• Tidak ada hasil yang ditemukan

filsafat ilmu dalam kajian hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "filsafat ilmu dalam kajian hukum"

Copied!
234
0
0

Teks penuh

(1)

BUNGA RAMPAI

POSBAKUM

ANTARA TEORI

DAN PRAKTEK

(2)

BUNGA RAMPAI POSBAKUM ANTARA TEORI DAN PRAKTEK

Dilarang mengutif dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa seizin tertulis dari penerbit

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan Hak Cipta dilindungi undang-undang

All Right Reserved (c) 2014, Indonesia: Pontianak

Editor: Faizal Amin Layout dan Cover Setia Purwadi & Fahmi Diterbitkan oleh IAIN Pontianak Press Jalan Letjend. Suprapto No. 19 Telp./Fax. 0561-734170

Pontianak, Kalimantan Barat Cetakan Pertama, Desember 2014 BUNGA RAMPAI POSBAKUM ANTARA TEORI DAN PRAKTEK

iv + 230 halaman: 160mm x 240 mm

Sanksi pelanggaran pasal 72:

Undang-undang nomor 19 Tahun 2002 Tentang Tentang Hak cipta:

(1) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimak-sud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana pen-jara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan atau denda paling sedikit Rp.1000.000,- (Satu Juta Rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (Lima Miliar Rupiah)

(3)

DAFTAR ISI

PENGANTAR...iii

DAFTAR ISI...iii

Pendekatan Bahasa Kritis Sebagai Setrategi Pembelajaran Literasi Media

Oleh: Sultan, M.A...1

Laundry Q: Korelasi Antara Ancaman Klausula Baku Dan Kritik Terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Oleh: Rahmat, SH, MH...9

Problematika Muamalah Di Daerah Perbatasan MDGs 2015

Oleh: Dr. H. Hamka Siregar, M. Ag...47

Fenomena Sosial, Fakta Sosial Dan Fakta Hukum

Oleh: Dr. M. Hasan, M.Ag...85

Filsafat Ilmu

Oleh: Dr. Firdaus Achmad, M.Hum...101

Hukum Dan Kontrol Sosial

(4)

Hukum Dan Perubahan Sosial

Oleh: Dr. Dahlia Haliah...151

Hukum Islam, Fiqih Dan Syariah

Oleh: Dra. Hj. Wagiyem, M.Ag...193

Perempuan Dalam Belitan Fikih

Oleh: Ridwan...201

Kedudukan Anak di luar Nikah dalam UU Perkawinan

(5)

PENDEKATAN

BAHASA KRITIS SEBAGAI SETRATEGI

PEMBELAJARAN LITERASI MEDIA

Oleh: Sultan, M.A

Abstrak

Semakin hari, semakin marak dan semakin banyak kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak. Hal ini salah satunya disebabkan adanya tayangan-tayangan kekerasan yang disiarkan melalui media. Padahal anak-anak belum memiliki imunitas terhadap program-program nega f yang terselip dalam tayangan televisi. Sebagai upaya untuk meminimalisasi dampak nega f dari media terhadap perkembangan anak-anak, maka dibutuhkan pembelajaran media yang berbasis pendekatan bahasa kri s, salah satunya dapat dilakukan melalui interaksi dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia paradigma kri s. Tulisan ini bertujuan mendiskripsikan relasi bahasa media yang mempengaruhi ngkah laku anak/siswa. Dan menawarkan konsep atau strategi pengembangan pembelajaran literasi media melalui pendekatan bahasa kri s.

Pendahuluan

(6)

Indonesia, baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan, dan fenomena ini juga sudah dianggap biasa oleh para orang tua.

Tingginya intensitas anak Indonesia menonton televisi menyebabkan terjadinya adopsi budaya media dalam interaksi anak-anak dengan sesamanya dan model interaksi anak dengan orang tua. Tingginya intensitas anak-anak Indonesia dalam menonton televisi selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Sirulhak bahwa, anak-anak Idonesia menonton televisi selama 30-35 jam, atau 1560-1820 jam setahun. Angka ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan jam belajar di sekolah dasar yang

dak lebih dari 1000 jam/tahun. Maka ke ka ia menginjak masa SMP, ia sudah menyaksikan televisi selama 15.000 jam/tahun. Adapun waktu yang dihabiskan untuk belajar dak lebih dari 11.000 jam saja. Kesimpulannya, lebih banyak waktu dihabiskan untuk menonton televisi daripada belajar atau membaca buku.

Hal ini menjadi buk bahwa, ada beberapa stasiun televisi yang berpotensi melahirkan pengaruh nega f kepada pemirsa/ penontonnya. Anak-anak Indonesia menghabiskan banyak waktu untuk menonton acara televisi. Masuknya pengaruh-pengaruh nega f acara televisi kepada pemirsa, terutama anak-anak, sebenarnya, bukan semata-mata karena citra tayangan acara televisi itu, tetapi juga disebabkan oleh ngkat literasi masyarakat Indonesia, termasuk anak-anak terhadap media masih rendah.

(7)

KEKERASAN SIMBOLIK DALAM MEDIA

Di beberapa media menampilkan kekerasan-kekerasan simbolik, yang kemudian diadaptasi langsung oleh anak-anak dalam dunia keseharian mereka. Hal ini banya terungkap dari beberapa kejadian seper apa yang dilakukan oleh Reza, seorang siswa Sekolah Dasar menjadi korban, setelah temannya memperak kkan adegan smack down kepadanya.

Munculnya beberapa dampak yang dilahirkan oleh media, pada umumnya dapat dilihat sebagai akibat, salah satunya, dari kurangnya pemahaman orangtua dalam mengatur dan menjembatani interaksi anak dengan televisi.

Jika diurai lebih rinci, kekerasan dokumen juga merupakan penampilan gambar kekerasan yang dipahami pemirsa dengan mata telanjang sebagai dokumentasi atau rekaman fakta kekerasan. Termasuk dalam kekerasan ini, yaitu pembunuhan, pertengkaran, perkelahian, tembakan atau berupa situasi konfl ik, luka, tangisan dan sebagainya. Kekerasan fi sik menunjukkan kepemilikan kepada dunia yang mungkin ada, yang menjadi bagian dari dunia riil atau faktual. Sebagai contoh, kisah fi ksi berupa fi lm, komik, dan iklan. Adapun kekerasan simulasi yaitu kekerasan yang berasal dari duni virtual, misalnya permainan video dan permainan online.

Sampai di sini bisa dipahami, media memiliki peran yang sangat kuat dalam mengonstruksi kekerasan sekaligus menimbulkan banyak kasus kekerasan. Hal ini terus diperparah dengan kondisi pada masyarakat, terutama anak-anak, budaya baca belum terbentuk, sementara budaya menonton televisi sudah sedemikian kuat. Di sisi lain, kesempatan orangtua dalam mendampingi kehidupan anak sehari-hari telah semakin berkurang akibat pola hidup masyarakat moderen yang menuntut ak vitas di luar rumah.

PENDEKATAN BAHASA KRITIS DAN LITERASI MEDIA

(8)

ak f mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pendidikan diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”. Rumusan undang-undang di atas, secara dak langsung, menggariskan dengan cukup jelas bahwa pendidikan literasi media sangat sesuai dengan tujuan sistem pendidikan nasional.

Literasi media merupakan is lah yang merujuk pada konsep bagaimana agar masyarakat memiliki wawasan sekaligus sikap bijak dalam berinteraksi dengan media. Dengan wawasan dan sikap tersebut maka diharapkan efek-efek nega f media akan dapat dieliminasi. Di Indonesia, literasi media sering diar kan dengan melek media. Namun, dalam tulisan ini, is lah yang dipakai adalah literasi media. Pemilihan is lah ini, selain karena lebih bernuansa akademis, juga menunjukkan secara dak langsung bahwa konsep literasi media berbeda dengan pendidkan media. Dalam tulisan ini, konsep literasi lebih menunjukkan sikap kri s (ak f) sementara konsep pendidikan media lebih pada sikap menerima (pasif). Pendidikan media merupakan bagian dari literasi media, sementara media literasi bukan bagian dari pendidikan media (media educa on).

Masalah melek media muncul karena ke dakmampuan orang menafsirkan konstruksi realitas melalui bahasa. Sehubungan dengan itu, upaya untuk menerapkan literasi media memiliki keterkaitan yang erat dengan bagaimana memanfaatkan teori atau paradigma bahasa dak sebatas pada pengetahuan teknis untuk memahami struktur internal kebahasaan. tetapi lebih dari itu bagaimana menghubungkan ekspresi-ekspresi bahasa dalam hubungannya dengan konteks pemakaian bahasa itu dalam ruang-ruang sosial.

(9)

Dengan demikian, adanya kemiskinan, marjinalisasi, dan bentuk-bentuk ke dakadilan lainnya, bukan semata karena mereka

dak mampu bekerja, tetapi karena dioengaruhi oleh sistem birokrasi. Dalam hubungannya dengan bahasa, ekspresi verbal dianggap dak bebeas nilai, sehingga apapun bentuk ekspresi verbal itu patut untuk dicurigai karena diyakini sebagai tempat bersembunyinya ideologi.

Sebagai upaya pemebelajaran literasi media, pembelajaran bahasa kri s atau aspek-aspek bahasa kri s akan mengantarkan siswa untuk dapat memahami bentuk-bentuk ekspresi verbal yang dak bebas nilai tersebut. Nilai dalam ar bahwa, nilai-nilai kekerasan (simbolik) yang tercermin dalam bentuk-bentuk ekspresi verbal bahasa tersebut. Pada k ini, bahasa memiliki peran pen ng dalam perubahan-perubahan sosial melalui rekayasa pembelajaran bahasa.

STRATEGI PEGEMBANGAN PEMBELAJARAN

Pemebelajaran literasi media yang terintegrasi dalam kurikulum mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sangat mungkin dilakukan dengan berbagai pendekatan. Salah satu strategi pembelajaran litersasi media dapat dilakukan dengan pendekatan mikro. Pendekatan mikro yang dimaksud dalam hal ini adalah dengan mengintegrasikan pembelajaran literasi media melalui mata pelajaran Bahasa dan Sasatra Indonesia. Sehubungan dengan itu, perencanaan pembelajaran hendaknya didesain sedemikian rupa sehingga tetap mengacu pada prinsip-prinsip dasar pembelajaran Bahasa dan Sasatra Indoesia.

Sehubungan dengan itu juga, perlu diperhitungkan ngkat usia yang menjadi subjek pembelajaran, misalnya untuk siswa SD. Anak SD masih dalam taraf berpikir kongkret, dengan demikian, materi dan konsep yang diberikan harus diawali dengan hal-hal yang kongkret. Oleh sebab itu sumber-sumber belajar seyogyanya disesuaikan dengan ngkat perkemangan anak/siswa.

(10)

Bahasa dan Sastra Indonesia.

Adapun langkah-langkah pengembangan materi literasi media dapat dilakukan dengan cara:

1. Mengiden fi kasi bentuk-bentuk dan kategori kekerasan dalam media

2. Mengklasifi kasikan bentuk-bentuk kekerasan dalam media berdasarkan jenis dan sumber medianya

3. Menyusun materi pembelajaran BI yang berwawasan literasi media

4. Menata silabus materi pembelajaran BI berwawasan literasi media

5. Menata materi BI yang berwawasan literasi media, dan menyusun draf bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia berwawasan literasi media.

Perlu diketahui bahwa ngkat literasi media dan ngkat literasi kri s siswa merupakan dua hal yang berbeda. Tingkat literasi kri s terkait dengan kemampuan memahami atau berbahasa kri s, atau memahami aspek-aspek bahasa kri s. Tingkat literasi media terkait dengan kemampuan memahami dan menilai pesan-pesan media serta kemampuan berinteraksi dengan media secara bijak.

Sehubungan dengan itu, hasil pembelajaran literasi media mengandung ga konsep, yaitu tercapainya kompetensi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Kemudian tercapainya kompetensi kri s terkait dengan aspek-aspek pemahaman bahasa kri s, dan kompetensi literasi media. Dalam hubungannya dengan indikator literasi kri s, dan literasi media maka diharapkan, misalnya siswa dapat memahami dan mendeteksi adanya 1) penggunaan distorsi informasi, 2) penggunaan drama sasi fakta palsu, 3) menggunakan bahasa yang membunuh karakter, 4) pesan yang mengandung kekerasan, dan 5) pesan yang meracuni pikiran anak.

PENUTUP

(11)

televisi, terhadap anak dak bisa dielakkan. Untuk itu, anak-anak usia sekolah hendaknya dibekali dengan sistem imunitas terhadap pengaruh media yang dapat diberikan di sekolah. Persoalannya, sejauh ini belum ada kurikulum khusus mengenai literasi media yang diharapkan bisa menopang kemampuan anak dalam menangkal pengaruh-pengaruh nega f media. Untuk itu, salah satu langkah yang bisa dipakai dalam pembelajaran literasi media ialah melalui pengintegrasiannya dengan mata pelajaran di sekolah, misalnya melalui mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. 2000. Poli k Bahasa dan Pendidikan.

Bandung: Rosdakarya.

Barthes, Roland. 2007. Petualangan Semiologi (Terjemahan). Yogyakarta: Indonesia.

Bungin, Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana.

Panggaribuan, Tagor. 2008. Paradigma Bahasa. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Hariyatmoko. 2007. E ka Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi . Yogyakarta:Kanisius.

Hamad, Abnu. 2004. Konstruksi Realitas Poli k dalam Media Massa. Jakarta: Gramit.

(12)
(13)

LAUNDRY Q: KORELASI ANTARA

ANCAMAN KLAUSULA BAKU DAN

KRITIK TERHADAP UNDANG-UNDANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN

Oleh: Rahmat, SH, MH.

Abstrak

Klausula baku merupakan akumulasi dari faktor bisnis dan non-bisnis, dan mengiku pola seragam. Asas-asas kontrak perlindungan konsumen, baik yang diperkenalkan oleh UU Nomor 8 Tahun 1999 maupun oleh para ahli, belum menjiwai kontrak baku dan klausula baku. Akibatnya, kenda Laundry Q mengombinasi 3 ( ga) asas kontrak, namun komposisi klausula bakunya terdiri dari klausula eksonerasi dan terlarang. Selain mengandung kelemahan-kelemahan internal, pengawasan UU ini lemah, apalagi penegakkan hukumnya. Klausula baku yang dilarangnya hanya menyentuh bagian kecil klausula rumusan pelaku usaha.Lembaga ekseku f dan legisla f harus ber ndak. Ser fi kasi klausula baku, revisi Pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 1999, dan pengujian materil pasal tersebut ke Mahkamah Kons tusi perlu dilakukan.

Kata kunci: Asas kontrak, klausula baku, klausula terlarang, klausula eksonerasi, Laundry Q, Pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

PENDAHULUAN

(14)

ke daksamaan kepen ngan para pihak.1 Kontrak mempertemukan dan mengawal kesetaraan kepen ngan, mengadili dan membebaskan para pihak dari ke dakadilan. Kontrak meniscayakan kebebasan, sebab hanya melalui kebebasan para pihak akan berkedudukan seimbang dan berkeadilan. Penyimpangan dari asas kebebasan berkontrak dapat menimbulkan sanksi perdata dan pidana.2 Namun di dalam prak k kontrak modern, banyak ditemukan model kontrak baku yang cenderung berat sebelah, dak seimbang, dan dak adil,3 karena isinya telah diformulasikan oleh satu pihak dalam bentuk formulir-formulir.4 Hanya segelin r hal saja yang biasanya belum dibakukan.5 Aturan atau ketentuan atau syarat sebuah kontrak merupakan klausula yang menentukan hubungan antara pelaku usaha dan konsumen, hak dan kewajiban. Kalau klausula kontrak telah dipersiapkan dan ditetapkan lebih dahulu oleh pelaku usaha, sementara konsumen hanya diminta menyetujui dan memenuhinya saja, maka klausula itu disebut klausula baku. Pasal 1 ayat 10 UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyatakan:

“Klausula baku adalah se ap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.” Pembakuan klausula cenderung menimbulkan masalah.

Pertama, karena klausula baku seringkali merugikan pihak yang berada pada posisi lemah dan, kedua, karena kesulitannya untuk mewujudkan asas kebebasan, keseimbangan, dan keadilan bagi para pihak. Jika menyimpangi asas kebebasan berkontrak, maka klausula baku bertentangan dengan Pasal 1338 ayat

1 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (LaksBang Mediatama Yogyakarta bekerjasama dengan Kantor Advokat “Hufron & Hans Simaela Surabaya, 2008), 1. 2 Yusuf Shofi e, Perlindungan Konsumen, (B andung: PT Citra Aditya Bak ,

2009), 33-36.

3 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 2.

4 Man S Sastrawidjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang, (Bandung: Alumni, 2005), 175.

5 Misalnya jenis, harga, jumlah, tempat, waktu dan spesifi kasi lain dari

(15)

(1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Jika menyimpangi asas keseimbangan dan keadilan, maka klausula baku bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999. Tidak menutup kemungkinan klausula baku yang disodorkan di sekeliling masyarakat, dan disetujui untuk memenuhi hajat keseharian, misalnya menyuci pakaian (laundry), adalah klausula baku yang dak melindungi kepen ngan konsumen. Klausula baku Laundry Q yang bertempat di Kota Pon anak, misalnya, dirumuskan tanpa melibatkan konsumen. Terhadap isi dan format klausula itu, konsumen dak diberi kesempatan untuk mengusulkan perubahan. Kosumen cukup memberikan persetujuan dengan cara menandatangani kontrak baku dan klausula baku yang sudah tersedia.

Klausula baku Laundry Q tentunya dibuat dan dirumuskan dengan alasan-alasan tertentu yang disesuaikan dengan faktor kepen ngan dan rasionalitas bisnis. Namun klausula yang disodorkan kepada konsumen itu dak dapat mengelak dari penilaian norma f UU Nomor 8 Tahun 1999. Sebabnya ialah karena pelaku usaha wajib mematuhi ketentuan-ketentuan tentang klausula baku seper disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU Nomor 8 Tahun 1999. Ketakterelakkan norma f belum sepenuhnya membuk kan UU tersebut serba lengkap, serba sempurna, dalam rangka melindungi kepen ngan konsumen. Kelemahan suatu peraturan hukum, atau peraturan perundang-undangan, sedari awal sudah disadari oleh para ahli hukum, bahkan oleh para perumus (legislator) sendiri. Tak mengherankan jikalau suatu peraturan bisa diubah, direvisi, dibatalkan, dicabut, dihapus, dan berbagai bentuk kemungkinan legalitas lainnya. Konon pula objek yang diaturnya bersifat dinamis dan berubah mengiku perkembangan seper halnya perlindungan konsumen.

(16)

dengan kegiatan usaha milik masyarakat, dalam memberikan jaminan terhadap ancaman klausula baku yang dak melindungi konsumen. Sudah semes nya dilema korela f ini menemukan jalan keluar. Tujuan pokoknya ialah melindungi konsumen, pelaku usaha, dan pihak lain yang berkepen ngan, baik melalui klausula baku maupun melalui UU Nomor 8 Tahun 1999.

KLAUSULA BAKU: TEORI, ASAS, NORMA DAN BUKTI ILMIAH

Mewaspadai klausula baku, secara teori s, adalah kewaspadaan untuk melindungi konsumen. Pepatah lama, bahwa pembeli (konsumen) bagaikan sang raja, hendak diwujudkan lagi setelah pelaku usaha merajai tahta kontrak dan klausula bisnis modern. Kewaspadaan teori s untuk melindungi konsumen muncul dari pengalaman pahit bisnis dan industri, kemudian menyita perha an studi-studi hukum. Ada ga teori terkenal, jikalau bukan paling berpengaruh dalamperlindungan konsumen: let the buyer beware, the due care theory,danthe privity of contract.6Teori let the buyer beware atau caveat emptor, yang secara harfi ah berar “biarkan si pembeli berha -ha ”, dianggap embrio kelahiran sengketa transaksi konsumen. Teori ini mengandaikan pelaku usaha dan konsumen berkedudukan seimbang karena dibentuk oleh mekanisme pasar. Proteksi eksternal tak diperlukan. Jika konsumen mengalami kerugian, maka penyebabnya ialah kekeliruan konsumen, karena menurut prinsip keperdataannya pihak yang wajib berha -ha adalah konsumen. Bukankah klausula baku sudah tersedia! Teori ini mengandung beberapa kelemahan atau kri k. Pertama, peluang pelaku usaha untuk menutup-nutupi informasi produk berkali-kali lebih besar ke mbang ke dakmampuan konsumen mengakses informasi. Kedua, dalih pelaku usaha untuk menjus fi kasi dirinya lebih besar ke mbang konsumen.

Teori the due care theory menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berha -ha dalam memasyarakatkan produk (barang/ jasa). Pelaku usaha dapat disalahkan kalau dia terbuk melanggar prinsip keha an-ha an.

(17)

Kunci perlindungan konsumen terletak pada kemampuan konsumen untuk membuk kan kesalahan pelaku usaha atau pelanggarannya terhadap prinsip tersebut. Masalahnya ialah konsumen mengalami kesulitan untuk membuk kan kelalaian pelaku usaha yang memiliki kekuatan ekonomis, poli s dan sebagainya. Kelemahan lain teori the due care theory ialah ke daksesuaiannya dengan hukum pembuk an di Indonesia. “Barangsiapa mendalilkan mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peris wa, maka dia diwajibkan membuk kan adanya hak atau peris wa tersebut” (Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Ketentuan ini jelas menyulitkan konsumen.

Kewajiban pelaku usaha untuk melindungi konsumen sangat ditekankan oleh teori the privity of contract, asalkan saja di antara dua pihak telah terjalin hubungan kontraktual. Kewajiban melindungi konsumen diakibatkan oleh kontrak. Kontrak akan mendasari dan membatasi kewajiban pelaku usaha. Hal di luar rumusan kontrak dak dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Kenda sangat memperha kan kosumen, namun teori the privity of contract memiliki kelemahan.

Pertama, sebuah kontrak seringkali dibuat berdasarkan

kemauan pelaku usaha. Kontrak baku dan klausula baku adalah buk ke dakberdayaan konsumen menghadapi dominasi pelaku usaha. Kedua, pelaku usaha berpeluang menghilangkan kewajiban yang seharusnya dibebankan kepadanya. Ke ga,

pelaku usaha bisa saja hanya merumuskan kesalahan prinsipil dalam kontrak, sedangkan kesalahan lain, yaitu kesalahan fatal menurut konsumen, dianggap kesalahan kecil. Klausula baku seringkali memuat subjek fi kasi kesalahan, yaitu kesalahan perspek f pelaku usaha sendiri.

Mewaspadai klausula baku bukan dengan semata-mata mengembalikan konsumen sebagai raja, melainkan dengan memeriksa asas-asas hukum kontrak yang mendasarinya. Tidak ada hukum tanpa asas-asas hukum, baik karena asas-asas tersebut memberikan makna e s peraturan hukum maupun tata hukum.7

7 Yusuf Shofi e, Pelaku Usaha, Konsumen, Dan Tindak Pidana Korporasi

(18)

Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, menurut Shofi e, mengibaratkan asas hukum seper “jantung” peraturan hukum. Dalam pembahasan asas hukum kontrak, menurut Hernoko, Niewenhius berpendapat asas hukum berfungsi sebagai pembangunan sistem, menciptakan sistem check and balance, mempengaruhi hukum posi f, dan mengarah pada proses keseimbangan.8 Hukum memang mengenal beberapa asas yang mendasari perjanjian secara umum, dan kontrak khususnya. Pertama, asas kebebasan berkontrak. Se ap orang bebas membuat perjanjian dengan siapapun, apapun isinya, apapun bentuknya, sejauh dak melanggar undang-undang, keter ban umum, dan kesusilaan.9 Makna kata “se ap orang” bukan merujuk pada pribadi atau individu tertentu, melainkan antar pribadi atau antar individu. Prinsip kebebasan berkontrak memberikan kebebasan bagi para pihak untuk (1) membuat atau dak membuat perjanjian; (2) mengadakan perjanjian dengan siapapun; (3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya, dan (4) menentuk bentuk perjanjian (lisan dan tulisan).10 Jadi di dalam kontrak para pihak mempunyai kedudukan seimbang dan berkeadilan, aturan yang mengikat, dan wajib ditaa oleh para pihak yang membuatnya.

Kedua, asas konsensualisme. Suatu kontrak sudah sah dan mengikat ke ka tercapai kata sepakat, tentunya selama syarat sahnya kontrak sudah terpenuhi.11 Karakter universal dari asas konsensualisme terletak pada unsur kesepakatan, yang dibentuk oleh penawaran dan penerimaan,12 sekalipun kedua pihak mengabaikan unsur-unsur formalitas kontrak. Ke ga, asas daya mengikat kontrak (pacta sunt servanda). Suatu kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Menurut Hernoko, penger an “berlaku sebagai

8 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 22.

9 Handri Rahardjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Jus sia, 2009), 43.

10 Salim. H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia

(Jakarta: Sinar Grafi ka, 2003), 9.

11 Munir Fuadi, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bak , 1999),30.

(19)

undang-undang bagi mereka yang membuatnya” menunjukkan bahwa undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan posisi para pihak sejajar dengan pembuat undang-undang.13

Keempat, asas i kad baik. Perjanjian harus dilaksanakan dengan i kad baik (Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Salim membagi i kad baik menjadi dua. Pertama adalah i kad baik yang nisbi. Ar nya, i kad baik dapat dilihat dari sikap dan ngkah laku seseorang. Kedua adalah i kad baik yang mutlak. Ar nya, penilaian terhadap i kad baik diletakkan pada akal sehat dan keadilan, dan dibuat ukuran seobjek f mungkin untuk menilai keadaan tersebut.14 Rusli berpendapat, i kad baik adalah kejujuran dalam fakta, dalam ndakan, atau dalam transasksi yang bersangkutan.15

Kelima, asas proporsionalitas. Asas proporsionalitas berar asas yang mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagiannya. Proporsionalitas pembagian hak dan kewajiban diwujudkan dalam seluruh proses hubungan kontraktual, baik pra melakukan kontrak, pembentukan kontrak, hingga pelaksanaan kontrak. Asas proporsionalitas dak menyoal keseimbangan hasil, tetapi lebih menekankan proporsi pembagian hak dan kewajiban antar pihak.16 Menurut Hernoko, asas proporsionalitas pada dasarnya merupakan perwujudan doktrin “keadilan berkontrak” yang mengoreksi dominasi asas kebebasan berkontrak yang dalam beberapa hal justeru menimbulkan ke dakadilan.17 Dalam kontrak komersial, asas proporsionalitas memiliki 3 ( ga) fungsi, yaitu (1) menjamin terwujudnya negoisasi kontrak yang fair, yang dilakukan pada tahap pra kontrak, (2) menjamin kesetaraan hak serta kebebasan menentukan isi kontrak, yang dilakukan pada tahap pembentukan kontrak, dan (3) menjamin terwujudnya distribusi pertukaran hak dan kewajiban sesuai proporsinya, yang dilakukan dalam pelaksanaan kontrak. Hernoko selanjutnya berpendapat, jika terjadi kegagalan pelaksanaan kontrak, maka

13 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 110. 14 Salim. H.S, Perkembangan Hukum, 11.

15 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), 120.

(20)

kadar kesalahan harus diukur berdasarkan asas proporsionalitas, sehingga kesalahan kecil (minor important) dak serta merta berakibat pada pemutusan kontrak, atau pembebanan gan rugi terhadap pihak lain.18 Fungsi-fungsi asas proporsionalitas kiranya dapat pua diberlakukan dalam kontrak jasa, karena “... batasan yang jelas mengenai kontrak komersial itu sendiri dak pernah dijumpai.”19 Keenam, asas keseimbangan. Tujuan asas keseimbangan adalah hasil akhir yang menempatkan posisi para pihak seimbang (equal) dalam menentukan hak dan kewajiban. Hasil akhir merupakan pembeda utama asas keseimbangan dari asas proporsionalitas. Oleh karena itu, untuk menyeimbangkan posisi para pihak, intervensi dari otoritas negara (pemerintah) sangat kuat.20 Selain mengatur ketentuan klausula baku dan menyebutkan lima asas perlindungan konsumen, yaitu asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepas an hukum (Pasal 2 UU Nomor 8 Tahun 1999),21 UU Nomor 8 Tahun 1999 juga mengatur hak (konsumen22

18 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 293-294. 19 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 29. 20 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 61, 66-67.

21 Rumusan ini dirinci oleh Penjelasan Atas UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat dan sebesar-besarnya bagi kepen ngan konsumen dan pelaku usaha. Asas keadilan dimaksudkan agar par sipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan kepen ngan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam ar materiil dan spiritual. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas kepas an hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaa hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepas an hukum.

(21)

dan pelaku usaha23) dan kewajiban (konsumen24 dan pelaku usaha25). Menurut Alkostar, UU Nomor 8 tahun 1999 merupakan indikator untuk melindungi kepen ngan konsumen secara yuridis. Kepas an perlindungan hukum tersebut mengacu pada

dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan, dilayani secara benar serta dak diskrimina f; h. Hak untuk mendapatkan konpensasi gan rugi dan/atau penggan an, apabila barang dan/atau jasa yang diterima dak sesuai dengan perjanjian atau dak sebagaimana mes nya; i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan-undangan lainnya.

23 Pasal 6 UU Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan hak pelaku usaha adalah: a. Menerima pembayaran sesuai dengan kesepakatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. Mendapat perlindungan hukum dari ndakan konsumen yang dak beri kat baik; c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. Hak untuk rehabilitasi nama baik, apabila secara hukum kerugian konsumen tak terbuk ; e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

24 Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan kewajiban konsumen adalah: a. Membaca dan mengiku petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa; b. Beri kat baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepaka ; d. Mengiku upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. 25 Pasal 7 UU Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan kewajiban pelaku usaha

(22)

perlakuan keadilan antara hak konsumen dan pelaku usaha.26 Menurut UU Nomor 8 Tahun 1999, dak semua klausul baku diperbolehkan. Ada klausul baku yang dilarang atau disingkat klausul terlarang. Norma dasar UU yang mengatur klausula terlarang terdapat dalam Pasal 18 ayat (3):

“Se ap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.”

Ketentuan-ketentuan mengenai klausula terlarang dijelaskan dalam Pasal 18 ayat (1)27 dan (2).28 Apabila suatu klausul baku sudah dinyatakan batal demi hukum, maka kontrak yang disepaka oleh pelaku usaha dan konsumen juga dinyatakan batal. Pembatalan merupakan wewenang lembaga peradilan atau lembaga peradilan khusus yang ditunjuk untuk melaksanakannya. Jika klausula baku hendak dihindarkan dari klausula

26 Ar djo Alkostar, Negara Tanpa Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 327.

27 “(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada se ap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun dak langsung untuk melakukan ndakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; f. Mengatur perihal pembuk an atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; g. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; h. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; i. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.”

(23)

terlarang, maka “Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini”29 Namun demikian, klausula terlarang adalah salah satu klausula yang dikenal dalam norma perlindungan konsumen. Mengingat sebuah UU bersifat membatasi, maka karakteris k klausula terlarang juga terbatas. Studi-studi hukum perlindungan konsumen mengenalkan dan menambahkan klausula lain, yaitu klausula eksonerasi, yang dipandang lebih luas dan mampu melindungi konsumen dari klausul-klausul baku yang dak melindungi konsumen. Menurut Shidarta, klausula eksenorasi adalah klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggungjawab yang semes nya dibebankan pada para pihak; produsen/penyalur produk (penjual).30 Rijken, seper diku p Miru dan Yudo, mende nisikan klausula eksonerasi sebagai:

“Klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar gan rugi seluruhnya atau terbatas yang terjadi karena inkar janji atau perbuatan melanggar hukum.”31

Indikator klausula eksonerasi adalah klausul yang sangat merugikan konsumen yang umumnya memiliki posisi lemah jikalau dibandingkan dengan pelaku usaha. Unsur fundamental klausula eksonerasi semacam ini32 belum atau dak terakomodir dalam UU Nomor 8 Tahun 1999. Perha kan Tabel 1 di bawah.

29 Pasal 18 ayat (4) UU Nomor 8 Tahun 1999. 30 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen,20.

31 Ahmadi Miru dan Sutarman Yudi, Hukum Perlindungan Konsumen

(Jakarta: Rajawali Press, 2007), 114.

(24)

Tabel 1

Ciri Utama Klausula Terlarang dan Klausula Eksonerasi

No Klausula maka perhitungan kami

dianggap benar

3 Pengaburan

bentuk/isi

-Kelebihan dari harga jual barang jaminan yang dilakukan oleh pelaku usaha akan disampaikan

kepada konsumen

4 - Pembatasan Tanggung

Jawab

Film yang hilang/ rusak digan sebesar 1 rol fi lm

5 - Penghilangan

Tanggung Jawab

Hilang/Kerusakan barang di luar tanggung

jawab kami dan di bawah wewenang

kami

7 - Melemahkan Posisi

Konsumen

1. Dalam pengalihan tanggung jawab semes nya pelaku usaha yang bertanggungjawab terhadap kekurangan nlai barang, sebab pelaku usaha yang melakukan, misalnya, penaksiran dan pelelangan barang, bukan konsumen.

(25)

warna yang sama dengan tulisan lain, dan biasanya diletakkan pada posisi yang sulit dibaca.

3. Pengaburan isi antara lain ditulis tanpa menentukan waktu dan cara.

Adalah menarik, klausula terlarang dan klausula eksonerasi juga merupakan masalah dalam usaha-usaha yang dijalankan oleh pemerintah. Peneli an Rahmat, “Analisa Yuridis Terhadap Klausula Baku Dalam Implementasi Kontrak Bisnis (Suatu Kajian Perspek f Hukum Perlindungan Konsumen),” dapat dijadikan contoh.33 Rahmat menganalisis klausula baku yang dibuat oleh beberapa ins tusi kepemerintahan yang bergerak di sektor ekonomi, yaitu Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), Perseroan Terbatas Perusahaan Listrik Negara (PT PLN), Perseroan Terbatas Telekomunikasi (PT Telkom), dan Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian. Dengan menggunakan perspek f hukum perlindungan konsumen, Rahmat mengembangkan pertanyaannya tentang implikasi hukum dari klausula baku yang dibuat oleh beberapa perusahaan lembaga pemerintah tersebut. Tesis ini menggunakan pendekatan norma f, berpijak pada aspek norma (aturan tertulis), dan berfokus pada kajian sis ma ka hukum. Jenis peneli annya adalah peneli an kepustakaan. Hasilnya ialah bahwa beberapa klausul baku dalam kontrak yang dibuat oleh ins tusi-ins tusi pemerintah tersebut berindikasi klausula terlarang, dan termasuk juga klausula eksenorasi (klausula berat sebelah).

Rahmawa meneli klausula baku dalam kontrak pemasangan saluran air PDAM Kota Pon anak.34 Sebagaimana Rahmat, Rahmawa menggunakan perspek f UU Perlindungan Konsumen, dan menambahkan spesifi kasi perspektual. Rumusan pertanyaan peneli an Rahmawa , oleh karenanya, lebih khusus. “Bagaimanakah kontrak baku yang dibuat oleh PDAM

33 Rahmat, “Analisa Yuridis Terhadap Klausula Baku dalam Implementasi Kontrak Bisnis (Suatu Kajian Perspek f Hukum Perlindungan Konsumen)”, Tesis Pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Tanjungpura, Pon anak 2006.

(26)

Kota Pon anak di njau dari asas keseimbangan dan Hukum Perlindungan Konsumen?” Peneli an yang menggunakan metode pendekatan norma f dengan berpijak pada aspek norma hukum ini menyimpulkan, bahwa antara PDAM Kota Pon anak dan pelanggan terjalin kontrak yang dak seimbang. Menarik diingat, peneli an Rahmawa dilakukan setelah pemberlakuan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mencapai usia 14 (empatbelas) tahun.

Klausula terlarang dan klausula eksonerasi ternyata muncul dalam kontrak-kontrak baku rumusan perusahan pemerintah. Pemerintah semes nya telah mengetahui dan menjadi pelopor rumusan klausula baku yang bebas dari klausula terlarang dan tentunya bebas dari klausula eskonerasi. Kepeloporan menjadi krusial bagi usaha-usaha masyarakat, baik usaha kecil atau mikro, menengah, maupun atas. Sayangnya, klausula terlarang dan klausula eksonerasi sudah menjalar ke dalam usaha kecil milik masyarakat seper dibuk kan oleh seorang mahasiswa yang meneli kontrak baku yang dibuat dan digunakan oleh Luxor Laundry & Dry Clean, yang beralamat di Kompleks Meran Indah Pon anak.35 Hasil peneli an Mursalin menyatakan Luxor Laundry telah melanggar aspek-aspek perlindungan konsumen, karena ditemukan ke dakseimbangan (hak dan kewajiban) kontrak, dan diberlakukannya klausula terlarang dan klausula eksonerasi. Dia bahkan menyatakan kontrak baku Luxor Laundry melanggar hukum Islam.

Jadi beberapa upaya pembuk an ilmiah tentang klausula baku yang berhasil dilacak bertemu pada kesimpulan norma f-posi vis s yang seragam, bahwa klausula baku sektor jasa telah melanggar asas keseimbangan, menggunakan klausula terlarang dan klausula eksonerasi. Konsumen belum terlindungi. Buk -buk ilmiah itu akan dilanjutkan dengan upaya menemukan faktor atau penyebab dilema “akut” klausula baku sektor jasa, baik faktor internal, yang bisa diselesaikan oleh pelaku usaha, maupun faktor eksternal, yang berada di luar kendali pelaku

(27)

usaha. Klausula baku Laundry Q akan dijadikan contoh.36 Dengan menggunakan metode norma f-kri s,37 dilema akut klausula baku diharapkan menemukan jalan keluar.

KLAUSULA BAKU LAUNDRY Q

Laundry Q terletak di Jalan Putri Candramidi Gg. Sukarame No. 26 A Pon anak Sejak didirikan pada tahun 2011, Laundry Q menawarkan jasa kepada masyarakat Kota Pon anak khususnya dan luar Kota Pon anak umumnya. Laundry Q bukan saja melengkapi usahanya dengan fasilitas dan instrumen bisnis ke-laundry-an, melainkan pula dengan syarat legal-formal. Demikianlah Laundry memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Kecil, Izin Gangguan, dan Tanda Da ar Perusahaan (Perusahaan Perorangan/PO). Semua dokumen legal-formal ini dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Pon anak. Kelengkapan dokumen lega-formal merupakan daya tarik khas Laundry Q yang dimiliki oleh Faiz Amien Jaya, seorang konsultan usaha laundry

di Kota Pon anak. Dari kelengkapan legal-formal dan ketokohan pemiliknya ini bisa muncul dugaan, bahwa Laundry Q berpotensi dijadikan sampel pelaksanaan UU Nomor 8 Tahun 1999.

Laundry Q telah menyediakan terlebih dahulu format, isi dan rumusan kontrak penyucian barang yang galibnya berupa pakaian, entah pakaian luar (misalnya, kemeja), pakaian dalam

36 Diperlukan waktu 6 (enam) bulan, Juni-Desember 2014, untuk meneli klausula baku Laundry Q.

37 Metode norma f-kri s berar suatu prosedur peneli an ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan prinsip-prinsip logis ilmu hukum secara kri s. Prinsip-prinsip logis yang dimaksud pertama-tama merujuk pada paradigma posi vis s dalam ilmu hukum. Ar nya, mencerma apa yang dinyatakan oleh peraturan perundang-undangan terlebih dahulu, yaitu UU Nomor 8 Tahun 1999. Karakteris k paradigma posi vis s dalam studi hukum memang mengutamakan telaah tekstual. Prinsip berikutnya ialah melakukan analisis kri s terhadap peraturan perundang-undangan tersebut. Prinsip kri s di sini dipahami secara terbatas, yaitu menemukan keterbatasan dan/atau “kelemahan” suatu peraturan perundang-undangan jikalau dihadapkan pada objek tertentu, klausula baku Laundry Q, yang mes nya telah diatur oleh peraturan itu sendiri. Jadi prinsip kri s ini dak dapat dikacaukan dengan apa yang disebut cri cal legal studies

(28)

(misalnya, kaos dalam), dan pakaian ibadah (misalnya, mukenah). Dalam “Nota/Bon Laundry Q” disebutkan berbagai jenis barang lain yang dapat dimintakan jasa penyuciannya kepada Laundry Q. Nota tersebut juga menyediakan kolom jumlah lembar dan ukuran berat barang. Ada ga kategori biaya pelayanan yang ditetapkan Laundry Q, yaitu biaya standar, biaya ekspres dan biaya kilat.

Calon konsumen yang berminat menggunakan jasa Laundry Q dapat membawa barang, misalnya beberapa lembar pakaian pribadi miliknya, yang hendak dimintakan jasanya kepada Laundry Q, dan membubuhkan tanda tangannya pada format kontrak yang telah disediakan. Tanda tangan konsumen merupakan buk persetujuannya terhadap semua hal yang telah dirumuskan oleh Laundry Q. Kontrak baku yang ditandatangani oleh konsumen menjadi acuan kedua pihak, sekalipun konsumen dak terlibat dalam merumuskannya. Dalam Nota/Bon Laundry Q tercantum klausula kontraktual sebagai berikut:

PERHATIAN :1. Pengambilan harus membawa nota/bon. 2. Barang hilang/rusak digan 5x harga laundry. 3. Barang hilang/rusak karena dak diambil lebih dari 30 hari, dak ditanggung atau akan disumbangkan. 4. Kerusakan/ luntur/mengkerut karena sifat bahan itu sendiri diluar tanggungjawab kami. 5. Hak claim berlaku 24 jam setelah barng diambil. 6. Aturan jaminan diatas dak dapat diubah dan konsumen dianggap setuju dengan syarat-syarat diatas.”

FAKTOR KLAUSULA BAKU LAUNDRY Q

(29)

Oleh karena itu, tujuan utama Laundry Q adalah bisnis. Memang benar, dak ada larangan hukum untuk memburu keuntungan bisnis. Namun mengambil keuntungan dak boleh dimanipulasi oleh mo f pelaku usaha saja; keuntungan maksimal dengan biaya seminimal mungkin.38 Relasi antara kepen ngan bisnis dan hukum merupakan problem klasik. Di satu sisi, diandaikan kepen ngan bisnis lebih dinamis, dan lebih cepat berubah, ke mbang kepas an atau ketaatan terhadap hukum. Di sisi lain, kepen ngan bisnis dan kepas an hukum dak bisa dipisahkan. “Se ap langkah bisnis adalah langkah hukum,” demikian J. Van Kan dan J.H. Beekhuis seper diku p Hernoko.39 Langkah hukum juga berar langkah dalam pra, pembentukan, dan pelaksanaan kontrak.

Klausula baku yang dirumuskan terlebih dahulu oleh Laundry Q adalah perwujudan kontraktual yang padanya melekat dimensi bisnis dan hukum. Pada dimensi bisnis, klausula baku menunjang kepen ngan bisnis Laundry Q sebagai pengusaha, misalnya kepas an nominal jaminan. Bagi Laundry Q, kalkulasi bisnis seharusnya dipertahakan sedemikian rupa, bahkan dipertahankan dalam rumusan kontrak baku. Maka “...6. Aturan jaminan diatas dak dapat diubah dan konsumen dianggap setuju dengan syarat-syarat diatas” (lihat Nota/Bon Laundry Q nomor 6). Klausula baku memang berupaya menjelaskan hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen. Menurut pengalaman Laundry Q, selama ini mayoritas konsumen bisa memahami atau memaklumi kontrak dan klausula baku penyucian itu. Memang pernah ada komplain konsumen yang merasa hak-haknya diabaikan, namun bukan komplain fundamental terhadap kepen ngan diri (self-interest)Laundry Q yang diwujudkan dalam kontrak baku yang diyakini sudah memberikan klausul-klausul “terbaik” bagi konsumen.

Sekalipun begitu, karena dirumuskan secara sepihak, klausula kontrak baku Laundry Q sangat sulit menghindari subjek visme yang melampaui kepen ngan konsumen. Subjek visme kontrak baku seringkali paralel dengan kerugian

38 Demikian sebagaimana tertulis dalam cover buku Yusuf Shofi e, Pelaku

Usaha, Konsumen, tanpa halaman.

(30)

pihak lain. Dalam Nota/Bon Laundry Q disebutkan, bahwa “...2. Barang hilang/rusak digan 5x harga laundry”, bukan berdasarkan harga ril atau harga yang adil menurut konsumen dan Laundry Q. Penetapan jumlah itu dimaksudkan untuk melindungi kepen ngan konsumen dan Laundry Q sendiri. Jika

dak dipatok, maka sengketa susah ditolak. Klausul nomor 2 itu tampak sejalan dengan ketentuan Pasal 26 UU Nomor 8 Tahun 1999: “Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepaka dan/atau yang diperjanjikan.” Kenda demikian, jikalau harga ril barang lebih besar ke mbang harga penggan an barang hilang atau rusak, maka konsumen tetap dirugikan. Sebaliknya, jikalau harga ril barang hilang atau rusak ternyata lebih rendah ke mbang “...digan 5x harga laundry”, maka Laundry Q akan menderita kerugian. Subjek visme harga dalam kontrak baku rupanya berpotensi merugikan dua pihak sekaligus.

Faktor kedua adalah efi siensi kontrak. Bagi Laundry Q, klausula baku adalah wujud kontraktual yang efi sien untuk mengungkapkan keinginan, penawaran jasa, dan persetujuan konsumen. Efi siensi kontrak ala Laundry Q sejalan dengan kompe si pasar yang dihadapinya. Konsumen sebenarnya memburu ga hal, yaitu kecepatan, bagus, dan murah. Namun ke ga hal ini dak bisa diperoleh oleh konsumen, dan dak bisa disiapkan oleh Laundry Q. Oleh karena itu, Laundry Q memberikan preferensi kepada konsumen untuk memilih satu atau dua skala prioritas dari yang dapat diperoleh dan disediakan olehnya. Laundry Q mengis lahkan ke ganya sebagai triangle bisnis. Maka seke ka kontrak baku disetujui, seke ka itu pula proses bisnis selesai. Sastrawidjaja benar, bahwa alasan semula kontrak baku memang alasan efesiensi dan prak s.40 Ciri khas kontrak semacam itu, menurut Wulansari, ada dua. Pertama,

selalu berupa kontrak tertulis yang substansinya dipersiapkan terlebih dahulu dan, kedua, disusun dan dipersiapkan oleh salah satu pihak kemudian diajukan kepada pihak lain untuk diterima secara utuh.41 Beberapa studi lain menyebutkan

aspek-40 Man S Sastrawidjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang, 176.

(31)

aspek posi f klausula baku, antara lain memudahkan proses dan mekanisme bisnis yang semakin kompe f. Namun jikalau diuji dengan teori let the buyer berware, efi siensi kontrak ala Laundry Q memiliki risiko atau konsekuensi norma f. Salah satu sebabnya ialah konsumen dapat meminta tanggung jawab pelaku usaha tentang kualitas informasi tentang jasa ke-laundry -an y-ang disodork-an. Kualitas informasi mendeterminasi pilih-an konsumen. Informasi dan pilihan merupakan dua jenis hak dari 4 (empat) hak dasar konsumen seper dida arkan oleh J.F. Kennedy.42 Hak-hak dasar konsumen memang sulit die siensikan dalam pembakuan klausula secara sepihak.

Faktor ke ga ialah polarisasi kontrak baku. Laundry Q, pelaku usaha itu, memasuki pasar ke-laundry-an yang sudah terlebih dahulu tercipta dan menciptakan hukum-hukumnya sendiri, seper harga, iklan, dan lain sebagainya. Pasar kompe f itu juga membentuk pola pembuatan kontrak. Menurut Laundry Q, usaha laundry umumnya mengacu dan menggunakan kontrak yang kurang-lebih sama. Ada banyak contoh klausula baku yang tersebar dan diketahui oleh Laundry Q sebelum secara de

facto menjalankan usahanya. Laundry Q semacam melakukan

perbandingan klausula baku. Beberapa klausul Laundry Q menyerupai klausula Luxor Laundry & Dry Clean yang menurut hasil peneli an Mursalin tergolong klausula terlarang dan klausula eksonerasi. Perha kan klausula sebagai berikut:

“PERHATIAN: 1. Pengambilan harus disertai dengan Bon dibayar tunai, 2. Bon ini berlaku selama 40 hari dan Barang yang dak diambil melebihi batas waktu tersebut

dak menjadi tanggung jawab kami, 3. Tanggung jawab kami atas kerusakan/kehilangan Mak 10 kali pembiayaan pembersihan & barang yang telah digan menjadi milik kami, 4. Kalim (sich!) berlaku 24 jam setelah pengambilan barang, 5. Kerusakan yang terjadi selama proses

Jimly Asshiddiqie dkk (Ed), Beberapa Pendekatan Ekonomi Dalam Hukum, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, 2003), 49. 42 Menurut Kennedy ada 4 (empat) hak dasar konsumen: (1) hak

(32)

pembersihan yang diakibatkan oleh sifat barang seper luntur, mengkerut/melar atau memudarnya sebagian warna, dak menjadi tanggung jawab kami.”43

Klausul nomor 1 dan 5 Luxor Laundry di atas, misalnya, sangat sulit dibedakan dengan klausul nomor 1 dan 4 dalam Nota/Bon Laundry Q. Tidak ada maksud mengomparasi klausula. Hal yang hendak ditekankan ialah Laundry Q belum merumuskan klausul baku yang fundamental berbeda dari klausul-klausul baku usaha laundry lain, se daknya usaha laundry yang pernah menjadi objek peneli an ilmiah. Klasula baku Laundry Q, dengan demikian, merepresentasikan konvensi kontrak, yang rela f seragam, di sektor jasa laundry khususnya. Kenda begitu, Laundry Q masih sanggup menambahkan klausul khas, bahwa “...3. Barang hilang/rusak karena dak diambil lebih dari 30 hari, dak ditanggung atau akan disumbangkan.” Menurut Laundry Q, kalimat “... akan disumbangkan” merupakan hasil kreasi internal, dak diadopsi dari tempat lain, dan bertujuan mensubs tusi amal sosial konsumen. Namun, secara keseluruhan, klausula baku Laundry Q adalah klausula adap f di lingkungannya.

Faktor keempat ialah rendahnya wawasan tentang UU Nomor 8 Tahun 1999. Rendahnya pengetahuan tentang UU tersebut menyebabkan klausula baku Laundry Q lebih banyak mengatur hak ke mbang kewajiban pelaku usaha. Adalah benar, klausula baku qua klausula baku dak dilarang. Pelaku usaha boleh merumuskan klausula baku sepanjang dak melawan atau bertentangan dengan peraturan yang ada.44 Namun karena hak pelaku usaha mendominasi, maka tanggung jawabnya mencuat secara eksklusif. Seorang konsumen memang berhak mengajukan klaim, namun klaim harus sejalan dengan tanggung

43 Lihat Mursalin, “Asas Perlindungan Konsumen”, halaman lampiran. 44 Dalam penger an Widjaja dan Yani, UU Nomor 8 Tahun 1999 dak

(33)

jawab eksklusif Laundry Q, karena “...5. hak claim berlaku 24 jam setelah diambil.” Klausul tentang hak klaim dalam Nota/ Bon Laundry Q berar pembatasan tanggung jawab pelaku usaha. Kalau eksklusivisme mengerucut pada pembatasan tanggung jawab, maka karakteris k imuna f pelaku usaha biasanya mengerucut pada penghilangan tanggung jawab dan pengalihan tanggung jawab. Contoh karakteris k imuna f adalah klausul nomor 4 Nota/Bon Laundry Q (“...4. Kerusakan/luntur/ mengkerut karena sifat bahan itu sendiri diluar tanggungjawab kami.”). Jadi kerusakan atau luntur atau mengkerut disebabkan oleh sebab tunggal, yaitu bahan atau barang itu sendiri, bukan pada jasa profesional Laundry Q. Adalah menarik, Laundry Q secara lisan menyatakan tanggung jawab atas kerusakan, luntur atau mengkerut seyogyanya dikembalikan kepada pembuat barang, yaitu pihak lain, atau produsen barang. Katakanlah pabrik pembuat pakaian. Pernyataan lisan semacam ini, menurut Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Nomor 8 Tahun 1999, merupakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Untunglah, pengalihan tanggung jawab ini diungkap Laundry Q secara lisan, bukan tulisan.

ASAS DAN PENYIMPANGAN KLAUSULA BAKU

Dalam menjalankan usahanya, Laundry Q mengandaikan dirinya sudah menerapkan “asas kebebasan berkontrak”. Sebabnya ialah dak ada praktek pemaksaan bagi calon konsumen untuk menyetujui kontrak dan klausula baku Laundry Q. Calon konsumen bebas berkehendak sebelum mengambil keputusan. Jadi ada kebebasan merumuskan isi kontrak, ada pula pula kebebasan melayani dan menentukan konsumen. Kebebasan pertama dipahami sebagai otonomi pelaku usaha, sedangkan kebebasan kedua dimenger sebagai kualifi kasi yang diterapkan pelaku usaha kepada konsumen. Karena otonomi dan kualifi kasi, Laundry Q merasa dak perlu melibatkan peran konsumen. Kebebasan berkontrak yang dipahami dan dijalankan

dak bertentangan dengan hukum.

(34)

itu, kelemahan teori let the buyer beware adalah kelemahan kebebasan berkontrak perspek f Laundry Q. Bagi konsumen tertentu, klausula baku yang dirumuskan Laundry Q tampak sulit diakses, dibaca dan dimenger . Dalam struktur Nota/Bon Laundry Q, klausula baku ditulis dalam format atau bentuk tulisan dengan ukuran terkecil jikalau dibandingkan dengan tulisan lainnya. Klausula baku tersebut juga diletakkan di posisi paling bawah. Konsumen tertentu dapat mengalami kesulitan untuk memahami apa maksud dari salah satu klausul Laundry Q. Kepada siapa atau kelompok sosial mana barang yang hilang atau rusak atau mengkerut, dan dak diambil oleh konsumen (lihat klausula baku Laundry Q nomor 3), akan diserahkan? Apakah barang tersebut bisa disumbangkan kepada Laundry Q sendiri? Da ar pertanyaan dapat diperpanjang. In nya ialah pengungkapan klausul baku barulah jelas jikalau konsumen bertanya langsung kepada Laundry Q. Dalam perspek f UU Nomor 8 Tahun 1999, klausula baku yang memenuhi unsur-unsur Pasal 18 ayat (2): “Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau

dak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimenger ” merupakan klausula terlarang. Selain itu, dalam klausul “...akan disumbangkan”, konsumen memiliki hak, antara lain hak untuk mengetahui kepada siapa barang tersebut diserahkan. Jadi Laundry Q dan konsumen perlu mencapai kesepakatan-kesepakatan baru sebagai adendum kesepakatan sebelumnya.

Asumsi lain Laundry Q adalah asumsi kontraktual. Laundry Q memang mendasarkan klausula baku pada kontrak dan sebatas kontrak. Kenda tetap memperha kan kepen ngan kosumen namun, sebagaimana teori the privity of contract, landasan itu memiliki beberapa kelemahan. Pertama, kontrak dan klausula baku Laundry Q dibuat berdasarkan kemauan pelaku usaha.

Kedua, Laundry Q berpeluang menghilangkan kewajiban yang seharusnya dibebankan kepadanya. Ke ga, Laundry Q bisa saja hanya merumuskan kesalahan prinsipil, sedangkan kesalahan fatal menurut konsumen dianggap kesalahan kecil.

(35)

berkontrak sebagaimana diperkenalkan oleh UU Nomor 8 Tahun 1999. Beberapa klausul baku seper dicontohkan sebelumnya dapat dijadikan indikator tentang ke dakseimbangan kedudukan konsumen dan Laundry Q. Padahal, menurut Nasu on, pelaku usaha dan konsumen bagaikan sekeping mata uang dengan dua sisi berbeda.45 Ada banyak sisi yang menciptakan ke dakseimbangan itu, seper sisi sosial, ekonomi, maupun poli k, dan membawa kecenderungan ekploitasi antara pihak yang kuat (pelaku usaha) kepada pihak yang lemah (konsumen).46 Posisi yang lemah bagi konsumen bisa disebabkan oleh faktor kebijakan, misalnya melalui perizinan is mewa yang didapat oleh pelaku usaha tertentu (pemerintah atau swasta), sehingga kebijakan atau perizinan itu sebetulnya mereduksi, atau bahkan “menelantarkan”, norma perlindungan konsumen.

Keseimbangan atau kesetaraan posisi pelaku usaha dan konsumen merupakan unsur terpen ng dalam asas kebebasan berkontrak, dan merupakan semangat dasar atau asas yang dipegang oleh UU Nomor 8 Tahun 1999. Menurut Penjelasan Atas UU Nomor 8 Tahun 1999, maksud dari larangan pada Bab V Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1999, yang mengatur tentang ketentuan pencantuman klausula baku, adalah “... untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.” Kesetaraan atau keseimbangan kedua pihak juga bisa dipahami sebagai per mbangan fi losofi s UU Nomor 8 Tahun 1999. Salah satu bu r konsideran UU ini, huruf f, menyatakan bahwa diberlakukannya UU ini bertujuan untuk: “... mewujudkan keseimbangan perlindungan kepen ngan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat.” Berdasarkan konsideran ini, ada 3 ( ga) kepen ngan yang harus diseimbangkan, yaitu kepen ngan konsume,. pelaku usaha, dan kepen ngan umum atau kepen ngan bangsa dan negara. Kepen ngan bangsa dan negara barangkali terkesan abstrak, atau penafsiran hukum yang terlalu ekstensif (diperluas). Penger an kepen ngan bangsa

45 Az. Nasu on, Konsumen dan Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), 21.

(36)

dan negara yang lebih konkrit ialah kepen ngan pemerintah sebagaimana ditemukan dalam Penjelasan Atas UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.47

Kontrak baku Laundry Q lebih menjunjung nggi kepen ngan pelaku usaha. Kepen ngan pihak kedua, yaitu konsumen, berada di peringkat kedua dan oleh karenanya dak berimbang. Hak-hak konsumen yang semes nya melekat pada prestasi atau tanggung jawab Laundry Q kebanyakan dibatasi atau dihilangkan. Adapun kepen ngan pemerintah luput dari perha an. Kepen ngan pemerintah dak tampak baik secara tulisan (Nota/Bon Laundry Q) maupun lisan (wawancara). Kalau kontrak baku Laundry Q belum berlandaskan pada asas keseimbangan, maka kontrak tersebut juga belum menekankan proporsi pembagian hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen secara adil seper dimaksudkan oleh asas proporsionalitas. Asas proporsionalitas mengoreksi dominasi asas kebebasan berkontrak yang di dalam beberapa hal justeru menimbulkan ke dakadilan. Laundry Q memang dak memaksa konsumen, dan menjalankan usaha ke-laundry-an dengan i kad baik, khususnya i kad baik yang nisbi seper dipahami oleh Salim, H.S. Namun kebebasan dan i kad baik yang ditawarkan kepada konsumen itu hanya dapat dibenarkan di serambi depan kontrak atau pra kontrak. Ke dakadilan muncul pada tahap pembentukan dan pelaksanaan kontrak. Sebabnya ialah keadilan telah ditentukan oleh Laundry Q secara sepihak dan sudah dicantumkan dalam klausula bakunya, sementara “... konsumen dianggap setuju dengan syarat-syarat diatas” (Klausul Nomor 6 Nota/Bon Laundry Q).

Keadilan sepihak klausula baku sebetulnya bukan disebabkan oleh kese aan Laundry Q terhadap asas kebebasan berkontrak. Sebab makna oten k asas kebebasan berkontrak adalah kebebasan antar individu, antar pihak, yang melakukan kontrak secara berimbang dan berkeadilan. Sebuah kontrak mengandaikan dua individu atau dua pihak memiliki kebebasan

(37)

yang sama, berimbang, dan adil. Kalau sebuah kontrak hanya ditentukan oleh kebebasan seseorang atau sepihak, maka kontrak tersebut lebih tepat disebut berpijak pada asas kebablasan

berkontrak. Jika kontrak baku Laundry Q belum berpijak pada asas kebebasan berkontrak dan asas keseimbangan, maka konstruksi hukum kontrak baku Laundry Q sebenarnya berpijak pada asas-asas lain.

Asas-asas hukum kontrak, menurut Hernoko, pada dasarnya dak terpisah satu dengan lainnya, namun dalam berbagai hal saling mengisi dan melengkapi.48 Demikian pula, bahwa dominasi asas-asas tertentu dalam suatu kontrak sulit dihindari. Sebuah kontrak, oleh karenanya, terbentuk dari kombinasi dan dominasi beberapa asas. Dalam kontrak baku Laundry Q, ada 3 ( ga) asas kontrak yang berkombinasi dan mendominasi. Pertama, asas i kad baik, se daknya i kad baik yang nisbi. Kedua, asas konsensualisme. Seper dikemukakan, karakter universal dari asas konsensualisme ialah penekanannya terhadap unsur kesepakatan, yang dibentuk oleh penawaran dan penerimaan, sekali pun kedua pihak mengabaikan unsur-unsur formalitas kontrak. Penawaran dan penerimaan jasa

ke-laundry-anjelas merupakan prinsip Laundry Q. Penawaran dan penerimaan itu pula yang menjadi pijakan konsumen melakukan kesepakatan kontrak. Ke ga, asas daya mengikat kontrak (pacta sunt servanda). Menurut asas ini, kontrak baku yang dibuat oleh Laundry Q dan konsumen secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi keduanya. Asas pacta sunt servanda dalam kontrak baku Laundry Q dak bisa dilihat berdiri sendiri, atau berkekuatan impera f tersendiri, melainkan berkombinasi dengan asas-asas lain. Ti k kelemahan asas pacta sunt servanda, jikalau dilihat berdiri sendiri atau berkekuatan impera f tersendiri, terletak pada pengujian atau pembuk an sah/ daknya klausula baku yang dirumuskan oleh Laundry Q menurut peraturan perundang-undangan. Ti k kelemahan yang sama juga dialami asas-asas lain jikalau dilihat secara tersendiri.

Asas-asas kontrak yang menjadi landasan Laundry Q jelas menentukan klausula baku yang dirumuskannya. Klausula baku dapat dijadikan indikator tentang pelanggaran atau perlindungan

(38)

baik terhadap konsumen maupun pelaku usaha. Perbedaan persepsi yang menimbulkan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha sangat ditentukan oleh asas dan norma hukum yang dipegang para pihak. Oleh karena itu, UU Nomor 8 Tahun 1999 menyediakan bab khusus (Bab V) untuk mengatur ketentuan-ketentuan tentang klausula baku dan menyatakan “Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini,”49 dan mengenalkan 5 (lima) asas perlindungan konsumen. Jika kelima asas tersebut digunakan untuk menilai (norma f) kontrak baku yang disepaka oleh Laundry Q dan konsumen, maka para pihak dapat melihat pada tahap apa dan bagaimana kesepakatan mereka merujuk kepada 5 (lima) asas tersebut.

Tabel 2

Kontrak Baku Laundry Q Menurut Lima Asas UU Perlindungan Konsumen

No Kontrak Baku Laundry Q

Asas-asas Perlindungan Konsumen

Manfaat Keadilan Keseimbangan (Plus Negara/ Pemerintah)

2 Pembentukan Dua Pihak Sepihak - Sepihak

-3 Pelaksanaan Dua Pihak Sepihak - Sepihak

-Keterangan:

1. Keseimbangan pada kolom di atas berar keseimbangan yang melibatkan kepen ngan negara/pemerintah, bukan keseimbangan sebagaimana dipahami salah satu pihak atau kedua pihak sesuai hak dan kewajiban.

2. Kepas an hukum pada kolom di atas berar kepas an hukum yang melibatkan negara/pemerintah, bukan kepas an hukum sebagaimana dipahami salah satu pihak atau kedua pihak sesuai perjanjian mereka.

Tabel di atas menegaskan usaha jasa Laundry Q bermanfaat bagi pelaku usaha dan konsumen untuk semua tahapan. Menawarkan atau menggunakan jasa laundry jelas

(39)

dak bertentangan atau dilarang oleh norma apapun. Keadilan kontraktual tampak ditentukan oleh satu pihak. Penyebab utamanya ialah kelemahan posisi konsumen. Pada tahap pra kontrak, konsumen dak memiliki alterna f lain, kecuali menyetujui kontrak baku Laundry Q, karena –meminjam kalimat Shidarta- “... di manapun ia pergi, ia akan disodorkan perjanjian baku dengan substansi yang hampir sama...”50 Konsumen akan menemukan klausula ke-laundry-an yang substansinya hampir sama, sekalipun ia pergi, misalnya, ke Luxor Laundry & Dry Clean yang terletak di Kompleks Meran Indah Pon anak. Kelemahan konsumen juga terjadi pada tahap pembentukan dan pelaksanaan kontrak Laundry Q, sebab konsumen dak memiliki peluang untuk mengajukan negosiasi atau perubahan klausula. Kelemahan posisi satu pihak mengakibatkan pihak lain menjadi penentu keadilan.

Asas keamanan dan keselamatan hanya tampak pada tahapan pra kontrak seper dilihatkan pada Tabel 2. Adalah jelas bahwa sedari awal dan berlandaskan pada asas i kad baik, Laundry Q memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan jasa ke-laundry-an. Dalam konteks perlindungan konsumen, ancaman terhadap keamanan dan keselamatan itu barulah muncul pada saat pembentukan dan pelaksanaan kontrak baku Laundry Q. Jaminan atas keamanan dan keselamatan yang semula ditawarkan oleh Laundry Q dan diterima konsumen terancam hilang atau berkurang atau dibatasi oleh klausula baku.

Tabel 2 menunjukkan kepen ngan pemerintah luput dari kontrak baku Laundry Q. Rumusan klausula baku Laundry Q sama sekali dak mengindikasikan 2 (dua) asas yang diatur oleh UU Nomor 8 Tahun 1999 itu. Fakta demikian dapat dijelaskan melalui dua sebab yang saling terkait. Penyebab pertama ialah Laundry Q sendiri. Rendahnya wawasan Laundry Q tentang UU tersebut merupakan salah satu faktor luputnya asas keseimbangan dan kepas an hukum dalam klausula baku Laundry Q. Faktor internal lainnya sudah diperlihatkan dalam uraian sebelumnya. Penyebab kedua ialah pemerintah sendiri. Koreksi terhadap luputnya asas keseimbangan dan kepas an hukum dalam klausula baku

(40)

Laundry Q adalah koreksi terhadap pemerintah. Pertama,

sosialisasi UU Nomor 8 Tahun 1999 kepada para pelaku usaha khususnya sangat rendah. Menurut pengakuan Laundry Q, UU tersebut hanya pernah didengar tanpa dipahami sebagaimana mes nya.51 Doktrin ksi hukum, bahwa semua orang harus dan/ atau dianggap mengetahui peraturan yang sudah diberlakukan,

dak relevan untuk dijadikan alasan atau penutup kelemahan sosialisasi peraturan perundang-undangan. Padahal negara/ pemerintah menegaskan kepen ngannya dalam UU Nomor 8 Tahun 1999.

Kedua, sistem deteksi klausula baku sangat rendah - jikalau bukan belum pernah ada sejak UU Nomor 8 Tahun 1999 diberlakukan-. Terhadap para pelaku usaha, pemerintah hanya mau mengatur dan memberikan berbagai macam perizinan. Laundry Q, misalnya, sudah mengantongi Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Kecil, Izin Gangguan, dan Tanda Da ar Perusahaan (Perusahaan Perorangan/PO). Pemerintah berhen pada formal usaha, dan mengabaikan legalitas-formal klausula baku suatu kegiatan usaha. Akibatnya, klausula baku yang dirumuskan oleh suatu kegiatan usaha bukan saja melangkahi asas-asas perlindungan konsumen, namun seringkali pula terjebak ke dalam perangkap klausula terlarang atau klausula eksonerasi. Hal yang sama dialami oleh Laundry Q seper sudah dikatakan dan akan dibicarakan lebih lanjut. Sistem deteksi klausula baku merupakan bagian terpen ng dalam rangka melindungi pelaku usaha. Pada gilirannya, sistem deteksi klausula baku merupakan bagian pen ng dalam rangka melindungi konsumen dan pemerintah. Namun sejak UU Nomor 8 Tahun 1999 diberlakukan belum ditemukan aturan tentang sistem tersebut.

Ke ga, UU Nomor 8 Tahun 1999 terlalu membebankan

ketentuan klausula baku kepada pelaku usaha. Semua ayat dalam Pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 1999 berkutat pada kewajiban pelaku usaha. Sentralisme kewajiban pelaku usaha ini mengakibatkan pelaku usaha memikul beban yang demikian berat. Jika menggunakan asas keseimbangan, maka Pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 1999 dak memberikan ketentuan yang berimbang.

(41)

Demikianlah, misalnya, dak ada aturan tentang boleh/ daknya konsumen merumuskan klausula baku, atau boleh/ daknya pemerintah merumuskan klausula baku. Seandainya konsumen boleh merumuskan klausula baku, akibat atau sanksi hukum apa yang akan dikenakan jikalau klausula baku tersebut bertentangan dengan UU Perlindungan Konsumen. Asas keseimbangan perlu diimbangi dengan ketentuan yang sama berimbang untuk diberlakukan kepada subjek klausula baku, yaitu pelaku usaha dan konsumen khususnya.

Dari koreksi-koreksi di atas, secara dak langsung terlihat bahwa ketentuan-ketentuan tentang klausula baku, yang selama ini diberlakukan, berpotensi melanggar atau dak melindungi kepen ngan pelaku usaha. Kondisi ini diperparah oleh rendahnya komitmen pemerintah untuk mengawasi dan memas kan kepen ngan dirinya sendiri secara berimbang dalam klausula baku (yang tersebar luas). Beberapa peneli an berbasis perlindungan konsumen, seper peneli an Rahmat, Rahmawa dan Mursalin, sudah merekomendasikan urgensi pengawasan klausula baku. Pengawasan klausula baku bukan saja lemah menurut fakta keseharian, tetapi terbuk lemah menurut temuan ilmiah. Padahal UU Nomor 8 Tahun 1999 sudah mengatur soal pembinaan dan pengawasan (Pasal 29 dan 30), Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) disertai kedudukan, fungsi dan tugasnya (Pasal 31, 32, 33 dan 34), struktur organisasi dan keanggotaannya (Pasal 35 hingga Pasal 43), bahkan mengatur soal Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (Pasal 44). Kontrak baku Laundry Q belum pernah disentuh oleh pembinaan dan apalagi pengawasan. Oleh karena itu, adalah wajar jikalau kontrak baku Laundry Q dibangun berdasarkan asas-asas tertentu, atau kombinasi 3 (asas) seper diterangkan di atas, yang bersesuaian dengan konteks kepen ngan internalnya sendiri dan tuntutan pasar, namun bukan berdasarkan asas-asas kontrak yang dikedepankan oleh studi-studi terpercaya tentang perlindungan konsumen.

(42)

ukuran untuk melihat sejauh mana kontrak baku Laundry Q merujuk pada asas-asas kontrak perlindungan konsumen. Seper halnya pada Tabel 2, pada 3 dan 4 Laundry Q dan konsumen akan melihat pada tahap apa dan bagaimana kesepakatan mereka merujuk kepada asas keseimbangan dan asas proporsionalitas.

Tabel 3

Kontrak Baku Laundry Menurut Asas Keseimbangan (Minus Pemerintah/Negara)

No Kontrak Baku Laundry Q Asas Keseimbangan Tujuan

Hak Kewajiban

1 Pra Dua Pihak Dua Pihak Hasil Akhir

2 Pembentukan Sepihak Sepihak

-3 Pelaksanaan Sepihak Sepihak

-Berdasarkan 3 hasil akhir dari hak dan kewajiban yang berimbang, seper dicita-citakan oleh asas keseimbangan, hanya terjadi pada tahap pra kontrak baku Laundry Q dan konsumen.

Tabel 4

Kontrak Baku Laundry Menurut Asas Proporsionalitas

No Kontrak Baku Laundry Q Proporsi Keadilan Proses Berdasarkan Hak Kewajiban

1 Pra Dua Pihak Dua Pihak Asas kebebasan

2 Pembentukan Sepihak Sepihak

-3 Pelaksanaan Sepihak Sepihak

-Seper halnya asas keseimbangan, berdasakan 4 proporsi keadilan hak dan kewajiban yang semes nya diperoleh pelaku usaha dan konsumen berdasarkan asas kebebasan berkontrak, seper dicita-citakan oleh asas proporsionalitas, hanya dialami oleh Laundry Q dan kosumen pada tahap pra kontrak.

Gambar

Tabel 1
Tabel 2Kontrak Baku Laundry Q Menurut Lima Asas
Tabel 5Klausula Baku Laundry Q yang Terkategori Klausula
Tabel 6

Referensi

Dokumen terkait

Namun dalam perjalanannya pemerintahan yang reformasi kembali menceridai sendiri dengan munculnya undang-undang yang mengatur pesta demokrasi dalam memilih calon

Tabel 9 hasil pengujian dengan SPSS didapatkan angka F hitung antara ROA, ROE, NPM terhadap variabel terikat yaitu Corporate Governance sebesar 0.645 dan nilai

Jenis inang lichen corticolous di Kawasan Hutan Sekipan Desa Kalisoro Tawangmangu Karanganyar Provinsi Jawa Tengah diperoleh data yaitu inang yang paling dominan

Pada dimensi cognitive, sebanyak 77% dari 100 responden menyatakan bahwa mereka memiliki keinginan untuk berkunjung ke NuArt Sculpture Park setelah membaca ulasan di situs

Persoalan cabai merah sebagai komoditas sayuran yang mudah rusak, dicirikan oleh produksinya yang fluktuatif, sementara konsumsinya relatif stabil. Kondisi ini menyebabkan

Judul Tesis : HUBUNGAN SOSIAL EKONOMI DAN INTAKE ZAT GIZI DENGAN TINGGI BADAN ANAK BARU MASUK SEKOLAH (TBABS) PADA DAERAH ENDEMIS GAKY DI KECAMATAN PARBULUAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan GSH dalam medium maturasi tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap tingkat pematangan inti oosit sapi bali yang mencapai

Pada usia remaja yang mengalami proses masa transisi perubahan dari bentuk tubuh hingga perkembangan kognitif, remaja putri juga rentan merasa bahwa di dalam sebuah lingkungan