• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Ilegal

Dalam dokumen filsafat ilmu dalam kajian hukum (Halaman 71-74)

Indonesia-Malaysia

ANALISA HUKUM ISLAM TERHADAP PROBLEMATIKA FIQH DI JAGOI BABANG, NANGA BADAU, DAN ENTIKONG

2. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Ilegal

Secara konseptual, Islam sangat menghorma hak-hak dasar manusia (huquq al-insan), Islam dak memaksa manusia untuk bekerja dengan pekerjaan tertentu. Kebebasan tersebut termaktub dalam Al-Qur’an surah Al-Isra’ ayat 84

Katakanlah: “Tiap- ap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”. (al-Isra’ : 84)

Kebebasan dalam bekerja itupun dicontohkan oleh para Nabi. Seper nabi Daud yang bekerja sebagai pembuat baju besi27 atau nabi Zakariya a.s yang bekerja sebagai tukang kayu28.

Islam melarang umatnya untuk pasif dak bekerja atau hanya 26 Hadits ini secara lengkap bisa dilihat di Kitab Sunan Abi Dawud nomor

3067, Kitab Sunan Ahmad bin Hambal nomor 6948, Kitab Sunan al-Dar Quthny nomor 2541, Kitab Musnad Abi Ya’la nomor 6433

27Dari Nabi Saw pernah bersabda, “ dak ada makanan yang lebih baik dari seseorang kecuali makanan yang ia peroleh dari uang hasil keringatnya sendiri. Nabi Allah, Daud as, makan dari hasil keringatnya sendiri

Hadits ini bisa ditemui didalam kitab Shohih al-Bukhori nomor 1940, kitab

Shohih Ibn Hibban nomor 6362, atau kitab Mu’jam al-Kabir Li at-Thobrony

nomor 17049

28 Rasulullah SAW bersabda : “Bahwa Nabi Zakariya as, adalah seorang tukang kayu

meminta-minta (mengemis). Itu ar nya bahwa Islam menghargai segala bentuk pekerjaan selama pekerjaan atau profesi tersebut

dak keluar dari koridor halal.

Begitulah yang difi rmankan oleh Allah dan disabdakan oleh Nabi:

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengiku langkah-langkah syaitan;” (QS. Al-Baqarah : 168)

“Rasulullah saw bersabda: demi Dzat yang menguasai

jiwaku, bahwa seseorang yang membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian memikul ke pasar, lalu menjualnya adalah lebih baik daripada ia pergi mengemis pada orang lain(meminta-minta), baik diberinya atau ditolaknya.”29

Dalam Islam, bekerja dak hanya memiliki nilai norma f yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan jasmani dan ekonomi semata, tapi juga dipandang pen ng sebagai sebuah instrumental (wasilah) sehingga bekerja dak secara mutlak berada pada ngkat keutamaan yang mengalahkan ataupun dikalahkan oleh ak fi tas-ak tas lainnya. Oleh karena itulah, Zainuddin bin Ali mengklasifi kasikan hukum bekerja menjadi empat :

1. Wajib, yaitu bekerja yang tujuannya untuk mencukupi minimal kebutuhan pribadi, keluarga dan agamanya. Sehingga jika dak bekerja maka akan mengancam kehidupan, keluarga ataupun agamanya.

2. Sunnah, yaitu bekerja untuk keperluan diatas standar kecukupan yang hasil bekerjanya di-tasarruf-kan untuk menyantuni faqir miskin atau untuk menyambung kembali tali silaturahmi.

3. Mubah, yaitu bekerja diatas standart kecukupannya yang tujuannya adalah semata-mata mencari kesenangan.

29 Hadits ini bisa ditemui didalam kitab Shohih al-Bukhori nomor 1383, kitab Sunan al-Nasa’I al-Sughro nomor 2555, kitab Al-Muwa ho’ nomor 1816, kitab al-Sunan al-kubro li an-Nasa’I nomor 2353

4. Haram, yaitu bekerja semaksimal mungkin yang tujuannya untuk memupuk kesombongan.30

Islam dak melarang umatnya untuk bekerja di tempat manapun, baik itu di negerinya sendiri ataupun di Negara lain, bahkan bekerja kepada orang kafi r sekalipun, Islam dak melarangnya31. Hubungannya dengan status hukum Islam

bagi yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) secara ilegal yang dilakukan oleh sebagian masyarakat perbatasan,

dak ditemukan nash yang secara langsung menyebutkan tentang TKI, maka supaya mendapatkan pijakan hukum Islam yang tepat, harus di mbang terlebih dahulu maslahah dan

mudhorot dari kebijakan pemerintah yang mengatur tentang TKI.

Menurut Pasal 1 bagian (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (TKI), TKI adalah se ap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Demi menjaga dan memberikan perlindungan TKI di luar negeri, pemerintah berkewajiban untuk mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, dimana dalam melaksanakan tugas tersebut Pemerintah dapat melimpahkan sebagai wewenangnya dan/atau tugas perbantuan kepada pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang- undangandemi terjaminnya pemenuhan hak-hak TKI sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja.32 Pada dasarnya TKI mempunyai hak 30 Zainuddin bin Ali bin Ahmad Asy-Syafi ’I, Qomi’ al-Thughyan, Bandung :

Syirkah Ma’arif, hlm. 12

Bahkan An-Nadwi didalam kitabnya menyebutkan :Lihat dalam Ali Ahmad Al-Nadwi,2000,Al-Qowa’id al-Fiqhiyyah, (Beirut: Dar al-Qolam) hlm. 113 31 Bekerja yang mendapatkan gaji/bayaran didalam hukum Islam disebut

dengan ijaroh. Hal ini berbeda dengan budak karena budak menyebabkan penguasaan, kepemilikan untuk selamanya, serta pemanfaatan secara bebas. Abu Bakr Ibn Syatha al-Dimyathi, 1999, I’anah al-Tholibin, (Beirut : Dar al-Fikr) Juz I hlm 403, mengatakan :

32 Lihat Pasal 1 bagian (1), bagian (2), dan bagian (4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga

untuk memilih dan mendapatkan pekerjaan dimanapun mereka inginkan termasuk di luar negeri33 serta hak untuk mendapatkan

Jaminan Sosial yang merupakan hak se ap warga negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 34. Oleh karena itu

sudah tepat kiranya negara mengatur tentang TKI agar Negara bisa memberi perlindungan dan jaminan sosial.

Dalam konteks hukum Islam, kebijakan pemerintah yang jelas-jelas menimbulkan al-maslahah al-amah, maka wajib untuk dita’a . Oleh karena itu, menjadi TKI ilegal yang dilakukan masyarakat perbatasan merupakan sesuatu yang haram karena hal itu merupakan bentuk pembangkangan atas kebijakan pemerintah yang jelas-jelas demi mewujudkan maslahah bagi masyarakat itu sendiri. Apalagi Malaysia memiliki Akta Migrasi 2002 (Akta A1154) yang disahkan 1 Agustus 2002. Dalam Akta tersebut disebutkan, tenaga kerja asing yang masuk secara ilegal akan didenda 10.000 MYR atau dipenjara maksimal lima tahun, atau dikenakan sanksi kedua-duanya dan dikenakan hukuman cambuk maksimal enam kali.

Dalam dokumen filsafat ilmu dalam kajian hukum (Halaman 71-74)