, (2) object yaitu sesuatu yang akan digambarkan

melalui metafora, dan (3) sense adalah makna harfiah dari kata yang digunakan sebagai

metafora yaitu persamaan (resemblance) atau daerah pertemuan antara object dan image.

(31)

He is also Baldwin‘s legal eagle‗ Dia juga elang dalam urusan hukum Baldwin‘

Topik metafora pada contoh di atas adalah he ‗dia‘, sedangkan citranya adalah eagle ‗elang‘. Akan tetapi, titik kesamaan yang menunjukkan dalam hal apa he ‗dia‘ dan eagle ‗elang‘ tidak disebutkan secara eksplisit. Untuk mengetahui titik kesamaan ini diperlukan pengetahuan tentang konteks penggunaan metafora tersebut dan pemahaman terhadap makna simbol ‗elang‘ dalam masyarakat.

Larson (1998) juga berpendapat bahwa metafora memiliki empat bagian yaitu topic (topik), image (citra), point of similarity (titik kesamaan) dan nonfigurative meaning (makna non figuratif).

Teori Newmark, Larson, Beekman dan Callow digunakan karena pandangan mereka sama terhadap terjemahan metafora. Dalam menganalisis data penelitian, ke tiga teori tersebut digunakan.

Contoh:

The righteous judge will give you the crown of life

Ada dua proposisi pada metafora dia atas yaitu

1. (The officials) give (the victorious athlete) a crown. 2. (God), who judge righteously, will give you eternal life.

Kemudian Larson membagi metafora di atas menjadi empat bagian yaitu:

Topic God, who judge righteously

Image officials

Point of Similarity receive a reward for doing well

Nonfigurative meaning will give you eternal live

(32)

Penelitian ini menggunakan teori Larson dalam menganalisis strategi penerjemahan metafora yang digunakan pada novel The Fault in Our Stars. Larson (1998) berpendapat bahwa menerjemahkan metafora dan simile menggunakan strategi yang hampir sama. Dalam menerjemahkan metafora, terdapat lima strategi yang dapat digunakan yaitu:

1. Menerjemahkan metafora menjadi metafora yang sama Contoh:

BSu: Economic growth BSa: Pertumbuhan ekonomi

2. Menerjemahkan metafora menjadi simile Contoh:

BSu: The road is a snake. BSa: Jalan itu seperti ular.

3. Menerjemahkan metafora menjadi metafora yang lain namun memiliki makna yang sama

Contoh:

BSu: icy needles

BSa: jarum-jarum dingin

4. Menerjemahkan metafora menjadi metafora yang sama disertai penjelasan Contoh:

BSu: The tounge is a fire.

BSa: Lidah adalah api. Api menghanguskan benda-benda, dan ucapan kita dapat menyakiti orang lain.

5. Menerjemahkan metafora menjadi ungkapan Non figuratif BSu: He was a pig.

(33)

3. Teori tentang Keakuratan Terjemahan

Penelitian ini menggunakan model instrumen keakuratan menurut Silalahi (2012:73) dengan modifikasi yang terbagi menjadi tiga bagian terjemahan akurat, terjemahan kurang akurat dan terjemahan tidak akurat.

2.10 Kerangka Berpikir

(34)

Gambar 2.1

Kerangka Berpikir Keakuratan Terjemahan Metafora

Silalahi (2012)

Temuan Analisis Data

Data Metafora

Strategi penerjemahan Larson (1988: 278-279) BSu

Novel The Fault in Our Stars ( Bahasa Inggris)

BSa

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi penerjemahan, strategi pemindahan pola rima, dan strategi pemindahan pola metris pada terjemahan pantun Melayu ke dalam

Fokus dalam penelitian ini adalah (1) menemukan perubahan terjemahan penanda kohesi dalam novel Wings , (2) menemukan teknik penerjemahan penanda kohesi, (3)

Kedua, data pergeseran terjemahan milik pergeseran tingkat, ada 111 atau 53,8%; 27 data atau 12,7% keterangan diterjemahkan ke dalam frase adverbia; 50 data atau 23,6%

Hasil analisis menunjukkan: (1) Ada 15 jenis teknik penerjemahan dari total 292 teknik yang ditemukan dalam terjemahan metafora yang menunjukkan sikap dalam buku

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi teknik penerjemahan metafora, simile, dan personifikasi dalam novel The Kite Runner , mendeskripsikan kualitas terjemahan

Dampak, Teknik, Metode dan Ideologi Penerjemahan pada Kualitas Terjemahan Teks Medical-Surgical Nursing dalam Bahasa

Hasil analisis menunjukkan: (1) Ada 15 jenis teknik penerjemahan dari total 292 teknik yang ditemukan dalam terjemahan metafora yang menunjukkan sikap dalam buku

Kedua, data pergeseran terjemahan milik pergeseran tingkat, ada 111 atau 53,8%; 27 data atau 12,7% keterangan diterjemahkan ke dalam frase adverbia; 50 data atau 23,6%