• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. Employee Engagement 1. Definisi Employee Engagement - Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan Employee Engagement

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. Employee Engagement 1. Definisi Employee Engagement - Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan Employee Engagement"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Employee Engagement

1. Definisi Employee Engagement

Robertson dan Cooper (2010) mengatakan bahwa masih terdapat ketidakjelasan definisi dan pengukuran engagement. Robinson et al (2004) mengatakan bahwa engagement didefinisikan dan diukur dengan berbagai cara dan seringkali disamakan dengan konsep organizational commitment dan

organizational citizenship behavior. May, Gilson, dan Harter (2004) mengatakan bahwa engagement juga sering diasosiasikan dengan konsep job involvement dan

flow.

Salah satu tantangan yang harus dihadapi dalam penelitian tentang

engagement adalah tidak adanya definisi yang universal tentang employee engagement (Kular, Gatenby, Rees, Soane & Truss, 2008). Kahn sebagai tokoh pertama yang mengemukakan engagement, mengatakan engagement sebagai penguasaan karyawan sendiri terhadap peran mereka dalam pekerjaan; dalam

(2)

merupakan sebuah kehadiran psikologis saat bekerja, ia tidak membuat definisi operasional terhadap engagement (Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker, 2002).

Rothbard (2001) memperluas definisi Kahn dengan mendefinisikan

engagement sebagai sebuah kehadiran psikologis yang terdiri dari dua dimensi yakni atensi dan absorpsi. Atensi mengacu pada ketersediaan kognitif dan sejumlah waktu yang dihabiskan untuk memikirkan sebuah peran. Sedangkan absorpsi bermakna menjadi tertarik pada sebuah peran dan mengacu pada intensitas fokus seseorang pada sebuah peran.

Konrad (2006) mengatakan bahwa engagement memiliki tiga komponen yang berhubungan yakni aspek kognitif, emosional, dan perilaku. Aspek kognitif meliputi keyakinan pekerja tentang organisasi, pemimpin, dan kondisi kerja. Aspek emosional fokus pada bagaiman perasaan pekerja terhadap organisasi, pemimpin dan kondisi kerjanya serta sejauh mana sikap mereka (positif atau negatif) terhadap organisasi dan pemimpin mereka. Aspek perilaku adalah komponen nilai tambah bagi organisasi dengan adanya discretionary effort yang membuat mereka memberikan waktu ekstra, kekuatan otak dan energi yang dikhususkan untuk tugas dan perusahaan.

Definisi engagement yang lebih luas dan lebih sering dipakai dalam riset

engagement dikemukakan oleh Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (Albrecht, 2010; Lee, 2012). Schaufeli et al (2002) medefinisikan engagement

(3)

membedakan engagement dari konstruk-konstruk yang berhubungan dimana mereka mengatakan bahwa engagement merupakan keadaan pikiran dan perasaan yang lebih persisten dan menyeluruh, tidak hanya fokus pada objek, kejadian, individu atau perilaku tertentu (Schaufeli et al, 2002).

Kekuatan mengacu pada tingkat energi dan resiliensi mental yang tinggi ketika sedang bekerja, kemauan berusaha sunguh-sunguh dalam pekerjaan dan gigih dalam menghadapi kesulitan. Dedikasi mengacu pada perasaan yang penuh makna, antusias, inspirasi, kebanggaan dan tantangan. Absorpsi dikarakteristikkan dengan konsentrasi penuh, minat yang mendalam terhadap pekerjaan dimana waktu terasa berlalu begitu cepat dan sulit melepaskan diri dari pekerjaan.

Berdasarkan uraian di atas maka definisi engagement adalah keadaan motivasional yang postitif dan memunculkan pemenuhan diri yang dikarakteristikkan dengan kekuatan , dedikasi dan absorpsi.

2. Aspek-Aspek Engagement

Aspek-aspek yang membangun dimensi engagement menurut Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (2002) adalah:

a. Kekuatan

(4)

rendah pada aspek kekuatan memiliki tingkat energi, semangat dan stamina yang rendah saat bekerja (Schaufeli dan Bakker, 2003).

b. Dedikasi

Mengacu pada perasaan yang penuh makna, antusias, inspirasi, kebanggaan dan tantangan. Individu yang memiliki skor tinggi pada aspek dedikasi secara kuat mengidentifikasikan diri dengan pekerjaan karena adanya pengalaman bermakna, menginspirasi dan menantang. Selain itu mereka selalu antusias dan bangga dengan pekerjaan mereka sedangkan individu dengan skor rendah tidak mengidentifikasikan diri dengan pekerjaan mereka karena mereka tidak memiliki pengalaman yang bermakna, menginspirasi dan menantang. Selain itu mereka tidak antusias dan bangga dengan pekerjaan mereka (Schaufeli dan Bakker, 2003). c. Absorpsi

(5)

3. Teori yang Mendasari Engagement

Albrecht (2010) mengatakan ada beberapa teori yang dapat menjelaskan engagement, diantaranya adalah:

a. Job demand-resource theory (JD-R)

Asumsi dasar dari model JD-R adalah bahwa setiap pekerjaan mempunyai faktor resiko tersendiri yang biasanya berhubungan dengan stres dan faktor ini diklasifikasikan dalam 2 kategori yakni tuntutan pekerjaan (job demand) dan sumber daya kerja (job resource). Tuntutan pekerjaan merujuk pada aspek fisik, sosial maupun psikologis dari pekerjaan yang membutuhkan usaha fisik, psikologis maupun keterampilan tertentu. Sumber daya kerja merujuk pada semua aspek fisik, psikologis maupun sosial dalam organisasi yang dapat mendukung penyelesaian tugas, mereduksi tuntutan pekerjaan,dan menstimulasi adanya pembelajaran dan pengembangan personal. Sumber daya kerja dapat mendorong munculnya motivasi intrinsik maupun ekstrinsik karena tersedianya sumber yang mendukung untuk penyelesaian tugas (Bakker & Demerouti, 2007).

Asumsi kedua adalah ada dua proses yang bertolak belakang yang mendasarinya yakni health impairement process dan motivational process. Dalam

(6)

Asumsi ketiga adalah kekurangan sumber daya kerja, misalnya kurangnya dukungan sosial dan sedikitnya kontrol, berhunbungan dengan kelelahan dan

burnout yang mengarah pada penurunan tingkat engagement (Bakker & Demerouti, 2007).

b. Social exchange theory (SET)

Menurut Saks (2006) dasar teoritis yang paling rasional dalam menjelaskan engagement adalah teori pertukaran sosial (social exchange theory). Saks (2006) mengatakan bahwa bedasarkan teori pertukaran sosial, kewajiban dihasilkan oleh serangkaian interaksi timbal balik antara pihak-pihak yang berkaitan. Prinsip dasar dari teori pertukaran sosial ini adalah sebuah hubungan akan berkembang dengan adanya saling percaya, kesetian dan komitmen sepanjang pihak yang terlibat mematuhi aturan pertukaran yang sudah dibuat. Aturan yang dibuat biasanya melibatkan pembayaran timbal balik misalnya, ketika karyawan menerima sumber ekonomi dari organisasi maka mereka akan berkewajiban untuk membalas organisasi misalnya dengan lebih engaged

terhadap pekerjaan mereka.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Engagement

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi engagement antara lain: a. Karakteristik Pekerjaan (Job Characteristic)

(7)

keterampilan, kebebasan mengambil keputusan sendiri dan kesempatan untuk membuat suatu kontribusi yang penting.

b. Perceived Organizational Support (POS) dan Perceived Supervisor Support (PSS)

Salah satu aspek penting yang mempengaruhi rasa psychological safety

karyawan adalah sejauh mana dukungan dan kepedulian yang dirasakan oleh karyawan yang diberikan baik oleh organisasi maupun atasannya (Saks, 2006). POS mengacu pada keyakinan umum karyawan bahwa organisasi menilai kontribusi mereka dan peduli terhadap kesejahteraan mereka. Dukungan organisasi yang dirasakan oleh karyawan akan membuat karyawan merasa bernilai. Robinson et al. (2004) mengatakan bahwa faktor pendorong yang paling kuat munculnya engagement adalah perasaan bernilai dan dilibatkan. Berdasarkan teori pertukaran sosial, POS menciptakan sebuah kewajiban karyawan untuk peduli terhadap kesejahteraan organisasi dan membantu organisasi mencapai tujuannya (Rhoades, Eisenberg & Armeli, 2001). PSS juga merupakan prediktor penting munculnya engagement. Maslach, Schaufeli & Leiter (2001) mengatakan kurangnya dukungan atasan menjadi faktor penting munculnya burnout.

c. Reward and Recognition

(8)

ketika karyawan menerima reward dan penghargaan dari organisasinya, mereka akan merasa berkewajiban untuk meresponnya dengan meningkatkan tingkat engagement mereka, sesuai dengan teori pertukaran sosial.

d. Distributive dan Procedural Justice

Distributive justice merupakan persepsi terhadap keadilan sebuah keputusan sedangkan procedural justice merupakan persepsi keadilan terhadap proses yang digunakan dalam menentukan dan mendistribusikan

resource yang ada. Ketika karyawan memiliki persepsi yang positif terhadap keadilan dalam organisasi mereka, mereka akan lebih merasa wajib untuk juga berlaku adil dengan lebih engaged terhadap organisasi mereka (Saks, 2006).

e. Image

Tingginya tingkat engagement karyawan tidak lepas dari tingginya tingkat

engagement konsumen terhadap perusahaan. Dengan kata lain, image

perusahaan di mata konsumen mempengaruhi tingkat engagement

karyawan (Vazirani, 2007). f. Pay dan Benefits

Perusahaan sebaiknya memiliki sistem penggajian sehingga karyawan termotivasi dalam bekerja. Dalam rangka mendorong engagement

(9)

g. Health and Safety

Penelitian telah mengindikasikan bahwa tingkat engagement rendah jika karyawan merasa tidak aman ketika bekerja. Oleh sebab itu, organisasi seharusnya membuat metode dan sistem yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan karyawan (Vazirani, 2007).

h. Job Satisfaction

Hanya karyawan yang puas yang dapat menjadi karyawan yang engaged. Oleh sebab itu, sangat penting bagi organisasi untuk melihat pekerjaan yang diberikan kepada karyawan dan membuat suatu tujuan karir dimana hal yersebut akan membuat mereka menikmati pekerjaan mereka dan otomatis akan puas dengan pekerjaannya (Vazirani, 2007).

i. Job Resource

Job resource seperti dukungan sosial dari rekan kerja dan atasan, umpan balik, variasi keterampilan, otonomi dan learning opportunities secara positif berhubungan dengan engagement (Bakker dan Demerouti, 2008) . j. Personal Resource

Bakker dan Demerouti (2008) mengatakan bahwa karyawan yang engaged

pada umumnya memiliki karakteristik seperti optimisme, efikasi diri, resiliensi dan active coping style yang membantu mereka untuk mengontrol lingkungannya dan dampaknya dengan baik.

k. Usia, jabatan, status pekerja dan masa kerjaloiol

(10)

dimana karyawan dengan usia yang lebih tua cenderung lebih engaged. Hasil survei juga menemukan bahwa jabatan juga berkorelasi positif dengan tingkat engagement dimana karyawan dengan jabatan yang lebih tinggi dan kekuasan yang besar cenderung lebih engaged. Menurut Robinson et al (2004) status karyawan mempengaruhi tingkat engagement karyawan dimana karyawan dengan status sebagai karyawan tetap akan cenderung lebih engaged. Robinson et al (2004) juga mengatakan bahwa tingkat engagement karyawan akan semakin menurun seiring dengan bertambahnya masa kerja.

B. Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) 1. Pengertian Persepsi

Robbins (1998) mengatakan persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera agar memberi makna pada lingkungan. Lebih lanjut, Robbins (2002) menyatakan bahwa persepsi adalah cara individu atau kelompok dalam memandang sesuatu. Persepsi seseorang terhadap suatu realitas akan mendasari perilaku seseorang. McShane & Glinow (2003) mengatakan persepsi adalah proses memilih, mengorganisasikan dan menginterpretasikan informasi dalam rangka memberi makna terhadap lingkungan

(11)

kemampuan berpikir, dan pengalaman-pengalaman yang tidak sama menyebabkan timbulnya perbedaan persepsi terhadap stimulus atau objek yang sama.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah proses mengorganisasikan, menafsirkan dan memberi makna pada lingkungan yang kemudian dapat mempengaruhi perilaku yang muncul.

2. Aspek - Aspek Persepsi

Aspek-aspek persepsi menurut Mc Dowwell & Newel (1996) adalah: a. Kognisi : cara berpikir, mengenali, memaknai dan memberi arti suatu

rangsang yaitu pandangan individu berdasarkan informasi yang diterima oleh panca indera, pengalaman atau yang pernah dilihat dalam kehidupan seharihari.

b. Afeksi : cara individu dalam merasakan, mengekspresikan emosi terhadap rangsang berdasarkan nilai-nilai dalam dirinya yang kemudian mempengaruh persepsinya.

3. Pengertian Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

Pasal 9 Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Mengenai Tenaga Kerja yang menyatakan bahwa “Setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan, kesehatan, pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia dan moral

agama”. Untuk mewujudkan perlindungan tenaga kerja tersebut maka pemerintah

(12)

Berdasarkan ketentuan tersebut maka dikeluarkanlah Undang-Undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, sebagai pengganti peraturan perundangan di bidang keselamatan kerja yang telah ada sebelumnya yaitu Veilegheids Reglement Stbl. No. 406 tahun 1910, yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kemajuan dan perkembangan masalah ketenagakerjaan. Walaupun namanya Undang-Undang tentang keselamatan kerja, namun cakupan materinya termasuk pula masalah kesehatan kerja, karena keduanya tidak dapat dipisahkan, jika keselamatan kerja sudah terlaksana dengan baik maka kesehatan kerja pun akan tercapai (Husni, 2001).

Menurut UU Kesehatan Tahun 1992 Pasal 23 Kesehatan Kerja adalah suatu upaya penyesuaian antara kapasitas kerja dan lingkungan kerja,agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat sekelilingnya sehingga diperoleh produktivitas kerja yang optimal.

Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah program yang dibuat bagi pekerja maupun pengusaha sebagai upaya pencegahan (preventif) timbulnya kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja, dan tindakan antisipatif bila terjadi hal demikian (Argama, 2006).

(13)

Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik pengertian bahwa kesehatan dan keselamatan kerja adalah program yang penerapannya berguna untuk mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan fisik.

4. Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

Lahey (2007) mendefinisikan persepsi sebagai pemberian arti stimulus yang berbeda dan mempunyai arti yang menimbulkan kesadaran, arti yang diberikan individu terhadap suatu stimulus berdasarkan cara orang tersebut mempolakannya. Persepsi juga dapat didefinisikan sebagai proses organisasi dan interpretasi informasi yang diterima dari dunia luar.

Persepsi terhadap program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah pandangan karyawan terhadap apa yang diberikan perusahaan yang bertujuan supaya karyawan terjaga dan terjamin keselamatan dan kesehatan kerjanya sebagai bentuk komitmen organisasi terhadap kesejahteraan karyawan. Persepsi disini tidak lepas dari respon kognitif yang mana suatu bentuk usaha untuk memahami pertama apa yang dipikirkan orang sewaktu mereka dihadapkan pada stimulus persuasif, dan kedua bagaimana pikiran serta proses kognitif yang berkaitan menentukan apakah mereka mengalami perubahan sikap dan sejauh mana perubahan itu terjadi .

(14)

Miner (1992) mengemukakan beberapa aspek kesehatan dan keselamatan kerja, yaitu:

a. Pelatihan Keselamatan Kerja

Salah satu pendekatan yang paling penting untuk pencegahan kecelakaan kerja adalah melalui pelatihan. Program pelatihan untuk karyawan baru dan tidak terbiasa melakukan hal-hal yang termasuk dalam isi program keselamatan yang dipertimbangkan. Teknik yang dapat digunakan untuk pelatihan keselamatan misalnya ceramah, peragaan, film dan simulasi kecelakaan.

b. Kontes, Insentif dan Publisitas Keselamatan

(15)

Perancangan tempat kerja dan peralatan yang digunakan merupakan pendekatan utama untuk mencegah kecelakaan dan yang paling efektif. Peralatan/perlengkapan perlindungan diri atau Personal Protective Equipment (PPE) yang wajib disediakan oleh perusahaan kontraktor untuk semua karyawan : pakaian kerja, sepatu kerja, kacamata kerja, penutup telinga, sarung tangan, helm, masker, jas hujan, sabuk pengaman, tangga, dan P3K. Selain itu, hal lainyang perlu diperhatikan dalam pekerjaan konstruksi, yaitu lokasi pekerjaan dan merokok saat bekerja. Kebersihan tempat bekerja di kantor maupun di lokasi pekerjaan ikut menentukan hasil kerja bagi pekerja konstruksi. Perilaku merokok di lokasi pekerjaan beresiko mengakibatkan terjadinya kebakaran dan juga merugikan kesehatan.

d. Inspeksi dan Disiplin

Inspeksi dapat dilakukan oleh komite keselamatan atau oleh seseorang koordinator keselamatan, Inspeksi harus dilakukan secara teratur. Mathis dan Jackson (2003) mengatakan tahap-tahap investigasi tempat kecelakaan kerja antara lain, meninjau lokasi kecelakaan, mewawancarai pekerja dan saksi-saksi kejadian, membuat laporan dan membuat rekomendasi mengenai perubahan dan pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindai kecelakaan serupa.

e. Program Kesehatan

(16)

kesehatan. Usaha peningkatan kesehatan ini biasanya juga dibarengi dengan program promosi kesehatan dan program kesejahteraan karyawan yang dirancang untuk meningkatkan kesehatan karyawan sebelum muncul masalah, misalnya pemeriksaan kesehatan berkala. Program kesehatan juga dilakukan dengan pemberian jaminan terhadap pengobatan karyawan khususnya akibat kecelakaan kerja.

Aspek-aspek kesehatan dan keselamatan kerja di perusahaan tempat pengambilan data penelitian ini adalah:

a. Identifikasi sumber bahaya & pengendalian resiko

b. Pemantauan lingkungan kerja dan pengendalian ceceran air dan debu di tempat kerja

c. Indentifikasi pemeriksaaan kesehatan karyawan

d. Inspeksi lingkungan kerja (umum, khusus, dan tidak teratur) e. Pelatihan/simulasi tanggap darurat, peledakan, dan bencana f. Pemeriksaan peralatan tanggap darurat

g. penyuluhan/ceramah K3 dan sosialisasi kebijakan K3 h. Pembuatan/pembersihan rambu-rambu K3

i. Alat perlindungan diri (APD)

6. Tujuan Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Menurut Suma’mur (1989) tujuan kesehatan dan keselamatan kerja adalah

(17)

a. Melindungi karyawan atas hak keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas nasional.

b. Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada di tempat kerja c. Pemeliharaan sumber produksi dan mempergunakannya secara aman

dan efisien.

C. Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Kesela- matan Kerja (K3) dengan Employee Engagement

Siagian (1995) mengatakan bahwa dalam persepsi, apa yang dilihat seseorang belum tentu sama dengan fakta yang ada karena adanya motif atau keinginan yang berbeda pada setiap individu. Motif atau keinginan tersebut yang membuat dua individu dapat memandang suatu hal secara berbeda.

(18)

Dengan kata lain, persepsi positif karyawan terhadap lingkungan kerjanya yang aman dapat mendorong munculnya engagement karyawan dengan kepuasan kerja sebagai faktor penghubungnya.

Model Job Demand-Job Resource (JDR) menunjukkan bahwa tuntutan pekerjaan yakni kondisi fisik, psikologis, dan sosial lingkungan kerja dapat menjadi sumber stres bagi karyawan. Vazirani (2007) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi engagement karyawan adalah rasa aman dalam melakukan pekerjaan. Salah satu tujuan program K3 adalah untuk memberikan jaminan terhadap keselamatan karyawan (Suma’mur, 1989). Dengan adanya jaminan tersebut, karyawan akan lebih merasa aman ketika sedang bekerja sehingga dapat mendorong munculnya engagement karyawan.

Robinson et al (2004) mengatakan bahwa salah satu cara untuk membuat karyawan engaged adalah dengan menunjukkan bahwa organisasi peduli terhadap kesehatan dan kesejahteraan mereka dengan demikian akan muncul persepsi positif terhadap organisasi. Lebih jauh, Robinson et al (2004) mengatakan bahwa pengalaman saat bekerja seperti cidera dan kecelakaan kerja mempunyai efek signifikan terhadap tingkat engagement karyawan.

(19)

memunculkan persepsi positif terhadap organisasi dan mendorong munculnya

engagement karyawan.

Berdasarkan teori perceived organizational support (POS), engagement

karyawan dapat ditingkatkan dengan meningkatkan persepsi positif karyawan terhadap organisasi melalui pemberian dukungan dan kepedulian terhadap kesejahteraan karyawan (Saks, 2006). Lebih jauh, Saks (2006) mengatakan ketika karyawan meyakini bahwa organisasi mereka concern terhadap mereka dan peduli terhadap kesejahteraan mereka maka mereka akan berusaha untuk memenuhi kewajiban mereka terhadap organisasi dan mereka akan menjadi lebih engaged dan program K3 dapat menjadi sarana bagi organisasi untuk menunjukkan seberapa besar kepedulian organisasi terhadap kesehatan dan kesejahteraan karyawan.

Montero dan Araque (2009) mengatakan Corporate Social Responsibility

(CSR) adalah tanggung jawab sosial perusahaan sebagai tindakan sukarela untuk mengintegrasikan kepedulian sosial serta lingkungan dalam setiap pengambilan keputusan di organisasi dan salah satu fokus CSR ini adalah kesehatan dan keselamatan kerja (K3).

(20)

penilaian positif terhadap organisasi yang menunjukkan komitmen tinggi terhadap CSR. CSR yang dilaksanakan oleh organisasi menjadi suatu kebanggaan bagi pekerja dan ini tidak lepas dari pandangan positif masyarakat terhadap organisasi itu sendiri .

Vazirani (2007) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mendorong munculnya engagement karyawan adalah image organisasi. Pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan melalui manajemen K3 yang baik akan membentuk

image yang baik bagi organisasi. Dengan kata lain, program K3 dapat mempengaruhi persepsi positif karyawan terhadap organisasi dimana karyawan menunjukkan kebanggaannya terhadap organisasinya. Semakin baik program K3 maka semakin baik image organisasi di mata masyarakat dan semakin tinggi pula tingkat engagement karyawannya.

D. Hipotesis Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Hasil simulasi pada Gambar 4.8 menunjukkan drive shaft serat karbon/epoksi dengan variasi diameter tetapi dengan gaya dan arah torsi yang sama, apakah orientasi

Untuk pernyataan yang keempat “Anak-anak saya mempunyai sikap bertanggung jawab dari proses pendidikan formal” menunjukan bahwa dari keseluruhan informan penelitian

43 tahun 2007 dijelaskan bahwa pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban; (1) menjamin penyelenggaraan dan pengembangan perpustakaan di daerah, (2)

Tahapan pengujian faktor merupakan suatu tahapan yang digunakan untuk menguji faktor-faktor. Tahapan tersebut ditujukan untuk mengetahui faktor-faktor yang harus diamandemen,

Observasi dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung. Tahap ini yang melakukan observasi adalah guru kelas IV SD Negeri 2 Jatisari, observasi dilakukan

adanya pengaruh tidak langsung variabel efikasi diri (Xl) terhadap minat membuka usaha (y) melalui variabel motivasi berwirausaha (Z), di-. mana besar pengaruh tidak

Dengan penggunaan sistem informasi tersebut, bengkel mobil Rewwin Motor dapat mengelola hubungan dengan pelanggannya dan segala jenis masalah administrasi misalnya dalam

Sedangkan kecerdasan spiritual (SQ) adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah dalam setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat