• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Lingkungan Hidup dan Pendidikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Lingkungan Hidup dan Pendidikan"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

2. 1. Kondisi Lingkungan Hidup dan Pendidikan

Perhatian masyarakat dunia terhadap lingkungan hidup baru berlangsung pada sekitar tahun 1972, yaitu sejak ditandatanganinya Deklarasi Stockholm. Sejak saat itu mulai disadari bahwa ternyata keadaan lingkungan hidup sangat memprihatinkan dan banyak mengalami kerusakan yang berarti. Pencemaran atmosfer yang pada sebelum abad 21 hanya berskala lokal telah berubah menjadi global dan diikuti dengan pemanasan bumi. Air laut juga mengalami pencemaran yang terus meningkat dari pencemaran yang bersifat sporadis menjadi pencemaran limbah padat, cair, bahan beracun dan berbahaya (B3), kerusakan terumbu karang, dan instrusi garam terhadap air tanah. Permasalahan air bersih yang pada awalnya hanya berupa pencemaran pada skala lokal menjadi masalah terbatasnya air yang berkualitas dan makin sulitnya air bersih diperoleh. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Yudhoyono (2007) bahwa kondisi sumberdaya air di Indonesia yang sudah mencapai tahap kritis akibat tekanan, pengelolaan, serta kuantitas dan kualitas sumberdaya air. Padahal Indonesia merupakan negara sebagai penyedia 6 % sumber air dunia dan 21% di Asia Pasifik.

Permasalahan lainnya adalah terbentuknya lahan kritis, banjir, penggundulan hutan, kekeringan, penciutan lahan pertanian produktif, penggurunan, longsor yang semakin luas, terancamnya sumberdaya hayati, kebakaran hutan, dan illegal logging. Di beberapa daerah kawasan hutan yang seharusnya merupakan kawasan konservasi sekarang ini jumlahnya berkurang karena terdesak oleh kegiatan masyarakat sekitar seperti penebangan liar, permukiman penduduk, serta perambahan hutan yang tak terkendali (Wildensyah, 2007). Sejalan dengan itu menurut Siburian (2006) pengambilan kayu dari hutan oleh masyarakat disebabkan rendahnya pengetahuan tentang dampak lingkungan yang ditimbulkan. Godwin Limberg peneliti Cifor dalam Kompas Senin 24 September 2007 halaman 23 mengemukakan bahwa adanya perambahan hutan pada Taman Nasional Kutai.

Menurut Asdak (2002) banjir bandang di wilayah hilir Daerah Aliran Sungai berhubungan dengan penebangan hutan di wilayah hulu DAS. Hal ini

(2)

disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat tentang keterkaitan antara vegetasi, air dan tanah. Tingkat pemahaman masyarakat juga berkaitan dengan tingkat keberhasilan perbaikan kampung oleh pemerintah, masyarakat, maupun swasta dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan dan kesejateraan, sehingga banyak program perbaikan kampung yang belum dapat dicapai. Keadaan yang sama juga terjadi pada upaya rehabilitasi hutan Mangrove yang kondisinya mengkhawatirkan. Keadaan ini disebabkan penebangan oleh masyarakat, pembangunan tambak, dan abrasi seperti yang terjadi di kecamatan Pemangkat kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Upaya rehabilitasi yang mengalami hambatan disebabkan oleh rendahnya partisipasi masyarakat. Sebagai akibat dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Risyanto dan Widyastuti (2004) mengemukakan ada kaitan antara perilaku penduduk dan kualitas air sungai Gajahwong dengan sumber pencemar limbah rumah tangga, pertanian, dan industri. Rendahnya pendidikan masyarakat juga merupakan penyebab pemanfaatan bahan peledak untuk menangkap ikan oleh nelayan di pulau Kodinggareng Sulawesi Selatan sehingga merusak terumbu karang (Bachtiar dkk, 2003).

Rario dkk (2005) mengemukakan pengetahuan petani dalam penggunaan pestisida berhubungan nyata dan berpengaruh besar terhadap persepsi dan perilaku penggunaan pestisida. Selain itu dikemukakan pula bahwa persepsi tentang pestisida berhubungan nyata dan berpengaruh besar terhadap perilaku penanganan pestisida seperti alasan penggunaan, cara penyimpanan, dan pemusnahan. Irham dan Mariyono ( 2001) juga mengemukakan banyak petani menggunakan pestisida dengan dasar pencegahan tanpa mempertimbangkan keadaan serangan hama dan penyakit sehingga penggunaannya cenderung berlebih.

Kegiatan masyarakat yang menimbulkan masalah lingkungan juga dikemukakan oleh Agus dkk (2005). Penambangan emas tanpa izin di desa Jendi Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah telah menurunkan kualitas air sungai akibat penggunaan merkuri dalam penambangan dan terindikasi telah melewati baku mutu air. Dampak merkuri terhadap makhluk hidup adalah bersifat racun, sulit untuk dihancurkan dan dapat terakumulasi pada tiap makhluk hidup dalam jaring makanan. Sungai Kahayan di Kalimantan

(3)

Tengah juga tengah mengalami tekanan lingkungan karena adanya limbah merkuri yang berasal dari penambangan emas tradisional. Dampak merkuri yang mencemari sungai telah diindikasikan ada pada ikan Baung (Mytus nemurus) yang biasa dikonsumsi masyarakat.

Kegiatan masyarakat lainnya yang dapat merusak lingkungan adalah pembuang limbah domestik, industri, dan pertanian ke dalam badan air. Menurut Sudarso dkk (2005) kondisi waduk Saguling telah terkontaminasi Pb dan Cu seingga menimbulkan gangguan pada ekosistem perairan disamping blooming algae. Penelitian terhadap pembuangan limbah rumah tangga yang berasal dari permukiman, perdagangan, rekreasi di Makasar yang kemudian dialirkan langsung ke tempat yang lebih rendah seperti sungai dan laut telah melampaui baku mutu untuk kualitas air golongan 1 yaitu air yang dapat digunakan untuk minum dengan parameter DO, fosfat, BOD, dan deterjen.

Sahubawa (2001) mengemukakan bahwa aktifitas masyarakat selama 15 tahun terakhir di perairan teluk Ambon seperti pembuangan limbah domestik dan industri dan pengrusakan hutan mangrove telah menurunkan kecerahan perairan yang menghambat proses fotosintesis tumbuhan air dan pertumbuhan ikan. Penelitian terhadap perilaku petani juga telah dilakukan oleh Baroroh dan Utami (2001) yang mengemukakan bahwa pada umumnya petani kentang dan kubis di dataran tinggi Dieng Jawa Tengah tidak melaksanakan teknik konservasi tanah yang memadai untuk dapat menekan erosi dan aliran permukaan, kehilangan hara yang akibatnya menurunkan produktifitas dan kerugian ekonomi. Pengolahan tanah budidaya sayuran yang dilakukan oleh petani kurang memperhatikan aspek garis kontur, dan petani membuat guludan yang memotong garis kontur dengan alasan bahaya penyakit layu yang disebabkan oleh jamur (Phytopthora infestan). Cara pengolahan tanah dengan guludan searah lereng pada kemiringan yang curam dan curah hujan yang tinggi sangat potensial menimbulkan erosi yang tinggi. Akibatnya dapat mengurangi kemampuan lahan dalam berproduksi.

Lebih jauh dikemukakan oleh Fujisaki (1995) bahwa kerusakan lingkungan secara lokal akibat aktifitas manusia dapat menimbulkan kerusakan dalam skala global. Hal ini juga dijelaskan oleh Rich dan Neilsen (2004) serta Verma dkk (2004). Perubahan iklim yang terjadi saat ini disebabkan oleh perilaku manusia (BBC World Service dalam Republika 17 Oktober 2007 halaman 14).

(4)

Cowwie dkk (2007) juga mengemukakan bahwa pemanasan global terjadi akibat aktifitas manusia. Hal lain yang dilaporkan Cowie dkk (2007) adalah perubahan lingkungan global yang terjadi merupakan sinergi dari perubahan iklim, penurunan keanekaragaman hayati, dan desertifikasi. Dengan demikian maka diperlukan upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan global (Hohne dkk, 2007).

Upaya pelestarian sumberdaya hayati yang telah dilakukan selama ini adalah pelestarian flora dan fauna dalam habitatnya. Akan tetapi upaya tersebut belum dapat mengimbangi tingkat kerusakan yang terjadi sehingga perlu diperluas dengan upaya pelestarian tingkat plasma nutfah, jenis, dan ekosistem. Upaya penanggulangan kesehatan manusia juga mengalami perubahan dari pengendalian penyakit kekurangan gizi dan penyakit menular terutama di negara berkembang menjadi penyakit yang berkaitan dengan penurunan kualitas lingkungan hidup. Penyakit-penyakit tersebut adalah gangguan pernafasan, jantung, alergi, stress, dan kanker. Belajar dari permasalahan lingkungan seperti yang dikemukakan di atas, maka tujuan pembangunan seharusnya bukan hanya menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi untuk mencapai kemakmuran tetapi juga harus memperhatikan keberlanjutan lingkungan hidup dan sumberdaya alam serta pemerataan pembangunan yang nyata pada tingkat lokal, nasional, regional, dan global (Soeriatmadja, 2004).

Masalah lingkungan saat ini menurut Perhimpunan Cendekiawan Ilmu Lingkungan Se Indonesia (2005) adalah emisi karbondioksida dari pembakaran bahan bakar fosil dan pencemar lainnya yang menyebabkan berlangsungnya pemanasan global yang memberikan dampak pada perubahan iklim. Selain itu juga pemanasan global merupakan dampak dari deforestasi, degradasi hutan, devegetasi (Schlamadinger dkk, 2007). Hal ini juga dilaporkan oleh Povellato dkk (2007) bahwa diperlukan strategi untuk mengurangi gas rumah kaca karena dampaknya terhadap pemanasan global. Ozon telah mengalami kerusakan karena terlepasnya CFC yang menurut Derwent dkk (2007) juga dapat disebabkan oleh alkohol, ester, ketone, ether, alkana, cyckloalkana dan glycol.

Ribuan spesies tumbuhan dan hewan setiap tahun punah akibat penebangan hutan, dan kerusakan lingkungan alam seperti trace (kelumit) dari bahan kimia (toksik) dijumpai pada banyak danau dan ekosistem lainnya

(5)

termasuk lautan. Hujan asam yang disebabkan oleh emisi sulfur dioksida dari pusat pembangkit tenaga listrik dengan pembakaran batu bara jatuh di daerah sangat luas di bumi. Sumberdaya air terkuras oleh pemakaian berlebihan di banyak daerah di dunia. Jalur transportasi air tercemar dan terdegradasi oleh limpasan limbah cair rumah tangga dan pertanian, serta pembuangan limbah kimia. Bappenas (2003) dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Universitas Indonesia menggambarkan SDA dan lingkungan hidup Indonesia pada tahun 2025 sebagai berikut :

1. Total populasi diperkirakan akan mencapai 260 juta dengan persebaran yang semakin terkonsentrasi di daerah perkotaan yaitu 70% dari total penduduk dan terkonsentrasi di daerah pesisir. Peningkatan jumlah penduduk akan mempengaruhi aktifitas ekonomi dan sosial ke arah konsekuensi upaya ekspansif termasuk penggunaan lahan.

2. Kebutuhan SDA yang melebihi ketersediaannya dapat mengakibatkan perambahan aktifitas ekonomi dan sosial ke wilayah-wilayah yang memiliki penurunan kualitas lingkungan, terutama di hutan-hutan konservasi. Selain berkurangnya keanekaragaman hayati juga berkurangnya luas hutan dan bertambah luas daerah dan volume erosi tanah sehingga menyebabkan bencana banjir.

3. Perubahan daerah rawa dan ruang hijau yang berfungsi untuk menyimpan air akan beralih fungsi menjadi tanah persawahan dan pemukiman. Fenomena di atas menggambarkan adanya resiko degradasi kualitas sumberdaya air, khususnya di daerah perkotaan oleh besarnya tekanan penduduk dan pengelolaan sumberdaya air.

4. Indonesia akan mengalami berkurangnya nilai sumberdaya laut akibat kebijakan pembangunan di masa lalu yang sekarang masih berjalan tanpa disadari.

5. Permasalahan pengelolaan sumberdaya air, tanah, dan udara serta unsur-unsur yang terkait dapat menimbulkan konflik sosial, budaya, dan ekonomi sebagai akibat kelangkaan ketesediaan SDA.

6. Penyediaan energi yang terbatas akibat cadangan minyak yang semakin menipis dan bergeser pada gas alam. Pendistribusian sumberdaya energi

(6)

yang tidak merata akan memungkinkan terjadinya konflik sosial dan ekonomi.

Perubahan kualitas lingkungan dan sumberdaya alam yang cepat serta bersifat global tidak dapat dihindari oleh setiap individu, masyarakat, dan pemerintah. Namun demikian kini telah ada kesadaran masyarakat dunia termasuk Indonesia untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Disamping adanya kesadaran juga diperlukan upaya untuk menyatukan pandangan terhadap masalah dunia dan melakukan satu aksi untuk menyelamatkan planet bumi sebagai tempat yang aman dan berkelanjutan (sustainable development). Untuk dapat merealisasikan hal tersebut maka pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam proses transformasi kesadaran yang menjadi satu kesatuan nilai pengetahuan, sikap, dan perilaku.

Kondisi lingkungan global yang cenderung kian memburuk memicu lahirnya program Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan atau Education for Sustaianable Development (ESD) yang dicanangkan melalui resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Nomor 57 tahun 2004. Ada tiga tahapan untuk dapat memahami ESD yaitu memahami konsep sustainable development dan memahami peran pendidikan dalam merealisasi sustainable development. Hal ini mempresentasikan visi baru bagi pendidikan yaitu visi yang menolong masyarakat berbagai usia untuk mengerti dunia tempat tinggal secara baik, sanggup menghadapi kompleksitas dan keterkaitan masalah seperti ekonomi, ekologi, dan sosial. Menurut Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Universitas Indonesia (2006) pendidikan untuk sustainable development merupakan:

1. Pendidikan yang mendorong orang untuk memperoleh keahlian, kapasitas, nilai, dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk menjamin terwujudnya pembangunan berkelanjutan.

2. Pendidikan merata di semua tingkat dan konteks sosial (keluarga, sekolah, tempat kerja, dan komunitas).

3. Pendidikan yang menghasilkan warga negara yang bertanggung jawab serta mengusung nilai demokrasi dengan mengizinkan individu dan komunitas-komunitas memperoleh haknya dan menjalankan kewajibannya.

(7)

4. Pendidikan berdasarkan prinsip pembelajaran seunur hidup.

5. Pendidikan yang membantu pembangunan individu yang seimbang Powers (2004) mengemukakan bahwa kesempatan yang diberikan kepada sekolah untuk mempengaruhi masyarakat dengan cara memberikan bekal kompetensi pengetahuan, sikap, dan pengalaman kepada siswa dapat membentuk tingkah laku masyarakat yang positif terhadap lingkungan sehingga terbentuk lingkungan alami dan sosial yang sehat. Sebagai produk dari sikap individu, masyarakat, dan pemerintah terhadap lingkungan maka kualitas lingkungan berhubungan dengan sikap atau perilaku. Sikap merupakan refleksi dari pemahaman pengetahuan yang diperoleh melalui proses pembelajaran, sedangkan perilaku adalah tindakan yang merefleksikan pengetahuan dan sikap. Proses pembelajaran merupakan rangkaian informasi pendidikan baik formal maupun informal yang senantiasa mengalami perubahan. Dengan demikian dunia pendidikan dituntut untuk mengantisipasi cepatnya perubahan sehingga perlu segera menangkap informasi lingkungan yang saat ini mendapat perhatian yang besar, khususnya jika dikaitkan dengan kondisi sumberdaya alam dan kualitas lingkungan yang semakin menurun. Pendidikan dasar dan menengah dinilai dapat menanamkan norma, cara pandang, dan etika yang dibangun melalui transfer pengetahuan secara formal untuk selanjutnya akan menjadi jiwa peradaban bangsa.

Pada Rencana Pembangunan Berkelanjutan Menteri Negara Lingkungan Hidup (2004) dijelaskan bahwa indikator keberhasilan dalam bidang Pendidikan adalah memberikan pengetahuan, pemahaman dan wawasan mengenai pembangunan berkelanjutan melalui penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan formal, informal, dan nonformal sehingga dihasilkan sumberdaya manusia Indonesia yang berbudaya, paham, tanggap, dan kreatif terhadap tiga pilar pembangunan berkelanjutan. Ada dua hal yang mendasar yang harus dibenahi yaitu kesadaran masyarakat terhadap lingkungan dan penegakan hukum yang masih kurang dan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) adalah upaya untuk memberikan kesadaran terhadap lingkungan. Namun berkaitan dengan pelaksanaan PLH, Kusumo (2003) mengemukakan bahwa PLH dengan sasaran sustainable development yang sudah dilaksanakan di Indonesia mengalami beberapa hambatan yaitu berupa:

(8)

1. Terbatasnya jumlah tenaga pengajar yang dapat menyusun materi ajar PLH dan yang menguasai pengetahuan lingkungan hidup. Dengan demikian diperlukannya pendidikan lingkungan hidup untuk calon guru seperti yang dikemukakan oleh Heimlich dkk (2004) melalui penelitiannya di Amerika.

2. Terbatasnya kualitas dan kuantitas bahan dan materi ajar tentang lingkungan hidup.

3. Masih kurangnya inisiatif dan partisipasi dari masyarakat dalam pengembangan dan pelaksanaan PLH

4. Masih terbatasnya jaringan kerjasama antara pihak terkait baik pemerintah, swasta, industri, peruguan tinggi, lembaga pendidikan formal dan non formal, serta lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup.

5 Masih terbatasnya sarana dan prasarana

6. Terbatasnya dana dalam pengembangan dan pelaksanaan PLH.

Selain itu menurut Saragih ( 2000) Pandangan dan cara hidup masyarakat sukar diperbaiki dalam jangka waktu yang singkat. Pola pikir dan pola hidup yang sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat tidak dapat dikendalikan dan diperbaiki dengan cara perundangan. Untuk memperbaiki hal seperti itu cara pendidikan formal maupun informal mungkin efektif walaupun tidak dapat dilakukan dalam kurun waktu yang singkat.

Pelatihan tentang lingkungan hidup sudah mulai digalakkan pada tahun 1989/1990 hingga sekarang terhadap guru-guru Sekolah Dasar dan Menengah dengan nama Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan hidup (PKLH), Pelaksanaan PKLH Dikdasmen didukung oleh 12 Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG). Pengamatan PPPG menunjukkan bahwa kemampuan tenaga kependidikan untuk mengajarkan lingkungan hidup telah dapat ditingkatkan tetapi implementasinya di sekolah masih lemah. Alkarhami (2000) juga mengemukakan bahwa PLH yang disampaikan melalui Kurikulum 1984 belum memberikan hasil yang menggembirakan. Realita sehari-hari hampir semua lulusan sekolah belum menampilkan kinerja ramah lingkungan. Dengan demikian kondisi aktual di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan pendidikan nasional belum menyentuh paradigma lingkungan hidup. Hasil evaluasi terhadap

(9)

Proyek PLH Dikdasmen yang dilakukan oleh oleh IPB (2001) memperlihatkan bahwa:

1. Pola pelatihan yang belum efektif

2. Metode pengajaran lebih didominasi ceramah

3. Kurikulum sangat padat waktu terbatas dan sulit diintegrasikan ke dalam kurikulum.

4. Penegakan hukum yang masih rendah.

5. Tidak ada target yang jelas dalam pelaksanaan PLH. 6. Keterlibatan lembaga lain masih rendah.

2.2. Kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendiikan (KTSP) serta Kaitannya dengan PLH

Salah satu kelengkapan penyelenggaraan pendidikan yang sangat penting adalah kurikulum. Kurikulum Tahun 1994 yang selama sepuluh tahun dilaksanakan pada SMA telah mendapat evaluasi dari kalangan masyarakat. Hasilnya antara lain menyimpulkan bahwa materi kurikulum ini dinilai sangat padat dan sukar dipahami oleh siswa bahkan oleh guru. Selain itu kurang menyentuh kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh materi tentang pengelolaan sumberdaya alam (SDA) yang terdapat pada lingkungan sekitar dan potensi daerah tidak dituangkan dan digali dalam Kurikulum Pendidikan 1994. Padahal materi lingkungan hidup sangat penting mengingat kenyataannya sumberdaya alam bersifat terbatas sehingga jika pemanfaatannya atau pengelolaannya keliru dapat menyebabkan kerusakan atau kepunahan. Pemanfaatan SDA yang unrenewable perlu dilakukan secara hemat maupun mencari alternatif pengganti agar kehidupan dapat berlangsung secara berkelanjutan. Demikian juga halnya dengan SDA yang bersifat renewable juga tidak dapat diabaikan karena sumberdaya ini dapat mengalami kepunahan yang akhirnya dapat menimbulkan dampak negatif bagi ekosistem secara keseluruhan. Mempertahankan eksistensi SDA bukan hal yang mudah karena membutuhkan upaya dan kesungguhan. Oleh sebab itu dalam mendukung keberlangsungan kehidupan, selain diperlukan kompetensi untuk mengelola SDA juga diperlukan kompetensi untuk mempertahankan keberadaan SDA. Kompetensi tersebut dapat berupa

(10)

pembekalan kompetensi akan teknologi yang ramah lingkungan di berbagai bidang misalnya pertanian, industri, dan informasi sehingga siswa memiliki kompetensi yang handal dan mampu bersaing secara global.

Djajadiningrat (2001) mengemukakan individu perlu peduli terhadap lingkungan karena individu merupakan bagian integral dari seluruh mata rantai lingkungan hidup, dan sebagai pengelola SDA manusia adalah pelaku aktif yang bertindak sebagai konsumen, produsen, dan pembina ekosistem. Perwujudan pembangunan berkelanjutan hanya dapat dicapai melalui masyarakat yang hidup dalam prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Menghormati dan memelihara komunitas kehidupan. 2. Memperbaiki kualitas lingkungan manusia.

3. Melestarikan lingkungan hidup dan keragaman bumi. 4. Menghindari pemborosan sumberdaya yang tak terbarukan.

5. Berusaha untuk tidak melampaui kapasitas daya dukung bumi. 6. Mengubah sikap dan gaya hidup.

7. Mendukung kreatifitas masyarakat untuk memelihara lingkungan sekitarnya.

8. Menyediakan kerangka kerja nasional untuk memadukan upaya pembangunan dan pelestrian.

9. Menciptakan kerjasama global.

Dengan demikian untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) memiliki peranan yang sangat besar. Menurut Dewan Riset Nasional (2003) isu pokok bidang lingkungan salah satunya adalah PLH. Selain itu isu lingkungan juga meliputi pembangunan yang belum berwawasan lingkungan, konservasi dan rehabilitasi, peluang pengelolaan dan penyelamatan SDA, serta peningkatan kemampuan hukum dan institusi.

PLH merupakan kunci penting untuk menjawab rasa ingin tahu sebagai dasar kearifan manusia dalam berperilaku. Perilaku yang menjamin kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan perlu dikemas dalam berbagai program pembangunan yang bermuara pada peningkatan kualitas hidup. PLH dalam era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang harus memberdayakan setiap individu untuk mampu beradaptasi dalam kehidupan yang selalu bergolak. Oleh karena itu PLH harus mampu memberdayakan

(11)

manusia untuk tegar tetapi lentur dengan kearifan agar mampu menghasilkan kompromi dalam berbagai hal yang memerlukan pendekatan dari dimensi yang berbeda (Soeryani, 2005). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soemarwoto (1981) bahwa sikap manusia terhadap ekosistem adalah faktor penentu kualitas lingkungan. Penurunan SDA, erosi, polusi, kepunahan spesies dan berbagai masalah adalah refleksi hubungan manusia dan lingkungannya. Sebagai konsekuensinya pendidikan lingkungan hidup harus mendapat perhatian yang besar.

Untuk mencapai hal tersebut SDM masyarakat sekolah khususnya Kepala Sekolah dan guru perlu terus melakukan pembelajaran khususnya mengenai lingkungan dengan kesadaran yang tinggi. Karena itu tuntutan agar terus menerus untuk memutakhirkan pengetahuan menjadi suatu keharusan. Agar lulusan memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif sesuai dengan standar mutu nasional dan internasional dengan tidak mengabaikan lingkungan. Dengan demikian maka kurikulum perlu dikembangkan dengan pendekatan Kurikulum Berwawasan Lingkungan. Melalui upaya ini diharapkan terjadi peningkatan kompetensi SDM terhadap pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sehingga dapat dicapai perbaikan kualitas lingkungan yang berdampak pada kesejahteraan bangsa. Upaya untuk mencapai kesejahteraan bangsa SDA bukan merupakan faktor yang utama, tetapi yang lebih besar peranannya adalah kompetensi dari SDM yang dimiliki.

Adanya perubahan yang cepat menyebabkan perlunya pembaruan paradigma kompetensi lulusan Sekolah Menengah, khususnya SMA. Kompetensi yang diharapkan dari pembelajaran mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di tingkat sekolah menengah mengalami perubahan yaitu dari penguasaan materi menjadi kompetensi untuk dapat mengembangkan materi pembelajaran yang berpijak pada Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan (PBBL). Menurut Soeriatmadja (2004) pembaruan pendidikan di tingkat SMA baik IPA maupun IPS pada abad 21 adalah berperan aktif dalam PBBL. Hal ini berbeda dengan pendidikan SMA pada abad 20 yang terfokus pada peningkatan dan penguasaan pelajaran, dan lebih pada pengembangan lokal dan nasional. Materi IPA dan IPS yang pada

(12)

awalnya bersifat spesialisasi menjadi interdisiplin dan bergerak menuju pola holistik.

Pembelajaran dalam PBBL memuat tiga aspek yaitu tujuan ekonomi, ekologi, dan sosial. Tujuan utama pembelajaran ekonomi adalah memberikan pemahaman tentang pertumbuhan ekonomi, pemerataan, ekoefisiensi, dan stabilitas. Tujuan utama pembelajaran ilmu sosial adalah pemberdayaan sumberdaya manusia, partisipasi masyarakat, kebersamaan, identitas budaya, pembinaan kelembagaan, dan pengentasan kemiskinan. Sedangkan target pembelajaran ekologi adalah kemampuan mengidentifikasi ekologi, keutuhan ekosistem, pelestarian keanekaragaman hayati khususnya pada daerah tropika, daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan hidup (carrying capacity), pengenalan IPTEK yang ramah lingkungan, penghematan sumberdaya alam, dan tanggap terhadap isu lingkungan global. Adapun tujuan akhir ke tiga aspek tersebut adalah kemampuan menjalin dan membina kemitraan dalam masyarakat (Soeriatmadja, 2004). Dalam pencapaian kompetensi tersebut di atas materi dan metode pembelajaran perlu disesuaikan dengan tingkat usia, lingkungan, dan potensi daerah.

Pembekalan pemahaman terhadap pelestarian lingkungan sebaiknya telah ditanamkan sejak dini dan secara formal di tingkat sekolah dasar. Tetapi sangat disayangkan upaya pembekalan terhadap pelestarian lingkungan masih kurang memadai dan hanya diberikan pada pelajaran tertentu seperti Biologi dan Geografi secara terbatas dan kurang mengangkat serta menganalisis isu kerusakan sumberdaya alam di daerah sekitarnya.

Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta adanya tuntutan otonomi dan demokratisasi dalam bidang pendidikan telah merubah cara pandang dalam penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia. Sejalan dengan itu penyelenggaraan pendidikan seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang semula bersifat sentralistik perlu diubah menjadi desentralistik. Dengan demikian pengembangan kurikulum dapat disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. Hamid (2000) mengemukakan keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan ekonomi merupakan suatu realita dalam masyarakat.

(13)

Selain itu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Bab II Pasal 3 menegaskan bahwa pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pada Pasal 4 ditegaskan bahwa sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah:

1. Tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup

2. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup.

3. Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan 4. Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup

5. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana

6. Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Sasaran pengelolaan lingkungan hidup dalam Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan payung untuk mendukung PLH melalui kurikulum pada tingkatan pendidikan.

Pemahaman Kurikulum menurut Beaucham (1972) adalah rencana instruksional, dengan konsep tersebut maka menimbulkan pengaruh yaitu berupa pengetahuan yang dihafal dan diingat siswa dan sedikit sekali berkontribusi pada perkembangan kepribadian, tingkah laku, dan sikap siswa (Zais, 1976). Pemahaman tentang kurikulum berkembang sebagai bekal yang memadai kepada siswa untuk berhasil dalam kehidupannya (Ornstein dan Hunkin (1984). Selanjutnya kurikulum saat ini dibuat dengan mengangkat issue yang sedang berkembang, kultur, dan politik dan ada selalu disertai kontrol sosial ( Grifin, 1983).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, kurikulum adalah seperangkat rencana, pengaturan, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan

(14)

untuk melaksanakan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dengan kata lain kurikulum pendidikan berfungsi sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu. Kurikulum memberikan dasar-dasar pengetahuan yang dapat dikembangkan, ketrampilan pengalaman belajar untuk membangun integritas sosial, serta membudayakan dan mewujudkan karakter nasional. Pada hakikatnya kurikulum disusun untuk dapat dijadikan instrumen yang membantu peserta didik untuk berkembang menjadi individu sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Kurikulum juga bertujuan untuk mengembangkan kompetensi siswa secara keseluruhan. Kompetensi merupakan keunggulan yang fundamental dari seorang individu sehingga mencerminkan sikap dan kinerja di dunia kerja. Menurut Hall dan Jones (1976) kompetensi adalah wujud penampilan yang ditimbulkan dari integrasi kompetensi pengetahuan dan sikap. Kompetensi pengetahuan adalah pengertian dan pemahaman dari suatu informasi, kompetensi sikap berhubungan dengan nilai, minat, dan apresiasi, sedangkan kompetensi perilaku adalah demonstrasi atau tindakan yang diharapkan. Keputusan Mendiknas No. 045/U/2002 mendefinisikan kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas di pekerjaan. Kompetensi terdiri dari kemampuan akademik, ketrampilan hidup, pengembangan moral, pembentukan karakter yang kuat, kebiasaan hidup sehat, semangat bekerja sama, dan apresiasi estetika yang terdapat di dunia sekitar. Prinsip–prinsip pengembangan kurikulum adalah penekanan keseimbangan etika, dan logika. Pengembangan etika dilaksanakan dalam rangka penanaman nilai-nilai sosial dan moral termasuk menghargai dan mengangkat nilai-nilai pluralitas dan universal. Pengembangan estetika menempatkan pengalaman belajar secara total untuk memberikan pengalaman estetik melalui berbagai kegiatan yang dapat mengekspresikan gagasan, rasa, dan karsa. Logika yang dikembangkan adalah kemampuan berpikir kreatif dan inovatif disertai keseimbangan antara pengetahuan dan emosi. Disamping itu kompetensi merupakan pengetahuan ketrampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten dalam arti memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai

(15)

dasar untuk melakukan sesuatu. Pemikiran menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum adalah sebagai berikut :

1. Kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu sesuai dengan konteks yang diharapkan.

2. Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten.

3. Kompetensi merupakan hasil belajar yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran.

4. Kehandalan kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.

KBK digulirkan dalam keadaan pendidikan Indonesia yang menghadapi masalah seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya. Selain itu pendidikan di SMA dihadapkan pada masalah- sebagai berikut:

1. Masih rendahnya prestasi akademik lulusan SMA.

2. Jumlah lulusan SMA yang melanjutkan studi sangat kecil

3. Lulusan SMA tidak dibekali ketrampilan khusus untuk masuk dunia kerja. 4. Persaingan global dunia kerja menuntut kualitas SDM yang bermutu tinggi. 5. Kesulitan membentuk sumber belajar yang peduli terhadap lingkungan guna

mengatasi berbagai masalah lingkungan seperti pencemaran, sampah, banjir, kelangkaan sumber air bersih maupun pelestarian sumber alam hayati.

Masalah tersebut di atas diikuti pula dengan rendahnya daya saing kompetensi SDM Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain. Human Development Report (2000) melaporkan kualitas SDM Indonesia berada pada urutan 105 dari 108 negara dan jauh tertinggal dengan Filipina yang berada pada urutan ke 77, Thailand ke 71, Malaysia ke 61, Brunai Darussalam ke 32, Korea Selatan ke 30, dan Singapura ke 24. International Educational Achiefment (IEA) mengemukakan bahwa kemampuan membaca siswa Sekolah Dasar Indonesia terdapat pada urutan ke 38 dari 39 negara yang disurvey. Studi Third Mathematics and Science Study (TMSS) memperlihatkan kemampuan matematika siswa SMP di Indonesia berada pada urutan ke 34 dari 38 negara sedangkan IPA pada urutan ke 32 dari 38 negara. Fakta di atas diantaranya dapat

(16)

disebabkan oleh kompetensi dan profesionalisme SDM yang bergerak dalam dunia pendidikan yang masih belum dapat diharapkan. Selain itu disebabkan oleh kurikulum yang selama ini belum dapat menjembatani pemahaman pengetahuan yang diperoleh dengan permasalahan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.

KBK memiliki ciri menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, dengan demikian kompetensi yang diharapkan akan dapat dicapai oleh semua siswa. Selain itu KBK berorientasi pada hasil belajar dengan keragaman potensi, oleh sebab itu penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang serasi. Prinsip dalam pelakasanaan kurikulum adalah nilai dan budi pekerti, penguatan identitas nasional, keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestetika. Kesamaan memperoleh kesempatan pengetahuan dan teknologi informasi sehingga mengembangkan kemampuan berpikir dan belajar dengan akses, memilih, dan menilai pengetahuan untuk mengatasi situasi yang cepat berubah. Di samping itu juga dikembangan ketrampilan hidup yaitu kurikulum perlu memasukkan unsur ketrampilan, sikap dan perilaku adaptif, kooperatif dan kompetitif dalam menghadapi tantangan dan tuntutan kehidupan sehari-hari secara efektif. Kurikulum perlu diintegrasikan dengan unsur-unsur penting yang menunjang kemampuan untuk bertahan hidup. Siswa dilatih untuk belajar sepanjang hidup manusia dalam rangka mengembangkan dan menambah kesadaran untuk selalu belajar memahami dunia yang selalu berubah dalam berbagai bidang. Kemampuan belajar sepanjang hayat dapat dilakukan melalui pendidikan formal dan nonformal serta pendidikan alternatif yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Pendidikan berpusat pada anak dengan penilaian yang berkelanjutan dan komprehensif dengan pendekatan menyeluruh dan kemitraan. Tujuan penyelenggaraan sekolah adalah kompetensi lulusan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki karakter, kecakapan dan ketrampilan yang kuat untuk digunakan dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja dan pendidikan lebih lanjut.

KBK yang juga dikenal dengan Kurikulum 2004 dilaksanakan di Indonesia berdasarkan keputusan Mendiknas No 232/U/2002. Pada KBK fokus kebijakan pengembangan kurikulum bukan hanya pada tingkat pusat saja tetapi

(17)

juga berada pada pemerintahan tingkat daerah maupun sekolah. Berdasarkan hal tersebut maka daerah atau sekolah memiliki kewenangan yang cukup untuk merancang dan menentukan pengembangan materi, metode pengajaran, pengalaman belajar, dan evaluasi informasi kurikulum.

Dengan digulirkannya otonomi pendidikan kewenangan Pemerintah Pusat adalah menetapkan standar kompetensi, sedangkan Pemerintah Daerah mendukung penyelenggaraan pendidikan dan melaksanakan penyelenggaraan pendidikan yang mencakup kewenangan menyusun Silabus Mata Pelajaran dan pengendalian mutu. Daerah berpeluang besar untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Bupati melalui Dinas Pendidikan memiliki kewenangan penuh untuk menentukan kualitas SDM yang diharapkan. Sekolah juga memiliki kewenangan untuk melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang selama ini kurang diperhatikan oleh stakeholder pendidikan.

Dalam pengelolaan kurikulum berbasis sekolah, selain pihak sekolah terdapat pihak-pihak lainnya yang mempunyai peran dan tanggung jawab yang terkait dalam bidang pendidikan di daerah yang bersangkutan yaitu:

1. Dinas Pendidikan Provinsi

- Menjadi fasilitator pembentukan, pelatihan, dan pembinaan tim pengembangan Silabus Mata Pelajaran pada tingkat Kabupaten / Kota. - Membuat kebijakan operasional pelaksanaan KBK dan penyusunan Silabus

Mata Pelajaran bagi seluruh Kabupaten Kota.

- Memonitor penyusunan dan implementasi Silabus Mata Pelajaran pada tingkat Kabupaten/ Kota.

- Memberikan dukungan sumber-sumber daya pendidikan yang diperlukan dalam penyusunan Silabus Mata Pelajaran.

- Mengusahakan dana secara rutin untuk kegiatan penyusunan, penilaian, dan monitoring Silabus Mata Pelajaran.

- Melakukan supervisi, penilaian, dan monitoring untuk kepentingan informasi pendidikan tingkat provinsi.

- Melakukan koordinasi vertikal dengan unit-unit kerja terkait di lingkungan Depatemen Pendidikan Nasional.

(18)

2. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota

- Mengusahakan tersedianya dana dari APBD Kabupaten/Kota yang dialokasikan untuk penyusunan, evaluasi, dan perbaikan Silabus Mata Pelajaran.

- Membuat rambu-rambu pengembangan Silabus Mata Pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan daerah yang bersangkutan.

- Membentuk tim pengembang Silabus Mata Pelajaran pada tingkat Kabupaten/Kota.

- Melakukan sosialisasi KBK berkenaan dengan segala implikasi perubahan dalam tatanan penyelenggaraan pendidikan.

- Memberikan pengesahan terhadap Silabus Mata Pelajaran yang dibuat oleh Tim Pengembangan Silabus.

- Mengkaji Silabus Mata Pelajaran yang dibuat oleh sekolah yang mampu membuatnya sendiri.

- Mendistribusikan Silabus Mata Pelajaran ke sekolah yang tidak menyusun Silabus Mata Pelajaran.

- Mengkaji kelayakan sekolah yang akan memulai penggunaan KBK, supervisi, penilaian, dan monitoring Sekolah.

3. Sekolah

- Mengajukan usulan kegiatan penyusunan Silabus Mata Pelajaran kepada Dinas Kabupaten/Kota bagi sekolah yang akan menyusun sendiri Silabus Mata Pelajaran.

- Melaksanakan Silabus Mata Pelajaran bagi sekolah yang mampu menyusun sendiri Silabus Mata Pelajaran.

- Melaksanakan Silabus Mata Pelajaran yang telah disiapkan terlebih dahulu oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.

- Meningkatkan Capacity Building tenaga kependidikan melalui berbagai pelatihan.

- Melibatkan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah untuk meningkatkan efektifitas dan mutu pelaksanaan Silabus Mata Pelajaran sebagai penjabaran KBK.

- Mengkomunikasikan implikasi KBK kepada orang tua siswa dan anggota masyarakat lainnya.

(19)

Ciri lain dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah berbasis luas (broad based education) yaitu pendidikan yang berbasis pada masyarakat luas dengan orientasi kecakapan untuk hidup (life skill). KBK berorientasi pada ketrampilan hidup tetapi tidak menjadikan pendidikan hanya sebagai latihan kerja. Pendidikan yang diberikan membuka kesempatan kepada setiap anak didik untuk mengembangkan potensinya. Proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik jika ada keterlibatan langsung antara siswa, obyek, peristiwa-peristiwa dan situasi serta kondisi alam kehidupan yang dipelajari. Kemampuan mengingat, mengatakan dan melakukan akan mencapai tingkat keberhasilan 90%, mengatakan mencapai 70%, melihat dan mendengar mencapai 50%, melihat mencapai 30%, mendengar mencapai 20%, dan membaca hanya mencapai 10% (Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, 2002). Selama ini pendidikan memberikan perlakuan yang kurang memberikan tantangan kepada siswa untuk memanfaatkan adanya muatan lokal dan potensi lingkungan sekolah sebagai sumber belajar. Hal tersebut dapat dilakukan dengan masukan unsur budaya daerah, ketrampilan-ketrampilan khusus yang menggunakan nara sumber dari masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan di daerah tersebut. Hal ini merupakan usaha untuk meningkatkan kebermaknaan materi kurikulum sehingga dapat merangsang gairah belajar siswa dan semangat mengajar guru dengan memanfaatkan potensi lingkungan sekolah. Selain itu juga memberikan bekal ketrampilan dan keahlian yang dapat dijadikan sumber penghidupan. KBK juga memberikan kesempatan untuk pengembangan potensi daerah yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan latar belakang budaya masyarakat daerah.

Life skill merupakan orientasi pendidikan yang mengarah pada pembekalan kecakapan untuk hidup yang meliputi general life skill dan specific life skill. General life skill terdiri atas self awareness, thingking skill, dan social skill. Self awareness adalah penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan serta menyadari kelebihan dan kekurangannya. Thinking skill adalah kecakapan menggali dan menemukan, mengolah informasi, dan mengambil keputusan serta kecakapan memecahkan masalah secara kreatif. Social skill adalah kecakapan berkomunikasi, berempati, dan bekerjasama. Specific life skill meliputi kemampuan untuk mengidentifikasikan variable, merumuskan hipotesis dan

(20)

melaksanakan penelitian yang terdiri dari academic skill dan vocational skill. Academic skill adalah kemampuan berpikir ilmiah sedangkan vocational skill disebut juga ketrampilan kejuruan yaitu ketrampilan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang tedapat di masyarakat. Menurut Depdiknas (2001) tujuan life skill adalah:

1. Kemampuan menghitung dengan atau tanpa bantuan teknologi.

2. Kemampuan teknologi dalam aneka ragam lapangan kehidupan antara lain pertanian, perikanan, peternakan, kerajinan, kerumahtanggaan, kesehatan, komunikasi, informasi, dan transportasi.

3. Kemampuan mengelola SDA, sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan untuk bisa hidup mandiri dan otonomi.

4. Kemampuan bekerja sama yang merupakan tuntutan ekonomi saat ini. 5. Kemampuan untuk terus belajar (learning process).

Sasaran kompetensi seperti yang diharapkan sangat tepat dan dibutuhkan untuk mensiasati perubahan lingkungan global dan masalah kerusakan lingkungan yang dihadapi. Visi kurikulum juga mengalami perubahan dari kurikulum efisiensi sosial ke kurikulum yang fleksibel dan egaliter serta demokratik. KBK diharapkan dapat dijadikan strategi untuk membelajarkan manusia dan mengembangkan potensi individu. Pembelajaran akan terfokus pada pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung melalui kontak sosial dan kultural, sehingga dapat mendorong siswa membangun kompetensi. KBK memiliki perbedaan dibandingkan dengan Kurikulum Pendidikan 1994 karena menitikberatkan pada kompetensi secara keseluruhan yaitu perpaduan antara pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.

Perbedaan yang mendasar adalah pada Kurikulum Pendidikan 1994 materi pelajaran telah ditetapkan dari pusat (sentralistik) dan sepenuhnya disampaikan secara utuh kepada siswa, walaupun di lapangan ketuntasan belajar sulit tercapai. Sedangkan KBK menuntut penguasaan materi dengan kompetensi pada ranah kognitif, psikomotor, dan afektif. Di samping itu KBK bersifat fleksibel dan dapat disesuaikan dengan daya serap siswa. Walaupun demikian ada standar kompetensi minimal yang telah ditentukan dan harus dicapai. Selanjutnya pada KBK materi pelajaran selalu dikaitkan dengan lapangan pekerjaan yang ada pada

(21)

masyarakat setempat. Hal ini disebabkan tujuan KBK adalah memberikan bekal kecakapan hidup yang dapat dimanfaatkan pada waktu siswa terjun di masyarakat. Dengan demikian pembelajaran KBK dapat disesuaikan dengan pengembangan potensi daerah melalui pemberdayaan sumberdaya alam, kondisi ekonomi, perhatian pada pranata sosial dan budaya setempat sehingga bersifat desentralistik. Evaluasi belajar yang dilakukan disesuaikan dengan kemampuan yang dapat dicapai oleh rata-rata siswa dalam kelas, dengan demikian akan dijumpai variasi perbedaan kompetensi antar kelas dan bersifat individual. Hasil yang maksimal dapat dicapai melalui pengertian yang berkembang dari pemahaman dan pengetahuan sendiri melalui pengalaman belajar.

Dengan KBK standar yang akan dicapai dalam pendidikan terdiri atas dua jenis, yaitu Standar Akademis (Academic Content Standards) dan Standar Kompetensi (Performances Standards). Standar akademis merefleksikan pencapaian pengetahuan dan kerampilan esensial dari suatu disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh peserta didik. Sedangkan standar kompetensi adalah suatu kegiatan yang dapat didemonstrasikan oleh peserta didik sebagai penerapan dari pengetahuan dan ketrampilan yang telah dipelajari. Standardisasi tersebut dapat dicapai melalui tiga hal yang diterapkan dalam KBK yaitu adanya pergeseran dari pembelajaran kelompok ke individual, pengembangan konsep belajar tuntas, dan memperhatikan bakat siswa (Mulyasa, 2004). Tiga konsep pembelajaran tersebut akan mendorong guru untuk memacu potensi siswa secara individu dan penguasaan materi pelajaran pada setiap siswa. Melalui KBK target kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang diharapkan sebagai implementasi dari standar akademik dan standar kompetensi dapat dicapai. Standar kompetensi tidak hanya ditentukan oleh Depdiknas tetapi dapat ditentukan oleh masyarakat setempat yang disampaikan melalui sekolah sesuai dengan kebutuhan daerah. Potensi sumberdaya alam lokal juga dapat dimanfaatkan dalam pengalaman belajar. Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab X yang pada intinya bahwa kurikulum dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan potensi daerah dan peserta didik. Disamping itu pendidikan juga berbasis pada masyarakat sehingga penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat. Dengan demikian pendidikan kejuruan dan

(22)

kewirausahaan berbasis lokal dengan potensi sumberdaya alam di sekitarnya pada tingkat SD, SMP, dan SMA dapat dikembangkan. Sejalan dengan itu Hewindati (2003) mengemukakan bahwa pendidikan dan ketrampilan dalam pengelolaan lingkungan perlu dilaksanakan secara terpadu dalam berbagai mata pelajaran melalui kurikulum pendidikan dan pelatihan. Dengan demikian implementasi KBK sangat dimungkinkan untuk mengisi muatan ketrampilan dalam pengelolaan lingkungan.

Penerapan KBK di lapangan mengalami berbagai kendala diantaranya yaitu stakeholder pendidikan masih menganut pemahaman pola konvensional yang hanya mengukur kompetensi dari segi kognitif seperti pada Kurikulum Tahun 1994. Pemahaman KBK yang berbeda pada stakeholder pendidikan menimbulkan kerancuan disebabkan terbatasnya informasi, sarana, dan prasarana untuk mendukung program tersebut. Kendala lainnya adalah lemahnya ketiga kompetensi yang selayaknya dimiliki oleh guru yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Menurut Suparno (2004) lemahnya kompetensi tersebut disebabkan universitas pendidikan penghasil guru yang kurang menekankan penguasaan materi, kurangnya praktik mengajar mahasiswa keguruan, dan rendahnya motivasi sehingga perubahan Kurikulum Pendidikan 1994 menjadi KBK menimbulkan kesan kurang dapat diterima pada masyarakat sekolah. Secara rinci perbedaan antara Kurikulum Pendidikan 1994 dan KBK disajikan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Perbedaan Kurikulum 1994 dan Kurikulum Berbasis Kompetensi

ASPEK KURIKULUM 1994 KURIKULUM BERBASIS

KOMPETENSI Landasan

Hukum dan Legalitas

Seluruh perangkat kurikulum ditetapkan oleh Pusat (Keputusan Mendikbud No 061/ U / 1993)

Pusat menetapkan kebijakan umum dan mengembangkan kompetensi menurut PP No 25 tahun 2000 pasal 2 ayat 2 Mulai Buku I (Landasan),

Buku II (GBPP), Buku III (Pedoman Pelaksanaan) berbagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis ditetapkan oleh pusat menjadi wewenang Pusat

Kewenangan Daerah adalah membuat Silabus, panduan pembelajaran dan penilaiaan sesuai dengan kebutuhan masing-masing dan menentukan sumber-sumber belajar yang cocok untuk mendukung pembelajaran

(23)

Dokumen Seluruh dokumen kurikulum direncanakan, dibuat, dan dikembangkan oleh Pusat.

Kompetensi dan materi pokok dikembangkan di pusat sedangkan Silabus

dan bahan ajar

dikembangkan oleh Daerah. Diformulasikan secara rigid

dan kurang dinamis sehingga kurang memberikan peluang kepada daerah, sekolah, dan guru untuk mengembangkan potensinya.

Memberi peluang yang luas kepada guru/sekolah /daerah untuk mengembangkan potensinya sesuai dengan kebutuhan daerah/sekolah. Kurang jelas menyajikan

target yang ingin dicapai di setiap jenjang.

Disajikan secara jelas kemampuan-kemampuan yang harus dicapai pada setiap jenjang dan kelas. Pendekatan Berbasis konten Berbasis kompetensi Konten Materi padat dan tumpang

tindih, banyak hafalan, kurang mengarah pada pembentukan sikap ilmiah dan kepribadian melalui pengembangan ketrampilan dan sikap.

Materi dibentuk untuk

mengarah kepada

kompetensi yang dituntut, karena berbasis kompetensi maka materi pokok bukan merupakan materi untuk hafalan tetapi mengarah pada kompetensi yang dituntut seperti yang dapat

diperagakan dan

didemonstrasikan. Persiapan Tidak dan kurang melalui

tahap tahap uji coba dimana sekolah langsung menerapkan kurikulum baru di kelas 1

Melalui tahap-tahap uji coba terbatas mulai tahun 2002 /2003 di 40 SMA mulai di kelas 1

Guru diminta untuk mebuat AMP prota proca program satuan pelajaran dan rencana pembelajaran.

Guru diminta membuat Silabus prota prosem dan rencana/ skenario pembelajaran.

Waktu belajar

Menerapkan sistem Cawu. Menerapkan sistem Semester.

Penjurusan Dimulai di kelas 3 Dimulai di kelas 2 Terdiri dari program IPA,

IPS, dan Bahasa.

Terdiri dari IIA, IIS dan bahasa.

Penjurusan dilakukan kurang memperhatikan minat siswa, kebanyakan berdasarkan kemampuan siswa terhadap mata pelajaran tertentu.

Penjurusan dilakukan dengan mempertimbangkan bakat dan minat siswa disamping kemampuan siswa pada mata pelajaran – mata pelajaran yang menjadi kekhususan program/jurusan.

(24)

Faktor penilaian dari guru pembimbing (bimbingan konseling) kurang mendapat perhatian.

Masukan dari guru pembimbing (BK) terhadap keadaan siswa sangat diperlukan.

Tidak ada aturan tentang perpindahan jurusan yang tidak diminati atau tidak sesuai bagi siswa.

Menerapkan sistem multy entry multy exit yang artinya seorang siswa dapat pindah ke jurusan lain bila ia tidak berminat /tidak sesuai jurusan.

Pelaksanaan Guru mengalami kesulitan mengembangkan topik-topik tertentu. Beberapa materi ada yang sulit diajarkan guru dan ada yang sulit dipahami siswa sehingga terjadi penumpukkan materi pada cawu tertentu.

Guru diberi kebebasan untuk

berkreasi dan

mengembangkan secara kreatif materi-materi pokok untuk mencapai kompetensi tertentu.

Dalam pelaksanaan kurang memperhatikan learning to know, learning to do, learning live together, learning to be. Yang ada kebanyakan adalah learning to know.

Learning to know, learning to do, learning life together, dan learning to be diakomodasikan secara integratif dan proporsional.

Formulasi dan pelaksanaan

kurikulum kurang

memperhatikan keutuhan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik merupakan suatu keutuhan dalam pencapaian kompetensi dan kemampuan dasar.

Dalam pembelajaran siswa dijadikan sebagai obyek pendidikan.

Siswa sebagai subyek pendidikan (student centered learning)

Kecakapan hidup (life skill) kurang terakomodasi dalam kurikulum dan proses pembelajaran karena mengejar target kurikulum.

Kecakapan hidup (life skill) terakomodasi secara terpadu dan proporsional dalam kurikulum dan proses pembelajarannya.

Berorientasi pada proses (proses oriented) dan curiculum target oriented.

Berorientasi pada output /kompetensi siswa.

Kurang diterapkan sistem belajar tuntas. Seorang siswa dinyatakan tuntas belajar jika telah menguasai 65% atau lebih dari suatu topik tertentu (tuntas secara individu). Sedangkan tuntas klasikal apabila 85 % atau lebih dari seluruh siswa dalam satu kelas

Sistem belajar tuntas benar-benar dituntut untuk diterapkan karena seorang siswa dituntut untuk master atau kompeten sesuai dengan kompetensi yang diharapkan. Seorang siswa bisa pindah melanjutkan ke kompetensi lain jika

(25)

telah mencapai dan menguasai 65 % suatu topik tertentu.

komnpetensi sebelumnya telah dimiliki.

Belum/kurang diterapkan sistem manajemen berbasis sekolah dalam melaksanakan kurikulum.

Diperlukan sistem manajemen sekolah dan partisipasi seluruh

stakeholder untuk

melaksanakan kurikulum. Penilaian Menerapkan sistem penilaian

berbasis konten yang lebih banyak menekankan aspek kognitif. Sistem penilaian dilakukan secara konvensional dan berbasis pada pokok bahasan dan sub pokok bahasan

Menerapkan sistem penilaian berkelanjutan yaitu mengacu pada keberlangsungan proses dan sistem penilaian berbasis kelas (Classroom Based Assessment) yang berbentuk tes uraian, porto folio, dan tugas (project work).

Ulangan harian, ulangan umum, akhir Cawu, Ebta dan Ebtanas. UUB dan Pra EBTA.

Ulangan/tagihan harian, ulangan akhir semester, dan Ujian Akhir SMA.

Ujian akhir yang disebut EBTANAS sampai tahun 2001- 2002, 7 mata pelajaran disiapkan oleh Pusat sedangkan Ebta disiapkan oleh sekolah. Sedangkan mulai tahun 2002/2003 dilakukan Ujian Akhir Nasional yang bahannya disiapkan dari pusat (7 mata pelajaran) dan Ujian Akhir Sekolah yang bahannya disiapkan oleh sekolah dengan mengacu pada standar kemampuan yang telah ditetapkan oleh Pusat.

Ujian akhir disebut Ujian Akhir SMA yang mengacu pada kemampuan dan kisi-kisi yang ditetapkan oleh pusat. Ujian Akhir Nasional dilakukan untuk mata pelajaran tertentu yang merupakan mata pelajaran wajib setiap jurusan seperti Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dan mata pelajaran yang menjadi kekhasan program jurusan seperti Matematika, Ekonomi, dan Bahasa Asing Penilaian dilakukan dengan

menggunakan acuan norma (norm reference test).

Penilaian dilakukan dengan menggunakan criterian referenced test karena berdasarkan kompetensi yang dituntut.

Tidak mengakui kompetensi / hasil pembelajaran siswa sebelumnya.

Adanya pengakuan hasil belajar awal (recognition of prior learning).

Diversifikasi Tidak berjalan sebagaimana mestinya, artinya di beberapa sekolah tertentu hanya menangani siswa yang cepat belajar (di atas normal), sedangkan yang lambat

Menerapkan diversifikasi kurikulum dengan klasifikasi siswa normal, sedang, dan tinggi. Siswa yang normal dituntut untuk

(26)

belajar dianggap siswa normal. Selain itu penggalian karakteristik lokal yang berbeda–beda kurang diterapkan dan diintgrasikan pada materi-materi pembelajaran.

kompetensi yang

dipersyaratkan. Sedangkan siswa yang tinggi bisa memiliki kompetensi yang lebih tinggi dengan mempelajari materi-materi pengayaan. Dengan adanya kebebasan guru untuk mengembangkan materi-materi yang akan diajarkan untuk mencapai kompetensi tertentu pada siswa maka penggalian karakteristik lokal bisa diterapkan melalui sumber belajar yang ada. Akselerasi

Belajar

Dilaksanakan pada sekolah-sekolah tertentu dengan

memberikan materi

kompetensi yang harus dimiliki untuk satu jenjang dan bisa diambil dari materi cawu berikutnya sehingga seorang siswa bisa menyelesaikan program belajarnya di SMA selama 2 tahun.

Dilaksanakan dengan memperhatikan kompetensi yang harus dimiliki untuk satu jenjang dalam masa belajar yang lebih cepat dari masa belajar yang ditetapkan pada suatu sekolah. Laporan hasil belajar, kelulusan, dan sertifikasi

Berbentuk rapor yang lebih banyak menekankan aspek kognitif. Hasil belajar tiap mata pelajaran dinyatakan dengan angka dimana mata pelajaran tertentu tidak boleh kurang dari 6. Kenaikan kelas dipertimbangkan berdasarkan nilai raport cawu. Untuk kenaikan kelas nilai K tidak boleh lebih dari 5 dan tidak boleh memiliki angka 3 dengan menggunakan rumus tertentu. Menerapkan sistem tamat pada siswa untuk akhir jenjang. Sertifikasi ketamatan siswa dinyatakan dengan STTB dan Daftar Nilai Ujian Nasional.

Rapor berbentuk profil yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hasil belajar tiap mata pelajaran dinyatakan lulus atau belum lulus. Minat belajar dinyatakan memenuhi syarat dan belum memenuhi syarat. Batas kelulusan 75% menguasai bahan ajar. Kenaikan kelas diterapkan dengan klasifikasi naik kelas murni dan naik kelas dengan syarat, yang artinya seorang siswa harus memiliki kompetensi yang ditetapkan sebelumnya dan bisa

dilakukan dengan

mempelajari materi yang

diperlukan untuk

kompetensi tersebut. Menerapkan sistem lulus pada siswa untuk akhir jenjang SMA. Sertifikasi

(27)

kelulusan dinyatakan dengan Ijazah dan Sertifikat Lulus.

Pengembangan KBK adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP adalah sebuah kurikulum operasional pendidikan yang disusun dan dilaksanakan oleh satuan pendidikan pada tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan. Tujuan KTSP untuk pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. KTSP diberlakukan di Indonesia mulai tahun ajaran 2006/2007, menggantikan Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Satuan pendidikan ini telah melakukan uji coba melalui KBK atau kurikulum 2004 secara menyeluruh dan diperkirakan mampu secara mandiri mengembangkan kurikulum berdasarkan Standar Kompetensi kelulusan (SKL), Standar Isi (SI) dan berpedoman pada Panduan penyusunan KTSP oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Standar isi juga merupakan pedoman untuk pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, Kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan Kalender pendidikan. Pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Menggunakan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati dan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang dapat disesuaikan dengan potensi siswa, kondisi sekolah dan daerah tempat sekolah tersebut berada http://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum_Tingkat_Satuan_Pendidikan. KTSP yang menekankan pada kompetensi memiliki ciri ketercapaian kompetensi siswa secara individual dan kelompok, berorientasi pada pada hasil belajar dan keberagaman, penilaian terhadap proses belajar, pembelajaran dengan berbagai metode, sumber belajar yang bukan hanya terbatas pada guru.

KTSP diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

(28)

19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pengembangan KTSP berdasarkan prinsip :

1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya

Kurikulum dikembangkan berasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki potensi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki potensi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik.

2. Beragam dan terpadu

Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial, ekonomi, dan jender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta isusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antar substansi.

3. Tanggap teradap perkembangan ilmu dan teknologi

Kurikulum dikembangkan atas asar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, semangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan

Pengembangan kurikulum, dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeolder) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja.

(29)

Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antar semua jenjang pendidikan.

6. Belajar sepanjang hayat

Kurikulum diarahkan pada proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur penidikan formal, nonformal, informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang .

7. Seimbang antara kepentingan Nasional dan Daerah

Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

Muatan KTSP meliputi sejumlah mata pelajaran, muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri. Muatan mata pelajaran berpedoman pada struktur kurikulum yang tercantum dalam standar isi. Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi sesuai dengan ciri khas dan potensi daerah termasuk keunggulan daerah. Kegiatan pengembangan diri adalah kegiatan yang bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat, setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah.

Menurut Subandrijo dan Hidayanto (2001) kurikulum yang tepat dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan menekankan pada Community Based Education yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat tanpa meninggalkan pengetahuan dan kebutuhan siswa. Berdasarkan Pusat Kurikulum dalam Enoh (2005) dasar pemikiran menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum adalah :kompetensi yang berkaitan konteks tertentu yang berkaitan dengan bidang kehidupan. Enoh (2004) mengemukakan bahwa dalam desentralisasi pendidikan terdapat sejumlah implikasi yaitu melaksanakan langkah strategis yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan siswa, meningkatkan kapasitas sekolah, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pendidikan, memperkuat fungsional pendidikan dengan kebutuhan masyarakat,

(30)

menumbuhkan manajemen yang efisien, efektif, produktif, serta meningkatkan kreatifitas dan kemandirian kelembagaan.

2. 3. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan PLH

Untuk menunjang pelaksanaan KBK di lapangan maka sekolah perlu memiliki hak manajemen yaitu Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Hak otonomi ini diperlukan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan sehingga sekolah mempunyai keleluasaan untuk menyusun dan mengembangkan Silabus Mata Pelajaran. Hal penting yang diharapkan dari adanya MBS adalah dapat mengakomodasi potensi sekolah, kebutuhan dan kemampuan peserta didik, serta kebutuhan masyarakat sekitar sekolah. Pembelajaran yang dilakukan mendorong terjalinnya kerjasama antar sekolah, masyarakat, dan dunia kerja. Masyarakat melalui Komite Sekolah dapat berpartisipasi aktif dalam pengembangan kurikulum. Dengan demikian KBK sulit diimplementasikan tanpa adanya MBS.

MBS merupakan bentuk manajemen organisasi dalam kepemimpinan sekolah, karena sekolah mendapat kewenangan dari pusat untuk menyusun rencana sekolah dan merumuskan kebijakan untuk sekolah, menjamin adanya komunikasi yang efektif antar sekolah dan masyarakat terkait serta adanya pertanggung jawaban antara sekolah dan masyarakat. MBS ditandai dengan adanya otonomi yang luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat, dengan kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi tersebut memberikan kesempatan bagi sekolah untuk memprioritaskan kebutuhan masyarakat setempat. Masyarakat dituntut untuk berpartisipasi dalam dunia pendidikan, membantu, dan mengontrol pengelolaan pendidikan. Dalam proses belajar mengajar sekolah diharapkan mampu mengembangkan kurikulum yang cocok dan tanggap terhadap kebutuhan siswa dan masyarakat. Peranan Kepala Sekolah untuk melaksanakan program ini sangat besar yaitu sebagai kepala perencanaan dan keuangan. Berkaitan dengan ciri yang dimiliki oleh KBK maka kompetensi Kepala Sekolah yang berperan dalam manajemen berbasis sekolah sangat menentukan pelaksanaan KBK di lapangan. Dengan demikian kompetensi Kepala Sekolah secara tidak langsung akan mempengaruhi suksesnya pelaksanaan otonomi daerah secara keseluruhan. Kepala Sekolah dituntut untuk dapat membaca perubahan dan perkembangan global untuk bertindak lokal serta mampu untuk membaca kondisi daerah setempat. Di samping peranan Kepala Sekolah,

Gambar

Tabel  2.2.  Kriteria  Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Referensi

Dokumen terkait

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan motif batik Jetis Sidoarjo, berkembang karna adanya improvisasi dan inovasi dari setiap pengrajin dan permintaan

Berdasarkan hasil uji regresi linier yang disajikan dalam tabel 6, didapatkan hasil bahwa usia, lokasi lesi, dan jenis afasia tidak mempengaruhi secara signifikan perubahan

Puji syukur kepada Allah SWT, karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan akhir karya tulis ilmiah yang berjudul “Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah

Mikrokontroler mendapatkan 3 input yaitu (i) berupa perubahan nilai tegangan dari potensiometer sebagai input referensi, (ii) input data 8 byte dari PC sebagai

Teknik analisis korelasi ganda digunakan untuk menentukan besarnya hubungan dan kontribusi dari dua variabel atau lebih secara simultan atau bersama-sama dengan

Waktu untuk memonitor proses pengeboran ini ditentukan dengan menggunakan minimum mean time between change points dari parameter-parameter yang digunakan pada proses

Kerusakan yang terjadi akibat sinar tidak terbatas pada sel-sel kanker saja tetapi juga pada sel–sel normal disekitarnya, tetapi kerusakan sel kanker umumnya

karyawan Bank BNI Mataram (Y) diperoleh hasil perhitungan data dengan SPSS bahwa t hitung untuk variabel konflik peran adalah sebesar 2.415 dengan nilai signifikan