• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontrol Sosial Informal

Dalam dokumen filsafat ilmu dalam kajian hukum (Halaman 126-132)

HUKUM DAN KONTROL SOSIAL

1. Kontrol Sosial Informal

Kontrol sosial informal diejawantahkan sebagai fungsi- fungsi “tatakrama” (folkways) yaitu norma-norma yang dibuat untuk praktek-praktek umum seper menspesifi kasikan tatacara berbusana, e ket, dan penggunaan bahasa; serta “pamali” (mores), yaitu norma-norma masyarakat yang berhubungan dengan perasaan yang kuat tentang yang benar dan yang salah dan aturan keras tentang perilaku yang dak seharusnya dilanggar, misalnya incest. Kontrol-kontrol informal ini melipu teknik-teknik dimana individu-individu yang mengenal satu sama lain secara pribadi setuju (accord) untuk menjunjung nggi individu-individu yang patuh (comply) terhadap harapan masyarakat dan menunjukkan ke dakpuasan kepada individu-

individu yang dak patuh (Shibutani, 1961:426). Teknik-teknik ini dapat diama dari perilaku spesifi k seper olok-olok (ridicule), gossip, pujian, teguran (reprimands), kri kan, menghalang- halangi (obstracism), atau kutukan (verbal ra onaliza ons), dan pernyataan pendapat (expressions of opinion). Gosip, atau ketakutan akan gossip, adalah salah satu dari alat efek f yang digunakan oleh sejumlah anggota masyarakat untuk membawa individu-individu agar patuh dengan norma-norma. Tidak seper kontrol sosial formal, kontrol informal ini dak dilaksanakan melalui mekanisme kelompok resmi, dan dak ada orang tertentu yang ditunjuk untuk penegakannya.

Mekanisme informal dari kontrol sosial cenderung lebih efek f bila dilaksanakan di kelompok-kelompok atau masyarakat yang hubungannya tatap-muka (face-to-face) dan in m serta dimana pembagian kerjanya masih sederhana. Misalnya, Emile Durkheim berpendapat bahwa di masyakarat sederhana, seper desa-desa suku atau di kota-kota kecil, norma-norma hukum lebih sesuai (accord) dengan norma-norma social, daripada di desa yang lebih besar atau di masyarakat yang jauh lebih kompleks. Ke daksetujuan moral terhadap si penyimpang adalah mutlak di masyarakat sederhana; seper catatan Daniel Glaser (1971: 32), “Toleransi terhadap keragaman perilaku bervariasi secara langsung dengan pembagian kerja (distribu on of labor) di masyarakat”. Pada masyarakat sederhana hukum seringkali dak tertulis, yang mengharuskan pengajaran langsung tentang norma-norma ke anak-anak. Sosialisasi di masyarakat sederhana dak memberi contoh kepada anak-anak tentang norma-norma kontradik f yang menimbulkan kebingungan atau konfl ik internal. Interaksi tatap muka yang sangat intens di masyarakat sederhana menghasilkan konsensus moral yang diketahui dengan baik oleh semua anggota masyarakat; sehingga adanya ndakan yang menyimpang akan segera menarik perha an semua anggota masyarakat.

Ada buk dalam literatur sosiologi untuk mendukung pendapat bahwa kontrol sosial informal lebih kuat di masyarakat yang lebih kecil dan homogen, dibandingkan dengan di masyarakat yang heterogen. Di peneli annya yang sangat berpengaruh

tentang perilaku menyimpang di Koloni Teluk Massachussets, Kai T. Erikson menemukan bahwa ukuran kecil dan homogenitas budaya dari masyarakat membantu perilaku terkontrol, karena se ap orang dalam masyarakat menekan individu-individu yang punya bakat menyimpang untuk patuh terhadap norma- norma dominan. Terdapat sejumlah mata-mata oleh tetangga di dalam masyarakat yang mengawasi ndakan- ndakan yang menyimpang. Sensor moral seke ka akan mengiku ndakan yang menyimpang (Erikson, 1966: 169-170). Bahkan hari ini, reaksi terhadap ndakan kriminal tertentu seper perkosaan atau pembunuhuhan di kota kecil, homogen, dan antar anggota masyarakat terkait yang erat, sangatlah besar dan seke ka sehingga pengadilan terhadap si terdakwa dari kejahatan macam ini akan sulit, karena tekanan publik terhadap sistem hukum yang menginginkan adanya hukuman yang keras dan seke ka akan membuat jalannya proses pengadilan akan sulit. Dalam kasus seper itu, perlu adanya perubahan lokasi pengadilan untuk meminimalkan tekanan publik. Perubahan lokasi pengadilan seper itu biasanya terjadi di masyarakat sederhana daripada di masyarakat yang kompleks dimana pengadilan dak mengasumsikan bahwa si terdakwa akan menerima peradilan yang fair karena adanya prasangka / prejudice (Friendly dan Goldfarb, 1967: 96-101).

Tidak diragukan lagi, kontrol sosial informal berjalan lebih efek f di masyarakat yang lebih kecil dimana individu- individu tahu satu sama lain dan secara teratur berinteraksi. Di masyarakat yang seper itu agen penegakan hukum (polisi, jaksa, hakim) boleh berharap adanya kerjasama yang lebih baik. Seper yang dicatat oleh Komisi Presiden tentang Penegakan Hukum dan Administrasi Pengadilan (the President’s Commission on Law Enforcement and Administra on of Jus ce) (1967a: 6), “Seorang laki-laki yang hidup di pedesaan atau di kota kecil kemungkinan besar harus selalu berha -ha , karena diawasi terus oleh masyarakatnya, dan oleh karena itu berada di bawah pengaruh masyarakatnya. Seorang laki-laki yang nggal di kota besar hampir dak terlihat (invisible), secara sosial terisolasi dari masyarakatnya, dan oleh karena itu dak dapat dikontrol oleh

masyarakatnya. Ia mempunyai peluang yang lebih besar untuk melakukan ndak kejahatan”.

Pendapat bahwa mekanisme sosial kontrol informal yang lebih efek f di masyarakat sederhana didukung oleh peneli an Sarah L. Boggs tentang sosial kontrol formal dan informal di pusat-pusat kota, pinggiran-pinggiran kota, dan kota-kota kecil di Negara bagian Missouri. Boggs menyimpulkan bahwa penduduk kota-kota besar lebih apa s daripada penduduk pinggiran kota atau kota kecil untuk merasakan bahwa kejahatan segera akan terjadi (likely to occur) di dalam masyarakatnya. Penduduk kota besar kemungkinan besar dak akan melaporkan perampokan (burglary) yang dilihatnya, dan lebih banyak penduduk kota besar yang tahu adanya ndak kejahatan atau perilaku yang mencurigakan di kotanya di tahun yang lampau. Kebanyakan orang mengatakan bahwa lokasi tempat nggal (neighborhood) mereka aman, dan hanya sedikit yang merasa demikian di kota- kota besar. Ke ka ditanya apa yang membuat lokasi tempat

nggal mereka aman, 83 persen dari mereka yang nggal di pedesaan dan kota kecil mengatakan bahwa itu karena adanya kontrol sosial; 70 persen di pinggiran kota dan 68 persen di kota besar mengatakan aman karena adanya kontrol sosial. Ke ka mereka mengatakan bahwa lokasi tempat nggalnya aman karena kontrol sosial informal, mereka mengar kan mereka merasa aman karena karakter dari masyarakat dan penduduknya, yaitu “warga negara yang baik, terhormat (decent), patuh kepada hukum (law-abiding), dan kelas menengah” (Boggs, 1971: 323). Keamanan dari lokasi tempat nggal (neighborhood) juga karena jaringan sosial dalam masyarakat yang akan membuat “orang-orang di pinggir jalan” (bystander) untuk mengintervensi

ndak kejahatan. Responden yang nggal di pinggiran kota dan kota-kota besar kemungkinan besar akan menyangkutpautkan keamanan dengan agen kontrol sosial formal seper polisi daripada responden yang nggal di pedesaan dan kota-kota kecil (Boggs, 1971:234). Boggs menyimpulkan bahwa penduduk kota- kota besar cenderung lebih mengharapkan terjadinya ndak kejahatan, namun cenderung dak mengandalkan tetangganya untuk melindungi komunitasnya dan lebih mengandalkannya ke

perlindungan polisi. Sebagai hasilnya, mereka lebih berjaga-jaga (take precau ons), seper membeli senjata atau anjing penjaga daripada penduduk yang nggal di pinggiran kota, kota-kota kecil, dan di pedesaan.

Dalam peneli an lainnya tentang penggunaan mekanisme kontrol sosial formal dan informal, Richard D. Schwartz (1977) memeriksa dua kompleks pemukiman pertanian Israel. Komunitas itu awalnya sama satu dengan yang lainnya, karena

dak adanya perbedaan besar terhadap ide-ide kontrol hukum. Satu pemukiman adalah pemukiman kolek f atau kvutza, yang dak mempunyai mekanisme formal untuk menyelesaikan perselisihan hukum, dan satu pemukiman lainnya adalah pemukiman semi swasta yang disebut moshav, yang mempunyai komisi judisial untuk menangani perselisihan hukum. Pemukiman kolek f tersebut dak mempunyai komisi hukum karena adanya interaksi intensif dan tatap muka yang memberikan cara yang efek f untuk kontrol sosial melalui tekanan kelompok. Sebaliknya, pada pemukiman yang semi swasta, adanya kekurangan interaksi dan kekurangan konsensus : perilaku agak dak kelihatan (less visible) bagi anggota-anggota komunitas daripada di pemukiman kolek f. Schwartz menyimpulkan bahwa kontrol sosial informal kurang efek f pada pemukiman semi swasta daripada di permukiman kolek f dimana aliran informasi akan membuat

ndakan menyimpang akan segera diketahui oleh semua anggota masyarakat.

Kesimpulan yang sama tentang peranan mekanisme kontrol sosial informal dapat ditarik dari peneli an-peneli an tentang negara-negara berkembang (developing na ons). Sebagai contoh, dalam membandingkan antara komunitas yang ngkat kejahatannya rendah dan komunitas yang ngkat kejahatannya nggi di Kampala, Uganda, Mashall B. Clinard dan Daniel J. Abbo menemukan bahwa lokasi-lokasi yang ngkat kejahatannya kurang menunjukkan adanya solidaritas sosial yang nggi, adanya interaksi sosial antara para tetangga, adanya par sipasi dalam organisasi lokal, kurangnya mobilitas geografi (jarang bepergian, jarang pindah), dan adanya stabilitas dalam hubungan keluarga. Juga adanya homogenitas budaya yang

lebih besar dan adanya penekanan lebih besar pada hubungan kesukuan dan keluarga (tribal and kinship es) pada komunitas yang ngkat kejahatannya rendah, yang sangat membantu dalam menanggulangi (counteract) orang-orang yang dak diketahui dengan jelas (anonymity) yang pindah ke kotanya. Ikatan kelompok utama yang lebih besar di antara penduduk di komunitas yang ngkat kejahatannya rendah membuatnya lebih sulit bagi orang asing (stranger) di dalam komunitasnya untuk melarikan diri dari perha an publik. Untuk menghindari pencurian, penduduk di area itu harus merasakan apa yang salah; membagi tanggung jawab untuk memelihara property dari lokasi tempat nggal; dapat menginden fi kasikan orang-orang asing di arenya; dan mau untuk mengambil ndakan jika mereka melihat seorang pencuri (Clinard dan Abbo , 1973: 149).

Berdasarkan peneli an-peneli an ini, dapat disimpulkan bahwa jika terdapat adanya interaksi sosial yang in m dan tatap muka, konsensus norma f, dan pengawasan (surveillance) terhadap perilaku anggota-anggota masyarakat, kontrol sosial informal akan kuat sehingga kontrol sosial formal dan legal mungkin dak lagi diperlukan. Pendapat ini diperkuat oleh argument Roberto Mangabeira Unger (1976) yang telah dibahas di Bab 2. Untuk mengulanginya, Unger berpendapat bahwa hukum birokrasi mbul ke ka Negara dan masyarakat menjadi “menaruh perha an” (diff eren ated), dan adanya perasaan kebutuhan akan sebuah ins tusi yang berdiri di atas semua kelompok yang ber kai. Hal ini terjadi jika komunitas terpecah belah, yaitu, ke ka individu-individu dak dianggap lagi untuk ber ndak di serangkaian cara tanpa petunjuk yang sebaliknya (when individuals may no longer be counted on to act in set ways without overt guidance). Disintegrasi seper itu datang ke ka pembagian pekerjaan menimbulkan peluang-peluang baru untuk kekuasaan dan kekayaan, yang pada gilirannya, memotong hirarki lama yang ditentukan oleh kelahiran / keturunan (detemined by birth). Proses ini disertai dengan bertambahnya sandaran kepada kontrol sosial formal.

Dalam dokumen filsafat ilmu dalam kajian hukum (Halaman 126-132)