BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Konsep Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pertama kali dicetuskan di
Inggris pada tahun 1911 (ILO, 2007) yang didasarkan pada mekanisme asuransi
kesehatan sosial dan pertama kali diselenggarakan di Jerman tahun 1883 (Schramm,
2004). Di Indonesia Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN),
diundangkan pada tanggal 19 Oktober 2004 melalui Rapat Pleno DPR. UU SJSN ini
memuat salah satu isinya adalah JKN.
Undang-undang (SJSN) No. 40/2004 disebutkan bahwa jaminan pemeliharaan
kesehatan penduduk fakir miskin dan orang tidak mampu menjadi tanggung jawab
pemerintah. Melalui undang-undang ini memberikan landasan hukum tentang
kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya secara layak. Selain itu, dalam UU No. 32/2004
tentang Otonomi Daerah telah memberikan kewenangan yang lebih luas kepada
pemerintah kabupaten/kota untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
melalui dinas kesehatan. Namun urusan pemerintahan dibidang kesehatan tetap
merupakan urusan bersama (concurrent function) antara pemerintah pusat dan
pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan keputusan menteri kesehatan
Dinas kesehatan sebagai unit pelaksana teknis yang bertanggung jawab di
sektor kesehatan di kabupaten/kota harus memiliki kemampuan menjalankan fungsi
manajemen terutama fungsi perencanaan dan penganggaran, sehingga program dan
kegiatan kesehatan dapat mencapai sasaran yang diharapkan. Hal ini terkait dengan
Peraturan Pemerintah (PP) No. 38/2007 disebutkan bahwa salah satu urusan wajib
kabupaten/kota adalah urusan kesehatan.
Untuk menjalankan amanat UU No.40/2004 dan UU No. 32/2004, menuju
tercapainya jaminan kesehatan bagi semua penduduk (universal health coverage)
maka pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus mengupayakan sumber dana
pembiayaan. Sumber dana pembiayaan program dan kegiatan selama ini berasal dari
Dana Alokasi umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dana dekonsentrasi
melalui Dinas Kesehatan Provinsi serta dana hibah dari Bank Dunia melalui proyek
HWS Health Workforce (Service) yang digunakan untuk melaksanakan fungsi
sebagai service provider dalam mengembangkan dan mengimplementasikan
kebijakan JKN sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS).
Mendukung pelaksanaan tersebut, Kementerian Kesehatan memberikan
prioritas kepada jaminan kesehatan dalam reformasi kesehatan. Kementerian
Kesehatan mengupayakan suatu regulasi berupa Peraturan Menteri, yang akan
menjadi payung hukum untuk mengatur pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan
tingkat pertama, dan pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan rujukan tingkat
pelayanan obat serta bahan medis habis pakai untuk peserta Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) (Permenkes RI No. 71, 2013).
Salah satu fasilitas kesehatan primer adalah Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas). Puskesmas merupakan sebuah organisasi di bawah Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia yang berfungsi menyediakan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat di tingkat kecamatan atau daerah (district). Pelayanan yang
ditawarkan bersifat menyeluruh, terpadu, dapat diterima dan dijangkau oleh
masyarakat. Rata-rata jumlah penduduk yang memperoleh pelayanan sebuah
puskesmas biasanya mencapai 25,000-30,000 orang dalam sebuah wilayah pelayanan
(Depkes RI, 2001)
Puskesmas sebagai pusat pelayanan kesehatan dasar tingkat pertama (fasilitas
kesehatan primer) memberikan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non
spesialistik (primer) meliputi pelayanan rawat jalan dan rawat inap. Ini berarti
puskesmas harus berusaha menyediakan pelayanan kesehatan tingkat dasar yang
bersifat holistik, komprehensif, terpadu dan terus menerus kepada masyarakat baik di
perkotaan maupun di pedesaan. Menurut panduan penyelenggaraan puskesmas di era
desentralisasi, pembangunan kesehatan Indonesia mewujudkan lingkungan dan gaya
hidup yang sehat, memiliki upaya untuk mencapai taraf pelayanan kesehatan yang
berkualitas, adil, dan menyeluruh menuju pencapaian derajat kesehatan yang sangat
tinggi (Depkes RI, 2001).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013
tingkat pertama adalah puskesmas atau setara yang bekerja sama dengan BPJS
kesehatan harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan komprehensif berupa
pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, pelayanan kebidanan,
dan pelayanan kesehatan darurat medis, termasuk pelayanan penunjang meliputi
pemeriksaan laboratorium sederhana dan pelayanan kefarmasian sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2014, puskesmas sebagai pelayanan kesehatan publik dalam era BPJS diberikan
wewenang kesehatan layanan primer mencakup 144 macam diagnosis penyakit
dengan alur klinis (clinical pathway) yang sudah disusun organisasi profesi terkait.
Hal ini memberikan makna bahwa puskesmas sebagai Pemberi Pelayanan Kesehatan
(PPK) tingkat pertama wajib menangani pelayanan kesehatan mencakup 144 jenis
diagnosis penyakit dan tidak boleh dirujuk ke PPK 2 atau PPK 3 kecuali memenuhi
kondisi TACCC (time, age, complication, comorbidity, condition). Bila PPK 2 dan
PPK 3 menangani kasus dengan diagnosis tersebut dan tidak memenuhi kondisi
TACCC berarti juga tidak akan dibayar oleh BPJS.
Mendukung puskesmas sebagai PPK tingkat pertama dalam implementasi
JKN dinas kesehatan sebagai pelaksana bidang pembangunan kesehatan mempunyai
wewenang terhadap penyediaan dan pengelolaan obat pelayanan kesehatan dasar, alat
kesehatan, reagensia dan vaksin skala kabupaten/kota. Sumber biaya anggaran obat di
kabupaten/kota dapat diambil dari dana APBD II (DAU), APBD I, Askes, buffer stok
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
679/MENKES/SK/V/2005 tentang pedoman umum pengadaan obat publik untuk
Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) dalam rangka meningkatkan penggunaan obat
generik di sektor pemerintah menekankan bahwa pada prinsipnya pengadaan obat
untuk PKD yaitu: ”mutu obat terjamin, memenuhi kriteria, khasiat, keamanan dan
keabsahan obat serta mempunyai izin edar (nomor registrasi), menerapkan konsepsi
obat esensial dan dilaksanakan melalui Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang
mempunyai izin dari Depkes yang masih berlaku” (Depkes RI, 2006).
Dinas Kesehatan Kota Medan selaku pelaksana teknis bidang pembangunan
kesehatan membawahi 39 puskesmas (12 Puskesmas rawat inap dan 27 Puskesmas
rawat jalan) dan 41 Puskesmas Pembantu (Pustu) pada 21 kecamatan harus mampu
memenuhi kebutuhan obat publik pada setiap puskesmas. Selama ini perencanaan
kebutuhan obat puskesmas mengacu pada penggunaan obat tahun sebelumnya untuk
setiap tahunnya. Kebutuhan obat puskesmas tersebut skala prioritasnya mengacu
kepada 10 penyakit terbesar pada puskesmas. Kemudian kebutuhan obat puskesmas
disampaikan melalui Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) ke
instalasi farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan dan pengadaan jenis dan itemnya
merujuk pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN).
Sedangkan pengadaan kebutuhan obat puskesmas tahun 2013 mengacu
kepada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2013
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Obat dengan Prosedur E-Purchasing
Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (LPSE) atau E-catalog secara
on line pada website pelelangan elektronik dan pengadaannya dilaksanakan oleh
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Melalui sistem
E-catalog obat ini maka Kementerian/Lembaga/Dinas/Instansi (K/L/D/I) tidak perlu
melakukan proses pelelangan, namun dapat langsung memanfaatkan sistem
E-catalog obat dalam pengadaan obat dengan prosedur E-Purchasing.
Pengadaan obat dengan sistem E-catalog ini maka jenis, jumlah dan harganya
telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan yang ditayangkan di portal pengadaan
nasional serta pengadaan jenis dan itemnya merujuk pada Formularium Nasional
(Fornas). Daftar obat ini digunakan sebagai acuan untuk penulisan resep dalam sistem
JKN. Kemudian Tim perencana obat dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)
menyusun rencana kebutuhan obat disesuaikan dengan ketersediaan anggaran. Tim
perencana obat dan rencana kebutuhan obat yang akan diadakan tersebut
ditandatangani oleh PPTK dan penanggung jawab bidang kefarmasian.
Mengacu kepada Permenkes Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 bahwa
puskesmas dalam era BPJS diberikan wewenang kesehatan layanan primer mencakup
144 macam diagnosis penyakit maka seharusnya kebutuhan obat di puskesmas
disesuaikan dengan 144 macam diagnosis penyakit, namun sewaktu dilakukan
pemesanan kebutuhan obat pada tahun 2013 kebutuhan obat belum sepenuhnya
mengacu kepada 144 macam diagnosis penyakit.
Berdasarkan survei pendahuluan pada Dinas Kesehatan Kota Medan diperoleh
ini dilihat dari kebutuhan obat yang telah ditetapkan untuk dipesan pada awalnya
sebanyak 125 item ternyata setelah disesuaikan dengan E-catalog hanya 93 item
kebutuhan obat yang dapat dipesan. Pada saat pengadaan kebutuhan obat ternyata
hanya 69 item obat (74,2%) yang terealisasi selebihnya belum terealisasi. Penyebab
ketidaksesuaian kebutuhan dengan realisasi obat ini diantaranya adalah; (a) sewaktu
pemesanan kebutuhan obat melaui E-catalog ternyata tidak semua item obat yang
dibutuhkan tertera (terdaftar) pada E-catalog, (b) kebutuhan obat yang telah dipesan
sesuai dengan E-catalog tidak seluruhnya pula terealisasi.
Disamping itu jika diasumsikan kebutuhan obat mengacu kepada 144 macam
diagnosis penyakit maka estimasi kebutuhan obat sebanyak 432 item. Sementara
sampai dengan bulan Maret 2014 ketersediaan obat di instalasi farmasi Dinas
Kesehatan Kota Medan hanya sebanyak 250 item. Ketersediaan obat di instalasi
farmasi Kota Medan yang belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan dikhawatirkan
secara jangka panjang berdampak terhadap kebutuhan obat di Puskesmas sebagai
PPK-I .
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa petugas obat di puskesmas
mengeluhkan ketersediaan obat ini, karena ketersediaan obat di instalasi farmasi
Dinas Kesehatan Kota Medan tidak sesuai lagi dengan LPLPO kebutuhan puskesmas,
sehingga pasien pengguna obat di puskesmas menerima jumlah dan jenis obat yang
diresepkan oleh dokter untuk kebutuhan obat seminggu hanya bisa diberikan untuk
kebutuhan obat selama 2-3 hari saja.
Dinas kesehatan Kota Medan dan puskesmas sebagai pelayan publik dalam
dengan masyarakat yang menjadi bagian pelaksana program JKN kerap mendapat
kritikan dari masyarakat. Citra negatif tentang birokrasi publik maupun rendahnya
kualitas pelayanan publik tercermin pada maraknya tanggapan, keluhan dan cibiran di
berbagai media cetak dan elektronik.
Upaya yang dilakukan Dinas kesehatan Kota Medan adalah mendistribusikan
obat dengan cara membagi obat secara merata sesuai dengan realisasi kebutuhan obat
yang diterima oleh instalasi farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan ke seluruh
puskesmas.
Hasil penelitian Sunarsih (2002) menyimpulkan bahwa (a) pola penggunaan
obat pada terapi 5 penyakit utama (ISPA, infeksi usus, infeksi kulit, alergi kulit,
sistim otot dan jaringan pengikat) sangat tergantung pada ketersediaan obat di
Puskesmas, (b) pola penggunaan obat belum sesuai dengan pedoman pengobatan
dasar di Puskesmas walaupun penerapan yang dilakukan menggunakan obat esensial,
(c) perubahan ketersediaan obat di gudang farmasi kota dan di Puskesmas
berpengaruh terhadap pola penggunaan obat pada terapi ISPA, infeksi kulit dan alergi
kulit, yakni peningkatan penggunaan antibiotik, penggunaan injeksi dan rata-rata
jumlah item obat.
Adanya kebijakan SJSN dan BPJS sebagai penyelenggara JKN terkait dengan
Puskesmas sebagai PPK I serta Dinas Kesehatan Kota Medan sebagai pelaksana
bidang pembangunan kesehatan maka perlu dikaji tentang ”Analisis Perencanaan
Kebutuhan Obat dalam Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional di
1.2. Permasalahan
Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perencanaan
kebutuhan obat dalam implementasi kebijakan jaminan kesehatan nasional di Instalasi
Farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan.
1.3. Tujuan Penelitian
Mengetahui perencanaan kebutuhan obat dalam implementasi kebijakan
jaminan kesehatan nasional di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan bermanfaat bagi;
1. Dinas Kesehatan Kota Medan sebagai masukan tentang kebijakan perencanaan
kebutuhan obat puskesmas secara efektif dan efisien.
2. BPJS dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai penyelenggara
jaminan sosial melalui Jaminan Kesehatan Nasional.
3. Akademik, memperkaya khasanah ilmu pengetahuan administrasi dan kebijakan