• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontrol Sosial Formal

Dalam dokumen filsafat ilmu dalam kajian hukum (Halaman 132-140)

HUKUM DAN KONTROL SOSIAL

2. Kontrol Sosial Formal

Walaupun dak ada garis pembatas yang jelas, kontrol sosial formal biasanya dicirikan oleh masyarakat yang lebih kompleks dengan pembagian kerja yang lebih jelas, populasi yang lebih heterogen, dan sub kelompok-sub kelompok dengan nilai- nilai yang saling berkompe si dan berbagai rangkaian “pamali” (mores) dan ideology. Kontrol formal muncul ke ka kontrol informal dak mencukupi untuk mempertahankan kepatuhan (conformity) terhadap norma-norma tertentu, dan mempunyai karakteris k adanya sistem tentang lembaga-lembaga khusus dan teknik-teknik standar. Ada 2 pe yaitu yang dilembagakan oleh negara dan diberi wewenang untuk menggunakan kekuatan, dan yang dilaksanakan oleh lembaga selain negara, seper gereja, kelompok bisnis dan pekerja, universitas, dan perkumpulan- perkumpulan.

Kontrol sosial formal diejawantahkan delam lembaga- lembaga di dalam masyarakat dan mempunyai karakter sebagai adanya prosedur-prosedur eksplisit, dan delegasi kepada lembaga-lembaga khusus untuk menegakkan prosedur-prosedur eksplisit tersebut (hukum, dekrit, regulasi, undang-undang). Karena mereka diejawantahkan ke dalam lembaga-lembaga di dalam masyarakat, mereka dikelola oleh individu-individu yang menjabat di jabatan-jabatan lembaga tersebut. Pada umumnya, seseorang yang mencoba untuk memanipulasi perilaku dari yang lainnya melalui penggunaan sangsi formal dapat disebut agen kontrol sosial (Clinard dan Meier, 1979: 21).

Ins tusi sosial diorganisasikan untuk menjamin kepatuhan (securing conformity) terhadap mode-mode tertulis (established modes) dari perilaku dan terdiri dari prosedur-prosedur tertulis (established procedures) untuk memuaskan kebutuhan manusia. Prosedur-prosedur ini membawa sejumlah kewajiban (compulsion). Melipu mekanisme untuk menerapkan kepatuhan (imposing conformity). Lembaga non poli s boleh bergantung kepada sejumlah hukuman (penal es) dan hadiah (rewards) untuk menjamin kepatuhan (to insure compliance). Sebagai contoh, suatu organisasi / perusahaan dapat memecat seorang pekerjanya; sebuah gereja dapat menangguhkan pelayanan

keagamaan pada suatu perkawinan atau pemakaman; atau malahan “mengeluarkan” seorang anggotanya; sebuah pemilik liga dapat mendenda atau menghukum (suspend) seorang atlit professional karena melanggar aturan. Organisasi yang sama ini boleh juga menggunakan hadiah formal (formal rewards) untuk menjamin kepatuhan. Untuk menggambarkannya, bisa melalui bonus dan promosi, suatu organisasi seringkali memberi hadiah seseorang yang telah memberikan kontribusi yang sangat besar. Anggota gereja yang berdedikasi dapat diberikan penghargaan pelayanan yang luar biasa, dan atlit professional seringkali diberikan hadiah fi nansial.

Negara, melalui ins tusi-ins tusi hukumnya, melaksanakan pe lain dari kontrol sosial melalui penggunaan ancaman kekuatan atau pemaksaan (through the use of the threat of force and coercion). “Kontrol seper itu mengurai dirinya (resolves itself) ke dalam bentuk-bentuk seper menahan (restraints) semua parasit sosial, para pengambil keuntungan dalam kesempitan (exploiters) yang biasanya didefi nisikan secara hukum, pelaku-pelaku kejahatan (criminals), dan semua orang yang dak sempurna dan an sosial (all other imperfectly socialized and an social persons) yang perilakunya mengancam “kenyamanan” (well being) masyarakat secara keseluruhan; dan penetapan (establishment) dan pemeliharaan (preserva on) dari ngkat penyesuaian sosial (social adjustment), keseimbangan (equilibrium), dan solidaritas sosial – “hukum dan kedamaian” (law and order) – di antara berbagai bagian yang memungkinkan

ndakan bersama yang efek f atau kebutuhan-kebutuhan yang sama dan tujuan-tujuan dan menjamin operasi yang efi sien, stabilitas, dan kon nuitas di dalam masyarakat” (Roucek, 1978a: 13).

Perlu dicatat dari awalnya bahwa kontrol melalui hukum jarang dilaksanakan dengan penggunaan sanksi posi f atau penghargaan (rewards). Seseorang yang selama hidupnya menghorma hukum dan memenuhi persyaratan hukum jarang menerima penghargaan atau rekomendasi. Kontrol negara dilaksanakan utamanya, namun dak secara eksklusif, melalui penggunaan hukuman untuk mengatur perilaku warga

negaranya. Dua seksi berikut akan membahas penggunaan sangsi pidana dan komitmen sipil untuk mengontrol pe perilaku tertentu.

3. Kontrol Sosial Formal untuk Penyimpang : Sanksi Pidana Kontrol sosial terhadap kejahatan (criminal) dan perilaku melanggar (delinquent behavior) membentuk sistem formal terstruktur ter nggi (the most highly structured formal system) yang digunakan oleh masyarakat. Sistem untuk mengontrol kejahatan dan pelanggaran (the criminal jus ce system) secara eksplisit menyatakan ke daksetujuan masyarakat akan “ ndak kejahatan” (“crime”), dak seper bentuk lain dari penyimpangan sosial (Clinard dan Meier, 1979: 243). Hukum, yang diundangkan oleh legislator dan dimodifi kasi oleh keputusan pengadilan, mendefi nisikan ndak kejahatan dan perilaku melanggar dan menyebutkan sanksi-sanksi yang akan diterapkan bagi yang melanggar. Waktu demi waktu, terdapat pengandalan yang meningkat dari hukum (an increasing reliance of law) untuk mengatur ak vitas-ak vitas dan kehidupan dari masyarakat. Karena hukum telah disebarluaskan untuk mencakup berbagai

pe perilaku, banyak perubahan dalam hal hukuman untuk pe- pe kejahatan tertentu yang telah terjadi (Packer, 1968). Peningkatan ini dak bisa dak akan menghasilkan kontrol sosial yang lebih ketat dan perubahan lebih lanjut dari metode-metode kontrol. Mengingat banyak perilaku lagi yang didefi nisikan sebagai ndak kejahatan, maka lebih banyak ndakan yang menjadi perha an polisi, pengadilan, dan sistem penjara.

Dalam literatur sosiologi, is lah “legislasi” digunakan untuk menggambarkan proses dimana norma-norma dipindahkan dari level sosial ke level legal / hukum. Tidak semua norma sosial menjadi hukum; pada kenyataannya, hanya norma-norma tertentu yang diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk hukum. Mengapa pelanggaran terhadap norma-norma tertentu, namun

dak yang lainnya, dipilih untuk dimasukkan ke dalam hukum pidana ? Aus n T. Turk (1972) menjawab bahwa ada kekuatan- kekuatan sosial yang terlibat di dalam legislasi dan pembuatan dari norma-norma legal: kehormatan moral (moral indigna on),

nilai nggi terhadap keteraturan / kedamaian (a high value on order), respons terhadap ancaman, dan tak k-tak k poli k.

Seper yang telah saya diskusikan di Bab sebelumnya, hukum mungkin dibuat oleh ndakan ”pengusaha moral” (”moral entrepreneurs”) yang menjadi marah karena beberapa praktek yang menurut mereka dak dapat dimenger , misalnya merokok marijuana. Pihak yang lainnya lebih suka keteraturan / kedamaian (order) dan bersikeras pada persyaratan-persyaratan (provisions) untuk mengatur kehidupan dan membuat masyarakat seteratur mungkin. Mereka mengajukan (promulgate) hukum untuk menjamin keteraturan (order) dan keseragaman (uniformity), seper pada kasus regulasi lalu lintas. Beberapa orang bereaksi terhadap ancaman yang riil atau imajiner dan menyarankan adanya ndakan kontrol legal (legal control measures). Sebagai contoh, banyak orang menganggap adanya benda-benda pornografi dak hanya salah secara moral, namun berkontribusi secara langsung terhadap peningkatan kejahatan sex. Dalam hal ini, sudah tentu orang-orang ini akan berusaha untuk melarang secara hukum penjualan benda-benda pornografi ini. Sumber lainnya dari legalisasi dari norma-norma adalah masalah poli k, dimana hukum pidana dibuat sesuai dengan minat kelompok- kelompok yang berkuasa di dalam masyarakat. Sumber ini diinden fi kasikan dengan perspek f konlik yang dipunyainya seper yang telah saya diskusikan di bab-bab sebelumnya. Proses legalisasi norma-norma juga diiku oleh hukuman tertentu untuk jenis tertentu dari pelanggaran hukum pidana. ”Se ap sistem produksi cenderung untuk menemukan hukuman yang berhubungan dengan hubungan produk fnya” (Rusche dan Kirchheimer, 1968:5). Michel Foucault (1977) mengatakan bahwa sebelum revolusi industri, kehidupan terbilang murah dan individu-individu dak mempunyai nilai u litas atau nilai komersial yang diberikan kepada mereka pada suatu ekonomi industri. Dalam hal ini, hukuman sangatlah berat (severe) dan sering dak berhubungan sama sekali dengan sifat dari kejahatan itu sendiri (misalnya, hukuman ma untuk pencurian ayam). Ke ka banyak pabrik bermunculan, nilai dari individu- individu dalam kehidupan, bahkan para pelaku kejahatan,

mulai ditekankan. Dimulai di akhir abad kedelapanbelas dan permulaan abad kesembilanbelas, usaha-usaha telah dilakukan untuk menghubungkan sifat dari hukuman tertentu dengan sifat dari kejahatan yang dilakukannya.

Mencocokkan hukuman dengan ndak kejahatan yang dilakukan adalah pekerjaan yang sulit dan kadang-kadang kontroversial. Defi nisi ndak kejahatan dan hukumannya sangat beragam dari waktu ke waktu dan dari satu masyarakat ke masyarakat yang lainnya. Dalam suatu demokrasi, kekuasaan untuk mendefi nisikan ndak kejahatan dan hukumannya terletak pada warganegara (ci zenry). Kekuasaan ini umumnya didelegasikan ke perwakilan yang dipilih. Statutanya seringkali sangat luas dan tergantung kepada berbagai interpretasi. Seper yang telah dibahas sebelumnya, perundangan legisla f membolehkan hakim, jaksa, dan juri untuk mempunyai fl eksibilitas dan diskresi yang luas dalam mengkaji kesalahan dan tahap-tahapan hukumannya.

4. Kontrol Sosial Formal untuk Penyimpang : Komitmen Sipil Kontrol formal dari perilaku menyimpang dak terbatas kepada sanksi-sanksi kriminal. Ada berbagai macam bentuk kontrol sosial berupa hukum yang beroperasi secara luas di masyarakat Amerika – yang disebut komitmen sipil (Forst, 1978:1). Komitmen sipil adalah proses nonkriminal, yang menempatkan (commits) individu-individu yang cacat (disabled) atau kalau dak tergantung (karena cacatnya), tanpa sepengetahuan mereka, ke lembaga-lembaga negara untuk pemeliharaan, perlakuan, atau perwalian (custody), namun bukan penghukuman (punishment). Hal itu didasarkan kepada 2 prinsip hukum : 1) hak dan kewajiban negara untuk melindungi (to assume guardianship) individu- individu yang menderita cacat (disability); dan 2) kekuasaan polisi di dalam batasan-batasan kons tusi untuk mengambil langkah- langkah yang diperlukan untuk melindungi masyarakat. Secara prosedur, komitmen sipil berbeda dengan komitmen pidana (criminal commitment). Pada komitmen sipil jaminan prosedur- prosedur tertentu dak ada, seper hak diadili oleh juri, yang melipu menghadirkan saksi-saksi yang melawan terdakwa, atau

untuk menghindari kesaksian melawan seseorang. Selain itu, kutukan moral formal dari komunitas bukan merupakan issue dalam komitmen sipil. ” Situasi ini bisa mbul jika perilaku itu disengaja tapi dak secara moral patut untuk dipersalahkan, seper di gugatan perdata untuk adanya kerusakan / kerugian (damages), kecacatan mental, dimana ndak kriminal (criminal culpability) disebarkan atau dinegasikan. Di kasus yang terakhir, issue perdata bukan merupakan ”perilaku” seseorang tapi ”status”nya” (Forst, 1978:3). Dalam pandangan ini, pecandu heroin, cacat mental, atau pelanggar sex dak harus bertanggung jawab terhadap aksinya. Konsensus umum adalah bahwa individu-individu pantas mendapatkan perawatan, bukan hukuman, walaupun perawatan itu akan berakibat pada pemasungan kebebasannya di suatu lembaga perawatan mental tanpa adanya proses hukum.

Di Amerika Serikat, sekitar 1 dari 12 orang akan melewatkan sebagian waktu hidupnya di lembaga-lembaga perawatan mental (mental ins tu ons). Di suatu hari pada suatu tahun, sekitar setengah juta orang Amerika dirawat di bangsal-bangsal perawatan mental; bahkan, sekitar setengah tempat dur di rumah sakit Amerika dihuni oleh orang yang menderita cacat mental. Namun komitmen sipil untuk sakit mental dan ke dakmampuan adalah hanya salah satu dari pe- pe komitmen sipil yang digunakan untuk mengontrol perilaku menyimpang. Tipe- pe lainnya seper pengebirian (incarcera on) anak-anak nakal (juveniles) di sekolah-sekolah pela han atau rumah-rumah tahanan; komitmen terhadap pecandu berat alkohol atau pelanggar yang berhubungan dengan alkohol; komitmen terhadap pecandu narkoba; dan pemasyarakatan (ins tu onaliza on), melalui hukum perdata, dari para pelanggar sex (umumnya disebut psikopat seksual, orang-orang yang berbahaya secara seksual, atau pelanggar seksual cacat mental). Mar n L. Forst (1978:7) menyebut bahwa berbagai pe komitmen sipil ”merupakan salah satu dari bentuk- bentuk utama dari kontrol sosial melalui hukum di masyarakat Amerika”. Dia lebih lanjut menyebutkan bahwa bentuk kontrol sosial seper ini lebih ekstensif / manjur daripada kontrol sosial

melalui komitmen pidana tradisional.

Para profesional kesehatan mental, khususnya psikiatris, mempunyai kekuasaan besar dengan menempatkan individu- individu ke lembaga-lembaga perawatan tanpa jaminan pengadilan. Sebagai contoh, Thomas S. Szasz (1965: 85-143) menggambarkan kasus dari operator pompa bensin di kota Syracuse, negara bagian New York yang telah ditekan oleh pengembang real estate untuk menjual tanahnya sehingga sebuah pusat perbelanjaan dapat dibangun di lokasi tersebut. Ke ka pengembang ingin mendirikan papan tanpa dari proper tersebut, pemilik pompa bensin yang marah memberi tembakan peringatan ke udara. Dia ditahan tetapi dak pernah dibawa ke pengadilan. Dengan rekomendasi oleh jaksa penuntut, operator tersebut diperintahkan untuk menjalani pemeriksaan psikiatris untuk menentukan bahwa ia cukup sehat untuk menghadapi pengadilan. Dia diputuskan dak mampu (untuk mengendalikan dirinya sendiri) sehingga dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa. Setelah 10 tahun di rumah sakit jiwa, ia telah menjalani masa hukuman yang lebih lama daripada ia diadili dan dinyatakan bersalah.

Dalam arena hukum, penyebab perilaku kriminal dan tanggung jawab dari perilaku tersebut terletak pada individu- individu. Namun di suatu sistem hukum yang mempercayai (posits) sebab-sebab individu melakukan ndakan tertentu, muncul adanya komplikasi dalam usaha untuk mengontrol individu-individu yang mengancam namun dak melanggar hukum. Salah satu cara untuk mengontrol individu seper itu adalah dengan mendefi nisikannya sebagai sakit mental (mental disorder). ”Defi nisi ini mempunyai efek kombinasi untuk mengurangi irasionalitas terhadap perilaku tersebut dan memberi kontrol terhadap individu-individu melalui cara-cara yang lunak (ostensibly benign), dan bukan intervensi psikiatrik yang memaksa” (Greenaway dan Brickey, 1978: 139). Jadi,

dak mengherankan untuk menemukan bahwa banyak rumah sakit jiwa negara merawat orang-orang yang telah melakukan pelanggaran ringan (trivial misdemeanors) atau yang belum didakwa melakukan ndak kejahatan apapun, namun telah

dikirim ke sana untuk keperluan ”observasi”. Polisi dan pengadilan menunjuk individu-individu yang perilakunya ”aneh” untuk diperiksa psikiatris, dan jika mereka menemukan bahwa orang tersebut ”gila” (insane), maka mereka akan dirawat di rumah sakit jiwa tanpa persetujuan orang tersebut untuk periode waktu yang lama, bahkan seumur hidup.

Penggunaan komitmen sipil sebagai bentuk kontrol sosial dak hanya terbatas di Amerika Serikat. Di Uni Soviet (dulu), sebagai contoh, banyak pembangkang di tahun-tahun belakangan ini dak dikirim ke kamp konsentrasi di Siberia, tapi dikirim ke rumah sakit jiwa. Da ar penyair, penulis, dan intelektual yang telah didefi nisikan ”sakit jiwa” dan bukan penjahat kriminal oleh penguasa Soviet, sangatlah panjang. Psikiatris di Uni Soviet dak sinis seper yang kita pikirkan. Dengan ”realitas” mereka adalah Marxist-Leninist, ternyata banyak di antara mereka yang berpikir bahwa orang-orang yang dak beradaptasi terhadap realitas dianggap mempunyai cacat psikologis dan harus ditempatkan di lembaga pengasingan. Namun apakah mereka sadar atau dak tentang implikasi poli s dari diagnosis mereka, psikiatris di Uni Soviet telah memberi cap ”sakit jiwa” sebagai metode kontrol sosial.

Ada berbagai penjelasan tentang meningkatnya pengg- unaan komitmen sipil sebagai mekanisme kontrol sosial. ”Ada beberapa mereka (kriminologis posi f) yang memandang peningkatan tersebut sebagai pergeseran warisan (benefi cial shi ) dari penekanan tradisional tentang menghukum orang untuk merehabilitasi mereka…Penjelasan lain dari meningkatnya penggunaan komitmen sipil (pergeseran dari hukum pidana) bahwa komitmen sipil berfungsi sebagai gan dari, atau merupakan pelengkap dari, hukum pidana untuk mengontrol secara sosial bentuk ngkah laku yang dak diinginkan” (Forst, 1978:9-10). Penggunaan komitmen sipil bukannya tanpa kri kan. Beberapa kri kus menyarankan pembatalan semua komitmen sipil karena hak-hak kons tusional dari individu-individu yang diberikan kepada mereka telah dilanggar, walaupun ada sejumlah hukum akhir-akhir ini yang dirancang untuk melindungi hak-hak dari orang yang sakit jiwa. Yang lainnya dak setuju karena

membolehkan orang untuk menghindari hukuman yang pantas baginya. Walaupun issue ini tetap kontroversial, penggunaan komitmen sipil sebagai bentuk kontrol sosial sedang meningkat di Amerika Serikat dan negara-negara lainnya.

Dalam dokumen filsafat ilmu dalam kajian hukum (Halaman 132-140)