• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERKEMBANGAN BUDAYA POPULER DI JEPANG DAN INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PERKEMBANGAN BUDAYA POPULER DI JEPANG DAN INDONESIA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

9

BAB II

PERKEMBANGAN BUDAYA POPULER DI JEPANG DAN INDONESIA

2.1. Pengertian Budaya Populer Jepang

Budaya populer dalam bahasa Jepang lebih tepat disebut sebagai budaya massa atau Taishuu Bunka (大衆文化). Pengertian dari Taishuu Bunka dalam kamus bahasa Jepang Koujien (広辞苑) (Shizuru Shimura, 2008:1544) adalah :

一般民衆に広まり、親しまれるものとなること。また、そのようなものにす ると。

Ippan minshuu ni hiromari, shitashimareru mono to naru koto. Mata, sono youna mono ni suru to.

Yang berarti: Hal yang menyebar dan dikenal di kalangan masyarakat pada umumnya, dan semacamnya.

Pengertian ini dianggap sesuai dimana masyarakat sebagai suatu kelompok memiliki apresiasi terhadap suatu hasil kebudayaan. Tak hanya diminati oleh masyarakat Jepang, apresiasi terhadap budaya populer Jepang juga datang dari masyarakat negara lain yang terpengaruh oleh konten budaya populer Jepang yang diekspor keluar negeri, khususnya Manga dan Anime.

Timothy J. Craig (2000:5) menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor yang menyebabkan budaya populer Jepang dapat diterima dengan baik tidak hanya di Jepang tetapi juga diluar Jepang.

Faktor pertama adalah budaya populer Jepang memiliki kreativitas dan kualitas yang tinggi. Dalam pembuatan suatu karya, orang Jepang menuangkan seluruh kreativitasnya untuk dapat membuat suatu karya dengan kualitas tertinggi. Craig memberi contoh kualitas dengan membandingkan sebuah katana yang dibuat pada jaman Edo dengan kualitas manga Dragon Ball yang digambar oleh Toriyama Akira.

(2)

Kedua, terdapat unsur-unsur yang menggambarkan relevansi antara kehidupan dan mimpi dalam budaya populer Jepang. Tak hanya berisikan kualitas, karya-karya budaya Jepang juga memiliki nilai-nilai yang memiliki hubungan erat dengan kehidupan manusia pada umumnya. Seperti misalnya cinta, fase-fase kehidupan, mimpi dan harapan.

Ketiga, budaya populer Jepang memiliki hubungan antar manusia, pekerjaan, dan perkembangan spiritualitas. Dalam budaya populer Jepang, kompleksitas hubungan antar manusia adalah hal yang secara jelas digambarkan. Begitupun dengan pekerjaan yang dilakukan oleh seorang tokoh tidak hanya menggambarkan kebutuhan seseorang terhadap uang, namun memiliki makna tersendiri dalam kehidupan.

Selain ketiga faktor ini, Craig juga menjelaskan bahwa ketertarikan terhadap budaya populer Jepang datang dari rasa familiar yang datang dari kesamaan nilai, adat, atau tradisi diantara penikmat budaya populer di Asia. Disisi lain, penikmat budaya populer barat justru dapat menikmati budaya populer Jepang karena perbedaan nilai-nilai yang terdapat pada budaya tersebut. Penikmat barat melihat bahwa budaya populer Jepang memberikan nilai tersendiri dan memperlihatkan suatu sudut pandang lain yang dapat dinikmati.

2.2. Perkembangan Budaya Populer Jepang

Jepang merupakan pengekspor budaya populer yang terbesar di dunia hingga saat ini. Budaya populer Jepang telah menjadi budaya global yang didukung oleh banyak kalangan. Sebagai contoh, walaupun kata Anime merupakan bahasa serapan dari bahasa Inggris Animation, kata tersebut nampak lekat dengan Jepang dan mendunia di kalangan penikmat konten tersebut. Budaya populer seperti Anime, Manga, J-pop,

dan fashion kini tidak hanya dinikmati oleh masyarakat Jepang, tapi juga diseluruh

dunia.

Walau awal mula budaya populer di Jepang dapat dilihat dari berbagai aspek, penulis membatasi pembahasan ini pada perkembangan budaya Manga dan Doujin.

(3)

1. Manga (漫画)

Manga adalah istilah yang digunakan untuk menyebut komik yang diciptakan

di Jepang. Kata Manga berasal dari kanji 漫, yang berarti “aneh, atau dadakan”, dan kanji 画, yang berarti “gambar”. Manga memiliki cakupan genre yang luas, seperti misal komedi, drama, bisnis, horor, fantasi, bahkan beberapa diantaranya memiliki konten seksual didalamnya.

Menurut Frederick L. Schodt (1983:28), tidak ada yang tahu persis kapan orang Jepang pertama kali mencoba menggambar Manga, tapi bentuk gambar yang diperkirakan asal muasal Manga di Jepang adalah pada abad ke-12 dalam bentuk lukisan gulung yang disebut Choujuugiga, yang berisi cerita bergambar dengan ditambahkan unsur humor dan gambar-gambar binatang didalamnya.

Pada zaman Edo, seni lukis ukiyo-e sangat populer pada masa itu. Di saat yang sama, seniman ukiyo-e ternama Katsushika Hokusai (1760 – 1849) mulai mempopulerkan istilah Manga, dan menggunakan teknik “split frame” atau panel- panel yang terpisah didalam karyanya. Teknik inilah yang kemudian menjadi asal dari sistem panel berurutan dalam Manga. Seluruh karya Hokusai ini kemudian dikompilasi menjadi koleksi Hokusai Manga yang berjumlah 15 jilid.

Memasuki era Meiji, dengan berubahnya sistem sosial serta masuknya pengaruh barat, Jepang menjadi kaya akan hiburan dan cerita bergambar mendapat pengaruh dari barat dan semakin berkembang. Kartun gaya Eropa diperkenalkan oleh seniman-seniman asal Eropa, yaitu Charles Wirgman dari Inggris, dan George Bigot dari Perancis. Charles Wirgman menjadi pengajar seni lukis dan dikirim sebagai wartawan dari Illustrated London News. Pada tahun 1862, ia menerbitkan majalah humor dengan gaya Inggris, The Japan Punch untuk pendatang dari luar negeri yang berada di wilayah Yokohama. George Bigot datang ke Jepang di tahun 1882 dan mengajar kesenian di sekolah kepolisian. Pada tahun 1887, ia menerbitkan sebuah majalah bernama Tobae,

(4)

Setelah mulai berhubungan dengan dunia Barat, Jepang pun memiliki teknologi percetakan baru yang lebih murah dan tidak memakan waktu lama. Sejak Wirgman dan Bigot tiba di Jepang, orang Jepang mulai menerbitkan majalah humor dan harian surat kabar mereka sendiri, dan mulai menggunakan pena sebagai pengganti kuas untuk menulis dan menggambar. Salah satu contoh majalah humor Jepang yang sudah menggunakan teknologi terbaru ini adalah Marumaru Chimbun (1877), yang terpengaruh oleh The Japan Punch.

Tahun 1902, dimana kiblat para kartunis Jepang mulai beralih dari Eropa ke Amerika, seorang komikus bernama Okamoto Ippei memasukkan unsur-unsur kartun Amerika dan komik strip didalam karya mereka. Karya Okamoto yang memasukkan sukses mencampurkan unsur kartun Amerika dan diterbitkan bertahun-tahun dalam

Asahi Shimbun menjadikan profesi kartunis jurnal populer.

Di tahun 1905, komikus bernama Kitazawa Rakuten pertama kali menggunakan kata Manga dalam pengertian modernnya. Kitazawa memulai majalah satir bernama

Tokyo Puck, yang namanya diambil dari majalah Amerika. Majalah ini tidak hanya

diterbitkan di Jepang, namun juga di Korea, China dan Taiwan. Dalam masa Perang Dunia II, Kitazawa menjabat sebagai ketua umum dari Nihon Manga Hoko-kai, sebuah organisasi kartunis yang dibiayai pemerintah untuk mendukung upaya perang.

Dalam Perang Dunia II, industri Manga dijaga ketat oleh pemerintah dan dijadikan alat propaganda untuk mendukung upaya perang. Namun setelah Perang Dunia II dimana keadaan ekonomi Jepang kacau balau dan biaya menerbitkan komik dianggap terlalu mahal, para seniman dan kartunis tidak dibayar, namun mendapatkan kebebasan dalam karya mereka. Namun industri Manga kembali bangkit berkat kehadiran Tezuka Osamu, yang dijuluki sebagai “Dewa Manga”. Kehadiran karya- karyanya yang terkenal seperti Tetsuwan Atomu (lebih dikenal dengan Astro Boy

diluar Jepang), Ribon no Kishi (Princess Knight) dan Black Jack membuat industri

Manga kembali bergerak, dan banyak komikus Jepang yang mengikuti jejak Tezuka

(5)

tak hanya lelaki, perempuan juga dapat membuat sebuah Manga. Sejak itu, banyak komikus perempuan seperti Takahashi Makoto, Watanabe Masako, dan Mizuno Hideko yang memulai suatu genre baru bernama Shoujo Manga (少女漫画), yang menjadi sangat populer di kalangan perempuan muda. (Schodt, 1983:62)

Gambar 2.1 Manga “Tetsuwan Atom” (Astro Boy) karya Tezuka Osamu

(Sumber: http://www.loc.gov/rr/asian/j-display/images/13-astroboy.jpg)

Kebebasan dalam pembuatan karya ini membuat beberapa komikus seperti Tatsumi Yoshihiro membuat gerakan ‘Gekiga’ (劇画) yang berarti ‘gambar yang dramatis’. Demografi yang diincar oleh Gekiga bukanlah anak-anak seperti umumnya sebuah Manga, tapi lebih tertuju kepada orang dewasa, karenanya genre baru seperti

science fiction, kriminal, sejarah dan horor banyak bermunculan pada zaman itu. Di

akhir 60-an, banyak remaja yang menginginkan ‘cerita yang berbeda dari Manga

biasanya’, dan Gekiga memberikan hal tersebut. Generasi yang tumbuh di tahun inilah yang dikenal sebagai “Generasi Manga” di Jepang.

(6)

seperti Toriyama Akira (Dragon Ball) dan Takeuchi Naoko (Bishoujo Senshi Sailor

Moon), Manga menjadi populer dan terus menyebar ke seluruh penjuru dunia, dan

hingga kini, gaya artistik Manga yang unik banyak mempengaruhi komikus-komikus di dunia.

2. Doujin (同人)

Doujin adalah istilah yang digunakan untuk menyebut sekumpulan orang

yang memiliki kesamaan aktivitas, minat dan hobi. Dalam artian lain, Doujin dapat diartikan menjadi suatu barang atau karya seni amatir yang diterbitkan sendiri (self-

published/indie) (Kelly, 2004:190). Kata Doujin pertama kali digunakan di Jepang

untuk menyebut orang-orang yang membuat majalah dengan tujuan dan minat yang sama pada zaman Meiji, dimana budaya populer berkembang dengan pesat di zaman itu.

(https://kotobank.jp/word/%E5%90%8C%E4%BA%BA%E9%9B%91%E8%AA%8C-103748)

Awal mula dari Doujin adalah Meiroku Zasshi (明六雑誌), sebuah jurnal kompilasi berisi tentang pemikiran-pemikiran Barat yang digagas oleh Meirokusha

pada awal zaman Meiji. Walau demikian, awal dari majalah Doujin yang berisi novel adalah Garakuta Bunko ( 我楽多 文 庫) yang disusun oleh Ozaki Koyo bersama teman-temannya dari Tokyo Teikoku Daigaku.

Pada awal zaman Showa, Doujin menjadi perbincangan anak muda kreatif yang terpacu untuk membuat novel-novel mereka sendiri. Namun karena kebutuhan perang pada saat itu, perkembangan Doujin melambat. Walau ada beberapa Doujin yang masih diterbitkan pada masa itu seperti Bungei Shuto, sedikit dari majalah Doujin

yang dapat bertahan pada masa itu. Pasca Perang Dunia II, Doujin Manga mulai bermunculan di Jepang. Komikus seperti Ishinomori Shotaro (Kamen Rider) dan Fujiko Fujio (Doraemon) membuat sebuah perkumpulan bernama Shin Manga-to ( 新

漫 画 党) yang didirikan pada 1956. Shin Manga-to berisi orang-orang yang

(7)

Tokyo.

Pada tahun 1970, perkembangan teknologi fotokopi membuat produksi

Manga lebih mudah dan ekonomis. Di masa ini, banyaknya Manga yang terkesan

monoton dan mengikuti selera pasar saja membuat kritikus Yonezawa Yoshihiro berpikir bahwa pada tahun 1973 dan 1974, akan sangat sulit untuk menerbitkan

Manga yang memiliki unsur-unsur aneh dan ‘tidak biasa’. Karena menganggap

bahwa dibutuhkan suatu platform untuk mendukung penerbitan karya-karya tersebut, Yonezawa, Teruo Harada dan Aniwa Jun menyelenggarakan acara penjualan Doujin

bernama Comic Market (コミックマーケット) , biasa disingkat Comiket.

Di awal penyelenggaraan Comiket, partisipan dari acara tersebut hanyalah 30

circle (sebutan untuk kumpulan orang yang berjualan di Comiket) dan 700 pengunjung.

Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah pengunjung dan partisipan yang membludak membuat Comiket dipindahkan ke venue yang lebih besar, dari tempat kecil di Toranomon berpindah ke Tokyo Harumi Trade Center hingga akhirnya berpindah ke Tokyo Big Sight hingga sekarang.

Gambar 2.2. Tokyo Big Sight, tempat Comic Market diselenggarakan (Sumber: bigsight.jp)

Kebanyakan komikus amatir dan pengunjung di Comiket adalah remaja berumur belasan tahun hingga pertengahan dua puluhan tahun. Walaupun tak ada

(8)

statistik yang jelas, hasil observasi Yonezawa menyebutkan bahwa mayoritas partisipan

Comiket adalah remaja dari keluarga menengah-kebawah dengan pendidikan yang

rendah. Menyebarnya budaya Doujin dan berkembangnya Comiket dalam budaya populer Jepang memberikan jalan bagi para remaja Jepang yang sebelumnya tidak memiliki hubungan apa-apa dengan industri Manga, menjadi mampu membuat karya mereka sendiri. Sekarang Comiket sendiri telah menyelenggarakan acara yang ke-89 dengan jumlah partisipan sekitar 35.000 circle.

2.3. Perkembangan Budaya Populer di Indonesia

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keragaman budaya, bahasa, kepercayaan dan tradisi. Walau dikatakan demikian, budaya populer dari Indonesia mulai berkembang pasca pemerintahan Orde Baru dimana sejak saat itu, tidak terdapat lagi batasan dan seniman memiliki kebebasan dalam berkarya. Signifikansi budaya populer Indonesia muncul setelah memasuki tahun 2000, saat Televisi dan siaran Televisi swasta menjadi sesuatu yang dapat dikonsumsi khayalak umum. Siaran televisi yang Jakarta-sentris membuat siaran Infotainment dan acara audisi idola seperti Indonesian Idol atau Akademi Fantasi Indosiar (AFI) begitu digemari oleh masyarakat. Industri novel di Indonesia didominasi oleh penulis perempuan, dan tulisan-tulisan seperti Saman karya Ayu Utami di 1998 dan Supernova karya Dewi Lestari di tahun 2001 mendapatkan pujian karena gaya tulis yang inovatif dengan kualitas literasi yang tinggi.

Walaupun pada tahun 70an budaya populer menjadi perbincangan hangat diantara pelajar Indonesia, pada kenyataannya budaya populer adalah suatu fenomena yang baru di Indonesia. (Heryanto 2008, 7) Penulis akan membatasi pembahasan perkembangan budaya populer Indonesia pada perkembangan budaya komik dan

(9)

1. Komik Indonesia

Komik pertama kali disebarluaskan oleh media massa dalam harian berbahasa Belanda De Java Bade (1938) yang memuat komik Flippie Flink dalam rubrik khusus anak anak. Komik petualangan yang terkenal, Flash Gordon dimuat oleh mingguan

De Orient. Beberapa media massa berbahasa Melayu pun mengikuti jejak harian

Belanda ini dengan memuat komik barat.

Setelah kemerdekaaan Indonesia di tahun 1945, komik Indonesia mulai bangkit dan berkembang dengan baik. Namun keadaan ekonomi pada saat itu tidak memungkinkan bagi penerbit untuk dapat menerbitkan komik bersambung dalam surat kabarnya. Di tahun 1954, keberhasilan komik Barat di Indonesia mempengaruhi komikus Indonesia untuk membuat komik yang mengadaptasi tokoh komik Barat. Hal ini mengundang kritik dari kalangan pendidik yang menganggap bahwa komik Barat tidaklah mendidik dari bentuk maupun isi ceritanya dan berpikir untuk menghentikan produksi komik di Indonesia. Sejak saat inilah muncul komik jenis baru yang disebut “Komik Wayang”. Komik Wayang merupakan komik asli Indonesia yang dimaksudkan untuk dapat menyaingi komik impor di pasaran.

Namun komik yang terinspirasi oleh komik Barat tidak berhenti begitu saja. Di tahun 70-an, Komik Indonesia mulai mengadaptasi cerita fantasi setelah mendapatkan pengaruh dari komik superhero Amerika, seperti “Laba-laba Merah” karya Kus Bram yang terpengaruh oleh komik Spider-Man karya Stan Lee. Selain itu juga muncul genre silat fantasi yang menggabungkan unsur silat dengan fantasi dan unsur mistik didalamnya, seperti contohnya “Si Buta dari Gua Hantu” dan “Panji Tengkorak”. Cerita silat fantasi ini mengalami masa kejayaannya selama 1975 hingga 1976.

(10)

Gambar 2.3 “Laba-laba Merah” karya Kus Bram

(Sumber: https://planetsuperhero.wordpress.com/)

Masa kejayaan komik Indonesia terus berlangsung, mulai dari munculnya banyak karya baru, hingga banyak yang dicetak ulang karena tingginya permintaan pasar pada saat itu. Hingga tahun 1985, kepopuleran komik Indonesia mengakibatkan kemunculan karya komikus junior yang ‘meminjam’ tema dan gaya komikus senior yang laku di pasaran. Munculnya persaingan yang tak sehat ini mengakibatkan hilangnya idealisme seorang komikus dalam sebuah komik, yang berujung pada komikus membuat komik sekedar mengikuti permintaan pasar saja. Sejak saat itu, mulai jarang ditemukan komik baru terbitan Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan gempuran komik impor yang menyerbu pasar Indonesia, terutama serbuan Manga

dari Jepang.

Di tahun 2000 awal, perkembangan komik Indonesia belum mengalami perkembangan yang signifikan bahkan mengalami stagnansi. Hingga memasuki tahun 2003, penerbit Indonesia mulai memberanikan diri untuk melawan serbuan komik impor dengan menerbitkan karya komikus yang mengacu dengan gaya Manga. Hal ini menyebabkan kontroversi diantara komikus aliran lama yang menganggap bahwa gaya gambar komikus aliran baru terkesan ‘terlalu Jepang’.

(11)

Dimulainya penyebaran internet di tahun 2007 awal memungkinkan para komikus muda untuk mengeksplorasi gayanya masing-masing dengan mengacu kepada banyak karya-karya yang bisa mereka temui di internet. Peredaran Komik

Online pun semakin diminati oleh masyarakat Indonesia, dan platform Komik Online

pun menjadi alternatif bagi para komikus amatir untuk menerbitkan karya mereka. Gerakan-gerakan komikus generasi baru ini bekerja secara independen, tanpa bergantung pada penerbit besar dan cenderung memproduksi dan menyebarkan karya mereka secara mandiri dalam komunitas secara terbatas.

(http://print.kompas.com/baca/2015/05/12/Komik-Indonesia%2c-Mungkinkah-

Kembali-Berjaya)

Pada tahun 2009, inisiatif untuk kembali memunculkan komik Indonesia dalam toko buku besar dilakukan oleh Koloni (singkatan dari Komik Lokal Indonesia), sebuah subsidiari dari penerbit M&C. Beberapa komik yang diterbitkan oleh Koloni adalah Chrysanthemum karya duo Adriane Yuanita dan Chairunnisa, dan

Panji! karya Fachreza Octavio dan LSS. Melihat potensi dari perkembangan komik

Indonesia yang semakin maju dan bertuju untuk menghidupkan kembali semangat berkarya melalui komik lokal, Chris Lie, Andik Prayogo dan Yudhanegara Njoman membentuk re:ON Comics, sebuah majalah komik bulanan yang berisi komik-komik karangan komikus Indonesia. Beberapa karya yang dimuat dalam re:ON Comics adalah

Grand Legend Ramayana karya Is Yuniarto, Me vs Big Slacker Baby karya Annisa

(12)

Gambar 2.4. Cover komik “Panji!” karya Fachreza Octavio dan L.S.S.

(Sumber:

http://www.bukupedia.com/id/book/id-665-85385/komik-indonesia/panji.html)

Hingga kini industri komik di Indonesia masih terus berkembang. Di tahun 2016, terdapat 3 majalah komik besar di Indonesia yang menyuguhkan konten menarik dengan berbagai genre.

2. Doujin di Indonesia

Kata Doujin sendiri muncul di awal 2000an dari majalah Animonster, yang menjelaskan bahwa Doujinshi adalah Manga yang bersifat parodi dari Anime, Manga,

atau Game yang sudah ada. Sejak itu, beragam Bunkasai (Festival Jepang) yang diadakan di Indonesia banyak menggunakan kata Doujinshi sebagai lomba menggambar Manga atau lomba membuat fanart.

Gerakan-gerakan komikus amatir yang gencar sejak tahun 2009 membuat beberapa pihak yang melihat potensi dari komikus-komikus lokal untuk menyelenggarakan acara dimana para komikus bebas berekspresi dan menjual karya mereka dalam acara tersebut. Di tahun itu pula acara penjualan komik indie banyak

(13)

diselenggarakan di Indonesia, salah satu yang tercatat adalah acara yang dinamakan Pasar Komik Bandung (disingkat Pakoban) yang diselenggarakan komunitas komik Bandung Komikara dan Mangafest oleh Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Jepang Univeristas Gajah Mada pada tahun 2011 di Yogyakarta.

Walau demikian, belum ada acara yang menggunakan konsep serupa dengan

Doujin Market di Indonesia. Sampai akhirnya pada tahun 2012, komunitas AKIPA yang

berbasis di Universitas Indonesia menyelenggarakan acara Comic Frontier (disingkat

Comifuro) bersamaan dengan diadakannya Gelar Jepang Universitas Indonesia di Area

Parkir Balairung Universitas Indonesia.

Gambar 2.5 Comic Frontier 4 yang diselenggarakan di Gelanggang Olahraga Otista

(Sumber: http://www.kotakgame.com)

Awalnya Comifuro hanyalah sebuah acara kecil yang merupakan acara tambahan dalam rangkaian acara Gelar Jepang Universitas Indonesia, tetapi pada akhir 2013, Comifuro 3 menjadi acara yang dapat berdiri sendiri sebagai acara jual beli doujinshi di Indonesia. Mereka menjelaskan dalam website mereka bahwa tujuan dari penyelenggaraan acara Comifuro sendiri adalah menjadi sarana bagi para kreator

(14)

langsung dengan orang yang memiliki minat sama dengan menyebarkan karyanya dengan cara berjualan.

Di tahun 2015, Acara Comifuro sudah diselenggarakan sebanyak 6 kali dengan partisipan yang terhitung sekitar 300 circle. Suksesnya penyelenggaraan acara Comifuro

membuat menjamurnya acara-acara yang memiliki konsep sama di Indonesia. Seperti misalnya Sadaco (Unsada Comic Market) yang diselenggarakan bersamaan dengan Japan Fair Unsada 2014, Cocoon Festival yang diselenggarakan pada tahun 2014, dan acara-acara lainnya.

2.4 Perbedaan antara Budaya Populer Jepang dan Indonesia

Dalam dua penjelasan mengenai budaya populer Jepang dan Indonesia diatas, perbedaan yang signifikan terlihat dari sejarah budaya populer masing-masing negara. Jepang memiliki sejarah budaya populer yang dapat dilihat sejak zaman Edo, sedangkan budaya populer pada Indonesia baru terlihat pasca Orde Baru, dimana tidak terdapat batasan dan seniman memiliki kebebasan dalam berkarya.

Budaya populer Jepang yang disebarkan lewat televisi ataupun komik yang dijual di Indonesia berpengaruh besar pada perkembangan budaya populer Indonesia, karena itu terdapat beberapa kesamaan dalam budaya populer Jepang dan Indonesia seperti misalnya komik Indonesia yang mengadaptasi gaya gambar Manga.

Gambar

Gambar 2.1 Manga “Tetsuwan Atom” (Astro Boy) karya Tezuka Osamu  (Sumber: http://www.loc.gov/rr/asian/j-display/images/13-astroboy.jpg)
Gambar 2.2. Tokyo Big Sight, tempat Comic Market diselenggarakan  (Sumber: bigsight.jp)
Gambar 2.3 “Laba-laba Merah” karya Kus Bram  (Sumber: https://planetsuperhero.wordpress.com/)
Gambar 2.4. Cover komik “Panji!” karya Fachreza Octavio dan L.S.S.
+2

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Adapun aspek-aspek yang diteliti adalah Capital Adequancy Ratio (CAR), Return On Asset (ROA), Return On Equity (ROE), Net Perfoming Loan (NPL), Net Interst Margin

Abstrak: Kajian deskriptif ini adalah bertujuan untuk mengenal pasti kesediaan belajar pelajar dalam mata pelajaran vokasional di sekolah harian luar bandar di

Faktor hukumnya, maksudnya dalam hal kaitannya mengenai undang- undang yang berlaku di Indonesia yang semakin beragam bentuk serta tujuannya dan hampir dalam kehidupan

Jumlah badan buah jamur terbanyak terdapat pada perlakuan P2 hal ini disebabkan pada perlakuan tersebut unsur fosfor yang diberikan sesuai dengan yang dibutuhkan

 Perubahan dalam ukuran  Perubahan dalam proporsi  Hilangnya ciri-ciri masa lalu.  Perolehan ciri-ciri

Penelitian ini bersifat survei analitik dengan desain penelitian cross sectional , yaitu suatu penelitian yang mempelajari hubungan antara faktor risiko (independen)

Pembantu Dekan III, KTU dan Kasubag Kemahasiswaan membuat rencana penggunaan dana Potmatek tiap-tiap semester sesuai dengan alokasi penggunaan yang telah ditetapkan