• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM ISLAM, FIQIH DAN SYARIAH

Dalam dokumen filsafat ilmu dalam kajian hukum (Halaman 197-200)

Oleh: Dra. Hj. Wagiyem, M.Ag

PENDAHULUAN

Ij had merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ij had dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ij had dak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ij had mulai dibuka kembali. Karena dak bisa dipungkiri, ij had adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problema kanya.

Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu disebabkan dari ij had. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seper Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu dak lepas dari hasil ij had dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik. Justru dengan ij had, Islam menjadi luwes, dinamis, fl eksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ij had pula, syariat Islam menjadi “ dak bisu” dalam menghadapi problema ka kehidupan yang semakin kompleks.

PEMBAHASAN

1. Penger an ij had

Ij had berasal dari kata jahada. Ar nya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Menurut bahasa, ij had adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Dalam ushul fi qh, para ulama ushul fi qh mende nisikan ij had secara berbeda-beda. Misalnya Imam as-Syaukani mendefi nisikan ij had adalah mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara is nbat (mengambil kesimpulan hukum

Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa ij had adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya dak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu. Sedangkan imam al-Ghazali menjadikan batasan tersebut sebagai bagian dari defi nisi al-ij had a aam (ij had sempurna).

Imam Syafi ’I menegaskan bahwa seseorang dak boleh mengatakan dak tahu terhadap permasalahan apabila ia belum melakukan dengan sungguh-sungguh dalam mencari sumber hukum dalam permasalahan tersebut. Demikian juga, ia dak boleh mengatakan tahu sebelum ia sungguh-sungguh menggali sumber hukum dengan sepenuh tenaga. Imam Syafi -I hendak menyimpulkan bahwa dalam berij had hendaklah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Ar nya, mujtahid juga harus memiliki kemampuan dari berbagai aspek criteria seorang mujtahid agar hasil ij hadnya bisa menjadi pedoman bagi orang banyak.

Ahli ushul fi qh menambahkan kata-kata al-faqih dalam defi nisi tersebut sehingga defi nisi ij had adalah pencurahan seorang faqih akan semua kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi komentar bahwa penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih dak disebut ij had menurut is lah. Dalam definisi lain, dikatakan bahwa ij had yaitu mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan is nbat (mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan Sunah Rasul. Menurut kelompok mayoritas, ij had merupakan pengerahan segenap kesanggupan dari

seorang ahli fi qih atau mujtahid untuk memperoleh penger an terhadap sesuatu hukum syara’. Jadi, yang ingin dicapai oleh ij had yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan ngkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa ij had dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ij had ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ij had dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ij had).

2. Penger an hukum

Hukum Islam adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu agama, sehingga is lah hukum Islam mencerminkan konsep yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa. Seper lazim diar kan agama adalah suasana spiritual dari kemanusiaan yang lebih nggi dan dak bisa disamakan dengan hukum. Sebab hukum dalam penger an biasa hanya menyangkut soal keduniaan semata. Sedangkan Joseph Schacht mengar kan hukum Islam sebagai totalitas perintah Allah yang mengatur kehidupan umat Islam dalam keseluruhan aspek menyangkut penyembahan dan ritual, poli k dan hukum.

Terkait tentang sumber hukum, kata-kata sumber hukum Islam merupakan terjemahan dari lafazh Masadir al-Ahkam. Kata- kata tersebut dak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fi kih dan ushul kih klasik. Untuk menjelaskan ar sumber hukum Islam, mereka menggunakan

al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashadir al-Ahkam oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah sear dengan is lah al-Adillah al-Syar’iyyah.

Yang dimaksud Masadir al-Ahkam adalah dalil-dalil hukum syara yang diambil (diis mbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum. Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepaka (mu afaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepaka jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).

Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah is hsan, maslahah mursalah, is shab, ‘uruf, madzhab as- Shahabi, syar’u man qablana.

Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepaka dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’i. Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ij had.

Hukum Islam mengalami perkembangan yang pesat di periode Nabi Muhammad di mana tradisi Arab pra-Islam yang berhubungan dengan akidah dihilangkan, sedangkan tradisi lokal Arab yang berhubungan dengan muamalah–sejauh masih sejalan dengan nilai-nilai Islam, dipertahankan dan diakulturasikan. Namun dalam perjalanannya, hukum Islam mengalami pergolakan dan kontroversi yang luar biasa ke ka dihadapkan dengan kondisi sosio-kultural dalam dimensi tempat dan waktu yang berbeda. Menurut hemat penulis, hukum Islam melipu syariat (al-Qur’an dan sunnah) sebagai sumber primer dan fi qh yang diambil dari syariat yang pada dasarnya digunakan sebagai landasan hukum.

Adapun spesifi kasi dari macam-macam hukum Islam, fuqaha memberi formulasi di antaranya wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.

a. Wajib: Ulama memberikan banyak penger an mengenainya, antara lain suatu ketentuan agama yang harus dikerjakan kalau dak berdosa. Atau Suatu ketentuan jika di nggalkan mendapat adzab. Contoh, Shalat subuh hukumnya wajib, yakni suatu ketentuan dari agama yang harus dikerjakan, jika

dak berdosalah ia. Alasan yang dipakai untuk menetapkan penger an diatas adalah atas dasar fi rman Allah swt: Dirikanlah shalat dari tergelincir matahari sampai malam telah gelap dan bacalah Al Qur’an di waktu Fajar, sesungguhnya membaca Al Qur’an di waktu Fajar disaksikan (dihadiri oleh Malaikat yang

Dalam dokumen filsafat ilmu dalam kajian hukum (Halaman 197-200)