HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PROGRAM
KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3) DENGAN
EMPLOYEE ENGAGEMENT
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persayaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
REBEKKA RISKI ANGGELINA BATUBARA
091301045
FAKULTAS PSIKOLOGI
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan
sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:
Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan Employee Engagement
adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi in saya kutip dari
hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi
ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang
dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, Juli 2013
Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan Employee Engagement
Rebekka Riski Anggelina Batubara dan Vivi Gusrini R. Pohan
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara persepsi terhadap program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan employee engagement. Penelitian ini dilakukan pada 90 orang karyawan yang bekerja di sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non probability sampling yaitu dengan teknik purposive. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan skala. Engagement diukur dengan menggunakan Skala Employee Engagement (α = 0,899) dan persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) diukur dengan Skala Persepsi terhadap Program K3 (α = 0,890).
Hasil analisis data menggunakan metode korelasi Pearson Product Moment yang menghasilkan koefisien korelasi sebesar 0,205 dengan p = 0,026 (p<0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara persepsi terhadap program K3 dengan employee engagement yakni semakin positif persepsi terhadap program K3 maka semakin tinggi tingkat engagement
karayawan dan sebaliknya.
Implikasi dari penelitian ini adalah bahwa penilaian karyawan terhadap program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang dilaksanakan dalam organisasi dapat mempengaruhi tingkat engagement karyawan.
Kata kunci: employee engagement, persepsi, program kesehatan dan keselamatan
The Relationship between Perception of Occupational Health and
Safety Program and Employee Engagement
Rebekka Riski Anggelina Batubara and Vivi Gusrini R. Pohan
ABSTRACT
This study aims to examine the relationship between perception of Occupational Health and Safety Program and employee engagement. This research was involved of 90 employees who work in an oil palm plantation company. The sampling technique used was purposive sampling and data were collected by using scales. Engagement measured by using Employee Engagement Scale (α = 0,899) and perception of occupational health and safety program measured by using Perception of Occupational Health and Safety Program Scale (α = 0,890).
Data analysis by using Pearson Product Moment produced coeficient corelation 0,205 with p = 0,026. These results indicate that there is a positive relationship between employees perception of occupational health and safety program and employee engagement which is the increased of perception on the occupational helath and safety program, the higher the level of engagement and vice versa.
Implication of this study is that the appraisal of employee on occupational health and safety program are implemented in organization can effect the level of employee engagement.
Keywords: employee engagement, perception, occupational health and safety
KATA PENGANTAR
Segala pujian dan syukur hannya bagi-Mu ya Bapaku karena hanya
dengan berkat, kasih dan penyertaan-Mu saja saya dapat menyelesaikan penelitian
ini. Peneliti juga menyadari bahwa penelitian ini terwujud tidak lepas dari bantuan
dan dukungan dari banyak pihak. Pada kesempatan ini, peneliti ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara
2. Ibu Vivi Gusrini Pohan, M.Sc, M.A selaku dosen pembimbing skripsi
peneliti yang telah meluangkan waktunya bagi peneliti selama proses
pembimbingan serta terima kasih atas bimbingan, arahan dan masukan
yang telah beliau berikan sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi
ini.
3. Bapak Zulkarnain, Ph.D dan Ibu Siti Zahreni, M.Psi selaku dosen
penguji yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji peneliti.
Terima kasih atas masukan dan saran yang Bapak dan Ibu berikan
kepada saya.
4. Keluarga peneliti, Bapak (S.R. Batubara) dan Mama (N. Harahap) yang
selalu setia mendoakan dan mendukung saya khususnya selama proses
pengerjaan skripsi ini. Terima kasih juga buat kakak saya, Kak Ida yang
menjadi tempat saya berdiskusi. Terima kasih atas bantuan dan
5. Ibu Ika Sari Dewi, S.Psi, Psikolog selaku dosen pembimbing akademik
peneliti yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada peneliti
selama menjalani masa perkuliahan.
6. Kelompok KTB peneliti, Yesyurun New Born (Kak Pipin, Rani Dian, Rani
Ketaren dan Reffoni) yang menjadi tempat saya curhat dan saling berbagi.
Sungguh bersyukur kita dapat dipersatukan dalam satu kelompok KTB.
7. Teman-teman saya, RanDi, Katriin, Lia, Ori, Tina, Susi, Holy, Repo,
RanKet dan Mayo yang selalu membantu, menyemangati serta menghibur
saya di tengah kesibukan kalian masing-masing. Terima kasih atas tawa
dan canda kalian selama ini. Trima kasih juga buat teman-teman
seperjuangan, angkatan 2009. Sungguh menyenangkan dapat menjadi
bagian dari angkatan 2009.
8. PT Perkebunan Nusantara III PKS Sei Daun yang telah menerima dan
mengijinkan saya melakukan penelitian. Terima kasih juga kepada staf dan
karyawan PT PN III PKS Sei Daun yang telah bersedia menjadi subjek
penelitian saya, secara khusus kepada Pak Manurung yang mendampingi
saya selama proses pengambilan data serta terima kasih atas masukan dan
diskusinya.
9. PT Tapian Nadenggan yang telah mengijinkan saya untuk melakukan
pengambilan data untuk uji coba alat ukur penelitian ini. Terima kasih
kepada seluruh staf dan karyawan PT Tapain Nadenggan yang telah
10.Semua pihak yang telah mendukung peneliti selama proses pengerjaan
skripsi ini, yang namaya mungkin tidak sengaja terlupakan oleh peneliti.
Peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Peneliti sadar bahwa penelitian ini jauh dari sempurna dan memiliki
kekurangan. Oleh sebab itu, peneliti sangat terbuka terhadap kritik, masukan, dan
saran yang membangun, yang dapat digunakan untuk perbaikan skripsi ini.
Medan, Juli 2013
DAFTAR ISI
Halaman LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ...viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian...9
1.Manfaat Teoritis...9
2.Manfaat Praktis...9
E. Sistematika Penulisan...9
BAB II LANDASAN TEORI A.Employee Engagement...11
1. Definisi Employee Engagement...11
2. Aspek-Aspek Employee Engagement...13
3. Teori yang Mendasari Employee Engagement...15
B.Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(K3)...20
1. Pengertian Persepsi...20
2. Aspek-Aspek Persepsi...21
3. Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)...21
4. Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)...23
5. Aspek-Aspek Kesehatan dan Keselamatan Kerja...24
6. Tujuan Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja..27
C.Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja dengan Employee Engagement...26
D.Hipotesis Penelitian...30
BAB III METODE PENELETIAN A.Identifikasi Variabel Penelitian...32
B.Defenisis Operasional...32
1. Employee Engagement...32
2. Persepsi terhadap Program K3...33
C.Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel...33
1. Populasi...33
2. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel...34
1. Skala Engagement...35
2. Skala Persepsi terhadap Program K3...38
E.Validitas, Uji Daya Beda dan Reliabilitas Alat Ukur...40
1. Validitas Skala...39
2. Uji Daya Beda...40
3. Reliabilitas...41
F. Hasil Uji Coba Alat Ukur...42
1. Skala Engagement...42
2. Skala Persepsi terhadap Program K3...43
G. Prosedur Penelitian...44
1. Persiapan Penelitian...44
2. Uji Coba Alat Ukur...45
3. Pelaksanaan Penelitian...45
H. Metode Analisis Data...46
1. Uji Normalitas...46
2. Uji Linearitas...46
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Subjek Penelitian...47
1. Gambaran Subjek Berdasarkan Masa Kerja...47
2. Gambaran Subjek Berdasarkan Pendidikan...48
1.Hasil Uji Asumsi...49
2.Hasil Utama Penelitian...51
3.Kategorisasi Hasil Penelitian...52
C. Hasil Tambahan...53
1. Gambaran Engagement Subjek Ditinjau dari Masa Kerja...53
2. Gambaran Engagement Subjek Ditinjau dari Pendidikan...54
3. Gambaran Engagement Subjek Ditinjau dari Usia...54
D. Pembahasan...54
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan...60
B. Saran...61
1. Saran Metodologis...61
2. Saran Praktis...62
DAFTAR PUSTAKA...64
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Blue Print Skala Engagement... 37
Tabel 2 Blue Print Skala Persepsi terhadap Program K3...39
Tabel 3 Distribusi Aitem-aitem Skala Engagement setelah Uji Coba...42
Tabel 4 Distribusi Aitem-aitem Skala Persepsi tehadap Program K3 setelah Uji Coba...43
Tabel 5 Gambaran Subjek Berdasarkan Masa kerja...47
Tabel 6 Gambaran Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan...48
Tabel 7 Gambaran Subjek Berdasarkan Usia...49
Tabel 8 Hasil Uji Normalitas dengan One Sample Kolmogorov-Smirnov...50
Tabel 9 Hasil Uji Linearitas Persepsi terhadap Program K3 dengan Employee Engagement...51
Tabel 10 Hasil Uji Hipotesis dengan Pearson Product Moment...52
Tabel 11 Nilai Empirik dan Hipotetik Persepsi terhadap Program K3...52
Tabel 12 Kategorisasi Persepsi terhadap Program K3...53
Tabel 13 Nilai Empirik dan Hipotetik Employee Engagement...54
Tabel 14 Kategorisasi Tingkat Engagement Subjek...54
Tabel 15 Perbedaan Engagement Berdasarkan Masa Kerja...55
Tabel 16 Perbedaan Engagement Berdasarkan Pendidikan...56
Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan Employee Engagement
Rebekka Riski Anggelina Batubara dan Vivi Gusrini R. Pohan
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara persepsi terhadap program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan employee engagement. Penelitian ini dilakukan pada 90 orang karyawan yang bekerja di sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non probability sampling yaitu dengan teknik purposive. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan skala. Engagement diukur dengan menggunakan Skala Employee Engagement (α = 0,899) dan persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) diukur dengan Skala Persepsi terhadap Program K3 (α = 0,890).
Hasil analisis data menggunakan metode korelasi Pearson Product Moment yang menghasilkan koefisien korelasi sebesar 0,205 dengan p = 0,026 (p<0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara persepsi terhadap program K3 dengan employee engagement yakni semakin positif persepsi terhadap program K3 maka semakin tinggi tingkat engagement
karayawan dan sebaliknya.
Implikasi dari penelitian ini adalah bahwa penilaian karyawan terhadap program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang dilaksanakan dalam organisasi dapat mempengaruhi tingkat engagement karyawan.
Kata kunci: employee engagement, persepsi, program kesehatan dan keselamatan
The Relationship between Perception of Occupational Health and
Safety Program and Employee Engagement
Rebekka Riski Anggelina Batubara and Vivi Gusrini R. Pohan
ABSTRACT
This study aims to examine the relationship between perception of Occupational Health and Safety Program and employee engagement. This research was involved of 90 employees who work in an oil palm plantation company. The sampling technique used was purposive sampling and data were collected by using scales. Engagement measured by using Employee Engagement Scale (α = 0,899) and perception of occupational health and safety program measured by using Perception of Occupational Health and Safety Program Scale (α = 0,890).
Data analysis by using Pearson Product Moment produced coeficient corelation 0,205 with p = 0,026. These results indicate that there is a positive relationship between employees perception of occupational health and safety program and employee engagement which is the increased of perception on the occupational helath and safety program, the higher the level of engagement and vice versa.
Implication of this study is that the appraisal of employee on occupational health and safety program are implemented in organization can effect the level of employee engagement.
Keywords: employee engagement, perception, occupational health and safety
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Karyawan sebagai sumber daya manusia merupakan aset paling penting
bagi sebuah perusahaan. Ketatnya persaingan global menuntut perusahaan harus
mampu bertahan dan tampil berbeda dengan perusahaan lain dan semua itu dapat
didukung dengan adanya sumber daya manusia (SDM) yang handal dan
kompeten. Menurut Fisher, Schoenfeldt, dan Shaw (2006), beberapa hal yang
dibutuhkan oleh organisasi untuk dapat bersaing adalah sumber daya fisik, sumber
keuangan, kemampuan marketing, dan sumber daya manusia (SDM).
Lebih jauh, Fisher et al (2006) mengatakan bahwa faktor SDM dan
bagaimana organisasi mengelolanya merupakan faktor yang paling potensial.
Faktor produksi, keuangan, teknologi, dan marketing cenderung mudah ditiru.
Dasar pengelolaan manusia sebenarnya juga dapat ditiru, namun strategi yang
paling efektif bagi organisasi dalam menemukan cara-cara yang unik untuk
menarik, mempertahankan, serta memotivasi karyawan mereka lebih sulit untuk
ditiru oleh yang lainnya.
Pentingnya keberadaan SDM mendorong perusahaan memberikan
perhatian khusus dalam pengelolaan SDM. Pengelolaan sumber daya manusia ini
dilakukan dalam suatu bentuk manajemen yang disebut dengan Human Resource
Management (Manajemen SDM). Besarnya peranan sumber daya manusia bagi
keberhasilan perusahaan menuntut perusahaan untuk dapat mencari dan
selain berusaha untuk mendapatkan karyawan yang kompeten melalui proses
seleksi, perusahaan juga berusaha untuk memelihara dan mempertahankan
karyawan terbaik yang mereka miliki agar tetap berada dalam perusahaan.
Holland, Sheehan & De Cieri ( (2007) mengatakan bahwa kebutuhan akan SDM
semakin meningkat sehingga argumen bahwa usaha dalam rangka menarik
perhatian dan mempertahankan karyawan penting untuk dipertimbangkan.
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa karyawan yang puas
terhadap organisasinya cenderung akan menunjukkan komitmen yang lebih tinggi
(Moynihan, Boswell & Boudreau, 2000; Warsi, Fatima dan Sahibzada, 2009;
Asikgil, 2011; Samad, 2011; Gharakhani & Eslami, 2012). Oleh karena itu,
organisasi berusaha untuk dapat mempertahankan karyawannya dengan
memperhatikan kesejahteraannya. Dengan demikian, yang menjadi tugas
perusahaan adalah mampu memotivasi dan menunjukkan sejauh mana dukungan
perusahaan terhadap karyawan sehingga karyawan akan memberi penilaian positif
bagi organisasi.
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa kondisi karyawan sangat
mempengaruhi perilaku kerja mereka. Salah satu trend topic yang sering
dibicarakan oleh para praktisi, konsultan organisasi dan peneliti beberapa tahun
terakhir ini adalah employee engagement (Saks, 2006 ; Attridge, 2009; Siddhanta
& Roy, 2010). Albrecht (2010) mengatakan bahwa engagement telah menjadi
salah satu konsep yang menarik perhatian baik bagi para praktisi maupun di
perhatian dalam dekade terakhir bagi komunitas pebisnis, konsultan perusahaan
dan praktisi. Akan tetapi, dalam komunitas akademis, konsep ini terbilang baru.
Lockwood (2007) mengatakan bahwa engagement kini hadir sebagai
faktor penentu keberhasilan bisnis ditengah pasar yang semakin kompetitif. Lebih
jauh dijelaskan bahwa engagement dapat menjadi faktor penentu keberhasilan
sebuah organisasi. Selanjutnya, Mathapati (2012) mengatakan bahwa sekarang
kebanyakan organisasi mulai menyadari bahwa bukan karyawan yang puas yang
terpenting dalam peningkatan loyalitas dan produktivitas. Akan tetapi, hanya
karyawan yang engaged yang secara intelektual dan emosional terikat dengan
organisasinya, bersemangat dan berkomitmen terhadap tujuan dan nilai-nilai
organisasi.
Menurut Kahn (1990) karyawan yang engaged secara sadar mengikat
dirinya dengan pekerjaannya, dan ketika mereka sudah terikat maka mereka
memperkerjakan dan mengekspresikan diri mereka secara fisik, kognitif dan
emosional selama pelaksanaan pekerjaann. Menurut Schaufeli, Salanova,
Gonzales-Roma, dan Bakker (2002) engagement adalah kondisi karyawan yang
ditandai dengan kekuatan, dedikasi dan absorpsi. Lebih jauh, dijelaskan bahwa
engagement merupakan keadaan pikiran dan perasaan yang lebih persisten dan
menyeluruh, tidak hanya fokus pada objek, kejadian, individu atau perilaku
tertentu. Kekuatan mengacu pada tingkat energi dan resiliensi mental yang tinggi
ketika sedang bekerja, kemauan berusaha sunguh-sunguh dalam pekerjaan dan
makna, antusias, inspirasi, kebanggaan dan tantangan. Absorpsi dikarakteristikkan
dengan konsentrasi penuh, minat yang mendalam terhadap pekerjaan.
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa engagement berpengaruh
positif terhadap peningkatan komitmen karyawan (Hallberg & Schaufeli, 2006),
in-role and extra-role behavior (Bakker, Demerouti & Verbeke, 2004) dan service
climate, employee performance, dan kesetiaan pelanggan (Salanova, Agut &
Peiro, 2005). Hasil riset Corporate Leader Council pada tahun 2005 menemukan
bahwa engagement menyumbang 40% terhadap peningkatan kinerja, 57% untuk
bekerja lebih keras, 80% untuk performa yang lebih baik dan 87% untuk
kemungkinan menetap dalam organisasi (CPID, 2009). Hasil survei CPID (2006)
juga menunjukkan bahwa karyawan yang engaged menunjukkan performa yang
lebih baik, lebih sering direkomendasikan, jarang absen dan tingkat keluar dari
organisasi yang lebih rendah.
Bertolak belakang dengan hasil di atas, survei juga menunjukkan bahwa
banyak karyawan yang tidak engaged. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan Blessing White (2011) terhadap karyawan di Amerika Utara, Eropa,
India, Asia, Cina, Australia dan New Zealand ditemukan bahwa hanya 31%
karyawan yang engaged terhadap organisasinya. Hasil survei The Gallup
Organization (2004) menunjukkan bahwa tingkat engagement karayawan di
Australia sebesar 18%, China sebesar 12%, Jepang sebesar 9%, New Zealand
sebesar 17%, dan Singapura sebesar 9%.
Menurut The Gallup Organization (Blessing White, 2008) karyawan yang
per tahun. Menurut Wah (1999), berdasarkan survei yang dilakukan oleh lebih
dari 600 CEO di seluruh dunia, didapatkan bahwa usaha untuk membuat
karyawan menjadi engaged terhadap organisasi menjadi satu dari lima
permasalahan penting yang dihadapi oleh manajemen.
Hasil penelitian Saks (2006) menemukan bahwa salah satu faktor yang
dapat meningkatkan engagement adalah dengan meningkatkan penilaian
karyawan terhadap dukungan organisasi yang mereka terima (perceived
organizational support). Menurut Rhoades dan Eisenberger (2002) perceived
organizational support (POS) adalah keyakinan karyawan bahwa organisasi
memberi nilai terhadap kontribusi mereka dan peduli terhadap kesejahteraan
mereka. Saks (2006) juga mengatakan ketika karyawan meyakini bahwa
organisasi mereka concern terhadap mereka dan peduli terhadap kesejahteraan
mereka maka mereka akan berusaha untuk memenuhi kewajiban mereka terhadap
organisasi dan mereka akan menjadi lebih engaged.
Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan teori pertukaran sosial dimana ketika
karyawan merasakan adanya dukungan yang diberikan oleh organisasi maka kan
menimbulkan sebuah kewajiban bagi mereka untuk membalasnya (Saks, 2006).
Dengan kata lain, semakin besar dukungan organisasi yang dirasakan maka
semakin memunculkan kewajiban bagi karyawan untuk membalas dukungan
organisasi yang mereka terima.
Robinson, Perryman, dan Hayday (2004) mengatakan bahwa faktor
penggerak yang paling kuat munculnya engagement karyawan adalah perasaan
munculnya perasaan bernilai tersebut dapat melalui sejauh mana organisasi
concern terhadap kesehatan dan kesejahteraan karyawan.
Selanjutnya, Robinson et al. (2004) mengatakan bahwa pengalaman cidera
dan kecelakaan saat bekerja mempunyai dampak signifikan terhadap tingkat
engagement karyawan. Karyawan yang tidak memiliki pengalaman cidera ataupun
kecelakaaan saat bekerja relatif memiliki tingkat engagement yang lebih tinggi.
Penemuan tersebut mengindikasikan pentingnya tindakan pencegahan terjadinya
kecelakaan kerja serta kebutuhan akan kebijakan, praktik dan pendidikan
kesehatan dan keselamatan kerja.
Berdasarkan data dari Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (dalam
Bisnis Indonesia tanggal 1 Juni 2012), angka kecelakaan kerja di Indonesia pada
tahun 2011 tergolong masih tinggi, yakni mencapai 99.491 kasus. Tingginya
angka kecelakaan kerja di Indonesia salah satunya disebabkan oleh kurangnya
kesadaran perusahaan akan pentingnya implementasi Sistem Manajemen
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3) dan performansi K3 (safety
performance) di lingkungan kerja.
Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3) merupakan
bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur
organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan
sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian,
pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam
rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya
Aplikasi SMK3 di organisasi dapat berbeda sejauhmana komitmen
organisasi itu sendiri terhadap topik kesehatan dan keselamatan kerja karyawan.
Komitmen yang tinggi terhadap kesehatan dan keselamatan kerja ditunjukkan
dengan adanya manajemen tersendiri yang mengatur kesehatan dan keselamatan
kerja atau yang lebih dikenal dengan Manajemen Kesehatan dan Keselamatan
Kerja. Akan tetapi, aplikasi SMK3 di organanisasi juga dapat dilaksanakan dalam
bentuk program atau yang lebih dikenal dengan program kesehatan dan
keselamatan kerja, selanjutnya disebut dengan program K3.
Perusahaan tempat pengambilan data penelitian ini merupakan sebuah
perusahaan perkebunan kelapa sawit. Dalam produksinya, perusahaan ini
melakukan pengolahan bahan baku kelapa sawit menjadi minyak kelapa sawit
(CPO) dan inti kelapa sawit (kernel). Oleh sebab itu, karyawan sangat sering
berhubungan dengan bahan-bahan kimia yang berbahaya yang dapat merusak
kesehatan serta lingkungan fisik yang rentan terhadap resiko kecelakaan. Untuk
dapat mengatasi resiko-resiko tersebut maka perusahaan menerapkan program K3
sebagai upaya untuk memberikan perlindungan bagi karyawannya.
Utari dan Margaretha (2011) mengatakan bahwa pelaksanaan K3 dalam
organisasi kini dijadikan sebagai strategi oleh banyak perusahaan untuk
menunjukkan kepada masyarakat bahwa perusahaan telah malaksanakan tanggung
jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Survei yang dilakukan
oleh Sirota Survey Intelligene (dalam Robertson, Smith & Marcwick, 2009)
menunjukkan bahwa 86% karyawan yang puas dengan komitmen organisasi
engagement yang tinggi dan memiliki pandangan positif terhadap integritas dan
ketertarikan organisasi terhadap kesejahteraan mereka. Dengan kata lain,
komitmen organisasi terhadap K3 dapat menimbulkan persepsi positif karyawan
terhadap organisasi yang kemudian dapat mendorong munculnya engegement
karyawan.
Levinson (2007) mengatakan ketika organisasi menunjukkan komitmen
mereka dalam hal peningkatan sumber daya manusia ataupun kondisi lingkungan
akan menciptakan makna dan nilai bagi karyawan dan hal ini dapat mendorong
munculnya engagement karyawan ketika mereka memahami bahwa komitmen
tersebut membuat suatu perbedaan dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa
komitmen terhadap tanggung jawab sosial perusahaan, salah satunya pelaksanaan
K3, dapat menimbulkan persepsi positif karyawan terhadap organisasi yang
kemudian dapat mendorong munculnya engagement karyawan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka rumusan
masalah dari penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara persepsi
karyawan terhadap program K3 dengan employee engagement?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberi manfaat dalam menambah
wawasan bagi pembaca mengenai Psikologi Industri dan Organisasi
khususnya mengenai employee engagement. Hasil penelitian ini juga
diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian-penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan employee engagement dan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis
antara lain:
a. Untuk mengetahui tingkat engagement karyawan
b. Untuk memberikan informasi mengenai persepsi karyawan terhadap
program Kesehatan dan Keselamatan Kerja dan keterkaitannya
dengan engagement.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, tujuan
Bab II Landasan teori
Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari
masalah yang akan menjadi objek penelitian. Memuat
landasan teori tentang employee engagement,
persepsi dan implementasi K3. Bab ini juga
mengemukakan hipotesa sebagai jawaban sementara
terhadap masalah penelitian yang menjelaskan hubungan
antara persepsi terhadap program K3 dan employee
engagement.
Bab III Metode Penelitian
Bab ini menguraikan identifikasi variabel, definisi
operasional variabel, metode pengambilan sampel, alat
ukur yang digunakan, uji daya beda item dan reliabilitas
alat ukur serta metode analisa data yang digunakan untuk
mengolah hasil data penelitian.
Bab IV Analisa Data dan Pembahasan
Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang disertai dengan
interpretasi dan pembahasan.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Bab ini menguraikan kesimpulan sebagai jawaban
permasalahan yang diungkapkan berdasarkan hasil
penelitian dan saran penelitian yang meliputi saran praktis
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Employee Engagement
1. Definisi Employee Engagement
Robertson dan Cooper (2010) mengatakan bahwa masih terdapat
ketidakjelasan definisi dan pengukuran engagement. Robinson et al (2004)
mengatakan bahwa engagement didefinisikan dan diukur dengan berbagai cara
dan seringkali disamakan dengan konsep organizational commitment dan
organizational citizenship behavior. May, Gilson, dan Harter (2004) mengatakan
bahwa engagement juga sering diasosiasikan dengan konsep job involvement dan
flow.
Salah satu tantangan yang harus dihadapi dalam penelitian tentang
engagement adalah tidak adanya definisi yang universal tentang employee
engagement (Kular, Gatenby, Rees, Soane & Truss, 2008). Kahn sebagai tokoh
pertama yang mengemukakan engagement, mengatakan engagement sebagai
penguasaan karyawan sendiri terhadap peran mereka dalam pekerjaan; dalam
engagement, karyawan memperkerjakan diri mereka sendiri dan
mengekspresikannya secara fisik, kognitif, dan emosional (Kahn, 1990). Dengan
kata lain, karyawan yang engaged memiliki keterhubungan secara fisik, kognitif,
dan emosional dengan peran mereka dalam pekerjaan (Albrecht, 2010). Kahn
mengatakan (1990) engagement adalah kehadiran psikologis ketika menduduki
atau menjalankan sebuah peran dalam organisasi. Meskipun Kahn
merupakan sebuah kehadiran psikologis saat bekerja, ia tidak membuat definisi
operasional terhadap engagement (Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan
Bakker, 2002).
Rothbard (2001) memperluas definisi Kahn dengan mendefinisikan
engagement sebagai sebuah kehadiran psikologis yang terdiri dari dua dimensi
yakni atensi dan absorpsi. Atensi mengacu pada ketersediaan kognitif dan
sejumlah waktu yang dihabiskan untuk memikirkan sebuah peran. Sedangkan
absorpsi bermakna menjadi tertarik pada sebuah peran dan mengacu pada
intensitas fokus seseorang pada sebuah peran.
Konrad (2006) mengatakan bahwa engagement memiliki tiga komponen
yang berhubungan yakni aspek kognitif, emosional, dan perilaku. Aspek kognitif
meliputi keyakinan pekerja tentang organisasi, pemimpin, dan kondisi kerja.
Aspek emosional fokus pada bagaiman perasaan pekerja terhadap organisasi,
pemimpin dan kondisi kerjanya serta sejauh mana sikap mereka (positif atau
negatif) terhadap organisasi dan pemimpin mereka. Aspek perilaku adalah
komponen nilai tambah bagi organisasi dengan adanya discretionary effort yang
membuat mereka memberikan waktu ekstra, kekuatan otak dan energi yang
dikhususkan untuk tugas dan perusahaan.
Definisi engagement yang lebih luas dan lebih sering dipakai dalam riset
engagement dikemukakan oleh Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker
(Albrecht, 2010; Lee, 2012). Schaufeli et al (2002) medefinisikan engagement
sebagai keadaan positif, pemenuhan, pandangan terhadap kondisi kerja yang
membedakan engagement dari konstruk-konstruk yang berhubungan dimana
mereka mengatakan bahwa engagement merupakan keadaan pikiran dan perasaan
yang lebih persisten dan menyeluruh, tidak hanya fokus pada objek, kejadian,
individu atau perilaku tertentu (Schaufeli et al, 2002).
Kekuatan mengacu pada tingkat energi dan resiliensi mental yang tinggi
ketika sedang bekerja, kemauan berusaha sunguh-sunguh dalam pekerjaan dan
gigih dalam menghadapi kesulitan. Dedikasi mengacu pada perasaan yang penuh
makna, antusias, inspirasi, kebanggaan dan tantangan. Absorpsi dikarakteristikkan
dengan konsentrasi penuh, minat yang mendalam terhadap pekerjaan dimana
waktu terasa berlalu begitu cepat dan sulit melepaskan diri dari pekerjaan.
Berdasarkan uraian di atas maka definisi engagement adalah keadaan
motivasional yang postitif dan memunculkan pemenuhan diri yang
dikarakteristikkan dengan kekuatan , dedikasi dan absorpsi.
2. Aspek-Aspek Engagement
Aspek-aspek yang membangun dimensi engagement menurut Schaufeli,
Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (2002) adalah:
a. Kekuatan
Dikarakteristikkan dengan energi dan resiliensi mental yang tinggi ketika
sedang bekerja, kemauan berusaha sunguh-sunguh dalam pekerjaan dan
gigih dalam menghadapi kesulitan. Individu yang memiliki skor tinggi
pada aspek kekuatan biasanya memiliki energi dan stamina tinggi,
rendah pada aspek kekuatan memiliki tingkat energi, semangat dan
stamina yang rendah saat bekerja (Schaufeli dan Bakker, 2003).
b. Dedikasi
Mengacu pada perasaan yang penuh makna, antusias, inspirasi,
kebanggaan dan tantangan. Individu yang memiliki skor tinggi pada aspek
dedikasi secara kuat mengidentifikasikan diri dengan pekerjaan karena
adanya pengalaman bermakna, menginspirasi dan menantang. Selain itu
mereka selalu antusias dan bangga dengan pekerjaan mereka sedangkan
individu dengan skor rendah tidak mengidentifikasikan diri dengan
pekerjaan mereka karena mereka tidak memiliki pengalaman yang
bermakna, menginspirasi dan menantang. Selain itu mereka tidak antusias
dan bangga dengan pekerjaan mereka (Schaufeli dan Bakker, 2003).
c. Absorpsi
Dikarakteristikkan dengan konsentrasi penuh, minat yang mendalam
terhadap pekerjaan dimana waktu terasa berlalu begitu cepat dan sulit
melepaskan diri dari pekerjaan. Individu yang memiliki skor tinggi pada
aspek absorpsi biasanya merasa tertarik dengan pekerjaannya, tenggelam
dalam pekerjaannya dan sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaannya.
Akibatnya, lupa akan sekelilingnya dan waktu berlalu begitu cepat
sedangkan individu dengan skor rendah pada aspek absorpsi tidak tertarik
dan tidak tenggelam dalam pekerjaannya, mereka tidak punya kesulitan
untuk melepaskan diri dari pekerjaan ataupun lupa akan sekeliling dan
3. Teori yang Mendasari Engagement
Albrecht (2010) mengatakan ada beberapa teori yang dapat menjelaskan
engagement, diantaranya adalah:
a. Job demand-resource theory (JD-R)
Asumsi dasar dari model JD-R adalah bahwa setiap pekerjaan mempunyai
faktor resiko tersendiri yang biasanya berhubungan dengan stres dan faktor ini
diklasifikasikan dalam 2 kategori yakni tuntutan pekerjaan (job demand) dan
sumber daya kerja (job resource). Tuntutan pekerjaan merujuk pada aspek fisik,
sosial maupun psikologis dari pekerjaan yang membutuhkan usaha fisik,
psikologis maupun keterampilan tertentu. Sumber daya kerja merujuk pada semua
aspek fisik, psikologis maupun sosial dalam organisasi yang dapat mendukung
penyelesaian tugas, mereduksi tuntutan pekerjaan,dan menstimulasi adanya
pembelajaran dan pengembangan personal. Sumber daya kerja dapat mendorong
munculnya motivasi intrinsik maupun ekstrinsik karena tersedianya sumber yang
mendukung untuk penyelesaian tugas (Bakker & Demerouti, 2007).
Asumsi kedua adalah ada dua proses yang bertolak belakang yang
mendasarinya yakni health impairement process dan motivational process. Dalam
health impairement process, tuntutan tugas yang kronis menguras mental dan fisik
karyawan yang dapat mebgarah pada penurunan energi. Oleh sebab itu, tuntutan
pekerjaan dapat mengarah pada kelelahan, burnout dan masalah kesehatan. Dalam
motivational process, sumber daya kerja berkaitan dengan motivasi termasuk
Asumsi ketiga adalah kekurangan sumber daya kerja, misalnya kurangnya
dukungan sosial dan sedikitnya kontrol, berhunbungan dengan kelelahan dan
burnout yang mengarah pada penurunan tingkat engagement (Bakker &
Demerouti, 2007).
b. Social exchange theory (SET)
Menurut Saks (2006) dasar teoritis yang paling rasional dalam
menjelaskan engagement adalah teori pertukaran sosial (social exchange theory).
Saks (2006) mengatakan bahwa bedasarkan teori pertukaran sosial, kewajiban
dihasilkan oleh serangkaian interaksi timbal balik antara pihak-pihak yang
berkaitan. Prinsip dasar dari teori pertukaran sosial ini adalah sebuah hubungan
akan berkembang dengan adanya saling percaya, kesetian dan komitmen
sepanjang pihak yang terlibat mematuhi aturan pertukaran yang sudah dibuat.
Aturan yang dibuat biasanya melibatkan pembayaran timbal balik misalnya,
ketika karyawan menerima sumber ekonomi dari organisasi maka mereka akan
berkewajiban untuk membalas organisasi misalnya dengan lebih engaged
terhadap pekerjaan mereka.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Engagement
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi engagement antara lain:
a. Karakteristik Pekerjaan (Job Characteristic)
Salah satu faktor yang mempengaruhi engagement adalah karakteristik
pekerjaan (Saks, 2006). Menurut Kahn (1990) psychological
meaningfulness dapat dicapai melalui karakter tugas yang menyediakan
keterampilan, kebebasan mengambil keputusan sendiri dan kesempatan
untuk membuat suatu kontribusi yang penting.
b. Perceived Organizational Support (POS) dan Perceived Supervisor
Support (PSS)
Salah satu aspek penting yang mempengaruhi rasa psychological safety
karyawan adalah sejauh mana dukungan dan kepedulian yang dirasakan
oleh karyawan yang diberikan baik oleh organisasi maupun atasannya
(Saks, 2006). POS mengacu pada keyakinan umum karyawan bahwa
organisasi menilai kontribusi mereka dan peduli terhadap kesejahteraan
mereka. Dukungan organisasi yang dirasakan oleh karyawan akan
membuat karyawan merasa bernilai. Robinson et al. (2004) mengatakan
bahwa faktor pendorong yang paling kuat munculnya engagement adalah
perasaan bernilai dan dilibatkan. Berdasarkan teori pertukaran sosial, POS
menciptakan sebuah kewajiban karyawan untuk peduli terhadap
kesejahteraan organisasi dan membantu organisasi mencapai tujuannya
(Rhoades, Eisenberg & Armeli, 2001). PSS juga merupakan prediktor
penting munculnya engagement. Maslach, Schaufeli & Leiter (2001)
mengatakan kurangnya dukungan atasan menjadi faktor penting
munculnya burnout.
c. Reward and Recognition
Kahn (1990) mengatakan bahwa tingkat engagement karyawan bervariasi
sejauhmana persepsi mereka terhadap keuntungan yang mereka peroleh
ketika karyawan menerima reward dan penghargaan dari organisasinya,
mereka akan merasa berkewajiban untuk meresponnya dengan
meningkatkan tingkat engagement mereka, sesuai dengan teori pertukaran
sosial.
d. Distributive dan Procedural Justice
Distributive justice merupakan persepsi terhadap keadilan sebuah
keputusan sedangkan procedural justice merupakan persepsi keadilan
terhadap proses yang digunakan dalam menentukan dan mendistribusikan
resource yang ada. Ketika karyawan memiliki persepsi yang positif
terhadap keadilan dalam organisasi mereka, mereka akan lebih merasa
wajib untuk juga berlaku adil dengan lebih engaged terhadap organisasi
mereka (Saks, 2006).
e. Image
Tingginya tingkat engagement karyawan tidak lepas dari tingginya tingkat
engagement konsumen terhadap perusahaan. Dengan kata lain, image
perusahaan di mata konsumen mempengaruhi tingkat engagement
karyawan (Vazirani, 2007).
f. Pay dan Benefits
Perusahaan sebaiknya memiliki sistem penggajian sehingga karyawan
termotivasi dalam bekerja. Dalam rangka mendorong engagement
karyawan juga seharusnya menyediakan kompensasi dan beberapa
g. Health and Safety
Penelitian telah mengindikasikan bahwa tingkat engagement rendah jika
karyawan merasa tidak aman ketika bekerja. Oleh sebab itu, organisasi
seharusnya membuat metode dan sistem yang berkaitan dengan kesehatan
dan keselamatan karyawan (Vazirani, 2007).
h. Job Satisfaction
Hanya karyawan yang puas yang dapat menjadi karyawan yang engaged.
Oleh sebab itu, sangat penting bagi organisasi untuk melihat pekerjaan
yang diberikan kepada karyawan dan membuat suatu tujuan karir dimana
hal yersebut akan membuat mereka menikmati pekerjaan mereka dan
otomatis akan puas dengan pekerjaannya (Vazirani, 2007).
i. Job Resource
Job resource seperti dukungan sosial dari rekan kerja dan atasan, umpan
balik, variasi keterampilan, otonomi dan learning opportunities secara
positif berhubungan dengan engagement (Bakker dan Demerouti, 2008) .
j. Personal Resource
Bakker dan Demerouti (2008) mengatakan bahwa karyawan yang engaged
pada umumnya memiliki karakteristik seperti optimisme, efikasi diri,
resiliensi dan active coping style yang membantu mereka untuk
mengontrol lingkungannya dan dampaknya dengan baik.
k. Usia, jabatan, status pekerja dan masa kerjaloiol
Berdasarkan hasil survei tahun 2008 (Blessing White, 2011) ditemukan
dimana karyawan dengan usia yang lebih tua cenderung lebih engaged.
Hasil survei juga menemukan bahwa jabatan juga berkorelasi positif
dengan tingkat engagement dimana karyawan dengan jabatan yang lebih
tinggi dan kekuasan yang besar cenderung lebih engaged. Menurut
Robinson et al (2004) status karyawan mempengaruhi tingkat engagement
karyawan dimana karyawan dengan status sebagai karyawan tetap akan
cenderung lebih engaged. Robinson et al (2004) juga mengatakan bahwa
tingkat engagement karyawan akan semakin menurun seiring dengan
bertambahnya masa kerja.
B.Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) 1. Pengertian Persepsi
Robbins (1998) mengatakan persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu
proses mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera agar memberi makna
pada lingkungan. Lebih lanjut, Robbins (2002) menyatakan bahwa persepsi adalah
cara individu atau kelompok dalam memandang sesuatu. Persepsi seseorang
terhadap suatu realitas akan mendasari perilaku seseorang. McShane & Glinow
(2003) mengatakan persepsi adalah proses memilih, mengorganisasikan dan
menginterpretasikan informasi dalam rangka memberi makna terhadap lingkungan
Walgito (2002) mengatakan bahwa persepsi merupakan suatu proses
yang didahului oleh proses penginderaan terhadap suatu stimulus yang kemudian
diorganisasikan dan diinterpretasikan oleh individu, sehingga individu menyadari,
kemampuan berpikir, dan pengalaman-pengalaman yang tidak sama menyebabkan
timbulnya perbedaan persepsi terhadap stimulus atau objek yang sama.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah proses
mengorganisasikan, menafsirkan dan memberi makna pada lingkungan yang
kemudian dapat mempengaruhi perilaku yang muncul.
2. Aspek - Aspek Persepsi
Aspek-aspek persepsi menurut Mc Dowwell & Newel (1996) adalah:
a. Kognisi : cara berpikir, mengenali, memaknai dan memberi arti suatu
rangsang yaitu pandangan individu berdasarkan informasi yang
diterima oleh panca indera, pengalaman atau yang pernah dilihat dalam
kehidupan seharihari.
b. Afeksi : cara individu dalam merasakan, mengekspresikan emosi
terhadap rangsang berdasarkan nilai-nilai dalam dirinya yang kemudian
mempengaruh persepsinya.
3. Pengertian Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Pasal 9 Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok
Mengenai Tenaga Kerja yang menyatakan bahwa “Setiap tenaga kerja berhak
mendapat perlindungan atas keselamatan, kesehatan, pemeliharaan moril kerja
serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia dan moral
agama”. Untuk mewujudkan perlindungan tenaga kerja tersebut maka pemerintah
melakukan upaya pembinaan norma di bidang ketenagakerjaan. Dalam pengertian
pembinaan norma ini sudah mencakup pengertian pembentukan, penerapan, dan
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dikeluarkanlah Undang-Undang No.
1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, sebagai pengganti peraturan
perundangan di bidang keselamatan kerja yang telah ada sebelumnya yaitu
Veilegheids Reglement Stbl. No. 406 tahun 1910, yang dinilai sudah tidak sesuai
lagi dengan kemajuan dan perkembangan masalah ketenagakerjaan. Walaupun
namanya Undang-Undang tentang keselamatan kerja, namun cakupan materinya
termasuk pula masalah kesehatan kerja, karena keduanya tidak dapat dipisahkan,
jika keselamatan kerja sudah terlaksana dengan baik maka kesehatan kerja pun
akan tercapai (Husni, 2001).
Menurut UU Kesehatan Tahun 1992 Pasal 23 Kesehatan Kerja adalah
suatu upaya penyesuaian antara kapasitas kerja dan lingkungan kerja,agar setiap
pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya sendiri maupun
masyarakat sekelilingnya sehingga diperoleh produktivitas kerja yang optimal.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah program yang dibuat bagi
pekerja maupun pengusaha sebagai upaya pencegahan (preventif) timbulnya
kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja
dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja
dan penyakit akibat hubungan kerja, dan tindakan antisipatif bila terjadi hal
demikian (Argama, 2006).
Husni (2001) menyatakan keselamatan dan kesehatan kerja sebagai ilmu
pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya
kecelakaan dan penyakit akibat kerja di tempat kerja. Keselamatan dan kesehatan
Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik pengertian bahwa kesehatan
dan keselamatan kerja adalah program yang penerapannya berguna untuk
mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit yang
disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan fisik.
4. Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Lahey (2007) mendefinisikan persepsi sebagai pemberian arti stimulus
yang berbeda dan mempunyai arti yang menimbulkan kesadaran, arti yang
diberikan individu terhadap suatu stimulus berdasarkan cara orang tersebut
mempolakannya. Persepsi juga dapat didefinisikan sebagai proses organisasi dan
interpretasi informasi yang diterima dari dunia luar.
Persepsi terhadap program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah
pandangan karyawan terhadap apa yang diberikan perusahaan yang bertujuan
supaya karyawan terjaga dan terjamin keselamatan dan kesehatan kerjanya
sebagai bentuk komitmen organisasi terhadap kesejahteraan karyawan. Persepsi
disini tidak lepas dari respon kognitif yang mana suatu bentuk usaha untuk
memahami pertama apa yang dipikirkan orang sewaktu mereka dihadapkan pada
stimulus persuasif, dan kedua bagaimana pikiran serta proses kognitif yang
berkaitan menentukan apakah mereka mengalami perubahan sikap dan sejauh
mana perubahan itu terjadi .
Miner (1992) mengemukakan beberapa aspek kesehatan dan keselamatan
kerja, yaitu:
a. Pelatihan Keselamatan Kerja
Salah satu pendekatan yang paling penting untuk pencegahan kecelakaan
kerja adalah melalui pelatihan. Program pelatihan untuk karyawan baru
dan tidak terbiasa melakukan hal-hal yang termasuk dalam isi program
keselamatan yang dipertimbangkan. Teknik yang dapat digunakan untuk
pelatihan keselamatan misalnya ceramah, peragaan, film dan simulasi
kecelakaan.
b. Kontes, Insentif dan Publisitas Keselamatan
Publisitas keselamatan dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Bentuk
yang paling umum digunakan adalah poster, buklet, nota khusus, dan
artikel terbitan perusahaan. Mathis dan Jackson (2006) mengatakan bahwa
untuk mendukung pelatihan K3 dibutuhkan komunikasi yang terus
menerus untuk mengembangkan kesadaran keselamatan. Selain itu, juga
dapat dilakukan kontes untuk membantu perkembangan keselamatan.
Misalnya dengan melakukan pertandingan antar departemen yang
memiliki potensi kecelakaan yang sama. Mathis dan Jackson (2003)
mengatakan selain dengan kontes, untuk dapat memotivasi karyawan agar
menunujukkan perilaku kerja yang aman, dapat dengan memberikan
insentif bagi karyawan yang menununjukkan perilaku kerja yang aman.
Perancangan tempat kerja dan peralatan yang digunakan merupakan
pendekatan utama untuk mencegah kecelakaan dan yang paling efektif.
Peralatan/perlengkapan perlindungan diri atau Personal Protective
Equipment (PPE) yang wajib disediakan oleh perusahaan kontraktor untuk
semua karyawan : pakaian kerja, sepatu kerja, kacamata kerja, penutup
telinga, sarung tangan, helm, masker, jas hujan, sabuk pengaman, tangga,
dan P3K. Selain itu, hal lainyang perlu diperhatikan dalam pekerjaan
konstruksi, yaitu lokasi pekerjaan dan merokok saat bekerja. Kebersihan
tempat bekerja di kantor maupun di lokasi pekerjaan ikut menentukan hasil
kerja bagi pekerja konstruksi. Perilaku merokok di lokasi pekerjaan
beresiko mengakibatkan terjadinya kebakaran dan juga merugikan
kesehatan.
d. Inspeksi dan Disiplin
Inspeksi dapat dilakukan oleh komite keselamatan atau oleh seseorang
koordinator keselamatan, Inspeksi harus dilakukan secara teratur. Mathis
dan Jackson (2003) mengatakan tahap-tahap investigasi tempat kecelakaan
kerja antara lain, meninjau lokasi kecelakaan, mewawancarai pekerja dan
saksi-saksi kejadian, membuat laporan dan membuat rekomendasi
mengenai perubahan dan pencegahan yang dapat dilakukan untuk
menghindai kecelakaan serupa.
e. Program Kesehatan
Usaha-usaha peningkatan kesehatan dapat dimulai dengan pemberian
kesehatan. Usaha peningkatan kesehatan ini biasanya juga dibarengi
dengan program promosi kesehatan dan program kesejahteraan karyawan
yang dirancang untuk meningkatkan kesehatan karyawan sebelum muncul
masalah, misalnya pemeriksaan kesehatan berkala. Program kesehatan
juga dilakukan dengan pemberian jaminan terhadap pengobatan karyawan
khususnya akibat kecelakaan kerja.
Aspek-aspek kesehatan dan keselamatan kerja di perusahaan tempat
pengambilan data penelitian ini adalah:
a. Identifikasi sumber bahaya & pengendalian resiko
b. Pemantauan lingkungan kerja dan pengendalian ceceran air dan debu di
tempat kerja
c. Indentifikasi pemeriksaaan kesehatan karyawan
d. Inspeksi lingkungan kerja (umum, khusus, dan tidak teratur)
e. Pelatihan/simulasi tanggap darurat, peledakan, dan bencana
f. Pemeriksaan peralatan tanggap darurat
g. penyuluhan/ceramah K3 dan sosialisasi kebijakan K3
h. Pembuatan/pembersihan rambu-rambu K3
i. Alat perlindungan diri (APD)
6. Tujuan Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Menurut Suma’mur (1989) tujuan kesehatan dan keselamatan kerja adalah
a. Melindungi karyawan atas hak keselamatannya dalam melakukan
pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta
produktivitas nasional.
b. Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada di tempat kerja
c. Pemeliharaan sumber produksi dan mempergunakannya secara aman
dan efisien.
C. Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Kesela- matan Kerja (K3) dengan Employee Engagement
Siagian (1995) mengatakan bahwa dalam persepsi, apa yang dilihat
seseorang belum tentu sama dengan fakta yang ada karena adanya motif atau
keinginan yang berbeda pada setiap individu. Motif atau keinginan tersebut yang
membuat dua individu dapat memandang suatu hal secara berbeda.
Lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar pekerja
dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang
diberikan oleh organisasi. Srivastava (2008) mengatakan bahwa karyawan yang
menyadari dan merasakan bahwa lingkungan kerjanya cukup aman dan
menyenangkan akan mengembangkan sikap positif terhadap berbagai komponen
pekerjaan yang kemudian menghasilkan kepuasan kerja yang lebih tinggi.
Persepsi karyawan yang dibentuk oleh kondisi lingkungan kerja yang
kemudian dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Karyawan yang merasa bahwa
lingkungan kerjanya lebih sehat mempunyai kepuasan kerja yang lebih tinggi
(Lowe, Schellenberg & Shannon, 2003). Vazirani (2007) mengatakan bahwa salah
Dengan kata lain, persepsi positif karyawan terhadap lingkungan kerjanya yang
aman dapat mendorong munculnya engagement karyawan dengan kepuasan kerja
sebagai faktor penghubungnya.
Model Job Demand-Job Resource (JDR) menunjukkan bahwa tuntutan
pekerjaan yakni kondisi fisik, psikologis, dan sosial lingkungan kerja dapat
menjadi sumber stres bagi karyawan. Vazirani (2007) mengatakan bahwa salah
satu faktor yang mempengaruhi engagement karyawan adalah rasa aman dalam
melakukan pekerjaan. Salah satu tujuan program K3 adalah untuk memberikan
jaminan terhadap keselamatan karyawan (Suma’mur, 1989). Dengan adanya
jaminan tersebut, karyawan akan lebih merasa aman ketika sedang bekerja
sehingga dapat mendorong munculnya engagement karyawan.
Robinson et al (2004) mengatakan bahwa salah satu cara untuk membuat
karyawan engaged adalah dengan menunjukkan bahwa organisasi peduli terhadap
kesehatan dan kesejahteraan mereka dengan demikian akan muncul persepsi
positif terhadap organisasi. Lebih jauh, Robinson et al (2004) mengatakan bahwa
pengalaman saat bekerja seperti cidera dan kecelakaan kerja mempunyai efek
signifikan terhadap tingkat engagement karyawan.
Menurut Husni (2001) tujuan dari program K3 meningkatkan dan
memelihara derajat kesehatan tenaga kerja yang setinggi-tingginya baik fisik,
mental maupun sosial serta mencegah dan melindungi tenaga kerja dari gangguan
kesehatan yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja. Program K3 dapat
menjadi sarana bagi organisasi untuk menunjukkan seberapa besar kepedulian
memunculkan persepsi positif terhadap organisasi dan mendorong munculnya
engagement karyawan.
Berdasarkan teori perceived organizational support (POS), engagement
karyawan dapat ditingkatkan dengan meningkatkan persepsi positif karyawan
terhadap organisasi melalui pemberian dukungan dan kepedulian terhadap
kesejahteraan karyawan (Saks, 2006). Lebih jauh, Saks (2006) mengatakan ketika
karyawan meyakini bahwa organisasi mereka concern terhadap mereka dan peduli
terhadap kesejahteraan mereka maka mereka akan berusaha untuk memenuhi
kewajiban mereka terhadap organisasi dan mereka akan menjadi lebih engaged
dan program K3 dapat menjadi sarana bagi organisasi untuk menunjukkan
seberapa besar kepedulian organisasi terhadap kesehatan dan kesejahteraan
karyawan.
Montero dan Araque (2009) mengatakan Corporate Social Responsibility
(CSR) adalah tanggung jawab sosial perusahaan sebagai tindakan sukarela untuk
mengintegrasikan kepedulian sosial serta lingkungan dalam setiap pengambilan
keputusan di organisasi dan salah satu fokus CSR ini adalah kesehatan dan
keselamatan kerja (K3).
Survei yang dilakukan oleh Sirota Survey Intelligence menunjukkan
bahwa 86% karyawan yang puas dengan komitmen organisasi mereka terhadap
CSR mempunyai tingkat engagement yang tinggi dan memiliki pandangan positif
terhadap integritas dan ketertarikan organisasi terhadap kesejahteraan mereka
(Robertson, Smith dan Marcwick, 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan
penilaian positif terhadap organisasi yang menunjukkan komitmen tinggi terhadap
CSR. CSR yang dilaksanakan oleh organisasi menjadi suatu kebanggaan bagi
pekerja dan ini tidak lepas dari pandangan positif masyarakat terhadap organisasi
itu sendiri .
Vazirani (2007) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mendorong
munculnya engagement karyawan adalah image organisasi. Pelaksanaan tanggung
jawab sosial perusahaan melalui manajemen K3 yang baik akan membentuk
image yang baik bagi organisasi. Dengan kata lain, program K3 dapat
mempengaruhi persepsi positif karyawan terhadap organisasi dimana karyawan
menunjukkan kebanggaannya terhadap organisasinya. Semakin baik program K3
maka semakin baik image organisasi di mata masyarakat dan semakin tinggi pula
tingkat engagement karyawannya.
D. Hipotesis Penelitian
Dalam penelitian ini diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara.
Adapun hipotesis dalam penelitian ini yaitu : ada hubungan positif antara persepsi
terhadap program kesehatan dan keselamatan kerja (K3) dengan employee
engagement, yaitu bila karyawan memiliki persepsi positif terhadap program
kesehatan dan keselamatan kerja (K3) maka tingkat engagement juga akan tinggi,
demikian sebaliknya, bila karyawan memiliki persepsi negatif terhadap program
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif
jenis korelasional dimana tujuan penelitian jenis korelasional adalah untuk
menguji hubungan antara dua variabel.
A. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah:
1. Variabel tergantung : employeeengagement
2. Variabel bebas : persepsi terhadap program K3
B. Definisi Operasional
1. Employee Engagement
Engagement adalah evalauasi yang dilakukan oleh karyawan terhadap
kondisi kerjanya yang dikarakteristikkan dengan adanya kekuatan, dedikasi dan
absorpsi. Engagement diukur dengan menggunakan skala psikologi yang diadopsi
dari skala Uterecht Work Engagement Scale (UWES) yang dibuat oleh Schaufeli
& Bakker (2003). Semakin tinggi skor subjek maka semakin tinggi pula tingkat
engagement yang dimiliki subjek dan sebaliknya semakin rendah skor subjek
maka semakin rendah pula tingkat engagement yang dimiliki subjek.
2. Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Persepsi terhadap program K3 adalah evaluasi karyawan terhadap
pelaksanaan program K3. Persepsi terhadap program K3 diukur dengan
yakni pelatihan keselamatan kerja, publisitas, pengontrolan kerja, inspeksi dan
disiplin dan program kesehatan. Semakin tinggi skor subjek maka karyawan
memiliki persepsi positif terhadap program K3 dan sebaliknya semakin rendah
skor subjek maka karyawan memiliki persepsi negatif terhadap porgram K3.
C. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel 1. Populasi
Populasi penelitian merupakan individu yang menjadi sumber data
penelitian. Populasi adalah keseluruhan dari karakteristik atau unit hasil
pengukuran objek atau subjek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi
syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian (Hadi, 2000). Sugiyono
(2008) mengatakan populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek
atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi
dalam penelitian ini adalah karyawan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang
perkebunan kelapa sawit.
2. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang digunakan untuk menentukan
sifat-sifat serta ciri-ciri yang dikendalikan populasi (Hadi, 2000). Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah bagian dari populasi yang memiliki
a. Karyawan tetap
b. Lama bekerja minimal satu tahun dengan asumsi bahwa masa satu
tahun karyawan telah memahami nilai, tujuan dan peraturan-peraturan
perusahaan (McShane & Glinow, 2000).
c. Tingkat pendidikan minimal SMU atau sederajat dengan asumsi bahwa
dengan tingkat pendidikan tersebut karyawan memiliki pemikiran yang
lebih kompleks dan mampu merespon skala dengan baik.
Teknik pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling, yaitu pengambilan sampel yang karakteristik sampelnya
sudah diketahui lebih dulu berdasarkan ciri dan sifat populasinya (Hadi, 2000).
Populasi dalam penelitian ini berjumlah 204 orang dan ada 180 eksemplar skala
yang disebar oleh peneliti. Berdasarkan skala yang telah disebar, ada 144
eksemplar skala yang terkumpul. Skala yang digunakan untuk menjadi data
penelitian adalah skala yang memenuhi karakteristik sampel yang telah ditetapkan
sebelumnya, memenuhi kelengkapan identitas dan pengisian aitem skala secara
lengkap sehingga subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 90 orang.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
skala psikologi, yaitu instrumen yang dapat dipakai untuk mengukur atribut
psikologis. Menurut Azwar (2009), skala sebagai alat ukur psikologis mempunyai
a. Stimulus berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung
mengungkap atribut yang akan diukur melainkan dengan mengungkap
indikator perilaku dari atribut tersebut.
b. Indikator perilaku diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem
sehingga skala psikologi selalu berisi banyak aitem dan kesimpulan
hanya akan didapat jika semua aitem direspon.
c. Respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban benar atau salah.
Skala yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua skala yaitu skala
engagement dan skala persepsi terhadap program K3.
1. Skala engagement
Skala engagement bertujuan untuk mengukur tingkat engagement
karyawan. Skala ini disusun berdasarkan aspek-aspek engagement yang
dikemukakan oleh Schaufeli et al (2002) yaitu:
a. Kekuatan
Dikarakteristikkan dengan tingkat energi dan resiliensi mental yang tinggi
ketika sedang bekerja, kemauan berusaha sunguh-sunguh dalam pekerjaan
dan gigih dalam menghadapi kesulitan. Individu yang memiliki skor tinggi
pada kekuatan biasanya memiliki energi dan stamina tinggi, semangat
yang bergelora ketika bekerja sedangkan yang memiliki skor rendah pada
kekuatan memiliki tingkat energi, semangat dan stamina yang rendah saat
bekerja.
Mengacu pada perasaan yang penuh makna, antusias, inspirasi, kebanggan
dan tantangan. Individu yang memiliki skor tinggi pada dedikasi secara
kuat mengidentifikasikan diri dengan pekerjaan karena adanya
pengalaman bermakna, menginspirasi dan menantang. Selain itu mereka
selalu antusiass dan bangga dengan pekerjaan mereka. Sedangkan individu
dengna skor rendah tidak mengidentifikasikan diri dengan pekerjaan
mereka karena mereka tidak memiliki pengalaman yang bermakna,
menginspirasi dan menantang. Selain itu, mereka tidak antusias dan
bangga dengan pekerjaan mereka.
c. Absorpsi
Dikarakteristikkan dengan konsentrasi penuh, minat yang mendalam
terhadap pekerjaan dimana waktu terasa berlalu begitu cepat dan sulit
melepaskan diri dari pekerjaan. Individu yang memiliki skor tinggi pada
absorpsi biasanya merasa tertarik dengan pekerjaannya, tenggelam dalam
pekerjaannya dan sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaannya.
Akibatnya, lupa akan sekelilingnya dan waktu berlalu begitu cepat.
Sedangkan individu dengan skor rendah pada absorpsi tidak tertarik dan
tidak tenggelam dalam pekerjaannya, mereka tidak punya kesulitan untuk
melepaskan diri dari pekerjaan ataupun lupa akan sekeliling dan waktu.
Model Skala Engagement dibuat berdasarkan model skala Likert dimana
setiap aitem terdiri dari pernyataan dengan tujuh pilihan jawaban, yaitu Tidak
Pernah (TP), Hampir Tidak pernah (HTP), Jarang (J), Kadang-kadang (K), Sering