• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONFLIK DAN KEKERASAN ANTARA MASYARAKAT MELAYU TAMBUSAI DENGAN PT. TORGANDA PROPERTY Oleh : Sobri, M.A., S.IP Dosen Jurusan Kriminologi Fisipol – Universitas Islam Riau Pekanbaru Abstract - Konflik Dan Kekerasan Antara Masyarakat Melayu Tambusai Dengan Pt

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONFLIK DAN KEKERASAN ANTARA MASYARAKAT MELAYU TAMBUSAI DENGAN PT. TORGANDA PROPERTY Oleh : Sobri, M.A., S.IP Dosen Jurusan Kriminologi Fisipol – Universitas Islam Riau Pekanbaru Abstract - Konflik Dan Kekerasan Antara Masyarakat Melayu Tambusai Dengan Pt"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

KONFLIK DAN KEKERASAN

ANTARA MASYARAKAT MELAYU TAMBUSAI DENGAN PT. TORGANDA PROPERTY

Oleh : Sobri, M.A., S.IP Dosen Jurusan Kriminologi Fisipol–Universitas Islam Riau

Pekanbaru

Abstract

(2)

incidents involving the Malay ethenic group of Tambusai and the workers of PT. Torganda Property started over the struggle for the available natural resorces in Rokan Hulu. The conflicts over the so-called limited natural resources had resulted in violent acts between the two groups, when both parties failed to reach a mutual agrement in a peaceful manner. The violent acts mounted up when the local people experienced an increasing limited amount of farm land thad could be used as their source of work and income. Besides, the intrusion of the palm oil workers into the area of Rokan Hulu was seen as a violation against the customary values of the ethnic Malay community of Tambusai and these people also claimed to have exsperienced some forms of injustices brought about by the attitudes and activities of the workers perceived by them as ‘outsiders’. The research also foundthed dhat the conflicts and violence between the two opposing groups were related to Indonesia`s state development polities which emphasized very much on maximum profit making through investment and patnership between the private sector and the state.

Keywords :Conflict Between The Local And Industry

PENDAHULUAN

Membicarakan isu kekerasan yang terjadi di Indonesia pasti akan mengundang pelbagai reaksi daripada semua pihak, terutamanya anggota masyarakat di Indonesia. Isu ini mula menjadi tumpuan perbahasan sejak terjadinya pelbagai kes kekerasan seperti kerusuhan, pergaduhan antara masyarakat, pergaduhan antara umat beragama, pergaduhan antara kelompok.

(3)

lebih daripada seribu orang pekerja PT. Torganda Property menyerang Kampung Kualo Mahato Kecamatan Tambusai Utara yang menyebabkan puluhan buah rumah, kedai, pasar dan motor dibakar dan puluhan orang luka serta seorang mati.

Kekerasan kedua terjadi di kampung Dalu-dalu pada 18 March 1999. ketika ribuan pekerja industri perkebunan kelapa sawit PT. Torganda Property menyerang kampung Dalu-dalu Kecamatan Tambusai. Dalam kes penyerangan yang kedua ini, puluhan buah rumah penduduk hangus terbakar, ratusan orang luka dan seorang mati. Kekerasan ketiga terjadi pada 23 Mac 1999, ketika masyarakat kecewa dengan cara penanganan aparat keaman dalam upaya pencegahan terjadinya penyerangan oleh karyawan PT. Torganda property ke Desa Kualo dan desa dalu-dalu. Kemarahan masarakat berahir dengan pembakaran kantor Polsek dan Kantor Camat Dalu-Dalu.

SUMBER KONFLIK DAN KEKERASAN

Konflik dan kekerasan yang terjadi antara masyarakat Melayu Tabusai dengan Pekerja PT. Torganda Property di kawasan Tambusai hendaknya dilihat dalam konflik perebutan sumber daya alam semula jadi. Yaitu kaitan antara sistem matapencarian masyarakat masyarakat Melayu Tambusasi, proses produksi industri perkebunan PT. Torganda Property dan dasar pembangunan Negara Indonesia pada era Orde Baru.

Hubungan antara ketiga kelompok kepentingan, yaitu masyarakat Melayu Tambusasi, PT. Torganda Property dan pemerintah pada prinsipnya selalu berada pada cara pandangan yang berbeza dalam melihat sumber daya alam semula jadi.

(4)

Kedua. PT. Torganda Property sebagai sebuah organisasi kapitalis, melihat sumber daya alam semulajadi sebagai sumber kekayaan (kapital) yang disia-siakan dan mesti diekspoloitasi.

Ketiga. Negara melihat tanah dan hutan sebagai sumber pendapatan Negara yang mesti diekploitasi semaksimun mungkin untuk digunakan sebagai modal pembangunan nasional.

Peta Konflik Sumber Daya Alam

Untuk memahami dasar falsafah perbedaan pandangan tersebut pengkaji menggunakan konsep ekologi kultural (cultural ekology). Julian Steward dalam Andrea Gorz (2002) menyatakan bahawa yang dimaksudkan dengan ekologi kultural adalah interaksi antara teknologi dan pola-pola budaya yang dipakai untuk mengeksploitasi sumber daya alam (lingkungan). Steward menyatakan interaksi tersebut merupakan proses kreatif manusia terhadap lingkungannya. Proses kreatif ini sangat penting kerana ia merupakan faktor yang menentukan perubahan kebudayaan.

Masyarakat masyarakat Melayu tambusai - Sebagai Sumber kehidupan (Subsistensi). - Memelihara

Sumber Daya Alam

Pemerintah - Mengumpulkan

modal

pembangunan - Eksploitasi

PT.Torganda Property - Mengumpulkan

(5)

Kluchohn dkk dalam J.B. Mansoben (1999) menyatakan bahawa perubahan tersebut terjadi disebabkan oleh perbedaan pandangan yang dimiliki oleh suatu kelompok tertentu terhadap lingkungannya. Kluchohn mendapati sekurang-kurannya tiga cara pandangan masyarakat terhadap lingkungannya.

Pertama, kelompok masyarakat yang memandang sumber alam sebagai sesuatu yang harus dieksploitasi untuk membahagiakan kehidupan manusia. Pandangan seperti ini biasanya berkembang pada masyarakat yang dikategorikan sebagai masyarakat moden. Nilai budaya untuk menguasai dan mengeksploitasi alam secara meluas tersebut mulai berkembang di Eropah pada abad ke 19 ketika terjadinya revolusi industri. Nilai-nilai tersebut terus berkembang dan berevolusi sejajar dengan perkembangan industrialisasi dan modenisasi, dan seterusnya menjadi falsafah dalam dasar pembangunan pertumbuhan di pelbagai negara di dunia termasuk Indonesia.

Kedua, kelompok masyarakat yang memandang sumber daya alam sebagai sumber kehidupannya, oleh kerana itu ia tidak boleh dirosak dan dieksploitasi secara meluas. Bagi masyarakat ini lingkungan merupakan sarana dan media untuk melangsungkan kehidupan melalui pekerjaan sehinga terjalin suatu hubungan antara masyarakat dengan persekitannya.

Ketiga, kelompok masyarakat yang memandang alam (lingkungan) sebagai suatu yang kudus (sacred), kerana manusia adalah bahagian yang integral (menyatu) dengan alam. Bagi masyarakat ini alam bukan sahaja sebagai sumber kehidupan, tetapi juga mengandungi nilai-nilai spiritual.

(6)

Frederic Le Play ( 0 ) mengatakan bahwa pengaruh alam semula jadi terhadap manusia dapat dilihat dalam lingkungan seperti tempat tinggal, pekerjaan, dan perilaku individu. Lingkungan merupakan tempat manusia membentuk pelbagai jenis pekerjaan dan organisasi sosial. Berdasarkan pemahaman tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku dan budaya suatu masyarakat banyak dipengaruhi oleh lingkungan mereka. Jika di lingkungan masyarakat itu terdapat hutan dan sungai, maka hutan dan sungai adalah bahagian daripada kehidupan mereka. Perbedaan dalam melihat sumber alam semula jadi seperti hutan dan tanah menyebabkan pada sebahagiannya terjadi konflik kepentingan antara masyarakat masyarakat Melayu Tambusasi dengan PT. Torganda Property yang mendapat sokongan daripada dasar pembangunan sektor hutan yang dibuat oleh pemerintahan regim Orde Baru.

Homer Dixon (2000) menyatakan bahwa dalam setengah abad mendatang akan terjadi kerusakan pelbagai sumber alam secara drastik. Kerusakan yang dimaksudkan oleh Dixon sebagai environmental scarcities boleh menyumbang kepada terjadinya konflik kekerasan yang berkepanjangan dan ia tidak mudah diselesaikan. Dalam konflik tersebut kelompok masyarakatlah yang paling menderita, kerana kehidupan mereka bergantung kepada sumber daya alam tersebut.

Dixon menyatakan bahwa terdapat enam bentuk perubahan lingkungan yang dikenali sebagai penyebab terjadinya konflik antara kelompok-kelompok dalam masyarakat, yaitu: Pertama, perubahan iklim yang disebabkan oleh rumah kaca, kedua, berkurannya lapisan ozon,

ketiga, berkurangnya tanah pertanian yang subur, keempat,penebangan dan perosakanan hutan, kelima, kekurangan dan pencemaran air bersih, keenam,berkurangnya sumber perikanan.

(7)

masyarakat. Asumsi Dixon ini, terbukti untuk menjelaskan kasus konflik seperti konflik masyarakat Dayak dengan Maduara juga antara masyarakat Melayu dan Madura di pulau Kalimantan. Asumsi yang sama juga menjelaskan tentang fenomena meningkatnya intensitas konflik antara masyarakat tempatan dengan industri perkebunan di Riau, salah satu contoh dari kasus itu adalah konflik antara PT. Torganda property dengan masyarakat Melayu Tambusai di Kabupaten Rokan Hulu tahun 1997, 1999, 2001 hingga sekarang belum ada penyelesaian yang jelas.

Menurut Dixon, kerusakan lingkungan secara terus-menerus akan meningkatkan kerugian ekonomi (economic deprivation) dan keadaan ini akan mengganggu keberadaan institusi-institusi yang pada akhirnya akan menciptakan keadaan yang tidak stabil. Analisis struktural seperti ini belum banyak disedari oleh pelbagai pihak yang berkonflik terutamanya oleh pemerintah Indonesia, kerana selama ini Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pendapatan negara sangat tergantung pada proses eksploitasi sumber daya alam

FAKTOR PENYEBAB KEKERASAN

Dasar Pembangunan Sektor Hutan Pemerintah Orde Baru Menurut Mohtar Mas`oed (2003), sejarah dasar pembangunan ekonomi-politik Indonesia pada masa Orde Baru adalah sejarah pertarungan antara pandangan politik yang mengdepankan intervensi pemerintah dengan pandangan ekonomi yang menekankan proses pembangunan ekonomi kepada sektor swasta untuk mengumpulkan modal pembangunan. Tetapi sebenarnya dalam amalan dan proses pembangunan ekonomi-politik yang dijalankan oleh pemerintah Orde Baru, kedua-dua pandangan dan pelaku pembangunan iaitu pihak pemerintah dan swasta ini saling bekerja sama dalam melakukan proses mengumpul modal dalam pembangunan Indonesia.

(8)

untuk memberi jaminan keselamatan kepada rakyat dan imvestor dengan melaksanakan sistem pemerintahan yang sentralistik, sebagai usaha untuk mencapai matlamat pembangunan tersebut. Pemerintah Orde Baru memberikan kemudahan kepada imvestor dari luar dan dalam negara untuk melakukan imvestasi dalam pelbagai bidang ekonomi, dan seterusnya mengutamakan stabiliti politik bagi keselamatan imvestasi, iaitu dengan cara sistem politik yang bebas daripada konflik idiologikal dan terpusat (sentralistik).

Semenjak rejim Orde Baru menguasai Indonesia mulai tahun 1966 sehingga kejatuhannya pada tahun 1998, undang-undang Indonesia berkenaan dengan tanah dan sumber alam yang terkadung di dalamnya menjadi alat untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Perkara tersebut terjadi sebagai akibat daripada strategi pembangunan yang berorientasikan ke pertumbuhan ekonomi secara cepat. Dasar Undang-undang Hak Menguasai dari Negara (HMN), sebagaimana terkandung dalam undang-undang Agraria 1960, tentang Undang-undang Kehutanan tahun 1967, dan Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup tahun 1997, semuanya berdasarkan pada pengakuan Negara atas kedaulatan masyarakat adat dan tanah ulayat.

(9)

permulaan bagi proses peminggiran masyarakat adat di wilayah Indonesia.

Dadang Juliantoro (2000) menyatakan bahawa ada empat pandangan asas mengenai dasar pembangunan ekonomi-politik Indonesia pada regim Orde Baru. Pertama,pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan sendirinya akan membawa kepada perbaikan kehidupan masyarakat. Kedua,pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan meningkatkan proses pengeluaran dan ia boleh membuka lapangan kerja bagi masyarakat, dan seterusnya dapat memenuhi keperluan hidup mereka. Ketiga, perbedaan pandangan politik dalam masyarakat boleh menghambat pertumbuhan ekonomi. Keempat, kebudayaan tradisional masyarakat dianggap sebagai hambatan dalam pembangunan, oleh kerana itu pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat merubah kebudayaan tradisional tersebut dan menggantikannya dengan kebudayaan moden.

Berdasarkan pandangan yang pernah berkembang di negara-negara Barat itulah pemerintah Orde Baru melaksanakan konsep pembangunan ekonomi dan politik Indonesia dengan cara mengikut pandangan kapitalis untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mempertahankan stabiliti politik yang tinggi. Oleh kerana itu setiap pandangan dan tindakan individu atau kelompok yang dianggap boleh mengganggu stabiliti politik dan menghambat proses pembangunan ketika itu akan dikenakan tindakan represif. Jika terjadi konflik antara kepentingan pertumbuhan ekonomi dengan kepentingan kelompok masyarakat lokal maka pemerintah Orde Baru selalu membela kepentingan pertumbuhan. Contohnya, konflik tanah ulayat antara masyarakat masyarakat Melayu Tambusai dengan PT. Torganda Property di kawasan Tambusai pada tahun 1996 ketika masyarakat Tambusai dari Kampung Kualo Mahato dan Dalu-dalu memprotes terhadap tanah ulayat dan kebun mereka yang dirampas, kampung mereka diserang dan rumah-rumah mereka dibakar. Walau bagaimanapun Pemerintah tidak pernah mengambil tindakan undang-undang terhadap industri perkebunan tersebut.

(10)

Indonesia, kerana lebih daripada 70 peratus dari jumlah anggota parlimen diwakili partai Golkar iaitu penyokong rejim tersebut. Selama berkuasa Pemerintah Orde Baru telah membuktikan kehebatannya dalam dua hal. Rejim ini berjaya menggubal dasar pembangunan yang bebas dari campur tangan politik dua parti yang menjadi lawan politik mereka, iaitu Parti Persatuan Pembangunan (PPP) dan Parti Demokrasi Indonesia (PDI). Selama tiga puluh dua tahun Indonesia diperintah oleh rejim Orde Baru, selama itu pulalah Negara Indonesia menjadi sumber modal dan sarana yang dimanfaatkan oleh pengusaha swasta. Seterusnya kuasa yang besar untuk bebas dari campur tangan kekuatan politik (pengusaha swasta) itulah yang memberi kemudahan bagi elit politik rejim Orde Baru menggubal dasar pembangunan tanpa mendapat tentangan, walaupun dalam jangka pendek program tersebut memberi kesan negatif terhadap masyarakat.

(11)

Tetapi sumbangan sektor hutan yang tinggi bagi pertumbuhan pembangunan Indonesia tidak diikuti dengan kelestarian sumber hutan di Indonesia. Perkara tersebut menyebabkan semakin berkurangnya luas kawasan hutan dan pertanian di Indonesia. Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1983, luas hutan Indonesia mencapai 143.57 juta hektar, atau sekitar 76 peratus dari luas daratan negara Indonesia. Kawasan hutan tersebut merupakan sumber yang memiliki potensi ekonomi, sosio budaya dan ekologi bagi bangsa Indonesia. Tetapi dalam jangka masa tujuh tahun selepas itu mengikut hasil kajian yang dilakukan oleh FAO/GOI Foresrty Project (1999) luas hutan di Indonesia tinggal 109 juta hektar atau 57 peratus luas daratan negara tersebut. Pada akhir tahun 1990-an hanya tinggal 91.7 juta hektar sahaja. Kerusakan hutan Indonesia meningkat antara tahun 1950 hingga 1985. Iaitu mencecah 914.000 hektar setiap tahun, dan seterusnya pada tahun 1985 hingga 1997 mencapai 1.60 juta hektar per tahun.

Kerusakan hutan di kawasan propinsi Riau mengikut data Arsip Daerah Riau (1983) didapati bahawa propinsi Riau meiliki hutan seluas 6.6 juta hektar. Sebanyak 4,8 juta hektar atau 73 peratus daripadanya sudah diberikan Kepada Industri pembalakan dan perladangan dalam bentuk Hak Konsesi Pengelolaan Hutan (HKPH). Hal ini belum termasuk kawasan perkebunan kelapa sawit PT. Torganda Property di kawasan Tambusai yang dianggarkan seluas 28 ribu hektar.

Aditjondro (2002) menyatakan bahwa konflik masalah tanah pertanian yang terjadi di pelbagai kawasan di Indonesia menyebabkan semakin berkurangnya akses dan kawalan petani terhadap tanah dan hutan. Keadaan ini membuktikan terdapat masalah ketidakadilan dalam undang-undang sektor pertanahan di Indonesia. Walaupun begitu konflik berkenaan ketidakadilan pada aspek penguasaan tanah pertanian belum mencukupi untuk menerangkan timbulnya kekerasan. Terdapat faktor lain iaitu seperti faktor marjinalisasi.

(12)

Sebelum tahun 1980-an Kecamatan Tambusai adalah kawasan yang memiliki kawasan hutan yang luas dengan jumlah penduduk yang masih sedikit. Akan tetapi pada awal tahun 1980-an wilayah ini menjadi daya tarik1980-an ekonomi bagi kal1980-ang1980-an industri pembalakan dan perkebunan, sehingga tidak menghairankan jika pada masa itu puluhan buah industri pembalakan dan perkebunan tertumpu di situ untuk memanfaatkan sumber ekonomi tersebut.

Pada awalnya masyarakat Tambusai tidak menghiraukan kedatangan industri-industri perkebunan tersebut kerana menganggap mereka tidak mengganggu kehidupanpenduduk tempatan. Bahkan kehadiran industri-industri itu di kawasan Tambusai pada awalnya menimbulkan harapan penduduk tempatan untuk mendapatkan peluang pekerjaan baru di industri-industri tersebut. Namun harapan tersebut tidak pernah wujud oleh kerana pihak industri lebih suka menggunakan pekerja dari luar kawasan Tambusai. Walaupun tidak dapat bekerja di industri-industri perkebunan tersebut, masyarakat Tambusai belum melihat itu sebagai sebuah masalah yang mengancam kehidupan mereka. Mereka terus saja bekerja di ladang dan kebun yang sudah menjadi tradisi sejak. Sejajar dengan semakin berkembangnya industri perladangan kelapa sawit mereka mula merasakan masalah berkurangnya tanah pertanian dan mereka mula menyedari kesan negatif daripada kehadiran industri-industri pembalakan dan perkebunan.

Masyarakat masyarakat Melayu Tambusai sebagai suatu kelompok sosial yang hidup mengikut sistem adat mengalami perubahan sejajar dengan semakin berkembangnya industri perkebunan di sekitar mereka. Perubahan fungsi hutan dan tanah terjadi secara cepat dan tidak terkawal sejak hadirnya industri perkebunan di kawasan mereka telah menyebabkan terjadinya masalah sosial seperti semakin berkurangnya pendapatan mereka, bertambahnya pengangguran, dan meningkatnya kemiskinan sehingga membuat masyarakat tempatan menjadi terpinggir.

(13)

menyumbang kepada terjadinya konflik. Hal tersebut terjadi apabila terjadi perbedaan antara harapan terhadap keadaan hidup yang lebih baik oleh seseorang individu atau kelompok dengan kemudahan atau keistimewaan yang diperoleh dari perubahan ekonomi setempat. Keadaan tersebut boleh terjadi kerana wujudnya ketidakadilan dalam struktur sosio-ekonomi yang ada. Selanjutnya keadaan tertekan itu boleh mengancam kelangsungan kehidupan dan menghalang individu daripada memenuhi keperluan hidup mereka. Ini menyebabkan masyarakat setempat hidup dalam tekanan sosial-ekonomi. Menurut Astrit juga terjadinya pertumbuhan pembangunan yang begitu cepat tetapi tidak ikuti dengan pertumbuhan sosial dan mental sesebuah masyarakat boleh memberi kesan negatif seperti alienasi, stres dan kemurungan.

Dasar pembangunan Orde Baru yang berorientasikan kepada pertumbuhan ekonomi secara cepat pada awalnya diramalkan oleh banyak pakar boleh membawa kepada perubahan ke arah yang lebih baik, akan tetapi pada kenyataannya pelaksanaanya didapati tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Pembangunan sektor industri perkebunan di kawasan Tambusai berlangsung dengan tidak adil kerana ia hanya dinikmati oleh sekelompok kecil yang memiliki modal dan akses terhadap kekuasaan. Pelaksanaan pembangunan yang menyimpang ini telah menyebabkan terjadinya jurang sosial dan ketidakadilan pembangunan di segala sektor di kawasan Tambusai.

Sejak awal dasar pembangunan Indonesia dibawah kekusaan Orde Baru telah mengabaikan kesamarataan pembangunan ekonomi yang bersifat sektoral demi mengejar pertumbuhan ekonomi semaksimal mungkin. Pertumbuhan industri besar mendapat sokongan kuat daripada pemerintah, sedangkan sektor pertanian tradisional, industri kecil dan menegah yang memiliki potensi ekonomi untuk menyamaratakan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat awam cenderung diabaikan.

(14)

daya alam adalah untuk memanfaatkan secara cermat potensi sumber alam. Ini kerana secara hakikatnya hutan dan tanah memiliki tiga fungsi utama, iaitu fungsi ekonomi, ekologi dan sosio budaya. Secara ekonomi sumber daya alam diharap dapat menjadi sumber pendapatan untuk meningkatkan pendapatan negara. Dengan itu penubuhan industri swasta dan industri milik negara yang melakukan usaha sektor pembalakan dan perkebunan akan membuka peluang pekerjaan yang boleh meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seterusnya secara sosio budaya terdapatnya hutan dan tanah diharap dapat menjadi pengimbang antara realiti sosial dan budaya kosmologi masyarakat dalam sebuah sistem pengelolaan sumber daya alam secara adil dan berterusan.

Tetapi pada kenyataannya, pandangan pemerintah tentang pengelolaan sumber daya alam di Indonesia melalui pelaksanaannya didapati jauh melencong dari tujuan yang sebenar. Sumber daya alam seperti tanah dan hutan dieksploitasi hanya untuk kepentingan jangka pendek dengan matlamat pertumbuhan ekonomi semata-mata, sedangkan matlamat sebenar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat cenderung diketepikan. Dasar pembangunan untuk mensejahterakan masyarakat dan menjaga keseimbangan ekologi hanya berupa janji semata, dan dasar pembangunan yang berorientasikan pertumbuhan di gunapakai hanya untuk memberi keuntungan kepada sekelompok kecil orang sahaja, iaitu elit politik yang berkuasa dan pemilik modal, sehingga menyebabkan terjadinya konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah dan antara masyarakat adat dengan industri perkebunan.

Ketidakadilan

(15)

masyarakat Melayu Tambusai dengan PT. Torganda Property adalah juga disebabkan oleh masalah wujudnya ketidakadilan. Kerana masyarakat Melayu Tambusai merasa diperlakukan tidak adil dalam proses pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam sektor sosial-ekonomi, politik, hukum dan budaya. Perkara-perkara tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek kehidupan sosial masyarakat tersebut.

Pertama, terdapat kurangnya pembangunan dalam sektor kemudahan awam seperti jalan, pengangkutan awam, sekolah, bekalan elektrik dan informasi.

Kedua, dari segi undang-undang, masyarakat tempatan tidak mendapatkan perlindungan undang-undang terhadap hak-hak dasar mereka dalam hal terjadinya seperti kes rampasan kebun dan tanah milik masyarakat, kerusakan hutan simpana Mahato, serangan terhadap kampung Kualo Mahato dan Dalu-dalu, pembakaran rumah-rumah penduduk, rampasan hatra benda, pembunuhan dan penganiayaan terhadap anggota masyarakat yang dilakukan oleh industri perkebunan PT. Torganda Property. Dari sekian banyak pelanggaran undang yang dilakukan industri perkebunan tersebut tidak satupun kes tersebut diselesaikan mengikut undang-undang yang berkuatkuasa, dan oleh itu masyarakat tempatan selalu menjadi pihak yang kalah dan dirugikan.

Ketiga, aspek politik, terjadinya sistem pemerintahan yang bersifat sentralistik, birokrasi yang sarat dengan amalan rasuah, menghalang aspirasi masyarakat dan intervensi yang kuat oleh pemerintah pusat terhadap pemerintahan lokal semasa Orde Baru berkuasa. Keadaan ini telah menyebabkan masyarakat kecewa dan hilang kepercayaan terhadap pemerintah.

Faktor Pelanggaran Adat

(16)

dikenakan hukum adat. Apatah lagi jika yang melakukan pelanggaran adat tersebut adalah para pendatang yang bukan daripada masyarakat mereka, maka hal tersebut boleh berubah menjadi konflik terbuka oleh kerana masyarakat setempat merasa harga diri komuniti mereka telah dihinakan.

Dalam kes kekerasan antara masyarakat Masyarakat Melayu Tambusai dengan PT. Torganda Property, faktor pelanggaran adat menjadi faktor penting dalam memicu terjadinya kekerasan antara dua kelompok tersebut. Masyarakat Masyarakat Melayu Tambusai merasa sangat dirugikan dengan tindakan merampas hutan Simpan Mahato yang dilakukan oleh PT. Torganda Property. Ini kerana bagi mereka hutan simpan tersebut merupakan bahagian daripada tanah ulayat milik masyarakat adat, dan hutan simpan tersebut juga berfungsi sebagai salah satu sumber kehidupan masyarakat tersebut. Selama membuka usaha perkebunan di kawasan Tambusai, PT. Torganda Property telah merusak hutan simpan Mahato. Dari peringkat awal industri tersebut telah menebang dan mencuri kayu yang terdapat dalam hutan simpan tersebut dan setelah itu mereka merubah kawasan hutan simpan tersebut menjadi kawasan perkebunan kelapa sawit.

Terjadinya perubahan kawasan dari hutan simpan menjadi kawasan perkebunan milik PT. Torganda Property telah menyebabkan semakin berkurangnya sember kehidupan masyarakat Masyarakat Melayu Tambusai. Majoriti kelompok masyarakat ini bergantung pada alam semulajadi kawasan setempat. Anggota masyarakat yang biasanya menyara diri dengan mencari ikan di sungai-sungai yang terdapat di kawasan hutan simpan tersebut dan mencari tambahan pendapatan dengan berburu, mencari getah gaharu dan damar terpaksa kehilangan sumber ekonomi tradisional tersebut. Hal itu kemudiannya membuat keadaan ekonomi masyarakat Melayu Tambusasi menjadi semakin susah.

Faktor Peramampasan Kebun Masyarakat

(17)

Kampung Kualo Mahato seluas 140 hektar. Tindakan merampas kawasan ladang atau perkebunan masyarakat memang menjadi suatu cara mudah dan murah bagi industri perkebunan untuk memperluas kawasan perkebunan mereka. Biasanya kebun dan ladang milik masyarakat yang bersempadan dengan kawasan kebun industri perkebunan tersebut dirusak dan seterusnya barulah ditawarkan ganti rugi. Anggota masyarakat yang tidak mahu menerima ganti rugi akan diugut (diancam) dengan cara kononnya pihak PT. Torganda Property membawa kes tersebut ke pengadilan. Maka sebahagian masyarakat merasa takut kerana kebanyakan tidak memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT). Akhirnya mereka terpaksa menerima ganti rugi yang ditawarkan oleh industri perkebunan, walaupun dengan harga yang jauh lebih murah daripada harga kebun yang sebenar.

Kes rampasan kebun milik masyarakat kampung Kualo Mahato oleh PT. Torganda Property merupakan penyebab utama terjadinya kekerasan antara kedua-dua kelompok tersebut pada 29 Ogos 1996. Sekelompok masyarakat yang merasa dirugikan dalam kes tersebut melakukan protes terhadap tindakan industri perkebunan tersebut. Namun pihak industri perkebunan tidak melayani permintaan penduduk setempat dengan baik, sehinga terjadilah kes penculikan dan pemukulan terhadap beberapa orang pekerja industri tersebut. Selanjutnya pula terjadilah kes penyerangan oleh ribuan pekerja PT. Torganda Properti terhadap kampung Kualo Mahato.

Faktor-faktor Lain

(18)

pembangunan manusia Indonesia adalah pelayanan yang berkai dengan kepentingan awam. kepentingan awam yang dimaksudkan adalah kesejahteraan masyarakat yang meliputi hak-hak dan tanggungjawab yang semestinya dimiliki oleh warga indonesia. Bersamanya harus wujud hak dan tanggungjawab yang meliputi :

1) hak untuk mendapatkan suatu jawatan kekuasaan di lembaga pemerintahan,

2) hak untuk mendapatkan pelayanan awam,

3) hak untuk boleh menggunakan fasiliti awam untuk memenuhi keperluan dan keselesaan kehidupan masyarakat awam,

4) hak untuk mendapatkan kesejahteraan hidup, dan 5) hak untuk mendapatkan pekerjaan.

Chryshnanda (2006) menyatakan bahawa secara teoritis pengertian kepentingan awam itu mengandungi hal-hal yang berkenaan dengan keselamatan, kesejahteraan, efisiensi kehidupan dan kemakmuran bersama. Jika dikaitkan dengan konsep negara modern tentang penyelenggaraan negara yang sejahtera, maka salah satu tugas negara adalah untuk mencipta masyarakat sejahtera dan selanjutnya menjamin hak untuk mendapatkan kesejahteraan itu dengan peraturan undang-undang yang adil.

(19)

Keadaan kehidupan yang tidak normal tersebut membuat masyarakat menjadi kecewa, stres dan murung. Oleh Gurr (1970) membahas bahawa deprivasi struktural boleh menyumbang kepada terjadinya kekerasan. Keadaan kehidupan dibawah tekanan ketidakadilan tersebut boleh menyebabkan seseorang atau kelompok orang bertindak agresip, hanya menunggu sedikit pemicu saja kekerasan akan pecah.

DAFTAR PUSTAKA

Ade Yudistira. 2004. Upaya Penyelesaian Konflik Antara Masyarakat Mahato Dengan PT Torganda di Tambusasi Utara Rokan Hulu Propinsi Riau. Jakarta : Tesis Sarjana Universiti Indonesia.

Agus Salim. 2001. Teori Dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Agung Nugroho & Murtijo. 2005. Pengantar Antrofologi Hutan. Tangerang Banten: Wana Aksara.

Andrianof Caniago. 2002. Gagainya Pembangunan. Jakarta: LP3ES.

Saiful Arif 2000. Menolak Pembangunannisme. Yogyakarta: Puastaka Pelajar. Phil Astrid S. 1983.Pengantar Sosiologi Dan Perubahan Sosial.Binacipta. Jakarta.

Berger, P. L. 2004. Piramida Korban Manusia, Etika politik Dan Perubahan Sosial.Jakarta: LP3ES.

Box, S. 1971. Devian, Reality dan Masyarakat. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Chamhuri Siwar. 2004. Pembangunan Mapan, Strategi "Menang-menang" Untuk Pembasmian Kemiskinan danPemuliharaan Alam Sekitar. Bagi: Pernerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.

(20)

Masyarakat Sipil. Yogyakarta: Istawa. Carley, P. 1986. Orang Jawa dan Masyarakat Cina.Jakarta: Pustaka. Azet

Carol, J. P. C. dkk. 2003.Kemana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan, dan Perumus Polisi Di Indonesi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Clements, K. P. 1997. Teori Pembangunan Dari Kiri Kekanan. Yogyakarta: Pustaka. Pelajar.

Dewi Portuna Anwar. Dkk. 2005. Konflik Kekerasan Internal, Tinjauan Sejarah, Ekonomi Politik Dan Kebyakan Di Asia FasifikJakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Dieter, H. E. & Rudiger, K. 1997. Urbanisme Di Asia Tenggara, Makna Dan Kekuasaan Dalam Ruang Sosial Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Junes G. Adit Jondro. 2003. Pola-Pola Gerakan Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

J.R. Mansoben. 2003. Sistem Politik Tradisional Etnis Byak, Kajian tentang Pemerintahan Tradisional. Jurnal Antropologi Papua, Vol. 2 No. 4. Agustus 2003.

Koentjaraningrat. 1971. Manusia Dan Kebudayaan di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Jambatan.

Koentjaraningrat 1990. Pengantar Rmu Antropologi. Jakarta: Rineka, Cipta.

Koent araningrat. 1992. Beberapa PokokAntropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. Karnanto, Sunarto. 2000.Pengantar Sosiologi. Jakarta. Universiti Indonesia Press. Leo Suryadinata. 1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti Press.

Leo Suryadinata. 2005. Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-200.Jakarta: LP3ES.

Mansour Fakih. 2001. Sesat Pikir Teori Pembangunan Dan Globalisasi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

(21)

Moeljarto Tjokrowinoto. 1987. Politik Pembangunan, Sebuah Analisis Pembangunan, Arah Dan Strategi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Moeljarto Tjokrowinoto. 1996. Pembangunan Dilema dan Tanyangan,Yogyakarta: Pustak Pelajar.

Mohtar Mas'oed. 2003. Politik Birokrasi Dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka, Pelajar.

Mohtar Mas'oed. 1998. Perilaku Keganasan Kolektif; Kondisi Dan Pemicu Yogyakarta: Universiti Gajahmada Indonesia.

Nasikun. 1993.Sistem Sosial Indonesia.Jakarta: Rajawali Press. Norman Long. 1997.Sosiologi Pembangunan Pedesaan.Jakarta: Bumi

Aksara. Noeng Muhadjir. 2000.Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rake Sarasin.

Nugraha Agung. 2005. Rindu Ladang. PerspektifPerubahan Masyarakat Desa Hutan.Tangerang Banten: Wana, Aksara.

Oesman H. 2000.Damai Yang Terkoyak Catatan Kelam Dari Bumi Halmahera.Maluku Utara: Madan Press.

Parsudi Suparlan. 1995. Orang Sakai Di Riau, Masyarakat TearsinG Dalam Masyarakat Indonesia yang Majemuk Jakarta: Yayasan OBOR.

Parsudi Suparlan. 1996. Kebudayaan Dan Pembangunan. Jakata: Media Ika

Rahimah Abd. Aziz & Mohamed, Yusuf Ismail. 2002. Masyarakat Budaya Dan Perubahan. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.

Sihbudi Riza. 2001.Bara Dalam sekam, Identifikasi Akar Masalah Dan Solusi Atas Konflik-Konflik Lokal Di Aceh, Maluku, Papua & Riau.Bandung: Mizan.

Sanderson, K. S. 2000. Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Terj. Soekardijo. Jakarta: Rajawali Prees.

(22)

Sosial.Bandung: Tarsito. Susetiawan. 2000. Konflik Sosial, Pustaka. Pelajar, Yogyakarta.

Thomas Santoso. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Galia Indonesia. Jakarta.

UU Hamidi. 2006. Jagad Melayu Dalam Lintas Budaya Di Riau. Pekanbaru: Bilik Kreatif Press.

UU Hamidi. 1996.Islam Dan Msyarakat Melayu Di Riau.Pekanbaru: Uir Press. UU Hamidi. 1995. Orang Melayu di Riau. Uir Press. Pekanbaru.

Windhu M. I. 1992.Kekuasaan Dan Kekerasan Menurut Johan Galtung. Yogyakarta: Kanisius.

Wibowo, dkk. 1999. Rekontruksi Dan Rekontektualisasi Masalah Cina.Jakarta: Gramedia.

Wibowo, dkk. 2000. Harga Yang Harus Dibayar Skesta Pergulatan Etnik Cina Di Indonesia.Jakarta: Grarnedia.

Yaser Arafat. 2007. Krisis Lingkungan, konflik dan Otonomi Daerah.Akhbar Pontianak Post, 14 November 2007. Yusri Syam. 1996. Cerita Rakyat Rokan Hulu.Pasir Pengaraian :

Dinas Parawisata dan kebudayaan Rokan Hulu.

Zamroni. 1992. Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. Dokumen Arsip Daerah Riau. 1983

Dokumen Data Base Parawisata Rokan Hulu. 2003

Dokumen Badan Pusat Statistik (BPS) Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu. 2005Berita Harian Genta. 28 Juni 1997 Berita Harian Pekanbaru MX. 2006. 8Desember

Referensi

Dokumen terkait

karyawan yang tidak dikelola dengan baik akan memberikan pengaruh yang buruk.. terhadap karyawan yang

Apabila mendekati jalan kereta api yang tidak menggunakan pintu pelintasan, harus diberi marka melintang berupa garis berhenti dan maka lambang berupa tanda permukaan jalan,

Jenis gulma yang teridentifikasi pada pertanaman padi sawah di Kabupaten Rejang Lebong masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan hasil identifikasi pada lokasi

Dari tabel di atas, nilai F menunjukkan angka sebesar 9.282 dengan nilai signifikansi 0.000 (sig < 0.05) menunjukkan bahwa model ini dapat digunakan untuk

diamanatkan oleh undang-undang agar dapat menangani masalah-masalah pertambangan tanpa izin, justru mereka telah membiarkan para pelaku pertambangan rakyat itu

Total Station adalah alat ukur sudut dan jarak yang terintegrasi dalam satu unit alat. Total station juga sudah dilengkapi dengan processor sehingga bisa menghitung jarak

Bank Jabar Banten memiliki SDM yang siap pakai dan tidak perlu melakukan investasi pendidikan SDM yang terlalu lama. Kondisi tersebut secara tidak langsung menyebabkan

Satu meter lahan ditugal kurang lebih sebanyak 7 lubang, dan satu lubang ditaburi padi sebanyak 20-30 biji, jenis yang sama sekali dilarang di tanam di ladang padi