• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identitas Diri Female Disc Jockey (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antar Pribadi Mengenai Identitas Diri Dalam Female Disc Jockey di Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identitas Diri Female Disc Jockey (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antar Pribadi Mengenai Identitas Diri Dalam Female Disc Jockey di Kota Medan)"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma kajian

Setiap penelitian memerlukan paradigma teori dan model teori sebagai dasar dalam menyusun kerangka penelitian. Menurut Harmon (Moleong, 2004: 49), paradigma adalah cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang realitas. Bogdan & Biklen (Mackenzie & Knipe: 2006) menyatakan bahwa paradigma adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi, konsep, atau proposisi yang berhubungan secara logis, yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Sedangkan Baker (Moleong, 2004: 49) mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat aturan yang membangun atau mendefinisikan batas-batas dan menjelaskan bagaimana sesuatu harus dilakukan dalam batas-batas itu agar berhasil. Cohenn & Manion (Mackenzie & Knipe, 2006) membatasi paradigma sebagai tujuan atau motif filsofis pelaksanaan suatu penelitian. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa paradigma merupakan seperangkat konsep, keyakinan, asumsi, nilai, metode, atau aturan yang membentuk kerangka kerja pelaksanaan sebuah penelitian.

Adapun metodologi yang digunakan peneliti dalam pembahasannya adalah metode deskriptif kualitatif dengan paradigma konstruktivisme. Penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung.

(2)

yang diteliti. Didalam paradigma ini, peneliti dan objek atau realitas yang diteliti merupakan kesatuan realitas yang tidak terpisahkan. Peneliti merupakan fasilitator yang menjembatani keragaman subyektivitas pelaku sosial dalam rangka merekonstruksi realitas sosial. Dari sisi aksiologis, peneliti akan memperlakukan nilai, etika, dan pilihan moral sebagai bagian integral dari penelitian dengan tujuan merekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti.

Konstruktivisme atau constructivism mempunyai dampak yang luas sekali di bidang komunikasi. Menurut pandangan ini, para individu melakukan interpretasi dan bertindak menurut kategori-kategori konseptual di dalam pemikirannya. Realitas tidak hadir dalam bentuk apa adanya tetapi harus disaring melalui cara seseorang melihat sesuatu. Konstruktivisme sebagian didasarkan pada teori dari George Kelly (dalam Budyatna dan Ganiem, 2011:221) mengenai konsep-konsep pribadi atau personal constructs yang mengemukakan bahwa orang memahami pengalamannya dengan mengelompokkan dan membedakan peristiwa-peristiwa yang dialaminya menurut persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaannya. Perbedaan-perbedaan yang dipersepsikan tidaklah alamiah tetapi ditentukan oleh sejumlah hal-hal yang berlawanan di dalam sistem kognitif individu.

Kompleksitas kognitif memainkan peranan yang penting di dalam komunikasi. Konsep-konsep antarpribadi terutama penting karena konsep-konsep tersebut mengarahkan bagaimana kita memahami orang lain. Para individu berbeda dalam kompleksitas dengan mana mereka memandang individu lainnya. Bila seorang individu sederhana dalam arti kognitif, individu cenderung melakukan stereotip kepada orang lain, sedangkan bila individu lebih memiliki perbedaan secara kognitif, maka individu akan melakukan perbedaan-perbedaan secara lebih halus dan lebih sensitif. Secara umum, kompleksitas kognitif mengarah kepada pemahaman yang lebih besar mengenai pandangan-pandangan orang lain dan kemampuan yang lebih baik untuk membingkai pesan-pesan dalam arti dapat memahami orang lain.

Konstruktivisme pada dasarnya merupakan teori pilihan strategi atau strategy-choice theory. Prosedur-prosedur penelitian para konstruktivis biasanya menanyakan para subjek untuk memilih tipe-tipe pesan yang berbeda dan mengkalsifikasikannya yang berkenaan dengan kategori-kategori strategi (Budyatna dan Ganiem,2011:225).

2.2. Kajian Pustaka

(3)

dapat atau tidak dapat menjadi tujuan yang berarti (West & Turner,2009:49). Berdasarkan defenisi dan alasan tersebut, peneliti menggunakan teori-teori yang relevan dengan topik permasalahan yang akan di teliti, yakni sebagai berikut.

2.2.1. Komunikasi

Komunikasi secara etimologis berasal dari kata bahasa latin yaitu “Communicatio”. Istilah ini bersumberdari kata “Communis” yang berarti sama, sama disini memiliki arti sama makna atau sama arti. Jadi komunikasi terjadi apabila mendapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan.

Jika tidak terjadi kesamaan makna antara kedua aktor komunikasi (Communication Actor) yaitu komunikator dan komunikan, dengan kata lain komunikan tidak mengerti pesan yang diterimanya, maka komunikasi tidak terjadi. Dalam rumusan lain, situasi yang tidak komunikatif. Situasi yang komunikatif bisa berupa pidato, ceramah, khotbah, dan lain – lain baik situasi komunikasi lisan maupun tulisan. Penyebab utama terjadinya situasi komunikatif karena pemilihan kata – kata maupun susunan kalimatnya sesuai dengan apa yang dinamakan Wilbur Schramm frame of reference (kerangka acuan) yaitu panduan pengalaman dan pengertian anda.

Schramm menyatakan bahwa field of experience (bidang pengalaman) merupakan faktor yang penting untuk terjadinya komunikasi yang lancar. Apabila bidang komunikator sama dengan bidang pengalaman komunikan , maka proses komunikasi yang berlangsung akan lancar. Sebaliknya apabila bidang pengalaman yang digeluti oleh komunikan tidak sama dengan bidang yang digeluti oleh komunikator, akan timbul kesulitan untuk mengerti satu sama lain, dengan kata lain situasi yang tidak komunikatif atau dengan kata lain miscommunication (miskomunikasi).

2.2.2. Komunikasi Antar Pribadi

Komunikasi antar pribadi didefinisikan oleh Joseph A. Devito dalam bukunya “Interpersonal Communication Book” (Devito:1989,4) sebagai berikut:

“Proses pengiriman dan penerimaan pesan – pesan antar dua orang atau diantara kelompok kecil orang – orang dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik”.

(4)

Komunikasi yang berlangsung secara dialog lebih baik daripada komunikasi monolog. Dalam proses komunikasi dialogis nampaknya ada upaya dari pelaku komunikasi untu pengertian bersama – sama dan empati. Walaupun demikian derajat keakraban dalam komunikasi antar pribadi dialogis pada situasi tertentu berbeda. Komunikasi antar pribadi memerlukan komunikasi yang efektif yang lebih dikenal dengan nama hukum komunikasi yang efektif yaitu :

1. Respect (menghormati)

Hukum pertama dalam mengembangkan komunikasi yang efektif adalah sikap menghargai setiap individu yang menjadi sasaran pesan yang kita sampaikan. Jika kita memebangun komunikasi dengan rasa dan sikap saling menghargai dan menghormati, maka kita akan menghasilkan sinergi yang meningkatkan efektifitas kinerja kita baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.

2. Emphatic (berempati)

Empati adalah kemampuan kiyta untuk menempatkan diri kita pada situasi dan kondisi yang dihadapi orang lain. Salah satu prasyarat utamanya adalah kemampuan kita untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dahulu sebelum didengarkan atau dimengerti orang lain.

3. Audible (Dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik)

Hukum ini mengatakan bahwa pesan harus disampaikan melalui media atau dilewati oleh kanal hingga kita dapat diterima dengan baik oleh penerima pesan. Hukum ini mengacu pada kemampuan kita agar pesan kita disampaikan dengan baik. Dalam komunikasi personal hal ini berarti bahwa pesan disampaikan dengan cara yang dapat diterima oleh penerima pesan.

4. Clarity (Keterbukaan atau transparansi)

Dalam berkomunikasi kita perlu mengembangkan sikap terbuka, sehingga menimbulkan rasa percaya diri dari penerima pesan. Pesan yang disampaikan harus mempunyai kejelasn sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran.

5. Humble (Kerendahan hati)

(5)

2.2.3. Teori Identitas Diri

Perkembangan identitas dirimenjadi hal yang penting karena adanya kesadaran atas interaksi beberapa perubahan signifikan secara biologis, kognitif, dan sosial. Perubahan biologis selama masa pubertas membawa perubahannyata secara fisik yang membuat remaja mendefinisikan kembali konsep diri dan hubungan sosialnya dengan orang lain. Bertambahnya kapasitasintelektual menyediakan berbagai cara pandang baru dalam memandang perubahan diri, orang lain, dan lingkungan sekitarnya. Perubahan cara pandang ini juga termasuk penilaian terhadap berbagai masalah, nilai-nilai, aturan dan pilihan yang ditawarkan padanya. Interaksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas memungkinkan remaja untuk memainkan berbagai peran dan status baru dalam masyarakat. Masa remaja merupakan masa dimana banyak keputusan penting menyangkut masa depan harus ditentukan, misalnya tentang pekerjaan, sekolah dan pernikahan (Steinberg, 2002: 257). Para remaja diharapkan mampu membuat pilihan yang tepat tentang berbagai pilihan yang menyangkut dirinya dan orang lain. Tampaknya remaja semakin sering memikirkan pertanyaan tentang “siapakah saya sebenarnya?”, “apa yang sebenarnya saya inginkan dalam hidup?”, “kemanakah saya akan pergi?” dan berbagai pertanyaan lain yang membuka kesadaran yang lebih luas tentang dirinya/self awareness. Pertanyaan semacam ini tampaknya tidak begitu penting dan signifikan pada masa anak-anak, namun menjadi kian umum dan intens pada masa remaja. Karena itu Santrock (2002:40) menganggap salah satu tugas penting yang dihadapi para remaja adalah mencari solusi atas pertanyaan yang menyangkut identitas dan mengembangkan identitas diri yang mantap/sense of individual identity.

Istilah identitas diri dipakai secara beragam oleh orang awam maupun para ahli, Fearon (1999: 4-5) merangkum berbagai pengertian identitas diri dari para ahli antara lain :

a. Identitas diri adalah konsep yang digunakan oleh orang-orang untuk

menyatakan tentang siapakah mereka, orang macam apa mereka dan bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain (Hogg & Abraham:1988, 22).

b. Identitas diri merujuk pada cara yang digunakan oleh individu dan kelompok dilihat diri hubungan sosial mereka dengan kelompok lain (Jenkins:1966,.4).

c. Identitas diri adalah pengertian dan harapan yang relatif spesifik dan stabil tentang diri (Wendt, 1992: 397).

(6)

kerangka yang memungkinkan seseorang untuk mencoba memilih, mengevaluasi apa yang baik, penting, memungkinkan dilakukan atau apa yang pantas dan tepat atau sebaliknya (Taylor, 1989: 344).

e. Identitas diri adalah cara yang digunakan seseorang dalam menampilkan dirinya sebagai individu yang berbeda atau khas dibandingkan orang lain (Fearon,1999:21) menyimpulkan tiga pengertian dasar yang sering digunakan oleh para ahli dalam mendefinisikan identitas diri, yaitu :

a. Keanggotaan dalam sebuah komunitas yang menyebabkan seseorang merasa

terlibat, termotivasi, berkomitmen dan menjadikannya rujukan atau pertimbangan dalam memilih dan memutuskan sesuatu berdasarkan hal yang normatif. Terbentuknya identitas diri pada dasarnya dipengaruhi secara intensif oleh interaksi ssorang dengan lingkungan sosial. Identitas diri yang digunakan seseorang untuk menjelaskan tentang diri biasanya juga berisikan identitas sosial.

b. Identitas diri juga merujuk pada konsep abstrak dan relatif dan jangka panjang yang ada dalam pikiran seseorang tentang siapa dirinya, menunjukkan eksistensi dan keberhargaan serta membuat dirinya menjadi “seseorang”. Karena itu identitas diri biasanya juga berisi harga diri seseorang/ self esteem. Konsep ini menunjukkan bahwa identitas diri merupakan sesuatu yang berperan sebagai motivator perilaku dan menyebabkan keterlibatan emosional yang mendalam dengan individu tentang apa yang dianggapnya sebagai identitas diri.

c. Identitas diri bukan hanya terdiri sesuatu yang ‘terbentuk’ tapi juga termasuk juga potensi dan status bawaan sejak lahir, misalnya jenis kelamin dan keturunan. Berdasarkan beberapa pengertian identitas diri di atas, dapat disimpulkan bahwa identitas diri merupakan sebuah terminologi yang cukup luas yang dipakai seseorang untuk menjelaskan siapakah dirinya. Identitas diri dapat berisi atribut fisik, keanggotaan dalam suatu komunitas, keyakinan, tujuan, harapan, prinsip moral atau gaya sosial. Meski seringkali terbentuk secara tidak sadar, namun identitas diri merupakan sesuatu yang disadari dan diakui individu sebagai sesuatu yang menjelaskan tentang dirinya dan membuatnya berbeda dari orang lain (Fearon: 1999,23).

(7)

harapan di masa yang akan datang menjadi sebuah kesatuan gambaran tentang ‘diri’ yang utuh, berkesinambungan dan unik (Muus, 1996: 60). Dalam istilah Erikson, identitas diri merupakan sebuah kondisi psikologis secara keseluruhan yang membuat individu menerima dirinya, memiliki orientasi dan tujuan dalam mengarahkan hidupnya serta keyakinan internal dalam mempertimbangkan berbagai hal.

it’s a sense of well being, a feeling of ‘being at home’ in one’s body a sense of knowing where one is going and an inner assuredness of recognition frome those who count. It’s sense of sameness trough the time and continuity between the past and future

Sedangkan menurut Atkinson (1996: 139) upaya mencari identitas diri mencakup proses menentukan keputusan apa yang penting dan patut dikerjakan serta merumuskan standar tindakan dalam mengevaluasi perilaku dirinya dan perilaku orang lain, termasuk di dalamnya perasaan harga diri dan kompetensi diri. Menurut definisi ini identitas diri merupakan suatu mekanisme internal yang mampu menyediakan kerangka pikir untuk mengarahkan seseorang dalam menilai dirinya sendiri dan orang lain serta menunjukkan perilaku yang perlu dilakukan atau tidak dilakukan dalam kehidupan. Istilah identitas diri dalam lingkup psikologi perkembangan menurut Grotevant (1998: 1119) biasanya merujuk pada dua pengertian utama :

1. Identitas diri digunakan untuk menjelaskan perpaduan antara karakteristik

kepribadian dan gaya sosial yang digunakan seseorang untuk menjelaskan dirinya serta bagaimana orang lain mengakui dirinya. Identitas diri menghubungkan antara kepribadian dalam konteks rentang waktu, pengalaman dan situasional. Pengertian kedua merujuk pada perasaan subjektif dari kepribadian seseorang secara keseluruhan dan kesinambungan sepanjang kehidupan. Jadi pengertian identitas diri terdiri dari beberapa konsep yang mencakup interaksi antara kepribadian individu, hubungan sosial, kesadaran subjektif, dan konteks eksternal.

2. Beberapa Pendekatan dalam Konseptualisasi Perkembangan Identitas Remaja

(8)

dan pendekatan yang ketiga menekankan pada kesadaran terhadap identitas/sense of identity. Teori Erikson dan Marcia termasuk dalam pendekatan yang ketiga. Pembedaan ini pada dasarnya hanya untuk memfokuskan pembahasan para ahli. Namun secara umum terdapat irisan antara tiga pendekatan ini dalam mendefinisikan identitas diri sebagai suatu bagian dari kepribadian yang mencakup bagaimana individu menerima, mendefinisikan, memahami serta mengarahkan dirinya sebagai pribadi yang utuh. Untuk memudahkan pembahasan, dalam penelitian ini digunakan kerangka teori identitas Erikson yang diperluas dengan teori status identitas dari James Marcia.

3. Perkembangan Identitas menurut Erikson

Erikson merupakan ahli yang pertama kali menyajikan teori yang cukup

komprehensif dan provokatif tentang perkembangan identitas diri terutama pada masa remaja. Teori Erikson dikenal juga sebagai “ego psychology” yang menekankan pada konsep bahwa “diri/self” diatur oleh ego bawah sadar/unconcious ego serta pengaruh yang besar dari kekuatan sosial dan budaya di sekitar individu (Muus, 1996: 53). Ego bawah sadar inimenyediakan seperangkat cara dan aturan untuk menjaga kesatuan berbagai aspek kepribadian serta memelihara individu dalam keterlibatannya dengan dunia sosial, termasuk menjalankan tugas penting dalam hidup yakni mendapatkan makna dalam hidup (Muus, 1996: 54 ).

Pengertian Identitas diri yang dimaksud Erikson (1989:183) dirangkum menjadi beberapa bagian, yakni :

1. Identitas diri sebagai intisari seluruh kepribadian yang tetap tinggal sama dalam diri seseorang walaupun situasi lingkungan berubah dan diri menjadi tua.

2. Identitas diri sebagai keserasian peran sosial yang pada prinsipnya dapat

berubah dan selalu mengalami proses pertumbuhan.

3. identitas diri sebagai ‘gaya hidupku sendiri’ yang berkembang dalam tahap-tahap terdahulu dan menetukan cara-cara bagaimana peran social diwujudkan.

4. Identitas diri sebagai suatu perolehan khusus pada tahap remaja dan akan

diperbaharui dan disempurnakan setelah masa remaja.

5. Identitas diri sebagai pengalaman subjektif akan kesamaan serta kesinambungan batiniahnya sendiri dalam ruang dan waktu.

6. Identitas diri sebagai kesinambungan dengan diri sendiri dalam pergaulan

(9)

Burns (1993:31) menambahkan bahwa ‘ego’ yang dimaksud Erikson merupakan subjek aktif yang berperan sebagai agen pusat pengorganisasian sedangkan ‘diri’ merupakan objek. Ide ini diperluas secara sosial, sehingga identitas diri merupakan hasil yang muncul dari pengalaman dalam konteks kultural. Erikson sangat memberi penekanan pada pengaruh sosial dalam perkembangan seorang individu. Dalam istilah Erikson (Hall & Lindzey:138) yang dimaksud sebagai psikososial adalah kecocokan timbal balik antara individu dengan lingkungannya—artinya suatu pihak antara kapasitas individu untuk berhubungan dengan suatu ruang kehidupan yang terdiri atas manusia dan pranata-pranata yang selalu bertambah luas. Di pihak lain, kesiapan manusia dan pranata ini untuk membuatnya menjadi bagian dari suatu keprihatinan budaya yang tengah berlangsung.

Identitas diri muncul sebagai hasil positif dari integrasi bertahap semua proses identifikasi remaja, karena itu Erikson merinci delapan tahap perkembangan manusia yang masing-masing mengandung dua kemungkinan yang saling berlawanan (Burns, 1993:31). Setiap tahap menunjukkan perkembangan potensial dan tantangan yang baru yang disebut Erikson sebagai krisis normatif yang merupakan titik balik perkembangan seseorang. Jika seseorang berhasil melewati suatu tahapan krisis normatif, maka individu akan memperoleh hasil yang positif dan menguntungkan bagi dirinya. Sebaliknya, kegagalan pada suatu tahap akan menyumbangkan potensi negatif dan menjadi penghambat bagi perkembangan selanjutnya. Pencapaian identitas merupakan hasil yang positif/keberhasilan dari proses perkembangan individu, sehingga ketidakberhasilan melalui tahap perkembangan pada fase kelima ini menurut Erikson (Muus, 1996: 55) akan menghasilkan adanya kebingungan identitas/identity confusion. Kedelapan tahap perkembangan menurut Erikson adalah sebagai berikut :

a. Kepercayaan dasar versus kecurigaan dasar

(10)

b. Otonomi versus perasaan malu dan keragu-raguan

Perkembangan fisik yang memungkinkan anak mulai belajar mengenal dan mengeksplorasi lingkungan lewat aktivitas keseharian, menimbulkan tuntutan ganda pada anak. Tuntutan pertama adalah untuk mengontrol dirinya sendiri dan diarahkan untuk memahami situasi yang menuntut otonomi dalam melakukan pilihan bebas. Di sisi lain anak juga diharapkan untuk mulai menerima dan mematuhi kontrol dari orang dewasa di sekitarnya. Rasa mampu mengendalikan diri akan menimbulkan rasa harga diri, keyakinan, kemauan dan perasaan bangga yang menetap. Sebaliknya kehilangan kontrol diri dan tekanan yang berlebihan pada anak akan menimbulkan perasaan malu, ragu-ragu, serta memandang diri sebagai individu yang lemah dan tidak mampu. Nilai dominan yang muncul pada tahap ini adalah nilai kemauan yang bersumber dari kemauan diri yang terlatih dan kemauan luhur yang diperlihatkan oleh orang-orang di sekitarnya. Nilai kemauan ini secara bertahap berkembang menjadi penerimaan, kepatuhan terhadap hukum dan peraturan kemudian menjadi kemampuan untuk memutuskan, mengendalikan diri dan bertindak secara lebih mandiri dan bebas. Pada masa ini anak juga mulai mengembangkan penilaian terhadap diri dan orang-orang di sekitarnya, termasuk konsep penilaian benar-salah. Anak mulai mampu membedakan antara jenis kami/our kind dengan orang lain yang dinilai berbeda; karena itu orang yang dinilai berbeda dengan jenisnya tidak secara otomatis dinilai salah atau buruk. Hal ini merupakan dasar ontogenetik dari keterasingan yang melanda dunia/divided species (Hall & Lindzey,1993: 144-146).

c. Inisiatif versus kesalahan

(11)

d. Kerajinan versus inferioritas

Pada tahap ini penting bagi anak untuk mengontrol imajinasinya yang sangat kaya dan mulai menempuh pendidikan formal agar bisa mengembangkan kerajinan dan ketekunan. Nilai dominan yang muncul pada tahap ini adalah nilai kompetensi. Anak harus mengarahkan dan mengggunakan kecerdasan, energinya yang melimpah untuk melakukan aktivitas dengan tujuan tertentu yang lebih spesifik dan berguna. Rasa kompetensi akan muncul jika anak melibatkan diri pada pekerjaan dan penyelesaian tugas yang mengembangkan kecakapan kerja. Kegagalan pada tahap ini akan membuat anak merasa tidak berguna, tidak mampu sehingga cenderung terlibat dalam pengulangan aktivitas bermain/ kegiatan yang tidak berarti (Hall & Lindzey, 1993:147-149).

e. Identitas versus kebingungan identitas

Selama masa remaja individu mulai merasakan suatu perasaan tentang kesadaran akan identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah entitas yang tersendiri, unik dan telah siap memasuki peranan yang berarti dalam masyarakat. Remaja mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya sendiri, seperti aneka kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan yang dikejarnya di masa depan, serta hasrat untuk mengarahkan jalan hidupnya sendiri.

Daya penggerak internal dalam rangka pembentukan identitas ialah ego dalam aspek yang sadar maupun tidak sadar. Pada tahap ini ego memiliki dan mengintegrasikan bakat-bakat, kemampuan, dan keterampilan dalam mengidentifisikan dengan orang-orang yang dianggap berharga, adaptasi dengan lingkungan sosial. Ego juga dianggap mampu menjaga pertahanan internal terhadap berbagai ancaman dan kecemasan, karena telah mampu memutuskan impuls, kebutuhan dan peranan manakah yang paling cocok dan efektif. Ego bertugas mengintegrasikan semua komponen kepribadian dalam individu untuk membentuk identitas psikososial seseorang. Persoalan yang dihadapi remaja pada masa ini kompleks, karena ego mengalami kesulitan untuk menyeimbangan berbagai tuntutan, harapan dan peran yang seringkali saling bertentangan. Di satu sisi remaja diharapkan mengasimilasikan diri ke dalam pola kehidupan orang dewasa, tapi di sisi lain remaja masih memiliki ketergantungan yang cukup besar pada orang dewasa di sekitarnya dan kurang memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri pilihannya (Hall & Lindzey, 1993:149-152).

(12)

kesenjangan antara rasa aman pada masa anak-anak dengan otonomi individu dewasa yang dialami remaja. Kesenjangan ini membuat remaja mencoba berbagai bentuk peran yang berbeda-beda hingga pada akhirnya mereka mencapai suatu pemikiran diri yang stabil.

By psychosocial moratorium, then, we mean a delay of adult commitment and yet it is not only a delay. It is a period that is characterized by a selective permissiveness on the part of society and provocative playfulness on the part of youth, and yet it often leads to deep. If often transitory, commonial configuration on the part of youth, and ends in a more or less ceremonial configuration of commitment on the part of society”. (Erikson, dalam Furhmann, 1990: 360).

Menurut Erikson (Furhmann, 1990: 369) remaja membutuhkan sesuatu atau seseorang yang dianggap bermakna sebagai bagian dari strategi untuk mendapatkan arahan, acuan dalam menentukan keputusan maupun menuntun sikap dan perilaku, proses ini disebut Erikson sebagai Fidelity/kesetiaan. Kesetiaan/fidelity merupakan nilai dominan yang berkembang pada tahap ini yang berupa kemampuan untuk mempertahankan loyalitas yang diikrarkan dengan bebas meskipun terdapat kontradiksi-kontradiksi yang tak terelakkan dalam sistem nilai. Kesetiaan ini merupakan pondasi bagi terbentuknya suatu perasaan identitas diri yang bersifat berkelanjutan. Komponen kesetiaan diperoleh melalui konfirmasi oleh ideologi, kebenaran serta melalui afirmasi/pengakuan dari kawan-kawan dan komunitas sosial (Hall & Lindzey, 1993: 151).

Dapat dipahami jika Erikson menganggap komitmen terhadap ideologi dan perangkat moral lainnya merupakan bagian yang dianggap penting dalam pencapaian identitas diri remaja. Ideologi dianggap mampu menawarkan berbagai cara pandang dan acuan yang lebih jelas dalam menuntun sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupan. Ideologi dianggap mampu menjembatani antara harapan/gambaran ideal remaja tentang dunia dan kehidupan dengan berbagai realitas yang dihadapi. Ideologi juga menyediakan kesempatan pada remaja untuk mengidentifikasikan diri dengan berbagai aturan dan cara hidup, termasuk untuk mengikuti pemimpin yang dianggap berpengaruh maupun kelompok sosial yang lebih tertata (Furhmann, 1990:359).

Selain area ideologi, Erikson menjelaskan dua domain lain dalam pembentukan identitas diri remaja yakni pekerjaan/occupational dan orientasi seksual (Muus, 1996: 57).

(13)

Di sisi lain individu juga menilai dirinya dari sudut pandang persepsinya sendiri terhadap tipe-tipe orang-orang yang dianggap relevan baginya dalam proses identifikasi.

Erikson mengkritik istilah konsep diri, citra diri dan harga diri yang dianggap statisuntuk menggambarkan identitas diri sebagai suatu proses yang berkembang. Menurut Erikson identitas diri bukanlah suatu pencapaian dalam bentuk tameng kepribadian ataupun bentuk apapun yang statis dan tidak dapat berubah-ubah. Identitas diri merupakan suatu proses berkelanjutan yang progresif dan kristalisasi yang meluaskan kesadaran diri dan penjelajahan diri. Suatu kesadaran diri dan perasaan terhadap kekurangan diri yang membangkitkan kebingungan yang diikuti oleh eksplorasi peran,tanggungjawab dan cara-cara baru untuk ‘mengada’ sebagai seorang pribadi/ new ways of being.

f. Keintiman versus isolasi

Orang dewasa mulai mengembangkan nilai cinta yang memungkinkan seseorang melibatkan diri dalam kedekatan hubungan interpersonal secara timbal balik. Identitas individual memang dipertahankan dalam suatu hubungan keintiman bersama, namun kekuatan ego seseorang tergantung pada kesiapan mitranya untuk berbagi peran dalam produktivitas dan pekerjaan mereka. Kegagalan dalam tahap perkembangan ini akan menyebabkan individu menarik diri, atau membentuk kelompok elitis yang menonjolkan narsisme komunal (Hall& Lindzey, 1993:152-153).

g. Generativitas versus stagnasi

Ciri tahap ini adalah perhatian terhadap apa yang dihasilkan baik berupa keturunan, ide atau produk yang penting bagi pembentukan dan pedoman kehidupan generasi mendatang. Nilai yang dominan adalah nilai pemeliharaan yang terungkap lewat perhatian, kepedulian, dan keinginan untuk berbagi dengan orang lain (Hall&Lindzey, 1993:153-154)

h. Integritas versus keputusasaan

(14)

Dari penjelasan teoritis di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan identitas diri pada remaja adalah :

a. Keberhasilan atau kegagalan melewati krisis normatif pada tahap-tahap

sebelumnya

b. Faktor sosial/ lingkungan, baik pengaruh manusia-manusia yang berinteraksi dengan individu maupun pranata – pranata sosial yang mengatur kehidupan individu dan masyarakat

c. Ideologi/nilai-nilai etis dan kebenaran yang diakui dan dianut sebagai prinsip hidup

d. Proses pengamatan dan refleksi terhadap kehidupan pribadi maupun di luar diri individu.

Perkembangan identitas diri menurut Erikson (989, h. 174) merupakan tugas dari ego selaku pelaksana dari seluruh kepribadian. Sebagai pelaksana kepribadian ego menghadapi suatu tugas yang kompleks karena harus memenuhi segala tuntutan dan dorongan Id, namun di sisi lain berusaha hidup sesuai dengan standar dari superego yang bersifat ideal. Erikson percaya bahwa ego memiliki kreativitas dan kekuatan potensial untuk menangani dan menyelesaikan masalah serta tugas hidup. Oleh karena itu teori Erikson sering disebut sebagai psikologi ego.

4. Perkembangan Identitas Diri menurut Marcia

James Marcia (dalam Santrock, 2002, h. 344) menyebutkan bahwa perkembangan identitas diri juga merupakan suatu proses yang sangat kompleks dan tidak diawali atau diakhiri pada masa remaja saja. Pembentukan identitas diri dimulai dari munculnya kelekatan/attachment, perkembangan suatu pemikiran mengenai diri, dan munculnya kemandirian di masa anak-anak dan mencapai fase terakhir dengan pemikiran kembali mengenai hidup dan pengintegrasian di masa tua. Pembentukan identitas diri tidak selalu terjadi secara teratur, tapi biasanya juga tidak terjadi secara tiba-tiba.

(15)

Menurut Marcia (Muus, 1996:66) identitas diri seseorang dinilai dari dua sudut pandang pencapaian komitmen dan krisis. Krisis diartikan sebagai suatu masa perkembangan identitas diri dimana remaja memilah-milah alternatif yang berarti dan tersedia. Beberapa ahli lain menyebut krisis dengan sebutan eksplorasi. Agar konsisten dengan teori Erikson dan Marcia, istilah krisis lebih cenderung digunakan dalam pembahasan. Komitmen diartikan sebagai bagian dari perkembangan identitas diri, dimana remaja menunjukkan adanya suatu investasi pribadi pada apa yang akan mereka lakukan. James Marcia merupakan seorang ahli beraliran Eriksonian yang meyakini bahwa perkembangan identitas Erikson mengandung empat status identitas, atau empat cara-cara untuk mengatasi krisis identitas, yaitu :

a. Difusi identitas/ identity diffusion

Istilah difusi identitas ini digunakan untuk menggambarkan remaja yang belum pernah mengalami krisis, sehingga mereka belum pernah mengeksplorasi dan mengevaluasi adanya alternatif yang berarti dalam hidupnya dan belum membuat suatu komitmen. Difusi identitas ini merupakankan keadaan yang bisa berubah dan masih terbuka untuk berbagai kemungkinan dan pengaruh, karena belum terbentuk struktur kepribadian yang kuat (Muus, 1996:68). Karakteristik individu yang mengalami difusi identitas: pertama kurang memiliki konsep diri yang kokoh. Kedua individu menunjukkan tingkat kecemasan dan tegangan internal yang tinggi. Ketiga, tidak memiliki definisi yang jelas tentang siapa dirinya dan tidak dapat memperkirakan ciri dan sifat kepribadian yang dimiliki.

b. Membuka identitas/identity foreclosure

(16)

c. Moratorium identitas/identity moraturium

Istilah ini digunakan untuk para remaja yang berada dalam krisis namun tidak memiliki komitmen sama sekali atau tidak memiliki komitmen yang terlalu jelas. Individu berada dalam keadaan berhadapan dengan krisis dan berbagai pertanyaan yang belum terjawab, sehigga individu terus mencari, berjuang dan mengeksplorasi berbagai peran, cara dan aturan untuk menemukan jawaban yang dianggap memuaskan. Pada fase ini individu masih bisa mengubah, mengevaluasi dan mempertimbangkan kembali berbagai komitmen yang telah dibuat hingga mencapai keadaan yang lebih sesuai.

d. Pencapaian identitas/identity achievement

(17)

2.2.4. Konsep Diri (Self Concept) 2.2.4.1. Pengertian Konsep Diri

Konsep diri adalah gagasan tentang diri sendiri yang mencangkup keyakinan, pandangan dan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri. Konsep diri terdiri atas bagaimana cara kita melihat diri sendiri sebagai pribadi,bagaimana kita merasa tentang diri sendiri dan bagaimana kitamenginginkan diri sendiri menjadi manusia sebagaimana yang kitaharapkan. Konsep diri adalah kumpulan keyakinan dan persepsi diri mengenaidiri sendiri yang terorganisasi dengan kata lain, konsep diri tersebut bekerjasebagai skema dasar. Diri memberikan sebuah kerangka berpikir yang menentukan bagai mana mengolah informasi tentang diri sendiri, termasuk motivasi, keadaan emosional, evaluasi diri, kemampuan dan banyak hallainya. Konsep diri (self-concept) ialah gambaran diri sendiri yang bersifat menyeluruh terhadap keberadaan diri seseorang. Konsep diri ini bersifat multi-aspek yaitu meliputi 4 (empat)aspek seperti (1) aspek fisiologis, (2) psikologis, (3) psiko - sosiologis, (4)psiko-etika dan moral. Gambaran konsep diri berasal dari interaksi antaradiri sendiri maupun antara diri dengan orang lain (lingkungan sosialnya). Oleh karna itu, konsep diri sebagai cara pandang seseorang mengenai dirisendiri untuk memahami keberadaan diri sendiri maupun memahami orang lain (Rakhmat, 2005:105).

(18)

Orang cenderung menolak perubahan dansalah memahami atau berusaha meluruskan informasi yang tidak konsistendengan konsep diri mereka. (Rakhmat, 2005:106).

Konsep diri didefinisikan secara berbeda oleh para ahli. Seifert danHoffnung (Rakhmat, 2005:105), mendefinisikan konsep diri sebagai suatupemahaman mengenai diri atau ide tentang diri sendiri. Sementara itu,Atwater menyebutkan bahwa konsep diriadalah keseluruhan gambaran diri, yang meliputi persepsi seseorang tentangdiri, perasaan, keyakinan dan nilai-nilai yang berhubungan dengan dirinya (Rakhmat, 2005:106) selanjutnya, Atwater mengidentifikasi konsep diri atas tiga bentuk. Pertama, body image, kesadaran tentang tubuhnya,yaitu bagaimana seseorangmelihat dirinya sendiri. Kedua,ideal self, yaitu bagaimana cita-cita danharapan-harapan seseorang mengenai dirinya. Ketiga, social self yaitu bagaimana orang lain melihat dirinya. Konsep diri seseorang akan mulai sadar akan identitasnya yang berlangsung terus sebagai oarang yang terpisah,orang akan mempelajarinamanya,menyadari bahwa bayangan dalam cermin adalah bayangan dari orang yang sama seperti yang dilihatnya kemarin dan percaya akan tentangsaya atau diri tetap bertahan dalam menghadapi pengalaman pengalamanyang berubah ubah. Erikson (Sawitri, 2005) mengemukakan tentang konsep dirimerupakan pengenalan diri bahwa setiap orang memiliki beberapa faseyang sejalan dengan berbagai relasi dan situasi yang mereka merekatemukan dalam masa hidup.

(19)

membentuk suatu konsep tentang dirinya, konsep tentang diri merupakan hal yang terpenting bagi kehidupan individu karena konsep diri menentukan bagaimana individu bertindak dalam berbagai situasi.

Konsep diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari danter bentuk dari pengalaman individu dengan hubungan dengan individulainya. Konsep diri yang dimiliki oleh seseorang semasa kecil akan berubah setelah dewasa. Konsep dirimerupakan aspek penting dalam diri seseorang, karna konsep diri seseorangmerupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dalamlingkungan. Menjelaskan konsep diri secara fenomenologis, dan ketika individu mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya memberi akan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi tentang dirinya, berarti iamenunjukan kesadaran diri (self awarenees) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya seperti yang dilakukan terhadapdunia di luar dirinya. Diri secara keseluruhan (total self) seperti yang dialami individu disebut juga diri fenomenal (Snygg dan Combs, 1949,dalam Fitts,1971) diri fenomenal adalah diri yang diamati, dialami dan dinilai oleh individu sendiri, yaitu diri yang disadari.

Kesadaran atau persepsi ini merupakan gambaran tentang diri atau konsep diri individu. Konsep diri adalah pandangan kita tentang diri sendiri, yang meliputidimensi: pengetahuan tentang diri sendiri,pengharapan mengenai dirisendiri dan penilaian tentang diri sendiri. Konsep diri berpengaruh kuat terhadap tingkah laku seseorang. Dengan mengetahui konsep diri seseorang maka akanlebih mudah meramalkan dan memahami tingkah orang tersebut. Pada umumnya tingkah laku individu berkaitan dengan gagasan-gagasan tentang diriya sendiri sebagai orang yang infirior dibandingkan dengan orang lain, walaupun hal ini belum tentu benar, biasanya tingkah laku yang ditampilkan akan berhubungan dengan kekurangan yang dipersepsikanya secara subjektif.

(20)

orang lain pada diri individu Menurut Brooks (Rakhmat, 2008:108), bahwa konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Sedangkan Centi (1993) mengemukakan konsep diri (self concept) tidak lain tidak bukan adalah gagasan tentang diri sendiri, konsep diri terdiri dari bagaimana kita melihatdiri sendiri sebagai pribadi menjadi manusia sebagaimana yang di harapkan. Konsep diri didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandanganatau penilaian seseorang, perasaan dan pemikiran individu terhadap dirinya yang meliputi kemampuan, karakter, maupun sikap yang dimiliki individu (Desmita, 2008:56)

Konsep diri merupakan penentu sikap individu dalam bertingkah laku, artinya apabila individu cenderung berpikir akan berhasil, maka hal ini merupakan kekuatan atau dorongan yang akan membuatindividu menuju kesuksesan. Sebaliknya jika individu berpikir akan gagal, maka hal ini sama saja mempersiapkan kegagalan bagi dirinya. Orang yang percaya diri biasanya mempunyai inisitiaf, kreatif danoptimis terhadap masa depan,mampu menyadari kelemahan dan kelebihandiri sendiri, berpikir positif, menganggap semua permasalahan pasti adajalan keluarnya. Orang yang tidak percaya diri ditandai dengan sikap-sikapyang cenderung melemahkan semangat hidupnya, seperti minder, pesimis, pasif dan cenderung apatis.

(21)

berharga, berani menetapkan tujuan hidup, serta bersikap dan berfikir secara positif. Sebaliknya, semakin jelek atau negatif konsep diri, maka akan semakin sulit seseorang untuk berhasil. Sebab,dengan konsep diri yang jelek atau negatif akan mengakibatkan tumbuh rasa tidak percaya diri, takut gagal sehingga tidak berani mencoba hal-hal yang baru dan menantang, merasa diri bodoh, rendah diri, merasa diri tidak berguna, pesimis, serta berbagai perasaan dan perilaku inferior lainnya.

Berdasarkan pada beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah gagasan tentang diri sendiri yang mencangkup keyakinan, pandangan, dan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri. Konsep diri terdiri atas bagaimana cara kita melihat diri sendiri sebagai pribadi,bagaimana kita merasa tentang diri sendiri dan bagaimana kita menginginkan diri sendiri menjadi manusia sebagaimana yang kita harapkan. Dan dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah cara pandangsecara menyeluruh tentang dirinya, yang meliputi kemampuan yang dimiliki, perasaan yang dialami, kondisi fisik dirinya maupun lingkungan terdekatnya.

2.2.4.2. Pembentukan Konsep Diri

Konsep diri tidak langsung terbentuk sejak lahir, namun berkembang seiring berjalannya waktu hingga seseorang mulai mengenal dunia. Dalam perkembangan psikologis manusia, manusia terus mengalami perubahan. Baik itu positif maupun negatif. Perkembangan psikologis mengacu pada tumbuh kembang seseorang sewajarnya pertumbuhan manusia hingga dewasa. Saat seseorang dapat kemampuan dalam berpikir dengan baik, mulai merasakan dan mengerti pribadi dirinya hingga mampu memberikan persepsi, saat itulah konsep diri mulai terbentuk . Karena saat memberikan persepsi, mempengaruhi seseorang menilai dirinya sendiri. (Rakhmat, 2005:110)

(22)

adalah hasil dari proses interaksi lingkungan sosial seseorang. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan konsep diri menjadi tidak stabil atau berubah yaitu :

- Perubahan fisik,ini akan mempengaruhi penilaian dan perasaan terhadap diri sendiri perubahan misalnya seseorang yang tadinya badannya kurus tiba-tiba jadi gemuk ini akan menimbulkan persepsi baru terhadap diri kita dan muncul pertanyaan-pertanyaan,kok jadi gemuk yaa?, selama ini saya ngapain aja ya? Pertanyaan – pertanyaan inilah yang akan mengubah pikiran.

- Perubahan lingkungan, ini sudah pasti akan menimbulkan sebuah pengalaman baru, pola pikir baru, sudut pandang baru, tingkah laku yang baru dan masih banyak lagi aspek yang akan mengubah konsep diri kita. Misalnya, seseorang yang biasa hidup mewah tiba tiba harus hidup sederhana, sudah pasti aka nada perubahan dalam diri, karena menyesuaikan keadaan .

- Perubahan peran, maksudnya adalah peran kita di keluarga atau di masyarakat. Misalnya, seseorang yang tadinya jadi seorang adik, ternyata jadi kakak. Tentu akan membawa pengaruh terhadap orang tersebut setelah menjadi kakak. Entah menjadi lebih dewasa atau lebih dekat dengan keluarga. (Rakhmat, 2005:113)

2.2.4.3. Dimensi Konsep Diri

a. Diri identitas (identity self)

(23)

b. Diri Pelaku (behavioral self)

Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya, yang berisikan segala kesadaran mengenai apa yang dilakukan oleh diri. Selain itu bagian ini berkaitan erat dengan diri identitas. Diri yang adekuat akan menunjukkan adanya keserasian antara diri identitas dengan diri pelakunya, sehingga ia dapat mengenali dan menerima, baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku. Kaitan dari keduanya dapat dilihat pada diri sebagai penilai.

c. Diri Penerimaan/penilai (judging self)

Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar dan evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara mediator antara diri identitas dan diri pelaku. Manusia cenderung memberikan penilaian terhadap apa yang dipersepsikannya. Oleh karena itu, label-label yang dikenal pada dirinya bukanlah semata-mata menggambarkan dirinya tetapi juga sarat dengan nilai-nilai. Selanjutnya, penilaian ini lebih berperan dalam menentukan tindakan yang akan ditampilkannya. Diri penilai menentukan kepuasan seseorang akan dirinya atau seberapa jauh seseorang menerima dirinya. Kepuasan diri yang rendah akan menimbulkan harga diri (self esteem) yang rendah pula dan akan mengembangkan ketidakpercayaan yang mendasar pada dirinya. (Calhoun,1990:67)

Sebaliknya, bagi individu yang memiliki kepuasan diri yang tinggi, kesadaran dirinya lebih realistis, sehingga lebih memungkinkan individu yang bersangkutan untuk merupakan keadaan dirinya dan memfokuskan energi serta perhatiannya ke luar diri dan pada akhirnya dapat berfungsi lebih konstruktif. Ketiga bagian internal ini mempunyai peranan yang berbeda-beda, namun saling melengkapi dan berinteraksi membentuk suatu diri yang utuh dan menyeluruh.

Terdapat dua dimensi konsep diri yaitu :

1. Dimensi Internal

(24)

a. Diri identitas (identity self)

Diri sebagai identitas merupakan aspek dasar dari konsep diri. Dalam diri identitas, terkumpullah seluruh label dan symbol yang dipergunakan seseorang untuk menggambarkan dirinya yang didasarkan pada pertanyaan : “Siapakah saya?”. Label yang melekat pada diri seseorang dapat berasal dari orang lain atau orang itu sendiri. Semakin banyak label yang dimiliki seseorang, maka semakin terbentuklah orang itu untuk mencari jawaban tentang identitas dirinya.Diri identitas dapat mempengaruhi cara seseorang berinteraksi dengan lingkungan dan juga dengan dirinya sendiri. Dengan demikian, diri identitas mempunyai hubungan dengan diri pelaku dan hubungan ini umumnya berlaku timbal balik.

b. Diri perilaku (behaviour self)

Diri pelaku merupakan persepsi seseorang terhadap tingkah lakunya atau caranya bertindak, yang terbentuk dari suatu tingkah laku biasanya diikuti oleh konsekuensi-konsekuensi dari luar diri, dari dalam diri sendiri atau dari keduanya. Konsekuensi menentukan apakah suatu tingkah laku cenderung dipertahankan atau tidak. Disamping itu juga menetukan apakah tingkah laku tersebut akan diabstraksikan, disimbolisasikan dan dimasukkan kedalam diri identitas seseorang. Contohnya, seorang anak kecil mempunyai dorongan untuk berjalan. Ketika ia bisa berjalan ia merasa puas, dan lama kelamaan kemampuan berjalan serta kesadaran bahwa ia bisa berjalan merupakan label baru yang ada dalam diri identitasnya. Tindakkan berjalan itu sendiri merupakan bagian dari diri pelakunya.

c. Diri penerimaan atau penilaian ( judging self )

(25)

2. Dimensi Eksternal

Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta halhal lain di luar dirinya. Dimensi ini merupakan suatu hal yang luas, misalnya diri yang berkaitan dengan sekolah, organisasi, agama dan sebagainya (Fitz,1971:73). Dimensi eksternal yang bersifat umum bagi semua orang, dan dibedakan atas lima bentuk, yaitu:

a. Diri Fisik (physical self)

Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik. Dalam hal ini terlihat persepsi seseorang mengenai kesehatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik, tidak menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, kurus).

b. Diri etik-moral (moral-ethical self)

Bagian ini merupakan perspsi seseorang terhadap dirinya dilihat Dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. Maka ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan keagamaannya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya,yang muliputi batasan baik dan buruk.

c. Diri Pribadi (personal self)

Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejauh mana ia merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat.

d. Diri Keluarga (family self)

Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan seberapa jauh seseorang merasa dekat terhadap dirinya sebagai anggota keluarga, serta terhadap peran maupun fungsi yang dijalankannya sebagai anggota dari suatu keluarga.

(26)

Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan di sekitarnya. Pembentukan penilaian individu terhadap bagian-bagian dirinya dalam dimensi eksternal ini dapat dipengaruhi oleh penilaian dan interaksinya dengan orang lain. Seseorang tidak dapat begitu saja menilai bahwa ia memiliki fisik yang baik tanpa adanya reaksi dari orang lain yang memperlihatkan bahwa secara fisik ia memang menarik. Demikian Pula seseorang tidak dapat mengatakan bahwa dirinya memiliki diri pribadi yang baik tanpa adanya tanggapan atau reaksi orang lain di sekitarnya yang menunjukkan bahwa dirinya memang memiliki pribadi yang baik.

2.2.4.4 Sumber Informasi untuk Konsep Diri

1. Orang tua

Orang tua tentunya menjadi sumber informasi yang paling utama bagi setiap orang. Karena sejak kecil pastinya orang tua selalu memberikan berbagai informasi yang berguna untuk kehidupan anak. Dan semua itu akan terus berpengaruh untuk seterusnya selama hidup. Orang tua juga membantu setiap anaknya dalam pembentukan kepribadian, membantu memenuhi kebutuhan anak,sampai membantu menemukan potensi dalam diri anak yang berguna untuk masa depan.

2. Teman sebaya

Manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain. Oleh karena itu teman sebaya cukup berpengaruh dalam pembentukan konsep diri. Karena selama kita berinteraksi dengan teman kita,banyak hal yang masuk ke dalam diri kita yang membuat persepsi lain terhadap diri kita sendiri. Hal ini dapat terus berlangsung dalam interaksi sosial kita.

3. Masyarakat

(27)

masyarakat maka konsep diri masih terjaga karena kita tidak mengikuti apa yang di nilai masyarakat terhadap kita.

4. Belajar

Belajar adalah proses masuknya ilmu pengetahuan dan segala informasi yang nantinya akan diolah sendiri oleh masing-masing pribadi. Tentunya informasi yang masuk akan menjadi faktor penentu berubah atau tidaknya konsep diri.

Konsep diri terbentuk dari berbagai hal seperti terlihat pada gambar diatas dimana dinamika orang tua, teman sebaya, belajar dan masyarakat mempengaruhi dalam pembentukan konsep diri seseorang.

Orang Tua

Self

Concept

Teman

Sebaya Masyarakat

(28)

2.2.4.5. Jenis-Jenis Konsep Diri

Konsep diri yang positif dan ada yang mempunyai konsep diri yang negatif. Tanda-tanda individu yang memiliki konsep diri yang positif adalah :

• Yakin akan kemampuan dalam mengatasi masalah. Orang ini mempunyai

rasa percaya diri sehingga merasa mampu dan yakin untuk mengatasi masalah yang dihadapi,tidak lari dari masalah dan percaya bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluarnya.

• Merasa setara dengan orang lain. Ia selalu merendah diri,tidak sombong, mencela atau meremehkan siapapun,selalu menghargai orang lain.

• Menerima pujian tanpa rasa malu. Ia menerima pujian tanpa rasa malu tanpa menghilangkan rasa merendah diri,jadi meskipun ia menerima pujian ia tidak membanggakan dirinya apalagi meremehkan orang lain.

• Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan dan keinginan serta perilaku yang tidak seharusnya disetujui oleh masyarakat. Ia peka terhadap perasaan orang lain sehingga akan menghargai perasaan orang lain meskipun kadang tidak di setujui oleh masyarakat.

• Mampu memperbaiki karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek

kepribadian tidak disenangi dan berusaha mengubahnya. Ia mampu untuk mengintrospeksi dirinya sendiri sebelum menginstrospeksi orang lain dan mampu untuk mengubahnya menjadi lebih baik agar diterima di lingkungannya. (Fitz,1971:75).

Dasar konsep diri positif adalah penerimaan diri. Kualitas ini lebih mengarah kekerendahan hati dan kekedermawanan dari pada keangkuhan dan keegoisan. Orang yang mengenal dirinya dengan baik merupakan orang yang mempunyai konsep diri yang positif.

Tanda-Tanda individu yang memiliki konsep diri negatif adalah :

(29)

mempengaruhi dari individu tersebut belum dapat mengendalikan emosinya,sehingga kritikan dianggap sebagi hal yang salah. Bagi orang seperti ini koreksi sering dipersepsi sebagai usaha untuk menjatuhka cenderung menghindari dialog yang terbuka dan bersikeras mempertahankan pendapatnya dengan berbagai logika yang keliru.

• Responsif sekali terhadap pujian. Walaupun ia mungkin berpura-pura

menghindari pujian,ia tidak dapat menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian. Buat orang seperti ini,segala macam embel-embel yang menjunjung kesenangannya terhadap pujian,merekapun hiperkritis terhadap orang lain.

• Cenderung bersikap hiperkritis. Ia selalu mengeluh, mencela atau

meremehkan apapun dan siapapun. Mereka tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain.

• Cenderung merasa tidak disenangi oleh orang lain. Ia merasa tidak

diperhatikan,karena itulah ia bereaksi pada orang lain sebagai musuh,sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan,berarti individu tersebut merasa rendah diri atau bahkan berperilaku yang tidak disenangi,misalkan membenci,mencela atau bahkan yang melibatkan fisik yaitu mengajak berkelahi (bermusuhan).

• Bersikap pesimis terhadap kompetisi. Hal ini terungkap dalam

keengganannya untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi. Ia akan menganggap tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya. Pernyataan lain menyebutkan bahwa individu yang memiliki konsep diri negatif maupun positif memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Individu yang memiliki

(30)

psimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan,namun lebih sebagai halangan. Individu yang memiliki konsep diri negatif akan mudah menyerah sebelum berperang dan jika ia mengalami kegagalan akan menyalahkan diri sendiri maupun menyalahkan orang lain.

2. Individu yang memiliki

optimis,percaya diri sendiri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu,juga terhadap kegagalan yang dialami. Kegagalan tidak dipandang sebagai akhir segalanya,namun dijadikan sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah kedepan. Individu yang memiliki konsep diri positif akan mampu menghargai dirinya sendiri dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang.

Dengan melihat uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa negatif,yang mana keduanya memiliki ciri-ciri yang sangat berbeda antara ciri karakteristik konsep diri positif dan karakteristik konsep diri yang negatif.

Individu yang memiliki konsep diri positif dalam segala sesuatunya akan menanggapinya secara positif,dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri. Ia akan percaya diri,akan bersikap yakin dalam bertindak dan berperilaku. Sedangkan individu yang memiliki konsep diri negatif akan menanggapi segala sesuatu dengan pandangan negatif pula,dia akan mengubah terus menerus konsep dirinya atau melindungi konsep dirinya itu secara kokoh dengan cara mengubah atau menolak informasi baru dar lingkungannya (Fitz,1971:79).

2.2.5. Komunikasi Verbal

(31)

yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan. Ia menekankan dimiliki bersama, karena bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Secara formal, bahasa diartikan sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan tatabahasa. Setiap bahasa mempunyai peraturan bagaimana kata-kata harus disusun dan dirangkaikan supaya memberi arti.Tatabahasa meliputi tiga unsur: fonologi, sintaksis, dan semantik. Fonologi merupakan pengetahuan tentang bunyi-bunyi dalam bahasa. Sintaksis merupakan pengetahuan tentang cara pembentukan kalimat. Semantik merupakan pengetahuan tentang arti kata atau gabungan kata-kata.bahasa mempunyai tiga fungsi: penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi.

Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasikan objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi.Fungsi interaksi menekankan berbagi gagasan dan emosi, yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain, inilah yang disebut fungsi transmisi dari bahasa. Keistimewaan bahasa sebagai fungsi transmisi informasi yang lintas-waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan, memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi kita. (Deddy Mulyana,2005:38) agar komunikasi kita berhasil, setidaknya bahasa harus memenuhi tiga fungsi, yaitu:

- Mengenal dunia di sekitar kita. Melalui bahasa kita mempelajari apa saja yang menarik minat kita, mulai dari sejarah suatu bangsa yang hidup pada masa lalu sampai pada kemajuan teknologi saat ini.

· - Berhubungan dengan orang lain. Bahasa memungkinkan kita bergaul dengan orang lain untuk kesenangan kita

- mempengaruhi mereka untuk mencapai tujuan kita. Melalui bahasa kita dapat mengendalikan lingkungan kita, termasuk orang-orang di sekitar kita.

(32)

Keterbatasan Bahasa:

A. Keterbatasan jumlah kata yang tersedia untuk mewakili objek.

Kata-kata adalah kategori-kategori untuk merujuk pada objek tertentu: orang, benda, peristiwa, sifat, perasaan, dan sebagainya. Tidak semua kata tersedia untuk merujuk pada objek. Suatu kata hanya mewakili realitas, tetapi buka realitas itu sendiri. Dengan demikian, kata-kata pada dasarnya bersifat parsial, tidak melukiskan sesuatu secara eksak.Kata-kata sifat dalam bahasa cenderung bersifat dikotomis, misalnya baik-buruk, kaya-miskin, pintar-bodoh, dsb.

B. Kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual.

Kata-kata bersifat ambigu, karena kata-kata merepresentasikan persepsi dan interpretasi orang-orang yang berbeda, yang menganut latar belakang sosial budaya yang berbeda pula. Kata berat, yang mempunyai makna yang nuansanya beraneka ragam. Misalnya: tubuh orang itu berat; kepala saya berat; ujian itu berat; dosen itu memberikan sanksi yang berat kepada mahasiswanya yang nyontek.

C. Kata-kata mengandung bias budaya.

Bahasa terikat konteks budaya. Oleh karena di dunia ini terdapat berbagai kelompok manusia dengan budaya dan subbudaya yang berbeda, tidak mengherankan bila terdapat kata-kata yang (kebetulan) sama atau hampir sama tetapi dimaknai secara berbeda, atau kata-kata yang berbeda namun dimaknai secara sama. Konsekuensinya, dua orang yang berasal dari budaya yang berbeda boleh jadi mengalami kesalahpahaman ketiaka mereka menggunakan kata yang sama. Misalnya kata awak untuk orang Minang adalah saya atau kita, sedangkan dalam bahasa Melayu (di Palembang dan Malaysia) berarti kamu.

(33)

D. Percampuradukkan fakta, penafsiran, dan penilaian.

Dalam berbahasa kita sering mencampuradukkan fakta (uraian), penafsiran (dugaan), dan penilaian. Masalah ini berkaitan dengan dengan kekeliruan persepsi. Contoh: apa yang ada dalam pikiran kita ketika melihat seorang pria dewasa sedang membelah kayu pada hari kerja pukul 10.00 pagi? Kebanyakan dari kita akan menyebut orang itu sedang bekerja. Akan tetapi, jawaban sesungguhnya bergantung pada: Pertama, apa yang dimaksud bekerja? Kedua, apa pekerjaan tetap orang itu untuk mencari nafkah? .... Bila yang dimaksud bekerja adalah melakukan pekerjaan tetap untuk mencari nafkah, maka orang itu memang sedang bekerja. Akan tetapi, bila pekerjaan tetap orang itu adalah sebagai dosen, yang pekerjaannya adalah membaca, berbicara, menulis, maka membelah kayu bakar dapat kita anggap bersantai baginya, sebagai selingan di antara jam-jam kerjanya.

Ketika kita berkomunikasi, kita menterjemahkan gagasan kita ke dalam bentuk lambang (verbal atau nonverbal). Proses ini lazim disebut penyandian (encoding). Bahasa adalah alat penyandian, tetapi alat yang tidak begitu baik (lihat keterbatasan bahasa di atas), untuk itu diperlukan kecermatan dalam berbicara, bagaimana mencocokkan kata dengan keadaan sebenarnya, bagaimana menghilangkan kebiasaan berbahasa yang menyebabkan kerancuan dan kesalahpahaman. Makna dapat pula digolongkan ke dalam makna denotatif dan konotatif. Makna denotatif adalah makna yang sebenarnya (faktual), seperti yang kita temukan dalam kamus dan diterima secara umum oleh kebanyakan orang dengan bahasa dan kebudayaan yang sama. Makna konotatif adalah makna yang subyektif, mengandung penilaian tertentu atau emosional (Onong Effendy, 1994: 12)

2.2.6. Komunikasi Non Verbal

(34)

membantu komunikator untuk lebih memperkuat pesan yang disampaikan sekaligus memahami reaksi komunikan saat menerima pesan(Muhammad,2005:15). Bentuk komunikasi non verbal sendiri di antaranya adalah, bahasa isyarat, ekspresi wajah, sandi, symbol-simbol, pakaian sergam, warna dan intonasi suara.

contoh :

A. Sentuhan

Sentuhan dapat termasuk: bersalaman, menggenggam tangan, berciuman, sentuhan di punggung, mengelus-elus, pukulan dan lain-lain.

B. Gerakantubuh

Dalam komunikasi nonverbal, kinesik atau gerakan tubuh meliputi kontak mata,ekspresi wajah, isyarat dan sikap tubuh. Gerakan tubuh biasanya digunakan untuk menggantikan suatu kata atau frase, misalnya mengangguk untuk mengatakan ya; untuk mengilustrasikan atau menjelaskan sesuatu; menunjukkan perasaan.

C. Vokalik

Vokalik atau paralanguage adalah unsur nonverbal dalam suatu ucapan,yaitu cara berbicara. Contohnya adalah nada bicara,nada suara,keras atau lemahnya suara, kecepatan berbicara, kualitas suara,intonasi dan lain-lain.

D. Kronemik

(35)

komunikasi interpersonal adalah proses pertukaran informasi diantara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya atau biasanya diantara dua orang yang dapat langsung diketahui balikannya (Muhammad, 2005 : 15).

2.2.7. Interaksionisme Simbolik a. Interaksionisme Simbolik

Manusia mempunyai sejumlah kemungkinan tindakan dan pemikirannya sebelum ia memulai tindakan yang sebenarnya dengan melalui pertimbangan. Karena itu, dalam tindakan manusia terdapat suatu proses mental yang tertutup yang mendahului proses tindakan yang sesungguhnya. Berpikir adalah suatu proses individu berinteraksi dengan dirinya sendiri dengan memilih dan menggunakan simbol-simbol yang bermakna. Melaui proses interaksi dengan dirinya sendiri itu, individu memilih mana diantara stimulus yang tertuju padanya akan ditanggapinya. Dengan demikian, individu tidak secara langsung menanggapi stimulus, tetapi terlebih dahulu memilih dan kemudian memutuskan stimulus yang akan ditanggapinya. Simbol atau tanda yang diberikan oleh manusia dalam melakukan interaksi mempunyai makna-makna tertentu, sehingga dapat menimbulkan komunikasi. Komunikasi secara murni baru terjadi bila masing-masing pihak tidak saja memberikan makna pada perilaku mereka sendiri, tetapi memahami atau berusaha memahami makna yang diberikan oleh pihak lain. Dalam hubungan ini, Habermas mengemukakan dua kecendrungan fungsional dalam argument bahasa dan komunikasi serta hubungan dengan perkembangan manusia. Pertama, bahwa manusia dapat mengarahkan orientasi perilaku mereka pada konsekuensi-konsekuensi yang paling positif . Kedua, sebagai kenyataan bahwa manusia terlibat dalam interaksi makna yang kompleks dengan orang yang lain, dapat memaksa mereka untuk cepat berinteraksi dengan apa yang diinginkankan orang lain. Pada awal perkembangannya, interaksi simbolik lebih menekankan studinya tentang perilaku manusia pada hubungan interpersonal, bukan pada keseluruhan kelompok atau masyarakat.

(36)

ketika ia berinteraksi dengan orang lain. Kesadaran akan “diri” berarti menjadi suatu “diri” dalam pengalaman seseorang sejauh “suatu sikap yang dimilikinya sendiri membangkitkan sikap serupa dalam upaya social . kesadaran akan konsep “diri” akan muncul ketika individu memasuki pengalaman dirinya sendiri sebagai suatu obyek (West-Turner,2008:96).

Tiga tema konsep dan asumsi yang dibutuhkan untuk menyusun diskusi yang mendasari interaksi simbolik antara lain:

a. Pentingnya makna bagi perilaku manusia, b. Pentingnya konsep mengenai diri,

c. Hubungan antara individu dengan masyarakat

Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama, asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut: Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka, Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, Makna dimodifikasi melalui proses interpretif (West-Turner 2008: 99).

Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ”Konsep diri” atau ”Self-Concept”. Dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan, West-Turner (2008:101), antara lain: Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain, Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku(West-Turner, 2008: 101).

(37)

sosial kemasyarakatannya (West-Turner, 2008:102). Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi- asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah:

1. Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial,

2. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

1. Mind

- Mind adalah fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang dalam proses sosial sebagai hasil dari interaksi.

- Mind lebih merupakan proses daripada sebuah produk. Hal ini berarti bahwa kesadaran bukanlah hasil tangkapan dari luar, melainkan secara aktif selalu berubah dan berkembang.

Dalam kaitan ini, ada kolaborasi antara relasi bahasa dan mind. mind membantu bahasa meningkatkan kapasitas:

a. Menentukan objek dalam lingkungan sosial, melalui

pembentukan simbol yang signifikan.

b. Menggunakan simbol sebagai stimulus untuk menghasilkan respon dari orang lain.

c. Membaca dan menginterpretasikan gesture orang lain dan menggunakan stimulus ini sebagai respon.

d. Menyediakan imajinasi alternatif dari stimulus dan respon dari lingkungan. (West-Turner, 2008:103)

2. Self

Self [diri] memiliki dua unsur yakni:

1. I” yang dapat diterjemahkan sebagai “aku” merupakan

bagian yang unik, impulsif, spontan, tidak terorganisasi, tidak bertujuan, dan tidak dapat diramal dari seseorang.

(38)

3. Baik “I” maupun “me” keduanya diperlukan untuk melakukan hubungan sosial.

4. I” merupakan rumusan subjektif tentang diri ketika

berhadapan dengan orang lain

5. Sedangkan “me” merupakan serapan dari orang lain, yang melalui proses interanalisasi kemudian diadopsi untuk membentuk “I” selanjutnya.

6. Dalam setiap interaksi akan terjadi perubahan “I” dan “me secara dinamis.

Dalam konteks komunikasi, perubahan tersebut menimbulkan optimisme, yakni bagaimanapun komunikasi akan menimbulkan perubahan. Soal besar kecilnya perubahan dan seperti apa perubahan yang diinginkan itu tergantung pada strategi dan efektivitas komunikasi yang dilakukan. (West-Turner, 2008:103)

3. Society

1. Society merupakan kumpulan self yang melakukan interaksi dalam lingkungan yang lebih luas yang berupa hubungan personal, kelompok intim, dan komunitas. Institusi society karenanya terdiri dari respon yang sama.

2. Society dipelihara oleh kemampuan individu untuk melakukan role-taking dan generalized others (West-Turner, 2008:104).

2.2.8. Teori Tindakan Beralasan (Theory Of Reasoned Action)

Teori tindakan beralasan adalah salah satu dari tiga model persuasi klasik. Menurut teori ini, niat atau kehendak seseorang untuk melakukan suatu tindakan tertentu ditentukan oleh sikapnya terhadap tindakan itu sendiri serta seperangkat kepercayaan mengenai bagaimana orang lain menginginkan ia bertindak.

(39)

hasil perilaku, norma subjektif, kepercayaan – kepercayaan normatif dan motivasi untuk patuh.

Jika seseorang mempersepsi bahwa hasil dari menampilkan suatu perilaku tersebut positif, ia akan memiliki sikap positif terhadap perilaku tersebut. Yang sebaliknya juga dinyatakan bahwa jika suatu perilaku dipikirkan negatif. Jika orang – orang lain yang relevan memandang bahwa menampilkan perilaku tersebut positif dan seseorang tersebut termotivasi untuk memenuhi harapan orang – orang lain yang relevan, maka itulah yang disebut dengan norma subjektif yang positif. Jika orang – orang lain melihat perilaku yang akan ditampilkan sebagai sesuatu yang negative dan seseorang tersebut ingin memenuhi harapan orang – orang lain tersebut maka, hal itu yang disebut norma subjektif negatif. Sikap dan norma subjektif diukur dengan skala yang menggunakan frase suka/tidak suka, baik/ buruk, dan setuju/ tidak setuju. Kehendak untuk menampilakn suatu perilaku tergantung pada hasil pengukuran sikap dan norma subjektif. Teori ini memiliki bentuk rumusan sebagai berikut :

Dimana :

• BI = Niat untuk bertingkah laku

• Ag = Sikap terhadap tingkah laku

• SN = Pendapat orang lain

• W1 = Bobot sikap sendiri

• W2 = Bobot sikap orang lain

Dari rumusan tersebut dijelaskan bahwa niat atau keinginan seseorang untuk melakukan suatu tindakan (bersikap atau bertingkah laku), adalah sama dengan sikap orang itu sendiri terhadap tindakan itu dikalikan dengan bobot sikap sendiri ditambah pendapat orang lain dikalikan bobot pendapat orang lain.

(40)

2.2.8.1. Komponen – Komponen dalam Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action)

1. Behaviour Belief , mengacu pada keyakinan seseorang terhadap perilaku tertentu, disini seseorang akan mempertimbangkan untung atau rugi dari perilaku tersebut (outcome of the behavior), disampingitu juga dipertimbangkan pentingnya konsekuensi – konsekuensiyang akan terjadi bagi individu bila ia melakukan perilaku tersebut (evaluation regarding of the outcome)

2. Normative Belief, mencerminkan dampak keyakinan normatif, disini mencerminkan dampak dari norma–norma subyektif dan norma sosial yang mengacu pada keyakinan seseorang terhadap bagaimanadan apa yang dipikirkan orang–orang yang dianggap penting oleh individu (referent persons) dan motivasi seseorang untuk mengikuti perilaku tersebut (seberapa penting kita menerima saran atau anjuran dari pasangan anda ?).

3. Attitude towards the behaviour, sikap adalah fungsi dari kepercayaantentang konsekuensi perilaku atau keyakinan normatif, persepsi terhadap konsekuensi suatu perilaku dan penilaian terhadap perilakutersebut. Sikap juga berarti perasaan umum yang menyatakankeberkenaan atau ketidakberkenaan seseorang terhadap suatu objek yang mendorong tanggapannya. Faktor sikap merupakan point penentu perubahan perilaku yang ditunjukkan oleh perubahan sikapseseorang dalam menghadapi sesuatu. Perubahan sikap tersebutdapat berbentuk penerimaan ataupun sebaliknya, penolakan.

4. Importance Norms, norma–norma penting atau norma–norma yang berlaku di masyarakat, adalah pengaruh faktor sosial budaya yang berlaku di masyarakat dimana seseorang itu tinggal. Unsur – unsur sosial budaya yang dimaksud seperti “gengsi” yang juga dapat membawa seseorang untuk mengikuti atau meninggalkan sebuah perilaku.

(41)

nasehat dan motivasidari keluarga atau kawan. Kemampuan anggota keluarga atau kawan terdekat mempengaruhi seorang individu untuk berperilaku seperti yang mereka harapkan diperoleh dari pengalaman, pengetahuan dan penilaian individu tersebut terhadap perilaku tertentu dan keyakinannya melihat keberhasilan orang lain berperilaku sepertiyang disarankan.

6. Behavioural Intention, niat ditentukan oleh sikap, norma pentingdalam masyarakat dan norma subjektif. Komponen pertama mengacu pada sikap terhadap perilaku. Sikap ini merupakan hasil pertimbangan untung dan rugi dari perilaku tersebut (outcome of behavior). Disamping itu juga dipertimbangkan pentingnyakonsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi bagi individu (evaluation regarding of the outcome). Komponen kedua mencerminkan dampak dari norma-norma subjektif dan norma sosialyang mengacu pada keyakinan seseorang terhadap bagaimana danapa yang dipikirkan orang-orang yang dianggap penting dan motivasi seseorang untuk mengikuti pikiran tersebut.

7. Behaviour, perilaku adalah sebuah tindakan yang telah dipilihseseorang untuk ditampilkan berdasarkan atas niat yang sudahterbentuk. Perilaku merupakan transisi niat atau kehendak ke dalam action / tindakan.

2.2.9. Perempuan dan Gender

(42)

Pada masyarakat di zaman modern,diskriminasi yang berawal dari pembenaran mitos-mitos ini,akhirnya,merambah lebih jauh ke dalam nuansa kepercayaan,politik,ekonomi,ras dan warna kulit. Bahkan pada era modern,jika segmen masyarakat dapat dibagi dalam segmen orang kaya dan miskin maka didalamnya ada perempuan yang merupakan segmen masyarakat paling miskin dari yang miskin dan paling sengsara dari yang sengsara. Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena setiap ada program pembangunan maka yang jadi korbanya adalah kaum perempuan. Soalnya,sebagian besar penduduk perempuan tidak siap untuk mengantisipasi ubahan-ubahan pembangunan,karena keterbatasan akses mereka dalam pendidikan,ekonomi dan berbagai kendala budaya yang lebih banyak dikenakan pada mereka di banding kaum lelaki.

Kaum perempuan dipandang dari berbagai sisi masih sering mendapat perlakuan yang tidak adil karena kedudukan perempuan khususnya di Indonesia masih mengalami subordinasi, perendahan, pengabaian, eksploitasi, dan pelecehan seksual, bahkan tindak kekerasan. Tampaknya kita perlu mencermati masalah perempuan dalam suatu pandangan yang berorientasi gender dan memberi tempat yang prioritas untuk kebutuhan perempuan yang diharapkan dapat merubah realitas untuk kesetaraan gender. Untuk mengubah kondisi tersebut maka diperlukan perspektif gender dalam melihat persoalan perempuan dan mencari solusinya “Gender” sebagai pembebasan perempuan untuk mengembalikan perempuan pada hakikinya . Perubahan sosial yang selama ini bersifat endosentris dapat dilihat sebagai ketimpangan struktural dalam perspektif gender (Susanti,2000:5)

Referensi

Dokumen terkait

Taman Bacaan Masyarakat adalah sarana peningkatan budaya membaca masyarakat dengan ruangan yang disediakan untuk membaca, diskusi, bedah buku, menulis dan kegiatan

Kurva Kutznet menunjukkan hubungan pendapatan per kapita dengan kondisi lingkungan hidup tetapi ukuran pembangunan ekonomi modern tidak hanya mempertimbangkan pendapatan

Tema yang dipilih dalam tugas akhir ini ialah pemberdayaan, dengan judul Pemberdayaan Persatuan Orangtua Peduli Anak Berkebutuhan Khusus (POPA) dalam Meningkatkan Kesejahteraan

Hasil akhir dari penelitian ini adalah aplikasi perangkat ajar kimia dengan menggunakan WebGL berbasis sistem multimedia yang dibuat menggunakan HTML5, dilengkapi

Interaksi yang dilakukan remaja dengan orang tua ternyata terbukti memiliki hubungan terhadap kejelasan orientasi masa depan di bidang pendidikan sebab senada dengan

[63] Analisis multivariat yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan variabel bebas (asupan energi, asupan serat, aktivitas fisik,

Selain itu, dibandingkan dengan jenis obesitas lainnya, akumulasi lemak yang terjadi di bagian abdominal 12 , dapat mengubah metabolisme glukosa dan lemak dalam tubuh,

KNP mencerminkan bagian atas laba atau rugi dan aset bersih dari Entitas Anak yang diatribusikan pada kepentingan ekuitas yang tidak dimiliki secara langsung maupun tidak langsung