• Tidak ada hasil yang ditemukan

snapshot rekomendasi strategi kebijakan pengembangan citra merek produk kreatif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "snapshot rekomendasi strategi kebijakan pengembangan citra merek produk kreatif"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

i

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

(2)
(3)

1

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

1

SNAPSHOTCITRA MEREKPRODUK KREATIF

KATA PENGANTAR

Kami bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya yang senantiasa mengiringi kami

selama penyusunan laporan “Snapshot Citra Merek Produk Kreatif” ini dan juga selama penelitian

yang kami lakukan yang bermuara pada laporan ini. Laporan ini merangkum dan menggambarkan

hasil penggalian dan pengolahan informasi dan data yang kami peroleh dari berbagai sumber

mengenai pengembangan citra merek produk kreatif. Informasi dan data tersebut telah kami

gali melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan pelaku UMKM industri kreatif, wawancara

mendalam dengan lembaga pemerintah daerah yang terkait dengan industri dan ekonomi kreatif,

serta hasil survei konsumen produk kreatif.

Kami berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung dan membantu kami selama

penelitian dan penyusunan laporan ini, terutama Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), pemerintah

daerah, pelaku industri kreatif, dan responden survei konsumen yang tersebar di berbagai wilayah

Indonesia. Kami membuka pintu untuk saran dan kritik sebagai bahan perbaikan kekurangan yang

ada dalam penelitian dan laporan ini agar kami dapat berkontribusi lebih baik dalam penelitian

serupa tentang industri kreatif di masa yang akan datang. Semoga laporan ini dapat bermanfaat

bagi pembaca dan juga bermanfaat jangka panjang dalam pengembangan ekonomi dan industri

kreatif nasional.

Jakarta, September 2017

(4)

2

CITRA MEREK PRODUK KREATIF: SEBUAH URGENSI

MEMBANGUN IDENTITAS MENUJU

CITRA INDUSTRI KREATIF

METODOLOGI

PENELITIAN

KARAKTERISTIK INDUSTRI KREATIF INDUSTRI KREATIF DI INDONESIA CITRA MEREK

(5)

3

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

3

SNAPSHOTCITRA MEREKPRODUK KREATIF

KESIMPULAN

KREATIF DI MATA

KONSUMEN

(6)
(7)

5

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

5

SNAPSHOTCITRA MEREKPRODUK KREATIF

PEREKAYASA UTAMA 1

Prof. Agus W. Soehadi, Ph.D. Dr. Fathony Rahman

PEREKAYASA UTAMA 2

Dr. Zaki Saldi

Stevanus Wisnu Wijaya, Ph.D.

PENGARAH

Rektor Universitas Prasetiya Mulya Prof. Dr. Djisman S. Simanjuntak

GRAFIK DAN LAYOUT

Firdaus Detty Sathia

PEMBANTU PENELITI

Fitriana Nurindah Kusumadewi Gregorius Dimas Hapsoro Leli Ira Novita

Risqa Tsania Yohana Desi Fanni Dyah Anggraini

PEREKAYASA MADYA

Fredy Utama, MM. Hanesman Alkhair, MM. Joklan Imelda Goni, MM. Arief Budiman, M.Si.

Donil Beywiyarno, S.E., M.Com (Extn)

PEREKAYASA MUDA

Muhamad Ridwan Chevy Andhika Putra Annanias Shinta Dewi

Tim Penyusun

Universitas Prasetiya Mulya

Undergraduate Program - BSD Campus

Jl. BSD Raya Utama, BSD City, Serpong, Tangerang , Indonesia 15820

P+62-21-304-50-500 ext 2126 / F+62-21-304-50-555 / Wwww.prasetiyamulya.ac.id Graduate Program | Business School - Cilandak Campus

JL. R. A. Kartini (TB Simatupang), Cilandak Barat. Jakarta Selatan, Indonesia 12430

(8)

6

6

PEND

AHUL

U

(9)

7

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

7

SNAPSHOTCITRA MEREKPRODUK KREATIF

PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF:

(10)
(11)

9

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Pada tahun 2008, Kementerian Perdagangan RI menerbitkan buku Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025 sebagai publikasi visi pemerintah dalam mengembangkan industri kreatif nasional yang berkontribusi secara signiikan terhadap kemajuan bangsa (Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia tahun 2025, 2008). Instruksi Presiden RI nomor 6 tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif mempertegas komitmen pemerintah dalam memperkuat sektor ini. Sebagai kelanjutan agenda tersebut, pemerintah menjadikan pengelolaan ekonomi kreatif sebagai tugas lembaga kementerian, yaitu Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, yang merupakan bagian dari Kabinet Indonesia Bersatu II (2011- 2014).

Dalam rentang 2008–2015, dapat dikatakan bahwa istilah “industri kreatif” di Indonesia menjadi semakin populer seiring dengan semakin kuatnya sektor ini dalam menggerakkan roda perekonomian nasional. Rata-rata kontribusi industri kreatif di Indonesia untuk tahun 2010-2013 adalah 7,13% dari total PDB (Zulaikha, 2016). Sektor ini juga telah didukung oleh tenaga kerja sebesar sekitar 11,8 juta jiwa di tahun 2012 yang meningkat sampai 15,9 juta jiwa di tahun 2015 (Rusiawan et al., 2017; Zulaikha, 2016). Sebagai kulminasi komitmen dan visi pemerintah dalam mengawal terus berkembangnya sektor ini dengan beragam potensinya, Presiden RI mendelegasikan pengelolaan ekonomi kreatif nasional yang lebih terfokus dan strategis kepada Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yang terbentuk pada tahun 2015.Sejak pembentukannya, Bekraf dengan program dan kebijakannya telah menaungi aktivitas pengembangan industri kreatif nasional yang mengakomodasi pelaku industri kreatif di tanah air.

Karakter kewirausahaan sangat kental dalam sektor yang berbasis ide-ide kreatif, originalitas, dan inovasi ini, sehingga tidak mengherankan bahwa banyak pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang berkecimpung di industri kreatif. Wirausahawan MKM industri kreatif, layaknya juga di sektor-sektor non-kreatif, memiliki banyak tantangan dalam mengembangkan usahanya. Hal ini secara bertahap telah diidentiikasi oleh

Pengembangan Citra Merek Produk Kreatif:

Sebuah Urgensi

Bekraf dalam berbagai forum interaksi dan komunikasi. Salah satu tantangan yang dihadapi UMKM kreatif adalah pembentukan dan pengembangan identitas dan citra

merek (brand image). Citra merek memainkan peranan

penting dalam keberlangsungan sebuah usaha, terlepas dari sektor usaha yang dilakukan – kreatif atau non-kreatif, maupun skala usaha – MKM atau besar. Penyampaian pesan sebuah produk dan aktivitas untuk meningkatkan penjualan selalu berakar dari penciptaan identitas dan citra merek dan bagaimana mengelolanya.

Di satu sisi, langkah-langkah strategis dalam pengembangan citra merek telah lazim dilakukan oleh perusahaan besar yang telah memiliki sumber daya yang

memadai, misalnya dengan pendekatan Strategic Brand

Management (SBM). Di sisi lainnya, pada tingkatan MKM, pengembangan citra merek bukanlah hal yang lumrah dilakukan atau menjadi agenda penting, mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki UMKM dan karakteristik pembeda lainnya.

(12)

10

10

L

AND

(13)

11

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

11

SNAPSHOTCITRA MEREKPRODUK KREATIF

KARAKTERISTIK INDUSTRI KREATIF

INDUSTRI KREATIF DI INDONESIA

CITRA MEREK

UMKM DAN CITRA MEREK

13

14

16

(14)
(15)

13

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

INDUSTRI KREATIF

Pemerintah Inggris melalui Department of Culture, Media, and Sport (DCMS) dapat dikatakan sebagai pencetus pertama istilah “industri kreatif”. Istilah ini muncul untuk merepresentasikan tiga belas sektor usaha yang berbasis kreativitas, keterampilan dan bakat individual, serta yang memiliki potensi komersial dan menciptakan lapangan kerja melalui penciptaan dan eksploitasi kekayaan intelektual. Sektor-sektor tersebut adalah: (1) arsitektur, (2) desain, (3) fashion (mode, busana), (4) ilm dan video, (5) kerajinan, (6) layanan perangkat lunak dan komputer, (7) musik, (8) pasar barang seni atau barang antik, (9) penerbitan, (10) perangkat lunak hiburan interaktif, (11) periklanan, (12) pertunjukan seni, dan (13) televisi dan radio (DCMS, 1998).

Dalam kerangka DCMS ini, industri kreatif dapat diidentiikasi melalui beberapa karakteristik utama. Pertama, industri tersebut memiliki misi untuk menghasilkan gagasan baru dalam produk atau layanan yang ditawarkan secara berkelanjutan. Kedua, industri tersebut berfokus pada nilai orisinalitas dan keunikan sehingga membutuhkan perlindungan kekayaan intelektual. Terakhir, industri ini secara umum memiliki keterkaitan kuat dengan teknologi sehingga tercapai nilai orisinalitas dari proses kreatifnya (Banks & O’Connor, 2009; Galloway & Dunlop, 2007; Garnham, 2005; O’Connor, 2009).

Seperti yang diperkenalkan oleh DCMS, gagasan mengenai industri kreatif ini awalnya didasari oleh fenomena yang ditemukan di negara maju, khususnya Amerika Utara, Eropa, dan Australia. Namun, belum ada deinisi yang jelas sejauh mana pemahaman terhadap fenomena industri kreatif di negara maju tersebut dapat diterapkan untuk konteks yang berbeda. Fahmi, McCann, and Koster (2015) berpendapat bahwa kemungkinan terdapat pola yang berbeda antara karakteristik industri kreatif di negara maju dan di negara berkembang. Perbedaan ini dapat berdampak pada ketidakcocokan penerapan kebijakan yang berkaitan dengan industri kreatif dari negara maju di negara berkembang. Pendapat tentang ketidakcocokan ini diperkuat oleh temuan

empiris yang menyatakan bahwa elemen sosial, politik, dan ekonomi secara regional berpengaruh terhadap tingkat kreativitas dan perilaku kewirausahaan di suatu wilayah, yang bermuara pada perkembangan industri kreatif (Clare, 2012; Florida, 2002; Lee, Florida, & Acs, 2004).

Di negara berkembang, khususnya di Asia, ada banyak sektor kreatif yang masih memegang teguh nilai warisan turun-menurun yang dipertahankan. Hal tersebut sering kali menjadi nilai jual yang unik. Di sisi lain, inovasi pengetahuan, orisinalitas dan teknologi belum menjadi nilai utama (Kong, Gibson, Khoo, & Semple, 2006; O’Connor, 2015; O’Connor & Xin, 2006).

Hal ini menggambarkan polarisasi pemahaman industri kreatif di negara berkembang menjadi; (1) industri budaya dan tradisional. Istilah ini mewakili kelompok industri yang menghasilkan produk yang memiliki atribut makna simbolis yang berakar pada nilai nilai budaya lokal dan dikembangkan berdasarkan kekayaan intelektual yang berakar pada budaya tradisional. (Banks & O’Connor, 2009; Galloway & Dunlop, 2007; O’Connor, 2000; O’Connor, 2009). (2) Industri kreatif berbasis inovasi dengan memanfaatkan teknologi media baru. Adapun kelompok industri ini cenderung mengembangkan inovasi produk dengan memanfaatkan teknologi media baru. Implikasi utama dari kelompok industri ini adalah perlunya legalitas hak cipta sebagai syarat keberlanjutan usaha kelompok industri ini. Contoh dari kelompok industri ini adalah perilman, aplikasi & permainan, animasi, dan yang lainnya (UNDP, 2013).

Fahmi et al. (2015) melihat bahwa kedua kelompok industri kreatif di atas berkembang di Indonesia karena didukung oleh faktor faktor penopang yang berbeda. Industri budaya tradiosional dipengaruhi oleh faktor penopang budaya lokal yang kuat misalnya dareah Bali, Yogyakarta, dan Surakarta. Sedangkan industri kreatif berbasiskan inovasi teknologi berkembang diwilayah yang secara geographis dapat menyedikaan infrastruktur media baru, dan ketersediaan SDM yang mampu berinovasi dengan media baru seperti Jakarta dan Bandung.

(16)

14

Industri kreatif di Indonesia memberikan kontribusi sebesar 7,38% terhadap total perekonomian nasional, dan mengalami kenaikan 4,38% dari Rp 784,82 Trilliun pada tahun 2014 menjadi Rp 852,24 Trilliun pada tahun 2015. Tiga subsektor yang berkontribusi paling tinggi terhadap

PDB adalah kuliner, fashion, dan kriya, masing-masing

sebesar 41,69%, 18,15%, dan 15,7% (Rusiawan et al., 2017). Industri kreatif Indonesia memasok sekitar 10% ekspor nasional, sedangkan nilai impor industri ini hanya 1%. Nilai ekspor industri kreatif yang 10 kali lipat lebih tinggi daripada nilai impornya menunjukkan bahwa produk industri kreatif Indonesia memiliki keunggulan kompetitif di pasar global. Fakta ini juga menjelaskan bahwa industri kreatif Indonesia memiliki tingkat ketergantungan impor yang kecil sehingga memiliki kesempatan untuk terus berekspansi dan menguasai pasar dalam negeri (Simarmata & Adiwidjaja, 2011).

Industri kreatif nasional akan berkembang dengan lebih optimal apabila para pelaku UMKM kreatif juga dapat mengasah kualitas usaha dan produknya. Salah satu strategi perbaikan tersebut adalah dengan membangun citra merek yang positif. Pengembangan citra merek akan berimplikasi secara signiikan terhadap keuntungan ekonomi perusahaan (Kandampully & Suhartanto, 2003). Sayangnya, hal ini belum secara baik dilakukan oleh kebanyakan UMKM kreatif di Indonesia.

Pada umumnya UMKM kreatif belum menaruh perhatian khusus terhadap strategi penguatan eksistensi mereknya melalui pengembangan citra merek. Padahal, layaknya di tingkat bisnis secara luas, UMKM dapat mempunyai daya saing yang tinggi dengan menciptakan citra merek yang unik di pasaran. Membentuk citra merek tersebut dapat dilakukan melalui penawaran produk atau layanan yang memiliki inovasi berbeda sehingga dapat menonjol di antara pesaingnya (Erenkol & Öztaş, 2015). Hal ini masih menjadi kendala dari UMKM kreatif di Indonesia.

Kendala lain yang ditemukan adalah mengenai hak paten. Setelah membentuk citra merek yang positif dan unik, kekayaan intelektual yang terasosiasi dengan merek tersebut atau inovasi yang telah dilakukan perlu dilindungi oleh hak paten. Pendaftaran hak paten dan merek dapat memberikan kebebasan gerak bagi UMKM dan mengeleminasi ancaman pesaing. Inovasi yang dilakukan juga dapat memberikan nilai tambah di pasar yang akhirnya dapat membawa proit bagi UMKM dan memperkuat posisi merek mereka di pasar (Erenkol & Öztaş, 2015).

Pada tahun 2016, persentase UMKM kreatif yang sudah memiliki Hak Kekayaan Intelektual (HKI) cenderung rendah. Sesuai dengan graik di bawah ini, hanya 11,05% UMKM kreatif yang sudah memiliki HKI, sedangkan sebesar 88,95% masih belum memiliki HKI (Utoyo, Rozama, & Wulandari, 2016).

Gambar 2.1 PDB Ekonomi Kreatif (Ekraf) 2014-2015 (Bekraf, 2016)

(17)

15

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Gambar 2.2 Persentase UMKM kreatif yang memiliki HKI

Dari 11,05% UMKM kreatif yang memiliki HKI, tiga subsektor yang paling banyak sudah memiliki HKI adalah (1) subsektor ilm, animasi dan video, sebesar 21,08%; (2) subsektor kuliner, sebesar 19,75%; dan (3) subsektor televisi dan radio, sebesar 16.59% (Utoyo et al., 2016).

Gambar 2.3 Persentase UMKM kreatif yang memiliki HKI menurut subsektor

(18)

16

Citra merek adalah kesan yang muncul dalam benak konsumen saat ia berinteraksi dengan sebuah merek (Salim & Dharmayanti, 2014). Hal ini merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi keputusan pelanggan dalam memilih suatu produk atau layanan, sehingga secara umum mempengaruhi perilaku konsumen dalam pembelian (Kandampully & Suhartanto, 2003; Lahap, Ramli, Said, Radzi, & Zain, 2015). Citra merek yang kuat memiliki kapasitas untuk mempengaruhi tingkat penjualan, harga penjualan, pendapatan dan tingkat keuntungan ke arah yang lebih positif (So, King, Sparks, & Wang, 2013).

Untuk membentuk sebuah citra merek yang kuat, sebuah organisasi perlu menentukan identitas dari merek yang ditawarkan. Identitas merek adalah nilai atau persona yang paling mendasar dari sebuah merek. Merek dapat menjadi kuat jika identitasnya sesuai dengan perilaku pelanggannya. Dengan landasan ini, identiikasi dan pengembangan identitas merek menjadi penting agar

komunikasi tentang seperti apa produk atau layanan yang menyandang merek tersebut dapat dilakukan dengan lebih baik kepada konsumen. Dalam penentuan identitas

merek, konsep Carl Jung mengenai 12 archetype dari

manusia kerap kali dijadikan acuan.

Dalam ilmu pemasaran, konsep “12 Brand Archetype” yang

dikembangkan oleh Carl Jung lazim digunakan sebagai

dasar penentuan identitas merek. Brand Archetype

adalah identitas yang ditetapkan oleh pemilik merek berdasarkan sebuah simbol atau ikon yang dirasakan cocok dengan perilaku konsumennya. Gagasan di balik

penggunaan Brand Archetype adalah untuk menciptakan

kedekatan yang kuat antara konsumen dan merek. Merek akan lebih mudah menciptakan keterkaitan emosional dengan konsumen apabila identitas yang diusung sesuai dengan perilaku konsumen sehingga terbentuk citra merek yang personal dan melekat di benak konsumen

(Lahap et al., 2015). Berikut adalah 12 tipe archetype:

Citra Merek

Gambar 2.4 Brand Acrhetype Beserta

(19)

17

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Membangun identitas sebuah merek merupakan sebuah langkah awal dan paling mendasar dalam menciptakan sebuah merek yang kuat. Indikator utama dari kekuatan sebuah merek terlihat dari ekuitasnya (brand equity), yaitu nilai komersial yang diturunkan dari persepsi konsumen terhadap nama sebuah merek. Semakin tinggi ekuitas yang dimiliki sebuah merek, semakin banyak pula manfaat yang diperoleh perusahaan. Beberapa manfaat yang dimaksud adalah loyalitas pelanggan, marjin keuntungan yang lebih besar, pelanggan yang tidak terpengaruh oleh perubahan harga, kemudahan terciptanya kolaborasi dengan pihak-pihak lain, peningkatan efektivitas komunikasi pemasaran, dan lain-lain. Sebuah teori pengembangan ekuitas merek dirumuskan berdasarkan hal tersebut, serta juga berbasis konsumen. Teori ini adalah consumer-based brand equity. Premis dasar dari model ini adalah kekuatan sebuah merek terletak pada bagaimana konsumen memahami, merasakan, melihat, dan mendengar sebuah merek tertentu dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, kekuatan merek terletak dalam pikiran atau persepsi konsumen (Keller, 2001).

Model consumer-based brand equity ini tersusun dari 4

tahapan sesuai dengan yang diilustrasikan dalam gambar

2.5 di atas, yaitu identitas (identity), makna (meaning),

respon (response), dan hubungan (relationship).

Terdapat 6 blok dalam model ini, yaitu ciri khas (salience),

kinerja/performa (performance), imagery, pertimbangan

(judgment), perasaan (feeling), dan resonance.

Brand Salience mencakup aspek kesadaran konsumen dalam mengidentiikasi identitas suatu merek. Kesadaran konsumen ini terbentuk dari beberapa elemen, seperti nama merek, logo, simbol, dan yang lainnya. Seluruh elemen tersebut memiliki pengaruh dalam membentuk asosiasi atau identitas tertentu dalam benak konsumen.

Brand Salience ini menjadi fondasi utama dalam mempengaruhi pembentukan asosiasi atau identitas terhadap suatu merek yang pada akhirnya membentuk citra dan arti dari merek tersebut.

Brand Performance terikat dengan aspek fungsional dari sebuah merek. Mendesain produk yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen merupakan salah satu hal penting dalam konstruksi merek yang kuat. Dalam rangka menciptakan loyalitas merek dan keterikatan dengan merek, pengalaman konsumen dalam mengonsumsi produk harus sesuai dengan

ekspektasi mereka. Brand Performance mencakup

aspek fungsional produk atau layanan dalam memenuhi kebutuhan konsumen.

Brand Imagery memiliki keterikatan terhadap nilai ekstrinsik dari produk dalam memenuhi kebutuhan psikologis atau sosial. Aspek ini berfokus terhadap bagaimana persepsi konsumen terhadap sebuah merek dalam hal yang cenderung berupa nilai-nilai psikologis daripada secara fungsional. Dengan demikian, hal ini

terkait pada nilai-nilai yang tidak berwujud (intangible)

dari sebuah merek.

Brand Judgement melibatkan penilaian konsumen

terhadap assosiasi-asosiasi yang muncul dari performance

dan imagery suatu merek sehingga membentuk suatu opini. Beberapa elemen yang tercakup dalam aspek ini adalah kualitas merek, kredibilitas merek, konsiderasi

merek, dan keunikan merek (superiority).

Brand Feelings memiliki keterikatan dengan aspek nilai perasaan yang sesuai dengan kondisi sosial konsumen, misalnya perasaan yang timbul dari aktivitas pemasaran dari suatu merek, bagaimana sebuah merek berpengaruh terhadap perasaan konsumen terhadap dirinya sendiri dan hubungan dengan lingkungan sosialnya. Perasaan-perasaan tersebut secara alamiah dapat terbentuk secara ringan atau intensif, dan secara positif maupun negatif.

(20)

18

Pengembangan citra merek sangat lazim dilakukan oleh perusahaan yang telah berdiri cukup lama dan telah memiliki pasar dengan skala besar. Dengan sumber daya manusia dan keuangan yang mencukupi, manajemen citra merek perusahaan tersebut dapat dilaksanakan secara strategis untuk mencapai kesadaran publik

tentang merek yang dijual (brand awareness) dan

akhirnya memaksimalkan penjualan produk.

Pada skala usaha yang lebih kecil, yaitu di tingkat UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah), pengembangan citra merek bukanlah suatu hal yang lazim. Walaupun ada sejumlah kecil UMKM yang memperhatikan pengembangan citra merek produknya, kegiatan pengembangan tersebut tidak dilakukan secara strategis dan terpadu layaknya perusahaan besar. Keterbatasan waktu dan sumber daya merupakan faktor utama

penghambat pengembangan citra merek UMKM. Karakteristik utama UMKM adalah keterlibatan pemiliknya secara aktif dalam menjalankan usaha UMKM tersebut. Krake (2005) melihat bahwa format pengembangan citra merek UMKM umumnya berlandaskan semangat (passion) dari pemilik merek tersebut sebagai seorang wirausahawan. Semangat ini diimplementasikan dalam peran aktif wirausahawan tersebut untuk mencapai

pengakuan tentang mereknya (brand recognition).

UMKM umumnya tidak memiliki divisi marketing yang

khusus menangani urusan pengembangan merek, sehingga peran ini juga dipegang oleh sang pemilik usaha. Hal serupa juga ditunjukkan oleh temuan Spence and Hamzaoui Essoussi (2010) bahwa citra merek UMKM merupakan perpanjangan atau kelanjutan dari visi, keyakinan, dan nilai dari sang wirausahawan pemilik

UMKM dan Citra Merek

Gambar 2.5 Brand Equity Model oleh Keller

What about you and me?

(21)

19

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

UMKM.

Krake (2005) juga menemukan bahwa pola kewirausahaan yang mengendalikan UMKM berdampak pada warna merek yang mirip dengan karakter sang wirausahawan pemilik usaha. Pola kewirausahaan juga memungkinkan kreativitas dan keinovasian dalam pengembangan citra merek untuk tumbuh tanpa hambatan struktural, seperti pada perusahaan besar dengan struktur organisasi yang lebih kompleks.

Yin Wong and Merrilees (2005) membawa kajian

tentang empat konsep inti dari strategi merek (brand

orientation, brand barriers, brand distinctiveness, dan brand-marketing performance) ke ranah UMKM. Mereka menemukan bahwa pengembangan citra merek UMKM

umumnya masih beroperasi di tingkat brand orientation,

yaitu sebuah proses kreasi, pengembangan, dan proteksi identitas merek dalam interaksinya dengan konsumen

sasaran. Jenis yang paling sederhana untuk brand

orientation UMKM adalah minimalist brand orientation.

Satu tingkat di atasnya adalah embryonic brand

orientation, dan yang paling tinggi adalah integrated brand orientation. Ciri-cire tipe minimalist adalah

kegiatan marketing yang sangat sederhana. Kegiatan

marketing yang lebih kuat ditemukan di tipe embryonic, tetapi kegiatan pengembangan merek dalam tipe ini bersifat sangat informal dan hanya sekedar pilihan. Di

tingkat teratas, yaitu integrated, kegiatan promosi dan

pengembangan merek sama-sama sangat kuat dan dianggap sebagai prioritas.

Studi yang dilakukan oleh Berthon, Ewing, and Napoli (2008) mengindikasikan bahwa ada sejumlah UMKM yang

berhasil menjalankan kegiatan branding (BMP, Brand

Management Practices) dengan mengadopsi BMP utama khas perusahaan besar dan menyesuaikannya dengan skala usaha dan sumber daya UMKM tersebut. UMKM tersebut berhasil menunjukkan kinerja dan prestasi yang baik. Hal ini berarti bahwa pengembangan citra merek yang baik bukanlah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh UMKM, terlepas dari keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Elemen-elemen BMP terpenting yang

berhasil diidentiikasi sebagai faktor penentu kesuksesan UMKM tersebut adalah: mengerti kebutuhan konsumen dan persepsi tentang merek; menciptakan merek yang relevan dan bernilai; konsisten dalam setiap kegiatan branding; mengkomunikasikan merek dengan efektif; dan membangun arsitektur merek yang koheren.

Pada tingkat UMKM, Centeno, Hart, and Dinnie (2013) membangun model pengembangan merek yang terdiri dari lima tahapan, yaitu (1) merek sebagai sebuah pribadi; (2) merek sebagai sebuah produk dan diferensiasi merek; (3) merek sebagai sebuah simbol; (4) merek sebagai sebuah organisasi; dan (5) pengembangan identitas merek dan pertumbuhan merek. Model ini, sayangnya, tidak baku dan tidak mudah diimplementasikan karena dalam mengksplorasi merek sang pemilik/wirausahawan selalu melakukan proses yang literatif, eksperimental, dan

berbasis trial and error. Elemen penting dalam proses

(22)

20

20

MET

ODOL

OGI

(23)

21

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

21

SNAPSHOTCITRA MEREKPRODUK KREATIF

DESAIN PENELITIAN

PENGUMPULAN DATA

PENGOLAHAN DATA

KETERBATASAN PENELITIAN

23

24

26

(24)
(25)

23

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Gambar3.1 Diagram Alur Penelitian

Bab ini menjabarkan metodologi penelitian yang mencakup kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh data

dan bagaimana data tersebut diolah. Secara singkat, 3 kegiatan utama dalam pengumpulan data adalah Focused Group

Discussion (FGD), In-depth Interview (IDI), dan survei konsumen. Pengolahan data dilakukan menggunakan pendekatan

kualitatif dan kuantitatif dalam rangka menghasilkan insight untuk pengembangan citra merek produk kreatif nasional.

Desain Penelitian

Gambar 3.1 adalah diagram yang menggambarkan alur penelitian yang sudah dilakukan. Penelitian ini mencakup kegiatan Focused Group Discusssion (FGD), In-depth Interview (IDI), dan survei. FGD dilakukan terhadap pelaku industri kreatif pada level UMKM dari 6 sektor kreatif. IDI dilakukan terhadap pejabar pemerintah daerah dari dinas-dinas yang terkait dengan pengembangan industri dan ekonomi kreatif. Survei dilakukan secara daring terhadap

(26)

24

SEKTOR USAHA PESERTA FGD

USIA PESERTA FGD

TINGKAT PENDIDIKAN PESERTA FGD

Focused Group Discussion

Kegiatan Focused Group Discussion (FGD) dilakukan

dengan mempertemukan pelaku industri kreatif di enam

sektor, yaitu animasi, aplikasi, musik, kuliner, fashion

(mode dan busana), dan kriya. Pelaksanaan FGD ini dilakukan di 10 kota di Indonesia, yaitu Manado, Makassar, Palembang, Medan, Jakarta, Bandung, Ambon, Kupang,

Pengumpulan Data

Semarang, dan Surabaya. Total peserta kegiatan FGD ini adalah 92 orang.

(27)

25

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

In-depth Interview

Kegiatan In-depth Interview (IDI) dilakukan terhadap

pejabat Pemerintah Daerah dari dinas-dinas terkait, antara lain Dinas Koperasi, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dan Dinas Perindustrian dan Perdangangan. Dengan IDI ini, program-program

Survei konsumen secara online dilakukan untuk

mengetahui sudut pandang konsumen terhadap elemen citra merek dari sebuah produk kreatif dalam enam sektor yang telah ditentukan. Proses pengambilan data survei ini dibantu oleh pihak ketiga yaitu JakPat, selaku penyedia

yang telah dijalankan dan kendala-kendala yang dihadapi oleh Pemda dalam hal-hal yang terkait pengembangan citra merek produk kreatif dapat digali.

layanan kuesioner online. Sebanyak 1.825 responden

telah mengisi kuesioner ini dengan proil per sektor sebagai berikut:

(28)

26

Pengolahan Data

Pengolahan data hasil FGD dan IDI dilakukan

menggunakan qualitative content analysis. Teknik

pengolahan data ini mencakup prosedur kategorisasi

persamaan atau perbedaan temuan (coding), releksi

terhadap ketegori yang dirumuskan (memoing),

pemahaman hubungan antar kategori, pengecekan dan perbaikan, generalisasi, dan pengembangan teori. Pengolahan data kualitatif ini dilakukan dengan menggunakan software NVIVO. Hasil akhir dari proses ini adalah kategorisasi yang valid atas temuan-temuan di

lapangan.

Data responden FGD dan hasil data survei konsumen diolah menggunakan proses pengolahan data kuantitatif, mengingat data yang didapat berbentuk numerik. Data kuantitatif tersebut diolah dengan menggunakan software SPSS dan dengan melihat hasil realibilitas serta validitas dari data yang didapatkan. Hasil akhir

dari proses ini adalah bar chart ataupun pie chart yang

menggambarkan persentase jawaban responden.

(29)

27

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Keterbatasan yang dapat diidentiikasi dalam penelitian ini adalah:

1. Tidak semua narasumber FGD dapat hadir pada saat

pelaksanaannya, meskipun narasumber tersebut telah menyatakan bersedia hadir. Hal ini berpengaruh kepada jumlah sampel, walaupun secara agregat tingkat keterwakilan dari sampel kepada populasi tetap baik.

2. Jadwal pejabat pemerintah yang dapat berubah sewaktu-waktu menjadi salah satu kendala penelitian ini. Mengingat waktu yang dialokasikan untuk wawancara di masing-masing kota cukup terbatas, jumlah informan yang berhasil diwawancarai juga menjadi terbatas karena jadwal yang tidak sesuai.

3. Salah satu kendala yang umum dalam menggunakan kuesioner adalah jawaban responden yang mengisi data secara tidak valid. Akibatnya, banyak data yang dibuang dan tidak dimasukan kedalam analisis. Akan tetapi, jumlah responden yang mengisi kuesioner cukup banyak, sehingga validitas dan reliabilitas penelitian ini tetap baik.

(30)

28

28

MEMBANGUN

IDENTIT

AS MENUJU

CITRA INDUSTRI

KREA

(31)

29

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

29

SNAPSHOTCITRA MEREKPRODUK KREATIF

KUPANG

PALEMBANG

JAKARTA

MAKASSAR

AMBON

MANADO

SEMARANG

SURABAYA

MEDAN

BANDUNG

33

34

36

38

41

43

44

47

49

(32)

30

Temuan dari proses FGD pengembangan citra merek oleh pelaku UMKM kreatif dijabarkan dalam bab ini. Pembahasan ini mencakup pemahaman pelaku industri kreatif terkait pengembangan citra merek serta kegiatan apa saja yang sudah dilakukan dalam mengembangkan citra merek produknya. Selain itu, strategi yang pelaku industri kreatif telah jalankan dalam pengembangan citra merek juga diidentiikasi. Penjelasan mengenai kondisi pengembangan citra merek akan dipaparkan berdasarkan temuan di masing-masing sektor, yaitu kriya,

fashion (mode, busana), aplikasi, animasi, kuliner, serta aplikasi.

Kegiatan FGD dilakukan sebanyak 10 kali di 10 kota di Indonesia yaitu: Palembang, Jakarta, Makassar, Medan, Ambon, Surabaya, Kupang, Bandung, Semarang dan Manado. Proses FGD ini dihadiri oleh para pelaku UMKM kreatif di 6 sektor yang telah dijabarkan di atas.

Berikut adalah proil dari peserta FGD citra merek secara agregat. Proil dari peserta FGD ini mencakup lama berdiri usaha, jumlah karyawan, modal usaha, persentase pertumbuhan usaha dalam tiga tahun terakhir, kondisi usaha saat ini, dan sumber penjualan.

(33)

31

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

JUMLAH KARYAWAN PESERTA FGD

(34)

32

SUMBER PENJUALAN DI TAHUN 2014

SUMBER PENJUALAN DI TAHUN 2016

(35)

33

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Sejauh Manakah Industri Kreatif di Kupang Membangun Mereknya

Hasil penggalian informasi dan data dari kegiatan FGD citra merek dari

masing-masing kota dijabarkan di bawah ini.

Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan

di Hotel Swiss-Belinn Kupang, pada tanggal 26 Juli 2017 dihadiri oleh 10 pelaku UMKM kreatif sebagai narasumber. Dalam FGD ini ditemukan bahwa kegiatan membangun citra merek di Kupang masih belum dipahami dengan baik oleh para peserta. Hal ini menjadikan produk yang ditawarkan belum terintegrasi atau belum selaras dengan suatu identitas merek. Akibatnya, sebagian besar merek pelaku industri kreatif belum memiliki citra merek yang kuat.

Secara garis besar, pelaku industri kreatif di Kupang masih kesulitan menentukan persona identitas apa yang ingin ditonjolkan dalam merek mereka. Para pelaku hanya memiliki keinginan yang kuat untuk terus bertahan

sehingga mengasosiasikan diri mereka dengan archetype

creator. Padahal, persona dari creator adalah nilai inovasi yang didasari atas keinginan yang kuat mengeksplorasi dan menciptakan sesuatu yg baru. Hal ini terlihat dari beberapa pelaku di sektor kuliner, musik, dan animasi, seperti tergambar pada kutipan-kutipan berikut:

“The creator, usaha yang sudah dilakukan, karena ini dokumenter, jadi memang harus benar-benar bertahan lama, karena bergantung pada kebudayaan asli dari daerah saya sendiri maupun kita semua” (Ibu Maria dari Sektor Animasi)

“The creator, karena saya ingin bertahan lama. Bisa mengenalkan merek mungkin dengan kado, jadi terus memperbanyak referensi” (Bapak Akis dari Sektor Musik)

Implikasi dari kurangnya pemahaman ini adalah nilai pembeda yang ditawarkan dari masing-masing pelaku usaha tidak unik. Bahkan, ada yang belum memiliki merek. Sebagian besar pelaku UMKM kreatif di Kupang

bertahan karena jaringan konsumen dari kerabat-kerabat terdekat. Namun, kondisi seperti ini kemungkinan besar akan membuat skala usaha sulit untuk berkembang. Meskipun demikian, terdapat salah satu pelaku usaha di sektor musik yang cukup menonjol dari sisi pemahaman mengenai identitas merek. Identitas merek yang ‘inovatif’ ditanamkan dalam merek musik sasandonya. Hal ini mendorong pelaku usaha tersebut melakukan inovasi produk, yaitu sasando elektrik dan variasi warna sasando yang menarik. Gebrakan ini memperkuat citra merek “Edon Sasando” menjadi kental akan nilai inovatif, modern, dan kreatif.

Terdapat hal lain yang cukup menarik, yaitu dari salah satu pelaku usaha di sektor animasi .yang menyediakan jasa pembuatan ilm & animasi yang berfokus kepada topik budaya NTT. Identitas merek yang peduli akan kearifan budaya Kupang ini justru belum diangkat secara kuat oleh pemiliknya. Untuk itu, masih diperlukan upaya upaya untuk memperkuat idnetitas yna unik ini agar merk yang ada dapat menembus pasar dengan baik.

(36)

34

Penjabaran kondisi di atas tentang usaha industri kreatif di Kupang saat ini menunjukkan bahwa tidak banyak kegiatan strategis yang telah dilakukan dalam membangun citra merek. Pelaku masih menghadapi kesulitan dalam menentukan persona apa yang ingin diusung. Pola pikir pelaku masih terpaku pada mimpi mempertahankan kelangsungan usahanya, bukan pada elemen apa saja yang harus dipahami untuk membuat usahanya dapat bertahan lama. Hal ini menggambarkan dengan jelas bahwa pemahaman pelaku usaha terhadap identitas merek masih belum mendalam. Meskipun demikian, terdapat segelintir pelaku usaha yang sudah mengimplementasikan identitas yang dimilikinya ke dalam atribut produknya meskipun aktivitas tersebut Ibu Marline merupakan salah satu pemilik dan pengembang usaha alat musik sasando di bawah

merek “Edon Sasando”. Usaha ini telah berdiri dari

tahun 2008 dengan tekad untuk menjadi sebuah merek yang inovatif dan modern dibandingkan dengan pesaingnya. Berdasarkan hal tersebut, Ibu Marline dan sang suami mengembangkan produk sasando elektrik. Dengan gebrakan yang sangat mencuri perhatian tersebut, sasando elektrik ini membentuk citra merek

Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan

Praktik Terbaik (

Best Practice

)

sering dilakukan tanpa sadar. Strategi yang dilakukan oleh pelaku-pelaku usaha tersebut, antara lain:

- “Edon Sasando” yang menemukan inovasi sasando elektrik dan menyediakannya dalam berbagi varian warna, memperkuat citra merek inovatif dan kreatif yang diusung.

- “Geska”, merek dari produk kriya yang melakukan modiikasi tenun dengan barang-barang etnis dari pelosok daerah NTT. Hal ini memperkuat citra inovatif, kreatif dan kental akan budaya yang diusung oleh pelaku usaha tersebut.

“Edon Sasando” sebagai merek usaha sasando yang inovatif, modern, dan kreatif. Tidak sampai di situ, untuk memperkuat citra mereknya, Ibu Marline juga meluncurkan produk sasando dengan berbagai variasi warna dan bentuk. Ibu Marline juga sudah memiliki divisi sendiri untuk mendesain produk sasando ini dan desain yang dimiliki tidak sama dengan yang tersedia di toko-toko.

Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang

dilaksanakan di Hotel MaxOne Palembang pada tanggal 12 Juli 2017 dihadiri oleh 10 pelaku UMKM kreatif sebagai narasumber. Dalam FGD buku snapshot Citra Merek di Palembang ini, peserta dari sektor kuliner dan sektor kriya memiliki kemiripan dalam kebanggaan terhadap suku serta nilai budaya yang dimiliki masyarakat Palembang. Etnosentrisme dalam arti positif terlihat jelas di kedua sektor tersebut. Hal ini diperkuat dengan munculnya unsur budaya yang melekat pada produk-produk mereka, yakni kemplang dengan cuko kentalnya, bakso dengan tulang sumsumnya, dan boneka dengan songketnya. Selain itu, mereka memiliki aspirasi yang kuat untuk

Profil Peserta FGD di Palembang

m e n u n j u k a n eksistensi diri maupun suku daerah Palembang di khalayak yang lebih luas. Kutipan di bawah ini dapat menggambarkan penjelasan diatas:

- “Harapannya dengan kemplang ini orang yang jauh dan kangen Palembang bisa mengobatinya dengan menicipi makanan ini” (Sektor Kuliner)

- “Saya ingin membuktikan kalau orang Palembang itu mendunia” (Sektor Kuliner)

(37)

35

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

- “Kalau saya sekarang Regular Guy karena memiliki

daerah khas Palembang, selanjutnya saya the creator,

mungkin kedepannya mungkin ada cabangnya” (Sektor Kriya)

Hal yang berbeda tergambar dari sektor fashion

(mode, busana), dimana terlihat jelas sektor fashion

ingin sekali menunjukan citra modern, modis, dan elegan. Hal ini dianggap menjadi keunikan tersendiri dibandingkan dengan kompetitor yang menawarkan desain “kuno”. Inovasi ini diterjemahkan melalui pemilihan warna yang lebih lembut, desain yang elegan dan praktis, sampai ke pelayanan kustomisasi produk sesuai dengan kemauan pelanggan. Kutipan di bawah ini dapat menggambarkan penjelasan di atas:

- “Orang hijab identik dengan yang kekunoan. Bahkan orang hijab yang daftar ke bank disuruh tawarkan ibu mau melepas hijabnya. Jadi orang yang berhijab ini didiskriminasi. Dari ini saya mempunyai tujuan untuk merubah persepsi tadi, jadi orang berhijab itu belum tentu tidak menarik gitu loh pak”

- “Wanita itu sangat identik dengan kelembutan dan anggun juga. Jadi ketika menggunakan produk saya, yang akan tampil adalah kesederhanaan tapi tetap elegan”

- “Orang yang ingin buat gantungan saya penuhi, tapi ide mereka saya penuhi tetapi tidak lepas dari dengan bahan saya”

Kemiripan juga ditemui kembali di dalam sektor aplikasi dan animasi. Aspirasi untuk menjadi developer

aplikasi dan animasi yang inovatif, imajinatif, dan berbeda terlihat sangat jelas dari sektor ini. Hal ini disebabkan oleh persepsi pelaku yang percaya bahwa elemen-elemen tersebut adalah modal utama dalam bersaing di pasaran. Selain itu, keinginan dan idealisme pelaku dari kedua sektor tersebut untuk dapat berguna bagi masyarakat atau konsumen dapat tergambar secara implisit dari penyataan-pernyataan yang terlontar. Kutipan di bawah ini dapat menggambarkan penjelasan di atas:

- “Sekarang dibuat game sendiri dituntut untuk out of

the box, jadi harus selalu kreatif” (Sektor Aplikasi)

- “Saya ingin punya start-up seperti Amazon, Uber,

Gojek, dll, jadi saya punya aplikasi yang bisa dipakai orang lain” (Sektor Aplikasi)

- “Saya ingin ketika orang main games saya akan selalu

merasa bahagia” (Sektor Aplikasi)

- “Membuat suatu advertising yang out of the box juga

sehingga suatu brand bisa dikonsumsi oleh konsumen.

Dan juga kedepannya bisa jadi The Magician di mana

suatu advertising bisa memotivasi dan karismatik” (Sektor Animasi)

Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan

Dengan karakteristik yang teridentiikasi di atas, para pelaku usaha kreatif di Palembang telah berusaha untuk menjalankan strategi tertentu dalam mengembangkan citra merek. Para pelaku industri kreatif di Palembang telah memiliki harapan akan identitas apa yang ingin ditonjolkan dalam merek yang mereka kembangkan. Namun, tidak banyak strategi yang dilakukan untuk mengembangkan citra merek ini. Secara garis besar strategi yang dilakukan oleh pelaku industri kreatif di Palembang masih berfokus pada penyelarasan identitas dan atribut produk yang ditawarkan. Berikut adalah penjabarannya:

• Salah satu pelaku usaha di sektor fashion

mengembangkan produk hijab yang memiliki desain modern dan modis. Selain itu, ia juga memasukkan elemen kepraktisan dalam produknya, yaitu hijab yang dapat digunakan menjadi 6 gaya yang berbeda dari 1 hijab yang sama. Hal ini sesuai dengan visi pemilik yang ingin mengomunikasikan citra merek produk hijab yang jauh dari kata “kuno”.

• Keinginan para pelaku usaha di sektor kuliner untuk

menonjolkan nilai budaya Palembang juga masih terlihat dalam tahap atribut produk, yakni cuko kental

dari “Kemplang Kito”, kain songket dari “Flanel

Vent Craft”, dan tulang sumsum dari “Bakso Opa Godeg”. Ciri khas masyarakat Palembang tersebut berhasil membentuk citra merek para pelaku di sektor kuliner yang kuat akan unsur budaya lokal.

• Kesan kreatif, inovatif, dan out of the box yang ingin

di tunjukan oleh salah satu pelaku di industri animasi mendorong terjadinya penggabungan teknik pembuatan ilm dalam proses produksinya. Teknik yang dipakai dalam proses produksinya adalah

penggabungan ilm dan visual cinematography serta

(38)

36

Dengan kebanggaan atas budaya Palembang yang sangat mendalam, Ibu Nuralamah menghadirkan produk kemplang dengan sentuhan budaya Palembang. Usaha

kemplang yang diberi nama “Kemplang Kito” ini

telah berdiri semejak tahun 2016. Walaupun usahanya belum berlangsung lama, merek “Kemplang Kito” telah menunjukan kegiatan pengembangan merek yang cukup kuat dibandingkan pesaingnya.

Menggunakan nama “Kito”, yang merupakan Bahasa Palembang dari kata ‘kita’ menciptakan citra merek yang hangat namun tetap mengandung unsur budaya Palembang. Tidak hanya berhenti pada pemberian nama merek saja, kegiatan pengembangan citra merek ini juga sampai pada pada atribut produk yang ditawarkan. Hal ini yang mendorong Ibu Nuralamah menggunakan

cuko kental untuk disandingkan dengan produk kemplangnya. Cuko kental yang merupakan khas kuliner kota Palembang memperkuat citra merek kemplang kito menjadi “kemplangnya orang Palembang banget”. Cara komunikasi yang menggunakan bahasa Palembang

juga diterapkan oleh “Kemplang Kito”. Hal ini dapat

dilihat dari jejak digital pemasarannya di kanal Facebook. Penggunaan bahasa lokal ini semakin memperkuat citra

merek “Kemplang Kito” yang kuat akan sentuhan budaya

Palembang. Selain itu, penggunaan kanal Facebook ini menjadi cara yang efektif untuk meningkatkan eksposur merek dan membentuk kredibilitas merek. Hal ini akhirnya akan berkontribusi pada penguatan citra merek.

Praktik Terbaik (

Best Practice

)

Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang

dilaksanakan di Hotel Haris FX Sudirman, Jakata Pusat, pada tanggal 15 Juni 2017 dihadiri oleh 9 pelaku UMKM kreatif sebagai narasumber. Pelaku industri kreatif di Jakarta telah memahami pentingnya pengembangan citra merek. Mereka telah memahami beberapa aspek dalam mendeinisikan identitas dan citra merek produk mereka, mulai dari ilosoi di balik pemilihan identitas merek hingga bagaimana identitas tersebut diterjemahkan secara praktis.

Salah satu contohnya adalah seorang pengusaha produk kriya. Ia telah membawa citra merek dan identitasnya sampai pada aspek kemasan. Demi menciptakan citra

mainan kayu yang dijualnya sebagai produk non-toxic,

sang pemilik merek sedang mengembangkan kemasan

yang terlihat alami.

Contoh lainnya adalah di sektor kuliner. Seorang usahawan makanan kerak telor mempunyai misi untuk melestarikan kebudayaan Betawi, dimana misi ini merupakan suatu kebanggaan khusus baginya. Hal ini diejawantahkan dalam nama merek dan desain logo yang berciri khas Betawi.

Secara garis besar, nuansa idealisme sangat menonjol dari misi penciptaan usaha produk-produk kreatif seperti yang dicontohkan. Pencarian posisi identitas merek yang sesuai berperan cukup besar karena berkaitan erat dengan langkah pengembangan citra merek.

(39)

37

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan

Salah satu strategi pengembangan citra merek yang dilakukan adalah mendesain sebuah pengalaman interaksi dengan konsumen. Seorang pengusaha

kerak telor “Kerak Telor Bang Sape’i” yang memiliki

identitas nilai budaya Betawi yang kental mengajak para konsumennya untuk ikut serta dalam proses memasak kerak telor. Misalnya, apabila sang pembeli ingin membeli 2 porsi, maka 1 porsi dimasak oleh penjual dan 1 porsi lainnya dimasak oleh pembeli, dan pengalaman tersebut dapat dibagikan lewat media sosial. Penggunaan media sosial dan strategi digital seperti ini juga telah dilakukan oleh beberapa peserta lainnya dalam menyebarluaskan citra merek serta memasarkan produk mereka.

Hal ini dapat memperkuat citra merek “Kerak Telor

Bang Sape’i” sebagai merek yang sangat peduli dalam melestarikan budaya Betawi. Merek ini bukan hanya menjadi merek yang mengusung budaya Betawi, tetapi juga menjadi merek yang secara aktif melestarikan budaya Betawi. Harapan pemilik merek secara jangka panjang adalah apabila konsumennya mendengar kata pelestarian budaya Betawi, asosiasi yang muncul adalah

(40)

38

Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang

dilaksanakan di Hotel Best Western Makassar pada tanggal 11 Juli 2017 dihadiri oleh 10 pelaku UMKM kreatif sebagai narasumber. Dalam FGD Citra Merek di Makassar, sektor kuliner mempunyai misi untuk mengangkat nilai kedaerahan Sulawesi Selatan melalui penggunaan bahan baku lokal. Dalam mengembangkan citra mereknya, seorang produsen kerupuk dan minuman dari rumput laut telah mendaftarkan merek dagangnya. Seorang produsen minuman jahe juga telah membuat produk yang sangat detail warna Sulsel-nya dalam unsur kemasan dan bahan baku. Selain itu, misi edukasi tentang

pentingnya makanan sehat homemade pendamping ASI

untuk bayi juga diemban oleh seorang wirausahawati katering makanan bayi.

Temuan dari sektor aplikasi dalam pengembangan citra merek adalah keinginan seorang pengembang aplikasi untuk dikenal sebagai kontributor terhadap solusi dari permasalahan dalam masyarakat melalui pengembangan

aplikasi atau software. Namun belum terlihat usaha

pengembangan citra merek yang selaras dengan identitas tersebut, baik dari penentuan nama merek, desain visual, ataupun aktiitas komunikasi pemasarannya.

Peserta dari sektor animasi ingin membangun citra mereknya menjadi merek yang memiliki kreasi media

hiburan edukatif. Dalam rangka memperkuat citra merek yang ingin dibangun, selain memproduksi animasi yang kental akan unsur edukasi, ia berencana mengembangkan

inovasi virtual dan augmented reality. Hal ini menjadikan

konsumen dapat memiliki pengalaman yang interaktif dari konten-konten edukatif yang diproduksi. Di samping itu, hal ini juga dapat memperluas target audiens kepada anak-anak berkebutuhan khusus.

Di sektor fashion (mode, busana), kedua peserta yang

hadir juga ingin mengangkat nilai-nilai khas daerah Sulawesi Selatan, seperti peserta dari sektor kuliner. Seorang peserta yang menggeluti usaha hijab ingin mengangkat tulisan Lontara (aksara tradisional Sulawesi Selatan) melalui hijab bermotif batik Lontara. Ia sedang mengembangkan motif batik Lontara, dari yang sederhana, misalnya tulisan “Aga kareba?” (apa kabar?) sampai yang lebih kompleks dengan muatan pesan moral. Peserta lainnya, yang menjalankan bisnis kaus, memposisikan produknya sebagai kaus khas Makassar, seperti Dagadu di Jogja atau Joger di Bali. Pengembangan citra mereknya dilakukan dengan misalnya menggunakan tagline yang unik, yaitu: “Desain Artis, Kualitas Turis, Harga

Friends”.

Sejauh Manakah Industri Kreatif di Makassar Membangun Mereknya

Praktik Terbaik (

Best Practice

)

Dari eksplorasi melalui kegiatan FGD, usaha industri

kreatif yang dapat dijadikan sebagai contoh best practice

adalah “Kerak Telor Bang Sape’i”. Usaha beliau adalah

contoh kombinasi yang baik antara misi pelestarian budaya Betawi (unsur tradisional) dan aktivitas digital (unsur modern). Pengembangan citra merek melalui nama dan desain logo yang menonjolkan nuansa Betawi dipadukan dengan aktivitas pemasaran menggunakan website. Dengan cara tersebut, identitas Betawi yang ingin ditonjolkan tentunya dapat ditangkap dengan mudah dan luas oleh masyarakat dalam era digital saat ini.

Lebih jauh lagi, beliau juga telah memikirkan dan merancang pengalaman seperti apa yang dapat ditawarkan kepada konsumennya untuk mempermudah penyampaian pesan tentang pentingnya melestarikan budaya Betawi lewat kuliner kerak telor. Konsumen diajak

untuk menerapkan cara memasak kerak telor di outlet

(41)

39

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Pelaku usaha kreatif di Makassar telah menjalankan strategi tertentu dalam mengembangkan citra merek. Beberapa strategi atau rencana khusus untuk mengembangkan citra merek, antara lain:

1. Pelaku usaha produk makanan sehat pendamping ASI

untuk bayi memiliki citra merek kepedulian terhadap tumbuh kembang anak. Selaras dengan hal tersebut, kegiatan edukasi terhadap kebutuhan tumbuh kembang anak menjadi fokus utama. Salah satu contoh edukasinya adalah menanamkan pentingnya makanan sehat pendamping ASI, kandungan gizi, serta cara pengolahan yang baik. Pada akhirnya,

citra merek “Diangga Baby Meal” yang peduli

akan tumbuh kembang anak terbentuk secara kuat melalui inovasi produk yang makanan sehat untuk bayi serta kegiatan edukasi kepada sang ibu.

2. Pelaku usaha minuman jahe menggunakan

kata “Sarabba” pada merek produknya untuk

mempertegas bahwa produk minuman jahenya adalah khas Makassar.

3. Untuk kasus produsen kaus, sang pelaku usaha telah memikirkan untuk merancang suasana tokonya, di mana pelayan tokonya adalah orang lokal dengan pakaian adat dan keramahan khas Makassar. Dengan demikian, misi mengangkat budaya dan nilai lokal dapat berjalan dengan baik.

(42)

40

Praktik Terbaik (

Best Practice

)

Terdapat dua usaha kreatif dari Makassar yang dapat dijadikan contoh sebagai praktik terbaik dalam pengembangan citra merek. Kedua usaha tersebut adalah “Diangga Baby Meal” (produsen makanan homemade

sehat pendamping ASI untuk bayi) dan “Stalagmite

studio (studio animasi).

Diangga Baby Meal” telah melakukan langkah yang cukup unik dalam mengembangkan citra mereknya melalui inovasi makanan sehat sebagai produk yang ditawarkan, serta kegiatan edukasi kepada para ibu mengenai kebutuhan anak dalam masa tumbuh kembang. Strategi lain yang dilakukan untuk memperkuat citra mereknya adalah dengan cara memperluas cakupan pasarnya sehingga terbentuk citra yang kredibel. Dengan banyaknya ibu-ibu yang berkunjung ke Makassar, baik untuk berlibur maupun bekerja, ketika mereka membawa serta bayinya, peluang penjualan produk tersebut ke kalangan ini cukup tinggi. Kerja sama dengan hotel tempat ibu-ibu tersebut menginap juga menunjukkan kreativitas pemilik merek dalam mengembangkan citra mereknya.

Pemilik brand “Stalagmite Studio” dapat dikatakan

sangat terpelajar dan berwawasan luas dalam hal pengembangan merek dan aktivitas digital. Ia telah melakukan pengembangan dengan menggunakan jasa

konsultasi branding. Selain itu, penggunaan search engine

optimisation untuk memilih nama brandStalagmite

dan meningkatkan kepopuleran brand secara online

juga mengindikasikan kesiapan dalam melangkah lebih jauh lagi dalam memperkuat citra mereknya. Visi jauh ke depan telah dapat ditunjukkan oleh sang pemilik merek,

yaitu dengan menerapkan teknologi augmented dan

(43)

41

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang

dilaksanakan di Hotel Amaris Ambon, pada tanggal 15 Juli 2017 dihadiri oleh 7 pelaku UMKM kreatif sebagai narasumber. Pelaku industri kreatif di Ambon telah menyadari pentingnya pengembangan citra merek dari produk-produk mereka. Personiikasi merek yang

dipetakan menuju brand archetype dan didiskusikan

dalam FGD menunjukkan bahwa setiap peserta telah membangun konsep mereknya dengan jelas. Namun demikian, kedalaman dan kematangan eksekusi pengembangan yang dilakukan berbeda-beda antar tiap peserta atau pelaku usaha. Sebagai contoh, beberapa peserta telah mempunyai nama merek, tetapi terdapat pula beberapa peserta yang belum memiliki merek. Seorang produsen aplikasi pembelajaran, dengan guru-guru dan murid-murid sebagai konsumen, mengembangkan citra edukatif untuk merek produknya. Citra merek produk yang dikembangkan tercermin – salah satunya – dalam penamaan aplikasi dengan nama-nama yang terasosiasi dengan media pembelajaran. Untuk mempermudah penyampaian misinya agar dikenal sebagai merek yang membantu sektor pendidikan, peserta tersebut berinteraksi langsung dengan guru-guru dengan mendatangi sekolah untuk menunjukkan contoh-contoh aplikasi pembelajaran mata pelajaran. Peserta di sektor animasi menjalankan usahanya dengan

memperhatikan pentingnya mendapatkan chemistry

yang baik dan kecocokan dengan konsumen sebagai strategi untuk membangun citra merek. Ini juga

diharapkan sebagai sarana untuk memperoleh order

secara berkelanjutan. Untuk itu, ia membangun interaksi

secara terus-menerus dengan konsumen, dimana ia bersama dengan konsumen membahas konsep produk animasi yang akan dibuat. Oleh karena itu, citra merek yang terbentuk adalah merek yang ramah dan sangat paham terhadap yang kebutuhan konsumennya.

Hal yang menarik terlihat juga dari sektor kuliner yang memproduksi makanan olahan dari tuna, bluder sageru dari air nira, dan selai pala. Namun, dari ketiga pelaku usaha kuliner ini, hanya produsen selai pala yang sudah memiliki nama merek, sedangkan dua lainnya belum, sehingga belum ada citra merek yang terbentuk kuat dari pelaku di sektor kuliner ini.

Sektor kriya diwakili oleh seorang wirausahawan pembuat produk kriya dari tempurung kelapa. Pengembangan citra merek dilakukannya dengan menekankan bahwa tempurung kelapa dapat diolah menjadi bermacam bentuk produk dan kerajinan tangan, antara lain pelampung, dompet, guci, vas, dll. Untuk mendukung hal tersebut, beliau selalu berusaha menciptakan model desain yang baru untuk menambah variasi produknya. Citra merek yang terbentuk menjadi merek kriya yang inovatif dan kreatif.

Seorang wirausahawan yang memiliki sanggar kesenian musik tifa mewakili sektor musik. Misi pelestarian kebudayaan lokal melalui musik dan tarian tradisional dengan alat musik tifa melatarbelakangi pengembangan citra merek dari sanggar kesenian tersebut. Secara berkala, sanggar ini tampil dalam berbagai kegiatan adat dan acara pernikahan.

Sejauh Manakah Industri Kreatif di Ambon

Membangun Mereknya

Secara garis besar, strategi yang dilakukan telah selaras dengan citra merek yang ingin diusung, yaitu berkaitan dengan pemberian nama merek, desain visual, produk yang sesuai dengan citra merek, inovasi produk, hingga bentuk layanan yang diberikan. Meskipun begitu, pelaku belum menyentuh komunikasi dengan konsumen yang dapat memperkuat persepsi konsumen terhadap citra

merek yang diusung. Namun demikian, strategi yang telah dilakukan sudah cukup baik dalam membangun citra merek di pasar. Di sisi lain, masih terdapat pelaku-pelaku UMKM yang bahkan belum memiliki nama merek. Kesenjangan pengetahuan citra merek di Ambon cukup tinggi.

(44)

42

Kebudayaan Ambon yang begitu kaya banyak menginspirasi masyarakatnya untuk berkarya dalam rangka melestarikan budaya tersebut, termasuk Bapak Domi. Untuk menyalurkan kecintaannya terhadap budaya Ambon, Bapak Domi mendirikan “Sanggar Papala”. Bagi Bapak Domi, budaya memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya di Maluku. Hal ini dikarenakan budaya bagi masyarakat Maluku telah menjadi bahasa yang dapat menjembatani ketegangan sosial antar masyarakat.

Dengan misi tersebut, Bapak Domi membentuk “Sanggar Papala”, sebuah sanggar kesenian klasik yang dapat mengangkat dan melestarikan budaya asli Ambon.

Selain itu, Bapak Domi juga memproduksi alat musik tifa sebagai produk yang ditawarkan. Upaya menjaga keaslian budaya Ambon, menjadikan “Sanggar Papala” sebagai sanggar yang menyediakan pelatihan seni dan musik klasik Ambon. Hal ini merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Bapak Domi untuk membentuk citra mereknya. Selain itu, “Sanggar Papala” juga sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan multietnik dalam rangka memperkuat citra merek yang diusungnya.

(45)

43

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Kegiatan Focused Group Discussion (FGD) dilaksanakan

di Hotel Lion Manado, pada tanggal 28 Juli 2017 dihadiri oleh 7 pelaku UMKM kreatif sebagai narasumber. Peserta

dari sektor kuliner menjalankan usaha snack kue cubit

dan minuman. Dengan target konsumen mahasiswa, peserta tersebut mengedepankan unsur kreativitas pada produknya. Hal ini tercerminkan dari bentuk, tekstur, warna, dan rasa kue cubit yang selalu diusahakan untuk mendapatkan sentuhan inovasi dan berubah-ubah. Selain itu, pelaku usaha kuliner tersebut melihat adanya masalah kesehatan untuk makanan jajanan di kalangan mahasiswa, di mana mereka umumnya mengonsumsi gorengan.

Produk yang ia jual merupakan snack yang sehat, dan

hal tersebut dijadikan sebagai bagian terpenting dari identitas merek yang dibawa. Sebagai turunan dari identitas tersebut, ia menggunakan bahan-bahan organik. Dalam kegiatan promosi, ia selalu menekankan

bahwa snack-nya adalah produk organik. Dengan produk

snack organik tersebut juga, ia membawa misi edukasi bagi masyarakat untuk mengonsumsi makanan sehat. Tiga peserta dari sektor kriya merupakan pemain lama yang cukup senior dalam usaha kerajinan di Manado. Mereka masing-masing telah berkiprah selama 18 tahun (usaha kerajinan tangan), 12 tahun (toko souvenir), dan 10 tahun (usaha kerajinan tangan dari kayu kelapa). Pengembangan citra merek sektor kriya di Manado yang diwakili oleh ketiga peserta tersebut menekankan aspek kekhasan daerah, dimana citra merek dibangun dengan misi agar konsumen merasakan menjadi bagian integral dari Manado, Sulawesi Utara, baik dari aspek sumber daya alam maupun budayanya. Hal ini, misalnya, diturunkan dalam penggunaan kayu hitam eboni (yang cukup banyak ditemukan di daerah Sulawesi Utara) untuk produk kerajinan tangan. Selain itu, kemasan produk yang digunakan juga didesain dengan menonjolkan warna

khas Manado. Unsur estetika dan kreativitas juga mereka tonjolkan dalam mengembangkan produk-produknya.

Dari sektor fashion (mode, busana), kedua peserta yang

hadir menjalankan usaha yang serupa, yaitu clothing

dengan tema etnik Sulawesi Utara. Nuansa tradisi dan misi edukasi tentang kekhasan lokal sangat nyata dalam pengembangan citra merek mereka yang tercerminkan dengan baik dalam produk yang dijual. Salah satu peserta menggunakan gambar burung Manguni, burung khas Minahasa, pada desain baju yang dijual. Burung itu digambarkan dengan sembilan bulu sayap. Jumlah ini melambangkan sembilan subsuku dari suku Minahasa. Dalam pengembangan citra mereknya, peserta di sektor fashion juga sangat aktif dalam menggunakan media

sosial, website dan e-commerce untuk menyampaikan

pesan merek dan memasarkan produk-produknya. Peserta dari sektor aplikasi menjalankan usahanya dengan pembuatan produk-produk aplikasi yang bermanfaat dalam banyak sektor. Di antara proyek pengembangan aplikasi yang dikerjakan adalah dalam bidang pariwisata (bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Kota Manado) dan kriminalitas (bekerjasama dengan Polda Sulawesi Utara). Dengan keterlibatan di berbagai sektor, identitas merek yang diusung dapat berganti-ganti, sesuai dengan produk aplikasi yang dikembangkan.

(46)

44

Pengembangan citra merek yang dilakukan oleh peserta FGD di Manado mencakup penggunaan media sosial dan

website yang cukup berkelanjutan oleh keempat sektor yang terwakilkan. Selain itu, sektor kriya dan fashion juga menggunakan words of mouth, kegiatan pameran, toko, dan outlet.

Penggunaan tema-tema kedaerahan seperti burung Manguni dan sumber daya alam khas Sulawesi Utara seperti kayu eboni menunjukkan bahwa citra merek yang dikembangkan oleh pelaku usaha kreatif di Sulawesi Utara sangat menjunjung tinggi nilai kekhasan daerahnya.

Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan

It is DAN!” Merupakan sebuah merek clothing line

asal Manado yang mengusung budaya sebagai poin pembeda disain yang ditawarkan. Semenjak tahun 2015, Bapak Daniel yang merupakan pemilik dari merek

tersebut, mengembangkan usaha di sektor fashion.

Darah Minahasa yang mengalir kuat secara turun menurun, membuat Bapak Daniel terdorong untuk menggabungkan gairahnya dalam desain dengan budaya Minahasa. Oleh karena itu, muncullah kolaborasi desain

t-shirt yang modern namun kental akan sentuhan budaya Minahasa.

Desain yang secara jelas berbeda dengan para pesaingnya telah membentuk citra merek yang kuat. Citra modern dan simpel yang bercampur dengan budaya khas

Minahasa kuat terpatri ketika merek “it is DAN!” muncul

di pasar. Desain dengan unsur Sam Ratulangi, burung Manguni, dan suku asli Minahasa itu sendiri menjadi warna utama dari produk-produknya.

Praktik Terbaik (

Best Practice

)

Sejauh Manakah Industri Kreatif di Semarang Membangun Mereknya

Kegiatan FGD yang dilaksanakan di Hotel Dafam Semarang, pada tanggal 28 Juli 2017 dihadiri oleh 11 pelaku UMKM kreatif sebagai narasumber. Secara umum, pelaku belum memahami penuh pentingnya pengembangan citra merek dan bagaimana mejalankan pengembangan tersebut. Akan tetapi, secara naluriah para peserta telah menanamkan visi dari para pemilik merek ke dalam mereknya. Hal ini tergambar secara kuat dari atribut produk yang ditawarkan. Meskipun demikian, serupa dengan pelaku UMKM kreatif di kota-kota lainnya, kegiatan pengembangan merek ini belum dilakukan secara terintegrasi dan penyampaian citra atau identitas belum berjalan konsisten pada setiap atribut mereknya.

Dari sektor fashion (mode, busana), citra merek yang

dapat dipercaya menjadi nilai yang ditonjolkan. Hal ini muncul karena mereka ingin memenuhi ekpektasi konsumen terhadap produk mereka. Selain itu, salah

satu pelaku dari sektor fashion pun menanamkan nilai

kepercayaan diri pada konsumennya. Akan tetapi, hal tersebut hanya dilakukan dari diri sendiri, belum secara

menyeluruh. Kegiatannya belum menyentuh elemen-elemen merek lainnya, seperti nama merek, desain visual,

komunikasi pemasaran, atau standarisasi pelayanan sales

person. Aspek-aspek ini akan membuat citra merek yang kuat dan menarik jika dieksekusi dengan baik.

Hal yang menarik datang dari sektor kriya. Di kota Semarang ini, sektor kriya menunjukan kegiatan pengembangan citra merek yang cukup mendalam. Hal ini terlihat dari inovasi produk yang sesuai dengan identitas yang diusung ataupun pengalaman yang disajikan untuk memperkuat citra merek. Salah satu

pelaku ingin mengusung nilai anti mainstream yang

(47)

45

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Pelaku usaha kreatif di Semarang telah menjalankan strategi tertentu dalam mengembangkan citra merek. Sebagian besar pelaku masih berfokus pada atribut pelayanan atau produk yang sesuai dengan citra merek yang diusung. Akan tetapi, terdapat beberapa pelaku usaha yang memiliki strategi berbeda dalam mengembangkan citra mereknya, antara lain:

1. Salah satu pelaku di sektor fashion menggunakan

ukuran baju dengan standar luar negeri. Hal ini membentuk persepsi konsumen menjadi merek

fashion yang memberikan kepercayaan diri, terutama wanita. Jika pada umumnya konsumen menggunakan pakaian dengan ukuran XL, ternyata pada merek ini konsumen akan dapat mengenakan pakaian dengan ukuran M atau L. Hal ini menciptakan kepercayaan diri bagi konsumen setelah menggenakan produk dari merek tersebut.

2. Dari sektor kriya, salah satu merek usaha menanamkan nilai anti mainstream. Hal ini diterjemahkan melalui

inovasi produk yang out of the box. Penggunaan

kulit ikan ayam-ayam hingga kulit singa menjadikan citra merek tersebut menjadi unik dan berbeda. Di sisi lain, produksi yang dibatasi memperkecil

kemungkinan konsumen memiliki barang yang sama dengan orang lain. Setelah konsumen menggunakan merek ini akan semakin terasa bahwa konsumen

tersebut menjadi konsumen yang anti-mainstream

dan berbeda, layaknya citra merek yang diusung. 3. Masih dari sektor kriya, pelaku lainnya menciptakan

paket wisata edukatif untuk memperkuat citra merek yang kental akan budaya dan alam. Ia menyiapkan paket wisata kreatif yang mengajarkan beberapa bentuk kerajinan, melihat pertanian enceng gondok secara langsung, mengenalkan wisata di daerah sekitar yang dekat sekali dengan adanya bahan baku eceng gondok, yaitu objek wisata Bukit Cinta. Ia juga mengangkat sejarah dari areal produksi kerajinannya, yaitu “Klinting”. Nama tersebut diambil dari nama depan, silsilah, dan simbol dari naga yang ada di Rawa Pening.

Strategi

Pengembangan

Citra Merek yang

Telah Dilakukan

(48)

46

Dimulai pada tahun 2011, Ibu Dwi Hairani membangun

merek “Zawa Leather” yang memproduksi tas, dompet,

buku agenda serta semua kerajinan berbahan dasar kulit.

Dengan persona yang anti-mainstream, Ibu Dwi Hairani

mencoba memasukan unsur tersebut dalam mereknya. Mengusung inovasi-inovasi produk yang tak biasa

membuat kesan ‘rebel’ dan ‘unik’ menjadi citra yang

terbentuk dari mereknya. Hal ini tercermin dari penggunaan bahan seperti bulu domba, kulit ikan buntal, kulit ikan ayam-ayam, dan yang lainnya.

Produk “Zawa Leather” dibuat secara khas (eksklusif),

bahkan berani memberikan garansi. Mereka juga mengeluarkan produk terbatas yang hanya diluncurkan pada waktu tertentu. Produk yang dihasilkan menggunakan aneka sumber bahan yang unik dan tidak terpikirkan, seperti kulit ikan buntal dan kulit ikan ayam-ayam, dengan total produksi hanya 10 – 12 buah per model.

(49)

47

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Kegiatan FGD yang dilaksanakan di Hotel Grand Darmo Surabaya, pada tanggal 13 Juni 2017 dihadiri oleh 10 pelaku UMKM kreatif sebagai narasumber. Dalam FGD citra merek di Surabaya ini tergambar ketimpangan

pengetahuan pelaku UMKM kreatif terhadap branding,

termasuk citra merek di dalamnya. Kesenjangan terlihat

pada bagian mengenai pemahaman branding dan

seberapa penting branding bagi sebuah UMKM. Sebagian

merasa bahwa branding hanya mencakup desain logo. Sementara, sebagian lain merasa bahwa kegiatan

branding merupakan kegiatan yang tidak perlu dilakukan di tahap awal saat menjalankan bisnis.

“Kalau dari saya, selling dahulu, branding-nya kemudian.

Kalau selling kan mendapatkan uang fresh money cepat,

tapi kalau branding adalah PR yang sangat jauh ke depan”

“Itu tidak hanya logo dan tagline yang pas tapi juga riset

yang tepat”

Selain itu, sebagian besar pelaku UMKM kreatif dalam FGD di Surabaya masih belum mengimplementasi

pengetahuan terhadap branding secara mendalam.

Kegiatan pengembangan citra merek yang dilakukan masih berfokus kepada kualitas atau atribut produk yang ditawarkan.

Namun demikian, terdapat beberapa pelaku UMKM kreatif yang sudah memiliki pemahaman mendalam

mengenai branding. Mereka memahami bahwa untuk

menciptakan citra merek yang positif kegiatan branding yang holistik dari hulu ke hilir perlu dilakukan.

“Adalah janji kita kepada konsumen, komitmen bahwa kita memang punya produk ini, mulai belanja dari mana, bagaimananya prosesnya sampai selesai”.

Pelaku di sektor aplikasi dengan nama merek “Kinetikum

telah memahami prinsip dasar dari pengembangan citra merek. Hal ini tercermin dari pemilihan nama merek yang mencerminkan nilai yang dimiliki. Gabungan ilosii kinetik yang terasosiasi dengan energi dan pergerakan serta adamantium (sebuah zat yang sangat kuat) menjadikan

nilai yang diusung oleh “Kinetikum” menjadi merek

yang memiliki energi atau pergerakan yang begitu kuat. Nilai ini menjadi dasar seluruh proses bisnisnya. Eksekusi yang tepat dapat menciptakan citra merek yang lebih kuat mengenai “Kinetikum” di benak konsumen.

Gambar

Gambar  2.1 PDB Ekonomi Kreatif
Gambar  2.2 Persentase UMKM
Gambar  2.4 Brand
Gambar  2.5 Brand Equity Model
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui : (1) Hubungan antara citra merek dengan loyalitas konsumen pada produk pelumas mesin kendaraan bermotor. (2) Tingkat citra

Kesimpulan penelitian ini adalah, citra merek dan persepsi harga memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap keputusan pembelian produk Innisfree.. Kata Kunci: Citra

Penelitian ini menganalisis pengaruh desain produk, citra merek dan harga terhadap keputusan pembelian sepatu merek Nike pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera

menggunakan merek yang sudah dikenal dapat menjadikan citra merek perluasan meningkat. Adanya nilai pada suatu merek yang telah diyakini menjadikan citra merek perluasan

Pengaruh yang diberikan keempat variabel bebas tersebut bersifat positif artinya semakin baik ataupun menarik citra merek, desain produk, promosi, dan persepsi

terhadap loyalitas pelanggan pada produk kosmetik hijau merek The Body Shop. Hal tersebut berarti semakin citra merek yang dipersepsikan positif oleh. pelanggan, mampu

Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner yang berisikan pernyataan berkaitan dengan variabel citra merek, kualitas produk, persepsi harga,kepuasan pelanggan dan

Dengan beberapa uraian yang telah disebutkan sebelumnya, dengan ini Penulis ingin mengetahui apakah Citra Merek, Kualitas Produk, dan Harga berpengaruh terhadap