• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Terhadap Mengangkut Barang Impor yang Tidak Tercantum Dalam Daftar Barang Niaga yang Dimuat Dalam Sarana Pengangkutan (Studi Kasus Putusan Nomor 2378 Pid.B 2011 PN.Mdn) Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Terhadap Mengangkut Barang Impor yang Tidak Tercantum Dalam Daftar Barang Niaga yang Dimuat Dalam Sarana Pengangkutan (Studi Kasus Putusan Nomor 2378 Pid.B 2011 PN.Mdn) Chapter III V"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERCANTUMNYA BARANG-BARANG NIAGA DALAM MANIFEST BARANG-BARANG IMPOR

A. Faktor Internal

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana kepabeanan termasuk modus operandi tindak pidana kepabeanan penting untuk diketahui dalam upaya penanggulangan tindak pidana kepabeanan. Adapun faktorinternalpenyebab tidak tercantumnya barang-barang niaga dalam manifest barang impor adalah :

1. Peraturan

Sebagaimana diketahui bahwa akhir-akhir ini pemerintah telah berusaha menghilangkan birokrasi yang berbelit-belit dalam pengurusan barang-barang impor dan ekspor. Salah satu kebijakan pemerintah tersebut adalah dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (IPRES) Nomor 4 Tahun 1985 tentang kebijakan kelancaran arus barang untuk menunjang kegiatan ekonomi.

Salah satu kebijakan dalam INPRES Nomor 4 Tahun 1985 tersebut ialah dengan dihilangkan ketentuan tentang penggunaan Aangifte van Inlading (AVI) atau Pemberitahuan Muat Barang (PMB) bagian angkutan barang antar pulau yang selama ini berlaku, sebagaimana di atur dalam Pasal 48 Reglemen A Ordonansi Bea.35

Seperti diketahui barang-barang eks impor berupa barang-barang pakaian bekas dan lain-lain sering diangkut diantara pulaukan, sehingga kecurigaan

35

(2)

terhadap muatan kapal antar pulau tersebut terabaikan. Lebih-lebih jika mereka melindungi barang-barang yang diangkutnya itu dengan faktur-faktur pembelian palsu yang diperoleh dari tokok-tokok atau importir di Jakarta atau Surabaya, maka akan sangat sulit bagi para petugas penyelidik atau penyidik yang mencurigai muatan kapal antar pulau tersebut, kecuali kalau mereka benar-benar tertangkap tangan (sedang berlayar di perairan Indonesia tanpa dilindungi dokumen-dokumen atau sedang membongkar atau memindahkan barang-barang dari kapal asing ke kapal lokal yang tengah berlayar antar pulau. Akantetapi hal inipun kemungkinannya sangat sulit dipantau mengeingat luasnya perairan Indonesia dan yang sangat berdekatan dengan batas wilayah negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Singapura dan lain-lain.

2. Mentalitas Petugas dan Partisipasi Masyarakat

Indonesia yang dikarunia Tuhan dengan kekayaan alam yang banyak penduduk yang banyak akan tetapi jika yang mengendalikan dan mengelola sumber daya itu tidak jujur, maka bukan tidak mungkin negara Indonesia akan tetap menderita sebagai negara miskin. Sejarah telah membuktikan bahwa kekayaan alam dan bumi yang melimpah ruah belum merupakan jaminan kemakmuran suatu bangsa tetapi dengan kecerdasan, ketekunan serta tekad kuatlah yang dapat dijadikan modal utama menuju terciptanya kemakmuran dan kebahagiaan meskipun secara geografis alam buminya tergolong miskin.

(3)

pembangunan sekarang ini. Tetapi yang perlu dipertanyakan sekarang adalah sejauhmana mental para petugas dalam menghadapi cobaan dan godaan oknum-oknum yang ingin melakukan penyelundupan di wilayah Indonesia. Tentu tidak biasa menggeneralisir mental para petugas tersebut, akan tetapi tidak bisa diabaikan begitu saja akan sikap dan mental beberapa oknum petugas yang tidak mau tahu akan kepentingan nasional bangsa Indonesia. Sering didengar adanya oknum-oknum tertentu yang terlibat, dimana para petugas yang tidak bertanggung jawab tersebut bekerjasama dengan para penyelundup.

Para pelaku otak penyelundup umumnya bukanlah orang-orang atau pengusaha bermodal kecil, melainkan pada umumnya orang-orang yang bermodal besar. Jadi apabila mental para petugas tersebut tidak kuat dan teguh, maka sudah barang tentu menjadi makanan bagi penyelundup yang dimiliki otak yang lihai dan licik.

Usaha penanggulangan tindak pidana penyelundupan sering dirasakan kurangnya partisipasi dari warga masyarakat, meskipun media-media massa telah cukup gencar memuat berita-berita tentang pemberantasan tindak pidana penyelundupan. Mungkin hal ini disebabkan karena warga masyarakat merasa beruntung karena dapat membeli barang-barang eks luas negeri asal selundupan dengan harga murah dan mutu yang tinggi.

(4)

pembangunan dan hasil-hasilnya yaitu dengan jalan memberantas tindak pidana penyelundupan.38

B. Faktor Eksternal

Adapun faktoreksternalpenyebab tidak tercantumnya barang-barang niaga dalam manifest barang impor adalah :

1. Faktor Geografis

Luasnya Kepulauan Nusantara yang terdiri dari ribuan Pulau besar dan kecil, yang diapit oleh dua Benua yaitu Asia dan Australia dan dua Samudera dengan garis pantai yang berbentang luas dan yang sangat berdekatan dengan negara-negara tetangga yang sudah lebih dahulu mengalami kemajuan, baik di bidang perekonomian maupun industri membuka kesempatan atau peluang atau bahkan dapat merangsang para pengusaha (lokal maupun asing) untuk melakukan penyelundupan. Keadaan ini dimanfaatkan oleh para penyelundup di sekitar perairan untuk memasukan barang-barang ilegal dari luar negeri.

Modus operandi penyelundupan yang masuk biasanya melalui pantai di luar daerah pelabuhan, melalui kapal ke kapal baik dengan menggunakan peralatan tradisional maupun modern, misalnya dengan menggunakan kapal atau speedboat dengan kecepatan tinggi dan membawa senjata api.

3. Kondisi Industri Dalam Negeri dan Sumber Daya Alam

Tidak dapat disangkal bahwa kondisi industri dalam negeri turut

mempengaruhi timbulnya tindak pidana penyelundupan dari luar negeri. Karena

sebagaimana diketahui, produksi barang-barang dalam negeri masih kurang atau

38

(5)

tidak mencukupi untuk kebutuhan dalam negeri. Selain itu produk barang-barang

dalam negeri mutu dan harganya lebih mahal dibandingkan dengan barang dari

luar negeri.31

Negara-negara yang telah maju dan mapan sektor industri dan perekonomiannya adakalanya mengalami kelebihan produksi (over production). Misalnya negara-negara yang berdekatan dengan Indonesia seperti Malaysia, Singapura, India dan lain-lain. Di negara-negara ini kadang-kadang mengalami kesulitan dalam memasarkan hasil-hasil produksinya. Keadaan ini oleh para pengusaha yang tidak bertanggung jawab lalu dimanfaatkan untuk kepentingan

Faktor sumber daya alam Indonesia turut pula mempengaruhi

penyelundupan. Hal ini bisa dilihat dengan banyaknya kekayaan alam berupa

bahan-bahan mentak yang diinginkan oleh negara-negara lain untuk dijadikan

sumber komoditi ekspor negara-negara yang bersangkutan.

Negara-negara industri yang haus akan bahan-bahan mentak dan pasaran untuk melempar hasil industrinya, ditambah pula dengan letak negaranya yang jauh dari pantai-pantai Indonesia, maka masalah penyelundupan menjadi semakin menarik bagi pengusaha yang tidak bertanggung jawab untuk memanfaatkan kekayaan alam Indonesia yang karena bentuknya tidak boleh diekspor (kecuali setelah diolah terlebih dahulu, seperti kayu gelondongan yang harus diubah menjadi plywood, demikian juga rotan dan lain-lain) dan ada pula yang memang benar-benar dilarang untuk dieskpor karena termasuk langka dandilindungi (seperti orang utan, burung cendrawasih dan lain-lain).

31

(6)

dan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara tidak sah atau illegal yaitu berusaha memasukan barang-barang dagangan mereka ke negara-negara lain melalui penyelundupan.

Negara tertentu melakukan politik dumping sehingga kedatangan barang-barang impor ke negara-negara yang belum stabil hasil produksinya mengalami keguncangan-keguncangan menghadapi persaingan barang-barang produksi impor. Hal ini bisa terjadi karena di samping barang-barang eks impor tersebut sangat dibutuhkan masyarakat (seperti pakaian bekas) dan juga baik mutu maupun harganya jauh lebih baik dan lebih murah dibanding produksi dalam negeri. Apabila keadaan ini terjadi, maka bagi masyarakat sendiri tidak mempersoalkan lagi apakah yang dibelinya itu dimasukkan secara sah atau tidak, juga dipengaruhi oleh daya beli masyarakat Indonesia memang masih rendah. Keadaan ini akan dimanfaatkan oleh para pengusaha yang tidak bertanggung jawab untuk memasukkan barang-barang yang dibutuhkan masyarakat tersebut secara ilegal (penyelundupan).

4. Transportasi

(7)

Hal di atas ditambah lagi dengan letak daerah-daerah tertentu di Indonesia memang berdekatan dengan negara-negara tetangga. Keadaan ini akan dimanfaatkan benar oleh penyelundupan guna memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Sehingga tidak jarang di daerah-daerah pantai yang letaknya lebih dekat dengan negara tetangga tersebut banyak barang-barang eks luar negeri tanpa diketahui asal usulnya, apakah dimasukkan secara resmi atau melalui penyelundupan.

(8)

BAB IV

KEDUDUKAN HUKUM PIDANA MENGENAI BARANG-BARANG IMPOR DALAM BARANG NIAGA

A. Kebijakan Penal atau Penal Policy

Membahas mengenai pencegahan kejahatan, terlebih dahulu harus dijelaskan mengenai kebijakan kriminal atau politik kriminal, karena pencegahan kejahatan merupakan bagian dari kebijakan kriminal atau politik kriminal. Kebijakan/politik kriminal adalah upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan pengaggulangan kejahatan.

Upaya penanggulangan tindak pidana kepabeanan dengan menggunakan sanksi (hukum) pidana atau sarana penal merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Sampai saat inipun, penggunaan sarana penal masih digunakan dan diandalkan sebagai salah satu sarana politik kriminal. Penggunaan upaya penal (sanksi/hukum pidana) dalam mengatur masyarakat (lewat perundang-undangan) pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy).

(9)

tertentu. Lebih dari itu, kebijakan hukum pidana memerlukan pendekatan yang menyeluruh yang melibatkan berbagai disiplin ilmu hukum selain ilmu hukum pidana serta kenyataan di dalam masyarakat sehingga kebijakan hukum pidana yang digunakan tidak keluar dari konsep yang lebih luas yaitu kebijakan sosial dan rencana pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Sudarto, arti mengenai kebijakan penal yaitu :30

1. Dalam arti sempit ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.

2. Dalam arti luas ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.

Dalam arti paling luas ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Sedangkan Menurut Edi Sudarto, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik yang membantunya maupun yang mentaatinya atau yang terkena kebijakan itu.31

Kebijakan penal bisa diartikan sebagai suatu prilaku dari semua pemeran untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai bentuk tindakan pidana dengan tujuan-tujuan tertentu, yaitu untuk mencapai kesejahteraan dan melindungi masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, hal ini berefek pada pembentukan atau pengkoreksian terhadap undang-undang, di mana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yaitu berupa pidana. Berdasarkan tujuan di atas, menunjukkan bahwa

30

Sudarto, Op.Cit, hlm.65

31

(10)

kebijakan penal itu sangat berkaitan erat dengan kebijakan sosial, bahkan kebijakan-kebijakannya termasuk dalam kebijakan sosial. Konsekuensi sebagai kebijakan, pidana bukan merupakan suatu keharusan.

Kebijakan penal selalu berkaitan dengan tiga hal pokok, di antaranya: 1. Keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap

pelanggaran hukum yang berupa pidana.

2. Keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.

3. Keseluruhan kebijakan, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Ini berarti bahwa kebijakan kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.32

Tahap-tahap penalisasi sebagai berikut yaitu:

1. Formulasi (kebijakan legislatif) yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat Undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut sebagi tahap kebijakan legislatif.

2. Aplikasi (kebijakan yudikatif) yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat hukum mulai dari Kepolisian sampai pengadilan. Tahap kedua ini dapat pula dusebut dengan tahap kebijakan yudikatif. 3. Eksekusi (kebijakan eksekutif) yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana

secara kongkrit oleh aparat-aparat pelaksanaan pidana. Tahap ini dapat disebut dengan tahap kebijakan eksekutif.33

Akibat adanya tahap formulasi maka upaya pemecahan dan

penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum, tetapi juga

menjadi tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif) bahkan kebijakan

legislatif merupakan tahap paling strategis dari upaya pemecahan dan

penanggulangan kejahatan melalui kebijakan penal. Oleh karena itu, kesalahan

atau kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat

32

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm 1

33

(11)

menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada

tahap aplikasi dan eksekusi.34

1. Penerapan hukum pidana dipandang sebagai sistem normatif yakni penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-nilai sosial yang didukung oleh sanksi pidana.

Sebagai suatu proses yang sistemik, maka penegakan hukum pidana menampakan diri sebagai penerapan hukum pidana (kriminal law application) yang melibatkan berbagai sub-sistem struktural berupa aparat kepolisian, kejaksaan, dan pemasyarakatan. Termasuk di dalamnya tentu saja lembaga penasihat hukum. Dalam hal ini penerapan hukum pidana dipandang dari tiga dimensi, yaitu :

2. Penerapan hukum pidana dipandang sebagai sistem administratif yang mencangkup interaksi antar aparatur penegak hukum yang merupakan sub-sistem peradilan diatas.

3. Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial dalam arti bahwa dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula diperhitungkan berabagai prefektif pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat.

Sehubungan dengan berbagai dimensi diatas dapat dikatakan bahwa sebenarnya hasil penerapan hukum pidana harus menggambarkan keseluruhan hasil interaksi antara aturan hukum, praktek administratif dan perilaku sosial. Sudarto menyatakan bahwa melaksaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang

34

(12)

paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna, dengan maksud lain yaitu usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situsai pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.35

Menurut Badra Nawawi Arief, kebijakan kriminal adalah suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.36 Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa Belanda “politiek”. Istilah dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa disebut juga politik hukum pidana.37 Menurut Mahmud Mulyadi, politik hukum pidana merupakan upaya menentukan ke arah mana pemberlakuan hukum Pidana Indonesia masa yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini.38

Sudarto mengungkapkan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan dalam rangka mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dengan memenuhi syarat keadilan dan daya guna.39

A. Mulder mengemukakan secara rinci tentang ruang lingkup politik hukum pidana yang menurutnya bahwa politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk menentukan : 40

1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan perubahan atau diperbaharui;

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal

Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008,

hlm.65

38Ibid

, hlm.66

39

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2001, hlm. 161.

40

(13)

2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan;

3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan

Penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare), oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik hukum pidana adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa politik hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial.

(14)

public funds), pelanggaran terhadap peraturan-peraturan keuangan (violations of currency regulations), spekulasi dan penipuan dalam transaksi tanah (speculation and swinding in land transactions), penyelundupan (smuggling), delik-delik lingkungan (environmental offences), menaikkan harga (over princing), melebihi faktur (over invoicing), eksploitasi tenaga kerja (labour exploitation), penipuan konsumen (consumer fraud), mengekspor dan mengimpor barang-barang di bawah standard an bahkan hasil-hasil produksi yang membahayakan (export and import of substandard and dangerously unsafe products).41

1. Rubin menyatakan bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya, apakah dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki), sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan.

Keterbatasan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal terungkap pula dari pendapat beberapa sarjana antara lain :

2. Schultz menyatakan bahwa naik turunnya kejahatan di suatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan di dalam hukumnya atau kecenderungan-kecenderungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat.

3. Karl O. Christiansen pada waktu membicarakan beberapa pertimbangan mengenai kemungkinan suatu politik criminal yang rasional, mengemukakan antara lain. Pengaruh pidana terhadap masyarakat luas sangat sulit diukur. Pengaruh itu terdiri dari sejumlah bentuk aksi dan reaksi yang berbeda dan saling berkaitan erat, yang disebut dengan berbagai macam nama, misalnya pencegahan (deterrence), pencegahan umum (general prevention), memperkuat kembali nilai-nilai moral (reinforcement of moral values), memperkuat kesadaran kolektif (strengthening the collective colidarity), menegaskan kembali/memperkuat rasa aman dari masyarakat (reaffirmation of the public feeling of security), mengurangi atau meredakan ketakutan (alleviation of fears), melepaskan ketagangan-ketegangan agresif (release of aggressive tensions) dan sebagainya. 4. Donald R. Taft dan Ralph W. England pernah menyatakan, bahwa

efektivitas hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum

41Ibid,

(15)

hanya merupakan salah satu kontrol sosial. Kebiasaan, keyakinan agama, dukungan dan pencelaan kelompok, penekanan dari kelompok-kelomppok interest dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang lebih efesien dalam mengatur tingkah laku manusia daripada sanksi hukum.42

Barda Nawawi Arief, menyatakan hukum pidana memiliki keterbatasan kemampuan dalam penanggulangan kejahatan, hal ini dapat dilihat:

1. Sifat/hakekat dan fungsi hukum pidana

Dilihat dari hakekat kejahatan sebagai suatu masalah kemanusiaan dan masalah sosial, banyak faktor yang menyebabkan kejahatan. Faktor penyebab terjadinya kejahatan itu sangat kompleks dan berada diluar jangkauan hukum pidana. Wajarlah hukum pidana mempunyai keterbatasan dalam menanggulanginya. Sanksi (hukum) pidana selama ini bukanlah obat (remedium) untuk mengatasi sebab-sebab (sumber) penyakit. Dengan kata lain sanksi (hukum) pidana bukanlah merupakan pengobatan kausatif, tetapi hanya sekedar pengobatan simptomatik.

2. Sifat/fungsi pemidanaan

Pendekatan hukum pidana selama ini sangat terbatas dan fragmentair, yaitu terfokus dipidananya si pembuat. Dengan demikian efek preventif dan upaya perawatan/penyembuhan (treatment atau kurieren) lewat sanksi pidana lebih diarahkan pada tujuan agar orang tidak melakukan tindak pidana (prevensi spesial maupun prevensi general) dan bukan untuk mencegah agar kejahatan itu (secara struktural) tidak terjadi.

3. Dilihat dari jenis sanksi

Hukum pidana sangat kaku dan sangat terbatas jenis pidana (sebagai obat/remedium) yang dapat dipilih. Tidak sedikit dalam perundang-undangan selama ini digunakan sistem perumusan sanksi pidana yang sangat kaku dan bersifat imperatif, seperti halnya perumusan sanksi pidana secara tunggal dan kumulatif. Sistem demikian tentunya kurang memberi peluang atau kelonggaran bagi hakim untuk memilih pidana (obat) mana yang dianggap paling tepat bagi si terpidana. Terlebih pidana (obat) itu sendiri mengandung juga sifat-sifat kontradiktif/paradoksal dan unsur-unsur negatif yang membahayakan atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan efek sampingan yang negatif. 43

42

Ibid, hlm.3

43

(16)

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapatlah kiranya diidentifikasikan sebab-sebab keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan sebagai berikut :

1. Sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada diluar jangkauan hukum pidana;

2. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari sarana kontrol yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks;

3. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan kurieren am symptom oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan pengobatan simptomatik dan bukan pengobatan kausatif.

4. Sanksi hukum pidana merupakan remedium yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif.

5. Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif.

(17)

Sejalan dengan pendapat tersebut paham determinisme menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis dan faktor lingkungan kemasyarakatannya. Dengan demikian kejahatan sebenarnya merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seseorang abnormal sehingga si pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana karena seorang penjahat merupakan jenis manusia khusus yang memiliki ketidaknormalan organik dan mental maka bukan pidana yang seharusnya dikenakan kepadanya, tetapi yang diperlukan adalah tindakan-tindakan perawatan yang memperbaiki.44

Berkaitan dengan kriminalisasi perbuatan, Soedarto mengatakan bahwa harus diperhatikan hal-hal berikut ini :45

4. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan-tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil spiritual berdasarkan Pancasila sehingga sehubungan dengan ini penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

5. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan spiritual) atas warga masyarakat.

6. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dari hasil (cost and benefit principle).

7. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overlasting).

Berdasarkan hal di atas terlihat bahwa sebenarnya penggunaan upaya penal (sanksi/hukum pidana) masih diperlukan keberadaannya, meskipun dalam

44

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1996, hlm. 19

45

(18)

penerapannya harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian, cermat, selektif dan limitatif.

Penggunaan sarana penal atau hukum pidana dalam suatu kebijakan kriminal di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan atau tindak pidana kepabeanan untuk saat sekarang ini sangatlah tepat digunakan. Karena penggunaan sarana penal lebih menitik beratkan pada sifat represifnya yang berarti keseluruhan usaha/kebijakan yang diambil sesudah atau pada waktu terjadinya suatu kejahatan atau tindak pidana. Hal ini diadakan dengan tujuan agar kejahatan tidak terulang lagi atau paling tidak diperkecil kualitas dan kuantitasnya.

Upaya penanggulangan penyelundupan, instansi Pemerintah dalam hal ini Polisi beserta jajarannya selalu tetap konsisten melakukan beberapa kegiatan preventif maupun represif. Tindakan represif yang dilakukan oleh Polisi sebagai lembaga penyidik merupakan upaya penindakan dan penegakan hukum terhadap ancaman faktual dalam tindak pidana penyelundupan oleh orang-orang yang tidak berhak dan tidak bertanggung jawab.

Upaya penindakan tersebut aparat penyidik mengacu pada prosedur sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur tentang tindak pidana penyelundupan.

(19)

lembaga pemasyarakatan, maka bekerjanya sistem peradilan pidana dapat dimaknai sebagai bekerjanya masing-masing unsur tersebut dalam kapasitas fungsinya masing-masing menghadapi dan atau menangani tindak pidana penyelundupan yang terjadi. Atas pemahaman tersebut maka bekerjanya sistem peradilan pidana dimulai ketika adanya informasi-informasi tentang adanya dugaan telah terjadinya tindak pidana.

Jika melihat penggunaan sarana penal melalui sistem peradilan pidana yang dirumuskan sebagai berikut:

a. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang tersalah telah dipidana.

b. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Ternyata dari beberapa tujuan tersebut sekalipun ada yang telah berhasil dicapai namun keberhasilannya itu tidak memberikan kepuasan. Diakui bahwa sudah sekian banyak kasus kejahatan tindak pidana pengrusakan/penghancuran tanaman sawit yang diselesaikan oleh lembaga peradilan melalui bekerjanya sistem peradilan pidana dengan menghasilkan sekian banyak putusan, tetapi sekian banyak pula putusan itu tidak membuat masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan.

(20)

penegak hukum dalam sistem peradilan pidana itu sendiri. Sebab bagaimanapun baiknya suatu struktur kelembagaan dan aturan-aturan hukum yang mendasari suatu sistem peradilan pidana jika manusia yang menjalankannya bermoral buruk maka sulit untuk mengharapkan hasil yang baik. Sehingga masyarakat yang melakukan tindak pidana penyelundupan tidak menjadi jera yang menyebabkan makin maraknya kejahatan penyelundupan.

Penggunaan sarana penal melalui sistem peradilan pidana dalam menangani tindak pidana penyelundupan harus tetap dilakukan oleh aparatur penegak hukum baik Polisi, Jaksa, Hakim dan lembaga pemasyarakatan.

Berdasarkan hal di atas, maka kebijakan dengan sarana penal adalah upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana pidana. Dalam hal ini telah terjadi semacam perumusan pidana dan pemidanaan yang telah dilegalkan melalui perundnag-undangan. Sehingga, telah ada kepastian hukum dalam melakukan penanggulangan maupun pemecahan terhadap pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku kajahatan. Kebijakan kriminal dengan sarana penal ini bersifat represif. Fungsionalisasi hukum pidana sangatlah terlihat dalam pelaksanaan kebijakan kriminal ini.

B. Kebijakan Non Penal atau Non Penal Policy

(21)

Usaha-usaha non penal ini dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial. Tujuan utama dari usaha-usaha non penal ini adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif kejahatan. Dilihat dari sudut kebijakan kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang non penal itu sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis dan memegang posisi kunci yang harus diintensifkan.

Kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan berakibat sangat fatal bagi usaha penanggulangan penyelundupan. Oleh karena itu suatu kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif yang non penal itu ke dalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur dan terpadu

Sarana non-penal sifatnya preventif yaitu sebagai upaya pencegahan terjadinya kejahatan. Sarana non-penal mempunyai posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya kebijakan kriminal.46

1. Sulitnya hukum pidana menaggulangi kejahatan atau mencegah terjadinya kejahatan karena hukum pidana dalam bekerjanya selalu mencerminkan sifat kereprisifannya bukan sifat responsifnya.

Karena meskipun sarana penal juga penting dalam penanggulangan kejahatan, namun sarana penal mempunyai kekurangan dan keterbatasan. Kekurangan dan keterbatasan sarana penal di antaranya :

47

46

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. Cit., hlm. 43

47

Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana, Reformasi Hukum Pidana, Grasindo, Jakarta, 2008, hlm. 55

(22)

pelaku kejahatan. Juga dalam pelaksanaan hukum pidana formil (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP), untuk kepentingan efisiensi agar perkara cepat selesai, disebabkan banyaknya beban perkara yang harus diproses. Bahkan bisa jadi pemenuhan terhadap hak-hak tersangka sebagaimana disebutkan pada Pasal 50 sampai 68 KUHAP tidak terlaksana.48 c. Apabila kurang hati-hati dalam pelaksanaannya akan menjadi bumerang

seperti isu bahwa penjara merupakan tempat belajar para narapidana sehingga setelah keluar menjadi lebih canggih.49

d. Sarana penal baru bekerja setelah terjadi kejahatan, sehingga telah ada kerugian yang timbul. Hal ini masih terkait dengan sifat hukum pidana yang represif.

e. Keterbatasan sarana penal salah satunya yaitu sarana penal juga harus ditunjang dengan sarana non-penal.50

Sarana non-penal ditempuh dengan meniadakan faktor-faktor penyebab atau kondisi-kondisi yang menimbulkan terjadinya kejahatan.51 Mengenai keadaan-keadaan yang menjadi faktor-faktor atau kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan di Indonesia, perlu didukung dengan hasil-hasil penelitian.52

48Ibid.,

hlm. 55-56

49

Moh. Hatta,Kebijakan Politik Kriminal, Penegakan Hukum dalam Rangka Penaggulangan Kejahatan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 54

50

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. Cit., hlm. 46

51

Barda Nawari Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penganggulangan Kejahatan, Op. Cit, hlm. 82

52

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. Cit, hlm. 12

(23)

1. Masukan berbagai pertemuan ilmiah;

2. Masukan dari beberapa hasil penelitian dan pengakajian mengenai perkembangan delik-delik khusus dalam masyarakat dan perkembangan iptek;

3. Masukan dari pengkajian dan pengamatan bentuk-bentuk serta dimensi baru kejahatan dalam pertemuan/kongres internasional;

4. Masukan dari konvensi internasional;

5. Masukan dari pengkajian perbandingan berbagai KUHP asing.53

Hal tersebut penting, mengingat kebijakan kriminal merupakan “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”. Maka hasil-hasil penelitian akanmendukung upaya dalam menyusun rencana-rencana dan strategi yang rasional dalam menganggulangi kejahatan juga mencegah kejahatan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Karl O. Christiansen, “the characteristic of a rational crime policy is nothing more than the application of rational method”.54Dalam hal ini juga diperlukan penelitian terhadap perkembangan/kecenderungan kejahatan (crime trend).55

Selain mencegah terjadinya kejahatan dengan menghilangkan faktor-foktor atau kondisi-kondisi yang menyebabkan terjadinya kejahatan, sarana non-penal juga menggarap “mental health” yaitu upaya untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat dari faktor-faktor kriminogen.56

Sarana non-penal perlu untuk diintensifkan, karena sarana penal selain kekurangan dan keterbatasannya yang telah dijelaskan sebelumnya, sarana penal juga masih diragukan efektivitasnya untuk mencapai tujuan politik kriminal yaitu

53

Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung, 2011, hlm. 42

54

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.Cit, hlm.78.

55

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.Cit, hlm. 13

56Ibid

(24)

perlindungan dan kesejahteraan masyarakat. Beberapa pendapat dan hasil penelitian, menyatakan sebagai berikut :

1. Rubbin menyatakan, bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya, apakah dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan;

2. Schultz menyatakan bahwa naik turunnya kejahatan di suatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan di dalam hukumnya atau kecenderungan-kecenderungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat;

3. Donald R. Taft dan Ralph W. England pernah juga menyatakan bahwa efektivitas hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum hanya merupakan salah satu sarana kontrol sosial. Kebiasaan, keyakianan agama, dukungan, dan pencelaan kelompok, penekanan dari kelompok-kelompok interest dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang lebih efisien dalam mengatur tingkah laku manusia daripada sanksi hukum.57

Selain itu, penggunaan sarana non-penal secara efektif akan mengurangi beban banyaknya jumlah perkara yang masuk ke pengadilan.

Upaya pencegahan terhadap penerapan tidak tercantumnya barang-barang niaga dalam manifest barang impor dalam kaitannya dengan tindak pidana kepabeanan dilakukan dengan pengawasan lalu lintas barang terhadap keluar masuknya barang-barang yang dilarang atau dibatasi ekspor impornya (barang lartas).

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dalam pengawasan barang melakukan menejemen resiko (risk menagement) lewat sistem penjaluran. Sistem penjaluran adalah cara yang dilakukan dalam pengawasan barang, mengingat banyaknya barang yang ekspor dan impor yang keluar masuk di pelabuhan, dan untuk memeriksa seluruh barang ekspor impor yang ada di pelabuhan akan

57Ibid,

(25)

menghabiskan waktu yang lama dan juga menghambat kegiatan distribusi barang dan akhirya menganggu kegiatan ekonomi. Untuk itu sistem penjaluran diterapkan agar pemeriksaan barang di pelabuhan efektif.

Sistem penjaluran untuk impor terbagi tiga yaitu jalur merah, jalur kuning, dan jalur hijau, dan untuk ekspor hanya ada dua jalur yaitu jalur merah dan jalur hijau. Berikut ini uraian menganai jalur-jalur tersebut :

1. Impor

a. Jalur merah

Barang-barang yang masuk ke jalur merah biasanya yaitu: 1) Barang importir yang masih baru;

2) Barang dari importir yang menggunakan fasilitas Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM);

3) Barang yang termasuk kategori lartas; dan

4) Barang yang dicurugai karena adanya laporan intelejen. Jadi meskipun barang dari suatu perusahaan sudah berada di jalur hijau, jika ada laporan dari intelejen, barang yang berada di jalur hijau bisa diturunkan statusnya ke jalur merah.

(26)

pengawasan terhadap barang yang instansi tersebut larang atau batasi baik ekspor maupun impornya. Juga untuk melakukan ekspor mupun impor barang yang termasuk kategori lartas harus ada izin dari instansi terkait dan izin ini nanti akan dilakukan pengecekan oleh Bea Cukai. Contoh, ada importir yang mau mengimpor bahan baku pembuatan freon AC. Bea Cukai akan mengecek apakah importir tersebut sudah memiliki izin dari instansi terkait dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup, karena bahan baku pembuatan freon AC merupakan barang yang termasuk kategori lartas, utamanya R22 yang dilarang dan sama sekali tidak diperbolehkan masuk ke Indonesia.

Barang yang masuk ke jalur merah diperiksa dokumen dan fisik barangnya.

b. Jalur kuning

Barang-barang yang masuk ke jalur kuning biasanya adalah barang-barang importir yang sudah sering melakukan kegiatan impor tapi komoditas yang diimpor merupakan barang yang beresiko. Jadi importir yang sudah lama di jalur merah dan tidak pernah ditemukan melakukan pelanggaran akan dinaikkan status barangnya ke jalur kuning.

Barang-barang yang berada di jalur kuning hanya diperiksa dokumennya.

c. Jalur hijau

(27)

serta memiliki profil perusahaan yang baik. Baik tidaknya profil suatu perusahan dapat dilihat antara lain dari pembukuan perusahaan tersebut serta sistem pengendalian internal perusahaan yang berjalan baik.

Barang yang melalui jalur hijau bisa langsung diambil oleh importir, importir bisa menyelesaikan kewajibannya 30 hari setalah barang diambil apabila terjadi misalnya ada kekurangan pembayaran.

2. Ekspor

a. Jalur merah

Barang-barang yang masuk ke jalur merah biasanya yaitu: 1) Barang yang kena pungutan negara;

2) Barang yang diekspor dengan tujuan diimpor kembali;

3) Barang yang diimpor untuk diekspor kembali (barang impor sementara).

Barang yang masuk ke jalur merah hanya diperiksa dokumennya. b. Jalur hijau

Barang yang masuk ke jalur hijau adalah barang-barang yang tidak termasuk kategori barang-barang yang masuk ke jalur merah. Jadi selain barang-barang yang masuk ke jalur merah tersebut di atas, barang tersebut masuk ke jalur hijau.

C. Analisis Putusan PN Medan Nomor 2378/Pid.B/2011/PN.Mdn

(28)

Jaksa Penuntut Umum mengajukan Haris Nasution sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Medan melakukan perbuatan pidana yaitu melanggar Pasal 102 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 TentangKepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 sedang mengangkut Ballpress (pakaian bekas) sebanyak 133 ball dan 7 goni. Terdakwa selaku nakhoda ketika dilakukan pemeriksaan tidak dapat menunjukkan dokumen daftar muatan(manifest).

Jaksa Penuntut Umum menuntut agar Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan:

a. Menyatakan terdakwa Haris Nasution terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kepabeanan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 102 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.

b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Haris Nasution dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dikurangi selama berada dalam tahanan, dalam perintah agar terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp.50.000.000; (lima puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.

c. Menyatakan barang bukti berupa:

1) 1 (satu) unit kapal KM. Saputra-1 Gt.7 S.5 No. 589 berbendera Indonesia. 2) 1 (satu) unit kompas basah

(29)

Pakaian/garmen bekas (ballpres) sejumlah113 ball dan 7 goni Dirampas untuk dimusnahkan.

d. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.1000,- (seribu rupiah).

Hakim pertama yang mengadili perkara ini dalam putusannya atas perkara ini mempertimbangkan yang pada pokoknya sebagai berikut:

Menimbang, bahwa terdakwa diajukan dipersidangan oleh jaksa penuntut umum dengan surat dakwaan No. PDS – 6/ Fd.1/05/2011 tertanggal 27 September 2011 yaitu melanggar Pasal 102 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 dan mendengar pembelaan dari terdakwa, maka Majelis Hakim memilih dan mempertimbangkan, bahwa dipersidangan telah didengar/ dibacakan keterangan saksi yang bawah sumpah keterangan pada pokoknya sebagai berikut:

1. E. Sihombing 2. Marzuki A Jalil 3. Aris A Sitorus

Menimbang, bahwa atas fakta-fakta tersebut di atas Majelis Hakim akan mempertimbangkannya dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang pada pokoknya sebagai berikut:

(30)

1. Barang siapa.

2. Mengangkut barang impor.

Menimbang, bahwa atas tindak pidana tersebut diatas dan terdakwa mampu bertanggungjawab maka perbuatan terdakawa patut dijatuhi pidana dan yang setimpal untuk itu adalah pidana penjara.

Menimbang, bahwa masa tahanan yang telah dijalani terdakwa patut dikurangkan sepenuhnya dengan pidan penjara yang dijatuhkan.

Menimbang, bahwa barang bukti berupa Pakaian/garmen bekas (ballpres) sejumlah113 ball dan 7 goni pakaian bekas di musnakan.

Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana atas perbuatan terdakwa Majelis Hakim perlu mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan yang terdapat dalam diri terdakwa pada pokoknya sebagai berikut: Hal-hal yang meringankan:

a. Terdakwa belum pernah di hukum. b. Terdakwa bersikap sopan di persidangan c. Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga d. Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya.

e. Terdakwa mengakui perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi.

Hal-hal yang memberatkan: perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana kepabeanan.

(31)

perkara ini dan berdasarkan fakta-fakta hukum yang terdapat dipersidangan, jika dihubungkan dengan unsur-unsur Pasal 102 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, sebagaimana yang dimaksud dalam surat dakwaan penuntut umum, makam Majelis Hakim berkesimpulan bahwa fakta-fakta tersebut memenuhi unsur-unsur dakwaan, oleh sebab itu terdakwa haruslah di hukum yang setimpal dengan perbuatannya.

Akhirnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan memberikan putusan sebabai berikut:

a. Menyatakan terdakwa Haris Nasution terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam daftar barang niaga yang dimuat dalam sarana pengangkut.

b. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) dan denda sebesar Rp.50.000.000; (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka harus diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.

c. Memerintahkan agar barang bukti :

- 1 (satu) unit kapal KM. Saputra-1 Gt.7 S.5 No. 589 berbendera Indonesia. - 1 (satu) unit kompas basah

- 1 (satu) unit GPS tangan merek Osca AE 32 Dirampas untuk negara.

(32)

d. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.1000,- (seribu rupiah).

Berdasarkan kasus putusan pidana Nomor 2378/Pid.B/2011/PN.Mdn mengenai tindak pidana mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam daftar barang niaga yang dimuat dalam sarana pengangkut, maka kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa dalam kasus ini adalah kejahatan di bidang kepabeanan yaitu mengangkut Ballpress (pakaian bekas) sebanyak 133 ball dan 7 goni dari luar wilayah pabean Indonesia kedalam wilayah pabean Indonesia perairan Asahan tanpa dilengkapi dengan dokumen. Perbuatan terdakwa diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.

Unsur-unsur perbuatan dalam Pasal 102 huruf a Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 antara lain:

a. Setiap orang

b. Mengangkut barang impor.

c. Tidak tercantum dalam manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (2).

(33)

oleh karena itu terdakwa dihukum yang setimpal dengan perbuatannya.

Pelaku dijadikan terdakwa dalam kasus ini merupakan menusia sebagai subjek hukum pidana yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam fakta-fakta di persidangan terdakwa terbukti telah melakukan tindak pidana mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam daftar barang niaga yang dimuat dalam sarana pengangkut sehingga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut.

Terdakwa sebagai pelaku tindak pidana mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam daftar barang niaga yang dimuat dalam sarana pengangkut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan hukuman penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) dan denda sebesar Rp.50.000.000; (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka harus diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.

Sanksi yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim kepada terdakwa dalam kasus ini adalah pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) dan denda sebesar Rp.50.000.000; (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka harus diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Sanksi yang telah dijatuhkan oleh Majelis Hakim ini sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

(34)

tidak tercantum dalam daftar barang niaga yang dimuat dalam sarana pengangkut haruslah lebih berat lagi mengingat salah satu cara mengatasi tindak pidana mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam daftar barang niaga yang dimuat dalam sarana pengangkut adalah dengan memberikan hukuman pidana yang berat, sehingga dengan adanya hukuman yang berat ini para pelaku yang mempunyai niat melakukan tindak pidana mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam daftar barang niaga yang dimuat dalam sarana pengangkut akan berpikir untuk melakukannya, selain itu negara tidak akan mengalami kerugian. Dengan tindak pidana mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam daftar barang niaga yang dimuat dalam sarana pengangkut negara akan mengalami kerugian dalam pemasukan devisa.

Pasal 102 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 dinyatakan bahwa: Setiap orang yang:

a. Mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (2).

b. Membongkar barang impor di luar kawasan pabean atau tempat lain tanpa izin kepala kantor pabean.

c. Membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (3)

d. Membongkar atau menimbun barang impor yang masih dalam pengawasan pabean di tempat selain tempat tujuan yang ditentukan dan/atau diizinkan.

e. Menyembunyikan barang impor secara melawan hukum.

f. Mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dari kawasan pabean atau dari tempat penimbunan berikat atau dari tempat lain di bawah pengawasan pabean tanpa persetujuan pejabat bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini.

g. Mengangkut barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya.

(35)

dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang impor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 102A Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 dinyatakan bahwa: Setiap orang yang:

d. Mengekspor barang tanpa menyerahkan pemberitahuan pabean.

e. Dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang ekspor dalam pemberitahuan pabean secara salah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara di bidang ekspor.

f. Memuat barang ekspor di luar kawasan pabean tanpa izin kepala kantor pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (3).

g. Membongkar barang ekspor di dalam daerah pabean tanpa izin kepala kantor pabean; atau.

h. Mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan dokumen yang sah sesuai dengan pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9A ayat (1) dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang ekspor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 102B Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 dinyatakan bahwa Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan Pasal 102A yang mengakibatkan terganggunya sendi-sendi perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

(36)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengaturan tentang barang-barang impor yang tidak terdaftar dalam barang niaga diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Barang impor harus dibawa ke Kantor Pabean tujuan pertama melalui jalur yang ditetapkan dan kedatangan tersebut wajib diberitahukan oleh pengangkutnya. Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling sedikit Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) tetapi jumlah barang yang dibongkar kurang dari yang diberitahukan dalam Pemberitahuan Pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi diluar kemampuannya, disamping wajib membayar Bea Masuk atas barang yang kurang dibongkar, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

(37)

Faktor internal tidak tercantumnya barang-barang niaga dalam manifest barang impor dapat disebabkan adanya oknum-oknum penegak hukum yang melakukan kolusi serta sulitnya pengawasan di wilayah perairan Indonesia sedangkan faktor eksternal adalah letak geografis sertalemahnya kondisi perekonomian dalam negeri.

3. Kebijakan hukum pidana mengenai barang-barang impor dalam barang niaga secara illegal yang dilakukan oleh orang atau badan hukum akan dikenai sanksi yang yang bersifat pidana akumulatif, yakni sanksi pidana penjara dan sanksi denda. Sanksi tersebut dapat terlihat di Pasal Pasal 102A dan Pasal 102B Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan beberapa hal sebagai berikut :

1. Mengingat luasnya akibat sosial ekonomi dari tindak pidana mengangkut barang-barang impor yang tidak terdaftar dalam barang niaga, maka disarankan agar peranan injelejen Direktorat Jenderal Bea dan Cukai perlu diintensifkan, utamanya dalam hal analisis dokumen kepabeanan serta modus operandi tindak pidana kepabeanan sehingga dapat menghasilkan informasi yang dapat digunakan untuk mendeteksi tindak pidana penyelundupan;

(38)

dalam hal tersebut, terutama peran serta masyarakat dalam hal ini sangat diperlukan.

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian Teks ( Lettering) ... Pencetakan dan Penjilidan .... BAB IV ANALISIS KARYA ... Konsep Berkarya Novel Grafis Waktu... Mengembangkan Ide ... Judul Novel Grafis Waktu

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini

‘I have matter here that will vindicate John the moment it is seen by the right people, and make Ned Kelley a wanted man.’.. Jane

Saleku sale kurma adalah sebuah brand produk makanan ringan berbahan dasar kurma yang di produksi oleh ukasa food sejak tahun 2013 di semarang jawa tengah yang

Untuk tujuan 1 Digunakan untuk mengetahui besar pendapatan usaha ternak domba yaitu dengan perhitungan selisih antara penerimaan dan semua biaya maka.. dirumuskan

Konsep dari perancangan visual branding saleku sale kurma adalah menggunakan desain yang simple dan ilustrasi digital painting dari buah atau pohon kurma yang sesuai

[r]

Analisi Statistik Regresi Linear Berganda Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Peternak Sistem Semi Intensif.