]urnal IImu
Sosial&
Ilmu Politik
ISSN 't 410-4946 Volume 4, Nomor L,fuli
2000KEPEMIMPINAN NASIONAL DAN PERAN
MILITER
DALAM
PROSESDEMOKRATISASI
Riswandha Imawan*
Abstract
In response to a widespread pressure for
political
reform, themilitary
hasabandon
itspredominant role
in
Indonesian politicsin
the past. Yet the incompetence of civilianpolitician
to govem a deep and extensive conflict embedded
within
theprocess of democratization, paradoxically, has driven the need for
inviting
amilitary
"came backo. While positively supportingthe
military
attempt to
bepolitically impartial, this
articleitemizes four agendas: (1) for recruiting national leaders which are,
on
the onehand,
democratic,but on the other
hand, drcisive, (2) engaging in a trust-buildingprocess among various factions; (3) institutionalization ofpolitical
mechanism which is effective in handling conflict of interesta and (4) creating amore open
political recruitment. Under its
new paradigm,the
military
suits to facilitate those processes to take place.Kata-kata
kunci:
demokratisasi,peran
militer,
kepemim-pinan
nasional.Tidak banyak warga negara Indonesia yang menyadari bahwa gerakan
reformasi
1998 sebenarnya telah melepaskanpendulum
kehidupan sosial-politik
kita dari
satutitik
ekstrim ketitik
ekstrimyang lain. Peran negara bergerak dari posisi superior ke posisi inferior,
Jumal IImu Sosial & IImu Politik, Vol.
4
No. 1., Juli 2000yang ditandai dengan terjadinya demistifikasi simbol-simbol negara
iraai
tataran*uriutukat.
Format sistem kepartaian berubah darii
"g"*onik
ke atomized, yang ditandai dengan kelahiran 143 partaipotitit
sebelum akhirnya diputuskan hanya ada 48partaipolitik
yangberhak mengikuti Pemilu
1999.' Konsep penyelenggaraan
pemerintahan bergeser
dari
pemerintah
sebagli
inisator
dan dinamisator kehidupan sosial kearah sekedar meniadi fasilitator insiatifyang muncul dari masyarakat. Paradigma pembangunan i,tgu bergeser
dari
dependency-creating ke arah empowering.Urgensi Pemimpin Visioner dan Perubahan Peran
Militer
Perubahan yang terjadi sebenarnya tidak sebatas pada praktek ketata-negaraan
,-iugi
berdampak
padakehiduPan sosial
yang menyelut.tfr. Dalam situasi sepertiini,
kehadiran seorang pemimpin yang visioner, yang mampu*et
u*urkan kepada *u-t1r1-tukat sebuahg"*IUutan
atau haiapan lentang masa depanITg
lebih baik, yangJe."r"
realistik
bisakita
capai, sangat dibutuhkan. Kenyataannya, pemimpin berkualifikasiini
tidak i,rga muncul.^
'ftralan
dengan
itu,
gejolakpolitik di
tanahair
menunjukkl
peningkui"r,
suhuy*g
cr.,[,up mengkhawatirkan.Konflik
antar elitmeleb-ar pada dimensi
^unpnn
keterlibatan aktor. Secara paradoksial melebarnya konflik inidiikuti
dengan penurunan tataran dari institusimenjadi iataran
pribadi.
Masih kuatnya patronase dalampolitik
di
Indonesia,
mem-buatintensitas
konflik
meningkat.Saling tuduh
menjatuhkan pamor sang patron yang menciptakan bentrokan fisik
padi
tataran"lut
**pul
pohtik, membuahkan Perasaan tidak amandi
kulut gan masyarakit. Awalnya, masyarakat tampaktidak
perdulidengan
lertentangan
yang terjadi pada tataranelit. Namun
akhir-akhir
ini
adaindilasi
kuat
bahwa masyarakatmulai
jenuh denganinstabilitas sosial sebagai dampak pergolakan politik yang tak kunjung
padam ini. Keresahan pada tingkat masyarakat meningkat, ketahanan sosial-ekonomi mereka menurun drastis, sementara rasa saling Percaya
antar
warga masyarakat cenderung ambruk. Keadaaninilah
yangt
D"t" diambil d,ai Almanak Partai Politik Indonesia (API), 1999.Riswandha Imawan Kepemimpinan Nasionar dan penn Militer... memunculkan fenomena "kesediaan" masyarakat agar
TNI,
dalam batastertentu, memainkan peran untuk menyelairatkan
bangsaIndonesia. Dalam bahasa sehari-hari muncul aspirasi dari masyarakat
agar
JNI
berperan "tapi jangan sepertidulu ligt.,,
peranitu
sebatas membantu masyarakat menegakkanhukum
din
tertib
sosial, agarcivil
society dapat terbentuk secara sempurna.-
_MenBlp^.pandangan masyarakat terhadapTNI
tampaknyamulai
berubah dalamarti
melunak?Diluar
dugaan banyak orung,setelah hampir tiga tahun bergulir gerakan refoimasi menghasilkJi
dua paradoks. Gerakan yang dijiwaiiemangat egalitarian akhir-akhir ini justeru menunjukkan terjadinya jarak yang a5rltin lebar antara
elit
(baca: pemimpin) dengan pengikut
(rakyitny;).'
Kita bangga denganpenilaian pengamat asing atas penyelenggaraan
pemihilggg
ylg
dinilai
paling demokratis selama tigadetide
terakhir. Kalaup".,itiui
ini
benar, maka sewajarnya tidak ada perbedaan skalaprioriLs
kerjayang
ada dalam agenda masyarakat maupunagendi
pemerintair. Namun fenomena kemasyarakatanmenunjukkanldanyi
perbedaanitu. Masyarakat memandang masalah kiamanan dan keiertiban harus
diutarnakan agar mereka bisa beraktivitas secara norrn al, agarmampu menjalankan usahanya
untuk
mencukupi kebutuhanhiJup
sehari-hari.
Namun tampaknya paraelit
menglbaikut,nya.Selain
itu,
pada tataranelit sendiri muncul manuver
yangsecara langsung maupun
tidak
langsungingin
menarik kembali TNIke dalam
kancahpolitik
praktis.-Reniana
penggunaan kekuatanmiliter untuk
segera meredam pergolakandi
aaeian, dilibatkannyap-ulu
petinggi militer dalam "politik
sarapan pagr" yang dilakukanoleh Presiden sebetulnya sudah memberi
sinyal
agir
ffVf
,'kembalimasuk" ke arena
politik
praktis.
Namun TNI
lampak
enggan memanfaatkannya. Mengap a?pertama, keterlibatan
TNI
diLm
politik
praktis
selama
Jz
tahun
pemerintahan
orde
Baru,menghasilkan hujatan yang luar biasa dari masyarakat. Periode awal
dari
gerakan reformasi 1.998 merupakan periode suram yang akant
D.l"*
tulisan ini elit disetarakan dengan pemimpiry sebab mereka adalah sekelompok
kecil orang yang berada dipucuk stru[tur piramiial kekuasaan dalam satu masy"rik"t yang berpengaruh dalam hal menentukan alokasi sumberdaya ya11g ada, serta menentukan tujuan yang hendak dicapai oleh warga masyarakat
Jumal llmu Sosial & IImu Politik, Vol.
4
No. 1' Iuli 2000dicatat dalam sejarah
TNI
maupun sejarah nasional Indonesia. Belumpernah dalam sejarah
hidupnya TNf
dihujat9l:h
rakyatnya sendirisecara amat menyakitkan. Tentu saja TNI tidak ingin terperosok dua
kali
kedalam lubang yang sama. Kedua,TNI
sudah mencanangkanparadigma baru yan& mengikat
dirinya
sendiriuntuk tidak
terlibat dalampolitik
praktis.-Bila diiermati
memang paradigma baruTNI
ini
tidak
100%.
menjamin TNI
akan benar-bJtlr
menjauhipolitik
-praktis- Prinsip"posisi
tidak
selalu
di
depanu- malPu
\ "t!?rilr
power-"
mengisyaratkan bahwa bila dikehendaki raky,at bila diperlukanuntuk
*"";"ugu
keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bisasala
TfrI
melibatkandiri
kembali ke dalam kancahpolitik'
Disinilah letak paradox kedua itu. Para tokoh reformasi berhasil
mengeluarkan
TNI
diri
arenapolitik
praktis. Namun pertikaiandi
antal
mereka iusteru menciptukut situasi yang memungkinkanTNI
kembali ke
pu.gg'ng poliiit.
tutnncul semacam kehendaktidak
langsung dari pur"u""titlofitit
yang bertikai untuk menarik TNI masuktce
iotitif
tug.i.ri
sebuih ironi, sedab teriadi tatkala TNI menunjukkankesungguhinnya
untuk
mengimplementasikan paradi8ma barunya' -gita
demikiarr,
p"ruri
apayang
bisadimainkan oleh TNI
bersama paradigma barunya untuk bersama kekuatan
politik
lainnyamewujudun tJrriaupan politik
yang demokratisdi
Indonesia? Daridemikian
banyak
i."*rt',gkinan
yang
ud?:_tulisan
ini
hanya memfokuskandiri
paaa p"rsoulan bagairnana TNI membantu bangsaini
menemukan
pemimpin
yang l,arakternYl
diperlukan
oleh masyarakat, yangmemiliki
visi dan tuluan yang dapat difahami oleh masyarakatnya.Demokrasi dan Demokratisasi
Sebagai
konsep
politik,
demokrasi menunjuk pada
,tulttkehidupan
"politik
di-mina
tiap
warga negara menikmati
hak,'
U*.r, penting dari paradigma baru TNI adalah: posisi tidak selalu di depan; pendekatantidak t"t g"ntrg meng.ruati posisi dari menduduki meniadi -mgq"T-giryhi; dan sharing
power dEngin akto"r politik lain. Lihat ABRI Abad XXI: Redefinisi, Reposi-s1 dan 'Reaktualisali Peran ebru Dalam Kehidupan Bangsa, Jakarta: MABES ABRI, 1999
Riswandha Imawav Kepemimpinan Nasionar dan peran
Militer.--kewajiban dan kesempatan yang sama (equal opportunity),tiap warga
negara
memiliki
kemandirian
untuk
memuturkur,
sesuatu (autonomous decision or independency), tiap warga negara mampu mengambil keputusan yang paring rasionaiuntuf
kepEntingu11yu(rational
choice),adanya
sistempengambilan keptt,rsan
yangtransparan (transyargncy), dan tiap keputusan
diimbil
dengafimemPerhatikan kehen d ak oran g terbanya k (m afuri ty).Kead aan seperti
ini
hanya bisadicapai dan diperihaia
apabilar"u"tu,
sokogrr,,
demokrasi
politik
ditegakkan. Ke-sebelas soko guruitu
adalah:I
(Pengakuan terhadap) kedaulatan rakyat.2.
Pemerintahan(dibentuk)
berdasarkan persetujuandari
yang diperintah.3.
(Dikenalnyaprinsip)
kekuasaan mayoritas.4.
(Diakuinya) hak-hak minoritas.5.
(Adanya) jaminan (terhadup) hak-hak azasi manusia.9
(Adanya) pemilihan (umum) yang bebas dan jujur.7.
(Diakui dan
dilaksanakannyaprinsip)
p".ru*uan
di
depan hukum.8.
(Jaminan terhadap) proses hukum yang wajar.9.
Pembatasan pemerintah secara konstitusional.19
(Diakuinya) pluralisme sosial, ekonomi, dan politik.11.
(Adanya)
nilai-nilai
toleransi,
pragmatisme, kerjasama dan mufakat."-
Adapun demokratisasi adalah proses perubahan dari struktur dan tatanan Pemerintahan yang otoriter ke arah struktur dan tatananIang
demokratis dimana setiap keputusan dibahas (didiskusikan) bersamadan
pelaksanaan keputrrsanitu
didelegaiikan
kepada!-".b:t"-pa oran8- atau institusi
potitit.
Demokratisasi m"erupakan prosesdilakukannya diversifikasi kekuasaan untuk meniadakankesenjangan hak-hak
politik
warga negara serta memperluas hak warga negarauntuk
bersuara dan berpendapat. Penekanan terhadap "diversifikasi kekuasaan"inilah
yang sering
dipertentangkan denganstruktur
Dikutip dari What k-Democracy?,lJnited States Information Agency, Oktober 1991.
Kata-kata dalam tanda
-kurung merupakan tambahan dari penulis untuk menegaskan makna yang berusaha disampaikan.
-lumal IImu fusial & IImu Politik Vol.
4
No. 1, Juli 2000komando yang sentralistis dalam dunia
militer,
sehingga hadirnyamiliter
dalamdunia
politik
dipandang sebagaiunsur
Pengganggu hadirnya kehidupan yang demokratis. Padahal diversifikasi kekuasaanmerupakan
produk yang tak terhindari dari
bekerianya hubunganlinier
da.
ru1g,gberpen[aruh dari
development,Iiberalization
andpluralization.'
Apakah benar kehadiran
militer
dalam pro-se-s d_emokratisasi secara mutlak menutup kemungkinan munculnya kehiduP-alpolitik
yang demokratis? Pertanyaan
ini
penting, sebab menurut O'Donnell, Schmitter danWhiteheadt
adalima
kemungkinan yang dihasilkanoleh demokratisasi, yakni: (1) Restorasi sistem
politik
otoriter kedalambentuk baru, (2) Revoluasi sosial sebagai akibat menajamnya
konflik
kepentingan dalam masyarakat, (3) Liberalisasi sistem otoriter oleh penguasa pascatotalita;ian untuk
mendapltkl
dukunganpolitik
d"., *"ngurangi
tekanandari
masyarakat, (4) Penyempitan prosesdemokraJi dari-sistem
liberal
ke demokrasilimitatif,
(5) Sistem dan pemerintahan yang demokratis.-
Demokratiiasi
tidak
mutlak
akan menghasilkan
sistem pemerintahan yang demokratis. Penyebabnya-bisa karena kembal iny a
iominasi
militerdilam
kehidupan sosial-politik. Ataubisa juga denganterlampauinya batas kesabaran masyarakat akan situasi
konflik
yangberkembang terutama
di
kalanganelit,
yang menyebabkan merekatidak
lagi fercaya dengan noima dan institusi
politik
yan1?du,
sedemokratis
apapun norma dan institusi
itu.
Dengan katalain,
tingkat probabilitai
demokratisasi menghasilkan kehidupanpolitik
yaig
demokratis sangat tergantung padauPlya
penegakan hukum' Dengan*"t
gg,-tnakln kasus Spanyol sepeninggal JenderalFranco,
Agiero
*"t
"*nkan
bahwa kehadiranmiliter tidak
selaluberdampal bnruk terhadap
uPaya membangunkehidupan
yangdemokratis. Dalam
situasi
anomalie yang meniadi
ciri
utama masyarakat yang sedang mengalami proses transformasidari
rejimotoritarian
ke re;imyang
dernokratis, kehadiranmiliter
dibutuhkanFelipe Aguero, Soldierc, Civilians,and DemwaqT@attimore, Maryland: The John Hopkins
University Press, 1995) PP. 8,
M-Guillermo O'Donnell, nflitipp" C. Schmitter, dan Laurence Whitehed, Transitions from
Authorthrian Rule (Baltimoie, Maryland: The John Hopkins University Press, 1986) pp.
Riswandha Imawan, Kepemimpinan Nasional dan peran
Militer..-sebatas membantu.
ryarga negara menegakkan
kembali
peraturan sosial (social graer/!1n
kepatuhan sosia"r (sociar"niii"rce/.
Tentutiaaf
ada jaminan 100% bahwa setelah order and obediince berhasil direkonstruksi militer akan dengan sukarela keluarJ"tip.ritik.
Untuk menghindari hal
ini,
selain adany apolitical
will daripiinggi
militer,Peran
militer
harus secararinci
din
definitif
dirumuskan kedalam satu Undang-undang.tUntuk kasus Indonesia, jaminan
itu
bisa diberikan sepanjangkita
memandang paradigma baruTNI
hanya sebagai bagian dar'i paradigma besar nasional. Tidak seperti di erapemerin-tahan Soeharto, dimana paradigma TNI superior teihadap
p"tiaig*a
kelompok sosiaidan
politik
lainflya,
di
era reformasiinf
harus-muncul kesadaranmasyarakat
bahwa
paradigma
TNI
berposisi sejajar
dengan paradigma-paradiSma yang lain. Misalnya, dimensitidikmenduduki
tapi
sebatas mempengaruhi,- tampaknya^sejalan den_ganprinsip
sjeering rathel thanrowingdalam
konsep Reinventingdon"^^ent.-Dimensi posisi
tidak
selalu
di
depar-,,t"-pat
sllalan
denganparadigma
pembangunanyang lebih
mer,ekankanempo*"ling
dengan mengedepankan mekaniime bottom-up d,aripada
top-dowi.
Artinya, dengan mengkaitkan paradigma TNI d"t,gur, paradigma lain
Iu.g
ada dalam masyarakat, maka adatali
p"r,gitit
yang sangat1"1,
yang mamPu menahan TNI untuk tidak berpJran"r"puiti dtilu"
lagi.
Persoalannya sekarang
adalah mencari pemimpin
yang visioner,-yangmampu
meramu keseruruhan parudig.r,uyu"g
adl
(termasuk paradigma baru TNI) menjadi sebuah purudigma nasional. Sebenarnya Para
elit
yang menjadi lokomotifreftrmuriai
Indonesiamampu melakukannya. sayang mereka terjebak kedalam perjuangan
politik
praktis,hingga
membuangdemikian
banyakenlrgi
ur,t,rtpemecahan masalah bangsa berjangka pendek daripada
masjah
yang berjangka panjang.t
;t'"" Linz dan Alfred Stepan, Problems of Democratic Transition and Consolidation:
2?rr!u:" lurope, south America, and post-Communist Europe (Baltimore, Maryrand:
,
Ih" John Hopkins University press, 1996) p. 65.David Osbome dan Ted Gaebler, Reinventing Govemment: How the Spirit is
funzal IImu fusial & IImu Politth vol' 4 No' 7' Iuli 20ffi
Fakta
Politiklndonesia
di EraRefomasi
Kita
sepakat bahwa reformasi 1998 telah melahirkan eforiapolitik
yang sangat dahsyat- Eforia tersebut nyaris membu-at reformasilehilangan
*.f.u,
sebib
perubahan yang sifatnyaevolutif
diubahmeniadirevolutif. Akibatnya
terjadi disorientasi sosial yang.Y,ktp
ptt.n-
Norma-nonna dan
pranata sosial yang lama ditinggalkan, sementara yangbaru
belum maPiln, belum sepenuhnya terbentuk' Menghadapit
tiattpastian,
masyarakatkembali
kepada norma-,,ot riukebhpok
yati
mereka fahami. Susahnya gejalaini distimulir
oleh Presiden-Abdurrahman Wahid yang dalam berbagai kesempatanmenyatakan "Biar masyarakat menyelesaikan masalah dengan cara
*"r"ku
sendiri-" Proiuknya
dapatdilihat
dari
kasus kerusuhanet'hnis, terutama yang teriadi
di
Sambas (Kalimantan Barat) mauPun Maluku. Masyarakat -Dayak menyelesaikan konfl iknya dengan wargapendatang (khususnya ethnis Madura)
dengln
cara mengayauilepal+
foi"""
rt"*"t
g itulah cara yang mereka kenal. Produk yangtu*u
kita saksikan tatkala isu santet merebak di wilayah Jawa Tirnur.Bila
diingat
bahwa "bangsa Indonesia" merupakan bentukanbaru dari
"bangsa-bangsa lama" yang terbentuk karena kesamaanethnis
(ethnenZtionaliim),
maka disamping menumbuhkan kembalisemlngat
ethnosentris,eforia politik
i,tgumenyulitkan kita untuk
mulai irenyadari
adanya kesamaan disamPing perbedaan yang adadiantara
kita.
Ini
terlihat dari
klaim
beberapa daerah terhadapkepemilikan mauPun
ciri
khas daerahdalam kaitannya
de1q11otonomi
daerahbirdasarkan UU
nomer 22/1999. Perbedaan lebihditonjolkan daripada
semangat kebersamaanr
f
angterlihat
dari
lahirnya beberapi Propinsi dan Kabupaten selama era reformasi. Bilaklairn
yang
dilakukin
hanya
sebatasmendekatkan
pelayananp"*.rit
tai
kepada
masyarakat,dampak positifnya masih
bisaiitonlolkan.
N"*,r^
kliim
yang
dilakukan
tampaknya
lebih
mengedepankan penoniolan ethnisitas dan kepemilikan sumber daya alam yang ada
di
daeiah itu.
Kehendakkita untuk
mengokohkanpersatuan Indonesia atas dasar keragaman yang ada, justeru terancam
Riswandha Imawan, Kepmimpinan Nasional dan Penn Militer...
Reformasi 1998
jug"
menghendaki menguatnyaciuil
society.Sayangnya, sejauh
ini
banyak
elemenmaupun kelompok
dalam masyarakat yang memaknakancivil
society sebagai menghilangkan peran negara dalam kehidupan masyarakat.Civil
society bertujuan mensejajarkan posisi tawar-menawar antara warga negara dengannegara, sehingga hubungan yang tercipta bersifat konsultatif, bukan
konfrontatif. Civil
society berusaha mewujudkan prinsip kehidupan homo homini salus. Namun eforiapolitik
yang menggugah semangatethnocentrism, disorientasi
nilai,
danpemimpin
yang lemah, telah memicu anarkismedi
kalangan masyarakat, membuat homohomini
salus berubah menjadi homo
homini
lupus.Gejala homo homini lupus
ini
dengan mudah mewabah sebabmiliterisme merupakan bagian dari
kultui
politik
bangsa Indonesia.eHal
ini
bisadilihat
dari seiarahpolitik
Indonesia sejak masa kerajaan sampai masa modern. Di masa kerajaan masih berdiri kekuasaan Rajasarat dengan nuansa
renumeratif
danpunitif
untuk
mendapatkandan
memelihara kekuasaannya.Untuk
keperluanitu,
Raja harusmerangkul kaum
pedagangdan "militer."
Dengan menggunakanmodel penjelasan politik yang manapun tentang politik Indonesia masa
kini, sulit untuk menyangkal bahwa praktek politik semacam ini masih
terus berlanjut. Bukankah kaum kelas
menengahdari
kalanganpedagang lebih mudah mendekat ke pusat kekuasaan daripada kaum
kelas menengah
dari
kalangan
pendidikan?
Bukankah fakta
menunjukkan bahwa "sayap militer" dipandang perlu untuk menjaminkelangsungan hidup sebuah partai politik? Secara empirik hal
ini
bisadilihat dari
penggunaanatribut
dan cara-caramiliter yang
hinggadimasa reformasi ini masih digunakan oleh "satuan pengaman" partai-partai
politik.
Andai
saja personifikasiinstitusi
sebagai akibatdari
kuatnya pandangan tentang kekuasaan yang bersifat centripefal (memusat)bisa diakhiri, mungkin gejala menguatnya homo homini lupus dalam
politik
Indonesiabisa
dicegah. Masalahnya paraelit
tampaknyat
Militerisme disini menuniuk kepada ciri, bukan orang ataupun institusi. Ada dua ciri
utama dari sifat militeristik. Pertama, kecenderungan bertindak represif lebih besar dibandingkan persuasif. Kedua, lebih mengutamakan hubungan yang bersifat hirarkial
Jumal IImu Sosial & Ilmu Politik, Vol. 4, No. 1, Juli 2000
benar-benar
menikmati
manfaatpersonifikasi institusi
ini.
Sebabkonsep
ini
akanmudah
menggalang dukungan massamelalui
caramobilisasi dan disinformasi, dimana kepentingan elit dengan mudah ditransfer sebagai kepentingan kelompok atau institusi. Keinginan kita untuk membangun masyarakat Indonesia baru yang demokratis, yang
salah satu nilainya adalah rational choice, tampaknya masih sebatas
imajinasi selama personifikasi institusi
ini
tidak segera diakhiri. KebutuhanKita
Menghadapi situasi yang digambarkan
di
atas, saatini
kitatidak
sekedarmembutuhkan pemimpin yang mampu
membawabangsa Indonesia segera keluar dari krisis multidimensi, lebih dari
itu
diperlukan
perubahan
atau
penyesuaian gaya
memimpin
(kepemimpinan)ya.g
sesuai dengan kebutuhan dan perkembanganmasyarakat. Bila mengacu
kepada pengalaman sejarahdi
awalkemerdekaan yang melahirkan negarawan besar seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir dan sebagainya, beberapa
faktor
berikut memberikankontribusi
yang sangatsignifikan
bagi kematanganpribadi
maupun pengembanganvisi
kebangsaan mereka: Pertama, mereka "berkesempatan" untuk melihat Nusantara, berinteraksi secaralangsung dengan
rakyat
sekalipun dalam status
resmi
"orang
buangan."
Kedua, mereka
bersedia bekerjasama,saling
mengisiberdasarkan kekuatan dan kekurangan yang
dimiliki.
Ketiga, merekaberhadapan dengan
musuh
bersama yangriil,
yang memudahkanmereka
untuk
menyatukan
visi
dan
misi
bersama walaupun
keasadaran akan perbedaan pandangan tetap ada dan dihormati.
Ironisnya ketika
Indonesiatelah
merdeka,telah
beradadi
seberang jembatan emas, warga negaranya justeru sulit
untuk
saling mengunjungi. Pola kerja yang menyebabkan seseorang bekerja hingga pensiundi
satutempat, menyulitkan
para calonpemimpin untuk
melihat realita sosial
politik
di luar lingkungannya. Berubahnya musuhdari
seuatu yang kongkret, misalnya penjajah Belanda, serta masihtingginya
orientasi bekerja
di
sektor pemerintahan, membuat
hubungan sosial yang bersifat komparatif berubah menjadi kompetisi.Bahkan, khusus
dalam hubungan antara
sipil-militer,
suasanaRiswandha Imawan, Kepemimpinan Nasional dan peran Militer... kooperatif yang digambarkan terjalin dimasa revolusi fisik,
kini
telah berubahmenjadi
kooptasi atau konfrontasi. Dengankarakteristik
sepertiini,
maka bisa difahami bila rasa saling percaya antar warga masyarakat akan mudah runtuh.Berdasarkan sketsa
di
atas maka kedepan, dalamarti
upaya penyelamatan gerakan reformasi agartidak
kembali menghasilkan teiim otoriter seperti yang dikhawatirkan oleh O'Donnell, Schmitterdan Whitehead, setidaknya empat hal berikut menjadi agenda utama
politik
kita.Pertama, proses
politik
yang berlangsung harus mampu
menghadirkan pemimpin yang demokratis namuntidak
kehilangankemampuannya untuk bertindak decisive. Kemampuan ini diperlukan agar dialog yang
umum
terjadi dalam sebuah proses pengambilan keputusanyang
dernokratistidak
kehilanganfokus atau
bahkan momentumuntuk
bertindak.Ini
tidak
berarti bahwakita
mencari orang yangtidak
mau mendengar pendapat oranglain.
Ini
hanyamengingatkan bahwa
kita
membutuhkan
orang yang
secarakuantitatif
mendapatdukungan
luasdari
masyarakat,dan
secarakualitatif memiliki
kemampuanyang
memadaiuntuk
mengelolakonflik
kepentingan yang ada dalam masyarakat sehingga energi negatifdari konflik
itu
dapat berubah menjadi energipositif
bagi kebutuhan rnendinamisir kehidupan bernegara.Ked
ua,
merangkai rasa
saling
percaya
antar
warga
masyarakat
yang saat
ini
berada
pada
titik
nadir
yang
mengkhawatirkan.
Tidak
ada manfaatnya menciptakan
aromaketerbukaan, bila hubungan sosial pada tataran masyarakat diselimuti oleh
ingroup-feeling yang
kokoh, yang memunculkan rasa saling curigadi
antara mereka. Bila dikaitkan dengan konstelasipolitik
saatini,
maka persoalan terbesar bangsa Indonesia adalahbukan
pada menurunkan atau menaikkan seseorang menjadi Presiden. Lebihrumit
lagi persoalan merangkai kembali rasa saling percaya diantara warga masyarakat sebagai landasan dibangunnya masyarakatpolitik
yang demokratis. Membangun kembali semangat nasionalisme, semangat berani berkorban demi bangsa dan negara Indonesia, tampaknya lebihsulit dilakukan dibandingkan
dengan saat BungKarno dan
Bung Hatta melakukkannya lebih dari separuh abad lalu.Jumal IImu Sosial & IImu Politik Vol. 4 No. 1, /uli 2000
Ketiga,segera membangun mekanisme dan institusionalisasi
politik
yang secaraefektif
dapat digunakanuntuk
menyelesaikankonflik
kepentinganyang
muncul. Keributanpolitik
yang munculpada tataran parlemen
(DPRdan MPR) mauPun pada tataran
masyarakat (demonstrasi) memberi pesan bahwa kita belum berhasilmembangun mekanisme Penyelesaian
konflik
yang
bersifat
institusional. Bila
dilihat
dari
sudutIlmu Politik,
khususnyayarg
berhubungan dengan kehidupan kepartaian, maka dapat dikatakanPemilu
1999tidak
seutuhnya dapat dikatakan sukses. Pemilu 1999 bisa secara utuh dikatakan sukses bila segala konflik kepentingan pada tataran masyarakat tidak mencuat keluar secara spontan dan sporadis,sebab
konflik
itu
sudah dibawa
wakil-wakil
mereka
untuk
diperjuangkan pada tataran sistem politik. Intensitas unjuk rasa yanq demikianlinggi
mengisyaratkan bahwa partaipolitik
atau Parawakil
rakyat
belum sePenuhnya dapat menyerap dan menyalurkan
kepentingan rakyatnya.
Kbempaf, membangun pola rekrutmen yang memungkinkan setiap
wargJ
negaramuncul
darimana saia, misalnyadari
daerah,tanpa harus melakukan
gebrakanyang spektakuler
di
Jakarta. Cornelis Lay mensinyalir bahwa rekrutmen elitpolitik di
masa Orde Baru kentaldiwarnai
dengan nuansa "KastaBiru."
Maksudnya polarekrutmen dimana legitimasi dan
kelayakanpolitik dinilai
dafl
hubungan darah ataupun kedekatanfisik
dengan pengurus partai.toMengamati
mekanisme penentuanwakil rakyat yang
digunakan dalamPemilu
1999lalu,
sulit dipungkiri
bahwa rekrutrnen "KastaBiru"
ini
masih berlanjut. Pola ini jelas tidak sesuai dengan nilai dasarkehidupan
politik
yang
demokratis, sebabpola
ini
mengabaikanprinsip
transparansi dan egalitarianisme yang memungkinkan setiapwarga negara Indonesia berkesempatan
untuk
menjadi pemimpin.Peran
TNI.
Berhadapan dengan situasi sosial, politik dan keamanan seperti
digambarkan
di
atas, aPa yang harusdilakukan
olehTNI
dalamtt'--
tomelis Lay, 'Rekrutmen Elit Politik,' PRISMA, |akarta: LP3ES, nomer 4, tahun 1997, halaman 24.
Riswandha Imawan, Kepemimpinan Nasional dan Peran Militen..
kerangka paradigma barunya? Apalagi
TNI tidak
sekedar bertekadmelakukan
perubahan padatataran
paradigma,juga
perubahandalam
hal doktrin, struktur,
pendidikan, hukum, moral
dankepemimpinan.
Untuk
itu,
secaratampilan
(operasional)
ciri
paradigma TNI adalah: secara bertahap meninggalkan medan
sosial-politik
praktis, dan memusatkan perhatian pada tugas pertahanan negara, utamanya ancamandari luar."
Dalam bingkai seperti ini, maka TNI dituntut untuk membuka
diri
agar dapat secara leluasa melakukantukar-menukar fikiran,
exchange ideas dengan kelompok masyarakat potensial (maksudnya
berpotensi menjadi elit atau pemimpin bangsa di kelak kemudian hari)
seperti para civitas academica. Idealnya exchange ideas
ini
dilakukansejak para calon perwira masih dalam pendidikan (AMN,
AAU
atauAAL). Namun kendala yang segera menyergap ide ini adalah di pihak taruna mereka masih berada dalam fase "siap komandan," artinya masih pada
taraf
mematuhiperintah;
sedangkandi
pihak civitas
academica akan
dituding
mempraktekkan militerisasi kampus. Ide TNI membukadiri ini
dapat dilaksanakan apabila tumbuh kesadaran padadiri
warga masyarakat bahwa menjadi tentara hanyalah sebuahpilihan pekerjaan, dan warga TNI tidak merasa menjadi warga negara kelas satu seperti yang selama
ini
dirasakan oleh masyarakat.Pembukaan
diri
TNI
ini
berhubungan dengan kebutuhan rnasyarakat akan adanya kekuatan sosial ataupolitik
yang
dapatberperan efektif sebagai mediator
konflik
kepentingan yang potensial muncul dalam masyarakat.TNI
memang harus keluardari
politik
praktis, sebab
didalam politik praktis dikenal
adanya pemihakan.Sementara secara paradoksial
TNI
bertekaduntuk
bersikap netral.Sangat tidak mungkin TNI bersikap netral dalam dunia politik praktis. Disinilah peran paradigma baru TNI berbicara, Dengan pengaruhnya,
TNI
diharapkan dapat mengendalikan parapolitisi
yang membawa kepentingan saling berbeda, setidakryu menyadarkan merekauntuk
lebih melihat
persamaan yang ada daripada perbedaandi
antaramereka.
Terakhir, sejalan dengan kebutuhan lahirnya
pemimpit
yang benar-benardatang
dari
akar
rumput
politik,
denganjaringan
tt
Jumal IImu Sosial & Ilmu Politik, Vol. 4, No. I, luli 2000
organisasinya yang sudah jadi dan solid, TNI dapat membantu bangsa
brilian
muncul sebagai pemimpin. Tentutidak kita
kehendakiTNI
mendiktekan kehendak dan kepentingannya kedalam arena itu. Arenaitu
dalah "ruangpublik"
yang bisa dimanfaatkan oleh warga negara. TugasTNI
adalah menjaga ruang publik itu, sebabciri
independensidan otonom dari kelompok-kelompok
civil
societyberpotensi membuat arenaitu
rubuh dan mubazir.Sejauh
ini
arenaitu
hanya adadi
jakarta. Sepintar aPaPun,sebijaksana apapun,
memiliki
visi
dan
misi
yang
sebenarnyadibutuhkan
oletr-bangsa
Indonesia,namun
bila
seseorangtidak
mampu datang ke
jakarta,
tidak mamPutampil
di
media massa,di
.oror,g radio rrra.tpntl
di
depan kamera televisi, hampir mustahil diaakan muncul sebagai pemimpin bangsa ini. Pemindahan arena harus segera
dilakukan, yang
sebenarnya menjadi kewajibandari
partaipolitit.
Namunmeiif,ai
kondisi kepartaiandi
Indonesia yang masihmemprihatinkan,
tidak
ada salahnya denganbingkai
paradigma barunya disertai kesadaran bahwa paradigmaitu
hanya elemen dari sebuair super-paradigma bagi bangsa Indonesia,TNI
memelopori kampanye memunculkan pemimpindari
daerah ini.***Riswandha Imawan, Kepemimpinan Nasionar dan peran Militer... Daftar Pustaka
ABRI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran
ABRI
Dalam Kehidupan Bangsa, fakarta: MABES ABRI, 1999.
Almanak Partai
Politik
Indonesia (API), 1999.Aguero, Felipe (1995) Soldiers, Civilians,and Democracy. Baltimore, Maryland: The John Hopkins University Press.
Lay, Cornelis (1994.'Rekrutmen Elit
Politik.'
Prisma Nomor 4.Linz, Juan dan Stepan,
Alfred
(1996). Problemsof
DemocraticTran-sition
and
Consolidation: SouthernEurope
South America, and Post-Communist Europe Baltimore, Maryland: The John Hopkins University Press.o'Donnell, Guillermo, Philippe C. Schmitter, dan Laurence Whitehed,
(1986) Transitions from Authoritarian Rule, Baltimore, Mary-land: The John Hopkins University Press.
David Osborne dan Ted Gaebler (1993) ReinventingGovernment:
How
the Spirit is Transforming the Public Sector, New York: Plume.