• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Etika Imanuel Kant

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pemikiran Etika Imanuel Kant"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Pemikiran Etika Kant

Immanuel Kant(1724-1804) adalah seorang filsuf besar Jerman abad ke-18 yang memiliki pengaruh sangat luas bagi dunia intelektual. Pengaruh pemikirannya merambah dari wacana metafisika hingga etika politik dan dari estetika hingga teologi. Lebih dan itu, dalam wacana etika ia juga mengembangkan model filsafat moral baru yang secara mendalam mempengaruhi epistemologi selanjutnya.

Telaah atas pemikiran Kant merupakan kajian yang cukup rumit, sedikitnya karena dua alasan. Pertama, Kant membongkar seluruh filsafat sebelumnya dan membangunnya secara baru sama sekali. Filsafatnya itu oleh Kant sendiri disebut Kritisisme untuk melawankannya dengan Dogmatisme. Dalam karyanya berjudul Kritik der reinen Vernunft (Kritik Akal Budi Murni, 1781/1787) Kant menanggapi, mengatasi, dan membuat sintesa antara dua arus besar pemikiran modern, yakni Empirisme dan Rasionalisme. Revolusi filsafat Kant ini seringkali

diperbandingkan dengan revolusi pandangan dunia Copernicus, yang mematahkan pandangan bahwa bumi adalah datar.

Kedua, sumbangan Kant bagi Etika. Dalam Metaphysik der Sitten (Metafisika Kesusilaan, 1797), Kant membuat distingsi antara legalitas dan moralitas, serta membedakan antara sikap moral yang berdasar pada suara hati (disebutnya otonomi) dan sikap moral yang asal taat pada peraturan atau pada sesuatu yang berasal dan luar pribadi (disebutnya heteronomi).

Kant lahir pada 22 April 1724 di Konigsberg, Prussia Timur (sesudah PD II dimasukkan ke Uni Soviet dan namanya diganti menjadi Kaliningrad). Berasal dan keluarga miskin, Kant memulai pendidikan formalnya di usia delapan tahun pada Collegium Fridericianum. Ia seorang anak yang cerdas. Karena bantuan sanak saudaranyalah ia berhasil menyelesaikan studinya di Universitas Konigsberg. Selama studi di sana ia mempelajari hampir semua matakuliah yang ada. Untuk mencari nafkah hidup, ia sambil bekerja menjadi guru pribadi (privatdozen) pada beberapa keluarga kaya.

Pada 1775 Kant rnemperoleh gelar doktor dengan disertasi benjudul “Penggambaran Singkat dari Sejumlah Pemikiran Mengenai Api” (Meditationum quarunsdum de igne succinta delineatio). Sejak itu ia mengajar di Univensitas Konigsberg untuk banyak mata kuliah, di antaranya metafisika, geografi, pedagogi, fisika dan matematika, logika, filsafat, teologi, ilmu falak dan mineralogi. Kant dijuluki sebagai “der schone magister” (sang guru yang cakap) karena cara mengajarnya yang hidup bak seorang orator.

(2)

Pada Maret 1770, ia diangkat menjadi profesor logika dan metafisika dengan disertasi Mengenai Bentuk dan Azas-azas dari Dunia Inderawi dan Budiah (De mundi sensibilis atgue intelligibilis forma et principiis). Kant meninggal 12 Februari 1804 di Konigsberg pada usianya yang kedelapanpuluh tahun. Karyanya tentang Etika mencakup sebagai berikut: Grundlegung zur Metaphysik der Sitten (Pendasaran Metafisika Kesusilaan, 1775), Kritik der praktischen Vernunft (Kritik Akal Budi Praktis, 1 778), dan Die Metaphysik der Sitten (Metafisika Kesusilaan, 1797).

Pemikiran Kant tentang Moral

Deontologi berasal dari kata Yunani “deon” yang berarati apa yang harus dilakukan, kewajiban. Pemikiran ini dikembangkan oleh filosof Jerman,Immanuel Kant (1724- 1804). Sistem etika selama ini yang menekankan akibat sebagai ukuran keabsahan tindakan moral dikritik habis-habisan oleh Kant. Kant memulai suatu pemikiran baru dalam bidang etika dimana ia melihat tindakan manusia absah secara moral apabila tindakan tersebut dilakukan berdasarkan kewajiban (duty) dan bukan akibat. Menurut Kant, tindakan yang terkesan baik bisa bergeser secara moral apabila dilakukan bukan berdasarkan rasa kewajiban melainkan pamrih yang dihasilkan.

Perbuatan dinilai baik apabila dia dilakukan semata-mata karena hormat terhadap hukum moral, yaitu kewajiban.

Kant membedakan antara imperatif kategoris dan imperatif hipotetis sebagai dua perintah moral yang berbeda. Imperatif kategoris merupakan perintah tak bersyarat yang mewajibkan begitu saja suatu tindakan moral sedangkan imperatif hipotesis selalu mengikutsertakan struktur “jika.. maka.. “. Kant menganggap imperatif hipotetis lemah secara moral karena yang baik direduksi pada akibatnya saja sehingga manusia sebagai pelaku moral tidak otonom (manusia bertindak semata-mata berdasarkan akibat perbuatannya saja). Otonomi manusia hanya dimungkinkan apabila manusia bertindak sesuai dengan imperatif kategoris yang mewajibkan tanpa syarat apapun. Perintah yang berbunyi “lakukanlah” (du sollst!). Imperatif kategoris menjiwai semua perbuatan moral seperti janji harus ditepai, barang pinjaman harus dikembalikan dan lain sebagainya. Imperatif kategoris bersifat otonom (manusia menentukan dirinya sendiri) sedangkan imperati hipotetis bersifat heteronom (manusia membiarkan diri ditentukan oleh faktor dari luar seperti kecenderungan dan emosi).

Berkenaan dengan pemikiran deontologinya, Kant mengemukakan duktum moralnya yang cukup terkenal: “bertindaklah sehingga maxim (prinsip) dari kehendakmu dapat selalu, pada saat yang sama, diberlakukan sebagai prinsip yang menciptakan hukum universal. Contoh tindalah moral “jangan membunuh” adalahbesar secara etis karena pada saat yang sama dapat

diunverasalisasikan menjadi prinsip umum, (berlaku untuk semua orang dimana saja kapan saja). Etika Immanuel Kant (1724-1804) diawali dengan pernyataan bahwa satu-satunya hal baik tyang

(3)

tak terbatasi dan tanpa pengecualian adalah “kehendak baik”. Sejauh orang berkehendak baik maka orang itu baik, penilaian bahwa sesorang itu baik sama sekali tidak tergantung pada hal-hal diluar dirinya, tak ada yang baik dalam dirinya sendiri kecuali kehendak baik. Wujud dari kehendak baik yang dimiliki seseorang adalah bahwa ia mau menjalankan Kewajiban. Setiap tindakan yang kita lakukan adalah untuk menjalankan kewajiban sebagai hokum batin yang kita taati, tindakan itulah yang mencapai moralitas, demikian menurut Kant. Kewajiban menurutnya adalah keharusan tindakan demi hormat terhadap hukum, tidak peduli apakah itu membuat kita nyaman atau tidak, senang atau tidak, cocok atau tidak, pokoknya aku wajib menaatinya. Ketaatanku ini muncul dari sikap batinku yang merupakan wujud dari kehendak baik yang ada didalam diriku. Menurut Kant ada tiga kemungkinan seseorang menjalankan kewajibannya, Pertama, ia memenuhi kewajiban karena hal itu menguntungkannya. Kedua, Ia memenuhi kewajibannya karena ia terdorong dari perasaan yang ada didalam hatinya, misalnya rasa kasihan. Ketiga, Ia memenuhi kewajibannya kerena kewajibannya tersebut, karena memang ia mau memenuhi kewajibannya. Tindakan yang terakhir inilah yang menurut Kant merupakan tindakan yang mencapai moralitas. Lalu Kant membedakan dua hal antara Legalitas dan

Moralitas. Legalitas adalah pemenuhan kewajiban yang didorong oleh kepentingan sendiri atau oleh dorongan emosional.

Sedang Moralitas adalah Pemenuhan kewajiban yang didorong oleh keinginan memenuhi kewajiban yang muncul dari kehendak baik dari dalam diri. Selanjutnya Kant menjabarkan criteria kewajiban moral, landasan epistemologinya bahwa tindakan moral manusia merupakan apriori akal budi praktis murni yang mana sesuatu yang menjadi kewajiban kita tidak didasarkan pada realitas empiris, tidak berdasarkan perasaan, isi atau tujuan dari tindakan. Kriteria

kewajiban moral ini menurut Kant adalah Imperatif Kategoris. Perintah Mutlak demikian istilah lain dari Imperatif Kategoris, ia berlaku umum selalu dan dimana-mana, bersifat universal dan tidak berhubungan dengan tujuan yang mau dicapai. Dalam arti ini perintah yang dimaksudkan adalah perintah yang rasional yang merupakan keharusan obyektif, bukan sesuatu yang

berlawanan dengan kodrat manusia, misalnya “kamu wajib terbang !”, bukan juga paksaan, melainkan melewati pertimbangan yang membuat kita menaatinya. Ada tiga Rumusan Imperatif kategoris menurut Kant, Pertama, “ Bertindaklah semata-mata menurut menurut maksim yang dapat sekaligus kau kehendaki menjadi hokum umum”.

Kata Maksim artinya adalah prinsip subyektif dalam melakukan tindakan. Maksim ini yang kemudian menjadi dasar penilaian moral terhadap tindakan seseorang, apakah tindakan moral yang berdasarkan maksimku dapat diuniversalisasikan, diterima oleh orang lain dan menjadi hokum umum?. Prinsip penguniversalisasian ini adalah ciri hakiki dari kewajiban moral. Rumusan kedua adalah “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau memperlakukan manusia entah didalam personmu atau didalam person orang lain sekaligus sebagai tujuan pada dirinya sendiri bukan semata-mata sebagai sarana belaka”. Maksudnya bahwa segala tindakan moral dan kewajiban harus menjunjung tinggi penghormatan terhadap person. Dua rumusan diatas tidak dapat berlaku jika tidak ada rumusan yang ketiga ini yaitu otonomi kehendak, tanpa

(4)

otonomi kehendak, manusia tidak dapat bertindak sesuai dengan rumusan Imperatif Kategoris. Moralitas menurut Kant merupakan implikasi dari tiga Postulat antara lain; Kebebasan kehendak manusia, immortalitas jiwa dan Eksistensi Allah. Kehendak bebas manusia merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal karena terimplikasi langsung dalam kesadaran moral. Immortalitas jiwa menyatakan bahwa kebahagiaan tertinggi manusia tidak munggkin dicapai didunia tapi dikehidupan nanti. Dan Keberadaan Allah yang menjamin bahwa pelaksanaan kewajiban moral manusia akan merasakan ganjarannya dikemudian hari berupa kebahagiaan sejati. Ketiganya itu disebut Kant sebagai “Postulat” yaitu suatu kenyataan yang sungguh ada dan harus diterima, dan tidak perlu dibuktikan secara teoritis, ini merupakan hasil penyimpulan akal budi praktis atas moral manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Magnis-Suseno, Franz. 1997. 13 Tokoh Etika. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Kant, Immanuel. 2005. Kritik Atas Akal Budi Praktis. Diterjemahkan dari judul Critique of Practical Reason (1956) oleh Nurhadi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Bagus, Loren, Kamus Filsafat, PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2002.

Budi Hardiman, F, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, PT Gramedia Pustaka utama, 2007.

Magnis-Suseno, Franz, 13 Tokoh Etika, Sejak Zaman Yunani sampai abad 19, Penerbit Kanisius Yogyakarta, 1997.

Standford Encyclopedia of Philosophy on-line, Kant’s Moral Philosophy, http://plato.stanford.edu

Immanuel Kant adalah filsuf modern yang paling berpengaruh. Pendirian aliran rasionalisme dan empirisme sangat bertolak belakang. Rasionalisme berpendirian bahwa rasio merupakan sumber pengenalan atau pengetahuan, sedangkan empirisme berpendirian sebaliknya bahwa pengalaman menjadi sumber tersebut. Tokoh utama Kritisisme adalah Immanuel kant yang melahirkan Kantianisme. Kant kerap dipandang sebagai tokoh paling menonjol dalam bidang filsafat setelah era yunani kuno.

Perpaduannya antara rasionalisme dan empirisme yang ia sebut dengan kritisisme, ia mengatakan bahwa pengalaman kita berada dalam bentuk-bentuk yang ditentukan oleh perangkat indrawi kita, maka hanya dalam bentuk-bentuk itulah kita menggambarkan eksitensi segala hal. Kant dengan pemikirannya membangun pemikiran baru, yakni yang disebut denagan kritisisme yang dilawankan terhadap seluruh filsafat

(5)

ditolaknya sebagai dogmatism. Artinya, filsafat sebelum dianggap kant domatis karena begitu saja kemampuan rasio manusia dipercaya, padahal batas rasio harus diteliti dulu .

Yang dimaksud dengan dogmatisme adalah filsafat yang mendasarkan pandangannya kepada pengertian Allah atau subtansi, tanpa menghiraukan rasio telah memiliki

pengertian tentang hakekatnya sendiri, luas dan batas kemampuannya. Filsafat bersifat dogmatis menerima kebenaran-kebenaran asasi agama dan dasar ilmu pengetahuan begitu saja, tanpa mempertanggungjawabkan secara kritis. Dogmatisme menganggap pengenalan obyektif sebagai hal yang sudah sendirinya. Sikap demikian, menurut Kant adalah salah. Orang harus bertanya: “bagaimana pengenalan obyektif (itu) mungkin?”. Oleh karena itu penting sekali menjawab pertanyaan mengenai syarat-syarat

kemungkinan adanya pengenalan dan batas batas pengenalan itu. Filsafat kant disebut dengan kritisisme. Itulah sebab ketiga karyanya yang besar disebut “kritik”, yaitu kritik der reinen vernunft, atau kritik atas rasio murni (1781), kritik der praktischen vernunft, atau kritik atas rasio praktis (1788) dan kritik der urteilskraft, atau kritik atas daya pertimbangan (1790).

Pendirian aliran rasionalisme dan empirisme sangat bertolak belakang. Rasionalisme berpendirian bahwa rasio merupakan sumber pengenalan atau pengetahuan,

sedangkan empirisme berpendirian sebaliknya bahwa pengalaman menjadi sumber tersebut. Tokoh utama Kritisisme adalah Immanuel kant yang melahirkan

Kantianisme.Immanuel Kant (1724-1804 M) berusaha mengadakan penyelesaian atas pertikaian itu dengan filsafatnya yang dinamakan Kritisisme (aliran yang kritis). Untuk itulah, ia menulis tiga bukunya berjudul : Kritik der Reinen Vernunft (kritik atas rasio murni), Kritik der Urteilskraft (kritik daya pertimbangan). Kritisisme adalah aliran yang lahir dari pemikiran Immanuel Kant yang terbentuk sebagai ketidakpuasan atas aliran rasionalisme dan empirisme.

Biografi

Immanuel Kant dilahirkan pada tahun 1724 di Königsberg dari pasangan Johann Georg Kant, seorang ahli pembuat baju zirah (baju besi), dan Anna Regina Kant.Ayahnya kemudian dikenal sebagai ahli perdagangan, namun di tahun 1730-1740,

(6)

ayahnya dan membuat keluarga mereka hidup dalam kesulitan.Ibunya meninggal saat Kant berumur 13 tahun, sedangkan ayah Kant meninggal saat dia berumur hampir 22 tahun. Pendidikan dasarnya ditempuh Kant di Saint George’s Hospital School,

kemudian dilanjutkan ke Collegium Fredericianum, sebuah sekolah yang berpegang pada ajaran Pietist.

Keluarga Kant memang penganut agama Pietist, yaitu agama di jerman yang

mendasarkan keyakinannya pada pengalaman religius dan studi kitab suci. Pada tahun 1740, Kant menempuh pendidikan di University of Königsberg dan mempelajari tentang filosofi, matematika, dan ilmu alam. Untuk meneruskan pendidikannya, dia bekerja sebagai guru privat selama tujuh tahun dan pada masa itu, Kant mempublikasikan beberapa naskah yang berkaitan dengan pertanyaan ilmiah. Pada tahun 1755-1770, Kant bekerja sebagaidosen sambil terus mempublikasikan beberapa naskah ilmiah dengan berbagai macam topik. Gelar profesor didapatkan Kant di Königsberg pada tahun 1770.

Pemikiran Immanuel Kant

Perkembangan pemikiran kant mengalami empat periode;

1. Periode pertama ialah ketika ia masih dipengaruhi oleh Leibniz Wolf, yaitu samapi tahun 1760. Periode ini sering disebut periode rasionalistik 2. Periode kedua berlangsung antara tahun 1760 – 1770, yang ditandai

dengan semangat skeptisisme. Periode ini sering disebut periode empiristik

3. Periode ketiga dimulai dari inaugural dissertation-nya pada tahun 1770. Periode ini bisa dikenal sebagai tahap kritik.

4. Periode keempat berlangsung antara tahun 1790 sampai tahun 1804. Pada periode ini Kant megnalihkan perhatiannya pada masalah religi dan problem-problem sosial. Karya Kant yang terpenting pada periode

keempat adalah Religion within the Limits of Pure Reason (1794) dan sebuah kumpulan esei berjudulEternal Peace (1795).

Immanuel Kant adalah filsuf yang hidup pada puncak perkembangan “Pencerahan”, yaitu suatu masa dimana corak pemikiran yang menekankan kedalaman unsur

rasionalitas berkembang dengan pesatnya. Pada masa itu lahir berbagai temuan dan paradigma baru dibidang ilmu, dan terutama paradigma ilmu fisika alam. Heliosentris

(7)

temuan Nicolaus Copernicus (1473 – 1543) di bidang ilmu astronomi yang

membutuhkan paradigma geosentris, mengharuskan manusia mereinterpretasikan pandangan duniannya, tidak hanya pandangan dunia ilmu tetapi juga keagamaan.

Selanjutnya ciri kedua adalah apa yang dikenal dengan deisme, yaitu suatu paham yang kemudian melahirkan apa yang disebut Natural Religion (Agama alam) atau agama akal. Deisme adalah suatu ajaran yang mengakui adanya yang menciptakan alam semesta ini. Akan tetapi setelah dunia diciptakan, Tuhan menyerahkan dunia kepada nasibnya sendiri. Sebab ia telah memasukkan hukum-hukum dunia itu ke dalamnya. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan hukum-hukumnya. Manusia dapat menunaikan tugasnya dalam berbakti kepada Tuhan dengan hidup sesuai dengan hukum-hukum akalnya.

Maksud paham ini adalah menaklukkan wahyu ilahi beserta degan

kesaksian-kesaksiannya, yaitu buku-buku Alkitab, mukjizat, dan lain-lain kepada kritik akal serta menjabarkan agama dari pengetahuan yang alamiah, bebas dari pada segala ajaran Gereja. Singkatnya, yang dipandang sebagai satu-satunya sumber dan patokan

kebenaran adalah akal. Kant berusaha mencari prinsip-prinsip yang ada dalam tingkah laku dan kecenderungan manusia. Inilah yang kemudian menjadi kekhasan pemikiran filsafat Kant, dan terutama metafisikanya yang dianggap benar-benar berbeda sama sekali dengan metafisikan pra kant.

Pengaruh Leibniz dan Hume

Leibniz-Wolf dan Hume merupakan wakil dari dua aliran pemikiran filosofis yang kuat melanda Eropa pada masa Pencerahan. Leibniz tampil sebagai tokoh penting dari aliran empirisisme. Di sini jelas, bahwa epistemologi ‘ala Leibniz bertentangan dengan epistemologi Hume. Leibniz berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasionya saja, dan bukan pengalaman. Dari sumber sejati inilah bisa diturunkan

kebenaran yang umum dan mutlak. Sedangkan Hume megnajarkan bahwa

pengalamanlah sumber pengetahuan itu. Pengetahuan rasional mengenai sesuatu terjadi setelah itu dialami terlebih dahulu.

(8)

Epistemologi Kant, Membangun dari Bawah

Filsafat Kant berusaha mengatasi dua aliran tersebut dengan menunjukkan unsur-unsur mana dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang terdapat dalam akal. Kant menyebut perdebatan itu antinomy, seakan kedua belah pihak merasa benar sendiri, sehingga tidak sempat memberi peluang untuk munculnya alternatif ketiga yang barangkali lebih menyejukkan dan konstruktif. Mendapatkan inspirasi dari “Copernican Revolution”, Kant mengubah wajah filsafat secara radikal, dimana ia memberikan filsafatnya, Kant tidak mulai dengan penyeledikan atas benda-benda yang memungkinkan mengetahui benda-benda-benda-benda sebagai objek. Lahirnya

pengetahuan karena manusia dengan akalnya aktif mengkonstruksi gejala-gejala yang dapat ia tangkap.

Kant mengatakan: Akal tidak boleh bertindak seperti seroang mahasiswa yang Cuma puas dengan mendengarkan keterangan-keterangan yang telah dipilihkan oleh dosennnya, tapi hendaknya ia bertindak seperti hakim yang bertugas menyelidiki perkara dan memaksa para saksi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia sendiri telah rumuskan dan persiapkan sebelumnya. Upaya Kant ini dikenal dengan kritisisme atau filsafat kritis, suatu nama yang diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan kritik atas rasio murni, lalu kritik atas rasio praktis, dan terakhir adalah kritik atas

daya pertimbangan.

Kritik atas Rasio Murni

Dalam kritik ini, atara lain kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak dan memberi pengertian baru. Untuk itu ia terlebih dulu membedakan adanya tiga macam putusan, yaitu:

a. Putusan analitis apriori; dimana predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (msialnya, setiap benda menempati ruang).

b. Putusan sintesis aposteriori, misalnya pernyataan “meja itu bagus” di sini predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan

(9)

setelah (=post, bhs latin) mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui.

c. Putusan sintesis apriori; disini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis, namun bersifat apriori juga. Misalnya, putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya”.

Tiga tingkatan pengetahuan manusia, yaitu:

a.Tingkat Pencerapan Indrawi (Sinneswahrnehmung)

Unsur apriori, pada taraf ini, disebut Kant dengan ruang dan waktu. Dengan unsur apriori ini membuat benda-benda objek pencerapan ini menjadi ‘meruang’ dan ‘mewaktu

b.Tingkat Akal Budi (Verstand)

Bersamaan dengan pengamatan indrawi, bekerjalah akal budi secara spontan. Tugas akal budi adalah menyusun dan menghubungkan data-data indrawi, sehingga

menghasilkan putusan-putusan. Pengetahuan akal budi baru dieroleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi tadi dengan bentuk-bentuk apriori yang dinamai Kant dengan ‘kategori’, yakni ide-ide bawaan yang mempunyai fungsi epistemologis dalam diri manusia.’.

c.Tingkat intelek / Rasio (Versnunft)

Idea ini sifatnya semacam ‘indikasi-indikasi kabur’, petunjuk-petunjuk buat pemikiran (seperti juga kata ‘barat’ dan ‘timur’ merupakan petunjuk-petunjuk; ‘timur’ an sich tidak pernah bisa diamati). Tugas intelek adalah menarik kesimpulan dari

pernyataan-pernyataan pada tingkat dibawahnya, yakni akal budi(Verstand) dan tingkat pencerapan indrawi (Senneswahnehmung). Dengan kata lain, intelek dengan idea-idea

argumentatif.

Kendati Kant menerima ketiga idea itu, ia berpendapat bahwa mereka tidak bisa diketahui lewat pengalaman. Karena pengalaman itu, menurut kant, hanya terjadi di dalam dunia fenomenal, padahal ketiga Idea itu berada di dunia noumenal

(10)

(dari noumenan = “yang dipikirkan”, “yang tidak tampak”, bhs. Yunani), dunia gagasan, dunia batiniah. Idea mengenai jiwa, dunia dan Tuhan bukanlah pengertian-pengertian tentang kenyataan indrawi, bukan “benda pada dirinya sendiri” (das Ding an Sich).

Kritik atas Rasio Praktis

Maxime (aturan pokok) adalah pedoman subyektif bagi perbuatan orang perseorangan (individu), sedangkanimperative (perintah) merupakan azas kesadaran obyektif yang mendorong kehendak untuk melakukan perbuatan. Imperatif berlaku umum dan niscaya, meskipun ia dapat berlaku dengan bersyarat (hypothetical)atau dapat juga tanpa syarat (categorical). Imperatif kategorik tidak mempunyai isi tertentu apapun, ia merupakan kelayakan formal (=solen). Menurut kant, perbuatan susila adalah

perbuatan yang bersumber paa kewajiban dengan penuh keinsyafan. Keinsyafan terhadap kewajiban merupakan sikap hormat (achtung).Sikap inilah penggerak sesungguhnya perbuatan manusia. Kant, ada akhirnya ingin menunjukkan bahwa kenyataan adanya kesadaran susila mengandung adanya praanggapan dasar. Praanggapan dasar ini oleh Kant disebut “postulat rasio praktis”, yaitu kebebasan kehendak, immortalitas jiwa dan adanya Tuhan.

Pemikiran etika ini, menjadikan Kant dikenal sebagai pelopor lahirnya apa yang disebut dengan “argumen moral” tentang adanya Tuhan. Sebenarnya, Tuhan dimaksudkan sebagai postulat. Sama dengan pada rasio murni, dengan Tuhan, rasio praktis ‘bekerja’ melahirkan perbuatan susila.

Kritik atas Daya Pertimbangan

Kritik atas daya pertimbangan, dimaksudkan oleh Kant adalah mengerti persesuaian kedua kawasan itu. Hal itu terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Inilah yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam.

(11)

Idealisme Transedental: Sebuah Konsekuensi

Tidak mudah memahami kant, terutama ketika sampai pada teorinya: realisme empirikal (Empirical realism)dan Idealisme transendental (transendental

idealism), Istilah “transenden” berhadapan dengan istilah ‘empiris’, dimana keduanya sama-sama merupakan term epistemologis, namun sudah tentu mengandung maksud yang berbeda; yang pertama berartiindependent dari pengalaman (dalam arti

transenden), sedang yang terakhir disebut berarti imanen dalam pengalaman. Begitu saja “realisme” yang berlawanan dengan “idealisme”, adalah dua istilah ontologis yang masing-masing bermakna: “lepas dari eksistensi subyek” (independet of my

existance) dan “bergantung pada eksistensi subyek” (dependent of my existence).

Teori Kant ini mengingatkan kita kepada filsuf Berkeley dan Descartes. Berkeley tentu seorang empirisis, tetapi ia sekaligus muncul sebagai seroang idealis. Sementara Descartes bisa disebut seorang realis karena ia percaya bahwa eksistensi obyek itu, secara umum, independen dari kita, tetapi ia juga memahami bahwa kita hanya mengetahui esensinya melalui idea bawaaninnate ideas) secara “clear and distinct”, bukan melalui pengalaman. Inilah yang kemudian membuat Descartes sebagai seorang “realis transendental”.

KESIMPULAN

Kritisisme Immanuel Kant sebenarnya telah memadukan dua pendekatan dalam pencarian keberadaan sesuatu yang juga tentang kebenaran substansial dari sesuatu itu. Kant seolah-olah mempertegas bahwa rasio tidak mutlak dapat menemukan kebenaran, karena rasio tidak membuktikan, demikian pula pengalaman, tidak dapat dijadikan melulu tolak ukur, karena tidak semua pengalaman benar-benar nyata, tapi “tidak-real”, yang demikian sukar untuk dinyatakan sebagai kebenaran.

Melalui pemahaman tersebut, rasionalisme dan empirialisme harusnya bergabung agar melahirkan suatu paradigm baru bahwa kebenaran empiris harus rasional sebagaimana kebenaran rasional harus empiris.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu. Jogjakarta: Belukar, 2004.

S.Praja.Juhaya,Aliran-aliran filsafat dan etika.Cet II;Jakarta:Prenada Media 2005.

Akhmadi,Asmoro,Filsafat Umum. Cet V; Jakarta: RajaGrafindoPersada.2003.

ilihat dari riwayat hidupnya, Immanuel Kant adalah seseorang yang sederhana. Selama hidupnya Kant menetap di Prusia dan mengalami masa peperangan tujuh tahun sewaktu Rusia menaklukkan Prusia

Timur. Ia juga hidupdalam masa revolusi Perancis dan masa kejayaan Napoleon.

Selama hidupnya jarang sekali ia bepergian lebih dari 70 km dari tempat tinggalnya. Immanuel Kant dilahirkan di Koenigsberg, suatu kota di Prusia Timur, Jerman pada tanggal 22 April 1724, dari keluarga pembuat dan penjual alat-alat dari kulit untuk keperluan menunggang kuda. Semula namanya ditulis dengan Cant, tetapi karena adanya perubahan ejaan yang menentukan bahwa huruf C juga dibaca seperti S, maka untuk tidak membuat meragukan orang yangmengenalnya, nama itu ditulis seperti yang dikenal orang sekarang. Perubahan itu telah terjadi pada zaman neneknya. Perhatian bagi hal-hal kecil semacam itu antara lain yang mempengaruhi sikap hidup Kant yang serba teliti lebih-lebih dalam hal pembagian waktu, sampai ia terkenal sebagai seorang profesor yang bekerja menurut waktu yang telah ditentukannya.

Kehidupannya sebagai filsuf di bagi dalam dua periode: zaman pra-kritis dan zaman kritis. Pada zaman pra-kritis ia menganut pendirian rasionalis yangdilancarkan oleh Wolft. Tetapi karena terpengaruh oleh Hume berangsur-angsur Kant meninggalkan rasionalisme. Ia sendiri mengatakan bahwa Hume itulah yang membangunkannya dari tidur dogmatisnya. Pada zaman kritisnya, kant merubah wajah filsafatnya secara radikal. Ia menanamkan filsafatnya sekaligus mempertanggungkannya dengan dogmatisme.

Tiga Pokok Pemikiran Immanuel Kant

Immanuel Kant seorang filsuf termasyhur dari Jerman memiliki tiga pokok pemikiran yang harus diketahui terlebih dahulu, dikarenakan pemikirannya begitu original dan terlihat berbeda dari pemikiran para filsuf sebelumnya terutama berangkat dari filsuf Inggris bernama David Hume. Berikut ini pokok pemikirnnya:

1. Panca indera, akal budi dan rasio. Kita sudah tahu tentang arti empirisme yang mementingkan pengalaman inderawi dalam memperoleh pengetahuan dan rasionalisme yang mengedepankan

(13)

penggunaan rasio dalam memperoleh pengetahuan, tetapi rasio yang kita ketahui adalah sama dengan akal dan logis, namun Kant memberi definisi berbeda. Pada Kant istilah rasio memiliki arti yang baru, bukan lagi sebagai langsung kepada pemikiran, tetapi sebagai sesuatu yang ada “di belakang” akal budidan pengalaman inderawi. Dari sini dapat dipilah bahwa ada tiga unsur yaitu akal budi (Verstand), rasio (Vernunft) dan pengalaman inderawi.

2. Dalam filsafatnya Kant mencoba untuk mensinergikan antara rasionalisme dan empirisme. Ia bertujuan untuk membuktikan bahwa sumber pengetahuan itu diperoleh tidak hanya dari satu unsur saja melainkan dari dua unsur yaitu pengalaman inderawi dan akal budi. Pengetahuan a-priori merupakan jenis pengetahuan yang datang lebih dulu sebelum dialami, seperti misalnya pengetahuan akan bahaya, sedankan a-posteriori sebaliknya yaitu dialami dulu baru mengerti misalnya dalam menyelesaikan Rubix Cube. Kalau salah satunya saja yang dipakai misalnya hanya empirisme saja atau rasionalisme saja maka pengetahuan yang diperoleh tidaklah sempurna bahkan bisa berlawanan. Filsafat Kant menyebutkan bahwa pengetahuan merupakan gabungan (sintesis) antara keduanya.

3. Dari sini timbullah bahwa Kant adalah seorang Kopernikan dalam bidang filsafat. Sebelum Kant, filsafat hampir selalu memandang bahwa orang (subjek) yang mengamati objek, tertuju pada objek, penelitian objek dan sebagainya. Kant memberikan arah yang sama sekali baru, merupakan kebalikan dari filsafat sebelumnya yaitu bahwa objeklah yang harus mengarahkan diri kepada subjek. Kant dapat dikatakan sebagai seorang revolusioner karena dalam ranah Filsafat Immanuel Kant pengetahuan ia tidak memulai pengetahuan dari objek yang ada tetapi dari yang lebih dekat terlebih dahulu yaitu si pengamat objek (subjek). Dengan ini tambah lagi salah satu fungsi filsafat yaitu membongkar pemikiran yang sudah dianggap mapan dan merekonstruksikannya kembali menjadi satu yang fresh, logis, dan berpengaruh.

Pemikiran Kritisisme Immanuel Kant Filsafat yang dikenal dengan kritisisme adalah filsafat yang diintrodusir oleh Immanuel kant. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Perkembangan ilmu Immanuel Kant mencoba untuk menjebatani pandangan Rasionalisme dan Empirisisme, teori dalam aliran filsafat Kritisisme adalah sebuah teori pengetahuan yang berusaha untuk mempersatukan kedua macam unsur dari filsafat Rasionalisme dan disini kekuatan kritis filsafat sangatlah penting, karena ia bisa menghindari kemungkinan ilmu pengetahuan menjadi sebuah dogma. Filsafat ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Oleh karena itu, kritisisme sangat berbeda dengan corak filsafat modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak. Isi utama dari kritisisme adalah gagasan Immanuel Kant tentang teori pengetahuan, etika dan estetika. Gagasan ini muncul karena adanya pertanyaan-pertanyaan mendasar yang timbul pada pemikiran Immanuel Kant. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Apakah yang dapat kita ketahui? 2. Apakah yang boleh kita lakukan? 3. Sampai di manakah pengharapan kita?

(14)

4. Apakah manusia itu?

Ciri-ciri kritisisme dapat disimpulkan dalam tiga hal:

1. Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjekdan bukan pada objek. 2. Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat

sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.

3. Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsur anaximanesa priori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.

Selain beberapa hal terebut di atas Immanuel Kant terkenal dengan 12 Kategori Kant. Apa saja yang termasuk, berikut ini adalah 12 kategori Kant:

1. Unitas 2. Pluralitas 3. Tolalitas 4. Realitas 5. Negasi 6. Pembatasan

7. Inheren dan Penghidupan (Substansi dan Aksiden) 8. Kausalitas dan Ketergantungan ( Sebab dan Akibat) 9. Pertukaran antara komunitas antara Agen dan Pasien 10. Kemungkinan – kemustahilan

11. Eksistensi dan Noneksistensi 12. Pendelegasian kepentingan Biografi Immanuel Kant

Immanuel Kant adalah filsuf kelahiran Jerman, tepatnya di Konigsberg, sebuah kota kecil di Prusia Timur pada 22 April 1724, dan meninggal di Konigsber pada 12 februari 1804 tepat dengan usianya yang ke 79 tahun. Dia lahir dari pasangan Johan Georg Kant dan Anna Regina

(15)

Kant. Ibunya meninggal saat Kant berumur 13 tahun, sedangkan ayah Kant meninggal saat dia berumur hampir 22 tahun. Keluarga Kant penganut agama Pietisme, yaitu agama di Jerman yang mendasarkan keyakinannya pada kesalehan pribadi, pengalaman religius dan studi kitab suci. Pada tahun 1732 Pendidikan yang ditempuh Kant di Saint George's Hospital School, kemudian dilanjutkan ke Collegium Fredericianum, sebuah sekolah yang berpegang pada ajaran Pietisme. Disinilah kecerdasan yang luar biasa dan keiginan untuk terus belajar mulai terganggu akibat terlalu banyak nasihat-nasihat religious yang dia dengar.

Pada tahun 1742 (usia 18 tahun), Kant memasuki universitas Koinsberg sebagai mahasiswa teologi. Tetapi Kant menjadi sangat bosan dengan teologi, dan menunjukan minatnya pada matematika dan fisika. Awal ketertarikannya pada matemaika dan fisika ketika dia membaca buku Newton hingga terbukalah matanya pada ilmu pengetahuan dan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan yang diungkapkan dalam buku Newton, mulai dari Astronomi hingga Zoology (ilmu alam). Kant juga membaca karya Leizbin, dari sini Kant memandang peran kemanusiaan yang tidak semata-mata di dalam alam belaka, melainkan jauh dari itu, kemanusiaan berperan melampaui apa yang menjadi tujuan utama dari alam semesta. Selanjutnya ia membaca karya-karya David Hume, seorang filsuf dari Skotlandia. Kant sangat terkesan pada kekukuhan David Hume yang mempercayai bahwa pengalaman adalah basis bagi semua pengetahuan.

Pada tahun 1755-1770, Kant bekerja sebagai dosen di Universitas Konigsberg, Kant memberikan kuliah di bidang matematika dan fisika, serta mempublikasikan beberapa naskah ilmiah dengan berbagai macam topik. Mata kuliah itu dibinanya lebih dari 40 tahun, bahkan disamping mata kuliah itu, ia juga memberikan mata kuliah lain, diantaranya adalah geografi, antropolgi, teologi, dan filsafat moral.

Tahun 1770 Kant terpilih menjadi profesor ilmu logika dan metafisika di Königsberg, jabatan itu dipegangnya sampai ia meninggal. Sejak tahun 1766 ia menjadi asisten perpustakaan.

B. Filsafat menurut Kant

Imanuel Kant mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan. Menurut Kant ada empat hal yang dikaji dalam filsafat yaitu: apayang dapat manusia ketahui? (metafisika), apa yang seharusnya diketahui manusia? (etika), sampai dimana harapan manusia ( agama) dan apakah manusia itu? (antropologi). Defenisi Filsafat ini mempengaruhi semua pemikiran Imamuel Kant.

C. Pemikiran Kant tentang Moralitas

Menurut Imamnuel kant moralitas (Moralitat/Sittlichkeit) adalah kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma atau hukum batiniah, yakni apa yang di pandang sebagai kewajiban. Moralitas akan tercapai apabila mentaati hukum lahiriah bukan lantaran hal itu membawa akibat yang

(16)

menguntungkan atau lantaran takut pada kuasa sang pemberi hukum, melainkan menyadari sendiri bahwa hukum itu merupakan kewajiban.

Moralitas yang dimaksud oleh Kant bukan sekadar hal penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara agama atau adat istiadat. Secara sederhana Kant memastikan bahwa kriteria mutu moral seseorang adalah kesetiannya terhadap suara hatinya sendiri. Kant memulai suatu pemikiran baru dalam bidang etika dimana ia melihat tindakan manusia absah secara moral, apabila tindakan tersebut dilakukan berdasarkan kewajiban dan bukan akibat. Menurut Kant, tindakan yang terkesan baik bisa bergeser secara moral apabila dilakukan bukan berdasarkan rasa kewajiban melainkan pamrih yang dihasilkan. Perbuatan dinilai baik apabila dia dilakukan semata-mata karena hormat terhadap hukum moral, yaitu kewajiban. Kant membedakan antara imperatif kategoris (bersifat langsung) dan imperatif hipotetis (bersifat dugaan) sebagai dua perintah moral yang berbeda. Imperatif kategoris merupakan perintah tak bersyarat yang mewajibkan begitu saja suatu tindakan moral sedangkan imperatif hipotesis selalu mengikut sertakan struktur “jika.. maka..”.

Kant menganggap imperatif hipotetis lemah secara moral karena yang baik direduksi pada akibatnya saja sehingga manusia sebagai pelaku moral tidak otonom (manusia bertindak semata-mata berdasarkan akibat perbuatannya saja). Otonomi manusia hanya dimungkinkan apabila manusia bertindak sesuai dengan imperatif kategoris yang mewajibkan tanpa syarat apapun. Perintah yang berbunyi “lakukanlah”. Imperatif kategoris menjiwai semua perbuatan moral seperti janji harus ditepati, barang pinjaman harus dikembalikan dan lain sebagainya.

Imperatif kategoris bersifat otonom (manusia menentukan dirinya sendiri) sedangkan imperati hipotetis bersifat heteronom (manusia membiarkan diri ditentukan oleh faktor dari luar seperti kecenderungan dan emosi).

Kriteria kewajiban moral menurut Kant, landasan epistemologinya bahwa tindakan moral manusia merupakan apriori akal budi praktis murni yang mana sesuatu yang menjadi kewajiban kita tidak didasarkan pada realitas empiris, tidak berdasarkan perasaan, isi atau tujuan dari tindakan. Kriteria kewajiban moral ini menurut Kant adalah Imperatif Kategoris. Perintah

Mutlak demikian istilah lain dari Imperatif Kategoris, ia berlaku umum selalu dan dimana-mana, bersifat universal dan tidak berhubungan dengan tujuan yang mau dicapai. Dalam arti ini

perintah yang dimaksudkan adalah perintah yang rasional yang merupakan keharusan objektif, bukan sesuatu yang berlawanan dengan kodrat manusia, misalnya “kamu wajib terbang!”, bukan juga paksaan, melainkan melewati pertimbangan yang membuat kita mentaatinya.

D. Pemikiran Kant tantang Etika (Deontologi)

Etika disebut juga filsafat moral, yang berasal dari kata ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata mos atau mores (Latin) yang artinya kebiasaan. Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedang objek formal etika adalah kebaikan atau keburukan, bermoral atau tidak bermoral.

(17)

Moralitas manusia adalah objek kajian etika yang telah berusia sangat lama. Sejak manusia terbentuk, persoalan perilaku yang sesuai dengan moralitas telah menjadi bahasan. Berkaitan dengan hal itu, kemudian muncul dua teori yang menjelaskan bagaimana suatu perilaku itu dapat diukur secara etis yaitu Deontologis dan Teologis. Teori Deontologis dihasilkan oleh pemikiran Immanuel Kant.

Deontologi berasal dari kata Deon (Yunani) yang berarti kewajiban. Menurut teori ini perbuatan adalah baik jika dilakukan berdasarkan “imperatif kategoris” (perintah tak bersyarat). Yang menjadi dasar bagi baik buruknya perbuatan adalah kewajiban dan tujuan yang baik tidak menjadikan perbuatan itu baik.

Etika Immanuel Kant diawali dengan pernyataan bahwa satu-satunya hal baik yang tak terbatasi dan tanpa pengecualian adalah “kehendak baik”. Sejauh orang berkehendak baik maka orang itu baik, penilaian bahwa sesorang itu baik sama sekali tidak tergantung pada hal-hal diluar dirinya, tak ada yang baik dalam dirinya sendiri kecuali kehendak baik. Wujud dari kehendak baik yang dimiliki seseorang adalah bahwa ia mau menjalankan Kewajiban. Setiap tindakan yang kita lakukan adalah untuk menjalankan kewajiban sebagai hukum batin yang di taati, tindakan itulah yang mencapai moralitas.

Etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat dari perilaku. Kemauan baik adalah syarat mutlak untuk bertindak secara moral. Tindakan yang baik adalah tindakan yang tidak saja sesuai dengan kewajiban melainkan juga yang dijalankan demi kewajiban.

Kewajiban menurutnya adalah keharusan tindakan demi hormat terhadap hukum, tidak peduli apakah itu membuat kita nyaman atau tidak, senang atau tidak, cocok atau tidak, pokoknya aku wajib menaatinya. Ketaatan ini muncul dari sikap batin yang merupakan wujud dari kehendak baik yang ada didalam diri.

Tiga prinsip yang harus dipenuhi: Pertama, supaya suatu tindakan mempunyai nilai moral, tindakan itu harus dijalankan berdasarkan kewajiban. Kedua, nilai moral dari tindakan itu tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan itu (walaupun tujuannya tidak tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik). Ketiga, sebagai konsekuensi dari kedua prinsip itu, kewajiban adalah hal tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal. Menurut Kant ada tiga kemungkinan seseorang menjalankan kewajibannya, pertama, ia memenuhi kewajiban karena hal itu menguntungkannya. Kedua, ia memenuhi kewajibannya karena ia terdorong dari perasaan yang ada didalam hatinya, misalnya rasa kasihan. Ketiga, ia memenuhi kewajibannya kerena kewajibannya tersebut, karena memang ia mau memenuhi kewajibannya.

E. Pemikiran Immanuel Kant tantang Pengatahuan.

Menurut Kant, pengetahuan yang mutlak sebenarnya memang tidak akan ada bila seluruh pengetahuan datang melalui indera. Akan tetapi bila pengetahuan itu datang dari luar melalui

(18)

akal murni, yang tidak bergantung pada pengalaman, bahkan tidak bergantung pada indera, yang kebenarannya a priori. Kant memulainya dengan mempertanyakan apakah ada yang dapat kita ketahui seandainya seluruh benda dan indera dibuang. Seandainya tidak ada benda dan tidak ada alat pengindiera, apakah ada sesuatu yang dapat kita ketahui?.

Menurut Kant, pengetahuan manusia muncul dari dua sumber utama yaitu pengalaman pancaindra dan pemahaman akal budi (rasio). Pengalaman yang diperoleh melalui pancaindra kita kemudian diolah oleh pemahaman rasio kita dan menghasilkan pengetahuan. Itu sebabnya pengetahuan manusia selalui bersifat apriori dan aposteriori secara bersamaan. Tanpa

pengalaman indrawi maka pengetahuan hanyalah konsep-konsep belaka, tetapi tanpa

pemahaman rasio pun pengalaman indrawi hanya merupakan kesan-kesan panca indra belaka yang tidak akan sampai pada keseluruhan pengertian yang teratur yang menjadikannya sebagai sebuah pengetahuan.

Pengetahuan bermula dari pengalaman pancaindra yang kemudian diolah oleh pemahaman rasio untuk menghasilkan sebuah pengetahuan yang menyeluruh dan teratur. Oleh sebab itu, maka segala sesuatu yang tidak bisa dialami oleh pancaindra tidak bisa dijadikan sebagai sumber pengetahuan, tetapi hanya sebagai sebuah hipotesis belaka.

Menurutnya, proses pengetahuan melalui tiga tahap yakni, pertama, pengetahuan inderawi: segala data pada awalnya masuk melalui indera kita (a posteriori/pengalaman

iderawi). Kedua, Verstand merupakan bagaian akal sederhana (a priori) yang lebih

dominan. Ketiga, Vernumft merupakan bagian akal yang lebih canggih (a priori) yang lebih dominan

Pengetahuan ada tiga macam yaitu: pertama, pengetahuan analitis a priori (statement yang berupa definisi tentang subjek): pengetahuan yang hanya menganalisis tentang subjek. Kedua, pengetahuan sintetis a posteriori: ada unsur baru yang ditempelkan pada subjek berdasarkan pengalaman dengan subjek. Ketiga, pengetahuan sintetis a priori: pengetahuan yang lekat dengan Matematika, sehingga ada unsur-unsur baru tetapi hanya merupakan hasil kalkulasi angka-angka matematis. Karena itu, Metafisika bisa digolongkan sebagai pengetahuan jenis ketiga ini.

F. Pemikiran Immanuel Kant Tentang Agama dan Tuhan.

Meskipun Kant lebih dikenal sebagai filsuf yang berkecimpung dalam bidang epistemologi dan etika, tetapi kajian tentang Tuhan pun tak luput dari penelaahannya. Dalam bidang keagamaan atau Teologi, Kant menolak bukti-bukti “onto-teologis” adanya Tuhan. Artinya, menurutnya, Tuhan itu, statusnya bukan “objek” inderawi, melainkan a priori yang terletak pada lapisan ketiga (budi tertinggi) dan berupa “postulat” (Asumsi yg menjadi pangkal dalil yg dianggap benar tanpa perlu membuktikannya; anggapan dasar).

Immanuel Kant berargumentasi bahwa konsep seseorang tentang Tuhan harus berasal dari penalaran; oleh karena itu, ia menyerang bukti-bukti tentang keberadaan Tuhan, dengan

menyangkali keabsahannya. Kant berpendapat bahwa tidak dapat ada terpisah pengalaman yang dapat dibuktikan melalui pengujian. Dalam hal ini, Kant mengkombinasikan rasionalisme

(19)

(kebertumpuan pada penalaran manusia) dan empirisme (pembuktian sesuatu berdasar metode ilmiah).

Bagi Kant, Tuhan bukanlah soal teoretis, melainkan soal praktis, soal moral, soal totalitas pengalaman, dan arti atau makna hidup terdalam (ini dampak positifnya). Dampak negatifnya adalah bahwa sebagai “postulat’ (penjamin) moralitas, Tuhan adalah konsekuensi moralitas, maka moralitas merupakan dasar keberadaan Tuhan. Karena itu, muncul tendensi pada Kant untuk meletakkan agama hanya pada tataran moralitas semata atau perkara horizontal saja (hubungan antar manusia saja atau soal perilaku di dunia ini saja). Konsekuensinya, agamanya Kant, tidak memerlukan credo(kepercayaan).

Kant menyatakan bahwa memang Tuhan hanya bisa didekati melalui iman dan iman itu dilandasi oleh hukum moral. Hukum moral mewajibkan kita untuk selalu melakukan kebaikan. Tetapi hukum moral ini mensyaratkan tiga hal utama, yaitu: kebebasan, keabadian jiwa, dan keberadaan tuhan.

Pertama, kewajiban tentu mengandaikan kebebasan. Kita bebas untuk tidak menjalankan hukum moral untuk melakukan kebaikan. Maka kemudian hukum moral menjadi wajib. Kebaikan menjadi wajib dilakukan. Apabila tidak ada kebebasan maka tidak akan ada kewajiban. Karena manusia bebas untuk melakukan atau tidak melakukan kebaikan maka kemudian muncul kewajiban untuk melakukan kebaikan.

Kedua, adalah keabadian jiwa. Hukum moral bertujuan untuk mencapai kebaikan tertinggi. Kebaikan tertinggi ini mengandung elemen keutamaan dan kebahagiaan. Orang dinyatakan memiliki keutamaan apabila perbuatannya sesuai dengan hukum moral. Dari keutamaan inilah kemudian muncul kebahagiaan.

Tetapi menurut Kant, manusia itu tidak akan selalu mencapai kondisi keutamaan. Tidak akan pernah manusia mencapai kesesuaian kehendak dengan hukum moral. Karena apabila manusia bisa mencapai kesesuaian ini tanpa putus maka itu adalah kesucian dan tidak ada manusia yang akan pernah mencapai kesucian mutlak. Manusia hanya akan selalu berusaha untuk mencapai kesucian itu, dan itu adalah perjuangan tanpa akhir. Karena egoisme dan sifat dasar manusia lainnya, maka perjuangan mencapai kesucian itu adalah perjuangan tanpa akhir. Oleh sebab itu, keutamaan yang menjadi elemen kebaikan tertinggi yang menurpakan tujuan akhir dari hukum moral tidak akan pernah bisa direalisasikan selama manusia hidup. Dengan kata lain kondisi ideal dimana terjadi kesesuaian antara kehendak dan hukum moral adalah jika manusia sudah tidak memiliki kehendak (mati), tetapi apabila setelah mati tidak ada kehidupan maka kondisi ideal itu juga tidak akan tercapai. Oleh sebab itu, maka hukum moral mengandaikan bahwa jiwa itu abadi. Bahkan setelah raga ini mati jiwa akan selalu abadi untuk mencapai kondisi ideal berupa kebaikan tertinggi.

Ketiga, adalah keberadaan tuhan. Telah dijelaskan bahwa kebaikan tertinggi memiliki elemen keutamaan dan kebahagaiaan. Keutamaan adalah kesesuaian antara kehendak dengan hukum moral dan dari keutamaan inilah muncul kebahagiaan. Kebahagiaan sendiri adalah kondisi di mana realitas manusia sesuai dengan keinginan dan kehendaknya. Tapi hal itu tidaklah mungkin karena manusia bukan yang maha pengatur yang bisa mengharmoniskan dunia fisik sesuai

(20)

dengan kehendak dan keinginannya. Tapi justru itulah yang diandaikan apabila kita memiliki keutamaan. Kebahagiaan diandaikan sebagai sintesis dari dunia fisik, kehendak, dan keinginan. Realitas inilah yang kemudian disebut tuhan. Tuhan adalah penyebab tertinggi alam sejauh alam itu diandaikan untuk kebaikan tertinggi atau tuhan adalah pencipta alam fisik yang sesuai dengan kehendak dan keinginan-Nya.

Apabila kita bertindak sesuai hukum moral maka akan membawa kita pada keutamaan dan keutamaan akan membawa kita pada kebahagiaan dan kebahagiaan adalah kondisi di mana terdapat kesesuaian antara alam fisik dengan kehendak dan keinginan. Dan yang memiliki kesesuaian ketiga elemen ini adalah Tuhan. Maka, dengan berbuat baik kita akan sampai pada realitas keberadaan Tuhan. Artinya hukum moral mengandaikan keberadaan Tuhan.

Jika tiga syarat (kebebasan, keabadian jiwa, dan keberadaan tuhan) ini tidak diandaikan keberadaanya, maka runtuhlah sistem moral. Padalah sistem moral itu selalu ada. Kebaikan selalu ada dan manusia selalu mencoba mewujudkan kebaikan tersebut.

G. Pandangan Imamuel Kant tantang Manusia.

Kant mengatakan bahwa hanya manusialah tujuan pada dirinya, dan bukan semata-mata alat atau sarana yang boleh diperlakukan sewenang-wenang. Di dalam segala tindakan manusia baik yang ditujukan kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain, manusia harus dipandang serentak sebagai tujuan.

Bagi Kant, manusialah aktor yang mengkonstruksi dunianya sendiri. Melalui a priori formal, jiwa manusia mengatur data kasar pengalaman (pengindraan) dan kemudian membangun ilmu-ilmu matematika dan fisika. Melalui kehendak yang otonomlah jiwa membangun moralitas. Dan melalui perasaan (sentiment) manusia menempatkan realitas dalam hubungannya dengan tujuan tertentu yang hendak dicapai (finalitas) serta memahami semuanya secara in herensebagai yang memiliki tendensi kepada kesatuan.

Daftar Pustaka:

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Cet: V, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005). Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, Cet: I, (Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi, 2004).

Hawasi. (2003). Immanuel Kant: Langit Berbintang di Atasku Hukum Moral di Batinku. Jakarta: Poliyama Widyapustaka.

Sitorus, Fitzgerald K. (2007). Immanuel Kant: Tuhan sebagai Postulat Akal Budi Praktis. Paper Diskusi Tuhan dan Agama di Mata Para Filsuf. PSIK Universitas Paramadina.

Kant menghabiskan sepanjang kehidupan kerjanya untuk mengajar di sebuah Universitas di kota pelabuhan Konigsberg, Prusia, tempat ia di lahirkan. Akan tetapi, ia adalah peserta aktif dalam

(21)

perdebatan filosofis kala itu di Eropa. Ide-idenya terus membentuk dan mempengaruhi bidang penyelidikan filosofis; dari Epistemologi hingga filsafat sejarah. Dari persfektif sejarah pemikiran Eropa pada umumnya, adalah mustahil untuk meremehkan pentingnya karya-karya Kant di kemudian hari; filsafat kritis yang di terbitkan khusunya dalam buku teks, Critique of Pure Reason[1781] dan Critique ofPractical Reason [1788]. Dari sudut pandang Hubungan Internasional, tulisan-tulisan Kant yang juga bersumber dari periode “kritis” dan khususnya esai On Perpetual Peace: A PhilosophicalSketch [1795] juga sangat di signifikan.

Disini saya akan menyoroti tiga bidang pemikiran kritis Kant yang membantu memantapkan kondisi bagi para teoritisi kritis dikemudian hari dan bagi cendikiawan Hubungan Internasional kontemporer. Ketiga bidang itu adalah pengetahuan, moralitas dan politik.

PENGETAHUAN

Argumen filosofis pada abad ke-18 tentang bagaimana kita membenarkan klaim terhadap pengetahuan pada dasarnya jatuh kedalam kategori. Di satu sisi, tradisi “rasionalis” berpendapat bahwa klaim pengetahuan dapat dengan pasti didasarkan pada rasio atau penalaran, mungkin dalam bentuk ide-ide bawaan yang melekat dalam kemanusiaan atau bahkan dikirim langsung dari Tuhan. Disisi lain, tradisi “empiris” berpendapat bahwa klaim terhadap pengetahuan harus di dasarkan pada pengalaman indrawi (apa kita bisa mendengar, melihat, menyentuh, dan

sebagainya) daripada sekedar dengan rasio.

Dalam Critique of Pure Reason, Kant terkenal karena memiliki lebih dari dua pilihan di atas. Kant berargumen, penalaran saja atau pengindraan saja tidak akan memberikan kita pengetahuan apapun. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa pengetahuan manusia pada dasarnya di kondisikan (dibatasi) oleh kategori-kategori tentang pemahaman kita (yang antara lain: konsep sebab akibat) dan ketidak mampuan kita untuk mengalami apapun di luar kondisi ruang dan waktu tertentu. Dengan demikian, pengetahuan adalah produk dari konsep-konsep (kategori pemahaman) dan pengalaman di perantarai ruang–waktu yang keduanya datang secara bersama-sama. Gagasan Kant ini menggrogoti gagasan bahwa kita bisa mendapat pengetahuan langsung dari “sesuatu dalam diri sesuatu itu sendiri”. Maka dari itu, tugas filsafat pada dasarnya adalah tugas untuk melacak keterbatasan kita sendiri dan memperjelas apa yang kita bisa dan tidak bisa kita klaim tentang dunia. Tugas ini disebut Kant sebagai “Kritik”.

(22)

Teroi kritis Kant tentang pengetahuan membuka jalan bagi teori kritis di kemudian hari dengan cara berfokus pada kondisi-kondisi bagi kemungkinan adanya pengetahuan dan pegalaman. Pemikir era berikutnya, misalnya Hegel dan Marx, kemudian merevolusikan revolusi fiosofis Kant itu dengan menyatakan bahwa kondisi-kondisi bagi kemungkinan adanya pengetahuan dan pengalaman itu tidak stabil dan transhistoris, tetapi benar-benar sudah tertanam dalam sejarah manusia dan masyarakat. Dalam hal ini, mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting tentang landasan otoritas kritis para filsuf untuk menentukan jenis-jenis klaim apa yang sah dan mana yang tidak sah. Hal ini terus menjadi pertanyaan yang menghantui para teoritis kritis abad ke-20.

MORALITAS

Teori Kant tentang pengetahuan adalah tentang mengakui keterbatasan manusia. Hal ini sangat berlawanan dengan teorinya sendiri tentang moral. Teori Kant tentang moralitas ini menyatakan potensi kemanusiaan untuk membatasi keterbatasan kita. Bagi Kant, ada perbedaan jelas yang bisa di tarik antara penalaran teoretis murni dan penalaran praktis murni. Penalaran teoretis kita terbatas dan terkondisi: kita tidak bisa tahu hal-hal dalam cara mediasi dalam cara yang mungkin seperti caranya malaikat. Secara moral, kita juga terbatas: kita sering di dorong oleh nafsu dan keinginan hewani dari pada di dorong oleh pertimbangan moral. Namun demikian, dalam kasus moralitas menurut Kant, kita masih mampu mengetahui apa yang benar. Ada cara-cara dimana kita dapat mengerjakan apa tugas kita, melalui prinsif-prinsif penguniversalan dimana kita merencanakan untuk bertindak dan mempertimbangkan implikasi dari prinsif-prinsif tersebut untuk menjadi hukum universal (yang disebut“categorical imperative” atau berlaku mendesak secara kategoris).

Namun demikian, untuk bertindak secara moral bukan sekedar melakukan hal yang benar, tetapi untuk melakukan hal yang benar demi melakukan hal yang benar itu sendiri—bukan melakukan itu demi hal itu cocok dengan kita atau tidak. Bagi Kant, memberi uang pada pengemis karena kasihan padanya adalah bukan tindakan moral. Yang bisa di sebut tindakan moral adalah

memberi uang pada pengemis karena amal baik bisa di universalkan sebagai hal yang baik. Jadi, kapasitas moral yang sama-sama dimiliki manusia ini, menurut Kant, adalah yang membedakan kita dengan binatang dan membuat kita secara khusus layak di hormati.

Mungkin, implikasi paling terkenal yang bisa di tarik Kant dari perhitungannya tentang kapasitas moral kita untuk mengetahui dan menjalankan hukum moral adalah argumennya bahwa manusia tidak boleh di perlakukan sebagai sarana, tapi harus selalu sebagai tujuan. Prinsif orang lain ini

(23)

menjadi salah satu insfirasi bagi ide Hak Asasi Manusia Universal yang sangat berpengaruh pada abad ke-20. Teori moral Kant juga terus menjadi acuan penting bagi teori di kemudian hari dan bagi etika internasional kontemporer. Bagi beberapa pihak, pandangannya tentang moralitas menangkap inti rasional dan universal tentang penalaran moral, yang kemudian dapat memberi tolak ukur bagi kritik moral yang beroperasi melintasi batas-batas budaya dan kekuasaan. Bagi pihak lain, teori moral Kant tidak mampu mempertahankan klaimnya terhadap universalitas, terlalu abstrak dan rasionalistik, dan karena itu tidak peka terhadap kekhasan pengalaman dan tradisi etis yang berbeda.

POLITIK

Walau Kant melihat kita mampu bertindak sesuai perintah penalaran praktis murni, ia masih melihat manusia sebagai secara fundamental cacat dan tidak mampu secara konsisten melampaui selera dasar dan material. Atas alasan ini, Kant mengembangakn teori politik. Teorinya adalah pemerintahan dan hukum harus bisa menjamin kepatuhan luar tehadap moralitas, dan

menyediakan konteks yang kapasitas moral kita dapat di matangkan dan kemajuan dapat di capai. Menurutnya, konteks politik terbaik untuk menyediakan itu adalah negara Republik. Yang dimaksud dengan negara Republik adalah keadaan yang milik pribadinya dilembagakan, ada pemisahan kekuasaan (antara legislatif, eksekutif dan yudikatif), dan kekuatan-kekuatan itu secara politis bertanggung jawab kepada lembaga warga yang dewasa, laki-laki, pemilik properti.

Dua aspek dari politik Kant telah menarik minat cendikiawan Hubungan Internasional: hubungan yang ia buat antara negara-negara republik dan hubungan antara negara-negara yang tenang terkendali dengan cara yang teori politiknya tertanam dalam filsafat sejarah. Dalam Perpetual Peace: A Philosophical Sketch, Kant menguraikan kondisi-kondisi yang di perlukan bagi hubungan internasional yang damai. Pertama; semua negara harus republik. Kedua; negara-negara republik harus masuk kedalam “persatuan pasif” satu sama lain untuk mengatur interaksi melalui hukum internasional dan menghindari perang sebagai sarana kebijakan luar

negeri.Ketiga; semua negara harus menghormati hak Universal dan kosmopolitan atas individu untuk mendapatkan keramahtamahan, bahkan jika individu itu bukan warga negara.

Kondisi-kondisi bagi perdamaian abadi sejalan dengan persyaratan moralitas. Akan tetapi, Kant juga berpendapat bawa kita dapat mengidentifikasikan kekuatan-kekuatan historis yang

cenderung bisa membawanya. Ia menunjuk mekanisme natural berupa rasa takut dan

keserakahan yang akan mendorong orang menuju republikanisme dan federasi pasif—terlepas dari moralitas. Sebagai contoh, ia berpendapat bahwa konflik manusia pada akhirnya akan menghasilkan senjata yang begitu mengerikan sehingga—karena menakutkan kelangsungan hidup mereka sendiri—orang ingin menghindari kemungkinan perang. Kant juga berpendapat,

(24)

pembangunan perdagangan internasional akan menciptakan tingkat saling ketergantungan yang akan membuat perang akan bertentangan dengan kepentingan egois kita. Akhirnya, ia

menyarankan diri rendah kita dan diri tinggi kita untuk mendorong sejarah dalam arah yang sama dengan arah kemajuan republik, masyarakat pasar, dan hubungan antar negara yang pasif.

Pemikiran politik Kant telah di ambil oleh teoretisi liberal Hubungan Internasional sebagai pernyataan awal bagi teori kontemporer bahwa negara-negara liberal cenderung pasif dalam hubungan dengan satu sama lain. Akan tetapi, hal itu juga mengilhami pemikir kritis, misalnya: Habermas, dalam hal Visinya tentang negara republik dan teorinya tentang perkembangan sejarah progresif. Dalam banyak hal, Kant menetakan agenda bagi perdebatan yang masih berlangsung dalam teori kritis tentang sifat dari hubungan antara moralitas dan politik, dan apakah (bagaimana) kemajuan politik bisa dimungkinkan.

Hadiiwijono, Harun. 2011,Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta : Kanisius Hardiman, F. Budi. 2009.Kritik Ideologi.Yogyakarta : Kanisius

________. 2011. Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. Jakarta : Erlangga

Kant, Immanuel. 1951. The Prolegomena to Any Future Metaphysics. New York : The Liberal Art Press ________. 1956. Critique of Practical Reason. New York : The Liberal Art Press

________. 1966. Critique of Pure Reason. New York : Doubleday & Company Inc O’Donnell, Kevin.2009. Postmodernisme. Terjemahan Jan Riberu.Yogyakarta :Kanisius

Russell, Bertrand. 2007. Sejarah Filsafat Barat. Terjemahan Agung Prihantoro dkk. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Sindhunata.1983. Dilema Usaha Manusia Rasional.Jakarta : Gramedia Siswanto, Joko. 1998. Sistem Metafisika Barat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Solomon, Robert C, dan Kathleen M. Higgins. 2002. Sejarah Filsafat. Terjemahan Saut Pasaribu : Bentang Budaya

Sontag, Frederick. 2002. Pengantar Metafisika. Terjemahan Cuk Ananta Wijaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Sudarminta, J. 2012. Epistemologi Dasar. Yogyakarta :Kanisius

Syaebani. 2011. Filsafat Ketuhanan Immanuel Kant. http://syaebani.blogspot.com. Diakses tanggal 23 April 2013

Referensi

Dokumen terkait

yang dimaksud dengan golongan obat adalah penggolongan yang dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan ketetapan penggunaan serta pengamanan distribusi yang terdiri

Tugas Pokok Membantu Sekretaris Daerah dalam penyusunan kebijakan daerah di bidang pemerintahan, hukum dan kerjasama, dan pengoordinasian penyusunan kebiajakan daerah

Penggunaan pelarut organik mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan menggunakan air yaitu memudahkan pemisahan enzim dan produk dengan metode nonekstraktif karena

karena dalam bahan yang bersifat isolator seluruh lintasan elektronnya memiliki ikatan yang kuat dengan intinya atau dengan kata lain pada bahan isolator tidak mempunyai

(camera close up to Melisa) mereka adalah 7 sahabat yang mempunyai karakrter berbeda, tapi sesuatu yang akan buat orang orang yang melihatnya ialah, mereka kompak, mereka

Antigen irri akan merangsang sel-sel makrofag, manosit, atau Iirnfosit yang mengeluarkan berbagai macarn sitokin, antara lain TNF (tumor nec- rosis factor). TNF akan dibawa

Program Kuadrat dapat digunakan untuk meminimalkan risiko suatu saham yang diinvestasikan pada pasar modal dengan kendala jumlah dana yang diinvestasikan dengan acuan nilai

Dalam tulisan yang berbeda Din Syamsudin juga mengatakan bahwa Masyarakat madani secara umum bisa diartikan sebagai suatu masyarakat atau institusi sosial yang memiliki