• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resistensi terhadap Perubahan

Dalam dokumen filsafat ilmu dalam kajian hukum (Halaman 183-197)

HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL

8. Resistensi terhadap Perubahan

Sebagai tambahan dari keterbatasan hukum sebagai suatu instrumen perubahan sosial yang didiskusikan dalam seksi sebelumnya, efi kasi hukum (begitu pula mekanisme perubahan lainnya) selanjutnya akan terhambat oleh berbagai kekuatan. Dalam dunia modern, situasi resisten terhadap perubahan lebih banyak terjadi daripada situasi menerima perubahan. Seringkali perubahan dihambat karena perubahan bertentangan dengan nilai-nilai dan kepercayaan tradisional, atau perubahan tertentu menyebabkan biaya besar, dan kadang-kadang orang bertahan terhadap perubahan karena hal itu bertentangan dengan kebiasaannya atau membuatnya merasa ketakutan atau terancam. Walaupun hukum mempunyai keuntungan tertentu dibandingkan dengan agen perubahan lainnya, untuk mengapresiasi peranan hukum di dalam perubahan, adalah sangat membantu untuk mengiden fi kasi beberapa kondisi umum dari resistensi terhadap hal –hal yang berkenaan dengan hukum. Kesadaran terhadap kondisi-kondisi ini adalah suatu prasyarat bagi penggunaan hukum yang lebih efi sien sebagai metode rekayasa sosial.

Literatur sosiologi mengenai berbagai tendensi untuk menghambat perubahan yang secara langsung ataupun dak langsung mempunyai efek terhadap hukum sebagai suatu instrumen perubahan. Maksud dari seksi ini adalah untuk mendiskusikan secara singkat, daripada untuk menganalisis secara mendalam, serangkaian kekuatan yang ber ndak sebagai penghambat perubahan. Demi untuk memperjelas, saya akan memper mbangkan resistensi terhadap perubahan melalui hukum di dalam konteks faktor-faktor sosial, psikologi, budaya, dan ekonomi. Kategori-kategori ini hanyalah ilustrasi belaka, dan perbedaan ini hanyalah untuk maksud analisis belaka, karena banyak faktor ini beroperasi dalam berbagai kombinasi dan intensitas yang berbeda-beda, tergantung kepada besaran dan ruang lingkup dari usaha perubahan tertentu. Jelas bahwa, ada sejumlah tumpang ndih di antara faktor-faktor ini. Mereka itu dak saling terpisah, dan banyak di antaranya, tergantung kepada

tujuannya, dapat ditentukan sebagai kategori yang berlainan. Ada sejumlah faktor-faktor sosial yang dapat digolongkan sebagai hambatan potensial bagi perubahan. Yaitu kelompok kepen ngan (vested interest), kelas sosial, resistensi ideologi, sen men moral, dan oposisi terorganisasi. Kelompok kepen ngan (vested interest). Perubahan akan dihambat oleh individu-individu atau kelompok-kelompok yang ketakutan akan kehilangan kekuasaannya, pres senya, ataupun kekayaannya, bila ada proposal / usulan baru yang diterima. Terdapat banyak

pe kelompok kepen ngan kepada siapa status quo dapat diuntungkan dan dapat disukai. Mahasiswa yang kuliah di universitas negeri mempunyai kelompok kepen ngan dalam pendidikan nggi yang dibayari oleh pajak. Pengacara perceraian (divorce lawyers) membentuk suatu kelompok kepen ngan, dan sejak lama telah berusaha keras untuk mereformasi hukum- hukum perceraian. Dokter-dokter yang dak setuju dengan berbagai macam “obat yang tersosialisasi“ (socialized medicine) membentuk suatu kelompok kepen ngan. Warga dari suatu lokasi tempat nggal (neighborhood) mengembangkan kelompok kepen ngan di dalam lokasi tempat nggalnya. Mereka seringkali mengorganisasi diri untuk menghambat perubahan-perubahan zoning, jalan raya antar negara bagian (interstate highways), konstruksi fasilitas-fasilitas koreksi / lembaga pemasyarakatan, atau penetapan bis untuk anak-anak mereka. Pada kenyataannya hampir semua orang mempunyai kelompok kepen ngan – dari orang-orang kaya yang dengan lembar pengecualian pajak sampai orang-orang miskin dengan check kesejahteraannya.

Kelas sosial (social class). Kelas yang rigid / kaku dan pola-pola kasta pada umumnya cenderung untuk menghambat penerimaan perubahan. Di masyarakat yang sangat terstra fi kasi, orang-orang diharapkan untuk mematuhi dan mengambil aturan-aturan (take orders) dari mereka yang ada pada posisi otoritas atau kekuasaan di atas. Hak-hak preroga f dari strata atas dijaga dengan iriha (jealously guarded) dan usaha-usaha untuk menerapkannya terhadap anggota kelompok sosial ekonomi rendah sering dihambat dan disingkirkan. (resented and repulsed). Sebagai contoh, di bawah sistem kasta yang kaku

di India dan Pakistan, anggota-anggota dari kasta lainnya dak boleh mengambil air dari sumur yang sama, pergi ke sekolah yang sama, makan bersama, atau bergaul secara bercampur (mingle). Pada hampir semua kasus, untuk kelas atas ada kecenderungan untuk mengagung-agungkan (cherish) cara-cara lama dalam melakukan sesuatu dan bersandar (adhere) kepada status quo.

Resistensi ideologi. Resistensi perubahan melalui hukum berdasarkan ideologi sangatlah nyata. Contoh bagus untuk kasus ini adalah perlawanan Gereja Katolik untuk legislasi dan keputusan pengadilan yang berkenaan dengan penghilangan beberapa pembatasan terhadap keluarga berencana dan aborsi. Ilustrasi lainnya tentang resistensi ideologi (yang seiring sejalan dengan kelompok kepen ngan) adalah oleh para profesional kedokteran tentang sesuatu yang menyarankan “obat tersosialisasi“ / obat generik, termasuk pengundangan Undang-Undang Pelayanan Medis tahun 1965 (the Medicare Law of 1965) (Allen, 1971: 278-279). Secara umum, asumsi dan interpretasi intelektual dan religius dasar mengenai kekuasaan, moralitas, kesejahteraan, dan keamanan yang ada cenderung agak konsisten dan secara aklamasi usulan perubahan agar dibuang jauh-jauh (Vago, 1980: 229).

Sen men moral. Ketakutan dan kecemasan (fear and

apprehension) seringkali berhubungan dengan konsekuensi

moral tentang penerimaan sesuatu yang bagus (accep ng

something novel). “Di sini resistensi umumnya mempunyai

alasan untuk mengklaim bahwa yang baru melanggar dan begitu mengobrak-abrik prinsip atau resep moral, yang dipandang pen ng untuk tetap hidupnya sistem sosial atau kemanusiaan pada umumnya“ (La Piere, 1965: 179). Sebagai contoh, hukum-hukum yang membuat kontrasepsi tersedia, dilawan di beberapa kelompok karena mereka melanggar kesucian hidup. Resistensi terhadap perubahan berdasarkan moral didasarkan fakta bahwa di se ap masyarakat, individu-individu kurang lebih telah tersosialisasi secara efek f ke dalam per mbangan bahwa bentuk-bentuk perilaku (conduct) yang ada , khususnya yang bersifat organisasional, adalah satu-satunya yang benar dan tepat. Dalam hal ini, ide-ide tentang benar dan tepat dimasukkan

secara emosional ke dalam kepribadian (personality). Perubahan yang akan menghasilkan kekacauan emosional akan dihambat.

Oposisi terorganisasi. Kadang-kadang, resistensi individu- individu yang menyebar terhadap perubahan mungkin dapat dimobilisasikan ke dalam oposisi terorganisasi yang dapat berbentuk struktur organisasi formal. Sebagai contoh, Asosiasi Menembak Amerika (the American Riffl e Associa on) melawan dikontrolnya penggunaan senjata, atau mungkin disalurkan lewat suatu gerakan sosial, sebagai contoh, ak vitas-ak vitas “pro-life“ akhir-akhir ini (pro-life, kelompok yang dak setuju dengan ndakan aborsi – penerjemah). Dalam masyarakat modern, dengan banyaknya organisasi informal dan formal yang bertentangan satu dengan yang lainnya, berbagai organisasi baru telah mengakibatkan ancaman tertentu bagi status quo. Misalnya, anggota-anggota John Birch Society memperjuangkan berbagai macam perubahan sosial dari integrasi rasial sampai penerimaan dan perlindungan hukum terhadap pornografi . Sejalan dengan John Birch Society, munculnya kembali Ku Klux Klan didasarkan kepada adanya perlawanan publik terhadap perubahan sosial, namun terutama fokus kepada perubahan hubungan-hubungan rasial. Organisasi-organisasi ini dan juga organisasi sejenis telah melawan perubahan yang sedang terjadi, dan walaupun kebanyakan dari mereka telah melawan namun kalah, efek penundaannya sering diperhitungkan. Namun kadang-kadang ke ka oposisi terorganisasi tentang perubahan melalui hukum dak juga terjadi, akibatnya bisa sangat merusak. Sebagai contoh, lebih daripada 6 juta orang Yahudi telah dibunuh di dalam kamp konsentrasi selama Perang Dunia II sebagian karena mereka dak mengorganisasikan perlawanan terhadap perubahan-perubahan pada awal tahun 1930an di masa rezim Jerman Nazi.

Goodwin Watson (1969: 488) berpendapat bahwa “semua kekuatan yang berkontribusi terhadap stabilitas dalam personalitas atau di dalam sistem sosial dapat dianggap sebagai menghambat perubahan“. Diskusi mendetail tentang kekuatan- kekuatan ini jelas ada di luar ruang lingkup dari buku ini. Untuk maksud di dalam buku ini saya hanya akan membahas

mengenai: kebiasaan, mo vasi, keacuhan, persepsi selek f, dan pengembangan moral.

Kebiasaan (habit). Dari sudut pandang psikologi, suatu asal muasal dari perubahan adalah masalah kebiasaan saja. Ke ka suatu kebiasaan telah terbentuk, operasinya seringkali memuaskan bagi individu-individu. Orang akan menjadi terbiasa berperilaku atau ber ndak dalam tatakrama tertentu dan mereka akan merasa nyaman dengan semua itu. Sekali suatu bentuk perilaku tertentu menjadi ru n dan terbiasa, hal itu akan memberi perlawanan terhadap perubahan. Meyer F. Nimkoff (1957: 62) berpendapat bahwa adat (customs) dari suatu masyarakat adalah kebiasaan kolek f; khususnya ke ka sen men melebihi adat, yaitu adat terlalu lambat ke ka ada perlawanan terhadap suatu ide atau praktek tertentu. Untuk menggambarkan satu contoh, usaha untuk mengenalkan „sistem metriks“ telah menemui perlawanan sengit di Amerika Serikat (sistem metriks adalah pengukuran berat dalam “kg“, panjang dalam “m“, dan volume dalam “liter“; yang berlawanan dengan kebiasaan-kebiasaan yang sudah ada di Amerika Serikat sebelumnya yaitu berat dalam “pound“ (lbs), panjang dalam“yard“, dan volume dalam “quart“ – penerjemah). Kita telah terbiasa dengan “miles“ dan merasa dak nyaman dengan “kilometer“; kita lebih suka mengukur dengan satu “quart“ dari sesuatu daripada satu “liter“. Ke ka hukum digunakan sebagai satu instrumen perubahan sosial untuk mengubah adat yang telah ada, adalah sangat mungkin untuk mencapai laju kepatuhan yang dapat diterima akan memerlukan suatu reorientasi ak f terhadap nilai-nilai dan perilaku-perilaku dari sebagian besar populasi yang menjadi target (Zimring dan Hawkins, 1975: 331).

Mo vasi. Penerimaan perubahan melalui hukum juga

dipersyaratkan oleh kekuatan mo vasi. Beberapa mo vasi adalah berbentuk budaya, dalam ar kehadirannya atau ke dakhadirannya menjadi ciri dari suatu kebudayaan. Misalnya, kepercayaan agama di beberapa kebudayaan memberikan mo vasi-mo vasi untuk sejenis perubahan tertentu, sementara di kebudayaan yang lainnya movitasi ini terpusat kepada status quo. Jenis-jenis mo vasi lainnya lebih bersifat universal, atau

hampir universal, karena melintas antar masyarakat dan antar kebudayaan (Foster, 1973: 152). Contoh-contoh dari mo vasi ini termasuk keinginan untuk pres se atau untuk pencapaian ekonomi dan niat untuk patuh dengan kewajiban pertemanan (friendship obliga on). Perubahan-perubahan yang mungkin mengancam keinginan untuk pencapaian ekonomi atau ketertarikan akan pres se dan status nggi pada umumnya akan dipandang sebagai sesuatu yang mengancam dan kemungkinan besar akan dilawan.

Keacuhan (ignorance). Keacuhan adalah faktor psikologis lainnya yang berhubungan dengan penghambatan perubahan. Kadang-kadang, keacuhan muncul bersamaan dengan ketakutan akan datangnya hal-hal baru. Hal ini seringkali benar dalam kasus adanya makanan-makanan baru. Beberapa tahun yang lalu, banyak orang beranggapan bahwa buah sitrus / jeruk membawa sejenis asam dalam organ pencernaan. Ke ka terbuk dak benar, resistensi berdasarkan masalah asam ini hilang dengan sendirinya. Keacuhan bisa menjadi salah satu faktor ke dakpatuhan (noncompliance) terhadap hukum yang dirancang untuk mengurangi praktek-praktek diskriminasi. Sebagai contoh, perusahaan-perusahaan (employers) seringkali mengama orang-orang non kulit pu h sebagai kelompok rela f terhadap orang kulit pu h dan kemudian berdasarkan pengamatan tersebut segan untuk merekrut individu yang non kulit pu h (Beeghley, 1978: 242). Keacuhan dak diragukan lagi sebagai faktor yang pen ng dalam prasangka (prejudice) ke ka perilaku yang ada terlalu kuat dan dak lentur (infl exible) yang secara serius merusak persepsi dan per mbangan.

Persepsi. Hukum, menurut rancangan dan maksudnya,

cenderung untuk universal. Namun persepsi tentang maksud adanya hukum (intent of the law), adalah selek f menurut variabel-variabel ekonomi, budaya, dan demografi s. Pola unik dari kebutuhan, sikap, kebiasaan, dan nilai-nilai orang diturunkan melalui sosialisasi menentukan apa yang mereka akan perha kan secara selek f, apa yang mereka akan terjemahkan secara selek f, dan apa yang akan mereka lakukan secara selek f. Pada umumnya orang akan lebih bisa menerima ide-ide baru

jika itu berhubungan dengan interestnya, konsisten dengan sikapnya, sejalan dengan kepercayaannya, dan mendukung nilai- nilainya. Persepsi yang berlainan dengan maksud hukum dapat menghambat perubahan. Sebagai contoh, di India berkat hukum distribusi tentang informasi dan pasokan barang-barang keluarga berencana dapat dilakukan. Namun penggunaan kontrasepsi masih banyak ditentang oleh orang-orang di pedesaan India karena mereka berpikir hukum bermaksud untuk menghen kan sama sekali kelahiran bayi-bayi baru. Di Amerika Serikat, pemberian “fl uor“ (zat pemu h – penerjemah) di dalam air PAM dianggap perbuatan “konspirasi komunis“ dan oleh karena itu banyak ditentang di banyak masyarakat pada waktu itu.

9. Faktor-Faktor Budaya

Ke ka perilaku atau kebiasaan yang sudah lama dilakukan terancam, resistensi terhadap perubahan biasanya sangat kuat, seringkali berdasarkan kepercayaan dan nilai-nilai tradisional. Status quo dilindungi tapi perubahan dihambat. Sebagai contoh, pada orang Mormon, berdasarkan kepercayaan relijius tradisionalnya, menolak hukum yang mengancam perkawinan poligami mereka. Begitu pula di India, ke ka kelaparan adalah suatu masalah besar, lebih dari 3 juta sapi yang disucikan oleh orang Hindu dak hanya diampuni untuk disembelih untuk dijadikan makanan namun juga diperbolehkan untuk berjalan- jalan di desa dan tanah-tanah pertanian, seringkali menyebabkan kerusakan tanaman pangan yang parah. Makan daging sapi akan bertentangan dengan kepercayaan tradisional mereka, dan sebagai hasilnya adalah dak mungkin untuk memelihara sapi untuk dijadikan daging untuk makanan di India. Faktor-faktor budaya lainnya juga ber ndak seringkali sebagai penghambat perubahan, termasuk fatalisme, etnosentrisme, pendapat ke dakcocokan, dan supers si / tabu.

Fatalisme. “Di kebanyakan bagian dunia ini kita menemui budaya-budaya yang mendukung kepercayaan bahwa orang

dak mempunyai sebab akibat dari masa depannya atau masa depan dari tanahnya; Tuhan, bukan orang, dapat meningkatkan nasib orang….Sulit untuk membujuk orang seper ini untuk

menggunakan pupuk, atau untuk menyimpan benih terbaik untuk ditanam, karena orang hanya bertanggung jawab untuk kinerja / kerja saja, dan adalah tanggung jawab Tuhan (the divine) untuk suksesnya sebuah ndakan“ (Mead, 1953: 201). Pada dasarnya, fatalisme adalah suatu perasaan tentang kurangnya penguasaan terhadap alam. Orang dak mempunyai kontrol terhadap kehidupannya sendiri dan semua hal yang terjadi pada mereka karena Tuhan atau karena makhluk jahat. Pandangan fatalis k seper itu tentu saja menghambat perubahan, karena perubahan dianggap sebagai disebabkan oleh manusia (human- ini ated) dan bukan berasal dari Tuhan (having a divine origin).

Etnosentrisme. Banyak sub kelompok di masyarakat

memandang mereka sendiri sebagai “superior“, satu-satunya yang memiliki hak tentang cara berpikir tentang dunia dan cara memperlakukan lingkungan. Perasaan superioritas terhadap suatu kelompok akan membuat orang untuk dak bisa menerima (unrecep ve) ide-ide dan metode-metode yang digunakan di kelompok-kelompok lainnya. Sebagai hasilnya, etnosentrisme seringkali menyebabkan orang (a bulwark) dak setuju dengan perubahan. Sebagai contoh, perasaan superioritas seper itu oleh orang-orang kulit pu h telah menghambat usaha-usaha integrasi dalam hal perumahan, pekerjaan, dan pendidikan.

Ke dakcocokan (incompa bility). Ke daksetujuan terhadap perubahan sering dikarenakan karena di kelompok target terdapat material dan sistem yang, atau dipandang sebagai,

dak dapat diubah (irreconcilable) dengan usulan yang baru. Ke ka ke dakcocokan tersebut ada pada suatu kebudayaan, perubahan akan menemui kesulitan. Sebagai contoh, kontras antara kepercayaan monotheis (berTuhan satu) dan polytheis (berTuhan banyak). Orang monotheis dapat menerima suatu nabi baru (a new deity) hanya dengan menolak yang telah ada sebelumnya (the previous incumbent), yang akan meminta banyak pengorbanan dari mereka. Untuk menggambarkan hal ini, orang Indian Navajo telah dak setuju terhadap Kris ani karena kepercayaan agama mereka dak cocok dengan yang ditawarkan oleh bentuk yang lainnya (Foster, 1973: 94). Salah satu contoh konkret adalah hukum umur perkawinan (marriage age law)

yang diundangkan di Israel dalam suatu usaha untuk memulai perubahan di dalam populasi imigran melalui hukum. Hukum tersebut menyebutkan umur 17 tahun sebagai umur minimum untuk perkawinan kecuali adanya kehamilan, dan memberikan sanksi pidana bagi seseorang yang mengawini seorang gadis di bawah umur 17 tahun tanpa persetujuan pengadilan negeri. Dengan menset umur minimum 17 tahun, hukum berusaha untuk memberlakukan suatu aturan perilaku yang dak cocok dengan adat dan kebiasaan dari beberapa seksi dari populasi orang Yahudi Israel yang datang dari negara-negara Arab dan negara- negara Timur (Rusia, Polandia, dsb – penerjemah), dimana perkawinan biasanya dilaksanakan sebelum umur 17 tahun. Tindakan itu hanya mempunyai efek terbatas, dari masyarakat yang sebelumnya membolehkan perkawinan dari perempuan yang belum berumur 17 tahun (Dror, 1968: 678).

Supers si / tabu. Supes si didefi nisikan sebagai suatu penerimaan dak kri s dari suatu kepercayaan yang dak didukung oleh fakta-fakta. Kadang-kadang, supes si ber ndak sebagai penghambat perubahan. Sebagai contoh, di suatu situasi di Rhodesia, usaha-usaha pendidikan nutrisi terhambat karena fakta bahwa banyak perempuan yang dak makan telur. Menurut kepercayaan mereka yang meluas, telur menyebabkan ke daksuburan / infer litas, membuat bayi botak, dan membuat wanita menjadi sulit hamil (promiscuous). Begitu pula, di Filipina, ada suatu kepercayaan bahwa jeruk (squash) yang dimakan dengan ayam akan menyebabkan penyakit lepra. Di beberapa tempat, wanita hamil dak diberi makan telur karena bayinya akan membesar yang mempersulit kelahirannya, dan di tempat lainnya lagi, seorang bayi dak akan diberi air untuk beberapa bulan setelah kelahiran karena kualitas “dingin“ dari air akan merusak perimbangan panas si bayi. Di beberapa bagian dari Ghana, anak-anak dak boleh makan daging atau ikan karena dipercaya daging dan ikan akan menyebabkan cacing perut (Foster, 1973: 103-104). Jelas bahwa, jika ada kepercayaan supers si, usaha-usaha perubahan melalui hukum atau agen- agen lainnya akan menemui hambatan.

10. Faktor-Faktor Ekonomi

Walaupun di masyarakat yang kaya raya (affl uent society), sumberdaya ekonomi yang terbatas berfungsi sebagai hambatan terhadap perubahan yang mes nya telah diadopsi. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, hampir se ap orang akan menerima kesiapan untuk adanya kontrol yang efek f terhadap polusi, sistem transportasi publik yang lebih murah dan lebih nyaman, program kesejahteraan yang efek f, dan pelayanan kesehatan yang cukup bagi semua. Fakta bahwa perubahan dalam bidang ini sangatlah lambat dak hanya karena masalah prioritas, namun juga masalah biaya. Biaya dan sumberdaya ekonomi yang terbatas di dalam masyarakat berakibat memberikan sumber hambatan terhadap perubahan.

Ada suatu kebenaran (truism) seper yang terjadi pada hal-hal lainnya, yaitu perubahan melalui hukum mempunyai biayanya sendiri. Dalam banyak hal, interpretasi legislasi, putusan administra f, atau penetapan pengadilan, membawa harganya sendiri-sendiri. Sebagai contoh, dampak ekonomis dari regulasi federal tentang ins tusi pendidikan nggi sangatlah signifi kan. Berbagai program ndakan a rma ve (a rma ve

ac on program, yaitu program yang dak membeda-bedakan orang berdasarkan ras, golongan, jenis kelamin, dan agama – penerjemah), mempunyai sanksi dipotongnya semua bantuan dana dari pemerintah federal terhadap ins tusi-ins tusi yang dak patuh terhadap hukum an pembedaan (the an -bias law). Pada gilirannya, kepatuhan akan menyebabkan meningkatnya biaya administra f pada ins tusi-ins tusi pendidikan nggi (karena banyak orang kulit hitam berasal dari keluarga dak mampu sehingga ada subsidi silang dalam biaya operasional sekolah – penerjemah). Philip Boff ey (1975) membahas suatu peneli an terhadap 6 ins tusi untuk menentukan dampak ekonomis dari regulasi federal terhadap anggaran operasi ins tusi. Peneli an tersebut memperha kan dampak dan biaya fi nansial dari syarat- syarat peluang pemekerjaan yang sama (equal employment opportunity) yang disebutkan di Undang-Undang Persamaan Hak (the Civil Rights Act), Undang-Undang Persamaan Gaji (the Equal Pay Act), Program Tindakan Persamaan (the Affi rma ve Ac on

Program) berdasarkan perintah ekseku f (semacam Perpres – penerjemah) tahun 1965, diskriminasi umur dalam pekerjaan, Undang-Undang Keamanan dan Kesehatan Pekerja (the Occupa onal Safety and Health Act) tahun 1970, undang-undang upah minimum, asuransi pengangguran / jaring pengaman sosial, dan Undang-Undang Perlindungan Lingkungan (the Environment Protec on Law) terhadap pengeluaran operasional universitas. Walaupun dampak dari beberapa regulasi ini dan beberapa regulasi yang terkait akan minimal pada universitas, namun secara kolek f dampaknya cukup terasa. Dari 6 kolege dan universitas yang diteli , kenaikan total anggaran operasional selama satu dekade dari tahun 1965 sampai 1975 terkait dengan regulasi federal bervariasi dari 1 sampai 4 persen. Biaya ini rela f kecil dibandingkan dengan total anggaran operasional ins tusi, namun rela f cukup besar terhadap defi sit operasional yang dialami oleh beberapa ins tusi dalam tahun-tahun terakhir ini, dan lebih besar daripada anggaran dari beberapa departemen akademis yang akan sangat langka melalui perpindahan (shi s)

dalam prioritas anggaran ins tusi. Selama periode 10 tahun peneli an, biaya yang di mbulkan oleh kepatuhan terhadap regulasi federal adalah 20 kali lebih besar (Boff ey, 1975: 445). Peningkatan biaya ekonomi terkait dengan kepatuhan banyak ditentang dalam beberapa lingkungan akademis, dan telah mengakibatkan adanya permintaan agar berbagai hukum yang mempengaruhi pendidikan nggi diubah.

Selain adanya biaya langsung terhadap usaha perubahan tertentu, bagaimana biaya dan manfaat didistribusikan juga mempengaruhi resistensi. Sebagai contoh, ke ka biaya dan manfaat didistribusikan secara meluas seper dalam Jaring Pengaman Sosial (Social Security), maka resistensi terhadap program akan minimal. Biaya untuk se ap pembayar pajak akan rela f kecil, sedangkan keuntungannya akan disebarkan secara meluas “sehingga mereka hampir seper barang kolek f; yang berhak akan menikma keuntungannya, namun hanya membutuhkan sedikit kontribusi terhadap retensi / batasan pertumbuhannya“ (Handler, 1978: 15). Resistensi akan ada

Dalam dokumen filsafat ilmu dalam kajian hukum (Halaman 183-197)