• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN PERSEPSI TERHADAP PROGRAM KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3) DENGAN EMPLOYEE ENGAGEMENT ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN PERSEPSI TERHADAP PROGRAM KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3) DENGAN EMPLOYEE ENGAGEMENT ABSTRAK"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

*Korespondensi mengenai penelitian ini dapat dilayangkan kepada Vivi Gusrini Pohan melalui email: vivipohan@yahoo.com

Rekomendasi mensitasi:

Pohan, V. G. R., & Batubara, R. R. A. (2014). Hubungan persepsi terhadap program kesehatan dan keselamatan kerja dengan employee engagement. Psikologia, 9(1), hal. 9-14.

HUBUNGAN PERSEPSI TERHADAP PROGRAM KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3) DENGAN EMPLOYEE ENGAGEMENT

Vivi Gusrini Pohan* dan Rebekka Riski Anggelina Batubara Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara persepsi karyawan terhadap program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan engagement. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi karyawan terhadap program K3 berhubungan secara positif dengan employee engagement. Penelitian korelasional ini megindikasikan bahwa penilaian karyawan terhadap program K3 yang dilaksanakan perusahaan dapat mempengaruhi tingkat engagement karyawan.

Kata-kata kunci: Employee engagement, persepsi, program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

THE RELATIONSHIP OF PERCEPTION OF OCCUPATIONAL HEALTH AND SAFETY PROGRAM WITH EMPLOYEE ENGAGEMENT

ABSTRACT

This study aims to examine the relationship between perception of Occupational Health and Safety program and employee engagement. The results showed that the employees’ perceptions of Occupational Health and Safety correlated positively with employee engagement. This correlational study indicates that employees’ appraisal on Health and Safety performance may affect the level of employee engagement.

Keywords: Employee engagement, perception, occupational health and safety program

Fisher, Schoenfeldt, dan Shaw (2006) mengatakan bahwa faktor sumber daya manusia (SDM) dan bagaimana organisasi mengelolanya merupakan faktor yang paling potensial bagi organisasi. Pentingnya keberadaan SDM mendorong organisasi memberikan perhatian khusus dalam pengelolaan SDM. Holland, Sheehan dan De Cieri ( (2007) mengatakan bahwa kebutuhan akan SDM semakin meningkat sehingga argumen bahwa usaha dalam rangka menarik perhatian dan mempertahankan karyawan penting untuk dipertimbangkan.

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa karyawan yang puas terhadap organisasinya cenderung akan menunjukkan komitmen yang lebih tinggi (Moynihan, Boswell & Boudreau, 2000; Warsi, Fatima dan Sahibzada, 2009; Asikgil, 2011; Samad, 2011; Gharakhani & Eslami, 2012). Oleh karena itu, untuk mendapatkan komitmen karyawan, organisasi berusaha untuk meningkatkan kepuasan karyawan dengan memperhatikan kesejahteraannya. Dengan

demikian, yang menjadi tugas organisasi adalah mampu memotivasi dan menunjukkan sejauh mana dukungan perusahaan terhadap karyawan sehingga karyawan akan memberi penilaian positif bagi organisasi.

Seiring waktu, kebanyakan organisasi mulai menyadari bahwa bukan karyawan yang puas yang terpenting dalam peningkatan loyalitas dan produktivitas. Akan tetapi, hanya karyawan yang

engaged yang secara intelektual dan

emosional terikat dengan organisasinya, bersemangat dan berkomitmen terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi (Mathapati, 2012). Hasil penelitian Saks (2006) menemukan bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan

engagement adalah dengan meningkatkan

penilaian karyawan terhadap dukungan organisasi yang mereka terima (perceived

organizational support). Robinson, Perryman, dan Hayday (2004) juga mengatakan bahwa faktor penggerak yang paling kuat munculnya engagement

(2)

dilibatkan. Lebih jauh, Robinson et al (2004). mengatakan bahwa munculnya perasaan bernilai tersebut dapat melalui sejauh mana organisasi concern terhadap kesehatan dan kesejahteraan karyawan. Selanjutnya, Robinson et al. (2004) menambahkan bahwa pengalaman cidera dan kecelakaan saat bekerja mempunyai dampak signifikan terhadap tingkat

engagement karyawan. Penemuan tersebut mengindikasikan pentingnya tindakan pencegahan terjadinya kecelakaan kerja serta kebutuhan akan kebijakan, praktik dan pendidikan kesehatan dan keselamatan kerja dalam lingkungan organisasi dan salah satu strategi yang dapat diterapkan organisasi adalah menggalakan program kesehatan dan keselamatan kerja atau yang dikenal dengan istilah K3. Pelaksanaan program K3 dalam organisasi menjadi salah satu strategi bagi organisasi dalam upaya meningkatkan engagement karyawan. Berdasarkan pemaparan di atas maka kami tertarik untuk meneliti hubungan antara persepsi karyawana terhadap program K3 yang dilaksanakan dalam organisasi dengan engagement karyawan. Kami berhipotesis bahwa terdapat korelasi positif antara kedua variabel tersebut bahwa semakin positif persepsi karyawan terhadap program K3 semakin tinggi pula tingkat engagement karyawan.

METODE Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah 90 orang karyawan sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit. Pemilihan partisipan menggunakan teknik pengambilan sampel purposive. Partisipan dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya yakni memiliki status karyawan tetap, lama bekerja minimal satu tahun serta pendidikan minimal SMA atau sederajat.

Prosedur dan alat ukur

Employee engagement

Skala engagement dibuat dengan mengadopsi skala Uterecht Work Engagement Scale (UWES) yang dibuat

oleh Schaufeli & Bakker (2003). Skala

Engagement disusun berdasarkan

aspek-aspek yang dikemukakan oleh Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (2002) yakni kekuatan (vigor), dedikasi (dedication) dan absorpsi (absorption). Pada skala ini, partisipan diminta untuk memberikan rating terhadap 29 pernyataan yang disajikan dalam bentuk pernyataan yang mendukung (favorable) dan tidak mendukung (unfavorable) dengan 7 pilihan respon yakni; selalu (SL), sangat sering (SS), sering (S), Kadang-kadang (K), jarang (J), hampir tidak pernah (HTP), dan tidak pernah (TP). Nilai setiap pilihan bergerak dari 1-7. Bobot penilaian untuk pernyataan favorable yaitu: SL = 7, SS = 6, S = 5, K = 4, J = 3, HTP = 2, dan TP = 1 sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan unfavorable yaitu: TP = 7, HTP = 6, J = 5, K = 4, S = 4, SS = 2, SL = 1. Skor total engagement karyawan akan dibagi dalam 3 kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Skala ini memiliki koefisien reliabilitas Cronbach Alpha sebesar 0,946.

Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

Persepsi terhadap program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dalam penelitian ini diukur dengan Skala Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang kami susun berdasarkan aspek-aspek kesehatan dan keselamata kerja yang dikemukakan oleh Miner (1992) yakni pelatihan keselamatan kerja, publisitas, pengontrolan kerja, inspeksi dan disiplin dan program kesehatan. Pada skala ini, partisipan diminta untuk memberikan rating mulai dari yang paling sesuai hingga paling tidak sesuai dengan diri partisipan. Skala ini terdiri dari 32 pernyataan dengan lima pilihan jawaban, yaitu sangat sesuai (SS),

(3)

sesuai (S), netral (N), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS) dan disajikan dalam bentuk pernyataan yang mendukung (favorable) dan tidak mendukung (unfavorable). Nilai setiap pilihan bergerak dari 1-5. Bobot penilaian untuk pernyataan favorable yaitu: SS = 5, S = 4, N = 3, TS = 2, STS = 1. Sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan unfavorable yaitu: SS = 1, S = 2, N = 3, TS = 4, STS = 5. Skor total persepsi terhadap program kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang dimiliki subjek akan dibagi dalam dua kategori yaitu positif dan negatif. Skala ini memiliki koefisien reliabilitas Cronbach

Alpha sebesar 0,89.

HASIL

Hubungan persepsi terhadap K3 dengan employee engagement

Berdasarkan hasil analisis Pearson Product Moment diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,21 dan signifikansi (p) sebesar 0,026 (p < 0,05). Berdasarkan hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan Ha diterima yakni terdapat hubungan yang positif antara persepsi terhadap program K3 dengan

employee engagement, yaitu bila karyawan

memiliki persepsi positif terhadap program K3 maka tingkat engagement juga akan tinggi, demikian sebaliknya, bila karyawan memiliki persepsi negatif terhadap program K3, maka tingkat engagement akan rendah.

Hasil tambahan

Berdasarkan faktor masa kerja diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan tingkat engagement partisipan dengan nilai

F = 0,74 dan p = 0,532. Berdasarkan faktor

pendidikan diperoleh hasil ada perbedaan tingkat engagement partisipan dengan nilai

t = 2,10 dan p = 0,039. Selain itu, hasil

tambahan berdasarkan faktor usia partisipan, diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan tingkat engagement patrisipan dengan nilai t = 1,61 dan p = 0,111.

DISKUSI

Dalam penelitian ini, kami menguji hubungan antara persepsi karyawan terhadap program kesehatan dan keselamatan kerja (K3) dengan engagement dan kami memperoleh hasil bahwa terdapat hubungan positif antara kedua variabel tersebut. Artinya semakin positif penilaian karyawan terhadap program K3, maka semakin tinggi pula tingkat engagement karyawan.

Ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan hubungan positif antara persepsi terhadap program K3 dengan engagement. Alasan pertama, persepsi karyawan dapat mempengaruhi tingkat engagement mereka (Dicke, Holwerda,& Kontakos, 2007). Saks (2006) mengatakan bahwa organisasi yang mengharapkan dapat meningkatkan engagement karyawannya dapat dilakukan dengan fokus terhadap penguatan persepsi karyawan terhadap dukungan organisasi (perceived organizational support) yang mereka terima.

Saks (2006) juga mengatakan ketika karyawan menilai bahwa organisasi peduli terhadap kesehatan dan kesejahteraan mereka maka mereka akan berusaha untuk membalas dengan lebih engaged terhadap

Tabel 1 Employee engagement berdasarkan

masa kerja

Tabel 3 Employee engagement berdasarkan

pendidikan

(4)

pekerjaannya. Usaha penguatan persepsi terhadap dukungan yang diberikan organisasi (POS) salah satunya dapat dilakukan dengan memberikan jaminan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja yakni melalui program-program K3. Adanya program K3 dapat menjadi sarana bagi organisasi untuk menunjukkan kepedulian organisasi terhadap kesehatan dan kesejahteraan karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya dengan demikian, karyawan dapat menilai bahwa organisasin memang peduli terhadap kesehatan dan kesejahteraan mereka sehingga mereka akan membalasnya dengan lebih engaged terhadap pekerjaannya.

Alasan kedua, program K3 yang dilaksanakan dalam sebuah organisasi dapat menjadi sebuah reputasi tersendiri bagi organisasi. Barling dan Hutchinson (2000) mengatkan bahwa organisasi yang memiliki track record baik dalam menjaga keselamatan karyawan dan peningkatan perilaku selamat (safe action) melalui komunikasi, pelatihan, dan program insentif akan membangun reputasi organisasi yang baik. Hal ini juga diperkuat dengan hasil penelitian Smith (2012) yang menunjukkan bahwa reputasi (organizational prestige) dapat memprediksi tingkat engagement karyawan.

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Robinson et al. (2004) ditemukan bahwa engagement karyawan akan cenderung menurun seiring dengan bertambahnya masa kerja akan tetapi perbedaan ini masih relatif kecil. Hasil tambahan berdasarkan masa kerja diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan engagement berdasarkan masa kerja. Hal ini mengindikasikan bahwa ada faktor-faktor lain yang mungkin saja mempengaruhi engagement karyawan meskipun masa kerja mereka sudah lama misalnya kualitas kehidupan bekerja. Hal ini didukung oleh Robinson et al (2004) yang mengatakan bahwa salah satu faktor yang dapat mendorong munculnya

engagement karyawan adalah adanya hubungan yang baik dengan sesama pekerja maupun atasan. Dalam penelitian ini, mungkin saja dengan adanya hubungan yang baik dengan sesama pekerja maupun atasan lebih berpengaruh terhadap engagement partisipan meskipun mereka memiliki masa kerja yang lama.

Berdasarkan faktor usia, diperoleh hasil tidak ada perbedaan engagement partisipan. Robinson et al (2004), berdasarkan hasil analisisnya, mengatakan bahwa ada perbedaan engagement berdasarkan kelompok usia dan engagement akan menurun seiring dengan pertambahan usia karyawan menuju masa-masa tua. Hal ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Schaufeli, Bakker & Salanova (2006) bahwa karyawan kelompok usia yang lebih tua cenderung lebih engaged dibandingkan dengan karyawan dengan kelompok usia yang lebih muda tetapi perbedaannya kecil. Berdasarkan hasil survei tahun 2008 (Blessing White, 2011) menunjukkan bahwa karyawan dengan usia yang lebih tua lebih engaged dibandingkan dengan karyawan dengan usia yang lebih muda. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor usia tidak berlaku secara universal dalam mempengaruhi tingkat engagement karyawan.

Dalam penelitian ini, hal ini mungkin saja disebabkan adanya faktor-faktor dalam organisasi yang lebih berperan. Sama halnya dengan penejelasan sebelumnya, faktor lingkungan kerja yang harmonis yakni dengan adanya hubungan baik dengan semua anggota organisasi berpengaruh terhadap engagement karyawan. Robinson et al (2004) mengatakan bahwa karyawan dengan usia 40-an dan 50-an biasanya memiliki stres yang yang tinggi dan adanya kesulitan dalam menyeimbangkan antara kehidupan keluarga dan kehidupan bekerja. Dengan kondisi yang seperti ini, Robinson et al (2004) menyarankan bahwa dengan adanya lingkungan kerja yang harmonis

(5)

dapat membantu mempertahankan tingkat engagement karyawan.

Berdasarkan faktor pendidikan diperoleh hasil bahwa ada perbedaan pada tingkat engagement partisipan. Hasil ini mengindikasikan bahwa pendidikan yang dimiliki partisipan membuat perbedaan dalam penilaian terhadap organisasi. Hal in mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan pengetahuan yang dimiliki sejalan dengan pendidikan yang mereka miliki.

Implikasi praktis dari penelitian ini adalah hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi organisasi untuk tetap berkomitmen dalam melaksanakan dan meningkatkan kualitas program-program kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Selain itu, koefisien korelasi yang dihasilkan dalam penelitian ini sebenarnya tergolong dalam kategori lemah sehingga kami menyarankan bahwa organisasi dapat mempertimbangkan faktor-faktor lain baik dalam organisasi maupun faktor individu sebagai upaya untuk meningkatkan engagement karyawan.

Selanjutnya, kami menyadari berbagai kekurangan dari penelitian ini. Pertama, cara pengadministrasian alat ukur yang tidak secara langsung kepada subjek. Kedua, untuk penelitian selanjutnya kami menyarankan agar peneliti menyesuaikan program kesehatan dan keselamatan kerja yang hendak diukur dengan kondisi di tempat penelitian dilaksanakan. Ketiga, peneliti selanjutnya juga dapat mempertimbangkan teknik pengambilan sampel probability sehingga setiap orang dalam populasi mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi partisipan.

REFERENSI

Asikgil, B., & Aydogdu, S. (2011). An empirical study of the relationship among job satisfaction, organizational commitment and turnover intention. International Review of Management and Marketing, 1(3), 43-53.

Barling, J. & Hutchinson, I. (2000). Commitment vs control-based safety practices, safety reputation, and perceived safety climate. Canadian Journal of Administrative Sciences, 17(1), 76-84.

Blessing, White. (2011). Employee engagement report 2011. Princeton,

NJ: Author.

Dicke, C., Holwerda, J., Kontakos, A. (2007). Employee engagement: What do we really know? What do we need to know to take action? A Collection of

White Paper. Paris: Center for Advanced Human Resource Studies (CAHRS).

Fisher, C.D., Schoenfeldt, L.F. & Shaw, J.B. (2006). Advanced human resource

management. Boston: Houghton Mifflin Customer Publishing.

Garakhani, D., & Eslami, J.(2012). Organizational commitment and job satisfaction. ARPN Journal of Science

and Technology, 2(2), 85-91.

Holland P, Sheehan, C &De Cieri, H. (2007). Attracting and retaining talent exploring human resources management trends in Australia.

Human Resource Development, 10(3), 247262.

Mathapati, C. M. (2012). Employee engagement: A leader’s priority.

International Journal of Research in Marketing, 1(2), 1-8.

Miner, J. B. (1992). Industrial-organizational psychology. Singapore :

McGraw-Hill.

Moynihan, L. M., Boswell, W. R., & Boudreau, J. R. (2000). The influence of job satisfaction and organizational commitment on executive withdrawal and performance. Working Paper Series Center for Advanced Human Resource Studies (CAHRS). Cornell

University ILR Study.

Robinson, D., Perryman, S., & Hayday, S. (2004). The drives of employee

(6)

engagement. Institude for Employment Studies.

Saks, A. M. (2006). The antacendents and consequence of employee engagement.

Journal of Managerial Psychology, 21(7), 600-619.

Samad, S. (2011). The effects of job satisfactionon organizational commitment and job performance relationship: A case of managers in Malaysia’s manufacturing companies.

European Journal of Social Sciences, 18(4), 602-611

Schaufeli, W., Salanova, M., Gonzales-Roma, V., & Bakker, A.B. (2002). The measurement of employee engagement and burnout: A two sample confirmatory factor analytic approach.

Journal of Happiness Studies, 3, 71-92

Schaufeli, W., & Bakker, A. (2003). UWES (Uterecht Work Engagement Scale). Preliminary Manual.

Occupational Health Psychology Unit. Utrecht University.

Schaufeli, W. B., Bakker, A. B., & Salanova, M. (2006). The measurement of work engagement of with a short questionnaire: A cross-national study.

Educational and Psychological Measurement, 66(4), 701-716.

Smith, C.L. (2012).The perception of organizational prestige and employee engagement. Thesis. Colorado: Colorado State University

Warsi, S., Fatima, N. & Sahibzada, S. A. (2009). Study on relationship between organizational commitment and its determinants among private sector employee of Pakistan. International Review of Business Research Papers, 5 (3), 399- 410.

Gambar

Tabel 1 Employee engagement berdasarkan  masa kerja

Referensi

Dokumen terkait

Disamping itu, terdapat berbagai hambatan yang menyebabkan Knowledge Management menjadi sulit untuk dapat diimplementasikan pada UKM, yaitu tidak adanya alat yang

Pedoman Umum Kegiatan Sertifikasi Penyuluh Perikanan Tahun 2015 i Dalam melaksanakan profesi sebagai Penyuluh Perikanan dituntut adanya suatu standar kompetensi kerja

Sebelum penjurian, semua karya peserta yang masuk akan diperiksa oleh panitia penyelenggara pada tanggal 30-31 Agustus2016, untuk memastikan bahwa materi atau dokumen yang

Uji fisik (aroma) yoghurt teh hijau berlemak 10% pada penyimpanan 10 hari yang lebih baik dibandingkan dengan yoghurt teh hijau skim, kemungkinan disebabkan oleh pembentukan

Identifikasi Bahaya pada Proses Pengalengan Ikan Lemuru ( Sardinella longiceps ) dalam Penerapan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) di PT.. Maya Muncar,

adanya pengaruh tidak langsung variabel efikasi diri (Xl) terhadap minat membuka usaha (y) melalui variabel motivasi berwirausaha (Z), di-. mana besar pengaruh tidak

2.. Rangkaian foward bias yaitu kaki anodanya disambungkan ke kutub positif dan katodanya disambungkan ke kutub negatif. Dari data di atas dapat diketahui bahwa

Dengan penggunaan sistem informasi tersebut, bengkel mobil Rewwin Motor dapat mengelola hubungan dengan pelanggannya dan segala jenis masalah administrasi misalnya dalam