• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Jenis Semut (Hymenoptera: Formicidae) di Hutan Adat Guguk Kabupaten Mrangin Provinsi Jambi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Keanekaragaman Jenis Semut (Hymenoptera: Formicidae) di Hutan Adat Guguk Kabupaten Mrangin Provinsi Jambi"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BIOCOLONY VOL. 2 NO. 1, JUNI 2019. HAL: 32-42 32

Keanekaragaman Jenis Semut (Hymenoptera: Formicidae) di Hutan Adat

Guguk Kabupaten Mrangin Provinsi Jambi

Diversity of Ant Species (Hymenoptera: Formicidae) in Hutan Adat Guguk

Merangin District Jambi Province

Fajar Ahmad1), Apriza Hongko Putra2), Rivo Yulse Viza1) 1 Program Studi Pendidikan Biologi STKIP YPM Bangko

2 Program Studi Biologi Universitas Bengkulu

Email: fajarahmadbio2018@gmail.com Abstract

This study aims to determine the diversity of ants in Hutan Adat Guguk. Research type applied is descriptive quantitative research. This study was conducted on April 2018, in two stages. The first stages is sampling which is done in the Hutan Adat Guguk by making four plots. The second stage is identification of ants carried out by purposive sampling technique, which is by considering the type of vegetation and altitude. The method used is bait trap, pitfall trap, and hand collecting. Collected samples were analyzed with Shannon-Wiener diversity index (H`), index of richeness (DMg), and evennes index (E). The result showed the ants with 2633 individuals were clasified in to 22 species, consisting of 7 genera and 3 subfamilies. The result of data analysis showed the value of the Shannon-Wiener diversity index (H`) is 2,21 (medium criteria), index of richeness (DMg) is 17,05 (high criteria), and evennes index (E) is 0,41 (stable criteria).

Key words: Species diversity, Formicidae ants, Hutan Adat Guguk

PENDAHULUAN

Semut adalah serangga yang

termasuk ke dalam ordo Hymenoptera dan famili Formicidae. Ciri morfologi semut sama dengan serangga lain. Perbedaannya hanya pada ruas abdomen yang bersatu dan menyempit (bagian ruas ke-3 dan ke-4) di belakang thorax. Selain itu, antena semut membentuk siku (genikulatus) dan memiliki ruas pangkal yang panjang dilanjutkan dengan ruas-ruas pendek di depannya (Bolton, 1994).

Morfologi semut cukup jelas dibandingkan dengan serangga lain. Sama halnya seperti serangga pada umumnya,

semut memiliki antena, kelenjar

metapleural, dan bagian perut kedua yang berhubungan ke tangkai semut membentuk pinggang sempit (pedikel) di antara mesosoma (bagian rongga dada dan daerah

perut) dan metasoma (abdomen yang kurang abdominal segment dalam petiole) (Bolton, 1994).

Bentuk tubuh semut yaitu tidak mempunyai tulang di dalam badannya, namun badan semut dibalut oleh lapisan kulit yang keras, seperti serangga lainnya. Tubuh semut terdiri atas tiga bagian, yaitu: kepala, dada (thorax), dan perut (abdomen). Ciri-ciri semut bagian kepala, dada (thorax), perut (abdomen) dan organ lainnya (mata, kaki, dan sayap).

Semut dapat menjaga aerasi dan

pencampuran tanah, sehingga

meningkatkan infiltrasi air yang menyebabkan tanah tetap subur (Arifin, 2014). Selain itu, semut sering digunakan sebagai bio-indikator lingkungan.

Hutan menjadi tempat yang sangat cocok bagi semut untuk berkembang biak,

(2)

BIOCOLONY VOL. 2 NO. 1, JUNI 2019. HAL: 32-42 33

terutama hutan tropis (Arifin, 2014). Salah satu hutan tropis yang ada di provinsi Jambi yang cocok untuk perkembangbiakan semut adalah hutan adat Guguk. Hutan Adat Guguk merupakan hutan yang terletak di Desa Guguk, Kecamatan Renah Pembarap, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Luas Hutan Adat Guguk sekitar 690 hektar. Dari survei yang dilakukan oleh Komunitas Konservasi Indonesia Warung informasi konservasi (KKI Warsi), Hutan Adat Guguk memiliki kekayaan sebanyak 89 jenis burung, 37 jenis diantaranya dilindungi, seperti rangkong gading (Buceros vigil) dan kuau raja (Argusianus argus). 22 jenis mamalia yang dilindungi seperti tapir (Tapirus indicus) dan beruang (Helarctos malayanus). Dari survei tersebut juga diketahui terdapat 84 jenis kayu, beberapa diantaranya seperti meranti, balam, dan marsawa.

Berdasarkan hasil survei lapangan yang telah dilakukan di Hutan Adat Guguk pada hari Sabtu tanggal 14 Oktober 2017, ada beberapa jenis semut yang ditemui di hutan tersebut. Salah satunya adalah semut dari genus Camponotus. Menurut Ansori (pemandu hutan adat Guguk), ada berbagai jenis flora dan fauna yang belum diidentifikasi jenisnya selain dari jenis burung, mamalia dan beberapa jenis kayu lainnya yang hidup di daerah tersebut. Keanekaragaman jenis semut juga belum dieksplorasi.

Mengingat pentingnya peranan semut di alam, maka penelitian mengenai studi

keanekaragaman jenis semut

(Hymenoptera: Formicidae) di Hutan Adat Guguk Kabupaten Merangin Provinsi Jambi ini perlu dilakukan. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui

keanekaragaman semut dari ordo

Hymenoptera dan famili Formicidae yang ada di Hutan Adat Guguk Kabupaten Merangin Provinsi Jambi.

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2018. Pengambilan sampel dilakukan

di Hutan Adat Guguk Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin Provinsi Jambi, sedangkan identifikasi spesimen dilakukan di Laboratorium Biologi STKIP YPM Bangko.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mikroskop stereo, mikroskop binokuler, kamera handphone, jam tangan, hand tally counter, alat tulis, tabung eppendrof, termohigrometer, aplikasi altimeter, gunting, meteran, pH meter, piring plastik, kalkulator, dan pinset. Sedangkan bahan yang digunakan adalah sarden, gula, tali rafia, alkohol 70%, kertas label, deterjen, kawat, kapas, benang, dan gelas plastik.

Metode Pengumpulan Data 1. Penentuan dan desain plot

Plot pengamatan dibuat di Hutan Adat Guguk yang ditentukan secara purposive sampling. Dalam hal ini, untuk memudahkan peneliti dalam membuat plot,

lokasi ditentukan dengan cara

mempertimbangkan jenis vegetasi dan

ketinggian tempat. Namun, tetap

mempertimbangkan lokasi yang datar. Pengambilan sampel semut dilakukan dengan cara membuat 4 plot dengan luasan masing-masing plot berukuran 40 m x 40 m. Di setiap plot ditentukan 4 subplot (nesting design) dengan ukuran setiap subplotnya 20 m x 20 m. Perangkap diletakkan di tiap titik di dalam plot sehingga berjumlah 9 perangkap umpan (Arifin, 2014).

2. Pengukuran parameter habitat dan lingkungan

Pada setiap plot penelitian diukur parameter habitat dan lingkungannya. Parameter habitat dan lingkungan yang

diambil adalah suhu lingkungan,

kelembaban udara, dan pH tanah. Selain itu, dilakukan juga pendataan jenis-jenis tumbuhan yang terdapat di dalam masing-masing plot (Arifin, 2014). Suhu dan kelembaban udara diukur menggunakan termohigrometer, sedangkan pH tanah diukur menggunakan soil tester/ pH meter. 3. Pengambilan sampel

(3)

BIOCOLONY VOL. 2 NO. 1, JUNI 2019. HAL: 32-42 34

Pengambilan sampel semut dilakukan setiap hari dalam satu minggu. Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel semut yaitu pemberian umpan (bait trap), penangkapan langsung (hand collecting), dan lubang perangkap (pitfall trap) (Ikbal, dkk., 2014).

Pemberian umpan (bait trap)

Pengambilan sampel semut yang ada di pohon dan di permukaan tanah dilakukan menggunakan umpan ikan sarden dan umpan larutan gula 70% (Wielgoss et al., 2009 dalam Ikbal, dkk., 2014). Umpan diletakkan pada piring datar dengan diameter 20 cm. Masing-masing satu piring diletakkan pada subplotnya. Untuk peletakannya, dapat dilakukan di atas pohon maupun di atas permukaan tanah (Ikbal, dkk., 2014). Pengamatan dilakukan selama 1 jam dengan mengamati dan

menghitung spesies semut yang

mengunjungi umpan (Alamsari, 2014). Pengamatan dimulai pada pukul 09.00-10.00 WIB, kemudian dilakukan pengulangan pada hari yang sama, yaitu pukul 10.00-11.00 WIB. Semut yang masuk ke dalam umpan dimasukkan ke tabung eppendrof yang telah berisi alkohol 70%. Pengambilan sampel tidak dapat dilakukan saat hujan turun karena semut tidak mendatangi umpan (Ikbal, dkk., 2014). Penangkapan langsung (hand collecting)

Pengambilan sampel semut secara langsung dilakukan untuk memperoleh semut yang tidak tertarik dengan umpan ikan sarden dan larutan gula. Pengambilan langsung dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya jenis semut yang berada pada area plot, yaitu di serasah daun, pohon, serta di dahan dan kayu lapuk. Pada saat menyusuri jalan menuju plot, spesies semut yang ditemukan dikoleksi menggunakan pinset. Spesimen selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung eppendrof yang berisi cairan alkohol 70%. Menurut Ikbal, dkk (2014), waktu yang digunakan untuk pengambilan sampel adalah satu jam, yaitu pada pukul 11.00-12.00 WIB.

Lubang perangkap (pitfall trap)

Menurut Heong et al., 1991; Schoenly et al.,1998; Yaherwandi et al., 2006, lubang perangkap (pitfall trap) digunakan untuk merangkap semut yang aktif di permukaan tanah (dalam Ikbal, dkk., 2014). Teknik ini dapat digunakan dengan menggunakan umpan atau tanpa menggunakan umpan, tergantung pada sasaran pengoleksian (Hashimoto & Rahman, 2003).

Perangkap terbuat dari gelas plastik dengan volume 220 ml, diameter mulut 7 cm dan tinggi 10 cm, yang diisi dengan larutan deterjen sebanyak 25 ml. Pada perangkap ini juga diberi umpan larutan gula yang diletakkan pada kapas dengan cara digantung menggunakan kawat (Ikbal, dkk., 2014).

4. Identifikasi Spesimen

Identifikasi semut dilakukan di Laboratorium Biologi STKIP YPM Bangko hingga tingkat genus menggunakan buku Identification Guide to the Ant Genera of the World (Bolton, 1994), Identification Guide to Bornean Ants (Hashimoto, 2003), A Guide to Componatus Ants of Australia (McArthur, 2014), A Guide to the Ants of Sabangau (Schreven, et al., 2014), dan Hymenoptera of the World: An Identification Guide to Families (Henri & John (EDs): 1993).

Teknik Analisis Data

1. Indeks Keragaman Spesies (H’) Indeks keragaman spesies dapat dihitung dengan menggunakan Shannon-Wiener Index (Ludwig & Reynold, 1988 dalam Haneda, 2015), yaitu Nilai Pi diperoleh dengan menggunakan rumus:

Keterangan:

Indeks keanekaragaman Jumlah individu setiap spesies Jumlah individu seluruh spesies

(4)

BIOCOLONY VOL. 2 NO. 1, JUNI 2019. HAL: 32-42 35

2. Indeks Kekayaan Jenis (DMg) Nilai kekayaan jenis digunakan untuk

mengetahui keanekaragaman jenis

berdasarkan jumlah jenis pada suatu ekosistem. Indeks yang digunakan adalah indeks kekayaan jenis Margalef (Haneda, 2015):

Keterangan:

DMg = Indeks kekayaan jenis Margalef S = Jumlah jenis yang ditemukan N = Jumlah individu seluruh jenis 3. Indeks Kemerataan Spesies (E)

Derajat kemerataan kelimpahan individu antara setiap spesies dapat ditentukan dengan menggunakan Indeks Kemerataan Spesies (Magguran, 2004 dalam Haneda, 2015):

Keterangan:

E = Indeks kemerdataan

= Indeks keanekaragaman spesies S = Jumlah spesies

HASILDANPEMBAHASAN Hasil Pengoleksian Semut

Hasil identifikasi menunjukkan secara keseluruhan ditemukan 2633 individu semut (Formicidae) yang termasuk ke dalam 3 subfamili, yaitu Formicinae, Myrmicinae, dan Ponerinae, serta terdiri

dari 7 genus yaitu Camponotus,

Polyrhachis, Crematogaster, Pheidole, Aulacopone, Leptogenys, dan Odontomachus.

Tabel 1. Jumlah semut yang ditemukan di Hutan Adat Guguk

No. Spesies % Formicinae 1. Camponotus gigas 27 1,03 2. Camponotus sp. 1 12 0,5 3. Camponotus sp. 2 482 18,31 4. Camponotus sp. 3 37 1,40 5. Camponotus sp. 4 152 5,76 6. Camponotus sp. 5 64 2,43 7. Camponotus sp. 6 651 24,72 8. Camponotus sp. 7 5 0,2 9. Camponotus sp. 8 24 0,90 10. Camponotus sp. 9 22 0,84 11. Camponotus sp. 10 48 1,82 12. Polyrhachis carbonaria 27 1,03 13. Polyrhachis illuidata 11 0,42 14. Polyrhachis sp. 287 10,90 Myrmicinae 1. Crematogaster sp. 1 230 8,74 2. Crematogaster sp. 2 259 9,84 3. Pheidolesp. 1 3 0,11 4. Pheidole sp. 2 90 3,42 Ponerinae 1. Aulacopone sp. 183 6,95 2. Leptogenys sp. 15 0,57 3. Odontomachus rixosus 3 0,11 4. Odontomachus sp. 1 0,04 Total 2633 100

(5)

BIOCOLONY VOL. 2 NO. 1, JUNI 2019. HAL: 32-42 36

Tabel 2. Semut yang tertangkap dengan metode umpan (bait trap)

No. Spesies Plot %

I II III IV Formicinae 1. Camponotus gigas 0 0 1 4 5 0,3 2. Camponotus sp. 1 12 0 0 0 12 0,7 3. Camponotus sp. 2 379 0 0 0 379 20,8 4. Camponotus sp. 3 37 0 0 0 37 2 5. Camponotus sp. 4 0 8 0 0 8 0,4 6. Camponotus sp. 5 0 43 0 0 43 2,4 7. Camponotus sp. 6 0 590 0 0 590 32,4 8. Camponotus sp. 7 0 5 0 0 5 0,3 9. Camponotus sp. 8 0 6 0 0 6 0,3 10. Camponotus sp. 9 0 0 0 22 22 1,2 11. Camponotus sp. 10 0 0 0 48 48 2,6 12. Polyrhachis illuidata 1 0 0 0 1 0,1 13. Polyrhachis sp. 17 155 31 12 215 11,8 Myrmicinae 1. Crematogaster sp. 1 39 3 0 0 42 2,3 2. Crematogaster sp. 2 0 1 159 66 226 12,4 3. Pheidolesp. 1 0 0 1 0 1 0,1 4. Pheidole sp. 2 0 0 55 0 55 3,1 Ponerinae 1. Aulacopone sp. 13 26 39 46 124 6,8 Total 498 837 286 198 1819 100

Jumlah:Subfamili: 3, genus: 4, spesies: 18, individu: 1819

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa semut yang teridentifikasi dari metode umpan (bait trap) berasal dari 3 subfamili, 4 genus, 18 spesies semut dan 1819 individu. Jumlah semut yang paling banyak ditemukan adalah Camponotus sp. 6 sebanyak 590 (32,4%), sedangkan yang paling sedikit adalah Pheidolesp. 1dan Polyrhachis illuidata sebanyak 1 (0,1%).

Pada plot I, semut yang paling banyak ditemukan dengan metode bait trap adalah Camponotus sp. 2. Hal ini karena pada saat peletakkan umpan dekat dengan pohon durian (Durio zibethinus) yang merupakan tempat sarangnya. Hanya saja, sarang Camponotus sp. 2 tidak dapat diambil gambarnya karena letak sarang semut yang berada pada ranting pohon. Menururt Shattuck (dalam Haneda, 2015) pada umumnya, sarang dari semut Camponotus sering ditemukan pada area yang luas termasuk tanah baik tertutup atau tidak

tertutup tanah, antara bebatuan, kayu, di antara akar tanaman dan ranting pada semak-semak atau pohon.

Sama halnya pada plot I, semut yang paling banyak ditemukan pada plot II adalah semut dari genus Camponotus, yaitu Camponotus sp. 6, sebanyak 590 individu. Camponotus sp. 6 merupakan semut non predator yang memiliki tubuh berwarna kuning kecoklatan. Spesies ini memiliki jumlah individu terbanyak karena pada saat peletakkan umpan banyak pohon karet (Hevea brasiliensis) di sekitar umpan.

Besar kemungkinan tumbuhan yang

termasuk dalam famili Moraceae ini tersedia sumber pakan bagi Camponotus sp. 6. Menurut Schultz dan McGlynn (dalam Haneda, 2015) terdapat jenis tumbuhan Cecropia dari famili Moraceae menghasilkan glikogen yang cukup banyak dari petiole daunnya. Zat tersebut sangat disenangi oleh Camponotus.

(6)

BIOCOLONY VOL. 2 NO. 1, JUNI 2019. HAL: 32-42 37

Pada plot III dan IV, semut yang paling banyak ditemukan dengan metoda bait trap adalah Crematogaster sp. 2, masing-masing sebanyak 159 dan 66. Hal ini karena pemasangan umpan mendekati sarang atau koloni semut, yaitu disekitar pohon jelutung (Dyera costulata). Menurut Rizali (dalam Ikbal, dkk., 2014), genus Crematogaster ini pada umumnya ditemukan pada vegetasi (tumbuhan) walaupun ditemukan juga di atas permukaan tanah.

Semut dari genus Crematogaster juga banyak terkoleksi menggunakan metode pitfall trap, yaitu sebanyak 102 (30,9%). Jumlah individu yang paling banyak terkumpul adalah semut dari jenis Camponotus sp. 2, yaitu sebanyak 103 (31,2%). Sedangkan semut yang paling sedikit terkumpul adalah semut dari jenis Pheidole sp. 1, yaitu sebanyak 1 individu atau 0,3%. Lebih jelasnya perhatikan Tabel 3 berikut.

Tabel3. Semut yang tertangkap menggunakan pitfall trap

No. Spesies Plot %

I II III IV Formicinae 1. Camponotus gigas 0 0 2 0 2 0,6 2. Camponotus sp. 2 103 0 0 0 103 31,2 3. Camponotus sp. 5 0 21 0 0 21 6,4 4. Camponotus sp. 6 0 61 0 0 61 18,5 5. Polyrhachis carbonaria 0 2 0 0 2 0,6 7. Polyrhachis sp. 2 5 4 0 11 3,3 Myrmicinae 1. Crematogaster sp. 1 96 0 0 6 102 30,9 2. Crematogaster sp. 2 0 0 0 14 14 4,3 3. Pheidole sp. 1 0 0 1 0 1 0,3 Ponerinae 1. Aulacopone sp. 3 3 5 2 13 3,9 Total 204 92 12 22 330 100

Jumlah: Subfamili: 3, genus: 4, spesies: 10, individu: 330

Pada Tabel 3 terdapat 330 individu semut yang terkoleksi menggunakan pitfall trap. Masing-masing individu terdiri dari 10 spesies, 4 genus dan 3 subfamili. Camponotus merupakan genus yang paling banyak ditemukan, terutama Camponotus sp. 2. Hal ini karena pemasangan pitfall trap di plot I sangat dekat dengan sarang semut, yaitu berada di pohon durian (Durio zibethinus). Selain itu, Camponotus sp. 2, Crematogaster sp. 1 merupakan spesies non predator yang mengkonsumsi larutan gula yang terdapat pada pitfall trap, sehingga jumlah yang ditemukan juga banyak, yaitu 102 individu atau 30,9%.

Selain metode bait trap dan pitfall trap, pada penelitian ini juga digunakan metode hand collecting. Dalam penggunaan metode ini beberapa jenis semut yang tidak terkoleksi saat menggunakan bait trap dan pitfall trap dikoleksi secara langsung, yaitu

Leptogenys sp., Odontomaschus rixosus dan Odontomaschus sp.

Dalam penggunaan metode hand collecting, semut yang terkoleksi sebanyak 492 individu. Berasal dari 3 subfamili yaitu Formicinae, Myrmicinae, dan Ponerinae. Terdiri dari 7 genus, yaitu Camponotus, Polyrhachis, Crematogaster, Pheidole, Leptogenys, Aulacopone, dan Odontomachus, serta terdiri dari 14 spesies. Untuk lebih jelasnya perhatikan Tabel 4 berikut:

(7)

BIOCOLONY VOL. 2 NO. 1, JUNI 2019. HAL: 32-42 38

Tabel 4. Semut yang tertangkap menggunakan hand collecting

No. Spesies Plot %

I II III IV Formicinae 1. Camponotus gigas 0 0 9 11 20 4 2. Camponotus sp. 4 72 72 0 0 144 29,3 3. Camponotus sp. 8 0 18 0 0 18 3,7 4. Polyrhachis carbonaria 25 0 0 0 25 5,1 5. Polyrhachis illauidata 8 0 7 3 18 3,7 6. Polyrhachis sp. 0 36 18 7 61 12,4 Myrmicinae 1. Crematogaster sp. 1 0 24 62 0 86 17,5 2. Crematogaster sp. 2 0 0 0 19 19 3,9 3. Pheidole sp. 1 0 0 1 0 1 0,2 4. Pheidole sp. 2 14 0 21 0 35 7,1 Ponerinae 1. Aulacopone sp. 5 27 13 1 46 9,3 2. Leptogenys sp. 7 0 8 0 15 3 3. Odontomachus rixosus 3 0 0 0 3 0,6 4. Odontomachus sp. 0 0 1 0 1 0,2 Total 134 177 140 41 492 100

Jumlah: Subfamili: 3, genus: 7, spesies: 14, individu: 492

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa jumlah semut yang paling banyak ditemukan adalah semut dari jenis Camponotus sp. 4, yaitu sebanyak 144 atau 29,3%. Sedangkan jumlah yang paling sedikit ditemukan adalah semut dari jenis Odontomachus sp. dan Pheidolesp. 1 masing-masing sebanyak 1 atau 0,2%.

Semut dari genus Camponotus, Crematogaster, Polyrhachis, dan Aulacopone merupakan jenis yang dapat dikoleksi dengan metode bait trap, pitfall trap, dan hand collecting. Hal ini karena semut tertarik dengan umpan yang digunakan, sehingga semut-semut tersebut mendatangi umpan. Selain itu, semut dari

genus Camponotus, Crematogaster,

Polyrhachis, dan Aulacopone kebanyakan lebih banyak menghabiskan waktu di atas permukaan tanah, ranting daun, dan di serasah daun.

Ada beberapa jenis semut yang tidak tertarik dengan umpan, sehingga hanya bisa dilakukan dengan penangkapan langsung. Misalnya Leptogenys dan Odontomachus.

Menurut Rizali (dalam Ikbal, dkk., 2014),

semut dari genus Odontomachus

merupakan spesies cryptic yang hanya hidup di dalam tanah atau serasah dan tidak muncul di permukaan tanah. Oleh karena itu perjumpaan semut dari genus Odontomachus ini sedikit dibandingkan beberapa dari semut lainnya.

Secara keseluruhan, semut yang paling banyak ditemukan adalah semut yang terkoleksi dengan metode umpan (bait trap), yaitu sebanyak 1819 individu semut atau sekitar 69,08%. 492 individu atau sekitar 18,69% semut yang terkoleksi dengan metode penangkapan langsung (hand collecting), dan 330 individu atau sekitar 12,53% semut yang terkoleksi dengan metode lubang perangkap (pitfall trap). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

(8)

BIOCOLONY VOL. 2 NO. 1, JUNI 2019. HAL: 32-42 39

Gambar 1. Jumlah semut yang ditemukan di Hutan Adat Guguk

Secara keseluruhan semut yang mendominasi adalah semut dari genus Camponotus, yaitu sebanyak 1524 individu atau 57,73%, sedangkan yang paling rendah dari genus Odontomachus sebanyak 4 individu atau 0,15% (Perhatikan Gambar 2). Semut dari genus Camponotus paling banyak ditemukan karena semut ini merupakan semut yang penyebarannya paling luas di dunia (Haneda, 2014). Hingga saat ini tercatat terdapat 1400 jenis semut dari genus Camponotus (McArthur, 2014).

Gambar 2. Diagram persentase genus di hutan adat Guguk

Hasil Analisis Keanekaragaman Jenis Semut di Hutan Adat Guguk

Dari hasil analisis data diperoleh indeks keragaman jenis yaitu 2,21 dengan kriteria sedang, indeks kekayaan jenis 17,05 dengan kriteria tinggi, dan indeks kemerataan jenis 0,41 dengan kriteria stabil.

Tabel 5. Keanekaragaman semut di Hutan Adat Guguk

Kode Keterangan Total Kriteria

S Jumlah jenis 22 -

SF Jumlah subfamili 3 -

N Jumlah individu 2633 -

H’ Indeks keragaman 2,21 Sedang

DMg Indeks kekayaan 17,05 Tinggi

E Indeks kemerataan 0,41 Stabil

Hasil Pengukuran Faktor Lingkungan Hasil pengukuran faktor lingkungan dapat dilihat pada Tabel 6. Dari hasil pengukuran faktor lingkungan diperoleh data yaitu ketinggian tempat pada plot I 154 m dpl, plot II 206 m dpl, plot III 358 m dpl, dan plot IV 392 m dpl. Hasil pengukuran temperatur udara diperoleh rentang suhu berkisar antara 25,6oC-27,1oC, data kelembaban udara berkisar antara 80%-93%, sedangkan pH tanah berkisar 5,8-6,4.

Keanekaragaman Jenis Semut di Hutan Adat Guguk

Indeks keanekaragaman (H’) sangat dipengaruhi oleh jumlah individu (N) dan jumlah jenis (S). Jika jumlah jenis besar, biasanya indeks keanekaragaman semakin tinggi. Menurut Suwena (dalam Ikbal, dkk., 2014), keragaman jenis yang tinggi merupakan indikator dari kemantapan atau kestabilan suatu ekosistem. Kestabilan yang tinggi menunjukkan tingkat kompleksitas yang tinggi akibat interaksi antar komponen

ekosistem, sehingga mempunyai

kemampuan yang lebih tinggi dalam menghadapi gangguan terhadap komponen-komponennya.

Keanekaragaman yang diamati dalam penelitian ini adalah indeks keragaman atau index of diversity (H’), indeks kekayaan atau richness (DMg), dan indeks kemerataan atau evennes (E). Nilai indeks keanekaragaman yang ada di hutan adat Guguk disajikan dalam Tabel 7.

Dari analsis data keanekaragaman jenis

semut menunjukkan bahwa indeks

keanekaragaman yang ada di hutan adat Guguk relatif stabil. Hasil tersebut sesuai 69%

19%

12%

Metode Umpan: 1819 Individu Semut

Metode Penangkapan Langsung: 492 Individu Semut Metode Lubang Perangkap: 330 Individu Semut

(9)

BIOCOLONY VOL. 2 NO. 1, JUNI 2019. HAL: 32-42 40

dengan pernyataan Odum (dalam Haneda,

2015) yang menyatakan bahwa

keanekaragaman identik dengan kestabilan ekosistem, yaitu jika keanekaragaman suatu ekosistem tinggi, maka kondisi ekosistem tersebut cenderung stabil.

Keanekaragaman jenis semut dan individu semut di suatu ekosistem dipengaruhi oleh faktor lingkungan, beberapa diantaranya seperti ketinggian tempat, temperatur udara, kelembaban udara, dan pH tanah. Hal ini karena semut memiliki tingkat toleransi yang sempit dan respon yang cepat terhadap perubahan lingkungan. Menurut Kaspari dan Mejer (dalam Haneda, 2015), ukuran semut yang kecil dan relatif bergantung pada kondisi temperatur, membuat semut sangat sensitif terhadap perubahan iklim di suatu habitat. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengamatan terhadap faktor lingkungan yang ada di Hutan Adat Guguk. Hasil pengamatan faktor lingkungan yang diamati di setiap plot tersaji pada Tabel 8.

Data menunjukkan bahwa suhu udara pada masing-masing plot berkisar antara 25,6oC27,1oC, sehingga semut masih banyak dijumpai. Menurut Riyanto (2007), kisaran suhu udara 25oC32oC merupakan suhu optimal dan toleran bagi aktifitas semut di daerah tropis. Pendapat lain yang dikemukaan oleh Rahmawaty (2004) menyatakan bahwa kisaran suhu udara pada mesofauna tanah termasuk insekta, yaitu antara 29,6oC32oC. Dari pendapat Riyanto

dan Rahmawaty tersebut dapat disimpulkan bahwa semut yang hidup di daerah tropis seperti di Hutan Adat Guguk hanya mampu bertahan pada suhu 25oC sampai pada suhu 32oC, karena suhu tersebut merupakan suhu yang optimum bagi semut untuk bertahan hidup.

Faktor berikutnya yaitu kelembaban udara, keempat plot memiliki kelembaban udara

yang berbeda-beda. Masing-masing

kelembaban udara di setiap plotnya adalah 80%, 93%, 84%, dan 81%. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh intensitas cahaya matahari yang berbeda. Pada plot I dan II terjadi peningkatan

kelembaban, itu artinya terjadi penurunan intensitas cahaya. Namun, pada plot III dan IV terjadi penurunan kelembaban udara. Hal ini terjadi karena intensitas cahaya matahari yang semakin kuat. Pendapat ini diperkuat oleh Arifin (2014) dalam penelitiannya hasil pengukuran fisik lingkungan didapatkan bahwa kelembaban tertinggi terdapat di subzona hutan pegunungan submontana yaitu 81,25%, kemudian di montana dan subalpin masing-masing 76,91% dan 58%. Dari hasil yang diperoleh ia menyimpulkan bahwa hal tersebut terjadi karena disebabkan oleh intensitas cahaya matahari yang semakin kuat.

Dari hasil pengukuran faktor lingkungan yang diperoleh, dapat diketahui bahwa terjadi perbedaan suhu dan kelembaban udara di setiap plotnya. Hal ini disebabkan oleh penyinaran matahari yang berbeda. Penyinaran matahari dipengaruhi oleh tumbuhan yang ada di area daerah tersebut. Menurut Haneda (2015), penyinaran matahari dipengaruhi oleh kerapatan tajuk. Hasil penelitiannya menunjukkan kerapatan tajuk di jungle rubber 85%, selanjutnya diikuti oleh secondary forest 84%, plantation rubber 78%, dan oil palm plantation 64%. Dari keempat tersebut diukur kelembaban udara dan masing-masing menunjukkan bahwa kelembaban udara di jungle rubber 91%, secondary forest 86,20%, plantation rubber 85,40%, dan oil palm plantation 75%. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kerapatan tajuk maka kelembaban udara semakin tinggi pula.

Faktor berikutnya yaitu pH tanah, plot I dan II memiliki pH 6,2, plot III memiliki pH 6,4, dan plot IV memiliki pH 5,8. Artinya, keempat plot tersebut memiliki kisaran pH netral, yaitu antara 5,8 sampai 6,4. Menurut Riyanto (2007) kisaran pH ini merupakan umum untuk kebanyakan makhluk hidup, artinya semut dapat hidup dengan baik pada pH netral dan sedikit asam. Pengukuran pH ini sangat penting

dalam melakukan penelitian

keanekaragaman fauna tanah, karena bila pH tanah tidak sesuai maka semut mungkin

(10)

BIOCOLONY VOL. 2 NO. 1, JUNI 2019. HAL: 32-42 41

tidak dapat bertahan dan berkembang biak pada habitatnya. Menurut Rahmawaty

(2004) bahwa fauna tanah ada yang senang hidup pada pH asam dan ada pula yang senang hidup pada pH basa, tergantung dari jenis makhluk hidupnya. Faktor pH tanah ini juga ikut berperan serta dari jenis-jenis semut yang dapat dijumpai di setiap plotnya.

Selain suhu, kelembaban udara, dan pH, perbedaan ketinggian pada masing-masing plot juga menyebabkan terjadinya perbedaan faktor biotik dan abiotik di dalamnya (Arifin, 2014). Ketika suatu faktor lingkungan berbeda, hal ini tentunya akan menyebabkan terjadinya perbedaan pada faktor lingkungannya. Faktor ketinggian secara tidak langsung mempengaruhi suhu lingkungan. Suhu merupakan faktor pembatas yang dapat mempengaruhi keanekaragaman makhluk hidup, diantaranya tumbuhan. Beberapa tumbuhan tertentu spesifik ditemukan di salah satu plot namum tidak ditemukan di plot lainnya.

Dari hasil penelitian, pada plot I dan II lebih banyak ditemui individu semut

dibandingkan plot lainnya. Hal ini karena pada plot I dan II tumbuhan yang mendominasi adalah famili Graminae. Sedangkan plot III dan IV tumbuhan yang mendominasi adalah jelutung (Dyera costulata). Hasil penelitian Rahmawaty (2004) menunjukkan bahwa pada lahan berumput ditemui lebih banyak famili Formicidae (234 individu atau 18,17%) dibandingkan pada lahan hutan (74 individu atau 9,55%). Hal ini diduga karena pada lahan berumput merupakan habitat yang tersedia makanan dan tempat untuk mencari makan bagi Formicidae.

Perbedaan jumlah semut yang

ditemukan dipengaruhi oleh beberapa faktor pembatas. Menurut Odum (dalam Arifin, 2014), dalam ekologi ada beberapa

faktor pembatas yang membatasi

keanekaragaman dan kelimpahan makhluk hidup. Faktor pembatas itu dapat berupa suhu, kelembaban udara, atau kondisi tanah yang merupakan bagian dari tempat aktivitas semut, baik dalam mencari makan atau berkembang biak.

Tabel 6. Hasil pengukuran faktor lingkungan pada tiap plot

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Teridentifikasi 2633 individu yang tergolong dalam 22 spesies, 7 genus dari 3 subfamili. Pada plot I didominasi oleh Camponotus sp. 2, plot II didominasi oleh Camponotus sp. 6, plot

III dan IV didominasi oleh

Crematogaster sp. 2. Sebanyak 1819 individu semut yang tertangkap menggunakan metode umpan (bait trap), 492 individu semut dengan metode penangkapan langsung (hand collecting), serta 330 individu semut dengan metode perangkap sumuran (pitfall trap).

Faktor Lingkungan Area Pengamatan

Plot I Plot II Plot III Plot IV

Ketinggian tempat 154 m dpl 206 m dpl 358 m dpl 392 m dpl Koordinat 2 o 10’ 4”S 102o 3’24”E 2o 10’ 1” S 102o 3’32”E 2o 10’ 15” S 102o 3’11”E 2o 10’ 16” S 102o 3’9”E Temperatur udara 26,6oC 25,6 oC 26,6 oC 27,1 oC Kelembaban udara 80% 93% 84% 81% pH tanah 6,2 6,2 6,4 5,8

(11)

BIOCOLONY VOL. 2 NO. 1, JUNI 2019. HAL: 32-42 42

2. Tingkat keanekaragaman jenis semut dari ordo Hymenoptera dan famili Formicidae yang ada di hutan adat Guguk Kabupaten Merangin Provinsi Jambi dengan nilai H’ = 2,21 (kriteria sedang), DMg = 17,05 (kriteria tinggi), dan E = 0,41 (kriteria stabil).

UCAPANTERIMAKASIH

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada berbagai pihak, terutama kepada Pengelola Hutana Adat Guguk dan Pemerintahan Desa Guguk.

DAFTARPUSTAKA

Alamsari, Winda. 2014. Keanekaragaman Semut pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan di Jambi. Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Arifin, Irfanul. 2014. Keanekaragaman Semut (Hymneoptera: Formicidae) pada Berbagai Subzona Hutan Pegunungan di Sepanjang Jalur Pendakian Cibodas, Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP). BIOMA. X (2). ISSN: 0126-3552. Bolton, B. 1994. Identification Guide to the

Ant Genera of the World. Cambridge, MA: Harvard University Press. Dimus, Abdul, R. 2014. Pemanfaatan

Semut Rangrang sebagai Predator Hama Lalat Buah pada Tanaman Jeruk (Citrus Sp.) di Kota Tarakan. Jurnal Eksata Borneo. VIII (1). ISSN: 2085-2037.

Goulet, S and John T.H. (EDs). 1993. Hymenoptera of the World: An Identification Guide to Families. Canada: Agriculture Canada.

Haneda N.F, Yuniar N. 2015. Komunitas Semut (Hymenoptera: Formicidae) pada Empat Tipe Ekosistem yang Berbeda di Desa Bungku Provinsi Jambi. Jurnal Silvikultur Tropika. 6 (2): 203-209. ISSN: 2086-8227. Hashimoto Y. 2003. Inventory & Collection:

Total Protocol for Understanding of

Biodiversity. Di dalam Hashimoto Y, Rahman H, editor. Identification Guide to the Ant Genera of Borneo. Kota Kinabalu (MY): Research and

Education Component, BBEC

Programe (University Malaysia Sabah). ISBN 983-41152-1-0.

Ikbal M, Nugroho S.P dan Edhi M. 2014. Keanekaragaman Semut pada Ekosistem Tanaman Kakao di Desa Banjaroya Kecamatan Kalibawang Yogyakarta. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. 18(2): 79-88. McArthur, Archie. 2014. A Guide to the

Componatus Ants of Australia. South Australian Museum: Axiom Books Adelaide. ISBN: 9781864767919. Rahmawaty. 2004. Studi Keanekaragaman

Mesofauna Tanah di Kawasan Hutan Wisata Alam Sibolangit. Jurusan

Kehutanan Program, Studi

Manajemen Hutan, Fakultas

Pertanian. Universitas Sumatra Utara. e-USU Respository.

Riyanto. 2007. Kepadatan, Pola Distribusi dan Peranan Semut pada Tanaman di Sekitar Lingkungan Tempat Tinggal. Jurnal Penelitian Sains 10 (2): 241-253.

Gambar

Tabel  1.  Jumlah  semut  yang  ditemukan  di  Hutan Adat Guguk
Tabel 5. Keanekaragaman semut di Hutan  Adat Guguk
Tabel 6. Hasil pengukuran faktor lingkungan pada tiap plot

Referensi

Dokumen terkait

Pada setiap jenis penggunaan lahan, ditentukan empat plot (50 m x 50 m) untuk pengambilan sampel semut. Semut dikumpulkan menggunakan metode hand-colleting yang

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah bahwa belum adanya informasi keanekaragaman semut (Hymenoptera: Formicidae) di perkebunan kakao (Theobroma

Jalur I dengan dominasi jumlah yang banyak didapat yaitu jenis Crematogester indet dengan jumlah 192 individu dan yang kedua Tetraponera attenuata dengan jumlah

Hasil penelitian yang diperoleh akan berguna sebagai informasi potensi pemanfaatan semut di perkebunan kelapa sawit sebagai musuh alami hama serta informasi

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa keanekaragaman jenis semut (Hymenoptera: Formicidae) pada berbagai subzona hutan pegunungan di

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis semut yang terdapat pada perkebunan kelapa sawit di sekitar kampus Universitas Pasir Pengaraian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengetahui keanekaragaman jenis semut (Hymenoptera: Formicidae ) di kawasan air terjun Desa Dalil, Kecamatan

Dua belas genus semut yang termasuk dalam 6 subfamili ditemukan pada kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke.. Camponotus , Oecophylla , dan Polyrhachis merupakan