• Tidak ada hasil yang ditemukan

Motif di Balik Campur Tangan Amerika Ser

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Motif di Balik Campur Tangan Amerika Ser"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

INTERNATIONAL NON-GOVERNMENTAL SPORT ORGANIZATION DAN INTERVENSI NEGARA: MOTIF DI BALIK CAMPUR TANGAN

AMERIKA SERIKAT DALAM SKANDAL FIFA 2015

SKRIPSI

Disusun oleh

PEBRIYANA ARIFIN NIM 071112028

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPARTEMEN HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA

(2)

AB

INTERNATIONAL -GOERNMENTAL SPORT ORGANIZATION DAN

INTERVENSI NEGARA: MOTIF DI BALIK CAMPUR TANGAN AMERIKA SERIKAT DALAM SKANDAL FIFA 2015

SKRIPSI

Disusun oleh

PEBRIYANA ARIFIN NIM 071112028

PROGRAM STUD! SARJANA ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPARTEMEN HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU.SOSIAL DAN ILMU POLITIK NIERSITAS AIRLANGGA

(3)

HALAMAN PERNY AT AAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT

Bagian atau keseluruhan skripsi berjudul:

"International Non-Governmental Sport Organization dan lntervensi Negara:

Motif di Balik Campur Tangan Amerika Serikat dalam Skandal FIFA 2015"

ini tidak pemah diajukan untuk mendapatkan gelar akademis pada bidang studi

dan/atau universitas lain dan tidak pemah dipublikasikan/ditulis oleh individu

selain penyusun kecuali bila dituliskan dengan ormat kutipan dalam isi

skripsi.

Surabaya, 29 Juni 2016

Pebriyana Ariin

(4)

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi denganjudul:

"International Non-Governmental Sport Organ;zatfon dan lntervensi Negara:

Motif di Balik Campur Tangan merika Serikat dalam Skandal FIFA 2015"

Disusun oleh

Pebriyana Ariin 071112028

Disetujui untuk diujikan di hadapan Komisi Penguji

Surabaya, 29 Juni 2016

Dosen Pembimbing,

Joko Susan to, S.I.P ., M.Sc. NIP. 19761015 200012 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen u Hubungan lntemasional,

M. Muttagien. S.IP, MA, Ph.D NIP. 19730130 199903 1 001

(5)

HALAMAN PENGESAHAN KOMISI PENGUJI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Komisi Penguji pada hari Kamis, 14 Juli 2016 pukul 12.00 WIB di Ruang Negosiasi Cakra Buana

Catur Matra, Gedung C

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga

Surabaya

Komisi Penguji Ketua,

Ahmad Saril Mubah, S.IP., M.Hub.Int. NIP. 19810917 201404 1 001

iv

Anggota II,

(6)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Untuk kedua orangtuaku yang menghormati aku sebagai aku dan

menghormati passion-ku,

Mas Joko Susanto yang telah menerima, memercayai dan mendorongku,

untuk teman-teman dalam inner circle-ku yang masih berdiri di

sampingku,

serta untukku

I am not good with sweet words filled with lies and illusions.

(7)

vi

HALAMAN INSPIRASI

She’s not jealous of the moon,

for she is the sun that has its own light

She’s not afraid of sleeping amongst the wolves,

for she is a lion that is feared

She stands alone

She doesn’t care, she doesn’t follow

-- Pebriyana Arifin

“I have hated words and I have loved them, and I hope I have made them right”

(8)

vii

Daftar Isi

Halaman Judul ... i

Halaman Pernyataan Tidak Melakukan Plagiat ... ii

Halaman Pesetujuan Dosen Pembimbing ... iii

Halaman Pengesahan Komisi Penguji ... iv

Halaman Persembahan ... v

Halaman Inspirasi ... vi

Daftar Isi ... vii

Daftar Gambar, Grafik, Skema dan Tabel ... x

Daftar Singkatan dan Akronim ... xi

Abstrak ... xii

Bab I Pendahuluan ... 1

I.1 Latar Belakang Masalah ... 1

I.2 Rumusan Masalah ... 10

I.3 Tujuan Penelitian ... 11

I.4 Kerangka Pemikiran ... 11

I.4.1 Negara, Intervensi Internasional dan Prinsip Non-Intervensi ... 12

I.4.2 Otonomi INGSO sebagai Prinsip Non-Intervensi ... 15

I.4.3 Akuntabilitas INGSO sebagai Celah Organisasi ... 20

I.4.4 Law Enforcement Ekstrateritori Negara sebagai Alat: Studi Kasus Amerika Serikat ... 23

I.4.5 Interrelasi Olahraga dan Politik: Politik Prestis dalam Olahraga melalui Mega Sporting Events ... 26

I.4.6 Intervensi Negara terhadap INGSO sebagai Intervensi Legal dan Politik ... 32

I.5 Hipotesis ... 34

I.6 Metodologi Penelitian ... 35

(9)

viii

I.6.1.1 Pelanggaran Yurisdiksi ... 35

I.6.1.2 Bad Governance ... 35

I.6.1.3 Persaingan Prestis Negara ... 36

I.6.2 Tipe Penelitian ... 37

I.6.3 Ruang Lingkup dan Jangkauan Penelitian ... 37

I.6.4 Metode Analisis ... 38

I.6.5 Teknik Pengumpulan Data ... 38

I.6.6 Sistematika Penulisan ... 38

Bab II Relasi AS-FIFA dan Kronologi Intervensi Skandal FIFA ... 40

II.1 FIFA sebelum Intervensi: Otonomi FIFA sebagai INGSO ... 40

II.1.1 Pemerintahan dan Manajemen Organisasi ... 46

II.2 Relasi AS-FIFA sebelum Intervensi: Sejarah dan Perkembangan .... 50

II.2.1 Perkembangan Sepak Bola AS... 50

II.3 Relasi AS-FIFA setelah Pengumuman Bidding 2010: Respon Pemerintah AS dan Komite Bidding ... 53

II.3.1 Awal Mula Investigasi (2010-2013): Chuck Blazer sebagai Whistleblower AS ... 57

II.4 Intervensi Skandal FIFA 2015 ... 59

II.5 Mundurnya Sepp Blatter dan Respon Global ... 61

Bab III Aspek Legal & Politik Intervensi AS terhadap Skandal FIFA .... 65

III.1 Aspek Legal: Inakuntabilitas FIFA dan Pelanggaran FIFA terhadap Yurisdiksi AS ... 65

III.1.1 Kepemimpinan Sepp Blatter, Kontinuitas Bad Governance FIFA dan Kegagalan Proses Reformasi FIFA (2011-2013) ... 66

III.1.2 Pelanggaran FIFA terhadap Dolar dan Teritori AS serta Aplikasi Law Enforcement AS ... 70

(10)

ix

III.2 Politik Prestis AS dan Rusia melalui skandal FIFA ... 80

III.2.1 Sejarah Politik Prestis AS-Rusia dalam Olahraga ... 80

III.2.2 Perkembangan Kepentingan Rusia dalam Olahraga di Bawah Rezim Putin ... 87

III.2.3 Peluang Sepak Bola dan Piala Dunia sebagai Wadah Politik Prestis ... 90

III.2.3.1 Politik Prestis Kontemporer: Tendensi AS terhadap Hak Tuan Rumah Piala Dunia Rusia 2018 ... 93

III.2.3.2 Aktualisasi Politik Prestis: Konfrontasi Pemerintah AS-Rusia melalui Piala Dunia 2018 ... 96

III.2.3.3 Kondisi Domestik Rusia sebagai Ancaman Global ... 100

III.2.4 Rusia sebagai Target AS: Sikap Pasif AS menanggapi Qatar dan Kemenangan Bidding Piala Dunia Qatar ... 105

IV Analisis ... 110

IV.1 Intervensi Negara terhadap INGSO sebagai Aksi Legal dan Politik ... 110

IV.2 Intervensi AS ke dalam Skandal FIFA sebagai Aksi Legal ... 112

IV.3 Intervensi AS ke dalam Skandal FIFA sebagai aksi Politik ... 115

IV.4 Intervensi AS ke dalam Skandal FIFA sebagai Aksi Legal dan Politik ... 119

V Kesimpulan ... 123

Daftar Pustaka ... xiii

(11)

x

Daftar Gambar, Grafik, Skema dan Tabel

Gambar I.1 Hotel tempat pertemuan sekaligus penangkapan petinggi FIFA Gambar I.2 Penangkapan petinggi FIFA di Zurich

Gambar III.1 Rusia terpilih menjadi tuan rumah PD 2018

Gambar III.2 Qatar terpilih menjadi tuan rumah PD 2022 Grafik I.1 Olahraga favorit di Amerika 1985-2014

(12)

xi

Daftar Singkatan dan Akronim

AfSel Afrika Selatan

AS Amerika Serikat

CONCACAF Confederation of North, Central American and Carribean Association Football

CONMEBOL Confederacion Sudamericana de Futbol

FA Football Association

FIFA The Fédération Internationale de Football

Association

FBI Federal Bureau of Investigation

INGO International Non-Governmental Organization

INGSO International Non-Governmental Sport Organization

IOC International Olympic Committee

ISL International Sport and Leisure

MSE Mega Sporting Event

NATO North Atlantic Treaty Organization

PD Piala Dunia

SCC Swiss Civil Code

UEFA The Union of European Football Associations

(13)

xii

Abstrak

Penangkapan petinggi FIFA dan dakwaan praktik perputaran uang ilegal organisasi yang dijatuhkan oleh US DOJ dan FBI pada bulan Mei 2015 lalu memang mengejutkan dunia internasional. Alasannya selain karena Amerika Serikat tidak memiliki ketertarikan yang tinggi pada sepak bola, pada dasarnya sebuah organisasi olahraga internasional pemerintah memiliki prinsip non-intervensi negara yang berupa otonomi organisasi dan imunitas. Intervensi yang dilakukan AS berhasil membuat Sepp Blatter yang baru saja terpilih sebagai presiden FIFA untuk kelima kalinya meletakkan mandatnya dan memantik adanya investigasi ulang pemberian hak tuan rumah 2018 dan 2022 kepada Rusia dan Qatar. Peneliti berusaha untuk mencari motif intervensi AS beserta strategi yang digunakannya. Terdapat dua pendekatan yang peneliti ambil yakni melalui aspek legal dan politik. Aspek legal digunakan untuk mencari celah FIFA dan hubungannya dengan AS selaku eksekutor dan aspek politik digunakan untuk menjelaskan motif lain yang muncul di balik aspek legal dengan melibatkan Rusia dan Qatar sehingga intervensi AS ke dalam skandal FIFA dapat dijelaskan. Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis keputusan intervensi AS tanpa mengukur efektivitasnya terkait jangkauan penelitian yang dihentikan pada terpilihnya presiden baru FIFA. Maka karena investigasi lanjutan yang dilakukan oleh DOJ dan FBI masih berlangsung, sangat terbuka lebar peluang penelitian lain terutama untuk mengukur efektivitas dan efek intervensi AS ke dalam sebuah organisasi olahraga internasional, FIFA.

(14)

1

I

Pendahuluan

I.1 Latar Belakang Masalah

Persiapan kongres tahunan FIFA di Zurich pada 27 Mei 2015 dikejutkan dengan adanya interupsi oleh eksekutor Amerika Serikat, US DOJ dan FBI, yang melakukan penangkapan petinggi FIFA karena dijatuhi dakwaan korupsi. Para petinggi FIFA didakwa dengan adanya suap terkait hak siar media dan kontrak sponsor yang berhubungan dengan turnamen sepak bola berhubungan dengan adanya komersialisasi hak media dan pemasaran pertandingan dan turnamen sepak bola milik FIFA.1 US DOJ menjatuhkan tuduhan kepada 14 anggota FIFA mendapat lebih dari 150 juta dolar dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun. Sebanyak 92 halaman dakwaan2 yang berisi 47 dakwaan termasuk pemerasan, penipuan dan pencucian uang yang berhubungan dengan aktivitas persepakbolaan di Amerika Utara dan Karibia. Dakwaan tersebut telah memprovokasi krisis dalam 111 tahun sejarah FIFA, federasi sepak bola dunia. Penangkapan didalangi oleh dua investigasi yang dilakukan oleh US DOJ, FBI & Internal Revenue Service dan dibantu oleh pemerintah Swiss yang melakukan penangkapan dan menyiapkan ekstradisi ke AS. 3

1 Legalbrief, “SA 2010 World Cup probed in crackdown on FIFA”,

http://www.legalbrief.co.za/diary/legalbrief-forensic/story/sa-2010-world-cup-probed-in-crackdown-on-fifa/pdf/ (diakses 13 April 2016).

2 Evan Perez & Shimon Prokupecz, “FIFA arrests: U.S. charges 16 FIFA officials”,

http://edition.cnn.com/2015/12/03/sport/fifa-corruption-charges-justice-department/ (diakses pada 13 April 2016).

3 Robert Stevens & Chris Marsden, “US seizes on FIFA corruption to pursue campaign against

(15)

2

Gambar I.1 Hotel tempat pertemuan sekaligus penangkapan petinggi FIFA 4

Beberapa dari mereka yang didakwa ditangkap melalui operasi gaya militer dengan cara mengepung hotel di zurich yang mana pada saat itu para petinggi FIFA sedang berkumpul dalam rangka kongres tahunan. Total dari penyuapan dan uang yang berputar adalah lebih dari 150 juta dolar dan digunakan untuk membeli suara petinggi FIFA untuk mempengaruhi keputusan mereka. Dua wakil presiden FIFA yang ditangkap adalah Eugenio Figueredo dan Jeffrey Webb bersama dengan Jack Warner, mantan wakil presiden yang didakwa dengan penjualan suara terkait pemilikan AfSel sebagai tuan rumah PD 2010. 5

Pengacara asal Amerika Serikat, General Loretta Lynch, menuduhkan bahwa para petinggi FIFA menerima suap selama proses “bidding” Piala Dunia 2010 yang pada akhirnya menjadikan Afrika Selatan, wakil pertama Afrika, sebagai tuan

4 Alfred Joyner, “FIFA Corruption Scandal explained in 60 seconds”,

http://www.ibtimes.co.uk/fifa-corruption-scandal-explained-60-seconds-1503361 (diakses 6 Mei 2016).

5 Robert Stevens & Chris Marsden, “US seizes on FIFA corruption to pursue campaign against

(16)

3

rumah acara sepak bola yang menarik banyak penonton tersebut. FIFA semakin tersudut ketika Swiss authorities mengumumkan adanya investigasi terpisah terkait pemberian hak tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022 yang dimenangkan oleh Rusia dan Qatar.6 Lynch mengatakan bahwa US DOJ berkomitmen untuk mengakhiri praktik korupsi yang dilakukan oleh para petinggi FIFA, tidak hanya karena skala operasi yang dilakukan tetapi juga karena operasi yang dilakukan para terdakwa merupakan penghinaan terhadap prinsip-prinsip internasional.7 Tidak lama kemudian presiden FIFA kala itu, Sepp Blatter, yang baru saja terpilih untuk kelima kalinya sebagai presiden, memutuskan untuk mengundurkan diri dari kursi kepresidenan.8

6 Legalbrief, “SA 2010 World Cup probed in crackdown on FIFA”,

http://www.legalbrief.co.za/diary/legalbrief-forensic/story/sa-2010-world-cup-probed-in-crackdown-on-fifa/pdf/ (diakses 13 April 2016).

7 VoxEurop, “Corruption and Football:If FIFA were a country, the US would intervene”,

http://www.voxeurop.eu/en/content/article/5021986-if-fifa-were-country-us-would-intervene (diakses 13 April 2016).

8 Rebecca R. Ruiz, Matt Apuzzo & Sam Bordendec, “FIFA Corruption: Top Officials Arrested in

(17)

4

Gambar I.2 Penangkapan petinggi FIFA di Zurich9

Pada sebuah wawancara yang diterbitkan oleh koran Swiss, Le Matin, François Carrard, seorang pengacara asal Swiss menyuarakan pendapatnya mengenai intervensi pihak berwenang AS terhadap skandal korupsi FIFA serta bagaimana mereka secara sepihak menangkap para terdakwa. Beberapa orang berspekulasi bahwa Amerika ingin membalaskan dendam melawan FIFA terkait kekalahan bidding PD 2022. 10 Penangkapan petinggi FIFA juga merupakan sebuah pelanggaran atas prinsip-prinsip organisasi internasional.11 “Tidak pernah ada peristiwa semacam ini, FBI melakukan investigasi terhadap organisasi sepak bola global” yang menegaskan bahwa fenomena seperti yang dilakukan AS adalah kali

9Michael S. Schmidt & Sam Borden, “In a Five-Star Setting, FIFA Officials Are Arrested, the

Swiss Way”, http://www.nytimes.com/2015/05/28/sports/soccer/in-a-five-star-setting-fifa-officials-are-arrested-the-swiss-way.html (diakses 2 Juni 2016).

10 Vishal Khetpal, “How America Should Fix FIFA”,

http://www.huffingtonpost.com/vishal-khetpal/howamericashouldfixfi_b_7612770.html (diakses 2 Juni 2016).

11 Robert Stevens & Chris Marsden, “US seizes on FIFA corruption to pursue campaign against

(18)

5

pertama sebuah negara bisa menembus organisasi internasional non-pemerintah, terlebih sebuah organisasi sepak bola.12

Pertanyaan pertama yang muncul ketika ia mendengar kabar intervensi AS ke dalam skandal FIFA adalah mengapa orang Amerika mencampuri urusan FIFA ketika pada faktanya, di Amerika Serikat, sepak bola merupakan olahraga yang popularitasnya jauh di bawah baseball dan basket. François mengatakan bahwa “sepak bola bukanlah olahraga murni Amerika.”13 Bisnis sepak bola memang sebuah bisnis yang berskala besar, namun bukan termasuk sebagai bisnis Amerika. Orang Amerika bahkan tidak menyebut sepak bola “football” tetapi “soccer” karena mereka memiliki jenis olahraga lain yang disebut “football” yang lebih mendarahdaging di Amerika.14 Maka terdengar ironis ketika orang Amerika menembus masuk ke dalam organisasi sepak bola internasional, FIFA, dan membongkar skandal mereka.15

Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, AS tidak memiliki ketertarikan terhadap sepak bola yang notabene adalah olahraga paling populer di dunia. Sepak bola secara sederhana tidak tertanam dalam budaya olahraga Amerika dibanding dengan olahraga khas Amerika lainnya. Sepak bola dilihat sebagai olahraga yang membosankan karena kurangnya apresiasi terhadap keindahan permainannya ketika dalam sebuah pertandingan tidak tercipta adanya gol. Sedangkan olahraga

12 Michael Regan, “The FBI vs. FIFA”,

http://www.espn.go.com/espn/feature/story/_/id/14767250/the-exclusive-story-how-feds-took-fifa, (diakses 14 April 2016)

13 Juliet Macur, “Reform Chief Questions United States Involvement in FIFA, Defends Sepp

Blatter”, http://www.nytimes.com/2015/08/25/sports/soccer/remarks-by-fifas-reform-panel-head-are-critical-of-american-soccer.html (diakses 13 April 2016)

14Diana Johnstone, “Playing Hard Ball With Soft Power”,

http://www.counterpunch.org/author/diana-johnstone/ (diakses 14 April 2016)

15 Jess Gibbs & Laurence Bouvard, “The Long Arm of the US Judiciary in the FIFA Scandal”,

(19)

6

yang memiliki tingkat popularitas tinggi di AS adalah olahraga yang memiliki banyak angka yang tercipta di setiap permainan karena adanya nilai budaya Amerika bahwa kemenangan dengan angka tinggi merupakan hal yang penting. Orang Amerika juga terganggu dengan banyaknya komponen yang ada dalam permainan sepak bola. Maka ketika apresiasi terhadap keindahan sepak bola sendiri tidak ada, penonton merasa bosan melihat 90 menit permainan dengan probababilitas angka/gol yang rendah.16 Minimnya jumlah fandom17 domestik dan pemain sepak bola internasional sepak bola AS juga merupakan salah satu sebab rendahnya popularitas sepak bola di sana. Hal tersebut berhubungan dengan kurangnya siaran dan pemberitaan media mengenai perkembangan sepak bola di AS sehingga hasilnya sepak bola tetap menjadi olahraga yang tidak diminati rakyat Amerika.18

16 John Tauer, “Why Aren’t Americans More Interested in Soccer? Why is the U.S. bad at

soccer?”, http://www.psychologytoday.com/blog/goal-posts/201006/why-aren-t-americans-more-interested-in-soccer-why-is-the-us-bad-soccer (diakses 13 April 2016)

17 Kumpulan fanatik yang terfokus pada sebuah area. Seringkali sebagai basis dukungan terhadap

individu atau tim sebagai atlet olahraga.

18 Julianna Miller & Bryan Silverman, “Soccer Culture in the U.S.”,

(20)

7

Grafik I.1 Olahraga favorit di Amerika 1985-201419

Namun kurangnya minat sepak bola rakyat AS tidak kemudian membuat para petinggi negara tidak memiliki kepentingan terhadap sepak bola. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya bidding AS sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 pada tahun 2010 lalu yang pada akhirnya harus kalah suara dari Qatar. Motivasi di balik keikutsertaan bidding tidak sulit untuk ditebak yakni karena Piala Dunia dapat menghasilkan banyak keuntungan finansial dan AS ingin merasakan keuntungan tersebut.

Berbagai respon mengenai penangkapan para petinggi FIFA datang dari segala penjuru dunia. Pada sebuah wawancara televisi, Putin mengatakan bahwa penangkapan yang dilakukan oleh DOJ adalah sebuah usaha untuk menghalangi

19 Cork Gaines, “The popularity of the NFL is starting to fall in the US”,

(21)

8

pemilihan presiden FIFA yang mana Blatter akan terpilih untuk yang kelima kalinya. “Jadi memang terdapat usaha yang jelas dari AS yang mencoba untuk membalikkan hal positif yang kami miliki menjadi suatu jalan untuk berkonfrontasi,” Kirill Kabanov, yang memonitor korupsi di Rusia sebagai anggota civil society Kremlin menyatakan pendapatnya kepada TIME.20

Argumen-argumen kontra semakin banyak bermunculan terutama dari Kremlin seperti Presiden Rusia Vladimir Putin yang terkejut mendengar pemberitaan mengenai keterlibatan AS dan menentang intervensi skandal FIFA yang dilakukan oleh FBI serta US DOJ. Hubungan AS-Rusia memang sedang memanas lagi pasca Rusia memutuskan untuk menganeksasi Crimea pada 2014 lalu dan membantu rezim Assad di Suriah. Menurut Putin hal tersebut terdengar aneh karena tidak ada warga AS yang terlibat dalam skandal FIFA dan aktivitas kriminal FIFA tidak dilakukan di tanah AS sehingga AS tidak berhak untuk mengintervensi dan meminta perizinan untuk mengekstradisi beberapa petinggi FIFA. “rekan Amerika kita, sedang menggunakan metode yang sama untuk mencapai tujuan-tujuan mereka dan secara ilegal mengeksekusi orang-orang,” jelas Putin.21 Finian Cunninghan, seorang jurnalis yang bekerja untuk salah satu media Rusia, menegaskan prinsip dasar “jangan mencampurkan politik dan olahraga” untuk menjelaskan aktivitas yang sedang dilakukan oleh eksekutor AS yakni menangkap petinggi FIFA dan menjatuhkan tuduhan adanya penipuan dengan jumlah total

20 Jess Gibbs & Laurence Bouvard, “The Long Arm of the US Judiciary in the FIFA Scandal”,

http://watchingamerica.com/WA/2015/05/30/the-long-arm-of-the-us-judiciary-in-the-fifa-scandal/ (diakses 14 April 2016).

21 Joe Prince-Wright , “Russia, Vladimir Putin criticize US government for “illegal persecution”

(22)

9

sebesar 150 juta dolar.22 Menteri Luar Negeri Rusia, Alexander Lukashevich, memberikan pernyataan jika AS secara jelas melakukan intervensi secara ilegal karena ketidakjelasan detil tuduhan dan merupakan sebuah praktik ekstrateritori hukum AS yang tidak bisa dijustifikasi. Lukashevich juga berharap Washington segera berhenti untuk selalu berusaha menerapkan keadilan global yang melebihi batas negara dengan menggunakan hukum nasional dan menerapkan serta mengikuti prosedur dan hukum internasional.23 Selain kontradiksi Rusia, jurnalis asal Polandia, Pavel Zazhenchny juga menulis di Polska mengatakan bahwa AS ingin ikut campur dalam segala hal. Ia menambahkan jika AS bermain peran sebagai pihak yang serba benar dan mencoba untuk menciptakan gambaran bahwa AS adalah polisi yang mengeksekusi pelaku kriminal secara legal. Namun yang mengejutkan adalah ternyata jurnalis Amerika juga mempertanyakan hak eksekutor AS dalam menyelidiki skandal FIFA. Sebagai contoh Zachary Karabell yang mengatakan bahwa AS sedang bertindak layaknya hakim internasional yang akan selalu menindak siapa pun yang membahayakan posisi Amerika.24

Kasus intervensi skandal FIFA memang akan mengejutkan siapa pun yang mendengarnya karena baru kali ini terjadi kasus sebuah negara yang berhasil melakukan penetrasi ke dalam FIFA. Pertanyaan yang muncul tentu tidak hanya mengenai mengapa AS yang melakukan intervensi tetapi juga mengenai apa

22 Eugene Bai, “How the FIFA scandal is leading to a US-Russia political confrontation”,

http://www.russia-direct.org/analysis/how-fifa-scandal-leading-us-russia-political-confrontation (diakses 13 April 2016).

23 Louis Doré, “Vladimir Putin says US investigation into Fifa is a 'clear attempt' to prevent Sepp

Blatter from being re-elected”, http://www.independent.co.uk/news/world/europe/russia-accuses-us-of-another-case-of-illegal-exterritorial-use-of-us-law-for-investigating-fifa-10280517.html (diakses 14 April 2016).

24 Zachary Karabell, “What Putin Gets Right about America”,

(23)

10

sebenarnya motif yang melatarbelakangi aksi AS tersebut. Adanya prinsip politik seharusnya terpisah dari olahraga dan otonomi organisasi internasional non-pemerintah, menegaskan bahwa pemerintah negara seharusnya tidak mencampuri segala urusan organisasi dan menyerahkan hak regulasi kepada organisasi yang bersangkutan. Selain itu, intervensi yang dilakukan AS dikatakan berhasil karena pasca intervensi, presiden FIFA yang baru saja terpilih untuk kelima kalinya memutuskan mengundurkan diri dari kursi kepresidenan.

Selain itu skandal FIFA yang melibatkan DOJ Amerika Serikat telah memprovokasi konfrontasi politis antara Rusia dan Amerika Serikat. 25 Rusia yang sejak awal telah sangat vokal dan menentang investigasi yang dilakukan AS meragukan legalitas aksi ekstrateritorial AS. Moscow memiliki banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai penangkapan para petinggi FIFA. Menteri luar negeri Rusia memberi komentar yang disuarakan oleh Alexander Lukashevich (anggota Duma)26 bahwa penggunaan hukum ekstrateritorial AS adalah ilegal. Melihat fakta-fakta tersebut, maka menarik untuk meneliti kasus ini dan mencari motif dan strategi AS yang berhasil mengintervensi sebuah organisasi olahraga internasional non-pemerintah.

I.2 Rumusan Masalah

Mengapa Amerika Serikat yang selama ini memiliki ketertarikan rendah pada sepak bola menjatuhkan dakwaan korupsi dan menangkap petinggi FIFA ketika sedang dilaksanakan persiapan kongres tahunan FIFA pada tahun 2015 di Zurich?

(24)

11

I.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui motif-motif dan pertimbangan sebuah negara dalam melakukan intervensi terhadap sebuah organisasi internasional non-pemerintah dengan mencari hubungan negara eksekutor dan organisasi target yang diintervensi sehingga bisa diketahui motif lanjutannya, serta mengidentifikasi benang merah area kasus yang digunakan untuk menjustifikasi aspek dan motif intervensi. Penelitian ini secara bertahap menjabarkan celah-celah organisasi dan mengapa otonomi organisasi bisa dilangkahi oleh pemerintah negara sehingga intervensi dapat dilakukan.

I.4 Kerangka Pemikiran

(25)

12

persaingan prestis negara melalui olahraga dengan studi kasus AS dan Rusia. Teori-teori tersebut yang telah disebutkan dipakai sebagai alat analisis oleh peneliti karena mampu secara langsung menyentuh dan menjelaskan kasus penelitian ini.

I.4.1 Negara, Intervensi Internasional dan Prinsip Non-Intervensi

Intervensi internasional yang melibatkan negara memiliki bentuk yang beragam seperti intervensi militer, intervensi ekonomi dan intervensi kemanusiaan. Intervensi pada dasarnya adalah sebuah praktik yang problematis baik secara prinsip maupun secara praktik. Sejak runtuhnya Tembok Berlin dan kekalahan komunisme, intervensi menjadi topik yang mendominasi hubungan internasional. Sejak itu pula konsep intervensi telah diterima oleh komunitas global namun dengan kondisi yang masih terbatas bahkan untuk beberapa negara, intervensi sama sekali tidak bisa dijustifikasi dari kondisi apapun. Perdebatan mengenai justifikasi intervensi dikaitkan dengan pelanggaran kedaulatan negara dan karena intervensi menunjukkan tanda-tanda imperialisme serta pelanggaran hak asasi manusia.27

Simon Chesteman mengatakan bahwa alasan sebuah negara yang memutuskan untuk tidak mengintervensi negara lain adalah karena negara tidak ingin sama sekali menjadikan intervensi sebagai keputusan, bukan karena dibatasi oleh hukum internasional. Chesteman lebih lanjut menjelaskan bahwa negara yang

27 Thomas M. Dunn, “International Intervention as a Failing Concept”, E-International Relations,

(26)

13

menjadikan intervensi sebagai salah satu aksi interstate hanya akan menambah celah legal yang pada akhirnya akan dijustifikasi oleh banyak negara. 28

No state or group state has the right to intervene, directly or indirectly, in the internal or external affairs of any other state. Consequently, armed intervention and all forms of interference or attempted threats against the personality of the state or against its political, economic and cultural elements are in violation of international law. 29

Paragraf tersebut menjadi prinsip non-intervensi yang masih diterapkan dalam interaksi hubungan internasional hingga saat ini. Beberapa negara seperti AS menerapkan baru tidak akan mengintervensi jika situasi suatu grup/negara tidak memiliki kepentingan yang berhubungan dengan AS. Sehingga intervensi sebuah negara terhadap negara lain dapat dijustifikasi melalui adanya kepentingan berupa kepentingan ekonomi, militer, politik dan sebagainya. Kewajiban yang muncul dalam komunitas internasional pasca jatuhnya komunisme untuk melakukan intervensi adalah cerminan kekuatan hegemon yang melegitimasi aksi mereka. 30

Doktrin non-intervensi dalam hubungan internasional adalah sebuah prinsip logis dari kedaulatan. Doktrin tersebut diciptakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dijadikan sebagai norma fundamental hubungan antarnegara. Salah satu contoh dari prinsip non-intervensi PBB tercantum dalam Piagam PBB Artikel 2 yang berbunyi: “principle of the sovereign equality of all its Members” yang menegaskan bahwa kedaulatan adalah mutlak dan tidak bisa dilanggar.31 Jika

28 Thomas M. Dunn, “International Intervention as a Failing Concept”, E-International Relations,

2013, 3.

29 Thomas M. Dunn, “International Intervention as a Failing Concept”, E-International Relations,

2013, 1-2.

30 Thomas M. Dunn, “International Intervention as a Failing Concept”, E-International Relations,

2013, 3-4.

(27)

14

negara pada dasarnya tidak diperbolehkan untuk mengintervensi negara lain, bagaimana jika negara mengintervensi aktor lain?

Pada dasarnya hubungan internasional adalah interaksi antar aktor dalam area internasional sehingga intervensi yang merupakan salah satu bentuk interaksi juga tidak hanya berlaku antarnegara tetapi juga antar aktor lain termasuk aktor non-negara dalam hubungan internasional. Aktor non-non-negara dalam hubungan internasional adalah entitas non-negara yang menjalankan fungsi ekonomi, politik, sosial dalam level internasional tanpa kontrol langsung dari negara. 32 Pemerintahan aktor non negara telah mendapat banyak perhatian para penstudi hubungan internasional. Legitimasi dan efek dari pemerintahan privat transnasional menjadi perdebatan karena perbedaan dan kompleksitas pemerintahan aktor-aktor tersebut yang membutuhkan lebih banyak penelitian empiris untuk mencapai sebuah konklusi paten. 33 NGO adalah organisasi non-profit yang bersifat voluntir yang dijalankan oleh beberapa pihak independen di level lokal maupun internasional. 34 NGO yang beraktivitas pada level internasional disebut sebagai INGO. INGO merupakan organisasi privat internasional non-profit yang bersifat voluntir dan bebas dari pajak federal yang mendapat pemasukan dari sektor privat.35 INGO telah juga didefinisikan sebagai bagian dari sektor ketiga dunia global yang didominasi oleh korporasi transnasional dan organisasi internasional. INGO biasanya memiliki basis/kantor

32 National Intelligence Council, “Nonstate Actors: Impact on International Relations”, 2007, 2. 33 Borja García, “Keeping private governance private: Is FIFA blackmailing national

governments?”, 21.

34 Gayle allard, “The Influence of Government Policy and NGOs on Capturing Private

Investment”, St. Louis University, 2008, 3.

35 Grace Lyness Chikoto, “Government funding and INGO Autonomy”, Georgia State University,

(28)

15

pusat di negara-negara maju yang beroperasi di negara-negara berkembang.INGO beroperasi pada isu-isu spesifik sehingga dapat dibedakan dari isu yang ditangani seperti INGO lingkungan yang menangani isu lingkungan, NGO hak asasi manusia, sampai INGO olahraga.36

Layaknya negara, INGO juga memiliki prinsip non-intervensi yang disebut otonomi organisasi. Prinsip non-intervensi INGO yang dirumuskan oleh Verhoest adalah legal autonomy: The extent to which agencies are legally protected from government interference.37 Makna dari isi prinsip tersebut adalah bahwa INGO, layaknya negara, memiliki semacam kedaulatan bersifat mutlak yang disebut otonomi sehingga INGO seharusnya terbebas dari campur tangan/intervensi negara. INGO yang menjadi fokus penelitian di sini adalah INGSO (International Non-Governmental Organization) yang menjadi salah satu jenis dari INGO sehingga layaknya INGO, INGSO juga memiliki otonomi organisasi yang juga menjadi prinsip non-intervensi negara.

I.4.2 Otonomi INGSO sebagai Prinsip Non-Intervensi

Federasi dan organisasi olahraga internasional yang berada di Swiss seperti FIFA (the Fédération Internationale de Football Association) dan IOC (International Olympic Committee) secara de facto memiliki memiliki status internasional. namun secara de jure, mereka tidak termasuk sebagai IGOs (International Governmental Organisations) atau IQGOs (International Quasi-Governmental Organisations). Mereka merupakan asosiasi yang tunduk kepada hukum privat

36 Grace Lyness Chikoto, “Government funding and INGO Autonomy”, Georgia State University,

2009, 7.

37 Grace Lyness Chikoto, “Government funding and INGO Autonomy”, Georgia State University,

(29)

16

nasional yang konstitusinya dirumuskan dalam SCC (Swiss Civil Code). Kerangka legal yang disediakan oleh SCC memberikan kebebasan dalam merumuskan aturan asosiasi yang masih terikat oleh kondisi tertentu, sehingga untuk menjadi sebuah asosiasi, sesuai dengan artikel SCC 60.1, organisasi terkait tidak boleh memiliki tujuan ekonomis dan mendemonstrasikan aturan secara terpadu dalam statuta asosiasi. Statuta asosiasi harus diwujudkan secara tertulis dalam dokumen resmi dan harus memiliki ketetapan tujuan, sumber daya dan kerangka organisasi asosiasi (SCC 60.2). dari sudut pandang struktural, asosiasi harus dijalankan oleh general assembly dan appointed committee yang merepresentasikan asosiasi yang memanajemen segala perilaku asosiasi.38

Sejak akhir abad ke 19, badan yang bertanggungjawab dalam kodifikasi aturan olahraga dan organisasi kompetisi secara jeneral merupakan bentuk dari asosiasi non-profit. Berkat dari adanya kebebasan yang disediakan oleh legislasi nasional, terutama Swiss, mereka dapat menikmati otonomi dari pemerintah sehingga organisasi olahraga dapat berkembang secara independen dan bersifat self-regulated.39 Refleksi dari definisi konsep otonomi organisasi olahraga dalam praktiknya seringkali berasimilasi dengan konsep seperti government dan self-determination yang berarti memiliki wewenang dalam meregulasi organisasi

secara independen .40 Menurut Foster, otonomi organisasi olahraga diperkuat dengan adanya perkembangan sistem arbitrase olahraga yang telah berkontribusi pada terciptanya lex sportiva. Ia mendefinisikan lex sportiva atau global sports

38 Michaël Mrkonjic, “The Swiss regulatory framework and international

sports organisations”, University of Lausanne, 128.

39 Jean-Loup Chappelet, “Autonomy of sport in Europe”, Sports policy and practice series,

Council of Europe Publishing ISBN 978-92-871-6720-0, April, 2010, 7.

40 Thing & Ottesen, “Sports organisations, autonomy and good governance”,

(30)

17

law sebagai justifikasi self-regulation oleh organisasi olahraga internasional yang

sifatnya berbahaya karena menutup segala celah intervensi ke dalam organisasi. atau secara detilnya “a transnational autonomous legal order created by the private global institutions that govern international sport. Its chief characteristics are first that it is a contractual order, with its binding force coming from agreements to submit to the authority and jurisdiction of international sporting federations, and second that it is not governed by national legal systems.”41

Michaël Mrkonjic merumuskan beberapa jenis otonomi dalam organisasi olahraga yakni: political autonomy, legal autonomy, financial autonomy, supervised autonomy dan negotiated autonomy. 42 Political autonomy dapat diartikan sebagai pemahaman historis dari hubungan antara organisasi olahraga dan lingkungannya. Szymanski mendeskripsikan bagaimana olahraga moderen berkembang di Inggris dari bentuk baru aktivitas asosiasi yang tercipta selama era Pencerahan di Eropa. Locke menambahkan bahwa asosiasi yang pada masa itu bersifat voluntir memiliki hak untuk membentuk dan mengembangkan diri serta menciptakan aturan dan regulasi asosiasi. Konsekuensi yang kemudian tercipta adalah Ketidaktertarikan negara untuk turun tangan dan melakukan regulasi.43 Pada akhirnya, pengaruh asosiasi independen British tersebut diadaptasi oleh banyak organisasi olahraga yang menetapkan pemisahan antara olahraga dan negara

41 Foster dalam Michaël Mrkonjic , “Sports organisations, autonomy and good governance”

Working paper for Action for Good Governance in International Sports Organisations, AGGIS project, 2003, 142.

42 Thing & Ottesen, “Sports organisations, autonomy and good governance”, 134.

43 Clark dalam Michaël Mrkonjic, “Sports organisations, autonomy and good governance”,

(31)

18

sebagai prinsip dasar organisasi.44 Legal autonomy organisasi olahraga dapat didefinisikan sebagai otonomi privat untuk mengadopsi aturan dan norma yang memiliki efek legal dalam legal framework yang dipaksakan oleh negara baik dalam level nasional maupun internasional. pemaksaan aturan bukan berarti adanya pembatasan otonomi namun hanya semacam penyesuaian agar aturan organisasi dapat berjalan beriringan dengan aturan negara. Dalam level nasional, legal autonomy organisasi olahraga berada dalam naungan hukum sipil, hukum fiskal atau hukum korporasi (SCC 60).45 Financial autonomy menjelaskan bahwa secara historis, olahraga bergantung pada dukungan finansial publik dan sampai sekarang masih sering bergantung pada bantuan pemerintah. Meskipun demikian, seiring dengan adanya komersialisasi olahraga, tercipta suatu keadaan independen dari organisasi olahraga. Faktor kunci pencipta kondisi tersebut adalah terobosan dari adanya siaran olahraga. Siaran televisi kompetisi olahraga internasional yang menyedot banyak penikmat olahraga merupakan suplai finansial utama bagi organisasi olahraga sehingga organisasi tidak lagi bergantung pada suplai finansial publik dan pemerintah. 46

44 Tomlinson dalam Michaël Mrkonjic, “Sports organisations, autonomy and good governance”,

Working paper for Action for Good Governance in International Sports Organisations, AGGIS project, 2013, 134.

45 Michaël Mrkonjic, “Sports organisations, autonomy and good governance”

Working paper for Action for Good Governance in International Sports Organisations, AGGIS project, 2013, 135.

(32)

19

Skema I.1 Otonomi organisasi olahraga menurut Jean-Loup Chappelet47

47 Jean-Loup Chappelet, “Autonomy of sport in Europe”, 49.

Sport organisation autonomy

establish, amend and interpret rules appropriate to their sport freely,

without undue political or economic influence

use funds to achieve objectives and carry on activities chosen

without severe external constraints

draw up, in consultation with the public authorities obtain adequate funds from public or other sources, without disproportionate obligations

choose their leaders democratically, without interference by states or

(33)

20

I.4.3 Akuntabilitas INGSO sebagai Celah Organisasi

Akuntabilitas adalah suatu aspek sentral pemerintahan global dan telah secara bertahap berubah menjadi lebih dari sekedar negara yang bekerja bersama dengan melibatkan organisasi non pemerintah dan korporasi multinasional. Keohane menjelaskan bahwa governance dapat didefinisikan sebagai pembuatan dan implementasi aturan, serta aplikasi kekuatan dalam sebuah domain aktivitas sehingga global governance merujuk kepada pembuatan aturan dan aplikasi kekuatan dalam skala global. Pemerintahan global dapat diaplikasikan oleh negara, organisasi relijius, korporasi bisnis dan organisasi non pemerintah. 48 Karena tidak adanya pemerintah global, maka pemerintahan global adalah suatu sistem yang meliputi interaksi strategis di antara entitas yang tidak dibentuk dalam hierarki formal. Sedangkan akuntabilitas menurut Grant dan Keohane mengimplikasikan bahwa aktor yang terlibat dalam pemerintahan global memiliki hak untuk menentukan standar yang berlaku bagi aktor lain untuk menentukan apakah mereka telah melakukan kewajiban pemerintahan sesuai standar dan untuk mengaplikasikan sanksi jika mereka melanggar atau tidak mematuhi kewajiban dalam pemerintahan global. 49Akuntabilitas menurut Stiglitz membutuhkan: 1) pelaku yang memiliki tujuan tertentu; 2) cara yang disepakati untuk menilai pencapaian tujuan; dan 3) konsekuensi. Memaksakan akuntabilitas dalam konteks politik global melalui organisasi internasional merupakan hal yang menantang karena organisasi pemerintah dan non-pemerintah di seluruh dunia mempraktikkan sistem inkompatibel pemerintahan domestik dalam skala yang

48 Roger Pielke Jr., “How can FIFA be held accountable?”,

Center for Science and Technology Policy Research, University of Colorado, United States, 2013, 256

(34)

21

sangat luas sehingga sulit untuk mencapai persetujuan norma formal dan informal, standar, kewajiban dan sanksi yang terkait dengan pengambilan keputusan.

Komersialisasi olahraga yang semakin luas memberi efek pada adanya tensi antara aturan organisasi olahraga dan hukum negara. Masifnya kepentingan ekonomi dalam olahraga menciptakan adanya kondisi fertil dari praktik korupsi dalam organisasi. Sumber utama adanya tensi adalah model pemerintahan “pyramidal” yang membuat asosiasi posisi terbawah merasa didiskriminasi dalam pembuatan regulasi serta keputusan asosiasi/federasi yang menempati posisi teratas dalam piramida organisasi.50 Keterlibatan aspek bisnis dalam jangka panjang akan melemahkan kemampuan pemerintah untuk memanipulasi dan memanfaatkan olahraga untuk tujuan diplomatik. Investigasi Houlihan pada tahun 1994 yang bertajuk Sport in International Politics menggarisbawahi krisis IOC (International Olympic Committee) yang memberikan efek negatif terhadap INGOs dalam memanajemen sebuah organisasi olahraga internasional. Krisis IOC juga memantik argumen bahwa perkembangan komersil olahraga yang merasuki organisasi olahraga internasional telah semakin meluaskan kebebasan organisasi dan meluaskan gap dengan pemerintah.51 Kepentingan finansial yang semakin masif dimanifestasikan ke dalam olahraga juga memunculkan bayangan buram yang semakin melemahkan definisi organisasi olahraga internasional sebagai organisasi non profit yang pada praktiknya justru mendapatkan banyak keuntungan finansial. FIFA dan IOC merupakan organisasi olahraga internasional yang sangat mencerminkan financial autonomy karena tingginya pemasukan

50 Michaël Mrkonjic , “Sports organisations, autonomy and good governance”, 141.

51 Aaron Beacom, “Sport In International Relations: A Case For Cross-Disciplinary Investigation”,

(35)

22

organisasi dari siaran televisi, kerjasama sponsor atau hak komersil lainnya yang terhubung dengan kompetisi internasional milik mereka.

The fact that sports organisations sit in such an odd place in the panoply of international organisations will come as a surprise to many; they are not governmental, not intergovernmental, not corporations and not international bodies like the United Nations or World Health Organization. It is, arguably, this special, non-profit status that is at the heart of challenges to hold such bodies accountable to the same rules and norms that govern other international bodies. There are many examples of businesses, international organisations and civil society organisations that have seen governance shortfalls exposed and then improved .52

Kemudian, saat sepak bola sendiri sebenarnya bukanlah sebuah bisnis yang besar secara finansial, namun jika dilihat sisi ekonomi keseluruhannya, semua yang terhubung dengan sepak bola memiliki implikasi besar pada sebuah bisnis, contohnya korporasi yang bekerjasama dengan FIFA karena Piala Dunia. “FIFA – even though by law still a non-profit association – is in fact a potent corporate entity. This calls for a sequence of particular governance measures developed in the corporate world,” yang bisa meraup miliaran dolar dari hak siar dan sponsor PD sehingga status FIFA telah menjadi penting dalam beberapa sektor dalam pemerintahan global. Ketiga, legitimasi FIFA adalah sebuah contoh kasus dengan isu mayor dalam hal akuntabilitas organisasi internasional. Kegagalan akuntabilitas FIFA kemudian memunculkan sebuah ide reformasi karena organisasi yang setara dan memiliki kesamaan dengan FIFA, IOC, juga telah mewujudkan reformasi organisasi akibat adanya korupsi Olimpiade 1998. Kasus dan resolusi IOC tersebut dijadikan rujukan banyak ahli dalam bagaimana sebuah organisasi yang sudah tidak akuntabel bisa dikembalikan lagi seperti semula. 53

(36)

23

I.4.4 Law Enforcement Ekstrateritori Negara sebagai Alat: Studi Kasus Amerika Serikat

Ketika sudah diketahui bahwa INGSO memiliki celah yang bisa dijadikan titik vokal intervensi. Maka yang dibutuhkan selanjutnya adalah alat yang bisa digunakan untuk masuk ke dalam celah tersebut. Tercipta pada era sistem legal internasional Westphalia, hukum yurisdiksi merupakan sebuah bentuk dari hukum internasional tentang eksistensi negara yang jika dipersingkat adalah hukum tentang “do not.” Maksudnya adalah yurisdiksi merupakan hukum yang mencakupi obligasi dan larangan yang ditujukan untuk melindungi kedaulatan negara. Negara berada dalam sebuah batasan yang tidak diperbolehkan untuk melampaui/melewati yurisdiksi yang merupakan domain negara lain ketika negara tersebut sedang mengalami masalah/konflik. Namun dalam beberapa kondisi, sebuah negara akan menggunakan prinsip yang disebut extrateritorriality untuk dapat melanggar prinsip non-intervensi dan equality of states. 54 Extrateritorriality adalah situasi yang mana kekuatan negara (legislatif, eksekutif atau yudisial) melakukan perpanjangan tangan hukum di luar teritori negara. 55

Terdapat dua macam hukum yurisdiksi yang seringkali dipakai dan merujuk pada kekuatan negara: prescriptive jurisdiction dan legislative jurisdiction. Hukum tersebut digunakan untuk mengubah hukum negara menjadi dapat diaplikasikan pada aktivitas, hubungan, status, individu, kepentingan dan lain-lain. Prinsip fundamental pada prescriptive jurisdiction adalah mengenai prinsip teritori oleh karena teritori sebuah negara murni menjadi kewenangan negara secara faktual

(37)

24

dan secara otomatis masuk ke dalam area hukum. Namun aplikasi yurisdiksi teritori negara dapat disiasati seperti dengan keberadaan praktik kriminal transborder yang memungkinkan negara untuk melampaui yurisdiksi teritori 56 selain itu, prescriptive jurisdiction juga melingkupi prinsip-prinsip yang memperbolehkan negara untuk mengaplikasikan hukum negaranya secara ekstrateritori, terutama dalam hukum kriminal. Negara hanya butuh nexus atau koneksi yang bisa digunakan sebagai hak untuk mengaplikasikan yurisdiksi ekstrateritori seperti kebangsaan individu, aset individu, bahkan aset negara yang digunakan secara internasional. 57

Ketika sebuah negara mengaplikasikan hukumnya secara ekstrateritori, maka negara tersebut juga menginginkan hukum negaranya enforced atau dipaksakan. Maka yang disebut dengan enforcement jurisdiction adalah yurisdiksi negara untuk memaksa atau menghukum ketidakpatuhan/pelanggaran dengan hukum atau regulasi melalui pengadilan atau pihak eksekutif, administratif, polisi dan lain-lain. Aturan pemaksaan yurisdiksi bersifat lebih mengikat daripada prescriptive jurisdiction. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, negara tidak

boleh memaksakan hukumnya di luar teritori dengan kondisi pengecualian “by virtue of a permissive rule derived from international custom or from a convention.” Kerjasama internasional seringkali dibutuhkan untuk menjelaskan alasan dilakukannya aplikasi hukum ekstrateritori yang biasanya berujung pada permohonan ekstradisi atau penyitaan aset pelaku pelanggaran. 58

(38)

25

Sejak diposisikan sebagai negara hegemon paska Perang Dunia II, AS telah memainkan peran, yang disebut oleh Josef Joffe, sebagai default power dalam menjaga perdamaian dan keamanan global.59 Sebagai negara hegemon yang menyadari pentingnya bersikap dengan penuh tanggung jawab, adalah hal yang mustahil untuk menyelesaikan hampir semua konflik yang terjadi di penjuru dunia tanpa kepemimpinan Amerika Serikat. Tidak akan ada yang menyelamatkan rakyat Suriah yang diserang oleh rezim Bashar al-Assad jika AS tidak memutuskan untuk mengambil tindakan. Ketika bencana alam menyerang suatu negara dunia ketiga, AS pula yang merespon tanggap dan membantu revitalisasi negara paska bencana. Alasannya selain karena motif altruistik AS dalam menyelesaikan masalah di level internasional tetapi juga karena posisi unik AS sebagai negara hegemon liberal demokratis. AS sebagai negara yang memiliki posisi vital di dunia internasional tentunya memiliki hukum yang bersifat mengikat secara internasional pula. Namun tidak semua area internasional termasuk sebagai wilayah hukum AS. Wilayah hukum itulah yang disebut sebagai yurisdiksi yang tidak hanya dimiliki oleh AS, namun wilayah yurisdiksi AS memang lebih luas dibandingkan dengan yang dimiliki oleh negara-negara lain seperti sistem finansial internasional AS yang aturannya sangat mengikat. 60

59 James Kirchick, “How FIFA Explains the World: It’s a much better place because of American

hegemony”,

http://www.slate.com/articles/news_and_politics/foreigners/2015/06/how_fifa_explains_the_world _america_is_the_only_country_that_could_take.html (diakses 16 April 2016).

(39)

26

I.4.5 Interrelasi Olahraga dan Politik: Politik Prestis dalam Olahraga

melalui Mega Sporting Events

Pada tinjauan pustaka mengenai otonomi INGSO, peneliti telah menunjukkan bahwa olahraga dan politik merupakan dua hal yang seharusnya terpisah dan telah diterapkan sedemikian rupa oleh organisasi olahraga internasional. Maka peneliti kali ini akan menunjukkan bahwa olahraga memiliki aspek yang berhubungan langsung dengan politik bahkan hubungan internasional baik secara langsung atau melalui proses yang bertahap. Penelitian mengenai olahraga dan politik telah menunjukkan beberapa perkembangan fungsi dari olahraga sebagai kendaraan politik yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan. Tulisan milik Hoberman, Kanin, dan Espy merupakan contoh dari fokus olahraga sebagai kendaraan politik dan pergerakan olahraga merupakan manifestasi dari ideologi negara. 61

Hill mengatakan bahwa olahraga internasional membutuhkan kepentingan dan dukungan dari politisi, bukan campur tangan mereka. Sedangkan politisi, di lain sisi, mengapresiasi bahwa olahraga memiliki dimensi politikal yang bisa dimanfaatkan oleh mereka selagi bisa. 62 Pernyataan tersebut merupakan sebuah kritik terhadap pernyataan akademisi yang mengatakan bahwa hingga akhir-akhir ini, olahraga dan politik merupakan aspek yang saling terpisah. Polley berargumen bahwa terdapat hal yang diabaikan dalam jangka panjang yakni hubungan struktural yang ada di antara olahraga dan agensi politik lokal, regional dan internasional. Sedangkan Houlihan mengacu pada hubungan yang saling

61 Aaron Beacom, “Sport In International Relations: A Case For Cross-Disciplinary Investigation”,

4.

62 Aaron Beacom, “Sport In International Relations: A Case For Cross-Disciplinary Investigation”,

(40)

27

terkait antara olahraga dan politik pada level yang berbeda. Ia mengidentifikasi adanya tema diskusi yang dimiliki olahraga sebagai kendaraan diplomasi, ideologi, pembentukan bangsa, akses arena internasional dan pemasukan komersil. Hal-hal tersebut merupakan contoh dari adanya hubungan implisit antara perkembangan dalam hubungan internasional dan olahraga yang bersifat saling berhubungan. 63

Adanya komersialisasi olahraga tidak semakin memisahkan politik dan olahraga namun sebaliknya, hal tersebut justru telah memperbanyak kemunculan agenda politik yang berbanding linier dengan kepentingan para politisi di bidang olahraga dan perkembangannya. Jika mengacu pada perspektif pluralis yang menjelaskan bahwa hubungan internasional dilihat dari adanya hubungan kompleks antara grup kepentingan yang berbeda, maka dalam kasus ini penjelasan tersebut direfleksikan melalui adanya pengaruh organisasi olahraga internasional di arena internasional yang seringkali mampu mendemonstrasikan kapasitas untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan pemerintah. Pergerakan olahraga yang semakin aktif baik dalam skala domestik hingga internasional telah menciptakan keadaan yang mana organisasi olahraga internasional dapat secara potensial memainkan peran proaktif dalam pembuatan keputusan dan dalam implementasinya. 64 Timbal balik hubungan antara olahraga dan hubungan internasional diinisiasi ketika olahraga mendapatkan popularitas tinggi sehingga kemudian memberi profit pada politisi yang terlibat bahkan olahraga dengan popularitas yang sangat tinggi di sebuah negara mampu mempengaruhi keputusan politisi.

63 Aaron Beacom, “Sport In International Relations: A Case For Cross-Disciplinary Investigation”,

4.

64 Aaron Beacom, “Sport In International Relations: A Case For Cross-Disciplinary Investigation”,

(41)

28

Peran kunci olahraga dalam hubungan internasional dapat pula berupa representasi kekuatan sebuah negara atau blok geopolitik untuk menunjukkan superioritasnya.65 Ketika melihat pada dimensi internasional, kompetisi atletis merupakan sebuah representasi dari kompetisi antarnegara. Kepentingan politik dapat dicapai oleh negara dengan cara berpartisipasi dalam sebuah kompetisi olahraga. Hal tersebut menjadi poin vital bagi negara yang baru merdeka untuk mendapat rekognisi internasional. Di lain sisi, mengundurkan diri dari sebuah kompetisi olahraga—boikot—dapat pula menjadi sebuah pesan implisit untuk mempengaruhi negara lain dalam menyampaikan kepentingan negara. 66 Pada akhirnya ignifikansi politik dalam olahraga dilihat dari adanya dua fakta yakni yang pertama karena popularitas olahraga yang menarik perhatian banyak orang sehingga memanfaatkan olahraga sebagai kendaraan politik menjadi masuk akal. Kedua, olahraga yang secara natural memiliki karakter kompetitif, secara sempurna menjadi arena adu superioritas negara terutama jika negara yang berpartisipasi sedang berkonflik satu sama lain dan tidak sedang diwujudkan dalam perang, sehingga kompetisi di arena olahraga dijadikan demonstrasi kekuatan negara. 67

65 Michał Marcin Kobierecki ,” Sport In International Relations Expectations, Possibilities And

Effects”, International Studies Interdisciplinary Political And Cultural Journal, Vol. 15, No. 1, 2013, 51.

66 Michał Marcin Kobierecki, “Sport In International Relations Expectations, Possibilities And

Effects”, 52.

67 Michał Marcin Kobierecki, “Sport In International Relations Expectations, Possibilities And

(42)

29

Tabel I.1 Hubungan Olahraga dan Politik menurut Robert J. Paddick68

Type of relationship Alleged examples

Tool for diplomatic recognition 1. GDR diplomats in track suits 1960 2. Pingpong diplomacy (China-USA) Vehicle of ideology and propaganda 1. 1936 Olympics

2. USA and USSR in early Olympics

Focus for publicity 1. Staging Olympics

Source of prestige 1. Olympic victories Kenya2. World Cup winning Uruguay 3. GANEFO Indonesia

Release of aggressive tendencies 1. USSR-USA Development of mutual understanding 1. USSR-USA

2. Australia-England

Means of protest 1. Boycott: Moscow Olympics2. USSR track meet withdrawal

3. Demonstrations: Black Power Salutes, Mexico Olympics

Development of conflict (aggression) 1. Honduras-El Salvador Football War1969 2. England-Australia cricket

Political education 1. Growth of sport metaphor

Development of national consciousness 1. Sport in: Africa, South East Asia, Cuba

Unification 1. Asian Games

Social control 1. Athletics in USA

2. Sport for all

Government funding 1. Various countries

Politicians as fans and/or athletes 1. President Nixon

Ketika suatu olahraga mencapai titik popularitas tertinggi, maka olahraga tersebut memainkan peran signifikan dalam propaganda dan dalam mengubah tatanan

68Robert J. Paddick, “ Sport And Politics: The (Gross) Anatomy

(43)

30

hubungan internasional terutama selama era Perang Dingin, yang mana peran olahraga menjadi alat yang sangat penting dalam hubungan internasional. Kobierecki mengatakan bahwa meskipun pada saat ini tatanan dunia sedang dalam keadaan multilateral yang mengurangi kutub-kutub kekuatan dunia dan keinginan untuk berperang, namun signifikansi peran olahraga sebagai kendaraan politik akan terus bertahan karena adanya kepentingan politik yang diwujudkan dalam olahraga.69 Singkatnya olahraga telah menjadi alat diplomatik yang

digunakan oleh pemerintah dalam berbagai wujud seperti boikot dan propaganda olahraga untuk mencapai tujuan politik. 70

Tidak semua duel antar negara yang diwujudkan melalui olahraga belum tentu menjadi representasi penggunaan olahraga sebagai kendaraan politik. Pada studi literatur mengenai interrelasi olahraga dan politik, contoh yang diambil adalah mengenai Olimpiade yang dijadikan ajang propaganda oleh Soviet dan AS selama Perang Dingin dan Piala Dunia yakni sebuah turnamen sepak bola global yang memiliki partisipan dari seluruh dunia. Skala kompetisi olahraga adalah faktor penentu signifikansi penggunaan olahraga sebagai wadah untuk unjuk diri negara dan menjadi kendaraan politik—semakin besar skala sebuah kompetisi olahraga, semakin signifikan dan krusial peran kompetisi tersebut bagi sebuah negara. Roche dalam bukunya yang berjudul Mega Events Modernity mendefinisikan MSE sebagai sebuah kompetisi berskala internasional yang memiliki daya tarik, sarat kepentingan dan memastikan adanya signifikansi internasional.71 MSE juga

69Robert J. Paddick, “ Sport And Politics: The (Gross) Anatomy Of Their Relationships”, 71. 70 Jon Theis Eden, “Soccer and International Relations: Can Soccer Improve International

Relations?”, 12.

71 Airton Saboya Valente Junior, “Mega Sporting Events and Legacy: The Case of the 2014 World

(44)

31

dapat didefinisikan sebagai sebuah kompetisi internasional yang diadakan di satu kota atau tersebar di sebuah negara sebagai tuan rumah kompetisi yang memiliki jumlah partisipan dan penonton yang tinggi dan dapat menarik media. MSE mengandung banyak aspek dalam pelaksanaannya seperti aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, image-building, rekognisi internasional dan sebagainya. Dunia olahraga yang semakin kompleks dan global memakai MSE sebagai kendaraan propaganda untuk mendemonstrasikan kekuatan fisik, ekonomi, militer dan superioritas budaya sistem politik sebuah negara guna mendapatkan rekognisi dan meningkatkan prestis nasional. 72 Fitur MSE selain dapat menarik penikmat internasional juga dapat memberi efek pada tuan rumah kompetisi. Tuan rumah kompetisi dapat memproyeksikan gambaran budaya, kekuatan ekonomi dan politik domestik yang ingin ditunjukkan kepada dunia internasional melalui MSE. Oleh karena itu MSE adalah kendaraan yang digunakan untuk memperkuat soft power negara tuan rumah.73

Toby Charles Rider menegaskan bahwa olahraga menyajikan duel unik tersendiri antara AS dan Soviet selama Perang Dingin. Kompetisi olahraga global seperti Olimpiade dianggap menjadi arena duel kasat mata antara atlet AS dan Soviet untuk berkompetisi dalam sebuah symbolic combat74 . Peter Beck juga memberikan komentar tambahan bahwa selama Perang Dingin, olahraga menyajikan sebuah arena pertarungan sehingga superioritas bukanlah sekedar abstraksi untuk menggambarkan posisi dan kekuatan negara melainkan realita

72 Chien-Yu Lin 1, Ping-Chao Lee & Hui-Fang Nai, “Theorizing the Role of Sport in

State-Politics”, National Taiwan Sport University, Taichung, Taiwan, 2008, 28-9.

73 Airton Saboya Valente Junior, “Mega Sporting Events and Legacy: The Case of the 2014 World

Cup”, 2.

(45)

32

yang bisa dilihat di atas lapangan pertandingan yang didemonstrasikan secara jelas dan berulang-ulang.75 Olahraga internasional pasca 1945, ketika dihadapkan pada kompetisi yang melibatkan duel antara atlet Timur melawan atlet Barat, memiliki kesan politis yang ditambahkan ke dalam setiap permainan. Ronnoe Kowalski, Dilwyn Porter dan Peter Beck telah mendemonstrasikan interaksi sepak bola selama awal era Perang Dingin antara Inggris dan negara-negara Komunis yang merepresentasikan lebih dari sekedar usaha peaceful coexistence76 karena mereka juga melihat bahwa setiap permainan adalah berarti adanya pula kesempatan untuk membuktikan vitalitas nasional.

I.4.6 Intervensi Negara terhadap INGSO sebagai Intervensi Legal dan Politik

Intervensi negara terhadap INGSO dapat diaktualisasikan secara bertahap melalui dua aspek: 1) aspek legal; dan 2) aspek politik. Aspek legal intervensi dapat diwujudkan melalui celah-celah INGSO seperti inakuntabilitas organisasi, mismanajemen, pelanggaran hukum dan etika serta praktik bad governance. Jika organisasi melakukan kesalahan dalam salah satu atau gabungan dari beberapa celah yang telah disebutkan, misal: melakukan praktik bad governance dengan menyalahi tujuan organisasi; melakukan pelanggaran hukum yurisdiksi negara pemilik yurisdiksi; dan/atau melakukan pelanggaran otonomi atau gagal mewujudkan self-regulated, maka sebuah negara—baik negara basis maupun negara yang yurisdiksinya telah dilanggar—bisa melakukan intervensi tanpa melanggar aturan-aturan hukum internasional. Seperti yang telah dijabarkan di

75 Toby Charles Rider, “The Olimpiade and the Secret Cold War: The U.S. Government and the

Propaganda Campaign Against Communist Sport, 1950-1960”, 13.

76 Teori yang dikembangkan dan diaplikasikan oleh Uni Soviet pada beberapa poin selama Perang

(46)

33

(47)

34

Visualisasi kerangka pemikiran kasus intervensi negara terhadap INGSO

I.5 Hipotesis

Motif utama intervensi AS dalam skandal FIFA secara umum karena: 1) praktik bad governance laten FIFA yang menunjukkan adanya pelanggaran area

(48)

35

I.6 Metodologi Penelitian

I.6.1 Definisi dan Operasionalisasi Konsep

I.6.1.1 Pelanggaran Yurisdiksi

Yurisdiksi adalah kekuasaan untuk mengadili atau menghakimi suatu wilayah yurisdiksi. Yurisdiksi berasal dari bahasa latin ius, iuris yang berarti hukum dan dicere yang berarti berbicara.77 Konsep yurisdiksi memiliki hubungan erat dengan kedaulatan negara atau aktor lain yang memiliki klaim yurisdiksi terhadap wilayah yurisdiksi. Wilayah yurisdiksi negara dapat berupa teritori atau segala yang berkaitan dengan label kenegaraan seperti kebangsaan individu atau sistem finansial. 78 Wilayah yurisdiksi masuk ke dalam hukum yurisdiksi yang bersifat mengikat dan harus dipatuhi. Sehingga yang dimaksud dengan pelanggaran yurisdiksi adalah ketidakpatuhan suatu pihak terhadap hukum yurisdiksi atau penyalahgunaan aturan hukum yurisdiksi.Yurisdiksi dapat bersifat ekstrateritori dan diadili dengan menggunakan law enforcement yakni hukum yurisdiksi untuk mengadili pelaku yang berada di luar teritori pemilik hukum yurisdiksi.79 Pelanggaran yurisdiksi yang akan di bahas dalam penelitian ini terkait dengan pelanggaran FIFA terhadap yurisdiksi AS yakni pelanggaran terhadap sistem finansial AS dan teritori AS.

I.6.1.2 Bad governance

governance dapat didefinisikan sebagai pembuatan dan implementasi aturan, serta

aplikasi kekuatan dalam sebuah domain aktivitas. Governance berkaitan dengan

(49)

36

akuntabilitas suatu entitas sebagai aktor pelaku governance yang harus patuh pada aturan-aturan good governance sehingga entitasnya dapat dikatakan akuntabel, sehingga yang dikatakan inakuntabilitas adalah ketidakmampuan entitas untuk mematuhi aturan entitas. Global governance merujuk kepada pembuatan aturan dan aplikasi kekuatan dalam skala global. Pemerintahan global dapat diaplikasikan oleh negara, organisasi relijius, korporasi bisnis dan organisasi non pemerintah.80 Karena tidak adanya pemerintah global, maka pemerintahan global meliputi interaksi strategis di antara entitas yang tidak dibentuk dalam hierarki formal. Bad governance dalam kasus ini berkaitan dengan praktik kriminal FIFA seperti korupsi, penipuan, suap, jual-beli suara dan lain lain sehingga FIFA menjadi sebuah organisasi yang dikatakan tidak akuntabel yang kemudian merujuk pada inakuntabilitas FIFA.

I.6.1.3 Persaingan Prestis Negara

Prestis didefinisikan sebagai sebuah kepercayaan bahwa individu/kelompok memiliki kualitas yang baik dan layak ditunjukkan. Pencarian prestis membutuhkan strategi baik membentuk kerjasama dengan pihak yang memiliki kualitas tinggi maupun dengan bersaing dengan pihak tersebut untuk mendapatkan prestis.81 Joslyn Barnhart mengatakan bahwa perilaku negara dalam berkompetisi seringkali didasarkan pada pencarian prestis sehingga kekalahan negara dalam kompetisi internasional juga berarti tereduksinya bahkan hilangnya prestis negara. Menurut Barhnart pencarian prestis dianggap penting dan

80 Roger Pielke Jr., “How can FIFA be held accountable?”,

Center for Science and Technology Policy Research, University of Colorado, United States, 2013, 256

(50)

37

merupakan salah satu motif interaksi negara dalam hubungan internasional. 82 Persaingan prestis yang menjadi fokus penelitian ini adalah tendensi AS-Rusia di bidang olahraga yang telah berlangsung selama era Perang Dingin dan muncul kembali ke permukaan sejak Putin menjadikan olahraga sebagai salah satu kebijakan negara dan sejak kedua negara kembali bersaing untuk menjadi tuan rumah kompetisi-kompetisi olahraga global. Kali ini persaingan prestis ditujukan pada konflik eksplisit kedua negara terkait hak tuan rumah Piala Dunia 2018 yang didapatkan Rusia pada tahun 2010 lalu.

I.6.2 Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatif karena penelitian digunakan untuk mencari penjelasan atas suatu fenomena, permasalahan dan perilaku objek yang menjadi sasaran observasi dan analisis. Penelitian ini difokuskan pada pencarian sebab terjadinya suatu masalah melalui penghubungan variabel.

I.6.3 Ruang Lingkup dan Jangkauan Penelitian

Jangkauan penelitian yang digunakan adalah sejak bulan Desember tahun 2010 hingga Juni tahun 2016 dengan mempertimbangkan berbagai alasan. Tahun 2010 dipilih oleh peneliti sebagai awal periode penelitian karena pada bulan Desember tahun 2010, FIFA mengadakan voting pemilihan tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022 yang kala itu menghasilkan kemenangan Rusia dan Qatar dan kekalahan AS. Sedangkan Juni 2016 dipilih oleh peneliti sebagai akhir batas penelitian karena kala itu FIFA telah melakukan pemilihan presiden baru pasca mundurnya Sepp Blatter sebagai tanda dimulainya era baru FIFA dan karena data terakhir

82 Joslyn N. Barnhart, “Prestige, Humiliation and International Politics”, University of California,

Gambar

Gambar III.2 Qatar terpilih menjadi tuan rumah PD 2022
Gambar I.1 Hotel tempat pertemuan sekaligus penangkapan petinggi FIFA 4
Gambar I.2 Penangkapan petinggi FIFA di Zurich9
Grafik I.1 Olahraga favorit di Amerika 1985-201419
+5

Referensi

Dokumen terkait

• Kitab Suci kelompok pertama adalah ucapan budha sendiri, dan kelompok yang lain ajaran orang lain.. Budha Terawada dan Mahayana memiliki kitab

a) Jika peserta didik dapat membaca dengan makhraj dan tajwid dengan benar, skor 100. b) Jika peserta didik dapat membaca dengan makhraj dan tajwid kurang sempurna, skor 75. c)

Studi kasus maksimasi fungsi sederhana diberikan untuk memperjelas beberapa tahapan dalam penyelesaian masalah menggunakan GAs yang meliputi inisialisasi chromosome,

Dari pelaksanaan kegiatan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL), maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan PPL dapat memberikan pengalaman kepada mahasiswa dalam

DAFTAR PESERTA DUTA BAHASA SUMATERA UTARA 2018 YANG MENGIKUTI SELEKSI TAHAP

Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 53 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan

Pasangan yang menikah atas keinginan sendiri yang memiliki persiapan pernikahan yang cukup dan mantap akan lebih baik dalam penyesuaian pernikahan jika dibandingkan

Koefisien variabel Peranan BUMG mempunyai pengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan petani padi sawah di Gampong Pulo Dayah Kecamatan Glumpang Tiga Kabupaten