• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSI pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSI pdf"

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)

PENULISAN HUKUM

ANALISIS KOMPARATIF HUKUM WARIS PERDATA BARAT DAN HUKUM WARIS ISLAM DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

Penulisan Hukum ini disusun untuk melengkapi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum

Oleh

Nama : Annisa Rahmah

NIM : 07/251907/HK/17469 Bagian : Hukum Perdata

(2)

iii

Penulisan hukum ini telah disetujui oleh Dosen Pembimbing Pada hari Selasa 4 April 2011

Penyusun

Annisa Rahmah

No. Mahasiswa: 07/251907/HK/17469

Menyetujui Dosen Pembimbing

(3)

iv

Hukum Universitas Gadjah Mada, pada hari Rabu, tanggal 13 April 2011.

Dewan Penguji Ketua

Sularto, S.H., C.N., M.Hum NIP. 195808011986031005

Anggota I Anggota II

Prof. Dr. Siti Ismijati Jenie, S.H.,C.N R.A. Antari Innaka Turingsih, S.H., M.Hum

NIP. 194602011974122001 NIP. 196705141994032002

Mengetahui

Ketua Bagian Hukum Perdata

Ninik Darmini, S.H., M.Hum NIP.197003131995122001

Mengesahkan Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

(4)

iii

Dengan ini saya menyatakan bahwa penulisan hukum ini tidak pernah diajukan untuk memperoleh gelar keserjanaan di Fakultas Hukum atau Perguruan Tinggi lain, dan sepanjang pengetahuan saya di dalamnya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Yogyakarta, 13 April 2011

Penulis

(5)

iv

dan nikmat serta ruang waktu bagi Penulis untuk merampungkan penulisan hukum ini. Juga untuk junjungan dan sumber suritauladan Penulis, Nabi Muhammad SAW yang menuntun Penulis untuk selalu berprasangka baik atas semua proses yang dilalui Penulis dalam penyelesaian penulisan hukum yang berjudul Analisis Komparatif Hukum Waris Perdata Barat dan Hukum Waris Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia.

Banyak orang bahkan mahasiswa hukum yang enggan mempelajari hukum waris lebih dalam karena pendoktrinan diri sendiri bahwa mempelajari hukum waris adalah sulit. Pembentukan pemikiran negatif atas pelajaran hukum waris menjadi semakin rawan ketika kondisi sistem hukum perdata Indonesia yang pluralistis menciptakan cabang pemahaman akan pelaksanaan hukum waris yang berbeda untuk subjek hukum yang telah ditentukan. Tidak jarang Hukum Waris Perdata Barat (BW) dan Hukum Waris Islam (KHI) dipahami secara tumpang tindih. Ini menjadi masalah karena di sisi praktek, perkara waris adalah perkara yang akan selalu hadir di tengah masyarakat.

Untuk sebuah pembuktian sekaligus harapan menghapus doktrin tersebut, Penulis memilih untuk mengangkat tema kewarisan untuk penulisan hukum kali ini yang sekaligus sebagai prasyarat Penulis untuk merampungkan tahap belajar dalam program S-1 ini.

(6)

v

Hukum Universitas Gadjah Mada, serta seluruh staf pengajar (terutama Bagian Hukum Perdata) maupun staf akademik bagian administrasi, serta seluruh sosok guru yang pernah menjadi teladan dan inspirasi Penulis sampai saat ini.

2. Prof. Dr. Siti Ismijati Jenie, S.H., C.N., satu sosok yang sulit dijabarkan oleh Penulis. Tidak ada kata yang lebih pantas selain: Terimakasih banyak ya Prof. Jenie…

3. Prof. Soedikno Mertokusumo, S.H., Prof. Soehino, S.H., Bapak Jeremias Lemek, S.H. terimakasih atas nasihat yang luar biasa berharga kepada Penulis untuk jangan takut dan jangan pernah berhenti menulis.

4. Terimakasih kepada para narasumber dan lembaga Pengadilan Tinggi Agama: Gorontalo, Samarinda, Palembang dan Mahkamah Syariah Nangroe Aceh Darisallam.

5. Keluarga kecil yang menjadi anugrah terbesar Penulis: kedua orang tua luar biasa: Papah (H. Sutardjo, S.H., M.Hum.), Ibu (Hj. Yeyet Sariyati), Mba Arum (Arum Wahyuningtyas, S.Psi), Derip (Arief Budiman, S.E); You are the spirit to all my sentences of every word in this paper.

6. Alm. Nenek (W. Tati) yang semasa hidupnya tak pernah lupa mendoakan anak dan cucunya satu persatu dalam tahajudnya, Alm Kakek (Suparman) yang belum sempat Penulis memanggilnya “Kakek”, Alm. Mbah Kakung (Martodimedjo) dan Alm. Mbah Putri, terimakasih sudah melahirkan dua orang hebat yang sekarang menjadi kedua orang tua Penulis

(7)

vi

pertanggungjawaban kita untuk merealisasikannya sesegera mungkin. 8. Bibik dan Mbak Niah yang selalu nyiapin makanan, nyuci baju,

nyetrika, ngepel, sampai berbagi gossip komplek. Semoga selalu diberi kesehatan oleh Allah SWT. Amin.

9. Terimakasih untuk sekumpulan mahkluk yang bersarang di ruang kecil bertulisan MAHKAMAH. Terimakasih atas ide liar yang berserakan di lantai, terimakasih atas perintah “Dilarang Diam di MAHKAMAH” (larangan yang penuh retorika—karena kita memang tidak pernah diam di MAHKAMAH), terimakasih atas cerita yang terekam dalam lembar hitam-putih bulletin kita. Terimakasih atas kebodohan yang kita akui bersama sebagai dasar kebersamaan ini. Terimakasih untuk seluruh semangat, dukungan serta doa kalian awak MAHKAMAH mulai dari angkatan 2003 sampai dengan 2011 serta seluruh manusia yang pernah bercengkrama dan bertarung argumen maupun pemikiran di ruang sempit yang mengumpulkan kita dalam sebuah keluarga yang tak-terdefinisi-kan ini. Sebuah proses belajar yang tidak mungkin saya lupakan semur hidup saya.

(8)

vii

gue!, Puspa (lo lagi, lo lagi!!), terakhir untuk Bu Eka (Ibu Merdekawati, S.H.) yang sudah memberi kesempatan yang penuh petualangan dan pengalaman ini. Terimakasih atas waktu-waktu dan lelah yang sangat berharga ini.

11.Dua sahabat gorilla penghapus kesedihan Penulis, (Samgar Kingkong KW 2 dan Samwela si Anak Tuhan yang bercita-cita jadi mafia di Las Vegas) yang pernah membawa Gebbo, Gebo dan Bumbum dalam kehidupan Penulis. Terus saling mengisi satu sama lain ya…

12.Ka Gitra, Ka Ayu Atun, Ka Dila, Mba Inda, dan para senior yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu. Terimakasih atas nasihat, pencerahan dan ilmu yang kalian bagikan. Terimakasih telah menjadi role model bagi saya. Kalian guru yang tidak pernah menggurui dalam proses pendewasaan saya.

13.Gitacong, Ayunita, Wekiwek, Ayu Bauel, Yurista, Farah ganteng, Haripuurr dan teman-teman yang saya temui lewat KMFH. Saya belajar untuk terus berprasangka baik, belajar menggila dengan baik dari kalian. Untuk adik-adikku; Ahlul dan Chandra, terimakasih atas semangat dan keceriaan dari kalian.

14.Buat Ira temen seperjuangan seper-DPS-an yang selalu menyemangatkan Penulis. Penulis mohon maaf gara-gara Penulis mengerjakan Buku Lustrum FH UGM, kamu jadi harus nunggu 2 bulan untuk pendadaran. Teti (kebawelan lo mengalihkan kejenuhan Penulis ketika menunggu 4 jam di depan ruang litbang), Westi, Sita makasih enggak bosen-bosennya ngingetin Penulis untuk menyelesaikan skripsi.

(9)

viii

membuktikan bahwa Bum-bum memang bukan kucing biasa, selalu bisa membuat Penulis tertawa bahkan disaat Penulis tidak ingin tersenyum.

Atas segala keterbatasan dan kekurangan yang masih berceceran dalam penulisan hukum ini, maka kritik membangun, saran dan masukan sangat Penulis harapkan untuk perbaikan kedepannya.

Serta harapan yang melatarbelakangi penyusunan penulisan hukum ini, semoga penulisan hukum ini bermanfaat bagi masyarakat banyak.

(10)

ix LEMBAR PERSETUJUAN………. LEMBAR PENGESAHAN……….. LEMBAR PERNYATAAN………. KATA PENGANTAR……….. DAFTAR ISI……… DAFTAR GAMBAR……… BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………..

B. Rumusan Masalah………

C. Tujuan Penelitian………. D. Keaslian Penelitian……….. E. Kegunaan Penelitian……… F. Metodelogi Penelitian………... BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pewarisan

1. Pewarisan Menurut Hukum Perdata Barat

a. Pengertian Pewarisan ………... b. Unsur-unsur Pewarisan ………

c. Hukum Waris ………...

d. Azas-azas Hukum Waris ………. e. Sistem Pewarisan ………. f. Penyebab Timbulnya Hak Waris ………. g. Penyebab Hilangnya Hak Waris ……….. 2. Pewarisan Menurut Hukum Islam

a. Pengertian Pewarisan ………... b. Unsur-unsur Pewarisan ………

c. Hukum Waris ………..

(11)

x

h. Penyebab Hilangnya Hak Waris ……….. 3. Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia Saat ini ……….

a. Sebelum Kemerdekaan ……… b. Setelah Kemerdekaan ……….. B. Tinjauan Hak Atas Pilihan Hukum

1. Pengertian Hak Atas Pilihan Hukum ……… 2. Latar Belakang Munculnya Hak Pilihan Atas Hukum………….. 3. Pengaturan Hak Atas Pilihan Hukum………. 4. Personalitas Keislaman dan Hak Pilihan Atas Hukum………… BAB III PEMBAHASAN

A. Hal-hal yang Diatur Berbeda Dalam Hukum Waris Perdata Barat dan Hukum Waris Islam………... 1. Hasil Penelitian………..

a. Penentuan Golongan dan Bagian ……… b. Bagian Waris Anak Laki-laki dan Perempuan ……… c. Kedudukan Anak Angkat ……… d. Kedudukan Anak Luar Kawin ……… e. Kedudukan Ahli Waris Pengganti ……….. f. Ahli Waris Beda Agama……….. g. Kedudukan Wasiat ……….. h. Kemungkinan Menolak Warisan ……… 2. Analisis dan Pembahasan

a. Analisis Perbedaan Pengaturan Hukum Waris Perdata Barat dan Hukum Waris Islam……… b. Analisis dan Pembahasan Sistem Pewarisan Hukum Waris

Perdata Barat dan Hukum Waris Islam Sebagai Penyebab Perbedaan Pengaturan Pewarisan ……… B. Kemungkinan Hak Atas Pilihan Hukum Warga Negara Indonesia

(12)

xi

Hukum Waris Umat Islam ………... b. Pandangan Hakim Pengadilan Umum Akan Hak Atas Pilihan Hukum Waris Umat Islam ……….. 2. Analisis dan Pembahasan

a. Analisis Pelaksanaan Hak Atas Pilihan Hukum Dalam Perkara Waris ……….. b. Analisis Eksistensi Hak Atas Pilihan Hukum Sejak

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ……….. c. Analisis Perubahan Pasal 49 dan Pasal 50 Dalam

Undang-undang Peradilan Agama ……… BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ………

B. Saran ………..

DAFTAR PUSTAKA………

135

138

144

146

152

158 160

(13)

xii

Gambar 1 ………... Gambar 2 ………... Gambar 3 ………... Gambar 4 ……….. Gambar 5 ……….. Gambar 6 ………... Gambar 7 ………... Gambar 8………... Gambar 9………... Gambar 10……….. Gambar 11……….. Gambar 12……….. Gambar 13……….. Gambar 14……….. Gambar 15……….. Gambar 16……….. Gambar 17……….. Gambar 18……….. Gambar 19……….. Gambar 20……….. 34 35 35 36 36 37 38 39 40 79 79 80 81 81 82 82 107 107 108 108 DAFTAR TABLE

(14)

A. Latar Belakang

Menilik sejarah Indonesia dan menelaah dinamika penciptaan

hukumnya adalah suatu rangkaian yang perlu dipahami dan dimengerti

oleh bangsa Indonesia. Bahwasanya embrio hukum kolonial barat yang

hidup di Nusantara sampai saat ini tidak lepas dari kepentingan pragmatis

politik bangsa Eropa khususnya Belanda1. Dinamika penerapan hukum

yang bersifat kolonial pun tumbuh dalam fase-fase yang bervariasi guna

transplantasi kultur Eropa ke Indonesia dalam memperkuat hegemoninya

ketika itu.

Kenyataannya, kultur Indonesia yang berbeda dengan Eropa

mendorong pihak Belanda untuk menyelenggarakan hukum yang

berbeda-beda. Belanda menyegmentasi penduduk Indonesia menjadi tiga golongan

yaitu golongan Bumi Putra, Timur Asing dan Eropa. Pembagian golongan

hukum ini diatur dalam Peraturan ketatanegaraan Hindia Belanda atau

Indische Staatsregeling (I.S) tahun 1927. Menurut Pasal 163 ayat (1) I.S

penduduk Indonesia dibagi menjadi 3 golongan penduduk yaitu:

1 LPM Justisia Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2007, Maret 27,

(15)

1. Pertama Golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan.

Terdiri dari bangsa Belanda dan bukan bangsa Belanda

namun masih berasal dari Eropa. Negara lain yang hukum

keluarganya sama dengan hukum keluarga Belanda (Amerika,

Australia, Rusia, Afrika Selatan), selanjutnya maksud yang

dipersamakan di sini adalah bangsa Jepang dan Thailand. Bagi

golongan ini berlaku Hukum Waris KUHPerdata atau BW

2. Kedua Golongan Timur Asing terdiri dari:

a. Golongan Timur Asing Tionghoa, untuk golongan ini berlaku

Hukum Waris KUHPerdata atau BW

b. Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa (orang Arab, India,

Pakistan, Mesir), terkait masalah waris, golongan ini hanya

diberlakukan sebagian Hukum Waris KUHPerdata/BW yaitu

Hukum Waris Testamenter berdasarkan Staatsblad2 Tahun

1855-79

3. Ketiga Golongan Pribumi/ Inlanders (Indonesia), orang-orang

Indonesia asli serta keturunannya yang tidak memasuki golongan

rakyat lain. Bagi golongan ini diberlakukan hukum waris adat,

sedangkan untuk yang beragama Islam pewarisan dilakukan

dengan hukum Islam.

2

(16)

Pada dasarnya, diberlakukan hukum yang berbeda-beda untuk

tiap-tiap golongan ini adalah langkah yang tidak hanya untuk

mengakomodisasi persoalan yang muncul dalam masyarakat, namun juga

sebagai instrumen penghambat pergerakan rakyat Indonesia.

Dalam rangka memperkuat pengaruhnya Belanda pun secara

berangsur-angsur membentuk badan-badan peradilan, namun pada

kenyataanya, meskipun badan-badan peradilan sudah dibentuk, tentunya

tidak dapat berfungsi secara efektif, sebab hukum yang dibawa tidak

sesuai dengan hukum yang hidup dan diikuti masyarakat Indonesia

kebanyakan. Dalam hal ini terkait dengan kondisi golongan pribumi yang

dominan memeluk dan menjalankan syariat Islam.

Hukum Islam memang sudah tertanam kuat dalam masyarakat

Indonesia. Lodewijk Willem Christiaan van den Berg (1845-1927)

memperkuat pernyataan ini dengan menengahkan teori Receptio in

Complexu yang di dalamnya menjelaskan bahwa hukum Islamlah yang

berlakun di Indonesia, van den Berg mengusahakan agar masyarakat

Indonesia bisa menyelesaikan perkara perkawinan dan pewarisan dengan

menggunakan hukum Islam yang kemudian dijalankan oleh hakim-hakim

Belanda dengan bantuan khadi Islam3. Dari keinginannya itu, tersusunlah

Kompendium yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan

3 Sajuti Thalib, 1980,

(17)

Islamyang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer4 dan digunakan oleh lembaga-lembaga peradilan yang dibentuk oleh VOC itu sendiri5.

Seiring berkembangnya waktu dan berhasilnya Indonesia

memproklamasikan kemerdekaanya, penggolongan masyarakat Indonesia

menjadi tiga golongan dihapus sudah. Saat ini, melalui Intruksi Presidium

Kabinet Nomor. 31/IV/U/12/1956, Indonesia hanya mengenal

pengelompokan menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga

Negara Asing (WNA). Hal ini semakin diperkuat dengan dikeluarkannya

Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 Jo. Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2006, Pasal 9 huruf f dan Pasal 23 huruf a.

Di sisi lain dalam pelaksanaannya tetap harus diingat bahwasanya

pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan:

“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama

belum diadakannya yang baru menurut Undang-Undang ini”. Hal inilah

yang menjadi pijakan masih diberlakunya hukum waris KUHPerdata bagi

warga negara Indonesia keturunan Eropa dan keturunan Timur Asing

Tiong Hoa dan warga negara Indonesia keturunan Timur Asing bukan

Tiong Hoa (sebatas hukum waris testamenter). Oleh karenanya, sedikit

dinamika perkembangan hukum ini memberi penjelasan mengapa hukum

waris Indonesia hingga saat ini masih bersifat pluralistis.

4

H. Arso Sastroatmodjo, 1975, Wasit Aulawi M.A. Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 11 dikutip dalam Ibid.

5 dheeme18985. 2010. Kedudukan Hukum Waris Islam Dalam Tata Hukum Indonesia . Scribd.

[Online] 19 April 2010. [Dikutip: 12 Desember 2010.] http://www.scribd.com/doc/30171716/Kedudukan‐Hukum‐Waris‐Islam‐Dalam‐Tata‐Hukum‐

(18)

Dalam pembagian warisan, masalah yang sering timbul adalah

ketika adanya rasa tidak puas ahli waris atas warisan yang ia terima.

Dalam mencapai rasa kepuasan atas keadilan hak waris yang seharusnya ia

terima, banyak jalan dan cara yang dilakukan. Masalah kemudian timbul

dari kondisi pluralistis hukum waris Indonesia dan hadirnya hak atas

pilihan hukum ini, ketika orang-orang yang kemudian menjadikan pilihan

hukum sebagai celah untuk mendapatkan hak waris sebesar mungkin.

Dikarenakan adanya perbedaan pengturan akan bagian waris antara

Hukum Waris Perdata Barat dan Hukum Waris Islam, menimbulkan

kecendrungan dimana ahli waris perempuan lebih memilih penggunaan

Hukum Waris Perdata Barat dalam pembagian waris. Di sisi lain ahli waris

laki-laki lebih menginginkan pembagian waris menggunakan Hukum

Waris Islam. Dari kondisi inilah yang kemudian ditemukan ekses dari

sebuah hak atas pilihan hukum antara Hukum Waris Perdata Barat dan

Hukum Waris Islam.

Selanjutnya atas kondisi tersebut muncullah sebuah

pemikiran-pemikiran ahli hukum guna meminimalisasi ekses tersebut. Keberadaan

hak atas pilihan hukum dalam lingkup masalah waris kembali dikaji.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang

dalam penjelasan angka 2 paragrap 5 dan 6 yang berbunyi:

(19)

Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan.[dimiringkan oleh pengutip]

Hal ini yang menjadi central of attention pengajian mengenai hak atas

pilihan hukum dalam perkara waris yang menyangkut keislaman.

Kemudian muncullah pendapat bahwa kewarisan Islam adalah bagian dari

syariat Islam yang sudah seharusnya dipatuhi umat Islam, maka menurut

ahli hukum yang membenarkan pendapat ini memilih untuk

dihapuskannya hak pilihan atas hukum untuk perkara yang menyangkut

keislaman maupun yang pihak-pihaknya beragama Islam. Maka lahirlah

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 merevisi undang-undang

sebelumnya yang dalam penjelasan umum paragraf 2 menyatakan:

“…kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: "Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan",

dinyatakan dihapus.” [dimiringkan oleh Pengutip]

Hal menarik yang kemudian muncul adalah ketika dalam tataran

praktik pemaknaan akan perubahan ini diinterpretasikan berbeda yang

menjadikan eksistensi akan hak atas pilihan hukum dalam hukum waris

menjadi samar. Di samping itu, terlepas dari kondisi hukum Indonesia,

dalam sebuah hadist nabi Ibnu Mas'ud r.a. berkata bahwa Nabi saw.

Bersabda:

(20)

menemukan seorang pun yang sanggup meleraikan (menyelesaikan perselisihan pembagian hak waris) mereka."

(HR Imam Ahmad, at-Tirmidzi, dan al-Hakim)

Ha-hal di ataslah yang menjadi latar belakang dilakukannya

penelitian dan penulisan hukum ini. Hukum terus berkembang seiring

berkembangnya zaman dan masyarakat. Pasti di luar sana telah lahir

permasalahan-permasalahan baru dengan kompleksitas yang lebih tinggi

mengenai masalah waris. Sehingga dari sebuah harapan yang sederhana,

untuk mempertajam pemahaman atas khasanah hukum waris perdata

Indonesia, Penulis mengangkat judul Analisis Komparatif Hukum Waris

Perdata Barat dan Hukum Waris Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia

sebagai sebuah judul penulisan hukum kali ini.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan menjadi bahasan dalam penilitian ini antara

lain:

1. Hal-hal apa saja yang diatur berbeda dalam Hukum Waris Perdata

Barat dan Hukum Waris Islam?

2. Adakah hak pilih bagi seseorang Warga Negara Indonesia untuk

memilih Hukum Waris apa yang akan ia pakai untuk membagi harta

(21)

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Subjektif

Tujuan subjektif dari penulisan hukum yang mengangkat judul

Analisis Komparatif Hukum Waris Perdata Barat dan Hukum Waris

Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia adalah untuk melengkapi

persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas

Hukum Universitas Gadjah Mada.

2. Tujuan Objektif

Tujuan objektif dari penyusunan penulisan hukum ini adalah:

a. Untuk memperjelas perbedaan pengaturan permasalahan waris

antara Hukum Waris Perdata Barat dengan Hukum Waris Islam.

b. Untuk mengetahui kemungkinan adanya hak pilih seorang Warga

Negara Indonesia (WNI) untuk menentukan hukum waris yang

akan digunakan dalam pewarisannya.

D. Keaslian Penelitian

Pada dasarnya telah ditemukan penulisan hukum terkait tema

masalah yang peneliti angkat kali ini, namun sejauh peneliti melakukan

tinjauan pustaka baik dalam tataran refrensi berupa buku, tulisan hukum,

maupun data yang tersedia di internet, pembahasan akan tema ini dapat

dikatakan masih dalam tahap kulit luar. Sehingga masih dibutuhkan

suatu produk penulisan hukum yang mengupas lebih dalam, mengingat

perkara waris tergolong masalah yang timbul dalam kehidupan

(22)

Berdasarkan pencarian yang telah peneliti lakukan di

perpustakaan Universitas Gadjah Mada, khususnya di perpustakaan

Fakultas Hukum, peneliti menemukan penulisan hukum dengan tema

yang sama. Diantaranya sebagai berikut:

Farida Apriyani, NIM. 13869/PS/MK/04, mahasiswa Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,

dalam tesis yang berjudul, Pelaksanaan Pembagian Warisan Di

Kecamatan Mlati Sleman. Masalah yang diangkat dalam penulisan tesis

tersebut adalah mengenai pembagian warisan di kecamatan Mlati, Sleman

serta peran notaris dalam proses pembagian warisan.

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan, diperoleh

kesimpulan yakni: Pertama, Pelaksanaan pembagian warisan sesuai

dengan hukum adat Jawa, dapat terjadi ketika pewaris masih hidup

dengan cara sepikul segendongan sudah jarang dilaksanakan karena

masyarakat kecamatan Mlati yaitu di desa/kelurahan Tirtoadi, Sedangadi

dan Sinduadi lebih memilih bagian yang sama antara anak laki-laki dan

anak perempuan, oleh karena itu masyarakat di kecamatan Mlati tersebut

lebih memilih melakukan pembagian warisan dengan cara dum-dum

kupat.

Kedua, Masyarakat di kecamatan Mlati khususnya kelurahan

Tirtoadi, Sendangadi dan Sinduadi melakukan pembagian warisan dengan

(23)

warisan tidak dilakukan balik nama atau tidak disertifikatkan ke notaris

PPAT.

A. Nuzul, NIM. 06/09-1/1989/PS, dalam disertasi yang berjudul,

Pembentukan Hukum Kewarisan Nasional Berdasarkan Sistem Bilateral

(Relevansi Beberapa Azas Hukum Kewarisan Menurut KUHPerdata,

Menurut Hukum Islam, dan Menurut Hukum Adat) Rumusan masalah

yang dikemukakan dalam disertasi tersebut antara lain:

1. Apakah upaya pembentukan hukum kewarisan nasional berdasarkan

sistem bilateral sebagaimana tertuang dalam rancangan

perundang-undangan hukum kewarisan sesuai dengan kesadaran hukum

masyarakat mengingat sistem kekerabatan masyarakat Indonesia serta

keadaan sistem hukum kewarisannya bercorak pluralistis?

2. Azas-azas hukum manakah dari ketiga sistem hukum kewarisan

tersebut yang dapat dijadikan sebagai azas hukum dalam upaya

pembentukan hukum kewarisan nasional berdasarkan sistem bilateral?

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan tersebut

diperoleh hasil kesimpulan sebagai berikut:

1. Baik substansi hukumnya, struktur hukumnya dan maupun pada

budaya hukumnya menguatkan kedudukan pewaris dan garis kerabat

ibu sama kuatnya dengan garis kerabat ayah dalam menghubungkan

ahli waris dengan pewaris, dengan perkataan lain kedudukan yang

sama antara bapak dan ibu sebagai pewaris terhadap anak-anak dan

(24)

Azas-azas hukum tersebut di atas sejalan dengan hak azasi manusia

(HAM); kesetaraan gender, dan nilai-nilai demokrasi, serta tidak

bertentangan dengan kepercayaan agama yang dianut masyarakat.

Dari azas-azas hukum tersebut di atas melahirkan norma hukum

kewarisan nasional dengan sistem bilateral secara terbuka. Dikatakan

bersifat terbuka, karena dimungkinkan pengambilan dan

pemberlakuan norma-norma hukum pewarisan yang bersifat satu arah

(unilateral) baik dalam masyarakat patrilinela dan matrilineal. Sebagai

pengecualian dari sistem pewarisan secara bilateral-individual

sepanjang masih menjadi kesadaran hukum bagi penganutnya.

2. Beberapa azas hukum kewarisan menurut KUHPerdata; hukum

kewarisan Islam; dan menurut hukum kewarisan adat relevan

dijadikan azas hukum dalam upaya pembentukan hukum kewarisan

nasional dengan sistem bilateral melalui kodifikasi dan unifikasi

secara differensiasi [diferensiasi], sebagai berikut:

a. Azas Hubungan Darah dan Hubungan Perkawinan;

b. Azas Penderajatan;

c. Azas Individual;

d. Azas Bilateral;

e. Azas Pergantian Tempat;

f. Azas Ijbari;

g. Azas Keadilan Berimbang;

(25)

i. Azas Kesamaan Hak dan Kebersamaan Hak;

j. Azas Kerukunan dan Kekeluargaan;

k. Azas Musyawarah dan Mufakat;

Dari hasil penguraian kesimpulan atas dua penulisan hukum di atas

didapatkan objek kajian yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Begitupun dengan penulisan hukum kali ini yang lebih pada kajian

perbandingan normatif antara Hukum Waris Perdata Barat dan Hukum

Waris Islam serta eksistensi Hak Atas Pilihan Hukum dalam perkara

waris.

Demikian penelitian ini dapat dianggap asli dan layak untuk diteliti

yang dpat dilihat secara utuh sebagai suatu buah pemikiran yang asli.

E. Kegunaan Penelitian

1. Dalam sisi kegunaan akademis, penulisan hukum dengan tema

kewarisan ini diharapkan dapat memberi kontribusi untuk

mempertajam pemahaman akan pelaksanaan hukum waris dalam

sistem hukum perdata Indonesia yang masih bersifat pluralistis,

khususnya Hukum Waris Perdata Barat/BW dan Hukum Waris Islam

2. Dalam tataran praktis, penulisan hukum ini diharapkan dapat

memberikan tuntunan mengenai cara pelaksanaan pembagian harta

warisan baik pembagian waris dengan menggunakan Hukum Waris

(26)

F. Metodelogi Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto, metode adalah proses, prinsip-prinsip

dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah

pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk

menambah pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan

sebagai proses, prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah

yang dihadapi dalam melakukan penelitian6.

Menurut Sutrisno Hadi, penelitian atau research adalah usaha

untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu

pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode

ilmiah7, sedangkan menurut Maria S.W. Sumardjono, penelitian

merupakan proses penemuan kebenaran yang dijabarkan dalam bentuk

kegiatan yang sistematis dan berencana dengan dilandasi oleh metode

ilmiah8.

1. Jenis Penelitian

Terkait dengan tema serta masalah yang penulis angkat dalam

penulisan hukum kali ini, maka metode pendekatan yang digunakan

bersifat yuridis normatif. Pendekatan normatif dilakukan dengan

mengumpulkan bahan hukum baik primer, sekunder maupun tersier

dalam rangka mendapatkan jawaban serta penyelesaian atas

masalah-masalah (isu hukum) yang telah dirumuskan.

6 Soerjono Soekanto, 1986,

Pengantar Penelitian Hukum Jakarta, Jakarta : UI Press, hlm. 6

7

Sutrisno Hadi, 2000, Metodologi Research Jilid I, Yogyakarta : ANDI, hlm. 4

8

(27)

Dalam penelitian yang bersifat yuridis normatif dapat digunakan

empat model penyelesaian masalah yang antara lain: pendekatan

peraturan perundang-undangan (statutory approach), pendekatan

konsepsual (conceptual approach), pendekatan komparatif

(comparative approach), dan pendekatan historis (historical

approach). Dalam upaya mencapai tujuan dari penelitian ini

pelaksanaan penelitian lebih ditekankan pada sumber bahan sekunder,

baik berupa peraturan perundang-undangan maupun teori-teori ilmu

hukum.

2. Jenis Data

Dalam penelitian kali ini digunakan dua jenis data; data primer dan

data skunder. Data primer adalah data yang didapatkan langsung dari

masyarakat, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh

darberbagai macam literature.

a. Data Primer

Data Primer Penulis peroleh dengan melakukan

wawancara. Dalam pengertiannya, wawancara adalah cara untuk

memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada yang

diwawancarai. Wawancara merupakan suatu interaksi dan

komunikasi9. Pelaksanaan penelitian yang berupa wawancara ini

menggunakan alat berupa daftar pertanyaan yang merupakan

bentuk konkret dari panduan wawancara. Selanjutnya untuk

9 Syamsudin.

(28)

proses wawancara secara tidak langsung penulis menggunakan

susunan pertanyaan wawancara secara tertulis lewat media surat

elektronik (email).

Dalam penelitian kali ini, peneliti mengambil subjek

narasumber dengan nama sebagai berikut:

a. Aviantara (Hakim Ketua Pengadilan Negeri Pasuruan)

b. Imam Suudi (Hakim Ketua Pengadilan Negeri Kupang)

c. Siti Farida (Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara)

d. Sohe (Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto)

e. Sumino (Hakim Ketua Pengadilan Negeri Berau)

Selain narasumber di atas, informasi juga diperoleh dari

beberapa Badan Peradilan Agama seperti di bawah ini:

a. Mahkamah Syariah Nangroe Aceh Darusalam

b. Pengadilan Tinggi Agama Palembang

c. Pengadilan Tinggi Agama Samarinda

d. Pengadilan Tinggi Agama Gorontalo

b. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan

(Library Research). Penelitian kepustakaan dilakukan oleh

penulis dengan cara membaca dan meneliti buku-buku maupun

literatur yang berhubungan dengan topik permasalahan, yang

(29)

Kepustakaan dalam penelitian hukum bertujuan untuk

menemukan bahan-bahan hukum baik yang bersifat primer

maupun sekunder10

1) Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat,

terdiri dari:

a) Kitab Undang-undang Hukum Perdata

b) Kompilasi Hukum Islam

c) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan

d) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak

e) undang Nomor 48 Tahun 2009 Jo.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Kekuasaan

Kehakiman

f) Undang Nomor 50 Tahun 2009 Jo.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Jo. Undang-Undang-Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

g) Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 2 Tahun 1990 Tentang Pelaksanaan

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

10

(30)

2) Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan kajian yang

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri

dari buku-buku, jurnal dan makalah maupun hasil penelitian

hukum dalam bentuk apapun yang relevan dengan materi

penulisan.

3) Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan kajian yang

memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum

primer maupun bahan hukum sekunder. Dalam hal ini yang

penulis gunakan sebagai hukum tersier adalah Kamus Hukum

dan Kamus Besar Bahasa Indonesia

Banyak hasil penelitian kualitatif diragukan

kebenarannya karena beberapa hal, salah satunya dikarenakan

alat penelitian yang diandalkan berupa wawancara dan observasi

mengandung banyak kelemahan ketika dilakukan secara terbuka

dan apalagi tanpa kontrol,serta sumber data kualitatif yang

kurang credible akan mempengaruhi hasil akurasi penelitian11.

Oleh karena itu, Penulis melakukan beberapa langkah yaitu

dengan mengadakan member check yaitu dengan menguji

11 Iyan Afriani, 2009, Metode Penelitian Kualitatif. [Online] Lembaga Penelitian Mahasiswa

(31)

kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda dan mengembangkan

pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan

mengaplikasikannya pada data, serta dengan mengajukan

pertanyaan-pertanyaan tentang data. Selanjutnya dilakukan

proses triangulasi atau pemeriksaan data dengan memanfaatkan

sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan.

Tringulasi penulis lakukan untuk menyelaraskan makna dari kata

“sengketa” yang terdapat dalam Pasal 50 Undang-undang

Nomor 50 Tahun 2009, hal ini penting karena pemaknaan pasal

ini berkaitan erat dengan objek penelitian hukum kali ini.

3. Jalannya Penelitian

a. Tahap persiapan

Merumuskan permasalahan yang ada dan menyiapkan

rancangan penelitian.

b. Tahap pelaksanaan

Diawali dengan penelitian kepustakaan untuk

mendapatkan kerangka berpikir mengenai masalah yang

terkait dengan judul yang diangkat, serta mendapatkan

gambaran maupun kondisi pengaturan mengenai hukum waris

Indonesia. Atas data sekunder tersebut, Penulis mencoba

(32)

sementara via email kepada beberapa Pengadilan Tinggi

Agama dan pengadilan Agama.

Adapun kesulitan yang dialami dalam melakukan

penelitian khususnya dalam proses wawancara adalah di mana

hari Penulis melakukan wawancara bertepatan dengan

dilaksanakannya rapat kordinasi seluruh hakim tinggi dengan

pemerintah daerah setempat, sehingga waktu Penulis sangat

terbatas. Pada akhirnya Penulis mencoba untuk bertemu dengan

panitera dan mencoba untuk meminta data pelaksanaan perkara

waris yang diterima dalam rentang waktu 5(lima) tahun.

Selanjutnya, atas kondisi kurangnya informasi yang

didapatkan, Penulis mencoba untuk mencari narasumber baru

dan melakukan wawancara via telepon maupun email. Selain

itu, penelitian sempat terkendala karena bencana Meletusnya

Gunung Merapi Yogyakarta.

c. Tahap penyelesaian

Penyusunan dan penyelarasan serta menganalisis data

yang terkumpul. Kemudian menemukan korelasi masalah serta

menemukan solusi atas masalah tersebut

4. Teknik Analisis Data

Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian ini akan menggunakan

teknik analisa:

(33)

Di mana data yang diperoleh dari hasil penelitian akan

terlebih dahulu dipilih bedasarkan mutu dan kualitas. Data

yang mempunyai kaitan dengan permasalahan yang diangkat

dalam penulisan hukum inilah yang akhirnya akan dibahas.

b) Analisis Deskriptif

Data yang diperoleh akan dicari hubungan kausulnya

dengan teori yang didapat dari studi pustaka untuk kemudian

disimpulkan sehingga akan didapat gambaran yang jelas

mengenai permasalahan yang diangkat. Pada akhirnya hasil

(34)

A. Tinjauan Pewarisan

1. Pewarisan Menurut Hukum Perdata Barat

a. Pengertian Pewarisan

Terminologi pewarisan diartikan sebagai perbuatan

meneruskan harta kekayaan yang akan ditinggalkan pewaris atau

perbuatan melakukan pembagian kepada para ahliwarisnya.1 Pada

dasarnya pewarisan adalah proses peralihan harta kekayaan yang

ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia kepada

orang lain yang masih hidup. Dapat dikatakan juga bahwa

pewarisan adalah proses pengalihan hak milik yang disebabkan

oleh kematian. Proses pewarisan dikatakan benar-benar terjadi

ketika memenuhi seluruh unsur-unsur pewarisan.

b. Unsur-unsur Pewarisan

1) Pewaris

Pewaris adalah orang yang karena kematiannya

meninggalkan harta untuk diteruskan atau dioperkan kepada ahli

warisnya, atau yang meninggalkan harta untuk diwariskan

kepada ahli warisnya.

(35)

2) Ahli Waris

Ahli waris dalam konteks Hukum Waris Perdata Barat

hadir karena hubungan perkawinan, hubungan darah maupun

penunjukan dengan wasiat. Ahli waris karena hubungan darah

pun terbagi lagi menjadi dua yaitu hubungan darah yang sah dan

hubungan darah yang tidak sah. Adapun syarat untuk menjadi

ahli waris antara lain:

a) Mempunyai hak atas harta peninggalan pewaris, dimana

hak tersebut ia dapatkan atau timbul karena adanya

hubungan darah ataupun perkawinan2 maupun penunjukan

melalui testamen;

b) Ahli waris harus sudah ada saat pewarisan dilakukan3;

c) Tidak menolak warisan dan tidak dinyatakan sebagai orang

yangtidak cakap untuk menerima warisan tersebut.

3) Harta Warisan

Pengertian harta warisan dapat ditemukan dalam penjabaran

Pasal 833 KUHPerdata dan 1100 KUHPerdata yang

menerangkan apa saja yang beralih dalam pewarisan.

Pasal 833 menyatakan:

Sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang sang meninggal.

2

Kitab Undang‐undnag Hukum Perdata Pasal 832 kalimat pertama

3

(36)

Pasal 1100 KUHPerdata menyatakan:

Para waris yang telah menerima suatu warisan diwajibkan dalam hal pembayaran hutang, hibah wasiat dan lain-lain beban, memikul bagian yang seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan.

Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang disebut

dengan harta warisan mencakup aktiva maupun pasiva Pewaris.

c. Hukum Waris

Pewarisan timbul dari akibat peristiwa hukum yaitu

kematian, namun dalam pewarisan, yang menjadi perhatian pokok

bukanlah kematian itu sendiri melainkan pengaturan tentang

pembagian harta benda peninggalan si mati atau pewaris. Artinya,

dalam hukum waris akan diatur tentang siapa yang berhak atas

harta kekayaan yang ditinggalkan oleh almarhum maupun yang

wajib menanggung dan membereskan hutang-hutang almarhum.

Maka dengan demikian jelaslah bahwa hukum waris itu di satu sisi

berakar pada keluarga4 dan di sisi lain berakar pada harta

kekayaan5. Beberapa ahli hukum merumuskan pengertian hukum

waris seperti di bawah ini:

1) A. Pitlo6

Kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai harta kekayaan, karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibatnya, dari pemindahan ini bagi orang-orang yang

4 Dalam ranah antropologi, hukum kewarisan itu adalah kelanjutan dari hukum perkawinan,

danhukum perkawinan tidak boleh berbeda dengan hukum kewarisan.

5

M. Abdulkadir, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm.267

6

(37)

memperoleh baik dalam hubungan antara mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.

2) Soebekti dan Tjitrosudibio7

Hukum yang mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia.

3) Wirjono Prodjodikoro8

Hukum Waris adalah hukum yang mengatur hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.

Mengingat hukum waris dalam konsepsi

BW/KUHPerdata terhimpun dalam bagian hukum harta

kekayaan / kebendaan, maka kekayaan yang dimaksud

dalam rumusan Pittlo maupun Soebekti dan Tjitrosudibio di

atas adalah sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan

seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva

dan pasiva dalam tataran hukum publik. Sedangkan hak-hak

dan kewajiban-kewajiban yang beralih pada ahli waris yang dimaksud dalam definisi Wirjono adalah hak dan kewajiban

yang sepanjang termasuk dalam lapangan hukum harta

kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai

7 Soebekti dan Tjitrosudibio, Kamus Hukum, hlm. 25 dalam Mulyadi, Hukum Waris Tanpa

Wasiat, 2008, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, hlm.2

8

(38)

dengan uang. Hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan

kesusilaan dan kesopanan tidak dapat diwariskan9.

Dalam KUHPerdata sendiri hukum mengenai waris

diatur dalam Buku II title XII sampai dengan XVI.

Diletakan di Buku II yang mengatur tentang hukum benda

dikarenakan hukum waris itu mengatur tentang hak waris

yang mana adalah hak kebendaan. Selain itu, dikatakan

bahwa hukum waris memenuhi unsur hukum kebendaan

karena hukum waris mengatur mengenai cara peralihan hak

milik harta dari pewaris kepada ahli warisnya. Pasal 584

KUHPerdata pada intinya menyebutkan bahwa salah satu

cara memperoleh hak milik adalah melalui pewarisan10.

Ali Affandi menyatakan bahwa hukum waris memiliki

dua unsur yakni: unsur hukum harta kekayaan (hukum

benda) dan unsur dari hukum keluarga11. Keberadaan

hukum waris tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan

hukum keluarga. Kedua sistem hukum ini layaknya dua sisi

mata uang yang tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Oleh

sebab itu kedua hukum ini memiliki karakter, gaya dan azas

9 Darusnal, Chandra. Hukum Waris Perdata. Insight. 2009. (accessed 03 02, 2011).

10 A Nuzul, 2009, Pembentukan Hukum Kewarisan Nasional Berdasarkan Sistem Bilateral

(Relevansi Beberapa Azas Hukum Kewarisan Menurut KUHPerdata, Menururt Hukum Islam, Menurut Hukum Adat). Disertasi, Faklutas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 66

(39)

yang sama sehingga sudah seharusnya berjalan selaras dan

tidak saling bersebrangan12.

Hukum waris adalah satu bagian dari sistem hukum

barat yang terdapat pada KUHPerdata atau Burgerlijk

Wetboek (BW). Indonesia yang merupakan bekas jajahan Belanda memberlakukan KUHPerdata sebagai sumber

hukum atas dasar azas concordantie13. KUHPerdata oleh pemerintah Belanda dinyatakan berlaku di Indonesia

(Hindia Belanda saat itu) sejak 1 Mei 1848 sesuai

pengumuman tanggal 30 April 1848 yang dimuat dalam

staatsblad (S) Nomor 2314. Dari sini dapat dipahami bahwa

hukum waris yang diatur dalam KUHPerdata adalah hukum

peninggalan Belanda yang memiliki dasar pijakan

pemberlakuan seperti berikut:

a) Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling)15

Pada awalnya pemberlakuan hukum waris menurut

BW diperuntukan untuk golongan Eropa yang bertempat

tinggal di Indonesia melalui azas konkordansi

12

Ali Affandi, 1986, Hukum Waris, Hukum Keluarga Dan Pembuktian, Jakarta: Bina Aksara

13

Cocordantie Beginbsel adalah azas di mana negara jajahan harus menerapkan hukum sesuai dengan apa yang diterapkan di negaranya (Belanda).

14

Safioedin, 1990, Beberapa Hal Tentang Burgelijk Wetboek, Bandung: Asis, hlm. 5

15

Tiap‐tiap golongan berlaku hukumnya masing‐masing. Masing‐masing golongan punya staatsbladnya yaitu:

a. Staatsblad No. 1849‐25, untuk golongan Eropa,

(40)

(concordantie Beginbsel), yang dinyatakan dalam ketentuan

pada Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling) Ayat (2) huruf

a: Terhadap orang Eropa diberlakukan hukum Perdata

asalnya.16

b) Pasal I Aturan Peralihan UUD Tahun 1945

Dalam ketentuan Pasal 1 Aturan Peralihan UUD

Tahun 1945 menegaskan bahwa: “Segala Peraturan

Perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama

belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar

ini.” Sebelum UUD Tahun 1945 diamandemen, ketentuan

yang sama diatur secara bersama-sama dengan badan

Negara berdasarkan pada Pasal 2 Aturan Peralihan yang

bunyi ketentuan sebagai berikut:

Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakannya yang baru menurut Undang-undang dasar ini.

dengan demikian pasal-pasal dalam Aturan Peralihan

inilah yang menjadi pijakan masih diberlakukannya

KUHPerdata (dalam bidang-bidang hukum tertentu) selama

belum ada peraturan baru yang mencabutnya

(41)

d. Azas-azas Hukum Waris

1) Azas Kematian

Azas ini mengandung sebuah pengertian bahwa

pewarisan hanya akan dapat berlangsung ketika terjadinya

kematian si pewaris17, dengan demikian berarti, harta warisan

baru terbuka (jatuh meluang) kalau pewaris meninggal dunia.

Azas kematian dapat ditemukan dalam Pasal 830 Ayat (1)

KUHPerdata yang menyatakan: “pewarisan hanya berlangsung

karena kematian”.

2) Azas Hubungan Darah dan Perkawinan

Pada ahli waris ab intestato atau berdasarkan

undang-undang, mengatur tentang orang yang mewaris berdasarkan

hubungan darah, baik yang timbul sebagai akibat suatu

perkawinan yang sah maupun yang timbul sebagai suatu akibat

hubungan di luar perkawinan dengan pengakuan anak secara

sah. Selain hubungan darah orang dapat mewaris berdasarkan

hubungan perkawinan. Jadi hak atas harta peninggalan pewaris

terjadi karena adanya hubungan darah dan perkawinan.

3) Azas Penderajatan / Het naaste in het bloed ertf het goed

Azas ini memiliki makna yang artinya keluarga yang

lebih dekat dengan pewarislah yang mewaris. Dengan kata lain,

17

(42)

keluarga yang lebih dekat dapat menyingkirkan/menutup

keluarga yang lebih jauh untuk mewaris18.

4) Azas Pergantian Tempat

Azas pergantian tempat dikenal juga dengan sebutan azas

plaatsvervulling menunjuk kepada pemikiran dasar bahwa seseorang bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam

segala hak orang yang diganti. Lembaga hukum waris

penggantian tempat hadir untuk memberi perlindungan hukum

kepada keturunan sah dari ahli waris yang telah meninggal

lebih dulu, dengan cara menyerahkan hak ahli waris yang telah

meninggal dunia kepada keturunan yang sah.

Penerimaan harta warisan oleh keturunan yang sah dari

ahli waris yang telah meninggal tersebut bukan dalam

kedudukan sebagai ahli waris melainkan sebagai pengganti dari

ahli waris yang telah meninggal tersebut. Kedudukan sebagai

ahli waris tetap pada si yang meninggal, sedangkan keturunan

sah berkedudukan sebagai ahli waris pengganti19.Azas ini dapat

ditemukan dalam Pasal 841, 842, 844 dan 845 KUHPerdata.

Dalam pasal-pasal tersebut secara garis besar dapat

disimpulkan bahwa pergantian tempat yang mengacu pada

KUHPerdata hanya dapat terjadi dalam garis lurus ke bawah.

18

Pasal 832 Kitab Undang‐undnag Hukum Perdata

19

(43)

5) Azas Segala Hak dan Kewajiban Beralih Kepada Ahli

Waris

Mengutip adigium Perancis yang berbunyi, “Le mort

saisine le vif”, yang berarti “seseorang yang meninggal digantikan kedudukannya oleh yang masih hidup dalam hal

kepemilikan hartanya berupa hak dan kewajiban”20. Azas

hukum ini dapat ditemui dalam Pasal 833 Ayat (1), dan Pasal

1100 KUHPerdata. Bahwasanya harta warisan yang beralih

tidak hanya dalam bentuk aktiva, namun juga pasiva.

Dalam penjabaran Pasal 833 juga akan dikenal hak

seisine atau hak yang demi hukum ahli waris memperoleh kakayaan pewaris tanpa harus ada penuntutan. Implikasi dari

Pasal 833 tadi, dalam Pasal 834 menjelaskan mengenai hak

Hereditatis Petitio atau Hak untuk mengajukan gugatan kepada:

a) Sesama ahli waris;

b) Orang yang tanpa hak menguasai benda-benda warisan;

c) Pihak-pihak yang secara licik menyebabkan hilangnya

kekuasaan ahli waris terhadap benda- benda yang

sebenarnya merupakan bagian dari harta peninggalan.

20

(44)

Terkait hal diatas, ada beberapa kondisi di mana hak

Hereditatis Petitio tidak dapat diajukan, antara lain terhadap kurator (pengumpul harta) dan holder (pemegang hak waris).

6) Azas Individual Bilateral

Pewarisan bersifat individual dimaknai dengan kondisi

apabila warisan jatuh luang maka segera dapat dituntut

pembagiannya untuk dimiliki perindividu tanpa melihat apakah

warisan itu masih dibutuhkan secara utuh.

Pewarisan bersifat bilateral yaitu ahli waris dapat

mewaris baik dari garis ayah maupun garis ibu. Dalam

KUHPerdata, azas ini tercermin dalam Pasal 852 KUHPerdata

yang menyatakan: “Menurut undang-undang yang berhak

untuk menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah, baik sah,

maupun luar kawin dan suami istri yang hidup terlama.”

7) Azas Tidak Membedakan Anak Dari Asal Kelahiran dan

Jenis Kelamin

Di dalam hukum waris menurut KUHPerdata, jenis

kelamin tidak menjadi faktor yang mempengaruhi bagian ahli

waris terhadap harta warisan. Laki-laki maupun perempuan

mempunyai bagian yang sama. Hal ini dapat dilihat dari Pasal

852 ayat (1) : “… dengan tiada perbedaan antara laki-laki dan

perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran terlebih

(45)

e. Sistem Pewarisan

Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, maka

KUHPerdata menganut sistem keturunan bilateral, dimana setiap

orang itu menghubungkan dirinya ke dalam keturunan ibu ataupun

ayah. Sedangkan untuk sistem waris KUHPerdata menganut sistem

Individual. Sistem hukum waris KUHPerdata yang bersifat

bilateral-individual ini dapat ditemukan dalam Pasal 852

KUHPerdata:

Anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan lain-lain perkawinan sekalipun, mewaris dari ke dua orang tua, kakek, nenek, atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas. Dengan tiada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran lebih dulu.

Mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat kesatu dan masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri, mereka mewaris pancang demi pancang, jika sekalian mereka atau sekedar sebagian mereka bertindak sebagai pengganti.

Maka dari pasal-pasal tersebut secara eksplisit ditemukan

kalimat yang menentukan bahwa seseorang berhak atas harta

warisan baik dari pancang ayah maupun pancang ibu. Serta adanya

pembagian harta warisan yang dilakukan secara seimbang untuk

dimiliki secara perseorangan. Dalam hukum waris menurut BW

berlaku suatu azas bahwa: “apabila seseorang meninggal dunia,

(46)

sekalian ahli warisnya”.21 Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang

beralih pada ahli waris adalah sepanjang termasuk dalam lapangan

hukum harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat

dinilai dengan uang. Ini berarti, apabila seorang ahli waris

menuntut pembagian harta warisan di depan pengadilan, tuntutan

tersebut tidak dapt ditolak oleh ahli waris yang lainnya. Ketentuan

ini tertera dalam pasal 1066 BW, yaitu:

a. Seseorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan tidak dapat dipaksa untuk memberikan harta benda peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi di antara para ahli waris yang ada;

b. Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada perjanjian yang melarang hal tersebut;

c. Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat saja dilakukan hanya untuk beberapa waktu tertentu;

d. Perjanjian penangguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama lima tahun, namun dapat diperbaharui jika masih dikehendaki oleh para pihak.

Dari ketentuan Pasal 1066 BW tentang pemisahan harta

peninggalan dan akibat-akibatnya itu, dapat dipahami bahwa

sistem hukum waris menurut BW memiliki ciri khas yang berbeda

dari hukum waris yang lainnya. Ciri khas tersebut di antaranya

hukum waris menurut BW menghendaki agar harta peninggalan

seorang pewaris secepat mungkin dibagi-bagi kepada mereka yang

berhak atas harta tersebut. Kalau pun hendak dibiarkan tidak

(47)

terbagi, harus terlebih dahulu melalui persetujuan seluruh ahli

waris.22

f. Penyebab Timbulnya Hak Waris

1) Pewarisan ab-intestato

Ahli waris menurut undang-undang atau ahli waris ab intestato

berdasarkan hubungan darah terbagi menjadi 4 (empat)

golongan atas dasar de naste in het bloed erft het goed (yang

memiliki hubungan darah terdekatlah yang mewaris), yaitu:

a) Golongan 1

Golongan ini terdiri dari anak-anak serta keturunannya ke

bawah beserta suami atau istri yang hidup lebih lama.Pasal

852 (a) kalimat 1 (menerangkan bagian suami istri yang

hidup lebih lama):

“Dalam hal mengenai warisan seorang suami atau isteri yang telah meninggal lebih dahulu, suami atau isteri yang hidup terlama, dalam melakukan ketentuan-ketentuan dalam bab ini, dipersamakan dengan anak yang sah…”

P+--- Q(1/3)

A (1/3) B (1/3)

Gambar 1

(48)

“… jika perkawinan suami istri itu adalah untuk ke dua kali atau selanjutnya, dan dari perkawinan yang dulu ada anak-anak atau keturunan anak-anak itu, si istri atau suami yang baru tidak akan mendapat bagian warisan yang lebih besar daripada bagian warisan terkecil yang akan diterima oleh seorang anak tadi atau dalam hal bilamana anak itu telah meninggal terlebih dahulu, oleh sekalian keturunan penggantinya, sedangkan dalam hal bagaimanapun juga, tidak bolehlah bagian si istri atau suami itu lebih dari seperempat dari harta kekayaan si meninggal”

Perkawinan 1 Perkawinan 2

X+---P+---Y(1/4)

A (½ . (sisa)) B (½ . (sisa))

Gambar 2

b) Golongan 2

Golongan ini terdiri dari saudara, ayah dan ibu. Dalam

Pasal 854 KUHPerdata tentang bagian ahli waris diatur

sebagai berikut:

Apabila seorang meninggal dunia dengan tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, sedangkan bapak dan ibunya masih hidup, maka masing-masing dari mereka mendapat sepertiga dari warisan, jika si meninggal hanya meningggalkan seorang saudara laki-laki atau perempuan, yang mana mendapat sepertiga selebihnya

A(1/3)---B(1/3)

P+ Q(1/3)

(49)

Si bapak dan si ibu masing-masing mendapat seperempat, jika si meninggal meninggalkan lebih dari seorang saudara laki-laki atau perempuan, sedangkan dua perempat bagian selebihnya menjadi bagian saudara laki-laki atau perempuan itu

A(1/4)---B(1/4)

P+ Q(½.(sisa)) R (½.(sisa))

Gambar 4

Pasal 855 KUHPerdata:

Apabila seorang meninggal dunia dengan tidak meninggalkan keturunan, suami ataupun istri, sedangkan bapak atau ibunya telah meninggal terlebih dahulu, maka si ibu atau si bapak yang hidup terlama mendapat setengah dari warisan, jika simeninggal hanya memiliki seorang saudara perempuan atau laki-laki;

A+---I(½)

P+ Q (½)

Sepertiga warisan jika dua saudara perempuan atau laki-laki ditinggalkannya;

A+---I(1/3)

P+ R(1/3) Q (1/3)

Gambar 5

(50)

laki-laki atau perempuan ditinggalkannya. Bagian selebihnya adalah untuk saudara laki-laki atau perempuan tersebut”

A+---I(¼)

P+ Q: 1/3(sisa) R:1/3(sisa) S:1/3(sisa)

Gambar 6

Pasal 856 KUHPerdata, tentang tidak ada bapak/ibu, maka

saudara berhak mewarisi seluruh harta warisan.

Pasal 857 KUHPerdata adalah mengenai pembagian

saudara dalam perkawinan yang berbeda:

Pembagian akan apa yang menurut pasal-pasal yang lalu menjadi bagian para saudara laki-laki dan perempuan, dilakukan antara mereka dalam bagian-bagian yang sama jika mereka berasal dari perkawinan yang sama; namun jika mereka berasal dari lain-lain perkawinan, maka akan apa yang diwariskan harus dibagi terlebih dahulu menjadi dua bagian, ialah bagian dari garis bapak maupun garis ibu; saudara laki-laki dan perempuan yang penuh mendapat bagian mereka dari kedua garis; sedangkan mereka yang setengah hanya mendapat bagian dari garis dimana mereka berada. Jika hanya ada saudara-saudara setengah saja dari garis yang satu, maka mereka mendapat seluruh warisan dengan mengenyampingkan segala keluarga sedarah lainnya dari garis yang lain.

Agar lebih jelas dalam memaknai Pasal 857 KUHPerdata

ini Penulis mengilustrasikan seperti gambar berikut:

(51)

Å---Æ

Perkawinan ke-2 bagi B Perkawinan 1 bagi B dan C Perkawinan ke-2 bagi C

A---B+---C---D

Ab1 Ab2 P+ Bc Cd1

Keterangan:

Bc : Saudara Seayah dan Seibu Ab1 dan Ab2 : Saudara Seayah

Cd1 : Saudara Seibu

Bagian C (Ibu) : 1/3 dari seluruh harta warisan (Pasal 855) Sisa warisan : 2/3

Saudara Seayah

Bagian Ab1 + Ab2 + Bc : ½ x (2/3) = 2/6 = 1/3

jadi Ab1, Ab2, Bc masing-masing : 1/6 x (1/3) = 1/18

Saudara Seibu

Bagian Cd1 + Bc : ½ x (2/3) = 2/6 = 1/3

jadi Cd1 dan Bc masing-masing : ¼ x (1/3) = 1/12

Saudara Seayah dan Seibu

Bagian Bc : 1/18 + 1/12

Gambar 7

c) Golongan 3

(52)

Golongan ini terdiri dari kakek dan nenek dari garis ayah dan ibu dan garis keturunan ke atasnya. Pasal-pasal yang mengatur golongan ketiga ini adalah Pasal 853, 858 KUHPerdata. Seperti halnya pembagian saudara dalam Pasal 857 KUHPerdata, pembagian dalam ahli waris golongan ketiga juga harus dilakukan cloving terlebih dahulu, yaitu ½ bagian untuk ahli waris dalam garis

sebapak, dan ½ bagian untuk ahli waris garis seibu.

Cloving

Å---1/2---1/2---Æ A---B C---D

AB(+) AB2(+)---CD1(+)

P+

Gambar 8

d) Golongan 4

Golongan ini terdiri dari paman, bibi dari ayah dan ibu

beserta keturunannya. Ahli waris golongan keempat ini

termasuk dalam pengertian keluarga sedarah dalam garis

menyimpang yang lebih jauh23. Pasal-pasal yang mengatur

golongan keempat ini adalah Pasal 850, 858, 861,

KUHPerdata. pembagian ahliwaris golongan keempat ini

intinya sama dengan pembagian golongan ketiga, bahwa

dalam pembagian warisan harus dikloving terbelah dahulu,

(53)

yaitu 1/2 bagian untuk ahli waris dalam garis sebapak, dan

½ bagian untuk ahli waris dalam garis seibu. Hal penting

yang patut diketahui bahwa yang berhak mewaris hanyalah

sampai derajat keenam, setelah derajat keenam tidak akan

tampil sebagai ahli waris. Sebagaimana terdapat pengaturan

didalam Pasal 861 KUHPerdata

cloving

Å_______1/2_________________________________1/2_____________Æ A(+)---B(+) C(+)---D(+)

AB AB2(+)---CD1(+) CD2

P+

Gambar 9

Pada ahli waris ab intenstato atau berdasarkan

undang-undang, tidak hanya mengatur tentang orang yang mewaris

berdasarkan hubungan darah yang timbul sebagai akibat suatu

perkawinan yang sah tapi juga hubungan darah yang timbul

sebagai suatu akibat hubungan di luar perkawinan sah, sehingga

termasuk dalam ahli waris ab intestato yaitu:

e) Anak Luar Kawin

Dalam KUHPerdata, anak dibagi menjadi anak sah

dan anak luar kawin selanjutnya dalam Undang-Undang

(54)

anak yang lahir dalam dan akibat perkawinan yang sah,

sehingga implikasi lanjutnya adalah memungkinkannya

ayah biologis berbeda dengan ayah yuridis.

Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar

perkawinan yang sah. Anak luar kawin terbagi menjadi 3:

a) Anak zina

Anak yang lahir akibat hubungan laki-laki dan

perempuan yang salah satunya atau kedua-duanya

terikat perkawinan

b) Anak sumbang

Anak yang lahir akibat hubungan laki-laki dan

perempuan yang menurut undang-undang dilarang

menikah satu sama lain

c) Anak alami

Anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki

dan perempuan yang keduanya tidak terikat oleh

perkawinan dengan orang lain. Anak alami bisa

disahkan ketika kedua orang tua biologisnya menikah.

Seandainyapun tidak ada pernikahan antara kedua orang

tua biologisnya, ayah biologis bisa melakukan

pengakuan atas anak tersebut yang menimbulkan

hubungan keperdataan antara bapak biologis dan si

(55)

2) Pewarisan Testamentaire

Hak atas harta peninggalan pewaris dapat juga terjadi

apabila ada wasiat (surat wasiat yang sah), maka yang berlaku

adalah hukum waris testamenter atau hukum waris berdasarkan

wasiat. Hukum waris testamenter atau testamentaire

diberlakukan bagi golongan Timur Asing selain Tiong Hoa24.

Pengaturan awal mengenai pewarisan melalui testamen ini

dikeluarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda dalam

Staatsblad 1924 Nomor. 556 . Ketentuan hukum mengenai ahli waris jenis ini juga dapat ditemukan dalam Pasal 874

KUHPerdata yang menyatakan bahwa:

Segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan ahli warisnya menurut undang-undang, sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak telah diambilnya sesuatu ketetapan yang sah.

Ketentuan di atas menjelaskan bahwa adanya

kemungkinan penentuan lain yang dapat terjadi dalam harta

warisan. Adanya pengaturan ini memungkinkan pewaris dapat

menyerahkan harta warisannya kepada orang tertentu menurut

isi surat wasiatnya25. Pertimbangan hukumnya bahwasanua

24 Staatsblad:

1.S.1920‐305 1920 Daftar Pusat Wasiat (Ordonnantie Op Het Centraal Testarnentenregister) 2.S.1920‐751 1920 Peraturan Tentang Penyelenggaraan Daftar‐Daftar Catatan Sipil Untuk Beberapa Golongan Penduduk Indonesia Jang Tidak Termasuk Dalam Kaula‐Kaula Daerah Swapraja Di Jawa Dan Madura (Reglement Op Het Houden Van De Registers Van De Burgelijken Stand Voor Eenige Groepen Van De Niet Tot De Onderhoorigen Van Een Zelfbestuur Behoorende Ind Bevolking Van Java En Madura)

(56)

setiap orang mempunyai hak atas harta yang ia miliki dan surat

wasiat merupakan “kehendak terakhir” dari si pewaris terhadap

harta warisannya, dengan ketentuan tidak boleh merugikan

bagian ahli waris menurut undang-undang, karena ahli waris

menurut undang-undang memiliki bagian mutlak (Legitime

Portie), yang diatur dalam Pasal 913 KUHPerdata yang sama sekali tidak bisa dilanggar bagiannya, kecuali atas persetujuan

ahli waris.

a) Ahli Waris Testamentaire

Ahli Waris testamenter adalah alih waris yang

mendapatkan hak warisnya berdasarkan testamen pewaris.

Syarat ahli waris testamentair tidak jauh berbeda dengan

ahli waris ab intestato, hanya saja dasar hak mewarisnya

berdasarkan testamen yang sah dan berkekuatan hukum.

b) Testament

Pengertian testament dapat ditemukan dalam Pasal

875 KUHPerdata, testament atau surat wasiat ialah suatu

akta yang dapat memuat pernyataan tentang apa yang

dikehendaki agar terjadi setelah orang tersebut meninggal

dunia dan olehnya dapat dicabut kembali26.

(57)

Hukum Testamen diatur dalam Buku II KUHPerdata

pada titel ke XIII. Testamen mulai memiliki kekuatan

hukum ketika Pewaris sudah meninggal dunia sehingga

selama ia masih hidup, ia masih berhak untuk mengubah

atau mencabut testamentnya. Sehingga dapat dikatakan

bahwa testament akan memiliki kekutan hukum ketika si

Pewaris telah meninggal dunia.

(1) Sifat Testament

(a) Testament adalah perbuatan hukum sepihak, oleh

karena itu jika ada dua orang yang bersama-sama

membuat wasiat yang dituangkan dalam satu

testament untuk menguntungkan pihak ketiga

ataupun untuk saling menguntungkan kedua belah

pihak maka testament tersebut batal demi hukum.27

(b) Testament adalah kehendak terakhir yang dapat

dicabut sewaktu-waktu sebelum pewaris meninggal

dunia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa testamen

akan memiliki kekuatan hukum setelah pembuat

testamen meninggal.

(c) Testament itu merupakan perbuatan hukum yang

sangat pribadi oleh karenanya harus dilakukan

(58)

sendiri oleh testateur dan tidak boleh diserahkan

kepada orang lain atau dikuasakan.

(2) Syarat Umum Pembuatan Testament

Syarat umum ini terkait dengan syarat yang harus

dipenuhi oleh pembuat testamen atau testateur. Testateur

haruslah orang yang sehat budi akalnya28 dimana harus

ada kemampuan untuk menginsyafi segala perbuatannya

serta sehat mentalnya. Dalam hal ini sehat budi akalnya

adalah mereka yang tidak dinyatakan:29

(a) Orang yang sakit ingatan

(b) Orang yang lemah ingatan

(c) Orang yang sakit sehingga tidak bisa berfikir secara

teratur

Haruslah orang yang telah cakap hukum atas dasar

kedewasaan30 ataupun telah menikah31 dan kecakapan

pewaris dinilai menurut keadaan pada saat surat wasiat

dibuat, bukan saat testament berkekuatan hukum/sah/saat

pewaris meninggal.32

(3) Testament Dilihat Dari Isi

28 Pasal 895 KUHPerdata menerangkan bahwa untuk dapat membuat atau menarik kembali

suatu wasiat, orang harus mempunyai kemampuan bernalar.

29

Pasal 895 Kitab Undang‐undang Hukum Perdata

30 Pasal 897: Anakanak di bawah umur yang belum mencapai umur 18(delapan belas) tahun

penuh, tidak diperkenankan membuat surat wasiat, KUHPerdata mengatur kedewasaan 21(duapuluh satu) tahun, pengecualian dalam membuat akta.

31

Pasal 897 Kitab Undang‐undang Hukum Perdata

(59)

(a) Erfstelling

Erfstelling33 penunjukan seseorang atau beberapa orang untuk dijadikan ahli waris yang akan

mendapatkan beberapa bagian dari harta warisan34.

Orang yang ditunjuk tersebut dinamakan

testamentaire erfgendaam atau ahli waris karena wasiat. Dalam erfstelling hanya ditentukan

bagiannya saja misal: A mendapatkan ½ dari harta

warisan, tanpa menyebutkan objek secara khusus

(b) Legaat

Legaat disebut juga hibah wasiat, yaitu: suatu penetapan wasiat yang khusus dimana si pewaris

memberikan satu atau beberapa benda, seluruh

benda dari satu jenis tertentu kepada seseorang atau

lebih. Dijelaskan dalam Pasal 975 KUHPerdata.

Penerima legaat disebut legaataris. Legaataris bukan ahli waris testamenter35, karena ia tidak

mempunyai hak untuk menggantikan pewaris, tetapi

ia mempunyai hak untuk menagih pada ahli waris

agar legaat dilaksanakan. Dalam Legaat bendanya

33

Orang yang menerima erfstaling berkedudukan sama dengan ahli waris ab intestato yang menerima aktiva dan pasiva ”onder algemene”

34 Subekti, 1989, Pokokpokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, hlm. 107 35

(60)

telah ditentukan. Misalnya, A mewasiatkan rumah

di Jalan Mawar No. 1 kepada X.

(4) Testament Dilihat Dari Bentuknya

(a) Olografis Testament

Suatu testament yang ditulis sendiri oleh orang yang

akan meninggalkan warisan dan diserahkan kepada

notaris untuk disimpan dengan dihadiri dua orang

saksi.

Syarat khusus:

1. Ditulis sendiri oleh testateur, diberi tanggal dan

ditandatangani

2. Dibawa dan diserahkan kepada notaris setempat

oleh testateur sendiri

3. Penyerahan dapat dilakukan secara terbuka atau

tertutup (amplop)

4. Notaris yang menerima surat wasiat tersebut

kemudian akan membuat akta penyimpanan/

Acte Van Depot

5. Jika akta diserahkan secara terbuka, maka Acte

Van Depot akan ditulis di balik surat wasiat tersebut, namun jika diserahkan secara tertutup

(61)

testatur, dua orang saksi, dan notaris yang

bersangkutan.

6. Kemudian surat wasiat akan disimpan di antara

akta-akta notaris yang lain

(b)Openbaar Testament

Testament yang dibuat oleh seorang notaris dimana

orang yang akan meninggalkan warisan menghadap

kepada notaris dan menyatakan kehendaknya

kepada notaris tersebut dengan dihadiri dua orang

saksi.

Syarat khusus:

1. Testamen yang dibuat oleh notaris dan dihadiri

dua orang saksi

2. Testateur menghadap notaris dan menceritakan

keadaan serta keinginan terakhir.

3. Penuturan36 testateur akan dicatat oleh notaris

4. Penuturan bisa dihadapan saksi atau diluar

kehadiran saksi

5. Sebelum notaris membacakan isi rumusan,

testateur untuk kedua kalinya menceri

Gambar

Gambar 1
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 6
+7

Referensi

Dokumen terkait

Yang dimaksud dengan “asas partisipasi” adalah bahwa menempatkan masyarakat hukum adat di Indonesia sebagai warga Negara Indonesia, yang menjadi subjek utama dalam politik

Namun, proses yang paling berpengaruh terhadap peningkatan minat beli sampo Pantene adalah dengan daya tarik iklan yang mempengaruhi efektivitas iklan sebagai

pelaksanaan pengelolaan Keuangan Haji kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Ralryat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh badan pelaksana paling lambat

Hal tersebut dapat dilihat dari persentase yang didapatkan pada saat uji coba pengguna dengan persentase sebesar 83,33% dan untuk persentase respons mahasiswa

Dengan proses verifikasi peserta yang lebih kuat, diharapkan mereka yang menjadi peserta Kartu Prakerja 2021 adalah kelompok masyarakat 40 persen terbawah atau masyarakat

Ketika kamu mengatur sistem, cobalah menghindari menempatkan perkakas lain diantara speaker dan posisi melihat atau mendengar atau secara langsung didepan speaker karena hal in

Buku Panduan Mahasiswa (BPM) Blok 4.7.14 ini terdiri dari beberapa mata ajar yang tidak terintegrasi yang terhimpun dalam blok ini, antara lain mata ajar Ilmu Kesehatan Gigi

Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dalam memberikan pelayanan peradilan kepada masyarakat pencari keadilan selalu berusaha