• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH SOSIAL DAN KONTROL SOSIAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGARUH SOSIAL DAN KONTROL SOSIAL"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH SOSI AL DAN KONTROL SOSI AL

A. KONFORMITAS 1. Definisi Konformitas

¾ sikap patuh tetapi lebih kepada mengalah atau mengikuti tekanan dari kelompok

¾ perilaku seseorang yang sama (seragam) dengan perilaku orang lain atau perilaku kelompoknya

¾ definisi konformitas mengandung tiga hal, yaitu: patuh, perceived group pressure, dan subjek tidak diminta untuk patuh

Jadi, apabila seseorang menampilkan perilaku tertentu karena setiap orang lain menampilkan perilaku tersebut dikatakan konformitas.

2. Eksperimen Solomon Asch (1951, 1956, 1958)

1 2 3

standar line comparison lines

target

ƒ 12 trial ƒ N = 50

ƒ respon conformity 32% atau 3,84 kali dari 12 trial

3. Mengapa Orang Menjadi Konform? Morton Deutch dan Harold Gerald (1955) :

a. Informational Influence

¾ bahwa kelompok merupakan presentasi fakta atau pengetahuan tentang situasi. Kelompok merupakan sumber informasi yang objektif.

b. Normative Influence

¾ tekanan untuk mengikuti kelompok

¾ tekanan sosial berasal dari norma-norma kelompok, seperti loyalitas, solidaritas

¾ ingin mencapai seperti anggota kelompok ¾ tidak ingin kelihatan berbeda

c. Self Categorization (Dominic Abrams & Michael Hogg, 1990)

(2)

4. Respon Non Conformity

Terdapat dua respon non conformity, yaitu:

a. Independence

¾ tingkah laku “tidak responsif” terhadap kelompok ¾ tingkah laku bebas dari norma-norma kelompok

b. Anti conformity atau Counterconformity

¾ oposisi yang konsisten terhadap norma kelompok

¾ dilakukan anti konformis untuk memelihara konsep diri mereka

5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konformitas a. Ukuran Kelompok

¾ pengaruh menguat

¾ makin banyak anggota yang “rela” patuh pada norma kelompok

b. Unanimous

¾ kelompok sepakat atau kelompok tidak saling berbeda pendapat, misalnya : parpol, MPR/DPR

6. Perbedaan Individual Dalam Konformitas

a. Non – Conformist

¾ independent, efektif secara intelektual, egostrength kuat, kepemimpinan dan hubungan sosial baik, tidak rendah diri, rigid, otoriter

b. Orang Yang Konform

¾ memiliki need for afiliation yang besar (Mc Ghee & Trevan, 1967) ¾ mengandalkan kelompok sebagai sumber informasi mereka

(Champbel,1986) ¾ self blame, ragu

7. Zimbardo & Leippe (1991)

™ Wanita lebih konform daripada pria ™ Pria lebih luas jalur informasinya

¾ wanita dan pria konform bila informasi tentang sesuatu kurang lengkap ¾ wanita lebih konform pada situasi interaksi tatap muka

¾ dalam situasi tekanan kelompok, wanita lebih konform

¾ supaya wanita lebih independent maka harus memperluas jalur informasi

B. COMPLIANCE

1. Definisi Compliance

(3)

2. Teknik-teknik Dalam Compliance

a. The Foot In The Door Effect

¾ Istilahnya ketika meminta sesuatu pada seseorang ibarat seperti kaki yang sudah melangkah melewati pintu (pasti dikabulkan)

ƒ small request → dikabulkan maka,

ƒ diikuti permintaan yang besar (permintaan yang sesungguhnya) ¾ Eksperimen Jonathan Freedman & Scott Fraser (1966)

Mula-mula meminta izin untuk memasang poster kecil tentang keselamatan lalu-lintas. Kemudian pemilik rumah mengizinkannya. Di hari yang lain, ia meminta izin lagi untuk memasang poster yang lebih besar, maka pemilik rumah mengizinkannya.

¾ Mengapa hal ini terjadi?

$ persepsi diri, memelihara image diri dihadapan orang lain

b. The Door In The Face Effect

¾ Ketika permintaan diajukan, seperti pintu yang ditutup atau sudah pasti ditolak

ƒ diawali suatu permintaan yang berat

ƒ subjek akan mau menerima permintaan yang lebih ringan kemudian

¾ Mengapa hal ini terjadi?

$ permintaan awal “sangat besar” atau “berat”, penolakan tidak membuat subjek menilai dirinya negatif atau buruk

$ permintaan kedua dilakukan oleh orang yang sama Jerry Burger (1986) menyatakan bahwa “that’s not all “ technique

contoh: A menjual permen yang mahal, ia akan memberi harga permen yang murah pada si B, padahal si B tidak membeli atau tidak ingin permen tersebut.

c. The Low Ball Procedure

¾ Penawaran sangat rendah ¾ Kondisi deal diubah

¾ Terjadi karena : ketika seseorang mengambil keputusan akan malu apabila merubahnya

¾ The “lure” technique:

ƒ penawaran sangat rendah

ƒ harga diubah dengan harga yang tinggi ƒ yang tersedia hanya ‘subtitute product’ 3. Strategi Compliance

a. bertanya : “Would you please”

b. menunjukkan keahlian diri : “Saya baca di ensiklopedia bahwa………” c. alasan pribadi : “Saya butuh…………”

d. menggunakan “peran hubungan” : “Bila kamu teman saya………….” e. bargaining : “Kalau kamu mau bantu saya, maka saya akan………” f. mengandalkan norma : “Semua orang melakukannya……….” g. menggunakan prinsip moral : “It would right thing to do”

(4)

j. bargain dengan objek tertentu (menyuap) : “Saya akan beri kamu seratus ribu kalau kamu mau………”

k. memancing emosi : “Saya akan menangis kalau……….”

l. mengkritrik pribadi : “Kamu terlalu kurus, seharusnya…………..”

m. berbohong : “ Kata bos kamu disuruh………”(padahal bos tidak berkata demikian)

n. mengancam : “Saya adukan dosen lho, kalau kamu…………”

o. menggunakan kekerasan : “Lakukan sekarang!” (dengan diikuti gerakan fisik)

C. OBEDIENCE

1. Definisi Obedience

¾ patuh

¾ respon permintaan langsung (perintah)

¾ perilaku seseorang yang disebabkan adanya tuntutan dari pihak lain (orang tua, kelompok, instansi, pemerintah atau negara)

Bila seseorang menampilkan perilaku tertentu karena adanya tuntutan meskipun sebenarnya ia tidak suka atau tidak mengkehendaki perilaku tersebut dikatakan kepatuhan.

2. Eksperiment Milgram (1963)

¾ Mengumpulkan 40 orang untuk mengetahui pengaruh hukuman terhadap prestasi. Kemudian 20 orang menjadi guru dan 20 orang menjadi murid. ¾ Didepan guru, duduk murid dan ditengah-tengah ditaruh bel listrik yang

tegangannya dari rendah ke tinggi. Bel itu akan menyetrum murid apabila ia melakukan kesalahan (memberikan shock).

¾ Dari guru-guru itu ada guru yang tentu memberikan shock sampai murid menunjukkan kesakitan. Dan kalau perlu menambahkan tegangannya. ¾ Dasar eksperiment : manusia membutuhkan struktur yang jelas (perintah

dari otoritas yang diakui) untuk bergerak dengan cara patuh pada peraturan yang ada.

¾ Eksperiment Milgram (1965, 1974) :

ƒ orang dapat kejam karena pengaruh situasi ƒ orang baik pun dapat berbuat jahat

3. Eksperiment Zimbardo

¾ Membuat penjara2an lalu diiklankan untuk mencari subjek penelitian dari mahasiswa. Penelitian direncanakan diadakan selama 2 minggu dengan imbalan uang.

¾ Subjek dijemput dirumahnya menggunakan mobil bersirine dan diborgol. Dalam waktu 3 hari mulai terjadi pemukulan yang dilakukan oleh sipir kepada tahanan.

¾ Pemukulan tersebut sudah sangat kejam sehingga ketika baru berjalan seminggu, penelitian tersebut dihentikan.

¾ Hal ini terjadi, karena:

ƒ adanya kekuasaan

(5)

¾ Orang dapat menjadi terlalu patuh yang melewati batas, karena:

ƒ ada jarak emosional → hubungan interpersonal yang tidak dekat

ƒ kedekatan dan sahnya kekuasaan yang memberi kekuasaan ƒ kewibawaan institusi

ƒ reinterpretasi kognitif

ƒ karena pelatihan, misalnya: polisi, tentara D. SENSE OF CONTROL

1. Definisi Sense of Control

¾ bagaimana manusia menguasai tingkah laku mereka

Humanis vs Skinner → manusia dikontrol lingkungan atau stimulus luar ↓

manusia mempunyai pilihan yang bebas 2. Illusion of Control

¾ undian

¾ Eksperimen Langer (1975):

ƒ memilih sendiri nomer undian → punya ilusi dia bisa mengontrol pilihannya

ƒ kompetisi → kalau bisa merasa lebih ahli maka kita akan lebih berilusi

ƒ involvement → semakin terlibat dengan suatu tugas maka kita bisa berhasil

ƒ keberhasilan pada tugas (Langer &Roch) 3. Manfaat “Belief in Control”

¾ memungkinkan peramalan ¾ reaksi manusia lebih positif

ƒ lingkungan lebih menyenangkan

ƒ lansia (Langer & Robin, 1976) : lebih aktif, semangat dan sosial 4. Perbedaan Individual Dalam Persepsi Kontrol

¾ Locus of control (Julian Rotter, 1966) ¾ Kontrol terhadap lingkungan : - internal

- eksternal (mencari penyebab dari tingkah laku)

ƒ orang eksternal control : lebih mau patuh terhadap social influence

ƒ orang internal control : lebih hati-hati, menghindari natural disorder (gempa, dll)

5. Reaksi Terhadap Loss of Control

a. Teori Reactance (Jack Brehm, 1966)

¾ apabila kita dibatasi oleh kemampuan kontrol maka akan timbul usaha atau tingkah laku untuk menjaga kontrol dan personal freedom kita

(6)

ƒ keadaan psikologis “reactance

ƒ menimbulkan tingkah laku yang dapat memelihara kontrol dan personal freedom

1

b. Learned Helplessness

¾ percaya bahwa hasil yang dicapai “independent” dari usaha yang ia lakukan

¾ 3 keadaan deficit yang dapat terjadi: ƒ motivational deficit

→ tidak punya motivasi lagi untuk berusaha ƒ cognitive deficit

→ sudah tidak bisa belajar lagi ƒ emotional deficit

→ mengalami depresi

6. Self Induced Dependence

¾ ketergantungan yang dimunculkan sendiri ¾ tuduhan atau anggapan “inkompeten”

ex : pada lansia (Langer, 1983), pada high school student (Langer & Benevento, 1978)

¾ potensi manusia hanya dapat dimunsulkan hanya 10%, hanya sedikit sekali yang dapat dimunculkan

11

(7)

AFI LI ASI , DAYA TARI K, DAN CI NTA

A. SENDIRI ATAU BERSAMA-SAMA?

Sebagai social animal, kita membutuhkan hubungan interpersonal.

¼ Eksperimen Stanley Schachter (1959) :

ƒ 5 orang berpartisipasi dalam eksperimen

ƒ tinggal sendirian di sebuah rumah yang tidak berjendela, tetapi memiliki lampu, tempat tidur, meja, dan kamar mandi

ƒ makanan disediakan di luar pintu pada jam-jam makan, namun partisipan tidak berkesempatan mengetahui pengantarnya

ƒ tidak diijinkan adanya orang lain, telpon, buku, majalah, koran, radio ƒ partisipan diperkenankan meninggalkan rumah tersebut kapanpun dia

menginginkan

ƒ hasilnya, ternyata ketahanan partisipan untuk tinggal dalam situasi tersebut berbeda-beda : ada yang hanya bertahan selama 20 menit, dan ada yang dapat bertahan hingga 8 hari

Dengan demikian tampak bahwa reaksi orang dapat berbeda-beda dalam menghadapi situasi terisolir. Peter Suedfelt (1982) mencatat bahwa orang yang mencari kesendirian, dalam situasi isolasi akan menemukan kesegaran, stimulasi, atau kondusif untuk pengalaman religius. Namun bagi orang-orang lain, situasi tersebut sangat mengganggu.

Kesepian

Kesendirian tidak sama dengan kesepian :

ƒ Kesendirian (aloneness), merupakan kondisi objektif, dapat diamati ƒ Kesepian (loneliness), merupakan pengalaman subjektif, tergantung

interpretasi kita terhadap berbagai situasi 3 elemen kesepian :

ƒ merupakan pengalaman subjektif

ƒ secara umum merupakan hasil dari perasaan kekurangan dalam interaksi sosial

ƒ dirasa tidak menyenangkan

Perasaan-perasaan pada orang yang kesepian :

Berdasarkan survei, Carin Rubenstein dan Phillip Shaver (1982) menemukan bahwa terdapat empat faktor umum perasaan yang muncul ketika orang berada dalam kesepian :

ƒ putus asa, panik dan lemah ƒ depresi

ƒ bosan, tidak sabar ƒ mengutuk diri sendiri Tipe-tipe kesepian :

Menurut Robert Weiss (1973),terdapat dua tipe :

(8)

yang dialami oleh oleh mereka yang menduda/janda atau bercerai dengan pasangannya.

ƒ Social Loneliness : merupakan hasil dari ketiadaan teman dan famili atau jaringan sosial tempat berbagi minat dan aktivitas.

Shaver dkk (1985) menegaskan perlunya membedakan kesepian dalam dua tipe yang lain :

ƒ Trait Loneliness : merupakan pola perasaan kesepian yang stabil, yang hanya sedikit berubah tergantung situasi. Pada umumnya orang yang memiliki harga diri (self-esteem) yang rendah lebih sering mengalami trait loneliness (Jones, Freemon, & Goswick, 1981; Peplau, Miceli, & Morasch, 1982).

ƒ State Loneliness : merupakan kesepian yang lebih temporer yang seringkali disebabkan oleh perubahan yang dramatis dalam kehidupan. Misalnya, seseorang yang baru saja pindah lokasi tempat tinggal, menjadi murid baru, dsb. Kesepian ini akan hilang bila telah ditemukan jaringan sosial yang baru (Shaver, Furman, & Buhrmeister, 1985).

Sebab-sebab kesepian :

Mengenai penyebab kesepian, tidak dapat diketahui dengan pasti karena untuk mengetahuinya diperlukan penelitian eksperimental yang tidak etis yang mencakup kondisi yang dirancang untuk membuat orang menjadi kesepian. Namun demikian, hasil penelitian korelasional menemukan bahwa :

ƒ Orang yang kesepian cenderung miskin dalam ketrampilan sosial (Horowitz & French, 1979) dan oleh orang lain dirasa relatif kurang trampil dalam berbagai bidang sosial (Sloan & Sloano, 1984).

ƒ Orang yang kesepian juga cenderung lebih cemas akan ketrampilan sosialnya (Sloano & Koester, 1989).

Terdapat dua faktor umum yang berhubungan dengan penyebab kesepian tersebut di atas, yaitu harga diri yang rendah dantidak adanya kehendak untuk menggunakan sumber-sumber dukungan sosial (Vaux, 1988).

Reaksi terhadap rasa kesepian :

Reaksi terhadap kesepian sangat bervariasi, dapat berupa reaksi pasif atau aktif (Rubenstein & Shaver, 1982).

ƒ Reaksi pasif : menangis, tidur, makan, minum, menggunakan obat penenang, terus menerus menonton TV.

ƒ Reaksi aktif : melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas seperti menyalurkan hoby, belajar, berolah raga, ke bioskop, shopping sambil bersenang-senang, mengusahakan kontak sosial, menelpon, atau mengunjungi orang lain.

Perbedaan antara pria dan wanita :

(9)

dianggap kurang pantas mengekspresikan emosinya, dan pria yang menyatakan dirinya kesepian berarti menyimpang dari harapan tersebut.

Mengatasi kesepian :

Hal ini tergantung bagaimana atribusi masing-masing orang mengenai kesepiannya tersebut. Mereka yang menyalahkan kekurangan dirinya sebagai penyebab kesepian yang dialaminya, cenderung tetap tidak bahagia. Sedangkan orang yang melihat kesepiannya bersifat temporer, cenderung lebih berbahagia dan lebih berusaha melakukan tindakan korektif. Salah satu tindakan terbaik untuk mengatasi kesepian adalah dengan membangun relasi yang bermakna dengan teman-teman (Cutrona, 1982).

Alasan-alasan Untuk Berafiliasi

Kontak dengan orang lain seringkali merupakan pencegah kesepian. Tetapi apakah menghindari kesepian merupakan alasan bagi kita untuk berafiliasi ? Apa yang kita peroleh dari interaksi sosial ? Pada studi awal mengenai afiliasi, Stanley Schachter (1959) mengajukan empat kemungkinan jawaban untuk pertanyaan tersebut di atas, yaitu :

ƒ Berada di sekitar orang lain secara langsung mengurangi kecemasan. ƒ Kehadiran orang lain dapat mengalihkan perhatian terhadap diri sendiri

sehingga secara tidak langsung mengurangi kesepian.

ƒ Reaksi orang lain dapat memberikan informasi tentang situasi, sehingga memberikan kejelasan terhadap pikiran-pikiran (kognisi) kita. ƒ Orang lain merupakan pembanding : kita dapat mengevaluasi diri kita

sendiri berdasarkan perilaku orang lain. Hasil eksperimen Schachter :

Berdasarkan serangkaian eksperimen yang dilakukannya, Schachter menemukan dukungan yang kuat untuk dugaan pertama, yaitu bahwa berada di sekitar orang lain secara langsung mengurangi kecemasan. Dugaan-dugaan yang lain tidak didukung oleh hasil eksperimen.

Afiliasi dapat menurunkan kecemasan karena beberapa alasan :

ƒ Kita seringkali mencari bantuan orang lain ketika menghadapi situasi yang mengancam.

ƒ Informasi yang kita peroleh dari orang lain memungkinkan kita memperoleh kejelasan mengenai situasi yang menimbulkan kecemasan.

(10)

Pola-pola Afiliasi Dan Jaringan Sosial

Untuk memahami pola afiliasi, dapat dilihat dari hasil-hasil penelitian berikut ini :

¼Bibb Latane dan Liane Bidwell (1977), berdasarkan observasi terhadap mahasiswa di berbagai kampus di Ohio State dan Universitas North Carolina, menemukan bahwa sekitar 60% dari subjek yang diamati, terlihat bahwa masing-masing bersama orang lain, paling sedikit dengan satu orang yang lain. Yang menarik, wanita lebih banyak ditemukan bersama-sama dengan orang lain. Hal ini merupakan indikasi bahwa paling tidak di tempat umum, wanita lebih banyak berafiliasi daripada pria.

¼Ladd Wheeler dan John Nezlek (1977) yang meneliti pola afiliasi pada mahasiswa baru menemukan bahwa :

ƒ Pada umumnya (56%) afiliasi berkembang antar jenis kelamin yang sama.

ƒ Pada semester pertama, mahasiswa perempuan lebih banyak meluangkan waktu untuk berinteraksi dengan teman daripada mahasiswa laki-laki. Namun pada semester berikutnya, perbedaan ini sudah tidak nampak. Mengenai hal ini Wheeler & Nazek menyimpulkan bahwa mahasiswa perempuan mencari interaksi sosial sebagai cara untuk mengatasi stress pertama memasuki universitas. Pola afiliasi berhubungan dengan jaringan sosial (social network). Jaringan sosial, yaitu dengan siapa seseorang menjalin kontak yang nyata (Berscheid, 1985). Berikut ini beberapa informasi mengenai jaringan sosial.

ƒ Orang yang berpindah lokasi tempat tinggal, mengalami perubahan jaringan sosial.

ƒ Pada mahasiswa, terdapat perbedaan jaringan sosial antara mahasiswa laki-laki dan perempuan. Misalnya, pada laki-laki, lebih banyak berteman dengan lawan jenis. Pada mahasiswa perempuan, interaksinya lebih sering, dan lebih banyak bertukar informasi dan dukungan emosional dengan teman. Namun demikian antara mahasiswa laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan dalam berinteraksi dengan keluarga.

ƒ Penelitian dengan subjek bukan mahasiswa juga menemukan bahwa wanita, dibanding dengan pria, memiliki kontak yang lebih sering dan lebih erat dengan teman-teman. Mengenai perbedaan jaringan sosial antara laki-laki dan perempuan ini, Ladd Wheeler, Harry Reis, dan John Nezlek (1983) memberikan alasan bahwa wanita lebih disosialisasikan untuk mengekspresikan emosinya daripada pria.

B. DAYA TARIK (ATTRACTION) Dasar-dasar Ketertarikan Pertama

(11)

ƒ Berdekatan dengan kita secara geografis.

ƒ Memiliki kesamaan kepercayaan, nilai-nilai, dan ciri-ciri kepribadian. ƒ Memuaskan kebutuhan-kebutuhan kita.

ƒ Menyenangkan atau dapat kita setujui (sikap, pandangan, dan perilakunya).

ƒ Menarik secara fisik.

ƒ Membalas kesukaan kita (kita cenderung tertarik terhadap orang yang menyukai kita ---- sesuai dengan Balance Theory dari Heider, 1946). Model-model Teoritik Daya Tarik

Terdapat tiga model yang dipertimbangkan di sini, yaitu :

1. Teori penguat / teori afek (reinforcement/ affect theory)

Teori ini menjelaskan daya tarik interpersonal dengan bersandar pada konsep reinforcement, yakni kita menyukai orang lain yang memberikan reward (hal-hal yang menyenangkan) kepada kita dan kita tidak menyukai orang yang memberikan punishment (hal-hal yang tidak menyenangkan) kepada kita.

Asumsi yang digunakan model ini : Sebagian besar stimuli dapat diklasifikasikan sebagai reward atau punishment , dan bahwa stimuli yang menimbulkan reward menimbulkan perasaan (affect) positif , dedangkan stimuli yang menimbulkan punishment menimbulkan perasaan (affect) negatif.

Evaluasi-evaluasi kita terhadap orang lain atau objek-objek adalah berdasarkan seberapa tingkat perasaan negatif atau positif yang kita alami.

2. Teori pertukaran sosial (social exchange theory)

Pada prinsipnya teori ini tidak menolak asumsi bahwa reinforcement meruoakan dasar yang penting bagi daya tarik interpersonal, namun teori ini tidak sesederhana teori reinforcement. Social exchange theory secara khusus menghubungkan relasi antar dua orang dengan pengeluaran/ kerugian (costs) dan perolehan/ keuntungan yang didapat oleh masing-masing.

Margaret Clark dan Judson Mills (1979, 1982) menjelaskan bahwa costs dan benefits dapat didefinisikan secara berbeda-beda, tergantung jenis hubungannya:

ƒ Dalam relasi antara dua orang yang masih asing, kenalan, rekanan bisnis, relasi berlangsung berdasarkan pertukaran (exchange) perolehan yang kaku/ketat. Berlaku aturan : apa yang diberikan dan apa yang diterima oleh seseorang di dalam hubungan tersebut haruslah seimbang.

ƒ Dalam relasi yang erat, seperti hubungan dengan anggota keluarga dan teman dekat, orang lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan pihak lain dan kurang mempedulikan keseimbangan antara modal (input) dan perolehan (outcomes).

3. Teori saling ketergantungan (interdependence theory)

(12)

ƒ Interdependence theory menjelaskan interaksi perilaku antara dua orang secara lebih rinci, khususnya dalam hal matriks perolehan (outcome matrix).

ƒ Di dalamnya terdapat konsep comparison level (standard perbandingan), yaitu standard/ukuran/patokan yang digunakan untuk mengevaluasi orang lain. Menurut teori ini orang membandingkan antara apa yang dicapai/diperoleh dalam relasi dengan apa yang menjadi harapannya. Comparison level diperoleh berdasarkan pengalaman masa lampau. Relasi yang sekarang dianggap memuaskan hanya jika apa yang dicapai/diperoleh tingkatannya melebihi comparison level.

Catatan :

ƒ Comparison level ini dapat berubah-ubah sepanjang waktu. Misalnya, setelah lebih tua kita memiliki tuntutan yang lebih banyak dari suatu relasi bila dibanding waktu kita muda.

ƒ Comparison level juga dapat berubah tergantung situasi. Misalnya, perhitungan kita mengenai nilai perolehan (reward dikurangi costs) dapat sangat berbeda dalam hubungan kita dengan seorang dokter gigi dibanding dalam hubungan kita dengan seseorasng yang mencintai kita.

C. PENGEMBANGAN HUBUNGAN

Pada bagian ini kita akan membahas dua tipe hubungan yang berkembang, yakni persahabatan dan cinta.

Persahabatan

Kita mempunyai harapan-harapan tertentu dari sahabat kita. Di sisi lain, terdapat hal-hal yang tidak kita harapkan dari seorang kenalan. Pada suatu saat kita merasakan adanya perilaku yang tidak sesuai dengan persahabatan sehingga menyebabkan berakhirnya persahabatan. Dari hal-hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa persahabatan diatur oleh serangkaian aturan informal yang dihargai dan dipelihara. Michael Argyle dan Monika Henderson ( 1984) menyebutkan adanya empat kriteria berlakunya peraturan dalam hal persahabatan :

ƒ Pada umumnya orang setuju bahwa di dalam suatu persahabatan, perilaku perlu dibatasi/diatur oleh suatu aturan.

ƒ Untuk teman-teman lama dan teman-teman baru, peraturan tersebut diterapkan secara berbeda.

ƒ Kegagalan untuk setia terhadap peraturan seringkali menjadi alasan berakhirnya sebuah persahabatan.

ƒ Terdapat peraturan yang membedakan perilaku antara teman dekat dengan teman yang tidak terlalu dekat.

Berdasarkan interview dengan mahasiswa-mahasiswa dari Inggris, Italia, Jepang, dan Hong Kong, selanjutnya Argyle dan Henderson mengidentifikasi aturan-aturan yang dianggap penting dalam persahabatan :

(13)

ƒ Membantu dengan suka rela ketika dibutuhkan.

ƒ Mengusahakan kebahagian sahabat di dalam lingkungannya masing-masing.

ƒ Saling percaya dan menceritakan rahasia satu sama lain.

ƒ Tetap bersikap/bertindak sebagai sahabat, baik ketika teman tersebut ada maupun tidak ada.

ƒ Saling membayar hutang dan kebaikan-kebaikan. ƒ Bersikap/bertindak toleran terhadap sahabat. ƒ Tidak mengomel terhadap sahabat.

Catatan :

Aturan ke 7 s/d 9 tidak dapat membedakan antara teman dekat dengan teman yang kurang dekat.

Hays (1985) dalam penelitiannya terhadap mahasiswa baru membuktikan bahwa pasangan yang hubungannnya berkembang menjadi sahabat, tindakan-tindakannya agak berbeda dengan pasangan yang hubungannya tidak berkembang menjadi sahabat. Pada hubungan yang tidak berkembang menjadi persahabatan, tampak bahwa kontak mereka semakin berkurang. Sebaliknya, pada hubungan yang berkembang menjadi persahabatan ditandai pertama-tama oleh kesibukan aktivitas bersama, lalu aktivitas itu berkurang secara bertahap karena peningkatan aktivitas lain sebagai mahasiswa tahun pertama. Namun demikian penurunan jumlah interaksi ini dibarengi dengan peningkatan keintiman atau kualitas interaksi.

Analisis persahabatan pada jenis kelamin yang berbeda :

ƒ Persahabatan pada laki-laki lebih mungkin berkembang dari aktivitas bersama ; sedangkan persahabatan pada perempuan lebih tergantung pada komunikasi verbal dan keterbukaan diri ( Hays, 1985).

ƒ Derlega, Lewis, Harrison, Winstead, & Costanza (1989) menemukan bahwa pada persahabatan yang menggunakan sentuhan (misalnya pelukan atau ciuman, ketika menyambut kehadiran seorang sahabat yang tiba dari perjalanan, di airport) :

ƒ Pada persahabatan antar laki-laki, tingkat keintiman sentuhan mereka paling rendah di antara pasangan-pasangan sahabat yang lain.

ƒ Dalam studi mengenai persepsi terhadap sentuhan, dapat disimpulkan bahwa laki-laki lebih sering merasakan sentuhan sebagai awal seksualitas; dan sentuhan laki-laki lebih sering diinterpretasikan secara seksual dari pada sentuhan perempuan.

Pola-pola persahabatan yang lain :

McAdams, Healy, & Krause (1994) menemukan :

ƒ Individu yang memiliki kebutuhan keintiman (need for intimacy) yang lebih kuat, lebih mungkin untuk mengembangkan persahabatan, dan lebih mungkin untuk membuka diri terhadap sahabat-sahabatnya.

(14)

D. KONSEPSI-KONSEPSI TENTANG CINTA & PENGUKURAN CINTA

Hampir semua orang yakin bahwa cinta itu berbeda dengan persahabatan. Cinta romantik berkembang lebih cepat daripada persahabatan. Cinta romantik nampaknya lebih mudah retak daripada persahabatan, dan lebih dapat berakibat negatif, misalnya frustrasi (Berscheid, 1985).

Merawat, merupakan dasar konsepsi dari cinta. Dalam hubungan percintaan, perilaku sering lebih dimotivasi oleh kepedulian terhadap minat-minat pasangan daripada minat-minat diri sendiri. Sedangkan kepedulian terhadap kebutuhan-kebutuhan diri sendiri nampaknya lebih merupakan ciri ketertarikan sepintas lalu daripada hubungan percintaan yang serius (Steck, Levitane, & Kelley, 1982).

Seorang psikolog sosial, Zick Rubin (1970, 1973) telah mengembangkan dua kuesioner, masing-masing untuk mengukur kondisi kesukaan dan kecintaan. Menurut Rubin :

ƒ Kesukaan, pertama-tama lebih didasarkan pada afeksi dan respek. Item-item skala ini dikaitkan dengan kesepakatan tentang kualitas positif seorang teman dan kebutuhan untuk menjadi sama dengan teman tersebut.

ƒ Kecintaan, bersandar pada keintiman, kelekatan, dan peduli terhadap kesejahteraan pihak lain. Item untuk skala ini dihubungkan dengan kesedihan karena tidak adanya seseorang yang dicintai, pemaafan terhadap kesalahan, dan tingginya tingkat keterbukaan diri.

Beberapa penemuan mengusulkan bahwa cinta bukan merupakan konsep yang berdimensi tunggal. Misalnya, terdapat dua tipe cinta : passionate (romantik) dan companionate(Hatfield, 1988; Peele, 1988; Walster & Walster, 1978).

ƒ Cinta passionate merupakan pengalaman emosional yang mendalam: luar biasa gembira jika berbalas, dan sangat menderita bila tak berbalas.

ƒ Cinta companionate merupakan bentuk cinta yang lebih familiar, yang didefinisikan sebagai afeksi yang kita rasakan terhadap seseorang yang memiliki jalinan mendalam dengan diri kita, merefleksikan hubungan jangka panjang, dan kemungkinan merupakan tahap lanjut dari cinta romantik.

John Alan Lee (1973) menunjukkan bahwa cinta itu bervariasi. Terdapat enam tipe gaya mencinta : cinta romantik, cinta permainan (game-playing love), cinta persahabatan, cinta yang menguasai (possesive love), cinta yang logis, dan cinta diri.

Robert Sternberg (1986) mencirikan cinta sebagai segi tiga yang terdiri dari tiga komponen : keintiman, gairah/nafsu, dan keputusan/komitmen.

ƒ Keintiman menunjuk pada perasaan kedekatan/keterikatan terhadap orang lain.

ƒ Gairah/nafsu menunjuk pada aspek romantik dan seksual dalalam hubungan

(15)

seseoang; Pada tahap lanjut, menunjuk pada tingkat komitmen seseorang untuk terus mencintai orang tersebut.

Menurut Sternberg, perbedaan tipe cinta merupakan hasil dari perbedaan kekuatan dari tiga komponen tersebut diatas. Sebagai contoh :

ƒ Tipe suka (liking), mencakup keintiman yang kuat, tetapi sedikit gairah/nafsu dan komitmen.

ƒ Tipe infatuation, gairah/nafsunya paling kuat. ƒ Tipe empty love, komitmen yang paling kuat.

ƒ Tipe consummate love, memiliki keseimbangan antara keintiman, nafsu, dan keputusan/komitmen.

ƒ Tipe romantic love, mencakup keintiman dan nafsu yang kuat, namun lemah dalam hal keputusan/komitmen.

Decision/commitment

Empty

love

Consumate

love

Infatuation Liking

Passion Intimacy

Tahap-tahap Perkembangan Cinta

ƒ Tahap pertama, dapat disebut tahap perkenalan. Pada tahap ini dua orang mulai mengenal satu sama lain. Terbentuk kesan pertama, dan selanjutnya terjadi interaksi. Banyak hubungan yang tidak pernah berlanjut melebihi tahap ini, misalnya hubungan dengan dokter gigi yang merawat gigi kita,sopir bis langganan, seseorang yang pernah kita jumpai dalam pesta di rumah tetangga.

ƒ Tahap kedua, pembentukan hubungan yang nyata. Pada tahap ini terjadi peningkatan saling ketergantungan. Terjadi peningkatan interaksi dan kehendak untuk saling membuka diri; mulai meluangkan waktu dan energi untuk hubungan tersebut; mengkoordinasikan aktivitas satu sama lain; dan mengantisipasi interaksi-interaksi yang menyenangkan di masa yang akan datang.

(16)

pasangannya, namun seringkali menemukan karakteristik-karakteristik yang tidak ideal pada pasangannya.

Pada tahap ini kemungkinan terjadi kecemburuan, sebagai akibat pertumbuhan komitmen. Terdapat ungkapan “Cemburu selalu lahir bersamaan dengan lahirnya cinta”. White (1981) serta White & Mullen (1989) menunjukkan bahwa terdapat dua faktor umum yang ada pada reaksi cemburu : kebutuhan untuk memiliki hubungan yang eksklusif dan perasaan kurang/ tidak cakap (inadequacy). Pada laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan :

¾ Pada laki-laki, kecemburuan seringkali berhubungan dengan harga diri (self-esteem), khususnya bahwa respek terhadap pasangan merupakan sumber harga diri, dan bahwa hal ini tergantung sejauh mana dia mendukung keyakinan-keyakinan akan peran gender tradisional. Dengan kata lain, kecemburuan pada laki-laki tampaknya lebih berhubungan erat dengan status.

¾ Pada perempuan, kecemburuan terutama berhubungan dengan ketergantungan yang kuat terhadap hubungan itu sendiri.

Meskipun kecemburuan dapat menjadi ancaman dalam perkembangan hubungan, namun hal ini tidak selalu dialami.

ƒ Tahap ke empat, merupakan tahap perkembangan komitmen yang nyata. Pada tahap ini terjadi perubahan perasaan-perasaan dan perilaku. Salah satu perubahan yang ada adalah terjadinya peningkatan kepercayaan

(trust). Dalam hal ini kita dapat mempertimbangkan tiga macam

kepercayaan terhadap pasangan :

¾ Kepercayaan yang mencakup predictability, yaitu kemampuan untuk meramalkan apa yang akan dilakukan oleh pasangannya.

¾ Kepercayaan yang berimplikasi dependability, yaitu mengembangkan asumsi tertentu tentang karakteristik dan kecenderungan-kecenderungan internal dari pasangannya. (Predictability maupun dependability diperoleh berdasarkan pengalaman dan fakta yang telah lewat).

¾ Kepercayaan yang berimplikasi faith. Pada tahap ini orang memandang kedepan, yakin bahwa outcome (hasil) tertentu akan dicapai.

Dalam hubungan yang erat, cinta dan kebahagiaan terkait erat dengan tiga elemen kepercayaan ini.

Pada beberapa kasus, perkembangan komitmen nyata yang dicapai pada tahap ke empat ini merupakan hasil perkembangan dari cinta. Namun demikian pada kasus di mana masyarakat mengatur perkawinan sebagai suatu keharusan, komitmen merupakan hasil dari kesepakatan formal, dan selanjutnya keterlibatan emosional serta cinta berkembang mengikuti lahirnya komitmen tersebut.

(17)

berpasangan dalam jangka panjang yang motivasi komitmennya bersifat internal (benar-benar karena pilihannya; bukan karena menghasilkan reward, menghindari punishment, atau menghindari rasa bersalah), merasakan perilaku-perilaku mereka yang berorientasi pada hubungan sebagai hal yang menyenangkan (positif). Persepsi semacam ini berhubungan langsung dengan kebahagiaan mereka dalam berelasi.

Lebih lanjut, Blais dkk menemukan bahwa motivasi-motivasi dari pihak perempuan (bukan dari pihak laki-laki), mempengaruhi persepsi pasangannya (secara nyata memang kita dapat melihat bahwa dalam suatu hubungan, persepsi masing-masing pihak akan mempengaruhi persepsi pihak lain). Hal ini menunjukkan bahwa perempuan memainkan peran yang lebih besar dalam mengembangkan dan mengelola hubungan dari pada laki-laki.

PUTUS CINTA Perpisahan

Untuk memahami terjadinya perpisahan, Hill, Rubin, dan Peplau (1976) mengadakan penelitian yang ekstensif selama dua tahun, yaitu dengan subjek sebanyak 231 pasangan di wilayah Boston, AS. Pada akhir penelitian (masa penelitian dua tahun), ternyata 103 pasangan (45%) telah berpisah; 65 pasangan masih berkencan; 9 pasangan telah bertunangan, 43 pasangan telah menikah, dan 11 pasangan tidak dapat dihubungi.

Hill dkk menemukan bahwa mereka yang melaporkan perasaan dekat dengan pasangannya pada tahun pertama penelitian (1972) tidak selalu berarti bahwa hubungan dengan pasangannya tetap langgeng dalam dua tahun kemudian. Hal ini sesuai dengan pembahasan hasil penemuan Rubin (1970) mengenai kecintaan dan kesukaan. Hasil penelitian Rubin tersebut menunjukkan bahwa skor dari skala cinta (love) lebih prediktif (lebih dapat digunakan untuk memprediksi/meramalkan) terhadap hubungan tersebut dari pada skor dari skala rasa suka (liking). Selanjutnya, terbukti juga bahwa skor skala cinta dari subjek perempuan lebih prediktif terhadap kelanggengan hubungan dari pada skor skala cinta dari subjek laki-laki. Artinya bahwa pada subjek perempuan, yang skor skala cinta-nya lebih tinggi, lebih langgeng pula hubungan subjek tersebut dengan pasangannya. Hal ini tentu saja seperti yang telah kita bahas di atas, karena perempuan cenderung memainkan peran yang lebih besar dalam mengelola hubungan, maka perasaan perempuan dalam suatu hubungan merupakan indeks yang lebih sensitif untuk kesehatan hubungannya. Apakah pasangan tersebut telah melakukan sexual intercourse dan apakah telah hidup bersama, hal ini tidak menjamin keberhasilan hubungan di masa yang akan datang.

(18)

ukuran keluarga (banyaknya anak), ternyata tidak dapat digunakan untuk meramalkan keberhasilan hubungan jangka panjang.

Prediktor penting yang lain yang dapat digunakan untuk meramalkan keberhasilan hubungan adalah kebutuhan untuk berkuasa (need for power) pada laki-laki (Stewart & Rubin, 1976). Kebutuhan berkuasa di sini didefinisikan sebagai suatu kecenderungan yang stabil untuk mempengaruhi orang lain melalui tindakan langsung ataupun yang lebih halus/licik/cerdik. Pada pasangan-pasangan di Boston (penelitian Hill dkk), laki-laki yang kebutuhan berkuasa-nya tinggi lebih, lebih banyak menunjukkan masalah di dalam hubungan dan lebih banyak menunjukkan ketidakpuasan terhadap hubungan dengan pasangannya.

Ketidakseimbangan (Inequity)dan Ketidakpermanenan (Impermanence) Menurut equity theory (yaitu versi lain dari social exchange theory), di dalam suatu hubungan orang tidak hanya mempertimbangkan costs dan rewards yang ada padanya, namun juga costs dan rewards pada orang lain. Idealnya dua perbandingan tersebut seimbang. Orang yang merasa bahwa dalam hubungannya terjadi ketidakseimbangan, akan mengalami ketegangan dan mengusahakan adanya keseimbangan, baik secara nyata mengubah input dan outcomes ataupun secara psikologis mengubah persepsi tentang perolehan dan costs yang dialami oleh dua belah pihak. Menurut penemuan Davidson (1984) serta Traupmann, Peterson, Utne, & Hatfield (1981), pasangan yang masing-masing individunya merasakan keseimbangan, paling mungkin untuk sukses hubungannya. Sebaliknya, persepsi ketidakseimbangan merupakan sinyal adanya kesulitan dalam hubungan tersebut.

Perceraian (perpisahan setelah perkawinan)

Perkawinan bukanlah jaminan berlangsungnya hubungan yang langgeng. Di Amerika, tingkat perceraian semakin tinggi dari tahun ke tahun.

Apakah yang menyebabkan retaknya perkawinan ? Beberapa faktor kepribadian dan demografis ditemukan berhubungan dengan kemungkinan perceraian (Newcomb & Bentler, 1981). Misalnya, orang yang menikah terlalu muda, lebih besar kemungkinannya untuk bercerai. Dari sisi kepribadian, misalnya, mereka yang tingkat ambisi dan kebutuhan berprestasinya terlalu tinggi, cenderung kurang stabil perkawinannya.

(19)

AGRESI DAN KEKERASAN

elama 5.600 manusia telah merekam sejarahnya: lebih dari 16.600 peperangan telah terjadi, rata-rata 3 peperangan terjadi setiap tahun (Montagu, 1996). Tempat seperti pulau Fakland dan Teluk Persi di negara Qatar dan Kuwait menjadi dikenal banyak orang hanya karena perang. Sejak awal abad 20-an, lebih dari 900.000 rakyat sipil Amerika meninggal akibat tindak kriminal. Setiap harinya orang membaca surat kabar tentang orang tua yang menganiaya anaknya, suami-istri berdebat dengan kekerasan fisik, dan orang diserang dan dibunuh dengan penyebab yang sering kurang masuk akal.

Dari fakta-fakta di atas orang dapat menyimpulkan dengan mudah bahwa kekerasan dan tindakan agresif merupakan aspek integral dalam masyarakat. Para ilmuwan perilaku pun berasumsi bahwa agresi merupakan hasil alami dari insting membunuh (killer instict) dalam sifat manusia. Sementara yang lain meyakini bahwa agresi dapat dijelaskan secara lengkap sebagai perilaku belajar social yang dapat diprediksikan dan potensial untuk dikendalikan.

AGRESI DAN SIFAT MANUSIA

Walaupun agresi merupakan istilah yang sering digunakan sehari-hari, namun para ilmuwan sosial memerlukan beberapa penjelasan yang lebih spesifik mengenai agresi. Hal ini mengingat bahwa terdapat kekaburan mengenai apa artinya menjadi agresif.

Definisi Agresi

Terdapat sejumlah definisi agresi yang telah diusulkan; definisi-definisi tersebut sering kali merupakan refleksi asumsi teoritik dari penganjurnya.

Teori Psikoanalisa (dikembangkan oleh Freud), mendefinisikan agresi sebagai dorongan biologis yang mendasar, yang harus diekspresikan. • Perspektif Ethologi (studi perilaku binatang dalam seting alami), Konrad

Lorenz menggambarkan agresi sebagai instink berkelahi yang diarahkan terhadap anggota spesies yang sama

Para Behavioris, sebaliknya mendefinisikan agresi dalam konteks perilaku yang nampak; bukan sebagai dorongan dari dalam diri (inner drive) atau motivasi.

Berdasarkan tinjauan aspek internal dan aspek yang nampak tersebut, definisi perilaku agresi yang paling banyak diterima oleh para psikolog sosial adalah: Agresi merupakan berbagai berilaku yang diarahkan untuk membahayakan makhluk hidup lain.

Definisi tersebut mencakup beberapa deskripsi penting:

(20)

dikatakan sebagai agresi. Demikian pula tindakan dokter atau perawat yang menginjeksi kita untuk pengobatan, tidak dapat dikatakan agresi. 2. Dalam percakapan sehari-hari orang sering mengatakan “manajer agresif”

atau “penjual yang agresif”. Secara umum gambaran seperti itu menunjuk pada seseorang yang kompetitif, energik, dan asertif. Perilaku ini tidak sesuai dengan definisi aresi, kecuali bila manajer atau penjual tersebut menyakiti orang lain untuk mencapai keberhasilannya.

3. Definisi agresi tidak hanya mencakup agresi yang membahayakan fisik, Menghina atau mencaci secara verbal juga termasuk agresi. Demikian pula menolak untuk memberikan sesuatu yang menjadi kebutuhan orang lain, dapat dipertimbangkan sebagai bentuk perilaku agresi. Menendang dinding tidak termasuk agresi, namun memukul anjing merupakan perilaku agresi.

™ Penjelasan Biologis Terhadap Agresi

1. Freud (1930) menulis: “Kecenderungan berperilaku agresi merupakan innate (bawaan lahir), independen (tidak tergantung pada faktor lain, dan bersifat instinctual”. Menurut tradisi psikoanalisa, energi agresi secara konstan (ajeg) dihasilkan oleh proses tubuh kita. Dengan demikian agresi didefinisikan sebagai dorongan dasar yang harus diekspresikan.

Pelepasan agresi dapat diekspresikan secara langsung atau tidak langsung. Pelepasan secara tidak langsung, yang lebih dapat diterima secara sosial, misalnya dengan debat yang seru atau aktivitas atletik. Yang tidak dapat diterima secara social, seperti menghina/mencela atau berkelahi. Pelepasan dorongan agresi yang destruktif tidak selalu diarahkan terhadap orang lain, melainkan dapat juga terhadap diri sendiri, yaitu bunuh diri. Bagaimanapun agresi itu dilepaskan, dan agresi dipertimbangkan sebagai bawaan lahir, Freud yakin bahwa masyarakat berfungsi mengendalikan agresi.

2. Ethologi (suatu cabang ilmu biologi yang sangat peduli mengenai instink dan pola perilaku umum semua spesies dalam habitat alami), sering berasumsi bahwa perilaku-perilaku (pola tindakan) berbagai spesies merupakan innate, atau dalam kendali instink (Crook, 1973).

Seperti psikoanalisa, para etholog berpandangan bahwa ekspresi dari berbagai tindakan (agresi) yang polanya menetap itu tergantung dari akumulasi energi, namun .pelepasan energi itu harus dipicu oleh stimulus eksternal yang disebut releaser (Hess, 1962). Releaser dapat berupa ancaman-ancaman dari pihak lain atau perubahan lingkungan.

(21)

3. Sociobiology (E.O. Wilson: studi sistematis mengenai dasar biologis semua perilaku social), yang merupakan perluasan dari teori evolusi Darwin, berpandangan bahwa agresi merupakan perilaku adaptif. Keuntungan biologis dari perilaku agresi yaitu mencakup kemampuan untuk mendapatkan sumber daya lebih besar, mempertahankan sumber daya yang dimiliki, dan melindungi individu-individu terdekat. Bila berhasil, agresi individu akan memperkuat posisi kelompoknya dalam hubungannya dengan kelompok lain.

™ Penjelasan Sosial Terhadap Agresi

Meskipun perilaku agresi pada binatang yang lebih rendah dapat dijelaskan berdasarkan proses instink, para ahli ilmu social berpandangan bahwa perilaku agresi manusia tidak diatur oleh dorongan internal, melainkan dipelajari dari orang lain. Psikolog J.P. Scott (1958) menyimpulkan bahwa semua hasil riset menunjukkan bahwa tidak terdapat fakta psikologis yang berupa dorongan internal atau daya dorong spontan untuk berkelahi; dan bahwa semua stimulasi agresi berasal dari daya yang tampil dalam lingkungan fisik.

Bila agresi merupakan hasil belajar, bagaimana terjadinya proses belajar tersebut? Menurut Bandur (1973) melalui dua metode: instrumental learning dan observational learning.

Instrumental learning. Menurut prinsip ini, perilaku yang diperkuat (reinforced) atau direspon positif (rewarded) lebih mungkin diulang pada masa mendatang. Beberapa bentuk reward untuk agresi antara lain: persetujuan masyarakat, peningkatan status, perolehan uang (untuk orang dewasa), atau permen (untuk anak-anak). Pada orang yang sangat terprovokasi, fakta si kurban menderita dapat berarti sebagai bentuk reinforcement (Baron, 1974; Fesbach, Stiles, & Bitter, 1967).

Observational learning/ social modeling. Menurut banyak penemuan, ini merupakan cara yang lebih umum dalam menghasilkan perilaku agresif. Menurut observational learning atau social modeling, kita dapat mempelajari perilaku baru dengan mengamati tindakan orang lain (model).

Mereka yang beranggapan bahwa perilaku agresi adalah respon yang dipelajari, telah mengklaim bahwa masyarakat di mana tidak terdapat perilaku agresi merupakan manifestasi bahwa belajar memiliki peran penting terhadap agresi. Misalnya, di Amerika dan Canada, anggota komunitas yang terisolir seperti suku Amish, Mennonites, dan Hutterites, berusaha keras untuk mencapai koeksistensi damai. Perilaku agresif pada masyarakat tersebut tidak mendapatkan reward (Bandura & Walters, 1963).

(22)

1. Mereka berada di tempat yang kurang dapat diakses, sehingga tidak ditempati kelompok lain. Bila kelompok lain menginvasi teritori itu, mereka berpindah ke tempat lain yang lebih sulit dijangkau.

2. Masyarakat itu berorientasi terhadap kenikmatan hidup yang kongkrit, seperti makan-minum-dan seks, Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut telah memuaskan mereka. Kebutuhan berprestasi atau kekuasaan, pada anak-anak tidak didukung.

3. Masyarakat tersebut hanya membuat sedikit perbedaan antara pria dan wanita. Meskipun nampak terdapat perbedaan peran antara pria dan wanita, namun tidak ada usaha yang dilakukan yang mencerminkan agresive masculinity (perilaku agresif karena sifat maskulin).

™ Penjelasan Biologi dan Belajar

Mayoritas masyarakat di dunia menampilkan bentuk agresi (Rohner, 1976). Dengan demikian tidak ada alasan untuk mengasumsikan agresi sebagai hasil dari instink atau proses social. Keberadaan masyarakat non-agresif merupakan hasil tempaan sifat manusia, dan merupakan sesuatu yang berbeda besar dengan perilaku-perilaku “normal” berbagai masyarakat (Eisenberg, 1972).

Menurut faham biologi dan belajar, stimulus yang tidak menyenangkan (aversive stimuly) yang melibatkan ancaman, menghasilkan arousal (gejolak) fisiologis yang menyebabkan keseimbangan individual untuk melarikan diri (flee) atau berkelahi (fight) (Berkowitz & Heimer, 1989). Namun, bagaimanapun kesiapan instinctual manusia untuk perperilaku agresif, hal itu dapat dipastikan dimodifikasi oleh pengalaman belajar.

KONDISI-KONDISI YANG MEMPENGARUHI AGRESI

Terdapat berbagai kondisi yang dapat meningkatkan kemungkinan perilaku agresif. Ada yang berhubungan dengan kondisi motivasional atau afektif, dan ada pula yang merupakan kondisi di luar individu.

Frustrasi

Pada tahun 1939 sekelompok psikolog di Yale University (Dollard, Doob, Miller, Mowrer, & Sears, 1939) mengajukan hipotesis bahwa frustrasi menyebabkan agresi. Hipotesis frustrasi-agresi tersebut dipostulatkan: “terjadinya agresi selalu mensyaratkan adanya frustrasi” (Miller, 1941). Namun demikian, frustrasi dapat memiliki akibat lain (tidak selalu agresi).

Frustrasi, oleh para teoris dari Yale didefinisikan sebagai kondisi yang berkembang bila lingkungan menghambat/mengganggu respon pencapaian tujuan. Jadi, frustrasi merupakan hasil ketidakmampuan organisme untuk melengkapi serangkaian perilaku.

(23)

frustrasi mahasiswa: gagal dalam suatu tugas, kehilangan kesempatan mendapatkan uang, dan kehilangan kesempatan mencapai grade yang lebih tinggi. Tiap-tiap tipe frustrasi tersebut menghasilkan tingkat agresi yang hampir sama. Dibandingkan dengan kelompok kontrol (subjek yang tidak mengalami frustrasi), tingkat agresi dari subjek yang dirancang mengalami frustrasi (dari tiga tipe frustrasi) adalah lebih tinggi. Namun tingkat agresi dari tiga tipe frustrasi itu tidak tinggi sekali.

Dengan hasil eksperimennya tersebut Buss (1967, 1967) menyimpulkan bahwa frustrasi dan agresi dapat berkaitan hanya bila agresi memiliki nilai instrumental, yaitu bila perilaku agresif akan membantu mengurangi frustrasi.

Marah, merupakan mediator yang penting dalam keterkaitan frustrasi-agresi (Krebs & Miller, 1985).

Leonard Berkowitz (1965b, 1969, 1971, 1989) menekankan interaksi antara kondisi-kondisi dari lingkungan, kognitif internal, dan emosional. Menurut Berkowitz, reaksi terhadap frustrasi “hanya menciptakan kesiapan untuk bertindak agresi”. Lebih lanjut Berkowitz menegaskan bahwa factor penting yang lain adalah adanya petunjuk agresif dari lingkungan yang memicu perilaku agresif. Frustrasi menciptakan kesiapan dalam bentuk marah, dan secara nyata petunjuk stimulus memicu agresi. Lebih lanjut, pemicu itu sendiri dapat meningkatkan kekuatan respon agresif, khususnya bila respon agresif itu impulsif (Zillman, Katcher, & Milavsky, 1972).

Efek Senjata

Program riset sistematis yang dilakukan oleh Berkowitz dkk di University of Wisconsin telah memperkuat anggapan bahwa petunjuk agresif memicu perilaku agresif.

Dalam salah satu eksperimen Berkowitz (1965), pembantu eksperimenter (confederate) diperkenalkan sebagai Kirk Anderson (diasumsikan menimbulkan asosiasi dengan Kirk Douglas, aktor utama dalam film Champion), atau sebagai Bob Anderson (bukan tokoh agresif). Dalam hal ini petunjuk agresif yang berupa nilai-nilai confederate nampak mempengaruhi tingkat agresif subjek. Dalam eksperimen tersebut subjek memberikan sengatan listrik lebih tinggi (berperilaku agresif) bila:

a. mereka marah,

b. mereka telah menonton film kekerasan,

c. dihadapkan pada orang yang memiliki nama sama dengan petinju dalam film.

d. sebagai tambahan, subjek yang telah dimarahi selalu lebih agresif daripada subjek yang tidak dimarahi.

(24)

Ketika eksperimen berlangsung, sebuah senapan dan revolver terletak di meja terdekat. Beberapa subjek yang lain, sebagai kelompok kontrol, tidak mengalami adanya senjata pada saat berpartisipasi dalam eksperimen. Hasilnya, seperti yang diduga:

a. mahasiswa yang mendapatkan sengatan listrik lebih banyak oleh confederate, membalas memberikan sengatan listrik lebih banyak,

b. keberadaan senjata meningkatkan jumlah sengatan listrik, dari rata-rata 4.67 menjadi 6,07.

Efek keberadaan senjata ini memiliki implikasi praktis yang penting. Salah satu implikasinya adalah bahwa sembarangan meletakkan senjata akan mendatangkan bahaya. Berkowitz (1968) mengungkapkan: “Pestol bukan hanya mengijinkan kekerasan, namun juga dapat menstimulasi kekerasan. Jari menarik pelatuk, namun pelatuk dapat juga menarik jari” (Guns not only permit violence, they can stimulate it as well. The finger pulls the trigger, but the trigger may also be pulling the finger”).

Gejolak Umum (General Arousal)

Model frustrasi-agresi menunjukkan bahwa agresi disebabkan oleh jenis emosi khusus. Model agresi yang lain menunjuk pada kondisi arousal yang umum yang dapat meningkatkan perilaku agresif.

Menurut teori exitation transfer theory (Zillmann, 1979), gejolak yang dihasilkan dari suatu situasi dapat ditransfer pada (atau meningkatkan) kondisi emosi yang lain. Lebih spesifik Zillmann menyatakan bahwa ekspresi marah atau emosi yang lain, tergantung pada tiga faktor:

a. disposisi atau kebiasaan yang dipelajari individu, b. sumber energisasi atau arousal,

c. interpretasi individu terhadap kondisi arousal

Dengan demikian bagaimana kita menginterpretasikan suatu peristiwa, itu penting dalam menentukan apakah kita akan berperilaku secara agresif.

Serangan Verbal dan Fisik

Serangan verbal maupun fisik merupakan provokasi yang lebih kuat terhadap perilaku agresif, bila dibanding dengan frustrasi. Hal ini ditunjukkan oleh hasil eksperimen Geen (1968):

Dalam eksperimennya Geen menciptakan dua situasi frustrasi dalam permainan puzzle, dan satu situasi lainnya yang memungkinkan para subjek menyelesaikan/melengkapi puzzle-nya (meniadakan kemungkinan frustrasi). Kepada para subjek yang telah menyelesaikan tugas melengkapi puzzle, bagaimanapun juga confederate (pembantu eksperimenter) melakukan penghinaan terhadap kecerdasan ataupun motivasinya. Akibatnya, agresi para subjek terhadap confederate dalam kondisi ini lebih kuat daripada subjek-subjek yang mengalami kondisi frustrasi.

(25)

berinteraksi dengan seorang subjek yang lain dan dimungkinkan untuk saling memberikan sengatan listrik. Secara umum, eksperimen ini memberikan fakta nyata bahwa subjek saling berbalasan. Mereka cenderung memberikan sengatan secara berimbang. Jika salah satu pihak meningkatkan level sengatan, subjek lain juga meningkatkan intensitasnya.

Anjuran Pihak Ketiga (Third Party Instigation)

Agresi tidak selalu terjadi dalam situasi isolasi. Seringkali ada saksi mata atau orang-orang lain yang terlibat dalam interaksi. Misalnya dalam pertandingan tinju bayaran, penonton (audience) dapat memberikan dorongan penuh antusias kepada petinju favoritnya untuk menjatuhkan lawan. Bagaimana pengaruh anjuran pihak ke tiga terhadap frekuensi ataupun intensitas perilaku agresif?

Dalam eksperimen obedience yang dilakukan oleh Milgram (1963, 1965, 1974) telah dieksplorasi efek anjuran eksperimenter terhadap kehendak individu untuk memberikan sengatan listrik terhadap orang lain. Dalam eksperimen-eksperimen Milgram tersebut nampak jelas adanya pengaruh tekanan eksternal (pihak lain) terhadap subjek yang didorong untuk terus memberikan sengatan listrik, daripada subjek-subjek yang bertindak sendiri tanpa didorong.

Bagaimana bila pihak lain itu pasif (tidak menganjurkan agresi)? Richard Borden ( 1975) menemukan bahwa pengaruh dari penonton pasif terhadap perilaku agresif seseorang tergantung pada nilai-nilai yang secara implicit dimiliki oleh penontonnya. Misalnya, dalam suatu kasus subjek pria berpartisipasi dalam eksperimen memberi sengatan listrik, ditonton oleh seorang pria atau seorang wanita. Ternyata subjek yang ditonton oleh pria lebih agresif secara signifikan (meyakinkan) daripada subjek yang ditonton oleh wanita. Setelah penonton pria meninggalkan ruang, para subjek mengurangi agresifitasnya; dan agresifitas mereka tidak terpengaruh oleh kehadiran penonton wanita. Mengapa jenis kelamin penonton memiliki pengaruh? Mengenai hal ini Borden mengajukan hipotesis bahwa norma masyarakat kita secara implisit menganjurkan pria menyetujui agresi atau kekerasan, dan wanita sebaliknya.

Untuk menguji hipotesis tersebut Borden melakukan eksperimen kedua, dimana penontonnya adalah anggota club karateka (kemungkinan menyetujui agresi) atau oleh anggota organisasi perdamaian (kemungkinan tidak menyetujui agresi). Dalam eksperimen ini jenis kelamin penonton bercampur, pria dan wanita. Hasil eksperimen: subjek yang ditonton oleh anggota club karate lebih agresif daripada yang ditonton oleh anggota organisasi perdamaian.

Kesimpulan:

• Dorongan langsung oleh seorang pengamat atau anggota audience akan meningkatkan agresi seseorang.

• Pengamat yang merefleksikan nilai-nilai agresif dapat menyebabkan meningkatnya perilaku agresif, seperti halnya efek senjata.

(26)

Bila orang berada dalam keadaan tidak dapat diidentifikasi (dikenali), mereka lebih mungkin untuk bertindak anti-sosial (agresi).

Philip Zimbardo (1970) melakukan eksperimen dimana empat orang mahasiswa diberi tugas memberikan sengatan listrik kepada mahasiswa lainnya. Dua orang dari mereka diatur berada dalam situasi yang terselubung: tidak pernah saling memperkenalkan diri dan berada di tempat yang gelap. Dua orang yang lain ditonjolkan identitasnya: eksperimenter menyambut mereka dengan menyebut namanya, mereka memakai name-tag (kartu bertuliskan nama sebagai tanda pengenal), dan mereka saling berinteraksi dengan menyebut nama depan masing-masing). Seluruh subjek diberi kebebasan memberikan sengatan listrik satu sama lain, seperti yang mereka kehendaki. Hasilnya, subjek yang berada dalam kondisi terselubung memberikan sengatan listrik lebih banyak daripada subjek-subjek yang menggunakan name-tag.

Eksperimen-eksperimen lain yang juga menciptakan situasi anonym seperti di atas, hasilnya juga menunjukkan bahwa orang cenderung lebih agresif baik secara verbal maupun fisik bila identitas dirinya terselubung (Cannavale, Scarr, & Pepitone, 1970; Festinger, Pepitone, & Newcomb, 1952; Mann, Newton, & Innes, 1982).

Dalam mendiskusikan deindividuasi, yaitu suatu kondisi yang relatif anonym dimana individu tidak dapat dikenali, Zimbardo (1970) menjelaskan bahwa deindividuasi meminimalkan kepedulian terhadap evaluasi (penilaian) dan memperlemah control diri yang normal yang didasari oleh rasa bersalah, malu, dan ketakutan.

Konsep deindividuasi ini dapat pula diterapkan bagi diri si kurban, bukan hanya bagi agresor. Misalnya, Milgram (1965) menemukan bahwa orang lebih berkehendak untuk memberikan sengatan listrik bila mereka tidak melihat si kurban, dan bila si kurban tidak melihat dirinya. Sedangkan Mann (1981) menemukan bahwa terdapat beberapa kasus, bila penonton sangat dekat dengan subjek, maka subjek tidak melakukan serangan.

Obat-obatan

Obat-obatan banyak digunakan oleh masyarakat kita. Terdapat anggapan di dalam masyarakat bahwa alkohol memfasilitasi agresi, dan sangat umum kartun ayang menggambarkan tentang pemabuk yang bermusuhan.

Stuart Taylor dkk melakukan serangkaian penelitian dimana berbagai dosis alcohol atau THC (tetrahidrocannabinol, zat pengaktif utama ramuan marijuana) diberikan kepada subjek sebelum mereka berpartisipasi dalam eksperimen agresi. Dalam beberpa siatuasi nampak bahwa efeknya hanya nampak bila bila seseorang doprovokasi atau diserang (Taylor, Gammon, & Capasso, 1976).

Eksperimen Taylor et al. (1976), dengan alkohol:

(27)

• Dosis alkohol yang lebih besar (setara dengan tiga cocktail) memiliki efek yang sebaliknya memberikan sengatan listrik yang lebih kuat

Eksperimen Myerscough & Taylor, 1985), dengan THC/marijuana:

• Dosis ringan (0.1 mg per kg berat badan) tidak memiliki efek terhadap perilaku agresif

• Dosis yang lebih besar (0.3 mg per kg berat badan) cenderung menekan perilaku agresif

• Dosis yang lebih besar lagi (0.4 mg per kg berat badan) juga tidak memfasilitasi agresi, melainkan justru mengurangi kehendak individu untuk membalas serangan aggressor

Eksperimen Taylor (1986) dengan amphetamine: nampak memiliki sedikit pengaruh terhadap agresi.

Kondisi Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik sering mempengaruhi mood. Misalnya, kita mungkin melakukan protes bila di hari yang panas AC di ruangan tidak bekerja, atau bila kebisingan di luar ruang terasa mengganggu.

Kebisingan (noise):

Subjek yang diberi gangguan kebisingan yang tinggi dalam eksperimen di laboratorium, memeberikan sengatan listrik yang lebih tinggi bila disbanding dengan subjek-subjek lain yang mengalami sedikit kebisingan atau yang sama sekali tanpa kebisingan (Donnerstein & Wilson, 1976). Namun demikian, pada umumnya, kebisingan meningkatkan agresi hanya bila individu diprovokasi atau dibuat marah.

Kualitas Udara:

Udara yang tercemar (asap, rokok) juga dapat memepengaruhi kecenderungan agresi.

Kualitas udara dapat diukur dengan mengukur kadar ozon, suatu index polusi udara. Berdasarkan ukuran tsb, James Rotton dan James Frey (1985) melakukan penelitian berdasarkan arsip, untuk mengetahui hubungan antara kualitas udara dan tindak criminal. Hasilnya, bila kualitas ozon meningkat, maka meningkat pula gangguan di dalam keluarga.

Suhu Udara:

Banyak pula orang yang menunjukkan adanya hubungan antara suhu dan peristiwa kekerasan. Di Amerika, pada tahun 1960-an mass-media seringkali menekankan adanya pengaruh musim panas yang berkepanjangan (long hot summer). Panas, dicatat sebagai penyebab terjadinya kerusuhan. Penyebabnya, mayoritas gangguan (huru-hara) terjadi pada musim panas (U.S. Riot Commission, 1968).

(28)

• Hubungan antara temperatur dengan agresi dimediatori (ditentukan) oleh tingginya afek (emosi) negatif atau ketidaknyamanan yang dialami individu;

• Hubungan antara ketidaknyamanan tersebut dengan agresi dapat digambarkan sebagai kurve linier. Dengan kata lain, dalam level ketidaknyamanan yang sangat rendah atau sangat tinggi, agresi diminimalkan. Agresi paling sering terjadi dalam level ketidaknyamanan yang menengah (sedang).

Peran Marah Terhadap Agresi

Pada bagian ini kita mempertimbangkan bagaimana peran marah dan emosi-emosi yang berhubungan dalam menyumbang terjadinya agresi. Apakah marah merupakan bumbu yang diperlukan untuk terjadinya agresi? Bila tidak, apakah yang memainkan peran dalam perilaku agresif? Untuk menjawab pertanyaan itu kita bersandar pada model cognitive-neoassociationistic yang dikembangkan oleh Leonard Berkowitz (1983a; 1983b):

priming

(Marah dan dorongan agresif merupakan hasil dari emosi negatif , namun keduanya juga terhubung di dalam memori)

Menurut model tersebut, yang mendorong agresi secara langsung adalah emosi negatif, bukan rasa marah. Pengalaman marah dapat menunjang (membuat lebih mudah diakses) pikiran-pikiran tentang perilaku agresif (Rule, Taylor, & Doobs, 1987). Efek menunjang tersebut berlangsung dua arah (bi-directional): berpikir tentang perilaku agresif dapat juga menunjang rasa marah.

Perbedaan Individu Dalam Perilaku Agresif

Agresifitas setiap orang tidaklah sama. Ada orang-orang yang lebih agresif daripada yang lain. Terdapat fakta bahwa perbedaan individu dalam agresi, relative bersifat stabil, khususnya pada pria (Huesmann, Lagerspetz, & Eron, 1934; Olweus, 1979,1984b). Anak laki-laki 8 tahun yang di kelas dikenal sebagai anak yang suka memukul dan mendorong anak-anak lain, lebih besar kemungkinannya pada usia 30 tahun menjadi pria yang tercatat berbuat criminal, melecehkan, dan melakukan kekerasan (Eron, 1987).

Stimulus Afersif

Afek (emosi) negatif

(29)

Alasan stabilitas perilaku agresif tersebut menjadi perdebatan. Beberapa penemu berargumen bahwa terdapat faktor bawaan yang sangat kuat dalam kecenderungan agresi, dan menggunakan studi-studi anak kembar untuk mendukung kesimpulan tersebut (Rushton, Fulker, Neale, Nias, & Eysenck, 1986). Sebaliknya ada yang menemukan fakta bahwa orang tua, teman-teman sebaya, dan mass-media, memberikan konteks dimana agresi diperkuat atau diperlemah, yang mendukung kestabilan agresi.

Perbedaan Jenis Kelamin

Mengenai perbedaan jenis kelamin dalam perilaku agresif, juga sering diperdebatkan atas dasar faktor penentunya, bawaan atau lingkungan.

• Eleanor Maccoby dan Carol Jacklin (1974) menyimpulkan bahwa pria lebih agresif, dan bahwa perbedaan tersebut merupakan hasil dari perbedaan dalam kesiapan biologis untuk berperilaku agresif.

• Alice Eagly dan Valerie Steffen (1986) juga menyimpulkan bahwa pria lebih agresif daripada wanita, namun perbedaan yang nampak dalam riset psikologi sosial itu kecil dan tidak konsisten. Perbedaan agresi antara pria dan wanita tersebut lebih besar bila yang diteliti adalah agresi fisik (perbedaan dalam agresi verbal dan bentuk agresi yang lain lebih kecil). Di samping itu, ditemukan bahwa terdapat perbedaan keyakinan mengenai perilaku agresif antara pria dan wanita. Misalnya, wanita lebih merasa bersalah dan cemas bila berperilaku agresif; lebih peduli terhadap bahaya yang dialami kurban; dan lebih takut akan bahayanya bagi diri sendiri. Menurut Eagly & Steffen, keyakinan tersebut mungkin menentukan sejauh mana kesadaran priadan wanita dalam memilih perilaku agresif.

Kemampuan Memproses Informasi Sosial

Kenneth Dodge dan Nicki Patrick (1990), setelah mereviu literatur agresi pada anak-anak berpandangan bahwa perbedaan individu dalam perilaku agresi mungkin ditentukan oleh perbedaan dalam kemampuan memproses informasi sosial.

Secara khusus Dodge & Patrick menunjuk perbedaan dalam kemampuan individu: (1) Untuk menginterpretasi petunjuk-petunjuk dari situasi sosial dan perilaku orang lain; (2) untuk menghasilkan respon-respon yang dimungkinkan dalam situasi sosial; (3) Untuk menentukan respon yang mana yang dipilih untuk dilakukan.

(30)
(31)

PERI LAKU PROSOSI AL

erilaku prososial adalah perilaku yang bermanfaat atau memiliki efek positif bagi orang lain (Staub 1978; Wispe 1972). Istilah prososial berlawanan dengan istilah anti sosial yang diterapkan untuk perilaku agresif atau kekerasan. Perilaku-perilaku yang dapat dipandang sebagai prososialadalah: memberikan pertolongan dalam situasi darurat, beramal (charity), kerja sama, donasi, membantu, berkorban, dan berbagi. Dalam tulisan ini yang menjadi fokus adalah perilaku menolong dalam kondisi darurat, yang lebih memberikan manfaat bagi orang lain, bukan bagi diri sendiri.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, berkembang istilah altruism. Altruisme adalah bentuk khusus perilaku menolong yang dilakukan dengan suka rela, merugikan bagi pelakunya, dan terutama dimotivasi oleh kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain, bukan untuk mengharapkan imbalan (Batson 1987; Walster & Piliavin, 1972). Dengan demikian altruisme merupakan perilaku prososial yang lebih bersifat selfless (tidak mementingkan diri sendiri) daripada selfish (egois, mementingkan diri sendiri).

Berikut ini dibahas mengenai beberapa hal yang dapat diterapkan untuk membangun masyarakat yang lebih prososial.

APAKAH KITA SUNGGUH-SUNGGUH MAMPU BERPERILAKU ALTRUISTIK?

Pertanyaan ini akan dijelaskan dari beberapa sudut pandang.

Altruisme Menurut teori-teori Psikologi Tradisional

a. Teori Psikoanalisa

Teori ini bersandar pada asumsi bahwa manusia pada dasarnya agresif dan

selfish (egois) secara instinktif. Dengan demikian beberapa teoris

psikoanalisa memandang altruisme dalam arti sebagai pertahanan diri terhadap kecemasan dan konflik internal diri kita sendiri, dan hal ini menunjukkan bahwa altruisme lebih bersifat self-serving (melayani diri sendiri), bukan dimotivasi oleh kepedulian yang murni terhadap orang lain. Meskipun diakui bahwa pengalaman sosialisasi yang positif dapat membuat kita tidak terlalu selfish (lebih selfless), namun para teoris psikoanalisa tetap memandang bahwa pada dasarnya manusia bersifat selfish.

b. Teori-teori Belajar

(32)

tidak menolong. Pun bila seseorang tidak dapat mengharapkan hadiah, penghargaan, imbalan uang, dia mungkin dimotivasi oleh penghargaan-penghargaan yang lebih lunak (Gelfand & Hartmann 1982).

c. Hipotesis Empati-Altruisme

Batson dkk (Batson 1987, 1990; Batson & Olson 1991;Coke, Batson, & McDavis 1978) berdasarkan penelitian-penelitian yang mereka lakukan menemukan bahwa terdapat hubungan antara perilaku menolong dan empati (seolah-olah mengalami emosi orang lain). Berdasarkan hal tersebut, muncul pertanyaan, mengapa perasaan empati terhadap orang lain lebih memungkinkan kita untuk menolongnya? Batson dengan hipotesis empati-altruisme menyatakan bahwa emosi empatik dapat menghasilkan motivasi altruistik yang murni, yaitu menolong dengan tujuan terutama untuk mengurangi penderitaan si korban, bukan untuk memuaskan kebutuhan diri sendiri.

Untuk membedakan antara menolong yang dimotivasi secara egoistik dengan yang dimotivasi secara altruistik atas dasar empati, Batson dkk telah berusaha mengukur dua reaksi emosi yang berbeda terhadap seseorang yang mengalami kesulitan (distress):

- Empathic concern: fokusnya, simpati terhadap kesulitan orang lain dan motivasi untuk mengurangi kesulitan tersebut. Dalam skala pengukur

empathic concern, yang dimasukkan sebagai sifat-sifat yang

merefleksikan hal ini adalah: simpati (sympathetic), belas kasihan (compassionate), gerakan hati (moved), tidak sampai hati (softhearted), dan sabar (tender).

- Personal distress: kepedulian terhadap rasa ketidaknyamanan diri sendiri dan motivasi untuk mengurangi ketidaknyamanan tersebut. Dalam skala pengukur personal distress, reaksi-reaksi yang dianggap mencerminkan hal ini adalah: ketakutan/kegelisahan (alarmed), cemas/khawatir (worried), terganggu (disturbed), dan terkejut/bingung (upset).

Altruisme: pengaruh faktor biologis atau budaya?

Berikut ini tinjauan mengenai kemungkinan kontribusi dari faktor biologi maupun budaya.

a. Altruisme dan Genetik

(33)

yang rata-rata memiliki kesamaan gen 50%, kurang memiliki kesamaan (korelasi untuk empati adalah .20 dan untuk altruisme adalah .25.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada orang-orang yang lebih altruistik daripada orang lain, sebagian karena genetik yang mereka bawa pada saat konsepsi. Namun demikian, penemuan bahwa pada orang-orang kembar identik tidak memiliki kecenderungan prososial yang sama persis (korelasi altruisme .53), menunjukkan bahwa pengalaman unik yang mereka miliki juga berpengaruh. Dengan demikian jelas bahwa pengalaman belajar sosial juga menentukan seberapa prososialnya kita.

b. Altruisme dan Budaya

Faham sosiobiologi berpandangan bahwa evolusi kebudayaan mungkin lebih penting daripada evolusi biologis dalam membentuk perilaku prososial (Boyd & Richerson 1990; Campbell 1978). Mekanisme dibalik evolusi biologis adalah faktor genetik, sedangkan mekanisme di balik evolusi kebudayaan adalah proses belajar. Dengan demikian, meskipun manusia di manapun secara biologis memiliki predisposisi selfish, namun beberapa masyarakat dapat berkembang jauh lebih prososial dari pada masyarakat yang lain melalui praktek-praktek pengasuhan anak oleh orang tua, latihan religius, pendidikan, dan menggunakan ide-ide dari budaya yang lain (Boyd & Richerson 1990).

Perilaku prososial didukung sangat kuat di dalam budaya kolektifis (collectivist culturs), yaitu budaya dimana kebaikan kelompok (misalnya, keluarga besar) dianggap lebih penting daripada keinginan-keinginan individual (Triandis, McCusker, & Hui 1990). Di dalam budaya individualis seperti Amerika Serikat dan Canada, kurang menekankan tanggungjawab individu terhadap kesejahteraan orang lain, dan lebih menekankan kebebasan untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi individu.

Salah satu cara masyarakat mempengaruhi anggota-angotanya adalah dengan menegakkan, menyebarkan, dan memperkuat norma-norma yang disepakati secara sosial sebagai standard perilaku. Dalam masyarakat yang relatif individualis pun memiliki norma yang mendorong anggotanya berperilaku prososial dan membuat mereka merasa “harus” menolong (Berkowitz & Daniels 1963). Norma-norma masyarakat yang mendukung perilaku prososial tersebut adalah:

- Norma tanggungjawab sosial, menyatakan bahwa kita harus menolong orang yang membutuhkan bantuan (Simmons 1991)

- Norma balas budi, menyatakan bahwa kita harus menolong dan tidak menyakiti orang yang pernah membantu kita (Gouldner 1960).

PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MENOLONG

Gambar

Gambar di atas menunjukkan konsep overlapping distributions. Masing-

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian tersebut Weldman (2002) menemukan, antara lain: (1) pengung- kapan kewajiban lingkungan dipengaruhi oleh variabel individual (sikap individu terhadap

Pola asuh merupakan cara orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak dalam mencapai proses kedewasaan baik secara langsung maupun tidak

Dengan pertimbangan tersebut maka investor cenderung akan melakukan investasi pada perusahaan yang memiliki reputasi yang baik karena investor yakin bahwa reputasi yang baik

Berdasarkan tabel 25 diketahui nilai R sebesar 0,727 yang menunjukkan bahwa koefisien korelasi bernilai positif artinya terdapat hubungan positif antara efikasi diri, status

Atas segala doa dan dukungannya dalam rangka menjadikan ananda pribadi yang lebih bernilai... Pengaruh Pendidikan Kewirausahaan, Kepribadian Wirausaha dan Lingkungan Sosial

Lanis and Richardson (2011) menemukan bahwa kehadiran dewan direksi internal maupun yang memiliki saham berpengaruh positif terhadap tindakan pajak agresif, hal ini

Banyak orang melakukan perilaku-perilaku tertentu yang sesuai dengan norma sosial atau norma kelompok walaupun hal tersebut tidak mereka yakini sebagai sesuatu kebenaran

Uraian STS TS N S SS 1 Saya percaya bahwa semua perbuatan kita kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan 2 Saya yakin Tuhan selalu melindungi dan membantu saya