• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nanga Badau

Dalam dokumen filsafat ilmu dalam kajian hukum (Halaman 62-65)

Indonesia-Malaysia

PROBLEMATIKA MUAMALAH DI DAERAH PERBATASAN

2. Nanga Badau

Sebagai daerah yang terdekat dengan negara tetangga, problema ka yang dihadapi masyarakat Badau yang berhubungan dengan amaliyah diniyah yang hablun minannas

maupun hablun minallah yang mempunyai relevansi dengan peneli an ini sangat beragam. Permasalahan-permasalahan yang muncul bukan hanya permasalahan klasik yang selalu terjadi di daerah perbatasan pada umumnya seper soal pendidikan dan kesehatan. Problema ka yang paling kompleks terjadi di daerah perbatasan, khususnya kecamatan Nanga Badau, yaitu soal jual beli dan adanya iden tas ganda.

Jarak yang sangat dekat antara kecamatan Nanga Badau dengan Distrik Lubok Antu, Serawak, Malaysia membuat distribusi barang-barang dari kedua negara menjadi tak terkontrol. Hampir seluruh barang dagangan seper makanan kecil, detergen, minyak makan, kosme k, dan lain sebagainya dibeli dari pasar di daerah Lubok Antu atau Kuching, Malaysia. Bahkan di beberapa barang dagangan masih tertempel label harga Ringgit Malaysia.

Menurut penuturan pemilik toko, Diana (31), harga barang di Malaysia cenderung murah dan memiliki kualitas yang baik. Sehingga dari segi keuntungan, ia bisa mendapatkan keuntungan lebih besar jika dibandingkan membeli barang dari Pon anak. Salah satu kendala, menurut Diana, adalah jarak tempuh Pon anak-Badau yang memakan waktu kurang lebih 20 jam menggunakan bus. Meskipun ada jalur udara yang bisa ditempuh dari Putussibau ke Pon anak, biaya yang akan digunakan hanya untuk membeli barang di Pon anak menjadi lumayan besar.

Selain komodi kebutuhan sehari-hari, kendaraan bermotor dengan nomor polisi Malaysia atau kendaraan tanpa nomor polisi atau mobil buatan asing (kendaraan bodong) yang lalu lalang di daerah Nanga Badau menjadi pemandangan yang

biasa. Mobil-mobil tersebut bukanlah milik orang Malaysia yang singgah ke Indonesia, namun milik penduduk di daerah Nanga Badau. Alasan mereka membeli mobil tersebut dak lain karena harganya yang murah dan dak perlu waktu lama untuk mendapatkan mobil tersebut dan membawanya ke Nanga Badau. Mereka juga mengakui bahwa sebagian kendaraan yang dibeli dari Malaysia ini tanpa melalui prosedur yang ditentukan, mereka bertransaksi jual beli kendaraan itu melalui jalur-jalur khusus yang dak diketahui keamanan sehingga dak perlu membayar persyaratan-persyaratan administrasi. bahkan ada juga masyarakat yang mengakui mobil yang mereka beli adalah mobil kreditan warga Malaysia yang belum lunas. Warga Malaysia tersebut akan meng-klaim bahwa mobil mereka telah dicuri oleh orang Indonesia agar mereka bisa mendapatkan kompensasi mobil baru dari pihak pemberi kredit kendaraan.

Selain problema ka jual beli pada komodi tertentu, cukup banyak masyarakat Badau yang merantau ke Malaysia untuk bekerja sebagai buruh perkebunan atau tukang bangunan. Pekerjaan sebagai buruh ilegal itu dijadikan sebagai pilihan hidup karena godaan jumlah pendapatan yang jauh lebih nggi dibandingkan menjadi buruh legal di Indonesia. Para buruh ilegal ini dak berani untuk pergi ke pasar atau tempat-tempat lainnya karena mereka khawa r akan tertangkap polisi Malaysia.

Selain hal tersebut, pemegang iden tas ganda juga menjadi permasalahan di Nanga Badau. Hal tersebut dipaparkan Camat Kecamatan Nanga Badau, Drs. Ahmad Salafuddin. Menurutnya pemegang iden tas ganda (KTP Indonesia dan Malaysia) mayoritas berasal dari kalangan penduduk yang berusia lanjut. Faktor penyebabnya antara lain karena persoalan ingin berobat ke Malaysia dan ingin mendapat pekerjaan di Malaysia. Hal yang sama juga terjadi pada penduduk Malaysia yang memiliki kartu iden tas Indonesia. Khusus penduduk Malaysia tersebut, Ahmad menjelaskan bahwa pihaknya melakukan pendekatan persuasif kepada penduduk Malaysia tersebut untuk memilih diantara kedua kewarganegaraan, Indonesia atau Malaysia. Sedangkan untuk penduduk Indonesia yang memiliki iden tas ganda diberikan pemahaman tentang perundang-undangan

yang mengatur soal kewarganegaraan, seper yang terdapat dalam UU No. 23 tahun 2006 dan UU No. 24 tahun 2013 yang mengatur tentang Administrasi Kependudukan. Dalam sosialisasi yang dilakukan kepada masyarakat diberikan pemahaman bahwa apabila peraturan tersebut dilanggar maka pemerintah akan memberikan sanksi kepada yang melanggar undang-undang tersebut.

Sementara itu, dalam kehidupan beragama, dak ada permasalahan signifi kan yang dialami masyarakat muslim di Badau. Hanya saja, menurut Camat Badau, Ahmad, pembinaan kepada para pengurus masjid di daerah perbatasan sangat diperlukan seper soal manajemen masjid yang baik, pengelolaan kegiatan-kegiatan hari besar Islam, dan sebagainya.

Dalam persoalan munakahat, Kepala KUA Kecamatan Badau, Sukiman menuturkan bahwa dak ada persoalan yang berar di daerah Badau ini. Pernikahan campur malah sering terjadi. Pernikahan ini adalah pernikahan antara orang Indonesia dan Malaysia. Pernikahan ini diperbolehkan secara hukum kedua negara dengan persyaratan-persyaratan tertentu selama yang bersangkutan memiliki agama yang sama.

3. En kong

Problema ka hukum yang dialami oleh masyarakat En kong adalah banyaknya masyarakat En kong yang mengkonsumsi produk-produk Malaysia, seper susu, sabun cair, makanan ringan, dan lain-lain, yang memang secara harga, jauh lebih murah jika dibandingkan dengan barang-barang yang bisa mereka dapatkan dari Kota Pon anak. Kecuali itu, kasus masuknya gula ilegal dari Malaysia, bukan sesuatu hal yang baru. Seper dikatakan informan penulis, yaitu Dhani (35), supir Bis lintas batas, seringkali membawa gula dari Malaysia yang kemudian dijual di Pon anak atau dikonsumsi sendiri.14

Selain itu, di border En kong seringkali dijumpai kasus TKI yang dak mempunyai kelengkapan administrasi untuk bekerja sebagai TKI yaitu paspor, dan semacamnya. Menurut 14 Wawancara dengan Dhani (26), supir bis lintas batas (Wawancara di

Sari (25), yang bekerja di Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) En kong, seringkali menemui kasus seper ini. Pada ga bulan terakhir tahun 2014, terjadi beberapa kasus pemulangan TKI (Deportasi), yaitu pada bulan September 2014 tercatat 86 orang yang harus dideportasi. Asal mereka dari Jember, Bengkulu, Cianjur, Subang, Segedong, Sambas, Mempawah, Sulawesi, dan NTT. Bulan Oktober 2014 ada 58 orang yang dideportasi, yaitu dari Sambas, Bengkayang, Gresik, Sukabumi, Bandung, Bogor, Kuningan. November 128 orang yaitu dari Sambas, Bengkayang, Surabaya, dan Sulsel. Ringkasnya, PPLB En kong berusaha untuk mener bkan penjagaan ketat di PPLB. Meskipun dalam kenyataannya, selalu dijumpai kasus seper ini di ap tahunnya, menunjukkan kesadaran masyarakat tanah air yang kurang, termasuk warga Kalbar yang berkeinginan bekerja sebagai TKI di Malaysia.

ANALISA HUKUM ISLAM TERHADAP PROBLEMATIKA

Dalam dokumen filsafat ilmu dalam kajian hukum (Halaman 62-65)