• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan Employee Engagement

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan Employee Engagement"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PROGRAM

KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3) DENGAN

EMPLOYEE ENGAGEMENT

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persayaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

REBEKKA RISKI ANGGELINA BATUBARA

091301045

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan

sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan Employee Engagement

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh

gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi in saya kutip dari

hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan

norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi

ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang

dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Juli 2013

(3)

Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan Employee Engagement

Rebekka Riski Anggelina Batubara dan Vivi Gusrini R. Pohan

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara persepsi terhadap program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan employee engagement. Penelitian ini dilakukan pada 90 orang karyawan yang bekerja di sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non probability sampling yaitu dengan teknik purposive. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan skala. Engagement diukur dengan menggunakan Skala Employee Engagement (α = 0,899) dan persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) diukur dengan Skala Persepsi terhadap Program K3 (α = 0,890).

Hasil analisis data menggunakan metode korelasi Pearson Product Moment yang menghasilkan koefisien korelasi sebesar 0,205 dengan p = 0,026 (p<0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara persepsi terhadap program K3 dengan employee engagement yakni semakin positif persepsi terhadap program K3 maka semakin tinggi tingkat engagement

karayawan dan sebaliknya.

Implikasi dari penelitian ini adalah bahwa penilaian karyawan terhadap program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang dilaksanakan dalam organisasi dapat mempengaruhi tingkat engagement karyawan.

Kata kunci: employee engagement, persepsi, program kesehatan dan keselamatan

(4)

The Relationship between Perception of Occupational Health and

Safety Program and Employee Engagement

Rebekka Riski Anggelina Batubara and Vivi Gusrini R. Pohan

ABSTRACT

This study aims to examine the relationship between perception of Occupational Health and Safety Program and employee engagement. This research was involved of 90 employees who work in an oil palm plantation company. The sampling technique used was purposive sampling and data were collected by using scales. Engagement measured by using Employee Engagement Scale (α = 0,899) and perception of occupational health and safety program measured by using Perception of Occupational Health and Safety Program Scale (α = 0,890).

Data analysis by using Pearson Product Moment produced coeficient corelation 0,205 with p = 0,026. These results indicate that there is a positive relationship between employees perception of occupational health and safety program and employee engagement which is the increased of perception on the occupational helath and safety program, the higher the level of engagement and vice versa.

Implication of this study is that the appraisal of employee on occupational health and safety program are implemented in organization can effect the level of employee engagement.

Keywords: employee engagement, perception, occupational health and safety

(5)

KATA PENGANTAR

Segala pujian dan syukur hannya bagi-Mu ya Bapaku karena hanya

dengan berkat, kasih dan penyertaan-Mu saja saya dapat menyelesaikan penelitian

ini. Peneliti juga menyadari bahwa penelitian ini terwujud tidak lepas dari bantuan

dan dukungan dari banyak pihak. Pada kesempatan ini, peneliti ingin

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Vivi Gusrini Pohan, M.Sc, M.A selaku dosen pembimbing skripsi

peneliti yang telah meluangkan waktunya bagi peneliti selama proses

pembimbingan serta terima kasih atas bimbingan, arahan dan masukan

yang telah beliau berikan sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi

ini.

3. Bapak Zulkarnain, Ph.D dan Ibu Siti Zahreni, M.Psi selaku dosen

penguji yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji peneliti.

Terima kasih atas masukan dan saran yang Bapak dan Ibu berikan

kepada saya.

4. Keluarga peneliti, Bapak (S.R. Batubara) dan Mama (N. Harahap) yang

selalu setia mendoakan dan mendukung saya khususnya selama proses

pengerjaan skripsi ini. Terima kasih juga buat kakak saya, Kak Ida yang

menjadi tempat saya berdiskusi. Terima kasih atas bantuan dan

(6)

5. Ibu Ika Sari Dewi, S.Psi, Psikolog selaku dosen pembimbing akademik

peneliti yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada peneliti

selama menjalani masa perkuliahan.

6. Kelompok KTB peneliti, Yesyurun New Born (Kak Pipin, Rani Dian, Rani

Ketaren dan Reffoni) yang menjadi tempat saya curhat dan saling berbagi.

Sungguh bersyukur kita dapat dipersatukan dalam satu kelompok KTB.

7. Teman-teman saya, RanDi, Katriin, Lia, Ori, Tina, Susi, Holy, Repo,

RanKet dan Mayo yang selalu membantu, menyemangati serta menghibur

saya di tengah kesibukan kalian masing-masing. Terima kasih atas tawa

dan canda kalian selama ini. Trima kasih juga buat teman-teman

seperjuangan, angkatan 2009. Sungguh menyenangkan dapat menjadi

bagian dari angkatan 2009.

8. PT Perkebunan Nusantara III PKS Sei Daun yang telah menerima dan

mengijinkan saya melakukan penelitian. Terima kasih juga kepada staf dan

karyawan PT PN III PKS Sei Daun yang telah bersedia menjadi subjek

penelitian saya, secara khusus kepada Pak Manurung yang mendampingi

saya selama proses pengambilan data serta terima kasih atas masukan dan

diskusinya.

9. PT Tapian Nadenggan yang telah mengijinkan saya untuk melakukan

pengambilan data untuk uji coba alat ukur penelitian ini. Terima kasih

kepada seluruh staf dan karyawan PT Tapain Nadenggan yang telah

(7)

10.Semua pihak yang telah mendukung peneliti selama proses pengerjaan

skripsi ini, yang namaya mungkin tidak sengaja terlupakan oleh peneliti.

Peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Peneliti sadar bahwa penelitian ini jauh dari sempurna dan memiliki

kekurangan. Oleh sebab itu, peneliti sangat terbuka terhadap kritik, masukan, dan

saran yang membangun, yang dapat digunakan untuk perbaikan skripsi ini.

Medan, Juli 2013

(8)

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK

ABSTRACT

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ...viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian...9

1.Manfaat Teoritis...9

2.Manfaat Praktis...9

E. Sistematika Penulisan...9

BAB II LANDASAN TEORI A.Employee Engagement...11

1. Definisi Employee Engagement...11

2. Aspek-Aspek Employee Engagement...13

3. Teori yang Mendasari Employee Engagement...15

(9)

B.Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja

(K3)...20

1. Pengertian Persepsi...20

2. Aspek-Aspek Persepsi...21

3. Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)...21

4. Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)...23

5. Aspek-Aspek Kesehatan dan Keselamatan Kerja...24

6. Tujuan Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja..27

C.Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja dengan Employee Engagement...26

D.Hipotesis Penelitian...30

BAB III METODE PENELETIAN A.Identifikasi Variabel Penelitian...32

B.Defenisis Operasional...32

1. Employee Engagement...32

2. Persepsi terhadap Program K3...33

C.Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel...33

1. Populasi...33

2. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel...34

(10)

1. Skala Engagement...35

2. Skala Persepsi terhadap Program K3...38

E.Validitas, Uji Daya Beda dan Reliabilitas Alat Ukur...40

1. Validitas Skala...39

2. Uji Daya Beda...40

3. Reliabilitas...41

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur...42

1. Skala Engagement...42

2. Skala Persepsi terhadap Program K3...43

G. Prosedur Penelitian...44

1. Persiapan Penelitian...44

2. Uji Coba Alat Ukur...45

3. Pelaksanaan Penelitian...45

H. Metode Analisis Data...46

1. Uji Normalitas...46

2. Uji Linearitas...46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Subjek Penelitian...47

1. Gambaran Subjek Berdasarkan Masa Kerja...47

2. Gambaran Subjek Berdasarkan Pendidikan...48

(11)

1.Hasil Uji Asumsi...49

2.Hasil Utama Penelitian...51

3.Kategorisasi Hasil Penelitian...52

C. Hasil Tambahan...53

1. Gambaran Engagement Subjek Ditinjau dari Masa Kerja...53

2. Gambaran Engagement Subjek Ditinjau dari Pendidikan...54

3. Gambaran Engagement Subjek Ditinjau dari Usia...54

D. Pembahasan...54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan...60

B. Saran...61

1. Saran Metodologis...61

2. Saran Praktis...62

DAFTAR PUSTAKA...64

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Blue Print Skala Engagement... 37

Tabel 2 Blue Print Skala Persepsi terhadap Program K3...39

Tabel 3 Distribusi Aitem-aitem Skala Engagement setelah Uji Coba...42

Tabel 4 Distribusi Aitem-aitem Skala Persepsi tehadap Program K3 setelah Uji Coba...43

Tabel 5 Gambaran Subjek Berdasarkan Masa kerja...47

Tabel 6 Gambaran Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan...48

Tabel 7 Gambaran Subjek Berdasarkan Usia...49

Tabel 8 Hasil Uji Normalitas dengan One Sample Kolmogorov-Smirnov...50

Tabel 9 Hasil Uji Linearitas Persepsi terhadap Program K3 dengan Employee Engagement...51

Tabel 10 Hasil Uji Hipotesis dengan Pearson Product Moment...52

Tabel 11 Nilai Empirik dan Hipotetik Persepsi terhadap Program K3...52

Tabel 12 Kategorisasi Persepsi terhadap Program K3...53

Tabel 13 Nilai Empirik dan Hipotetik Employee Engagement...54

Tabel 14 Kategorisasi Tingkat Engagement Subjek...54

Tabel 15 Perbedaan Engagement Berdasarkan Masa Kerja...55

Tabel 16 Perbedaan Engagement Berdasarkan Pendidikan...56

(13)

Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan Employee Engagement

Rebekka Riski Anggelina Batubara dan Vivi Gusrini R. Pohan

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara persepsi terhadap program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan employee engagement. Penelitian ini dilakukan pada 90 orang karyawan yang bekerja di sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non probability sampling yaitu dengan teknik purposive. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan skala. Engagement diukur dengan menggunakan Skala Employee Engagement (α = 0,899) dan persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) diukur dengan Skala Persepsi terhadap Program K3 (α = 0,890).

Hasil analisis data menggunakan metode korelasi Pearson Product Moment yang menghasilkan koefisien korelasi sebesar 0,205 dengan p = 0,026 (p<0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara persepsi terhadap program K3 dengan employee engagement yakni semakin positif persepsi terhadap program K3 maka semakin tinggi tingkat engagement

karayawan dan sebaliknya.

Implikasi dari penelitian ini adalah bahwa penilaian karyawan terhadap program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang dilaksanakan dalam organisasi dapat mempengaruhi tingkat engagement karyawan.

Kata kunci: employee engagement, persepsi, program kesehatan dan keselamatan

(14)

The Relationship between Perception of Occupational Health and

Safety Program and Employee Engagement

Rebekka Riski Anggelina Batubara and Vivi Gusrini R. Pohan

ABSTRACT

This study aims to examine the relationship between perception of Occupational Health and Safety Program and employee engagement. This research was involved of 90 employees who work in an oil palm plantation company. The sampling technique used was purposive sampling and data were collected by using scales. Engagement measured by using Employee Engagement Scale (α = 0,899) and perception of occupational health and safety program measured by using Perception of Occupational Health and Safety Program Scale (α = 0,890).

Data analysis by using Pearson Product Moment produced coeficient corelation 0,205 with p = 0,026. These results indicate that there is a positive relationship between employees perception of occupational health and safety program and employee engagement which is the increased of perception on the occupational helath and safety program, the higher the level of engagement and vice versa.

Implication of this study is that the appraisal of employee on occupational health and safety program are implemented in organization can effect the level of employee engagement.

Keywords: employee engagement, perception, occupational health and safety

(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Karyawan sebagai sumber daya manusia merupakan aset paling penting

bagi sebuah perusahaan. Ketatnya persaingan global menuntut perusahaan harus

mampu bertahan dan tampil berbeda dengan perusahaan lain dan semua itu dapat

didukung dengan adanya sumber daya manusia (SDM) yang handal dan

kompeten. Menurut Fisher, Schoenfeldt, dan Shaw (2006), beberapa hal yang

dibutuhkan oleh organisasi untuk dapat bersaing adalah sumber daya fisik, sumber

keuangan, kemampuan marketing, dan sumber daya manusia (SDM).

Lebih jauh, Fisher et al (2006) mengatakan bahwa faktor SDM dan

bagaimana organisasi mengelolanya merupakan faktor yang paling potensial.

Faktor produksi, keuangan, teknologi, dan marketing cenderung mudah ditiru.

Dasar pengelolaan manusia sebenarnya juga dapat ditiru, namun strategi yang

paling efektif bagi organisasi dalam menemukan cara-cara yang unik untuk

menarik, mempertahankan, serta memotivasi karyawan mereka lebih sulit untuk

ditiru oleh yang lainnya.

Pentingnya keberadaan SDM mendorong perusahaan memberikan

perhatian khusus dalam pengelolaan SDM. Pengelolaan sumber daya manusia ini

dilakukan dalam suatu bentuk manajemen yang disebut dengan Human Resource

Management (Manajemen SDM). Besarnya peranan sumber daya manusia bagi

keberhasilan perusahaan menuntut perusahaan untuk dapat mencari dan

(16)

selain berusaha untuk mendapatkan karyawan yang kompeten melalui proses

seleksi, perusahaan juga berusaha untuk memelihara dan mempertahankan

karyawan terbaik yang mereka miliki agar tetap berada dalam perusahaan.

Holland, Sheehan & De Cieri ( (2007) mengatakan bahwa kebutuhan akan SDM

semakin meningkat sehingga argumen bahwa usaha dalam rangka menarik

perhatian dan mempertahankan karyawan penting untuk dipertimbangkan.

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa karyawan yang puas

terhadap organisasinya cenderung akan menunjukkan komitmen yang lebih tinggi

(Moynihan, Boswell & Boudreau, 2000; Warsi, Fatima dan Sahibzada, 2009;

Asikgil, 2011; Samad, 2011; Gharakhani & Eslami, 2012). Oleh karena itu,

organisasi berusaha untuk dapat mempertahankan karyawannya dengan

memperhatikan kesejahteraannya. Dengan demikian, yang menjadi tugas

perusahaan adalah mampu memotivasi dan menunjukkan sejauh mana dukungan

perusahaan terhadap karyawan sehingga karyawan akan memberi penilaian positif

bagi organisasi.

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa kondisi karyawan sangat

mempengaruhi perilaku kerja mereka. Salah satu trend topic yang sering

dibicarakan oleh para praktisi, konsultan organisasi dan peneliti beberapa tahun

terakhir ini adalah employee engagement (Saks, 2006 ; Attridge, 2009; Siddhanta

& Roy, 2010). Albrecht (2010) mengatakan bahwa engagement telah menjadi

salah satu konsep yang menarik perhatian baik bagi para praktisi maupun di

(17)

perhatian dalam dekade terakhir bagi komunitas pebisnis, konsultan perusahaan

dan praktisi. Akan tetapi, dalam komunitas akademis, konsep ini terbilang baru.

Lockwood (2007) mengatakan bahwa engagement kini hadir sebagai

faktor penentu keberhasilan bisnis ditengah pasar yang semakin kompetitif. Lebih

jauh dijelaskan bahwa engagement dapat menjadi faktor penentu keberhasilan

sebuah organisasi. Selanjutnya, Mathapati (2012) mengatakan bahwa sekarang

kebanyakan organisasi mulai menyadari bahwa bukan karyawan yang puas yang

terpenting dalam peningkatan loyalitas dan produktivitas. Akan tetapi, hanya

karyawan yang engaged yang secara intelektual dan emosional terikat dengan

organisasinya, bersemangat dan berkomitmen terhadap tujuan dan nilai-nilai

organisasi.

Menurut Kahn (1990) karyawan yang engaged secara sadar mengikat

dirinya dengan pekerjaannya, dan ketika mereka sudah terikat maka mereka

memperkerjakan dan mengekspresikan diri mereka secara fisik, kognitif dan

emosional selama pelaksanaan pekerjaann. Menurut Schaufeli, Salanova,

Gonzales-Roma, dan Bakker (2002) engagement adalah kondisi karyawan yang

ditandai dengan kekuatan, dedikasi dan absorpsi. Lebih jauh, dijelaskan bahwa

engagement merupakan keadaan pikiran dan perasaan yang lebih persisten dan

menyeluruh, tidak hanya fokus pada objek, kejadian, individu atau perilaku

tertentu. Kekuatan mengacu pada tingkat energi dan resiliensi mental yang tinggi

ketika sedang bekerja, kemauan berusaha sunguh-sunguh dalam pekerjaan dan

(18)

makna, antusias, inspirasi, kebanggaan dan tantangan. Absorpsi dikarakteristikkan

dengan konsentrasi penuh, minat yang mendalam terhadap pekerjaan.

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa engagement berpengaruh

positif terhadap peningkatan komitmen karyawan (Hallberg & Schaufeli, 2006),

in-role and extra-role behavior (Bakker, Demerouti & Verbeke, 2004) dan service

climate, employee performance, dan kesetiaan pelanggan (Salanova, Agut &

Peiro, 2005). Hasil riset Corporate Leader Council pada tahun 2005 menemukan

bahwa engagement menyumbang 40% terhadap peningkatan kinerja, 57% untuk

bekerja lebih keras, 80% untuk performa yang lebih baik dan 87% untuk

kemungkinan menetap dalam organisasi (CPID, 2009). Hasil survei CPID (2006)

juga menunjukkan bahwa karyawan yang engaged menunjukkan performa yang

lebih baik, lebih sering direkomendasikan, jarang absen dan tingkat keluar dari

organisasi yang lebih rendah.

Bertolak belakang dengan hasil di atas, survei juga menunjukkan bahwa

banyak karyawan yang tidak engaged. Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan Blessing White (2011) terhadap karyawan di Amerika Utara, Eropa,

India, Asia, Cina, Australia dan New Zealand ditemukan bahwa hanya 31%

karyawan yang engaged terhadap organisasinya. Hasil survei The Gallup

Organization (2004) menunjukkan bahwa tingkat engagement karayawan di

Australia sebesar 18%, China sebesar 12%, Jepang sebesar 9%, New Zealand

sebesar 17%, dan Singapura sebesar 9%.

Menurut The Gallup Organization (Blessing White, 2008) karyawan yang

(19)

per tahun. Menurut Wah (1999), berdasarkan survei yang dilakukan oleh lebih

dari 600 CEO di seluruh dunia, didapatkan bahwa usaha untuk membuat

karyawan menjadi engaged terhadap organisasi menjadi satu dari lima

permasalahan penting yang dihadapi oleh manajemen.

Hasil penelitian Saks (2006) menemukan bahwa salah satu faktor yang

dapat meningkatkan engagement adalah dengan meningkatkan penilaian

karyawan terhadap dukungan organisasi yang mereka terima (perceived

organizational support). Menurut Rhoades dan Eisenberger (2002) perceived

organizational support (POS) adalah keyakinan karyawan bahwa organisasi

memberi nilai terhadap kontribusi mereka dan peduli terhadap kesejahteraan

mereka. Saks (2006) juga mengatakan ketika karyawan meyakini bahwa

organisasi mereka concern terhadap mereka dan peduli terhadap kesejahteraan

mereka maka mereka akan berusaha untuk memenuhi kewajiban mereka terhadap

organisasi dan mereka akan menjadi lebih engaged.

Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan teori pertukaran sosial dimana ketika

karyawan merasakan adanya dukungan yang diberikan oleh organisasi maka kan

menimbulkan sebuah kewajiban bagi mereka untuk membalasnya (Saks, 2006).

Dengan kata lain, semakin besar dukungan organisasi yang dirasakan maka

semakin memunculkan kewajiban bagi karyawan untuk membalas dukungan

organisasi yang mereka terima.

Robinson, Perryman, dan Hayday (2004) mengatakan bahwa faktor

penggerak yang paling kuat munculnya engagement karyawan adalah perasaan

(20)

munculnya perasaan bernilai tersebut dapat melalui sejauh mana organisasi

concern terhadap kesehatan dan kesejahteraan karyawan.

Selanjutnya, Robinson et al. (2004) mengatakan bahwa pengalaman cidera

dan kecelakaan saat bekerja mempunyai dampak signifikan terhadap tingkat

engagement karyawan. Karyawan yang tidak memiliki pengalaman cidera ataupun

kecelakaaan saat bekerja relatif memiliki tingkat engagement yang lebih tinggi.

Penemuan tersebut mengindikasikan pentingnya tindakan pencegahan terjadinya

kecelakaan kerja serta kebutuhan akan kebijakan, praktik dan pendidikan

kesehatan dan keselamatan kerja.

Berdasarkan data dari Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (dalam

Bisnis Indonesia tanggal 1 Juni 2012), angka kecelakaan kerja di Indonesia pada

tahun 2011 tergolong masih tinggi, yakni mencapai 99.491 kasus. Tingginya

angka kecelakaan kerja di Indonesia salah satunya disebabkan oleh kurangnya

kesadaran perusahaan akan pentingnya implementasi Sistem Manajemen

Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3) dan performansi K3 (safety

performance) di lingkungan kerja.

Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3) merupakan

bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur

organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan

sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian,

pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam

rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya

(21)

Aplikasi SMK3 di organisasi dapat berbeda sejauhmana komitmen

organisasi itu sendiri terhadap topik kesehatan dan keselamatan kerja karyawan.

Komitmen yang tinggi terhadap kesehatan dan keselamatan kerja ditunjukkan

dengan adanya manajemen tersendiri yang mengatur kesehatan dan keselamatan

kerja atau yang lebih dikenal dengan Manajemen Kesehatan dan Keselamatan

Kerja. Akan tetapi, aplikasi SMK3 di organanisasi juga dapat dilaksanakan dalam

bentuk program atau yang lebih dikenal dengan program kesehatan dan

keselamatan kerja, selanjutnya disebut dengan program K3.

Perusahaan tempat pengambilan data penelitian ini merupakan sebuah

perusahaan perkebunan kelapa sawit. Dalam produksinya, perusahaan ini

melakukan pengolahan bahan baku kelapa sawit menjadi minyak kelapa sawit

(CPO) dan inti kelapa sawit (kernel). Oleh sebab itu, karyawan sangat sering

berhubungan dengan bahan-bahan kimia yang berbahaya yang dapat merusak

kesehatan serta lingkungan fisik yang rentan terhadap resiko kecelakaan. Untuk

dapat mengatasi resiko-resiko tersebut maka perusahaan menerapkan program K3

sebagai upaya untuk memberikan perlindungan bagi karyawannya.

Utari dan Margaretha (2011) mengatakan bahwa pelaksanaan K3 dalam

organisasi kini dijadikan sebagai strategi oleh banyak perusahaan untuk

menunjukkan kepada masyarakat bahwa perusahaan telah malaksanakan tanggung

jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Survei yang dilakukan

oleh Sirota Survey Intelligene (dalam Robertson, Smith & Marcwick, 2009)

menunjukkan bahwa 86% karyawan yang puas dengan komitmen organisasi

(22)

engagement yang tinggi dan memiliki pandangan positif terhadap integritas dan

ketertarikan organisasi terhadap kesejahteraan mereka. Dengan kata lain,

komitmen organisasi terhadap K3 dapat menimbulkan persepsi positif karyawan

terhadap organisasi yang kemudian dapat mendorong munculnya engegement

karyawan.

Levinson (2007) mengatakan ketika organisasi menunjukkan komitmen

mereka dalam hal peningkatan sumber daya manusia ataupun kondisi lingkungan

akan menciptakan makna dan nilai bagi karyawan dan hal ini dapat mendorong

munculnya engagement karyawan ketika mereka memahami bahwa komitmen

tersebut membuat suatu perbedaan dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa

komitmen terhadap tanggung jawab sosial perusahaan, salah satunya pelaksanaan

K3, dapat menimbulkan persepsi positif karyawan terhadap organisasi yang

kemudian dapat mendorong munculnya engagement karyawan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka rumusan

masalah dari penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara persepsi

karyawan terhadap program K3 dengan employee engagement?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi

(23)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberi manfaat dalam menambah

wawasan bagi pembaca mengenai Psikologi Industri dan Organisasi

khususnya mengenai employee engagement. Hasil penelitian ini juga

diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian-penelitian

selanjutnya yang berkaitan dengan employee engagement dan

Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis

antara lain:

a. Untuk mengetahui tingkat engagement karyawan

b. Untuk memberikan informasi mengenai persepsi karyawan terhadap

program Kesehatan dan Keselamatan Kerja dan keterkaitannya

dengan engagement.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, tujuan

(24)

Bab II Landasan teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari

masalah yang akan menjadi objek penelitian. Memuat

landasan teori tentang employee engagement,

persepsi dan implementasi K3. Bab ini juga

mengemukakan hipotesa sebagai jawaban sementara

terhadap masalah penelitian yang menjelaskan hubungan

antara persepsi terhadap program K3 dan employee

engagement.

Bab III Metode Penelitian

Bab ini menguraikan identifikasi variabel, definisi

operasional variabel, metode pengambilan sampel, alat

ukur yang digunakan, uji daya beda item dan reliabilitas

alat ukur serta metode analisa data yang digunakan untuk

mengolah hasil data penelitian.

Bab IV Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang disertai dengan

interpretasi dan pembahasan.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Bab ini menguraikan kesimpulan sebagai jawaban

permasalahan yang diungkapkan berdasarkan hasil

penelitian dan saran penelitian yang meliputi saran praktis

(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Employee Engagement

1. Definisi Employee Engagement

Robertson dan Cooper (2010) mengatakan bahwa masih terdapat

ketidakjelasan definisi dan pengukuran engagement. Robinson et al (2004)

mengatakan bahwa engagement didefinisikan dan diukur dengan berbagai cara

dan seringkali disamakan dengan konsep organizational commitment dan

organizational citizenship behavior. May, Gilson, dan Harter (2004) mengatakan

bahwa engagement juga sering diasosiasikan dengan konsep job involvement dan

flow.

Salah satu tantangan yang harus dihadapi dalam penelitian tentang

engagement adalah tidak adanya definisi yang universal tentang employee

engagement (Kular, Gatenby, Rees, Soane & Truss, 2008). Kahn sebagai tokoh

pertama yang mengemukakan engagement, mengatakan engagement sebagai

penguasaan karyawan sendiri terhadap peran mereka dalam pekerjaan; dalam

engagement, karyawan memperkerjakan diri mereka sendiri dan

mengekspresikannya secara fisik, kognitif, dan emosional (Kahn, 1990). Dengan

kata lain, karyawan yang engaged memiliki keterhubungan secara fisik, kognitif,

dan emosional dengan peran mereka dalam pekerjaan (Albrecht, 2010). Kahn

mengatakan (1990) engagement adalah kehadiran psikologis ketika menduduki

atau menjalankan sebuah peran dalam organisasi. Meskipun Kahn

(26)

merupakan sebuah kehadiran psikologis saat bekerja, ia tidak membuat definisi

operasional terhadap engagement (Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan

Bakker, 2002).

Rothbard (2001) memperluas definisi Kahn dengan mendefinisikan

engagement sebagai sebuah kehadiran psikologis yang terdiri dari dua dimensi

yakni atensi dan absorpsi. Atensi mengacu pada ketersediaan kognitif dan

sejumlah waktu yang dihabiskan untuk memikirkan sebuah peran. Sedangkan

absorpsi bermakna menjadi tertarik pada sebuah peran dan mengacu pada

intensitas fokus seseorang pada sebuah peran.

Konrad (2006) mengatakan bahwa engagement memiliki tiga komponen

yang berhubungan yakni aspek kognitif, emosional, dan perilaku. Aspek kognitif

meliputi keyakinan pekerja tentang organisasi, pemimpin, dan kondisi kerja.

Aspek emosional fokus pada bagaiman perasaan pekerja terhadap organisasi,

pemimpin dan kondisi kerjanya serta sejauh mana sikap mereka (positif atau

negatif) terhadap organisasi dan pemimpin mereka. Aspek perilaku adalah

komponen nilai tambah bagi organisasi dengan adanya discretionary effort yang

membuat mereka memberikan waktu ekstra, kekuatan otak dan energi yang

dikhususkan untuk tugas dan perusahaan.

Definisi engagement yang lebih luas dan lebih sering dipakai dalam riset

engagement dikemukakan oleh Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker

(Albrecht, 2010; Lee, 2012). Schaufeli et al (2002) medefinisikan engagement

sebagai keadaan positif, pemenuhan, pandangan terhadap kondisi kerja yang

(27)

membedakan engagement dari konstruk-konstruk yang berhubungan dimana

mereka mengatakan bahwa engagement merupakan keadaan pikiran dan perasaan

yang lebih persisten dan menyeluruh, tidak hanya fokus pada objek, kejadian,

individu atau perilaku tertentu (Schaufeli et al, 2002).

Kekuatan mengacu pada tingkat energi dan resiliensi mental yang tinggi

ketika sedang bekerja, kemauan berusaha sunguh-sunguh dalam pekerjaan dan

gigih dalam menghadapi kesulitan. Dedikasi mengacu pada perasaan yang penuh

makna, antusias, inspirasi, kebanggaan dan tantangan. Absorpsi dikarakteristikkan

dengan konsentrasi penuh, minat yang mendalam terhadap pekerjaan dimana

waktu terasa berlalu begitu cepat dan sulit melepaskan diri dari pekerjaan.

Berdasarkan uraian di atas maka definisi engagement adalah keadaan

motivasional yang postitif dan memunculkan pemenuhan diri yang

dikarakteristikkan dengan kekuatan , dedikasi dan absorpsi.

2. Aspek-Aspek Engagement

Aspek-aspek yang membangun dimensi engagement menurut Schaufeli,

Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (2002) adalah:

a. Kekuatan

Dikarakteristikkan dengan energi dan resiliensi mental yang tinggi ketika

sedang bekerja, kemauan berusaha sunguh-sunguh dalam pekerjaan dan

gigih dalam menghadapi kesulitan. Individu yang memiliki skor tinggi

pada aspek kekuatan biasanya memiliki energi dan stamina tinggi,

(28)

rendah pada aspek kekuatan memiliki tingkat energi, semangat dan

stamina yang rendah saat bekerja (Schaufeli dan Bakker, 2003).

b. Dedikasi

Mengacu pada perasaan yang penuh makna, antusias, inspirasi,

kebanggaan dan tantangan. Individu yang memiliki skor tinggi pada aspek

dedikasi secara kuat mengidentifikasikan diri dengan pekerjaan karena

adanya pengalaman bermakna, menginspirasi dan menantang. Selain itu

mereka selalu antusias dan bangga dengan pekerjaan mereka sedangkan

individu dengan skor rendah tidak mengidentifikasikan diri dengan

pekerjaan mereka karena mereka tidak memiliki pengalaman yang

bermakna, menginspirasi dan menantang. Selain itu mereka tidak antusias

dan bangga dengan pekerjaan mereka (Schaufeli dan Bakker, 2003).

c. Absorpsi

Dikarakteristikkan dengan konsentrasi penuh, minat yang mendalam

terhadap pekerjaan dimana waktu terasa berlalu begitu cepat dan sulit

melepaskan diri dari pekerjaan. Individu yang memiliki skor tinggi pada

aspek absorpsi biasanya merasa tertarik dengan pekerjaannya, tenggelam

dalam pekerjaannya dan sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaannya.

Akibatnya, lupa akan sekelilingnya dan waktu berlalu begitu cepat

sedangkan individu dengan skor rendah pada aspek absorpsi tidak tertarik

dan tidak tenggelam dalam pekerjaannya, mereka tidak punya kesulitan

untuk melepaskan diri dari pekerjaan ataupun lupa akan sekeliling dan

(29)

3. Teori yang Mendasari Engagement

Albrecht (2010) mengatakan ada beberapa teori yang dapat menjelaskan

engagement, diantaranya adalah:

a. Job demand-resource theory (JD-R)

Asumsi dasar dari model JD-R adalah bahwa setiap pekerjaan mempunyai

faktor resiko tersendiri yang biasanya berhubungan dengan stres dan faktor ini

diklasifikasikan dalam 2 kategori yakni tuntutan pekerjaan (job demand) dan

sumber daya kerja (job resource). Tuntutan pekerjaan merujuk pada aspek fisik,

sosial maupun psikologis dari pekerjaan yang membutuhkan usaha fisik,

psikologis maupun keterampilan tertentu. Sumber daya kerja merujuk pada semua

aspek fisik, psikologis maupun sosial dalam organisasi yang dapat mendukung

penyelesaian tugas, mereduksi tuntutan pekerjaan,dan menstimulasi adanya

pembelajaran dan pengembangan personal. Sumber daya kerja dapat mendorong

munculnya motivasi intrinsik maupun ekstrinsik karena tersedianya sumber yang

mendukung untuk penyelesaian tugas (Bakker & Demerouti, 2007).

Asumsi kedua adalah ada dua proses yang bertolak belakang yang

mendasarinya yakni health impairement process dan motivational process. Dalam

health impairement process, tuntutan tugas yang kronis menguras mental dan fisik

karyawan yang dapat mebgarah pada penurunan energi. Oleh sebab itu, tuntutan

pekerjaan dapat mengarah pada kelelahan, burnout dan masalah kesehatan. Dalam

motivational process, sumber daya kerja berkaitan dengan motivasi termasuk

(30)

Asumsi ketiga adalah kekurangan sumber daya kerja, misalnya kurangnya

dukungan sosial dan sedikitnya kontrol, berhunbungan dengan kelelahan dan

burnout yang mengarah pada penurunan tingkat engagement (Bakker &

Demerouti, 2007).

b. Social exchange theory (SET)

Menurut Saks (2006) dasar teoritis yang paling rasional dalam

menjelaskan engagement adalah teori pertukaran sosial (social exchange theory).

Saks (2006) mengatakan bahwa bedasarkan teori pertukaran sosial, kewajiban

dihasilkan oleh serangkaian interaksi timbal balik antara pihak-pihak yang

berkaitan. Prinsip dasar dari teori pertukaran sosial ini adalah sebuah hubungan

akan berkembang dengan adanya saling percaya, kesetian dan komitmen

sepanjang pihak yang terlibat mematuhi aturan pertukaran yang sudah dibuat.

Aturan yang dibuat biasanya melibatkan pembayaran timbal balik misalnya,

ketika karyawan menerima sumber ekonomi dari organisasi maka mereka akan

berkewajiban untuk membalas organisasi misalnya dengan lebih engaged

terhadap pekerjaan mereka.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Engagement

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi engagement antara lain:

a. Karakteristik Pekerjaan (Job Characteristic)

Salah satu faktor yang mempengaruhi engagement adalah karakteristik

pekerjaan (Saks, 2006). Menurut Kahn (1990) psychological

meaningfulness dapat dicapai melalui karakter tugas yang menyediakan

(31)

keterampilan, kebebasan mengambil keputusan sendiri dan kesempatan

untuk membuat suatu kontribusi yang penting.

b. Perceived Organizational Support (POS) dan Perceived Supervisor

Support (PSS)

Salah satu aspek penting yang mempengaruhi rasa psychological safety

karyawan adalah sejauh mana dukungan dan kepedulian yang dirasakan

oleh karyawan yang diberikan baik oleh organisasi maupun atasannya

(Saks, 2006). POS mengacu pada keyakinan umum karyawan bahwa

organisasi menilai kontribusi mereka dan peduli terhadap kesejahteraan

mereka. Dukungan organisasi yang dirasakan oleh karyawan akan

membuat karyawan merasa bernilai. Robinson et al. (2004) mengatakan

bahwa faktor pendorong yang paling kuat munculnya engagement adalah

perasaan bernilai dan dilibatkan. Berdasarkan teori pertukaran sosial, POS

menciptakan sebuah kewajiban karyawan untuk peduli terhadap

kesejahteraan organisasi dan membantu organisasi mencapai tujuannya

(Rhoades, Eisenberg & Armeli, 2001). PSS juga merupakan prediktor

penting munculnya engagement. Maslach, Schaufeli & Leiter (2001)

mengatakan kurangnya dukungan atasan menjadi faktor penting

munculnya burnout.

c. Reward and Recognition

Kahn (1990) mengatakan bahwa tingkat engagement karyawan bervariasi

sejauhmana persepsi mereka terhadap keuntungan yang mereka peroleh

(32)

ketika karyawan menerima reward dan penghargaan dari organisasinya,

mereka akan merasa berkewajiban untuk meresponnya dengan

meningkatkan tingkat engagement mereka, sesuai dengan teori pertukaran

sosial.

d. Distributive dan Procedural Justice

Distributive justice merupakan persepsi terhadap keadilan sebuah

keputusan sedangkan procedural justice merupakan persepsi keadilan

terhadap proses yang digunakan dalam menentukan dan mendistribusikan

resource yang ada. Ketika karyawan memiliki persepsi yang positif

terhadap keadilan dalam organisasi mereka, mereka akan lebih merasa

wajib untuk juga berlaku adil dengan lebih engaged terhadap organisasi

mereka (Saks, 2006).

e. Image

Tingginya tingkat engagement karyawan tidak lepas dari tingginya tingkat

engagement konsumen terhadap perusahaan. Dengan kata lain, image

perusahaan di mata konsumen mempengaruhi tingkat engagement

karyawan (Vazirani, 2007).

f. Pay dan Benefits

Perusahaan sebaiknya memiliki sistem penggajian sehingga karyawan

termotivasi dalam bekerja. Dalam rangka mendorong engagement

karyawan juga seharusnya menyediakan kompensasi dan beberapa

(33)

g. Health and Safety

Penelitian telah mengindikasikan bahwa tingkat engagement rendah jika

karyawan merasa tidak aman ketika bekerja. Oleh sebab itu, organisasi

seharusnya membuat metode dan sistem yang berkaitan dengan kesehatan

dan keselamatan karyawan (Vazirani, 2007).

h. Job Satisfaction

Hanya karyawan yang puas yang dapat menjadi karyawan yang engaged.

Oleh sebab itu, sangat penting bagi organisasi untuk melihat pekerjaan

yang diberikan kepada karyawan dan membuat suatu tujuan karir dimana

hal yersebut akan membuat mereka menikmati pekerjaan mereka dan

otomatis akan puas dengan pekerjaannya (Vazirani, 2007).

i. Job Resource

Job resource seperti dukungan sosial dari rekan kerja dan atasan, umpan

balik, variasi keterampilan, otonomi dan learning opportunities secara

positif berhubungan dengan engagement (Bakker dan Demerouti, 2008) .

j. Personal Resource

Bakker dan Demerouti (2008) mengatakan bahwa karyawan yang engaged

pada umumnya memiliki karakteristik seperti optimisme, efikasi diri,

resiliensi dan active coping style yang membantu mereka untuk

mengontrol lingkungannya dan dampaknya dengan baik.

k. Usia, jabatan, status pekerja dan masa kerjaloiol

Berdasarkan hasil survei tahun 2008 (Blessing White, 2011) ditemukan

(34)

dimana karyawan dengan usia yang lebih tua cenderung lebih engaged.

Hasil survei juga menemukan bahwa jabatan juga berkorelasi positif

dengan tingkat engagement dimana karyawan dengan jabatan yang lebih

tinggi dan kekuasan yang besar cenderung lebih engaged. Menurut

Robinson et al (2004) status karyawan mempengaruhi tingkat engagement

karyawan dimana karyawan dengan status sebagai karyawan tetap akan

cenderung lebih engaged. Robinson et al (2004) juga mengatakan bahwa

tingkat engagement karyawan akan semakin menurun seiring dengan

bertambahnya masa kerja.

B.Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) 1. Pengertian Persepsi

Robbins (1998) mengatakan persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu

proses mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera agar memberi makna

pada lingkungan. Lebih lanjut, Robbins (2002) menyatakan bahwa persepsi adalah

cara individu atau kelompok dalam memandang sesuatu. Persepsi seseorang

terhadap suatu realitas akan mendasari perilaku seseorang. McShane & Glinow

(2003) mengatakan persepsi adalah proses memilih, mengorganisasikan dan

menginterpretasikan informasi dalam rangka memberi makna terhadap lingkungan

Walgito (2002) mengatakan bahwa persepsi merupakan suatu proses

yang didahului oleh proses penginderaan terhadap suatu stimulus yang kemudian

diorganisasikan dan diinterpretasikan oleh individu, sehingga individu menyadari,

(35)

kemampuan berpikir, dan pengalaman-pengalaman yang tidak sama menyebabkan

timbulnya perbedaan persepsi terhadap stimulus atau objek yang sama.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah proses

mengorganisasikan, menafsirkan dan memberi makna pada lingkungan yang

kemudian dapat mempengaruhi perilaku yang muncul.

2. Aspek - Aspek Persepsi

Aspek-aspek persepsi menurut Mc Dowwell & Newel (1996) adalah:

a. Kognisi : cara berpikir, mengenali, memaknai dan memberi arti suatu

rangsang yaitu pandangan individu berdasarkan informasi yang

diterima oleh panca indera, pengalaman atau yang pernah dilihat dalam

kehidupan seharihari.

b. Afeksi : cara individu dalam merasakan, mengekspresikan emosi

terhadap rangsang berdasarkan nilai-nilai dalam dirinya yang kemudian

mempengaruh persepsinya.

3. Pengertian Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

Pasal 9 Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok

Mengenai Tenaga Kerja yang menyatakan bahwa “Setiap tenaga kerja berhak

mendapat perlindungan atas keselamatan, kesehatan, pemeliharaan moril kerja

serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia dan moral

agama”. Untuk mewujudkan perlindungan tenaga kerja tersebut maka pemerintah

melakukan upaya pembinaan norma di bidang ketenagakerjaan. Dalam pengertian

pembinaan norma ini sudah mencakup pengertian pembentukan, penerapan, dan

(36)

Berdasarkan ketentuan tersebut maka dikeluarkanlah Undang-Undang No.

1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, sebagai pengganti peraturan

perundangan di bidang keselamatan kerja yang telah ada sebelumnya yaitu

Veilegheids Reglement Stbl. No. 406 tahun 1910, yang dinilai sudah tidak sesuai

lagi dengan kemajuan dan perkembangan masalah ketenagakerjaan. Walaupun

namanya Undang-Undang tentang keselamatan kerja, namun cakupan materinya

termasuk pula masalah kesehatan kerja, karena keduanya tidak dapat dipisahkan,

jika keselamatan kerja sudah terlaksana dengan baik maka kesehatan kerja pun

akan tercapai (Husni, 2001).

Menurut UU Kesehatan Tahun 1992 Pasal 23 Kesehatan Kerja adalah

suatu upaya penyesuaian antara kapasitas kerja dan lingkungan kerja,agar setiap

pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya sendiri maupun

masyarakat sekelilingnya sehingga diperoleh produktivitas kerja yang optimal.

Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah program yang dibuat bagi

pekerja maupun pengusaha sebagai upaya pencegahan (preventif) timbulnya

kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja

dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja

dan penyakit akibat hubungan kerja, dan tindakan antisipatif bila terjadi hal

demikian (Argama, 2006).

Husni (2001) menyatakan keselamatan dan kesehatan kerja sebagai ilmu

pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya

kecelakaan dan penyakit akibat kerja di tempat kerja. Keselamatan dan kesehatan

(37)

Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik pengertian bahwa kesehatan

dan keselamatan kerja adalah program yang penerapannya berguna untuk

mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit yang

disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan fisik.

4. Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

Lahey (2007) mendefinisikan persepsi sebagai pemberian arti stimulus

yang berbeda dan mempunyai arti yang menimbulkan kesadaran, arti yang

diberikan individu terhadap suatu stimulus berdasarkan cara orang tersebut

mempolakannya. Persepsi juga dapat didefinisikan sebagai proses organisasi dan

interpretasi informasi yang diterima dari dunia luar.

Persepsi terhadap program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah

pandangan karyawan terhadap apa yang diberikan perusahaan yang bertujuan

supaya karyawan terjaga dan terjamin keselamatan dan kesehatan kerjanya

sebagai bentuk komitmen organisasi terhadap kesejahteraan karyawan. Persepsi

disini tidak lepas dari respon kognitif yang mana suatu bentuk usaha untuk

memahami pertama apa yang dipikirkan orang sewaktu mereka dihadapkan pada

stimulus persuasif, dan kedua bagaimana pikiran serta proses kognitif yang

berkaitan menentukan apakah mereka mengalami perubahan sikap dan sejauh

mana perubahan itu terjadi .

(38)

Miner (1992) mengemukakan beberapa aspek kesehatan dan keselamatan

kerja, yaitu:

a. Pelatihan Keselamatan Kerja

Salah satu pendekatan yang paling penting untuk pencegahan kecelakaan

kerja adalah melalui pelatihan. Program pelatihan untuk karyawan baru

dan tidak terbiasa melakukan hal-hal yang termasuk dalam isi program

keselamatan yang dipertimbangkan. Teknik yang dapat digunakan untuk

pelatihan keselamatan misalnya ceramah, peragaan, film dan simulasi

kecelakaan.

b. Kontes, Insentif dan Publisitas Keselamatan

Publisitas keselamatan dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Bentuk

yang paling umum digunakan adalah poster, buklet, nota khusus, dan

artikel terbitan perusahaan. Mathis dan Jackson (2006) mengatakan bahwa

untuk mendukung pelatihan K3 dibutuhkan komunikasi yang terus

menerus untuk mengembangkan kesadaran keselamatan. Selain itu, juga

dapat dilakukan kontes untuk membantu perkembangan keselamatan.

Misalnya dengan melakukan pertandingan antar departemen yang

memiliki potensi kecelakaan yang sama. Mathis dan Jackson (2003)

mengatakan selain dengan kontes, untuk dapat memotivasi karyawan agar

menunujukkan perilaku kerja yang aman, dapat dengan memberikan

insentif bagi karyawan yang menununjukkan perilaku kerja yang aman.

(39)

Perancangan tempat kerja dan peralatan yang digunakan merupakan

pendekatan utama untuk mencegah kecelakaan dan yang paling efektif.

Peralatan/perlengkapan perlindungan diri atau Personal Protective

Equipment (PPE) yang wajib disediakan oleh perusahaan kontraktor untuk

semua karyawan : pakaian kerja, sepatu kerja, kacamata kerja, penutup

telinga, sarung tangan, helm, masker, jas hujan, sabuk pengaman, tangga,

dan P3K. Selain itu, hal lainyang perlu diperhatikan dalam pekerjaan

konstruksi, yaitu lokasi pekerjaan dan merokok saat bekerja. Kebersihan

tempat bekerja di kantor maupun di lokasi pekerjaan ikut menentukan hasil

kerja bagi pekerja konstruksi. Perilaku merokok di lokasi pekerjaan

beresiko mengakibatkan terjadinya kebakaran dan juga merugikan

kesehatan.

d. Inspeksi dan Disiplin

Inspeksi dapat dilakukan oleh komite keselamatan atau oleh seseorang

koordinator keselamatan, Inspeksi harus dilakukan secara teratur. Mathis

dan Jackson (2003) mengatakan tahap-tahap investigasi tempat kecelakaan

kerja antara lain, meninjau lokasi kecelakaan, mewawancarai pekerja dan

saksi-saksi kejadian, membuat laporan dan membuat rekomendasi

mengenai perubahan dan pencegahan yang dapat dilakukan untuk

menghindai kecelakaan serupa.

e. Program Kesehatan

Usaha-usaha peningkatan kesehatan dapat dimulai dengan pemberian

(40)

kesehatan. Usaha peningkatan kesehatan ini biasanya juga dibarengi

dengan program promosi kesehatan dan program kesejahteraan karyawan

yang dirancang untuk meningkatkan kesehatan karyawan sebelum muncul

masalah, misalnya pemeriksaan kesehatan berkala. Program kesehatan

juga dilakukan dengan pemberian jaminan terhadap pengobatan karyawan

khususnya akibat kecelakaan kerja.

Aspek-aspek kesehatan dan keselamatan kerja di perusahaan tempat

pengambilan data penelitian ini adalah:

a. Identifikasi sumber bahaya & pengendalian resiko

b. Pemantauan lingkungan kerja dan pengendalian ceceran air dan debu di

tempat kerja

c. Indentifikasi pemeriksaaan kesehatan karyawan

d. Inspeksi lingkungan kerja (umum, khusus, dan tidak teratur)

e. Pelatihan/simulasi tanggap darurat, peledakan, dan bencana

f. Pemeriksaan peralatan tanggap darurat

g. penyuluhan/ceramah K3 dan sosialisasi kebijakan K3

h. Pembuatan/pembersihan rambu-rambu K3

i. Alat perlindungan diri (APD)

6. Tujuan Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Menurut Suma’mur (1989) tujuan kesehatan dan keselamatan kerja adalah

(41)

a. Melindungi karyawan atas hak keselamatannya dalam melakukan

pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta

produktivitas nasional.

b. Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada di tempat kerja

c. Pemeliharaan sumber produksi dan mempergunakannya secara aman

dan efisien.

C. Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Kesela- matan Kerja (K3) dengan Employee Engagement

Siagian (1995) mengatakan bahwa dalam persepsi, apa yang dilihat

seseorang belum tentu sama dengan fakta yang ada karena adanya motif atau

keinginan yang berbeda pada setiap individu. Motif atau keinginan tersebut yang

membuat dua individu dapat memandang suatu hal secara berbeda.

Lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar pekerja

dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang

diberikan oleh organisasi. Srivastava (2008) mengatakan bahwa karyawan yang

menyadari dan merasakan bahwa lingkungan kerjanya cukup aman dan

menyenangkan akan mengembangkan sikap positif terhadap berbagai komponen

pekerjaan yang kemudian menghasilkan kepuasan kerja yang lebih tinggi.

Persepsi karyawan yang dibentuk oleh kondisi lingkungan kerja yang

kemudian dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Karyawan yang merasa bahwa

lingkungan kerjanya lebih sehat mempunyai kepuasan kerja yang lebih tinggi

(Lowe, Schellenberg & Shannon, 2003). Vazirani (2007) mengatakan bahwa salah

(42)

Dengan kata lain, persepsi positif karyawan terhadap lingkungan kerjanya yang

aman dapat mendorong munculnya engagement karyawan dengan kepuasan kerja

sebagai faktor penghubungnya.

Model Job Demand-Job Resource (JDR) menunjukkan bahwa tuntutan

pekerjaan yakni kondisi fisik, psikologis, dan sosial lingkungan kerja dapat

menjadi sumber stres bagi karyawan. Vazirani (2007) mengatakan bahwa salah

satu faktor yang mempengaruhi engagement karyawan adalah rasa aman dalam

melakukan pekerjaan. Salah satu tujuan program K3 adalah untuk memberikan

jaminan terhadap keselamatan karyawan (Suma’mur, 1989). Dengan adanya

jaminan tersebut, karyawan akan lebih merasa aman ketika sedang bekerja

sehingga dapat mendorong munculnya engagement karyawan.

Robinson et al (2004) mengatakan bahwa salah satu cara untuk membuat

karyawan engaged adalah dengan menunjukkan bahwa organisasi peduli terhadap

kesehatan dan kesejahteraan mereka dengan demikian akan muncul persepsi

positif terhadap organisasi. Lebih jauh, Robinson et al (2004) mengatakan bahwa

pengalaman saat bekerja seperti cidera dan kecelakaan kerja mempunyai efek

signifikan terhadap tingkat engagement karyawan.

Menurut Husni (2001) tujuan dari program K3 meningkatkan dan

memelihara derajat kesehatan tenaga kerja yang setinggi-tingginya baik fisik,

mental maupun sosial serta mencegah dan melindungi tenaga kerja dari gangguan

kesehatan yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja. Program K3 dapat

menjadi sarana bagi organisasi untuk menunjukkan seberapa besar kepedulian

(43)

memunculkan persepsi positif terhadap organisasi dan mendorong munculnya

engagement karyawan.

Berdasarkan teori perceived organizational support (POS), engagement

karyawan dapat ditingkatkan dengan meningkatkan persepsi positif karyawan

terhadap organisasi melalui pemberian dukungan dan kepedulian terhadap

kesejahteraan karyawan (Saks, 2006). Lebih jauh, Saks (2006) mengatakan ketika

karyawan meyakini bahwa organisasi mereka concern terhadap mereka dan peduli

terhadap kesejahteraan mereka maka mereka akan berusaha untuk memenuhi

kewajiban mereka terhadap organisasi dan mereka akan menjadi lebih engaged

dan program K3 dapat menjadi sarana bagi organisasi untuk menunjukkan

seberapa besar kepedulian organisasi terhadap kesehatan dan kesejahteraan

karyawan.

Montero dan Araque (2009) mengatakan Corporate Social Responsibility

(CSR) adalah tanggung jawab sosial perusahaan sebagai tindakan sukarela untuk

mengintegrasikan kepedulian sosial serta lingkungan dalam setiap pengambilan

keputusan di organisasi dan salah satu fokus CSR ini adalah kesehatan dan

keselamatan kerja (K3).

Survei yang dilakukan oleh Sirota Survey Intelligence menunjukkan

bahwa 86% karyawan yang puas dengan komitmen organisasi mereka terhadap

CSR mempunyai tingkat engagement yang tinggi dan memiliki pandangan positif

terhadap integritas dan ketertarikan organisasi terhadap kesejahteraan mereka

(Robertson, Smith dan Marcwick, 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan

(44)

penilaian positif terhadap organisasi yang menunjukkan komitmen tinggi terhadap

CSR. CSR yang dilaksanakan oleh organisasi menjadi suatu kebanggaan bagi

pekerja dan ini tidak lepas dari pandangan positif masyarakat terhadap organisasi

itu sendiri .

Vazirani (2007) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mendorong

munculnya engagement karyawan adalah image organisasi. Pelaksanaan tanggung

jawab sosial perusahaan melalui manajemen K3 yang baik akan membentuk

image yang baik bagi organisasi. Dengan kata lain, program K3 dapat

mempengaruhi persepsi positif karyawan terhadap organisasi dimana karyawan

menunjukkan kebanggaannya terhadap organisasinya. Semakin baik program K3

maka semakin baik image organisasi di mata masyarakat dan semakin tinggi pula

tingkat engagement karyawannya.

D. Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian ini diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara.

Adapun hipotesis dalam penelitian ini yaitu : ada hubungan positif antara persepsi

terhadap program kesehatan dan keselamatan kerja (K3) dengan employee

engagement, yaitu bila karyawan memiliki persepsi positif terhadap program

kesehatan dan keselamatan kerja (K3) maka tingkat engagement juga akan tinggi,

demikian sebaliknya, bila karyawan memiliki persepsi negatif terhadap program

(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif

jenis korelasional dimana tujuan penelitian jenis korelasional adalah untuk

menguji hubungan antara dua variabel.

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel tergantung : employeeengagement

2. Variabel bebas : persepsi terhadap program K3

B. Definisi Operasional

1. Employee Engagement

Engagement adalah evalauasi yang dilakukan oleh karyawan terhadap

kondisi kerjanya yang dikarakteristikkan dengan adanya kekuatan, dedikasi dan

absorpsi. Engagement diukur dengan menggunakan skala psikologi yang diadopsi

dari skala Uterecht Work Engagement Scale (UWES) yang dibuat oleh Schaufeli

& Bakker (2003). Semakin tinggi skor subjek maka semakin tinggi pula tingkat

engagement yang dimiliki subjek dan sebaliknya semakin rendah skor subjek

maka semakin rendah pula tingkat engagement yang dimiliki subjek.

2. Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

Persepsi terhadap program K3 adalah evaluasi karyawan terhadap

pelaksanaan program K3. Persepsi terhadap program K3 diukur dengan

(46)

yakni pelatihan keselamatan kerja, publisitas, pengontrolan kerja, inspeksi dan

disiplin dan program kesehatan. Semakin tinggi skor subjek maka karyawan

memiliki persepsi positif terhadap program K3 dan sebaliknya semakin rendah

skor subjek maka karyawan memiliki persepsi negatif terhadap porgram K3.

C. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel 1. Populasi

Populasi penelitian merupakan individu yang menjadi sumber data

penelitian. Populasi adalah keseluruhan dari karakteristik atau unit hasil

pengukuran objek atau subjek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi

syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian (Hadi, 2000). Sugiyono

(2008) mengatakan populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek

atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan

oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi

dalam penelitian ini adalah karyawan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang

perkebunan kelapa sawit.

2. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang digunakan untuk menentukan

sifat-sifat serta ciri-ciri yang dikendalikan populasi (Hadi, 2000). Sampel yang

digunakan dalam penelitian ini adalah bagian dari populasi yang memiliki

(47)

a. Karyawan tetap

b. Lama bekerja minimal satu tahun dengan asumsi bahwa masa satu

tahun karyawan telah memahami nilai, tujuan dan peraturan-peraturan

perusahaan (McShane & Glinow, 2000).

c. Tingkat pendidikan minimal SMU atau sederajat dengan asumsi bahwa

dengan tingkat pendidikan tersebut karyawan memiliki pemikiran yang

lebih kompleks dan mampu merespon skala dengan baik.

Teknik pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

purposive sampling, yaitu pengambilan sampel yang karakteristik sampelnya

sudah diketahui lebih dulu berdasarkan ciri dan sifat populasinya (Hadi, 2000).

Populasi dalam penelitian ini berjumlah 204 orang dan ada 180 eksemplar skala

yang disebar oleh peneliti. Berdasarkan skala yang telah disebar, ada 144

eksemplar skala yang terkumpul. Skala yang digunakan untuk menjadi data

penelitian adalah skala yang memenuhi karakteristik sampel yang telah ditetapkan

sebelumnya, memenuhi kelengkapan identitas dan pengisian aitem skala secara

lengkap sehingga subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 90 orang.

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

skala psikologi, yaitu instrumen yang dapat dipakai untuk mengukur atribut

psikologis. Menurut Azwar (2009), skala sebagai alat ukur psikologis mempunyai

(48)

a. Stimulus berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung

mengungkap atribut yang akan diukur melainkan dengan mengungkap

indikator perilaku dari atribut tersebut.

b. Indikator perilaku diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem

sehingga skala psikologi selalu berisi banyak aitem dan kesimpulan

hanya akan didapat jika semua aitem direspon.

c. Respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban benar atau salah.

Skala yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua skala yaitu skala

engagement dan skala persepsi terhadap program K3.

1. Skala engagement

Skala engagement bertujuan untuk mengukur tingkat engagement

karyawan. Skala ini disusun berdasarkan aspek-aspek engagement yang

dikemukakan oleh Schaufeli et al (2002) yaitu:

a. Kekuatan

Dikarakteristikkan dengan tingkat energi dan resiliensi mental yang tinggi

ketika sedang bekerja, kemauan berusaha sunguh-sunguh dalam pekerjaan

dan gigih dalam menghadapi kesulitan. Individu yang memiliki skor tinggi

pada kekuatan biasanya memiliki energi dan stamina tinggi, semangat

yang bergelora ketika bekerja sedangkan yang memiliki skor rendah pada

kekuatan memiliki tingkat energi, semangat dan stamina yang rendah saat

bekerja.

(49)

Mengacu pada perasaan yang penuh makna, antusias, inspirasi, kebanggan

dan tantangan. Individu yang memiliki skor tinggi pada dedikasi secara

kuat mengidentifikasikan diri dengan pekerjaan karena adanya

pengalaman bermakna, menginspirasi dan menantang. Selain itu mereka

selalu antusiass dan bangga dengan pekerjaan mereka. Sedangkan individu

dengna skor rendah tidak mengidentifikasikan diri dengan pekerjaan

mereka karena mereka tidak memiliki pengalaman yang bermakna,

menginspirasi dan menantang. Selain itu, mereka tidak antusias dan

bangga dengan pekerjaan mereka.

c. Absorpsi

Dikarakteristikkan dengan konsentrasi penuh, minat yang mendalam

terhadap pekerjaan dimana waktu terasa berlalu begitu cepat dan sulit

melepaskan diri dari pekerjaan. Individu yang memiliki skor tinggi pada

absorpsi biasanya merasa tertarik dengan pekerjaannya, tenggelam dalam

pekerjaannya dan sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaannya.

Akibatnya, lupa akan sekelilingnya dan waktu berlalu begitu cepat.

Sedangkan individu dengan skor rendah pada absorpsi tidak tertarik dan

tidak tenggelam dalam pekerjaannya, mereka tidak punya kesulitan untuk

melepaskan diri dari pekerjaan ataupun lupa akan sekeliling dan waktu.

Model Skala Engagement dibuat berdasarkan model skala Likert dimana

setiap aitem terdiri dari pernyataan dengan tujuh pilihan jawaban, yaitu Tidak

Pernah (TP), Hampir Tidak pernah (HTP), Jarang (J), Kadang-kadang (K), Sering

Gambar

Tabel 1 Blue Print Skala Engagement
Blue PrintTabel 2  Skala Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan
Tabel 5 Gambaran Subjek Berdasarkan Masa kerja
Tabel 6 Gambaran Subjk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Identifikasi Bahaya pada Proses Pengalengan Ikan Lemuru ( Sardinella longiceps ) dalam Penerapan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) di PT.. Maya Muncar,

adanya pengaruh tidak langsung variabel efikasi diri (Xl) terhadap minat membuka usaha (y) melalui variabel motivasi berwirausaha (Z), di-. mana besar pengaruh tidak

2.. Rangkaian foward bias yaitu kaki anodanya disambungkan ke kutub positif dan katodanya disambungkan ke kutub negatif. Dari data di atas dapat diketahui bahwa

Dengan penggunaan sistem informasi tersebut, bengkel mobil Rewwin Motor dapat mengelola hubungan dengan pelanggannya dan segala jenis masalah administrasi misalnya dalam

Pedoman Umum Kegiatan Sertifikasi Penyuluh Perikanan Tahun 2015 i Dalam melaksanakan profesi sebagai Penyuluh Perikanan dituntut adanya suatu standar kompetensi kerja

Hal ini disebabkan oleh banyaknya pelanggan yang bermohon secara online pada bulan Juni dan calon pelanggan banyak yang membayar sebelum libur lebaran sehingga

SUB DINAS PENYULUHAN SUB DINAS KONSERVASI TANAH DAN USAHA KEHUTANAN SUB DINAS PRODUKSI DAN USAHA PERKEBUNAN SEKSI PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT SEKSI PERLINDUNGAN

Sebelum penjurian, semua karya peserta yang masuk akan diperiksa oleh panitia penyelenggara pada tanggal 30-31 Agustus2016, untuk memastikan bahwa materi atau dokumen yang