ANALISIS PERENCANAAN KEBUTUHAN OBAT DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN
NASIONAL DI INSTALASI FARMASI DINAS KESEHATAN KOTA MEDAN
T E S I S
Oleh
SANTI MERIANI SIMANULLANG 127032040/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
THE ANALYSIS OF MEDICATION NEED PLANNING IN THE NATIONAL HEALTH INSURANCE POLICY IMPLEMENTATION IN THE
PHARMACEUTICAL INSTALLATION OF MEDAN CITY HEALTH SERVICE
THESIS
BY
SANTI MERIANI SIMANULLANG 127032040/IKM
MAGISTER OF PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN
ANALISIS PERENCANAAN KEBUTUHAN OBAT DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN
NASIONAL DI INSTALASI FARMASI DINAS KESEHATAN KOTA MEDAN
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
SANTI MERIANI SIMANULLANG 127032040/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : ANALISIS PERENCANAAN KEBUTUHAN OBAT DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI
INSTALASI FARMASI DINAS KESEHATAN KOTA MEDAN
Nama Mahasiswa : Santi Meriani Simanullang Nomor Induk Mahasiswa : 127032040
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Juanita, S.E, M.Kes) (
Ketua Anggota
Dra. Jumirah, Apt, M.Kes)
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Telah diuji
Pada Tanggal : 21 Agustus 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Juanita, S.E, M.Kes Anggota : 1. Dra. Jumirah, Apt, M.Kes
2. dr. Fauzi, S.K.M
PERNYATAAN
ANALISIS PERENCANAAN KEBUTUHAN OBAT DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN
NASIONAL DI INSTALASI FARMASI DINAS KESEHATAN KOTA MEDAN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Oktober 2014
ABSTRAK
Obat merupakan komponen esensial dari suatu pelayanan kesehatan. Tanggungjawab pengadaan obat esensial untuk pelayanan kesehatan dasar merupakan tanggungjawab pemerintah daerah. Dinas Kesehatan Kota Medan memiliki permasalahan dalam ketersediaan obat pada tahun 2013, pada saat pengadaan kebutuhan obat ternyata hanya 69 item obat (74,2%) yang terealisasi, sehingga kebutuhan obat tidak sesuai dengan permintaan obat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perencanaan kebutuhan obat dalam implementasi kebijakan JKN di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan. Jenis penelitian survei dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan bulan April sampai dengan Juni 2014. Informan dalam penelitian ini adalah unsur dari Dinas Kesehatan dan unsur dari Puskesmas Kota Medan berjumlah 16 orang. Data diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam menggunakan kuesioner, dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (a) perencanaan kebutuhan obat di instalasi farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan dalam implementasi JKN belum sepenuhnya sesuai dengan pedoman teknis pengadaan obat dan perbekalan kesehatan, (b) sumber data berdasarkan LPLPO dan usulan permintaan obat Puskesmas belum sepenuhnya dapat mengakomodir data pemakaian obat Puskesmas dalam perencanaan kebutuhan obat, (c) pengadaan kebutuhan obat mengacu kepada Perpres No 70 tahun 2012, pedoman tekhnis pelaksanaan obat publik, purchasing dan E-catalog serta rujukan obat mengacu pada Formularium Nasional (Fornas), dan (d) petugas obat Puskesmas tidak secara jelas mengetahui tentang 144 diagnosa penyakit merupakan layanan Puskesmas, dan perihal biaya apa saja yang ditanggung oleh BPJS kalau peserta JKN berobat ke Puskesmas.
Disarankan kepada: (1) Dinas Kesehatan Kota Medan untuk (a) mengupayakan pembentukan tim perencana obat melalui pembentukan tim secara
khusus melibatkan pengelola obat Puskesmas dan petugas BPJS dalam implementasi JKN, (b) meningkatkan peran Puskesmas, apoteker dan dokter melalui Komite Farmasi dan Terapi (KFT) untuk pengadaan obat dalam era JKN, (c) mengupayakan pelatihan perencanaan kebutuhan obat bagi petugas obat Puskesmas dalam merencanakan kebutuhan obat, (d) memfasilitasi pertemuan bulanan dengan pengelola obat Puskesams untuk membahas perencanaan kebutuhan obat, (e) mengupayakan pengadaan kebutuhan obat yang tidak tercantum pada E-catalog melalui peningkatan komunikasi dengan LKPP secara rutin. (2) Pimpinan Puskesmas untuk meningkatkan sosialisasi pada petugas obat khususnya dan seluruh petugas kesehatan umumnya tentang SJSN, BPJS, JKN di lingkungan Puskesmas.
ABSTRACT
Medication is an essential component of a health service. Responsibility for medication provision is essential for the basic health service and under the responsibility of local government. Medan City Health Service had problems with the availability of medication in 2013, when doing medication provision, only 69 items of medication (74.2%) were realized that the need for medication was not in accordance with its demand.
The purpose of this survey study with qualitative approach conducted from April to June 2014 was to find out the medication need planning in the National Health Insurance (JKN) implementation in the Pharmaceutical Installation of Medan City Health Service. The 16 informants for this study were selected from the staff of Health Service and Puskesmas Kota Medan. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews. The data obtained were qualitatively analyzed.
The result of this study showed that (a) the medication need planning in the Pharmaceutical Installation of Medan City Health Service during the JKN implementation has not yet fully in accordance with the technical guidelines for the procurement of medicines and medical supplies, (b) the data resources were based on LPLPO and the proposal for medication demand for Puskesmas (Community Health Center) in the medication need planning, (c) medication need procurement was referred to Presidential Regulation No. 70/2012, technical guidance of medication procurement, E-purchasing and E-catalog and drug reference referred to fornas National Formularium (Fornas), and (d) the medication staff of Puskesmas did not clearly know about the 144 diagnoses of disease under the service of Puskesmas, and the cost borne by BPJS if the JKN participants came to the Puskesmas for treatment.
It is suggested that (1) Medan City Health Service (a) to establish a medication planning team referring to the Regulation of Minister of Health on the guideline for public medication management and health supplies through the establishment of inter-sectoral team involving the medication manager of Puskesmas and the staff of BPJS in JKN implementation, (b) to facilitate trainings on medication need planning for the medication staff of Puskesmas in order to improve the knowledge and ability in planning medication need, (c) to facilitate monthly meeting with the medication manager to discuss the planning for the need of medication, to evaluate the use of medication and to provide guidance to the medication manager of Puskesmas, (d) to try to provide the medication needed that was not included in the e-catalog through routinely improving the communication with LKPP, (2) the Head of Puskesmas is suggested to increase the socialization of SJSN, BPJS, JKN to the medication staff in particular and all of the health workers working for Puskesmas in general.
KATA PENGANTAR
Segala Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul "Analisis
Perencanaan Kebutuhan Obat dalam Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan ".
Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk
menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat
Studi Administrasi Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara.
Penulis, dalam menyusun tesis ini mendapat bantuan, dorongan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) sebagai Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara.
3. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
4. Dr. Juanita, S.E, M.Kes selaku ketua komisi pembimbing dan Dra. Jumirah, Apt,
kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk
membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.
5. Dr. Fauzi, S.K.M, dan Dr. Rumondang Pulungan, M.Kes, selaku komisi penguji
tesis yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan
meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga
penulisan tesis selesai.
6. Drg. Hj. Usma Polita Nasution, M.Kes., selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota
Medan yang telah mengijinkan penulis mengikuti pendidikan pada Program
Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.
7. Dirgo Dirhamsyah, SKM, M.Kes., selaku kepala Bidang Jaminan Kesehatan,
Kefarmasian dan Sarana Kesehatan dan seluruh rekan-rekan kerja di Dinas
Kesehatan Kota Medan yang mendukung dan memberi semangat bagi penulis
untuk menyelesaikan Tesis ini.
8. Para dosen, staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan Program Studi S2
Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan
Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
9. Ucapan terima kasih yang tulus saya tujukan kepada Ayahanda M.I. Manullang
dan Ibunda S. Situmorang atas kasih sayang dan pengorbanan yang tiada pernah
berhenti.
10. Suami tercinta Karles Boston Hutauruk, SP., yang telah mengijinkan dan
memberi dukungan moril dan materil serta doa dan penuh kesabaran kepada
11. Bapak N.S. Hutauruk dan keluarga besar Hutauruk yang mendukung dan
memberi semangat bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
12. Bapak Drs. Rusmanto, Apt., Dr. Shereivia, Salmon Sembiring, M. Kes, yang telah
membantu memberi masukan dan mendukung penulis untuk menyelesaikan tesis
ini.
13. Seluruh keluarga dan sahabat tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah
mendukung dan memberi semangat bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
14. Seluruh rekan-rekan mahasiswa di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
khususnya minat studi Administrasi Kebijakan Kesehatan angkatan 2012 serta
semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu
penulis dalam proses penulisan tesis ini.
Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang
membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan,
semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan
pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.
Medan, Oktober 2014 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Santi Meriani Simanullang, lahir pada tanggal 10 Juni 1980, anak pertama
dari tujuh bersaudara dari pasangan Ayahanda M.I. Manullang dan Ibunda S.
Situmorang.
Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan sekolah dasar di Sekolah
Dasar St. Thomas 3 Palipi, selesai Tahun 1992, Sekolah Menengah Pertama di SMP
Negeri 1 Palipi, selesai Tahun 1995, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 4
Medan, selesai tahun 1998. Fakultas Farmasi di Universitas Sumatera Utara, selesai
Tahun 2003.
Mulai bekerja sebagai Apoteker Penelitian dan Pengembangan di PT Varse
tahun 2004 sampai tahun 2005, Apoteker CPNS di Rumah Sakit Umum Daerah
Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 2006 sampai tahun 2007, Apoteker PNS di Dinas
Kesehatan Kabupaten Dairi tahun 2007 sampai 2008, Apoteker di Dinas Kesehatan
Kota Medan tahun 2008 sampai sekarang.
Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xii
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Permasalahan ... 9
1.3 Tujuan Penelitian ... 9
1.4 Manfaat Penelitian ... 9
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1 Jaminan Kesehatan Nasional... 10
2.1.1 Pengertian Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ... 10
2.1.2 Tujuan dan Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional ... 11
2.1.3 Prinsip Jaminan Kesehatan Nasional ... 11
2.1.4 Program Jaminan Kesehatan Nasional ... 13
2.2 Obat ... 17
2.2.1 Pengertian Obat ... 17
2.2.2 Peran Obat ... 17
2.2.3 Penggolongan Obat ... 18
2.3 Obat Nama Generik... 21
2.3.1 Pengertian Obat Generik ... 21
2.3.2 Pengenalan Obat Generik ... 21
2.3.3 Manfaat Obat Generik ... 22
2.3.4 Kebijakan Obat Generik ... 22
2.3.5 Faktor yang Menghambat Masyarakat Terhadap Obat Generik ... 23
2.4 Dasar Kebijakan Umum Obat ... 25
2.5 Manajemen Logistik Obat ... 27
2.6 Perencanaan Kebutuhan Obat Publik ... 30
2.7 Puskesmas ... 41
2.7.1 Pengertian Puskesmas ... 41
2.7.2 Fungsi Puskesmas ... 43
2.7.3 Program Puskesmas ... 43
2.8 Landasan Teori ... 44
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 46
3.1 Jenis Penelitian ... 46
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 46
3.2.1 Lokasi Penelitian ... 46
3.2.2 Waktu Penelitian ... 46
3.3 Informan ... 46
3.4 Fokus Penelitian ... 47
3.5 Jenis dan Sumber Data ... 48
3.6 Instrumen Penelitian ... 48
3.7 Metode Pengumpulan Data ... 48
3.8 Metode Analisis Data ... 49
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 50
4.1 Gambaran Umum Dinas Kesehatan Kota Medan ... 50
4.2 Karakteristik Informan ... 51
4.3 Perencanaan Kebutuhan Obat dalam Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional... 52
4.3.1 Data Dasar dan Sumber Data yang dibutuhkan Merencanakan Kebutuhan Obat Puskesmas ... 52
4.3.2 Pemilihan Jenis dan Jumlah Obat ... 55
4.3.3 Proses Perencanaan Kebutuhan Obat ... 58
4.3.4 Penetapan Kebutuhan Obat ... 62
4.3.5 Pengadaan Obat ... 65
4.4 Petugas Obat Puskesmas ... 68
4.4.1 Biaya yang Ditanggung BPJS untuk Pelayanan JKN di Puskesmas ... 68
4.4.2 Pemenuhan Kebutuhan Obat Puskesmas Sebagai PKD dalam Era JKN ... 70
4.4.3 144 Diagnosa Penyakit Merupakan Layanan Puskesmas dalam Era JKN ... 72
4.4.4 Tanggapan tentang Kapitasi yang Dibayarkan BPJS ... 74
BAB 5. PEMBAHASAN ... 77
5.1 Perencanaan Kebutuhan Obat dalam Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan ... 77
5.1.1 Data Dasar dan Sumber Data yang dibutuhkan Merencanakan Kebutuhan Obat Puskesmas ... 77
5.1.2 Pemilihan Jenis dan Jumlah Obat ... 79
5.1.3 Proses Perencanaan Kebutuhan Obat ... 81
5.1.4 Penetapan Kebutuhan Obat ... 84
5.1.6 Biaya yang Ditanggung BPJS untuk Pelayanan JKN di
Puskesmas ... 87
5.1.7 Pemenuhan Kebutuhan Obat Puskesmas Sebagai PKD dalam Era JKN ... 89
5.1.8. 144 Diagnosa Penyakit Merupakan Layanan Puskesmas dalam Era JKN ... 89
5.1.9. Tanggapan tentang Kapitasi yang Dibayarkan BPJS ... 90
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 92
6.1 Kesimpulan ... 92
6.2 Saran ... 92
DAFTAR PUSTAKA ... 94
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
4.1 Karakteristik Informan Berdasarkan Unit Tugas ... 51
4.2 Matrik Jawaban Informan tentang Data Dasar dan Sumber Data yang dibutuhkan ... 53
4.3 Matrik Jawaban Informan Triangulasi tentang Data Dasar dan Sumber Data yang dibutuhkan ... 54
4.4. Matrik Jawaban Informan tentang Pemilihan Jenis dan Jumlah Obat ... 56
4.5 Matrik Jawaban Informan Triangulasi tentang Pemilihan Jenis dan Jumlah Obat ... 57
4.6 Matrik Jawaban Informan tentang Proses Perencanaan Kebutuhan Obat .. 59
4.7 Matrik Jawaban Informan Triangulasi tentang Proses Perencanaan Kebutuhan Obat ... 62
4.8 Matrik Jawaban Informan tentang Penetapan Kebutuhan Obat ... 63
4.9 Matrik Jawaban Informan Triangulasi tentang Penetapan Kebutuhan Obat ... 64
4.10 Matrik Jawaban Informan tentang Pengadaan Obat ... 65
4.11 Matrik Jawaban Informan Triangulasi tentang Pengadaan Obat ... 67
4.12 Matrik Jawaban Informan tentang Biaya yang Ditanggung BPJS untuk Pelayanan JKN di Puskesmas ... 69
4.13 Matrik Jawaban Informan Triangulasi tentang Biaya yang Ditanggung BPJS untuk Pelayanan JKN di Puskesmas ... 70
4.14 Matrik Jawaban Informan tentang Pemenuhan Kebutuhan Obat Puskesmas sebagai PKD dalam Era JKN ... 71
4.16 Matrik Jawaban Informan tentang 144 Diagnosa Penyakit Merupakan Layanan Puskesmas dalam Era JKN ... 73
4.17 Matrik Jawaban Informan Triangulasi tentang 144 Diagnosa Penyakit Merupakan Layanan Puskesmas dalam Era JKN ... 74
4.18 Matrik Jawaban Informan tentang Kapitasi yang Dibayarkan BPJS ... 75
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
2.1 Prosedur Pengadaan Obat Sebelum dan Setelah E-catalog ... 38
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1 Pedoman Wawancara ... 97
2 Matrik Jawaban Informan ... 99
3 Surat izin penelitian dari Program Studi S2 IKM FKM USU Medan ... 111
4 Surat izin selesai penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Medan ... 112
5. Dokumentasi Penelitian ... 154
6. Surat Izin Penelitian dari Pascasarjana USU ... 155
ABSTRAK
Obat merupakan komponen esensial dari suatu pelayanan kesehatan. Tanggungjawab pengadaan obat esensial untuk pelayanan kesehatan dasar merupakan tanggungjawab pemerintah daerah. Dinas Kesehatan Kota Medan memiliki permasalahan dalam ketersediaan obat pada tahun 2013, pada saat pengadaan kebutuhan obat ternyata hanya 69 item obat (74,2%) yang terealisasi, sehingga kebutuhan obat tidak sesuai dengan permintaan obat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perencanaan kebutuhan obat dalam implementasi kebijakan JKN di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan. Jenis penelitian survei dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan bulan April sampai dengan Juni 2014. Informan dalam penelitian ini adalah unsur dari Dinas Kesehatan dan unsur dari Puskesmas Kota Medan berjumlah 16 orang. Data diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam menggunakan kuesioner, dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (a) perencanaan kebutuhan obat di instalasi farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan dalam implementasi JKN belum sepenuhnya sesuai dengan pedoman teknis pengadaan obat dan perbekalan kesehatan, (b) sumber data berdasarkan LPLPO dan usulan permintaan obat Puskesmas belum sepenuhnya dapat mengakomodir data pemakaian obat Puskesmas dalam perencanaan kebutuhan obat, (c) pengadaan kebutuhan obat mengacu kepada Perpres No 70 tahun 2012, pedoman tekhnis pelaksanaan obat publik, purchasing dan E-catalog serta rujukan obat mengacu pada Formularium Nasional (Fornas), dan (d) petugas obat Puskesmas tidak secara jelas mengetahui tentang 144 diagnosa penyakit merupakan layanan Puskesmas, dan perihal biaya apa saja yang ditanggung oleh BPJS kalau peserta JKN berobat ke Puskesmas.
Disarankan kepada: (1) Dinas Kesehatan Kota Medan untuk (a) mengupayakan pembentukan tim perencana obat melalui pembentukan tim secara
khusus melibatkan pengelola obat Puskesmas dan petugas BPJS dalam implementasi JKN, (b) meningkatkan peran Puskesmas, apoteker dan dokter melalui Komite Farmasi dan Terapi (KFT) untuk pengadaan obat dalam era JKN, (c) mengupayakan pelatihan perencanaan kebutuhan obat bagi petugas obat Puskesmas dalam merencanakan kebutuhan obat, (d) memfasilitasi pertemuan bulanan dengan pengelola obat Puskesams untuk membahas perencanaan kebutuhan obat, (e) mengupayakan pengadaan kebutuhan obat yang tidak tercantum pada E-catalog melalui peningkatan komunikasi dengan LKPP secara rutin. (2) Pimpinan Puskesmas untuk meningkatkan sosialisasi pada petugas obat khususnya dan seluruh petugas kesehatan umumnya tentang SJSN, BPJS, JKN di lingkungan Puskesmas.
ABSTRACT
Medication is an essential component of a health service. Responsibility for medication provision is essential for the basic health service and under the responsibility of local government. Medan City Health Service had problems with the availability of medication in 2013, when doing medication provision, only 69 items of medication (74.2%) were realized that the need for medication was not in accordance with its demand.
The purpose of this survey study with qualitative approach conducted from April to June 2014 was to find out the medication need planning in the National Health Insurance (JKN) implementation in the Pharmaceutical Installation of Medan City Health Service. The 16 informants for this study were selected from the staff of Health Service and Puskesmas Kota Medan. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews. The data obtained were qualitatively analyzed.
The result of this study showed that (a) the medication need planning in the Pharmaceutical Installation of Medan City Health Service during the JKN implementation has not yet fully in accordance with the technical guidelines for the procurement of medicines and medical supplies, (b) the data resources were based on LPLPO and the proposal for medication demand for Puskesmas (Community Health Center) in the medication need planning, (c) medication need procurement was referred to Presidential Regulation No. 70/2012, technical guidance of medication procurement, E-purchasing and E-catalog and drug reference referred to fornas National Formularium (Fornas), and (d) the medication staff of Puskesmas did not clearly know about the 144 diagnoses of disease under the service of Puskesmas, and the cost borne by BPJS if the JKN participants came to the Puskesmas for treatment.
It is suggested that (1) Medan City Health Service (a) to establish a medication planning team referring to the Regulation of Minister of Health on the guideline for public medication management and health supplies through the establishment of inter-sectoral team involving the medication manager of Puskesmas and the staff of BPJS in JKN implementation, (b) to facilitate trainings on medication need planning for the medication staff of Puskesmas in order to improve the knowledge and ability in planning medication need, (c) to facilitate monthly meeting with the medication manager to discuss the planning for the need of medication, to evaluate the use of medication and to provide guidance to the medication manager of Puskesmas, (d) to try to provide the medication needed that was not included in the e-catalog through routinely improving the communication with LKPP, (2) the Head of Puskesmas is suggested to increase the socialization of SJSN, BPJS, JKN to the medication staff in particular and all of the health workers working for Puskesmas in general.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Konsep Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pertama kali dicetuskan di
Inggris pada tahun 1911 (ILO, 2007) yang didasarkan pada mekanisme asuransi
kesehatan sosial dan pertama kali diselenggarakan di Jerman tahun 1883 (Schramm,
2004). Di Indonesia Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN),
diundangkan pada tanggal 19 Oktober 2004 melalui Rapat Pleno DPR. UU SJSN ini
memuat salah satu isinya adalah JKN.
Undang-undang (SJSN) No. 40/2004 disebutkan bahwa jaminan pemeliharaan
kesehatan penduduk fakir miskin dan orang tidak mampu menjadi tanggung jawab
pemerintah. Melalui undang-undang ini memberikan landasan hukum tentang
kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya secara layak. Selain itu, dalam UU No. 32/2004
tentang Otonomi Daerah telah memberikan kewenangan yang lebih luas kepada
pemerintah kabupaten/kota untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
melalui dinas kesehatan. Namun urusan pemerintahan dibidang kesehatan tetap
merupakan urusan bersama (concurrent function) antara pemerintah pusat dan
pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan keputusan menteri kesehatan
Dinas kesehatan sebagai unit pelaksana teknis yang bertanggung jawab di
sektor kesehatan di kabupaten/kota harus memiliki kemampuan menjalankan fungsi
manajemen terutama fungsi perencanaan dan penganggaran, sehingga program dan
kegiatan kesehatan dapat mencapai sasaran yang diharapkan. Hal ini terkait dengan
Peraturan Pemerintah (PP) No. 38/2007 disebutkan bahwa salah satu urusan wajib
kabupaten/kota adalah urusan kesehatan.
Untuk menjalankan amanat UU No.40/2004 dan UU No. 32/2004, menuju
tercapainya jaminan kesehatan bagi semua penduduk (universal health coverage)
maka pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus mengupayakan sumber dana
pembiayaan. Sumber dana pembiayaan program dan kegiatan selama ini berasal dari
Dana Alokasi umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dana dekonsentrasi
melalui Dinas Kesehatan Provinsi serta dana hibah dari Bank Dunia melalui proyek
HWS Health Workforce (Service) yang digunakan untuk melaksanakan fungsi
sebagai service provider dalam mengembangkan dan mengimplementasikan
kebijakan JKN sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS).
Mendukung pelaksanaan tersebut, Kementerian Kesehatan memberikan
prioritas kepada jaminan kesehatan dalam reformasi kesehatan. Kementerian
Kesehatan mengupayakan suatu regulasi berupa Peraturan Menteri, yang akan
menjadi payung hukum untuk mengatur pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan
tingkat pertama, dan pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan rujukan tingkat
pelayanan obat serta bahan medis habis pakai untuk peserta Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) (Permenkes RI No. 71, 2013).
Salah satu fasilitas kesehatan primer adalah Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas). Puskesmas merupakan sebuah organisasi di bawah Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia yang berfungsi menyediakan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat di tingkat kecamatan atau daerah (district). Pelayanan yang
ditawarkan bersifat menyeluruh, terpadu, dapat diterima dan dijangkau oleh
masyarakat. Rata-rata jumlah penduduk yang memperoleh pelayanan sebuah
puskesmas biasanya mencapai 25,000-30,000 orang dalam sebuah wilayah pelayanan
(Depkes RI, 2001)
Puskesmas sebagai pusat pelayanan kesehatan dasar tingkat pertama (fasilitas
kesehatan primer) memberikan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non
spesialistik (primer) meliputi pelayanan rawat jalan dan rawat inap. Ini berarti
puskesmas harus berusaha menyediakan pelayanan kesehatan tingkat dasar yang
bersifat holistik, komprehensif, terpadu dan terus menerus kepada masyarakat baik di
perkotaan maupun di pedesaan. Menurut panduan penyelenggaraan puskesmas di era
desentralisasi, pembangunan kesehatan Indonesia mewujudkan lingkungan dan gaya
hidup yang sehat, memiliki upaya untuk mencapai taraf pelayanan kesehatan yang
berkualitas, adil, dan menyeluruh menuju pencapaian derajat kesehatan yang sangat
tinggi (Depkes RI, 2001).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013
tingkat pertama adalah puskesmas atau setara yang bekerja sama dengan BPJS
kesehatan harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan komprehensif berupa
pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, pelayanan kebidanan,
dan pelayanan kesehatan darurat medis, termasuk pelayanan penunjang meliputi
pemeriksaan laboratorium sederhana dan pelayanan kefarmasian sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2014, puskesmas sebagai pelayanan kesehatan publik dalam era BPJS diberikan
wewenang kesehatan layanan primer mencakup 144 macam diagnosis penyakit
dengan alur klinis (clinical pathway) yang sudah disusun organisasi profesi terkait.
Hal ini memberikan makna bahwa puskesmas sebagai Pemberi Pelayanan Kesehatan
(PPK) tingkat pertama wajib menangani pelayanan kesehatan mencakup 144 jenis
diagnosis penyakit dan tidak boleh dirujuk ke PPK 2 atau PPK 3 kecuali memenuhi
kondisi TACCC (time, age, complication, comorbidity, condition). Bila PPK 2 dan
PPK 3 menangani kasus dengan diagnosis tersebut dan tidak memenuhi kondisi
TACCC berarti juga tidak akan dibayar oleh BPJS.
Mendukung puskesmas sebagai PPK tingkat pertama dalam implementasi
JKN dinas kesehatan sebagai pelaksana bidang pembangunan kesehatan mempunyai
wewenang terhadap penyediaan dan pengelolaan obat pelayanan kesehatan dasar, alat
kesehatan, reagensia dan vaksin skala kabupaten/kota. Sumber biaya anggaran obat di
kabupaten/kota dapat diambil dari dana APBD II (DAU), APBD I, Askes, buffer stok
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
679/MENKES/SK/V/2005 tentang pedoman umum pengadaan obat publik untuk
Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) dalam rangka meningkatkan penggunaan obat
generik di sektor pemerintah menekankan bahwa pada prinsipnya pengadaan obat
untuk PKD yaitu: ”mutu obat terjamin, memenuhi kriteria, khasiat, keamanan dan
keabsahan obat serta mempunyai izin edar (nomor registrasi), menerapkan konsepsi
obat esensial dan dilaksanakan melalui Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang
mempunyai izin dari Depkes yang masih berlaku” (Depkes RI, 2006).
Dinas Kesehatan Kota Medan selaku pelaksana teknis bidang pembangunan
kesehatan membawahi 39 puskesmas (12 Puskesmas rawat inap dan 27 Puskesmas
rawat jalan) dan 41 Puskesmas Pembantu (Pustu) pada 21 kecamatan harus mampu
memenuhi kebutuhan obat publik pada setiap puskesmas. Selama ini perencanaan
kebutuhan obat puskesmas mengacu pada penggunaan obat tahun sebelumnya untuk
setiap tahunnya. Kebutuhan obat puskesmas tersebut skala prioritasnya mengacu
kepada 10 penyakit terbesar pada puskesmas. Kemudian kebutuhan obat puskesmas
disampaikan melalui Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) ke
instalasi farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan dan pengadaan jenis dan itemnya
merujuk pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN).
Sedangkan pengadaan kebutuhan obat puskesmas tahun 2013 mengacu
kepada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2013
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Obat dengan Prosedur E-Purchasing
Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (LPSE) atau E-catalog secara
on line pada website pelelangan elektronik dan pengadaannya dilaksanakan oleh
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Melalui sistem
E-catalog obat ini maka Kementerian/Lembaga/Dinas/Instansi (K/L/D/I) tidak perlu
melakukan proses pelelangan, namun dapat langsung memanfaatkan sistem
E-catalog obat dalam pengadaan obat dengan prosedur E-Purchasing.
Pengadaan obat dengan sistem E-catalog ini maka jenis, jumlah dan harganya
telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan yang ditayangkan di portal pengadaan
nasional serta pengadaan jenis dan itemnya merujuk pada Formularium Nasional
(Fornas). Daftar obat ini digunakan sebagai acuan untuk penulisan resep dalam sistem
JKN. Kemudian Tim perencana obat dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)
menyusun rencana kebutuhan obat disesuaikan dengan ketersediaan anggaran. Tim
perencana obat dan rencana kebutuhan obat yang akan diadakan tersebut
ditandatangani oleh PPTK dan penanggung jawab bidang kefarmasian.
Mengacu kepada Permenkes Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 bahwa
puskesmas dalam era BPJS diberikan wewenang kesehatan layanan primer mencakup
144 macam diagnosis penyakit maka seharusnya kebutuhan obat di puskesmas
disesuaikan dengan 144 macam diagnosis penyakit, namun sewaktu dilakukan
pemesanan kebutuhan obat pada tahun 2013 kebutuhan obat belum sepenuhnya
mengacu kepada 144 macam diagnosis penyakit.
Berdasarkan survei pendahuluan pada Dinas Kesehatan Kota Medan diperoleh
ini dilihat dari kebutuhan obat yang telah ditetapkan untuk dipesan pada awalnya
sebanyak 125 item ternyata setelah disesuaikan dengan E-catalog hanya 93 item
kebutuhan obat yang dapat dipesan. Pada saat pengadaan kebutuhan obat ternyata
hanya 69 item obat (74,2%) yang terealisasi selebihnya belum terealisasi. Penyebab
ketidaksesuaian kebutuhan dengan realisasi obat ini diantaranya adalah; (a) sewaktu
pemesanan kebutuhan obat melaui E-catalog ternyata tidak semua item obat yang
dibutuhkan tertera (terdaftar) pada E-catalog, (b) kebutuhan obat yang telah dipesan
sesuai dengan E-catalog tidak seluruhnya pula terealisasi.
Disamping itu jika diasumsikan kebutuhan obat mengacu kepada 144 macam
diagnosis penyakit maka estimasi kebutuhan obat sebanyak 432 item. Sementara
sampai dengan bulan Maret 2014 ketersediaan obat di instalasi farmasi Dinas
Kesehatan Kota Medan hanya sebanyak 250 item. Ketersediaan obat di instalasi
farmasi Kota Medan yang belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan dikhawatirkan
secara jangka panjang berdampak terhadap kebutuhan obat di Puskesmas sebagai
PPK-I .
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa petugas obat di puskesmas
mengeluhkan ketersediaan obat ini, karena ketersediaan obat di instalasi farmasi
Dinas Kesehatan Kota Medan tidak sesuai lagi dengan LPLPO kebutuhan puskesmas,
sehingga pasien pengguna obat di puskesmas menerima jumlah dan jenis obat yang
diresepkan oleh dokter untuk kebutuhan obat seminggu hanya bisa diberikan untuk
kebutuhan obat selama 2-3 hari saja.
Dinas kesehatan Kota Medan dan puskesmas sebagai pelayan publik dalam
dengan masyarakat yang menjadi bagian pelaksana program JKN kerap mendapat
kritikan dari masyarakat. Citra negatif tentang birokrasi publik maupun rendahnya
kualitas pelayanan publik tercermin pada maraknya tanggapan, keluhan dan cibiran di
berbagai media cetak dan elektronik.
Upaya yang dilakukan Dinas kesehatan Kota Medan adalah mendistribusikan
obat dengan cara membagi obat secara merata sesuai dengan realisasi kebutuhan obat
yang diterima oleh instalasi farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan ke seluruh
puskesmas.
Hasil penelitian Sunarsih (2002) menyimpulkan bahwa (a) pola penggunaan
obat pada terapi 5 penyakit utama (ISPA, infeksi usus, infeksi kulit, alergi kulit,
sistim otot dan jaringan pengikat) sangat tergantung pada ketersediaan obat di
Puskesmas, (b) pola penggunaan obat belum sesuai dengan pedoman pengobatan
dasar di Puskesmas walaupun penerapan yang dilakukan menggunakan obat esensial,
(c) perubahan ketersediaan obat di gudang farmasi kota dan di Puskesmas
berpengaruh terhadap pola penggunaan obat pada terapi ISPA, infeksi kulit dan alergi
kulit, yakni peningkatan penggunaan antibiotik, penggunaan injeksi dan rata-rata
jumlah item obat.
Adanya kebijakan SJSN dan BPJS sebagai penyelenggara JKN terkait dengan
Puskesmas sebagai PPK I serta Dinas Kesehatan Kota Medan sebagai pelaksana
bidang pembangunan kesehatan maka perlu dikaji tentang ”Analisis Perencanaan
Kebutuhan Obat dalam Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional di
1.2. Permasalahan
Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perencanaan
kebutuhan obat dalam implementasi kebijakan jaminan kesehatan nasional di Instalasi
Farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan.
1.3. Tujuan Penelitian
Mengetahui perencanaan kebutuhan obat dalam implementasi kebijakan
jaminan kesehatan nasional di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kota Medan.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan bermanfaat bagi;
1. Dinas Kesehatan Kota Medan sebagai masukan tentang kebijakan perencanaan
kebutuhan obat puskesmas secara efektif dan efisien.
2. BPJS dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai penyelenggara
jaminan sosial melalui Jaminan Kesehatan Nasional.
3. Akademik, memperkaya khasanah ilmu pengetahuan administrasi dan kebijakan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Jaminan Kesehatan Nasional
2.1.1. Pengertian Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalah jaminan berupa perlindungan
kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan
perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada
setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.
Sedangkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan badan hukum
yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan. BPJS Kesehatan
mulai operasional pada tanggal 1 Januari 2014 (Kemenkes RI, 2013).
Di Indonesia, falsafah dan dasar negara Pancasila terutama sila ke 5 juga
mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Hak ini juga termaktub dalam UUD 45
pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU 36/2009 tentang Kesehatan. Dalam UU
36/2009 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Mendukung hal tersebut pada tahun 2004, pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang No.40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Undang-Undang-Undang-Undang
seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) (Kemenkes RI, 2013).
2.1.2. Tujuan dan Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional
Tujuan diadakannya JKN adalah agar semua penduduk Indonesia terlindungi
dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan
masyarakat yang layak. Sedangkan Manfaat JKN bersifat pelayanan kesehatan
perorangan, mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan
medis yang diperlukan. JKN merupakan program asuransi sosial yang
diselenggarakan secara wajib berdasarkan suatu undang-undang, dengan tujuan untuk
memberikan perlindungan dasar bagi kesejahteraan masyarakat. Asuransi tersebut
memberikan beberapa keuntungan sebagai berikut : Pertama, memberikan manfaat
yang komprehensif dengan premi terjangkau. Kedua, menerapkan prinsip kendali
biaya dan mutu (Kemenkes RI, 2013).
2.1.3. Prinsip Jaminan Kesehatan Nasional
Jaminan Kesehatan Nasional mengacu pada prinsip-prinsip Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN), yaitu :
a. Prinsip Kegotongroyongan
Gotongroyong sesungguhnya sudah menjadi salah satu prinsip dalam hidup
bermasyarakat berbudaya. Dalam SJSN, prinsip gotong royong berarti peserta yang
mampu membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang sehat membantu yang
terwujud karena kepesertaan SJSN bersifat wajib untuk seluruh penduduk, tanpa
pandang bulu. Dengan demikian, melalui prinsip gotong jaminan sosial dapat
menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Prinsip Nirlaba
Pengelolaan dana amanat oleh BPJS adalah nirlaba bukan untuk mencari laba
(for profit oriented). Sebaliknya, tujuan utama adalah untuk memenuhi
sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana yang dikumpulkan dari masyarakat adalah dana
amanat, sehingga hasil pengembangannya, akan di manfaatkan sebesar-besarnya
untuk kepentingan peserta. Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi,
dan efektivitas. Manajemen ini mendasari prinsip kegiatan pengelolaan dana yang
berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.
c. Prinsip Portabilitas
Prinsip portabilitas jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan
yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan atau tempat
tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Prinsip Kepesertaan Bersifat Wajib
Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga
dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat,
penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah
serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di
mandiri, sehingga pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dapat
mencakup seluruh rakyat.
e. Prinsip Dana Amanat
Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan kepada
badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka
mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.
f. Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial
Dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program
dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta (Kemenkes RI, 2013).
2.1.4. Program Jaminan Kesehatan Nasional
Program JKN secara umum sama dengan asuransi pada umumnya. Dalam
Undang-undang No.40 Tahun 2004 tentang SJSN mendelegasikan 4 teknis
penyelenggaran program JKN, yaitu:
a. Kepesertaan
Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat
6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. Peserta tersebut meliputi
Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN dan bukan PBI JKN dengan rincian sebagai
berikut:
a. Peserta PBI Jaminan Kesehatan meliputi orang yang tergolong fakir miskin dan
orang tidak mampu.
b. Peserta bukan PBI adalah peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang
1) Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya, yaitu:
a) Pegawai Negeri Sipil;
b) Anggota TNI;
c) Anggota Polri;
d) Pejabat Negara;
e) Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri;
f) Pegawai Swasta; dan
g) Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf f yang menerima
Upah.
2) Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu:
a) Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri dan
b) Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima Upah.
c) Pekerja sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, termasuk warga negara
asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan.
3) Bukan Pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas:
a) Investor;
b) Pemberi Kerja;
c) Penerima Pensiun;
d) Veteran;
e) Perintis Kemerdekaan; dan
f) Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf e yang mampu
4) Penerima pensiun terdiri atas:
a) Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;
b) Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun;
c) Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;
d) Penerima Pensiun selain huruf a, huruf b, dan huruf c; dan
e) Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun sebagaimana
dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d yang mendapat hak pensiun.
Anggota keluarga bagi pekerja penerima upah meliputi:
a. Istri atau suami yang sah dari Peserta; dan
b.Anak kandung, anak tiri dan/atau anak angkat yang sah dari Peserta, dengan
kriteria:
1. Tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri;
dan
2.Belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (dua puluh
lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal.
Sedangkan Peserta bukan PBI JKN dapat juga mengikutsertakan anggota
keluarga yang lain.
JKN sebagai sebuah program asuransi kesehatan mengatur tentang hak dan
kewajiban peserta:
Setiap Peserta yang telah terdaftar pada BPJS Kesehatan berhak:
(a) mendapatkan a) identitas peserta dan b) manfaat pelayanan kesehatan di
(b) Setiap Peserta yang telah terdaftar pada BPJS Kesehatan berkewajiban untuk:
a). membayar iuran dan b). melaporkan data kepesertaannya kepada BPJS
Kesehatan dengan menunjukkan identitas Peserta pada saat pindah domisili
dan atau pindah kerja (Kemenkes RI, 2013).
b. Pembiayaan 1. Iuran
Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara
teratur oleh Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah untuk program Jaminan
Kesehatan (pasal 16, Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan).
2. Pembayar Iuran
(a) Peserta PBI, iuran dibayar oleh Pemerintah.
(b) Peserta Pekerja Penerima Upah, Iurannya dibayar oleh Pemberi Kerja dan
Pekerja.
(c) Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja iuran dibayar
oleh Peserta yang bersangkutan.
(d) Besarnya Iuran Jaminan Kesehatan Nasional ditetapkan melalui Peraturan
Presiden dan ditinjau ulang secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial,
ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak (Kemenkes RI, 2013).
C. Pelayanan 1. Jenis Pelayanan
Ada 2 (dua) jenis pelayanan yang akan diperoleh oleh Peserta JKN, yaitu
non medis). Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari fasilitas kesehatan
dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.
2. Prosedur Pelayanan
Peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan pertama-tama harus
memperoleh pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama. Bila
Peserta memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, maka hal itu harus
dilakukan melalui rujukan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama, kecuali dalam
keadaan kegawatdaruratan medis (Kemenkes RI, 2013).
2.2. Obat
2.2.1. Pengertian Obat
Obat merupakan sedian atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistim fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan
dan kontrasepsi (Depkes RI, 2005). Menurut Ansel (2006), obat adalah zat yang
digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta mengobati atau mencegah
penyakit pada manusia atau hewan.
2.2.2. Peran Obat
Peran obat secara umum adalah sebagai berikut:
1. Penetapan diagnosa
2. Untuk pencegahan penyakit
3. Menyembuhkan penyakit
5. Mengubah fungsi normal tubuh untuk tujuan tertentu
6. Peningkatan kesehatan
7. Mengurangi rasa sakit (Chaerunissa dkk, 2009).
2.2.3. Penggolongan Obat 2.2.3.1. Berdasarkan Jenisnya
1. Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas
Obat bebas merupakan obat yang bisa dibeli bebas di apotek, bahkan warung,
tanpa resep dokter, ditandai lingkaran hijau bergaris tepi hitam. Obat Bebas Terbatas
(dulu disebut daftar W=Waarschuwing = peringatan), yakni obat-obatan dalam
jumlah tertentu masih bisa dibeli di apotik, tanpa resep dokter, memakai lingkaran
biru bergaris tepi hitam.
2. Obat Keras
Obat keras (dulu disebut obat daftar G = Gevaarlijk = berbahaya), yaitu obat
berkhasiat keras yang untuk mendapatkannya harus dengan resep dokter, memakai
tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K didalamnya.
3. Psikotropika dan Narkotika
Psikotropika adalah zat atau obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau
merangsang susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan prilaku. Narkotika
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semi sintetis yang dapat menimbulkan pengaruh tertentu bagi mereka yang
menggunakan dengan memasukkannya kedalam tubuh manusia (Chaerunissa dkk,
2.2.3.2. Berdasarkan Mekanisme Kerja Obat Obat digolongkan menjadi lima jenis :
1. Obat yang bekerja terhadap penyebab penyakit, misalnya penyakit karena
bakteri atau mikroba, contoh: antibiotik.
2. Obat yang bekerja mencegah keaadan patologis dari penyakit, contoh:
serum, vaksin.
3. Obat yang menghilangkan gejala penyakit = simptomatik, missal gejala
penyakit nyeri, contoh: analgetik, antipiretik.
4. Obat yang bekerja untuk mengganti atau menambah fungsi-fungsi zat
yang kurang, contoh: vitamin, hormon.
5. Pemberian placebo, adalah pemberian sediaan obat yang tanpa zat
berkhasiat untuk orang-orang yang sakit secara psikis, contoh: aqua
proinjection Selain itu, obat dapat dibedakan berdasarkan tujuan
penggunaannya misalkan antihipertensi, cardiaca, diuretic, hipnotik,
sedative dan lain-lain (Chaerunissa dkk, 2009).
2.2.3.3. Berdasarkan Tempat atau Lokasi Pemakaiannya Obat dibagi dua golongan:
1. Obat Dalam, misalnya obat-obat peroral. Contoh: antibiotik,
acetaminophen
2. Obat Topikal, untuk pemakaian luar badan. Contoh sulfur, antibiotik
2.2.3.4. Berdasarkan Cara Pemberiannya
1. Oral, obat yang diberikan atau dimasukkan melalui mulut, Contoh: serbuk,
kapsul, tablet sirup.
2. Parektal, obat yang diberikan atau dimasukkan melalui rectal. Contoh
supositoria, laksatif.
3. Sublingual, dari bawah lidah, kemudian melalui selaput lendirdan masuk
ke pembuluh darah, efeknya lebih cepat. Untuk penderita tekanan darah
tinggi, Contoh: tablet hisap, hormone.
4. Parenteral, obat suntik melaui kulit masuk ke darah. Ada yang diberikan
secara intravena, subkutan, intramuscular, intrakardial.
5. Langsung ke organ, contoh intrakardial.
6. Melalui selaput perut, intraperitoneal (Anief, 2007).
2.2.3.5. Berdasarkan Efek yang Ditimbulkannya
1. Sistemik: masuk ke dalam sistem peredaran darah, diberikan secara oral
2. Lokal : pada tempat-tempat tertentu yang diinginkan, misalnya pada kulit,
telinga, mata (Anief, 2007).
2.2.3.6. Berdasarkan Penamaannya
Menurut Widodo (2004), penamaan obat dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Nama Kimia, yaitu nama asli senyawa kimia obat.
2. Nama Generik (unbranded name), yaitu nama yang lebih mudah yang disepakati
3. Nama Dagang atau Merek, yaitu nama yang diberikan oleh masing-masing
produsen obat. Obat bermerek disebut juga dengan obat paten.
2.3. Obat Nama Generik
2.3.1. Pengertian Obat Generik
Obat Generik (Unbranded Drug) adalah obat dengan nama generik, nama
resmi yang telah ditetapkan dalam Farmakope Indonesia dan INN (International
Non-propietary Names) dari WHO (World Health Organization) untuk zat berkhasiat yang
dikandungnya. Nama generik ini ditempatkan sebagai judul dari monografi sediaan
obat yang mengandung nama generik tersebut sebagai zat tunggal.
Obat generik berlogo yaitu obat yang diprogram oleh pemerintah dengan
nama generik yang dibuat secara CPOB (Cara Produksi Obat yang Baik). Harga obat
disubsidi oleh pemerintah. Logo generik menunjukkan persyaratan mutu yang
ditetapkan oleh Mentri Kesehatan Republik Indonesia. Sedangkan obat generik
esensial adalah obat generik terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan
kesehatan bagi masyarakat (Widodo, 2004).
2.3.2. Pengenalan Obat Generik
Obat pada waktu ditemukan diberi nama kimia yang menggambarkan struktur
molekulnya. Nama kimia obat biasanya amat kompleks sehingga tidak mudah diingat
orang awam. Untuk kepentingan penelitian biasanya nama kimia disingkat dengan
kode tertentu. Setelah obat itu dinyatakan aman dan bermanfaat melalui uji klinis,
(BPOM). Obat tersebut mendapat nama generik dan nama dagang. Nama dagang ini
sering disebut nama paten. Perusahaan obat yang menemukan obat tersebut dapat
memasarkannya dengan nama dagang. Nama dagang biasanya diusahakan yang
mudah diingat oleh pengguna obat. Disebut obat paten karena penemu tersebut
berhak atas paten penemuan obat tersebut dalam jangka waktu tertentu. Selama paten
tersebut masih berlaku, obat ini tidak boleh diproduksi oleh pabrik lain, baik dengan
nama dagang pabrik peniru ataupun dijual dengan nama generiknya. Obat nama
dagang yang telah habis masa patennya dapat diproduksi dan dijual oleh pabrik lain
dengan nama dagang berbeda yang biasanya disebut sebagai me-too product di
beberapa negara barat disebut branded generic atau tetap dijual dengan nama generik
(Chaerunissa, dkk, 2009).
2.3.3. Manfaat Obat Generik
Menurut Widodo (2004) manfaat obat generik secara umum adalah :
1. Sebagai sarana pelayanan kesehatan masyarakat untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat.
2. Dari segi ekonomis obat generik dapat dijangkau masyarakat golongan ekonomi
menengah kebawah.
3. Dari segi kualitas obat generik memiliki mutu atau khasiat yang sama dengan
obat yang bermerek dagang (obat paten).
2.3.4. Kebijakan Obat Generik
Kebijakan obat generik adalah salah satu kebijakan untuk mengendalikan
pemanfaatan obat generik ini dapat mencapai tujuan yang diinginkan, maka kebijakan
tersebut mencakup komponen-komponen berikut :
1. Produksi obat generik dengan Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB). Produksi
dilakukan oleh produsen yang memenuhi syarat CPOB dan disesuaikan dengan
kebutuhan akan obat generik dalam pelayanan kesehatan.
2. Pengendalian mutu obat generik secara ketat.
3. Distribusi dan penyediaan obat generik di unit-unit pelayanan kesehatan.
4. Peresapan berdasarkan atas nama generik, bukan nama dagang.
5. Penggantian (substitusi) dengan obat generik diusulkan diberlakukan di unit
pelayanan kesehatan.
6. Informasi dan komunikasi mengenai obat generik bagi dokter dan masyarakat
luas secara berkesinambungan.
7. Pemantauan dan evaluasi penggunaan obat generik secara berkala.
2.3.5. Faktor yang Menghambat Masyarakat terhadap Obat Generik 1. Akses Obat
Akses masyarakat terhadap obat esensial dipengaruhi oleh empat faktor utama,
yaitu:
a) Penggunaan obat yang rasional;
b) Harga yang terjangkau;
c) Pembiayaan yang berkelanjutan
d) Sistim pelayanan kesehatan beserta sistem suplai obat yang dapat menjamin
2. Harga Obat
Harga obat di Indonesia umumnya dinilai mahal dan struktur harga obat tidak
transparan. Penelitian WHO menunjukkan perbandingan harga antara satu nama
dagang dengan nama dagang yang lain untuk obat yang sama, berkisar 1:2 sampai
1:5. Penelitian di atas juga membandingkan harga obat dengan nama dagang dan
obat generik menunjukkan obat generik bukan yang termurah. Survai dampak
krisis rupiah pada biaya obat dan ketersediaan obat esensial antara 1997 – 2002
menunjukkan bahwa biaya resep rata-rata di sarana kesehatan sektor swasta jauh
lebih tinggi dari pada di sektor publik yang menerapkan pengaturan harga dalam
sistem suplainya (Depkes RI, 2005)
3. Tingkat Ketersediaan Obat
Rendahnya ketersediaan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah
dapat berimplikasi secara langsung pada akses obat generik, sebagai gantinya
pasien membeli obat generik di apotik. Apotik swasta mempunyai obat generik
lebih sedikit dibandingkan dengan yang disediakan oleh dokter. Sehingga apotik
menyediakan obat paten lebih banyak. Selama ketersedian obat kurang tersedia
maka pasien mengeluarkan uang lebih banyak untuk membayar obat.
4. Informasi Obat
Keterbatasan informasi masyarakat akan obat sangat erat kaitannya dengan
ketidaktahuan akan pengenalan, penggunaan dan pemanfaatan obat terutama bagi
mereka yang ingin memakai obat generik. Informasi obat, antara lain mengenai
peringatan-peringatan penggunaan suatu obat, serta harga obat, dan informasi
mengenai pilihan obat yang tepat bagi konsumen (Widodo, 2004).
5. Keterjangkauan Obat
Keterjangkauan obat dapat dipandang dari sudut geografis, ekonomi dan sosial
politik. Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 17.504 pulau dimana
5.707 diantaranya sudah bernama. Namun pulau yang telah berpenghuni
jumlahnya lebih kecil. Saat ini sebagian masyakat Indonesia tinggal di daerah
terpencil, daerah tertinggal, dan wilayah perbatasan. Sebagian lagi tinggal di
daerah rawan bencana baik bencana alam dan bencana buatan manusia seperti :
ketidak-stabilan politik dan tingginya tingkat kemiskinan. Dengan pola
penyebaran penduduk seperti tersebut di atas, maka diperlukan adanya perbedaan
pengelolaan obat sesuai dengan karateristik masing-masing daerah. Sebagai
contoh kita dapat melakukan pengelompokan Provinsi Kepulauan : Riau, NTB,
NTT, Maluku dan Maluku Utara lebih memiliki karakteristik geografis
kepulauan. Sedangkan propinsi di Kalimantan dan Papua dapat dikategorikan
daratan luas dengan hambatan transportasi. Kategori lain adalah Pulau Jawa, Bali,
Sumatera dan Sulawesi (Depkes RI, 2005).
2.4. Dasar Kebijakan Umum Obat
Menurut Kemenkes RI (2010) penyelenggaraan subsistem obat dan
1. Obat dan perbekalan kesehatan adalah kebutuhan dasar manusia dan karena itu
tidak diperlakukan sebagai komoditas ekonomi semata
2. Obat dan perbekalan kesehatan sebagai barang publik harus dijamin ketersediaan
dan keterjangkauannya, dan karena itu penetapan harga obat dan perbekalan
kesehatan tidak diserahkan kepada mekanisme pasar melainkan dikendalikan oleh
pemerintah
3. Pengadaan obat, yang mengutamakan obat esensial generik bermutu, serta
penyediaan perbekalan kesehatan, diselenggarakan secara adil dan merata serat
terjangkau oleh masyarakat, melalui optimalisasi industri nasional yang didukung
oleh industri bahan baku sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi
4. Pengadaan dan pemanfaatan obat di sarana pelayanan kesehatan mengacu pada
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)
5. Pemanfaatan obat dan perbekalan kesehatan diselenggarakan secara rasional
dengan memperhatikan aspek mutu, manfaat, harga, kemudahan diakses serta
keamanan bagi masyarakat dan lingkungannya
Bentuk pokok subsistem obat dan perbekalan kesehatan (Kemenkes RI, 2010)
antara lain :
1. Perencanaan obat dan perbekalan kesehatan secara nasional diselenggarakan oleh
pemerintah.
2. Perencanaan obat merujuk pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) yang
3. Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan yang dibutuhkan oleh pembangunan
kesehatan menjadi tanggungjawab pemerintah
4. Pendistribusian obat dan perbekalan kesehatan diselenggarakan melalui Pedagang
Besar Farmasi (PBF)
5. Pemerataan obat dan perbekalan kesehatan diarahkan pada pemakaian obat-obat
esensial generik
6. Peningkatan keterjangkauan obat dan perbekalan kesehatan dilaksanakan melalui
kajian dan penetapan harga secara berkala oleh pemerintah bersama pengusaha
dengan menggunakan harga obat produksi industri farmasi pemerintah sebagai
acuan (price leader)
7. Pengawasan mutu produksi obat dan perbekalan kesehatan pada tahap pertama
dilakukan oleh industri yang bersangkutan sesuai denga CPOB yang ditetapkan
oleh pemerintah
8. Pengawasan distribusi, promosi serta pemanfaatan obat dan perbekalan kesehatan,
termasuk efek samping serta pengendalian harganya dilakukan oleh pemerintah
bekerja sama dengan kalangan pengusaha, organisasi profesi dan masyarakat.
2.5. Manajemen Logistik Obat
Pengelolaan obat merupakan suatu proses yang dimaksudkan untuk mencapai
tujuan secara efektif dan efisien. Proses pengelolaan obat dapat terwujud dengan baik
apabila didukung dengan kemampuan sumber daya yang tersedia dalam suatu sistem.
berkualitas baik, tersebar secara merata, jenis dan jumlah sesuai dengan kebutuhan
pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat di unit pelayanan kesehatan (Kemenkes
RI, 2010).
Pengelolaan obat yang efektif dan efisien diharapkan dapat menjamin :
1. Tersedianya rencana kebutuhan jenis dan jumlah obat sesuai dengan kebutuhan
Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) di kabupaten/kota
2. Tersedianya anggaran pengadaan obat yang dibutuhkan sesuai dengan waktunya
3. Terlaksananya pengadaan obat yang efektif dan efisien
4. Terjaminnya penyimpanan obat dengan mutu yang baik
5. Terjaminnya pendistribusian obat yang efektif dengan waktu tunggu (lead time)
yang pendek
6. Terpenuhinya kebutuhan obat yang mendukung PKD sesuai dengan jenis, jumlah
dan waktu yang dibutuhkan
7. Tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) dengan jumlah dan kualifikasi yang
tepat
8. Digunakannya obat secara rasional sesuai dengan pedoman yang disepakati.
9. Tersedianya informasi pengelolaan dan penggunaan obat yang sahih, akurat dan
mutakhir.
Dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan obat yang efektif dan efisien,
menurut Kemenkes RI (2010) sistem pengelolaan dan penggunaan obat
kabupaten/kota mempunyai 4 (empat) fungsi dasar, yaitu : (a) perumusan kebutuhan
(use). Keempat fungsi tersebut didukung oleh penunjang pengelolaan yang terdiri dari
organisasi (organization), pembiayaan dan kesinambungan (financing and
sustainability), pengelolaan informasi (information management) dan pengelolaan
dan pengembangan SDM (human resources managament).
Pelaksanaan keempat fungsi dasar dan keempat elemen sistem pendukung
pengelolaan tersebut didasarkan pada kebijakan (policy) dan atau peraturan
perundangan yang mantap serta didukung oleh kepedulian masyarakat dan petugas
kesehatan terhadap program bidang obat dan pengobatan (Kemenkes RI, 2010).
Pada prinsipnya perencanaan obat merupakan suatu proses kegiatan
menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pengadaan obat agar sesuai dengan
kebutuhan untuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Adapun tujuan
perencanaan pengadaan obat antara lain adalah:
1. Mengetahui jenis dan jumlah obat yang tepat sesuai dengan kebutuhan
2. Menghindari terjadinya kekosongan obat
3. Meningkatkan penggunaan obat yang rasional
4. Meningkatkan efisiensi penggunaan obat
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1121/MENKES/SK/XII/2008,
Proses perencanaan pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan diawali dari
data yang disampaikan puskesmas ke Unit Pengelola Obat/Gudang Farmasi Dinas
Kesehatan kabupaten/kota yang selanjutnya dokompilasi menjadi rencana kebutuhan
obat publik dan perbekalan kesehatan kabupaten/kota yang dilengkapi dengan
Menurut Depkes RI (2009) bahwa perencanaan kebutuhan obat adalah salah
satu aspek penting dan menentukan dalam pengelolaan obat karena perencanaan
kebutuhan akan mempengaruhi pengadaan, pendistribusian dan penggunaan obat di
unit pelayanan kesehatan. Tujuan perencanaan kebutuhan obat adalah untuk
menetapkan jenis dan jumlah obat sesuai dengan pola penyakit dan kebutuhan
pelayanan kesehatan dasar termasuk program kesehatan yang telah ditetapkan.
Menurut Depkes RI (2004) data yang diperlukan untuk mendukung proses
proses perencanaan obat antara lain :
1. Data populasi total disuatu wilayah dan rata-rata pertumbuhan penduduk per
tahun
2. Data status kesehatan yang menyangkut angka penyakit terbanyak pada dewasa
dan anak
3. Data yang berkaitan dengan obat, seperti jumlah penulis resep (prescriber),
jumlah biaya yang tersedia, jumlah farmasis dan asisten apoteker dan jumlah item
obat yang tersedia di pasaran.
2.6. Perencanaan Kebutuhan Obat Publik
Perencanaan kebutuhan obat merupakan kegiatan utama sebelum melakukan
proses pengadaan obat. Langkah-langkah yang diperlukan dalam kegiatan
perencanaan kebutuhan obat antara lain:
1. Tahap Pemilihan Obat
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat (Depkes RI,
a. Obat yang dipilih sesuai dengan standar mutu yang terjamin
b. Dosis obat sesuai dengan kebutuhan terapi
c. Obat mudah disimpan
d. Obat mudah didisitribusikan
e. Obat mudah didapatkan / diperoleh
f. Biaya pengadaan dapat terjangkau
g. Dampak administrasi mudah diatasi
Seleksi obat didasarkan pada obat generik terutama yang terdaftar dalam
DOEN yang masih berlaku dengan patokan harga sesuai dengan Keputusan Menteri
Kesehatan tentang Harga Obat dan Perbekalan Kesehatan untuk Obat Pelayanan
Kesehatan Dasar (PKD) dan Obat Program Kesehatan. Disamping itu juga diperlukan
pemilihan obat menjadi kelompok VEN (Vital, Esensial dan Non Esensial).
Beberapa kriteria yang dipergunakan sebagai dasar acuan dalam pemilihan
obat yaitu;
a. Obat merupakan kebutuhan untuk sebagian besar populasi penyakit
b. Obat memiliki keamanan dan khasiat yang didukung dengan bukti ilmiah
c. Obat mempunyai mutu yang terjamin baik ditinjau dari segi stabilitas maupun
bioavaibilitasnya (ketersediaan hayati).
d. Biaya pengobatan mempunyai rasio antar manfaat dan biaya yang baik
e. Bila pilihan lebih dari satu, dipilih yang paling baik, paling lengkap data
ilmiahnya dan farmakokinetiknya paling menguntungkan.
g. Obat sedapat mungkin sediaan tunggal (Depkes RI, 2009)
2.Tahap Kompilasi Pemakaian Obat
Kompilasi pemakaian obat untuk mengetahui pemakaian obat setiap bulan
dari masing-masing jenis obat di unit pelayanan kesehatan selama setahun serta
menentukan stok optimum (stok optimum = stok kerja + stok pengaman). Data
pemakaian obat di puskesmas diperoleh dari LPLPO
Beberapa Informasi yang diperoleh dari kompilasi pemakaian obat adalah :
a. Jumlah pemakaian tiap jenis obat pada masing-masing unit pelayanan
kesehatan
b. Persentase (%) pemakaian tiap jenis obat terhadap total pemakaian setahun
seluruh unit pelayanan kesehatan.
c. Pemakaian rata-rata untuk setiap jenis obat pada tingkat kabupaten/kota
(Depkes RI, 2009).
3.Tahap Perhitungan Kebutuhan Obat
Menentukan kebutuhan obat merupakan tantangan berat yang senantiasa
dihadapi oleh apoteker dan tenaga farmasi yang bekerja baik di tingkat PKD. Baik
kekosongan maupun kelebihan jenis obat tertentu dapat terjadi apabila perhitungan
hanya berdasarkan teoritis. Dengan koordinasi dan proses perencanaan untuk
pengadaan obat secara terpadu serta melalui beberapa tahapan seperti di atas, maka
diharapkan obat yang direncanakan dapat tepat baik ditinjau dari jenis, jumlah
maupun waktu. Untuk menentukan kebutuhan obat dilakukan pendekatan
Melengkapi data rencana pengadaan obat, unit pengelola obat kabupaten/ kota
perlu mengumpulkan 10 besar penyakit dari unit terkait. Data ini bermanfaat untuk
menentukan skala prioritas dalam menyesuaikan rencana pengadaan obat dengan
dana yang tersedia.
4. Tahap Proyeksi Kebutuhan Obat
Beberapa kegiatan yang perlu dilakukan pada tahap ini antara lain :
a. Menetapkan rancangan stok akhir periode yang akan datang. Rancangan stok
akhir diperkirakan sama dengan hasil perkalian antara waktu tunggu dengan
estimasi pemakaian rata-rata per bulan ditambah stok penyangga
b. Menghitung rancangan pengadaan obat periode tahun yang akan datang.
Perencanaan pengadaan obat tahun yang akan datang dapat dirumuskan