• Tidak ada hasil yang ditemukan

ALIH TEKNOLOGI BUDIDAYA PERTANIAN TERPADU PADA LAHAN SUB-OPTIMAL BASAH DAERAH PASANG SURUT DAN LEBAK MELALUI PARTISIPASI LANGSUNG PETANI LOKAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ALIH TEKNOLOGI BUDIDAYA PERTANIAN TERPADU PADA LAHAN SUB-OPTIMAL BASAH DAERAH PASANG SURUT DAN LEBAK MELALUI PARTISIPASI LANGSUNG PETANI LOKAL"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

ALIH TEKNOLOGI BUDIDAYA PERTANIAN TERPADU

PADA LAHAN SUB-OPTIMAL BASAH DAERAH PASANG SURUT

DAN LEBAK MELALUI PARTISIPASI LANGSUNG PETANI LOKAL

Erizal Sodikin, Yakup, Renih Hayati, M. Ammar, Firdaus Sulaiman Munandar

PUR-PLSO, Universitas Sriwijaya

Disajikan 29-30 Nop 2012

Abstrak

Salah satu alternatif sistem usaha tani dan pola tanam yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani, dan produksi lahannya dapat berkesinambungan adalah penerapan pola tanam terintegrasi melalui sistem pertanian terpadu (SPT) antara tanaman, ternak, dan ikan karena sistem ini sudah teruji dengan baik selama lebih dari 6 tahun di AgroTechno Park (ATP) Palembang. Difusi teknologi ini diterapkan di lahan rawa dengan melibatkan 3 kelompok tani di tiga wilayah yang berbeda, yaitu: a. Di desa Banyu Urip (kelompok tani “Karya Tani”), Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyu Asin mewakili tipologi lahan pasang surut; b. Di desa Sako (kelompok tani “Tunas Baru”), Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyu Asin, mewakili lahan rawa Lebak Tengahan; c. Di desa Arisan Jaya (kelompok tani “Tunggul Ametung”), Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, mewakili tipologi lahan rawa Lebak Dalam. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa sebagian besar petani contoh merasa sistem ini memberikan keuntungan dan berkeinginan untuk melanjutkan sistem usaha tani ini, hanya beberapa permasalahan mereka hadapi terutama terkait dengan permodalan, pembagian tenaga, dan waktu.

Kata Kunci: difusi teknologi, sistem pertanian terpadu, lahan rawa, usaha tani.

I. PENDAHULUAN

Menurut Nazemi et al. (2008), Indonesia memiliki 33.4 juta ha lahan rawa, terdiri dari 20 juta rawa pasang surut dan 13.4 juta ha rawa lebak. Lahan ini terdistribusi di pulau Sumatera 9.39 juta ha, Kalimantan 11.7 juta ha, Sulawesi 1.79 juta ha dan Papua 10.52 juta ha. Dari keseluruhan lahan rawa tersebut, sekitar 6 – 7 juta hektar cocok digunakan untuk areal pertanian (Maas, 2003).

Permasalahan utama dalam mengusahakan lahan rawa adalah sulitnya mengelola dan mempertahan kan produktivitas lahan (Tim Teknis Kebijakan, 2008). Persoalan ini menurut Marsi (2002) disebabkan oleh kesuburan tanah yang rendah dan marginal yang dicirikan oleh rendahnya pH tanah, bahan organik, kekurangan unsur makro NPK dan unsur mikro Cu, dan Zn.

Sampai saat ini usaha tani tanaman pangan di lahan rawa

umumnya bersifat monokultur, sehingga sangat tergantung kepada satu komoditas. Usaha tani monokultur mengandung resiko kegagalan tinggi akibat gangguan organisme peng- ganggu tanaman (OPT), perubahan iklim dan dinamika harga. Marjin keuntungan juga menjadi relatif kecil akibat tidak berimbangnya antara kenaikan harga saprodi dan harga jual produk. Sisi lain sistem pertanian monokultur adalah semakin intensifnya pemakaian saprodi sintetis sehingga menyebabkan ekosistem yang sebelumnya kompleks menjadi lebih sederhana yang dapat mengancam keberlanjutan sistem usaha tani itu sendiri (Sodikin, 2004).

Karakteritik lain penyebab rendahnya produktivitas usaha tani di daerah pasang surut adalah terkait faktor lingkungan dan efisiensi energi. Usaha tani di daerah pasang surut mempunyai tingkat keberlanjutan rendah akibat bahan organik tanah rendah terkuras terus menerus tanpa ada pengembalian ke lahan setelah panen; pencemaran air dan tanah dari bahan kimia beracun pestisida dan herbisida, tingginya input energi sintetik pupuk kimia; meningkatnya resistensi organisme pengganggu tanaman (OPT), yang berdampak pada penurunan diversitas organisme dan musuh alami.

(2)

Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah pertanian di lahan marginal pasang surut adalah dengan menerapkan sistem pertanian terpadu berbasis tanaman ternak. Sistem pertanian terpadu ini merupakan suatu sistem pertanian yang memadukan tanaman dan hewan (ternak, ikan) sedemikian rupa sehingga dua unsur ini dapat bersinergi (melengkapi) satu sama lainnya (Sodikin, 2004).

II. METODOLOGI

Penelitian ini merupakan difusi teknologi Sistem Pertanian Terpadu menggunakan konsep Bio-Cyclo Farming (BCF) yang sudah dilakukan di ATP Palembang yaitu sistem partisipatori langsung petani lokal secara aktif melalui pembuatan contoh-contoh paket teknologi dan penyuluhan. Secara garis besar kegiatan yang dilakukan meliputi:

a. Pengembangan Model Teknologi Pertanian Terpadu Sistem BCF.

Pertanian terpadu sistem bio-cyclo farming sesuai dengan kondisi lingkungan lahan dan usaha tani petani. Secara umum usaha tani terpadu berbasis usaha tani tanaman semusim (padi, jagung, sayuran, hijauan rumput), dengan ternak (sapi dan unggas), biogas, produksi pupuk organik, silase dan pakan ternak.

b.Pelatihan dan Penyuluhan Pertanian Terpadu Sistem BCF

Pelatihan dan Penyuluhan Pertanian terpadu dilakukan sebelum dan sesudah model teknologi pertanian terpadu lengkap dibangun bagi petani contoh dan PPL. Pemberian materi dalam bentuk teori, dan praktik dilakukan dalam pelatihan.

c.Aplikasi/Pembuatan Model BCF

Model BCF yang dibangun berjumlah 3 unit instalasi pertanian terpadu dengan luas lahan 1 - 2,25 hektar, masing masing 1 unit di daerah rawa pasang surut dan 2 unit di daerah rawa lebak.

d.Analisis Dampak Penerapan Sistem Pertanian Terpadu BCF

Analisis yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah:

Kesuburan tanah; produktivitas (tanaman, ternak, ikan, pupuk organik/kotoran sapi); biomas; analisis usaha tani, penyerapan tenaga kerja, dan persepsi petani peserta terhadap penerapan sistem pertanian terpadu ini.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Lokasi I: Desa Banyuurip, Tanjung Lago, Banyuasin

Ringkasan hasil yang didapat disajikan di Tabel 1.

Tabel 1. Hasil yang didapat dari sistem pertanian terpadu di lokasi I Desa Banyuurip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin

No Komod

iti Saat awal Hasil

1. Ternak

sapi 3 ekor Beranak 2 ekor, 1 ekor induk mati, sehingga jumlah sapi menjadi 4 ekor

2. Itik 80 ekor 40 ekor, beberapa mati kekurangan air 3. Ikan

nila 1000 ekor Akibat musim kering beberapa ikan mati sebelum dipanen sehingga yang dapat diselamatkan untuk dipanen sekitar 10 kg 4. Sayura

n Kangkung Hasil 60 ikat/3m2, laku dijual dengan harga 1 ikat Rp.800 - 1000 5. Jagung Benih bersari bebas dari ATP dan hibrida

Luas lahan yang ditanam 1 ha. Sudah di panen

6. Instalas

i biogas Instalasi komponen Sudah berfungsi dengan baik, gas dihasilkan dapat digunakan untuk masak 2 - 3 jam per hari 7. Instalas i pakan sapi Silase Digunakan drum ukuran 200 liter

Sudah dibuat dan sudah dlakukan pelatihan ke 30 petani

Hasil yang didapat di lokasi ini yaitu 2 anak sapi dan 60 ikat kangkung yang dijual Rp 800 – 1000 per ikat.. Dua ekor sapi sudah menghasilkan anak, tetapi satu induk sapi mati akibat sakit (masuk angin). Hal ini merupakan indikator kurangnya pemeliharaan terhadap sapi tersebut. Hasil sayuran hanya kangkung, sementara rencana menanam sayuran lainnya, bayam dan cabai tidak berhasil akibat kemarau yang diluar perkiraan.

Instalasi biogas sudah berfungsi dengan baik dan menghasilkan bahan bakar untuk kompor yang dapat digunakan untuk memasak selama 2 – 3 jam per hari. Kemampuan menghasil -kan bahan bakar gas dari instalasi biogas ini masih dapat ditingkatkan jika proses suplai

(3)

kotoran sapinya berlangsung dengan baik dengan menyiramkan air yang cukup tetapi air yang tersedia di musim kemarau tidak memungkinkan untuk suplai air lebih banyak.

Ternak ikan, walaupun sudah disarankan supaya ikannya segera dipanen, petani peserta tetap bertahan untuk memelihara ikan sampai ukuran yang lebih besar, sehingga saat kandungan garam dalam air semakin tinggi akibat musim kering yang semakin lama, beberapa ikan akhirnya mati. Ikan yang bertahan hidup sekitar 10 kg. Ikan ini dikonsumsi sendiri dan diberikan ke tatangga. Ternak itik banyak yang mati disebabkan faktor air yang kurang tersedia dan juga diduga pemberian pakan yang kurang memadai. Biaya yang dibutuhkan relatif banyak mengingat itik tersebut dikandangkan, bukan dilepas.

Hasil jagung yaitu 3.3 ton pipilan kering per hektar Hasil ini lebih rendah dari hasil jagung hibrida. Jagung yang digunakan yaitu jagung bersari bebas, yang benihnya didapat dari pemuliaan yang dilakukan di ATP. Hasil jagung yang diberi pukan ditambah Biofitalik (pupuk bio yang dihasilkan oleh Jurusan HPT FP Unsri), mengalami peningkatan sampai 21,7 %.

Dalam upaya menunjang keberlangsungan kegiatan SPT di masa yang akan datang khususnya yang terkait dengan ternak sapi, maka dilakukan penyuluhan tentang SPT. Sekaligus pada saat yang sama dilakukan juga demonstrasi pembuatan pakan ternak sapi (silase dan amoniase). Kegiatan penyuluhan diikuti oleh 30 petani berasal dari berbagai kelompok tani. Pembuatan silase dan amoniase dengan menggunakan drum ukuran 200 liter.

Di akhir kegiatan dilakukan juga kajian tentang bagaimana persepsi petani peserta dan non peserta yang tinggal di sekitar lokasi percontohan SPT. Beberapa informasi penting dari jawaban kuisioner yang diisi petani yaitu permasalahan utama petani peserta dalam penerapan SPT adalah: pengaturan tenaga serta ketersediaan dana operasional khususnya untuk memberi makan ikan dan itik. Petani peserta merasa bahwa SPT ini sangat bermanfaat karena dapat meningkat -kan pendapatan mereka. Petani peserta berminat menerapkan SPT ini walaupun kegiatan difusi teknologi ini berakhir. Sebagian besar petani (76.9 %) belum mengenal SPT sebelum dilakukan pernyuluhan dan percontohan. Petani yang sudah mengenal SPT mendapatkan informasi dari PPL.

Lokasi II: Desa Sako, Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin

Ekosistem lahan di desa Sako, Rambutan berupa lahan rawa lebak dangkal. Kelompok tani merupakan kelompok tani andalan (KTNA). Kerja sama yang sangat baik terjalin antara petani dan PPL dan antara penduduk asli dengan penduduk datangan (Jawa). Ringkasan hasil dapat dilihat pada Tabel 2.

Ternak ikan lele cukup berhasil dengan hasil sekitar 100 kg dan dijual dengan harga Rp. 12.000 per kg. Sekitar 500 ekor ikan lele masih dipelihara karena saat panen ukurannya masih relatif kecil. Sapi sudah beranak satu ekor, sehingga jumlah sapinya menjadi empat ekor.

Tabel 2. Hasil yang didapat dari sistem pertanian terpadu lokasi II, Desa Sako, Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin

No Komoditi Saat

awal Hasil

1. Ternak

sapi 3 ekor Beranak 1 ekor, jumlah sapi menjadi 4 ekor 2. Itik 80 ekor 35 ekor, beberapa mati

kekurangan air akibat kemarau

3. Ikan lele 2000

ekor 3 bulan dipelihara, dipanen 100 kg dan dijual dengan harga Rp 12.000/kg masih tersisa sekitar 500 ekor yang ukuran masih dibesarkan

4. Sayuran Kangk

ung Hasil 50 ikat/3m 2, laku dijual dengan harga 1 ikat Rp.800 – 1000

5. Padi Cihera

ng

Sudah dipanen hasil sekitar 2,4 ton GKG/ha 6. Instalasi biogas Instalas i kompo nen

Sudah berfungsi dengan baik, gas dihasilkan dapat digunakan untuk masak 2 - 3 jam per hari

7. Instalasi pakan sapi Silase Telah dibuat bak ukuran 3 m3

Sudah dibuat dan

dilakukan pelatihan untuk 39 petani

Perkembangan ternak itik tidak begitu baik. Itik yang masih hidup kurang dari 50% dari 80 ekor itik. Pengamatan dan diskusi dengan petani peserta mengindikasikan bahwa permasalahan utama adalah itik dipelihara dengan cara dikandangkan karena waktu pemberian itik yang kurang tepat yaitu menjelang musim kemarau. Cara ini memerlukan air dan pemberian pakan yang cukup banyak (60 kg dedak per minggu), Hal ini menyulitkan petani peserta dari segi waktu pemeliharaan meskipun petani diberi bantuan untuk pembelian pakan. Kebiasaan penduduk setempat yaitu itik tidak dikandangkan tetapi dilepaskan sehingga kebutuhan pakan (protein)nya terpenuhi dari sisa-sisa gabah padi di sawah. Ternak itik sebaiknya diberikan ke petani mulai dari bulan November sampai bulan April pada saat musim penghujan setelah itu

(4)

sebaiknya itik dijual dan hasilnya untuk modal tahun berikutnya.

Sistem pertanian terpadu di desa Sako juga menghasilkan padi dengan produktivitas mencapai sekitar 2.4 ton per ha. Hal ini relatif belum begitu baik akibat sebagian lahannya terkena serangan hama tikus. Sistem SPT juga menghasilkan sayuran kangkung sebanyak 50 ikat untuk luasan 3 m2 yang dijual Rp. 1.000 per ikat. Lahan pekarangan yang tersedia belum dimanfaatkan secara maksimal.

Instalasi biogas sudah berfungsi dengan baik. Gas dipakai memasak selama 2 – 3 jam per hari. Pemanfaatan biogas cukup membantu petani peserta.

Pakan ternak dalam bentuk silase dan amoniase sudah dilakukan dalam bak ukuran 3 m3. Tiga minggu kemudian yaitu pada akhir September, silase dan amoniase dibuka disaksikan 39 petani peserta penyuluhan. Pada saat itu juga sekaligus diadakan pelatihan pembuatan pakan ternak ke petani.

Hasil kajian tentang persepsi petani terhadap SPT yaitu petani peserta merasa bahwa SPT ini sangat menguntungkan. Masalah utama yang mereka rasakan adalah pembagian tenaga karena banyak petani di daerah ini juga berkebun karet. Petani peserta dengan tegas berkeinginan untuk melanjutkan SPT ini dengan dana sendiri. Sebagian besar petani (73,7 %) belum mengenal SPT sebelum penyuluhan dan penerapan di desa ini. Sebanyak 26,3 % pernah tahu tentang SPT melalui PPL, radio, dan koran. Semua petani contoh berkeinginan untuk menerapkan SPT. Alasan utamanya adalah karena SPT dianggap lebih menguntungkan (73,7 %).

Lokasi III: Desa Arisan Jaya, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir

Lahan di lokasi III merupakan lahan rawa lebak tengahan dan lebak dalam. Peserta adalah petani yang juga seorang Pamong desa (Sekdes). Hasil disajikan pada Tabel 3.

Sistem pertanian terpadu untuk lokasi III relatif kurang berjalan dengan maksimal. Penyebabnya yaitu etos kerja petani peserta, juga faktor agroekosistem lahan yang memg banyak kendala diantaranya adalah kesuburan lahan yang rendah dan ketersediaan air yang terbatas dengan kualitas yang tidak baik untuk budidaya ikan sistem kolam.

Tabel 3. Hasil yang didapat dari sistem pertanian terpadu lokasi III, Desa Arisan Jaya, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir

N

o Komoditi Saat awal Hasil 1. Ternak

sapi 3 ekor Beranak 1 ekor tetapi anaknya mati, kemudian 1 induknya juga mati, sehingga jumlah sapi menjadi 2 ekor 2. Itik 80 ekor 30 ekor, beberapa mati

kekurangan air akibat kemarau dan pemberian

pakan yang tidak maksimal. Itik yang masih hidup sekitar 30 ekor dan 10 – 20 % nya sudah bertelur secara rutin

3. Ikan lele 1000 ekor Walaupun sebagian besar ikan lelenya mati, tetapi lele masih dapat dipanen sebanyak sekitar 40 kg yang dibagikan ke tetangga selain

dikonsumsi sendiri. 4. Sayuran Kangkung Hasil 150 ikat/5m2, laku

dijual dengan harga 1 ikat Rp.800 – 1000 5. Padi Ciherang Sudah dipanen dengan

hasil sekitar 1,4 ton GKG untuk luasan 1 ha 6. Instalasi

biogas

Instalasi komponen

Sudah berfungsi dengan baik, gas dihasilkan dapat digunakan untuk masak 1 jam per hari 7. Instalasi pakan sapi Silase Telah dibuat dalam drum ukuran 200 liter

Sudah dibuat dan akan dlakukan pelatihan untuk 28 petani

Terkait dengan persoalan air ini, maka ke depan pemasukan komoditi itik dan ikan hendaknya dilakukan mulai bulan November – April, setelah itu ikan dipanen dan itik dijual untuk kemudian dijadikan modal untuk pembelian itik dan ikan di musim berikutnya. Sebanyak 10 – 20 % itik yang masih hidup sudah mulai bertelur secara rutin. Telur dapat membantu pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga. Lele dipanen 40 kg yang dibagikan ke tetangga sekitar lokasi selain untuk konsumsi keluarga petani peserta sendiri.

Beberapa hasil yang didapat baru terbatas pada tanaman padi, kangkung dan cabai. Biogas sudah digunakan untuk memasak tetapi kapasitas tabung (tedmond) penampungan kotoran sapinya lebih kecil dibandingkan dengan di dua lokasi yang lain.

Kondisi sosial dan ekonomi petani di desa ini sangat lemah. Hal ini tercermin dari perumahan mereka yang sederhana terbuat dari kayu. Bentuk perumahan dalam bentuk panggung (untuk menghindari tergenang air saat musim pasang).

(5)

Persepsi petani secara umum terhadap penerapan SPT di desa ini, yaitu petani peserta dan keluarganya puas dengan penerapan SPT ini. Petani peserta berminat meneruskan SPT setelah kegiatan ini berakhir. Petani (33.3%) sudah mengenal SPT dan mendapatkan informasi dari PPL. Sebanyak 95,8 % petani menyatakan berminat menerapkan SPT.

Pembahasan Umum

Penerapan sistem pertanian terpadu di tingkat petani sudah berjalan sesuai dengan rencana. Tanggapan petani peserta juga sangat positif. Dalam penerapannya mengalami beberapa permasalahan akibat cuaca yang sangat kering yang menyebabkan gagalnya penanaman beberapa jenis sayuran setelah sayuran yang pertama (kangkung). Faktor kekeringan juga memberikan dampak negatif kepada berkurangnya ketersediaan rumput untuk pakan serta air yang memadai untuk pemeliharaan ternak Itik dan ikan. Dampak kekeringan sangat dirasakan petani terutama di lokasi III (Pemulutan). Ikan yang dipelihara di kolam yang terletak di antara kandang sapi dan rumah terpaksa dipindahkan ke dalam keramba di sungai yang pemeliharaan dan kontrolnya sulit berjalan secara efektif.

Dari pengamatan dan analisis di lapangan, faktor lain yang menentukan keberhasilan sistem pertanian terpadu ini adalah kemampuan dan karakter petani peserta. Petani peserta belum terbiasa mengelola sistem pertanian terpadu yang di dalamnya mempunyai berbagai aspek usaha tani. Mereka selama ini mengelola hanya 1 atau 2 komoditi saja, sementara dalam sistem pertanian terpadu ada lebih dari 4 komoditi (aspek) yang harus mereka kelola. Pengaturan (manajemen) waktu dan tenaga serta mengatur irama kerja adalah beberapa faktor yang sangat menentukan keberhasilan sistem pertanian terpadu ini. Persoalan ini wajar terjadi mengingat petani peserta belum pernah menerapkan sistem pertanian terpadu.

Petani peserta yang tanggap dan mudah menerima masukan dan arahan (adoptif) seperti yang ditunjukkan peserta di lokasi desa Sako, Rambutan, maka pengelolaan sistem pertanian terpadunya relatif berjalan lebih baik, bahkan mereka secara swadana menambah jumlah sapi sebanyak 2 ekor dan bahkan berinisiatif membuat kandang sapi lebih permanen..

Hal lain yang juga sangat mempengaruhi jalannya sistem pertanian ini adalah mentalitas dan etos kerja (inisiatif) petani dalam hubungan menjalankan amanah bantuan yang diberikan. Beberapa kegiatan menunjukkan bahwa sebagian besar petani peserta baru menjalankan petunjuk yang diberikan jika diberi uang. Diduga hal ini terbangun akibat “kesalahan” dalam sistem penerapan bantuan selama ini hanya berorientasi proyek serta kurangnya tindakan terhadap penyimpangan yang terjadi. Hal ini menghambat upaya menjaga keberlangsungan sistem usaha tani.

Beberapa hal yang memberikan harapan untuk keberlangsungan sistem usaha ini adalah bahwa petani berkeinginan melanjutkan pemelihara an sapi dan instalasi biogas yang sudah terpasang. Khusus untuk petani peserta di desa Sako Rambutan bahkan akan melanjutkan penerapan sistem usaha tani terpadi ini secara lengkap.

IV. KESIMPULAN

(1) Seluruh komponen penyusun sistem pertanian terpadu telah diselesaikan dan sebagian besar sesuai dengan target.

(2) Petani peserta menyatakan puas terhadap penerapan sistem SPT ini walaupun terlihat dalam pelaksanaannya petani mengalami kesulitan dalam pengelolaan waktu, tenaga, dan biaya operasional terutama pakannya. (3). Semua petani peserta berminat untuk meneruskan sistem usaha tani ini setelah kegiatan difusi teknologi selesai.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Marsi.2002.Karakteristik Kimia dan Kesuruburan tanah dan Kualitas Air Daerah Pasang Surut.Bahan Pelatihan managemen daerah rawa. Palembang, April 2002. Kerjasama Unsri dengan Dikti Jakarta.

[2] Nazemi, D, S. Saragih dan Y. Rina. 2003. Laporan akhir proyek penelitian sumber daya lahan rawa. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru. Proyek Irigasi dan Rawa Andalan (PIRA). 2004. Data Pengembangan Rawa di Sumatera Selatan.

[3] Sodikin, E. 2004. Sistem pertanian terpadu, optimalisasi pemanfaatan lahan. Makalah seminar kenaikan jabatan ke Lektor Kepala, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, 16 hal.

[4] Zubir, Batubara Z, Syafrial, Yusri A, Bustami dan Susilawati E. (2007), Kajian sistem usahatani integrasi ternak dan tanaman di lahan kering. Success story inovasi teknologi spesifik lokasi, BPP Jambi, 2007. Lampiran:

Gambar rekomendasi tata letak komoditas penyusun SPT untuk lahan lebak tengahan dan lebak dalam

Tampak atas:

Gambar

Tabel 1.  Hasil yang didapat dari sistem pertanian terpadu di  lokasi I Desa Banyuurip, Kecamatan Tanjung Lago,  Kabupaten Banyuasin
Tabel 2.  Hasil yang didapat dari sistem pertanian terpadu  lokasi II, Desa Sako, Kecamatan Rambutan,  Kabupaten Banyuasin
Tabel 3.  Hasil  yang  didapat  dari  sistem  pertanian  terpadu  lokasi III, Desa Arisan Jaya, Kecamatan Pemulutan,  Kabupaten Ogan Ilir
Gambar rekomendasi tata letak komoditas penyusun SPT untuk  lahan lebak tengahan dan lebak dalam

Referensi

Dokumen terkait

Pada gambar 9 hingga gambar 14 dapat dilihat perbandingan hasil keluaran respon mesin pada multi machine dengan kontrol LQR-GSO..

Mahasiswa praktik kerja lapangan juga selalu berusaha untuk meningkatkan kemampuan berbahasa asing yang mereka miliki agar materi yang disampaikan kiranya dapat

Dengan teknologi Inverter, pemanasan penanak nasi IH dapat dikontrol dengan lebih tepat daripada jenis mikrokomputer konvensional, menjadikannya ideal untuk hasil memasak yang

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Potensi Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn) sebagai Sekat Bakar ditinjau dari Kondisi Lebar Tajuk (Studi Kasus di

Cara pemupukan yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan adalah dengan cara ditugal atau membuat pocket sebanyak 8 titik disekeliling tanaman kelapa sawit, cara ini diterapkan oleh

Perlakuan pertama adalah perlakuan kontrol, perlakuan kedua adalah pemberian jerami padi (5 ton/ha), perlakuan ketiga adalah pupuk kandang kambing (2,5 ton/ha),

Pengkajian dilaksanakan di Desa Sebapo, Kecamatan Mestong Kabupaten Muaro Jambi, lokasi ini termasuk zona Lahan Kering Dataran Rendah Iklim Basah (LKDRIB) yang merupakan

Pemberian pupuk organik hakiki pada setiap taraf perlakuan dapat meningkatkan pertumbuhan vegetative bibit tanaman kakao seperti tinggi tanaman, diameter batang,