BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Etnik Batak Toba adalah salah satu dari lima sub etnik Batak yang merupakan penduduk Sumatera Utara yaitu Toba, Mandailing, Simalungun, Karo, dan Dairi atau Pak-pak (Harahap dan Siaahan, 1987; Keuning, 1979). Individu yang dinyatakan Batak dalam arti geneologis, antropologis dan etnologis mempunyai ciri kebudayaan yang sama yaitu sistem kekerabatan dan sosial Dalihan na Tolu atau Singkep Sitelu (Karo). Semua kelompok ini berbicara dengan bahasa dari suatu rumpun bahasa dan memiliki adat yang hampir sama (Singarimbun, 1975), walaupun menjalani proses sejarah dan budaya yang berbeda. Secara harafiah Dalihan na Tolu diartikan sebagai “Tungku Nan Tiga”. Dalam struktur sosial orang Batak Toba yang menjadi subjek studi ini, selalu terdapat tiga unsur yang didasarkan pada garis keturunan dan sistem perkawinan. Ketiga unsur tersebut adalah dongan tubu atau dongan sabutuha yaitu saudara semarga (clan), hula-hula yaitu sumber clan istri, dan anak boru yaitu clan penerima istri. Ketiga unsur ini saling terkait dan membutuhkan, bersifat relatif dan dapat berubah-ubah (Simanjuntak, 2001:121). Setiap orang Batak Toba memiliki ketiga posisi tersebut. Ada saatnya dia menjadi hula hula, ada saatnya menempati posisi dongan tubu dan ada saatnya menjadi boru.
Kebudayaan Batak Toba berakar pada sistem kekerabatan patrilineal yaitu garis keturunan yang diperoleh melalui garis laki-laki. Oleh karena itu laki-laki secara kultural dikonstruksi menjadi pemeran utama dalam berbagai bidang
kehidupan seperti perkawinan, hukum, warisan, pemilikan tanah dan pola tempat tinggal. Demikian juga konsep nafkah sebenarnya juga ada di tangan laki-laki. Laki-laki sejak kecil sudah disosialisasikan bahwa mereka harus memiliki pengetahuan mengenai kebudayaan Batak dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan penerusan clan ayahnya. Anak perempuan dalam hal ini, dimasukkan ke dalam clan ayahnya. Namun apabila anak perempuan menikah ia kemudian akan dimasukkan ke dalam clan suaminya. Dengan demikian dapat dikatakan posisi perempuan dalam kekerabatan Batak adalah ambigu atau tidak jelas. Meskipun berhubungan dengan kedua clan marga ayah dan suaminya tetapi ia sebenarnya tidak pernah menjadi anggota penuh dari kedua clan tersebut. “She is situated between hula-hula and boru, she is associated with both, and an absolute member of neither” (Niessen, 1985: 75; Simbolon, 1998: 2; Irianto, 2005: 9). Posisi perempuan dalam kekerabatan Batak yang ambigu atau tidak jelas ini dapat dikatakan dengan peristilahan Turner (1977) sebagai situasi yang liminalitas. Dengan kata lain perempuan Batak yang telah menikah dapat berada dalam situasi liminal karena dalam kenyataannya dia sebenarnya tidak ditempatkan “di sini” (clan suami) dan “tidak di sana” (clan ayah). Liminalitas diartikan Turner (1977) sebagai tahap atau periode di mana subjek (ritual) mengalami keadaan yang ambigu yaitu “tidak disana dan tidak disini”. Liminal dapat diartikan sebagai suatu periode peralihan yang sifatnya transisi dari status dan kedudukan satu ke status kedudukan yang yang lain.
Tujuan utama dari perkawinan menurut orang Batak adalah untuk mendapatkan anak. Seorang istri yang telah melahirkan anak laki-laki dianggap sudah menunaikan tugas sejarahnya dan mendapatkan anak laki-laki adalah
keinginan yang utama. Suami akan berterima kasih kepadanya dan akan semakin menghormatinya atas anak laki-laki yang dilahirkannya. Istri yang seperti ini biasa disebut orang Batak Toba sebagai boru naung gabe (perempuan yang sudah diberkati). Oleh karena itu penghormatan dan penghargaan untuk seterusnya seharusnya akan diperolehnya dari suami yang akan menjamin kehidupannya (Vergouwen, 1986: 248-249).
Sebelum proses perkawinan dalam kebudayaan Batak Toba biasanya pihak laki-laki akan membicarakan berapa kira-kira tuhor uang boli yang harus mereka sediakan untuk keluarga pihak perempuan. Pembicaraan tuhor mula-mula dilakukan oleh golongan boru dari kedua belah pihak, yang dinamakan marhusip (berbisik-bisik) membicarakan tuhor karena belum boleh diketahui secara umum. Di dalam marhusip selalu terjadi tawar menawar adat soal tuhor panjuhuti (daging untuk pesta), jumlah ulos yang akan diberikan pihak hula-hula, jumlah undangan kedua belah pihak, tempat pesta (namangalamani, hembangan amak), waktu pesta dan lain-lainnya (Simanjuntak, 2006: 112). Tuhor uang boli atau dapat dikatakan sebagai mas kawin (mahar) ini seakan-akan semacam pengganti perempuan karena ia akan diambil dari keluarganya. Dalam teori sistem kekerabatan sistem perkawinan itu disebut sebagai bride price. Perempuan dianggap sebagai “tenaga kerja” yang potensial dalam keluarganya oleh karena itu apabila ada pihak yang menginginkan perempuan untuk dijadikan istri, pihak tersebut harus membayarkan tuhor uang boli kepada pihak keluarga perempuan. Dalam illustrasi pernyataan Nommensen pada saat berada di tanah Batak pernah menyatakan bahwa orang Batak lahir dari “perjualbelian” perempuan. Oleh karena apabila terjadi perceraian maka istri kembali kepada orang tuanya atau
kelompok marganya, tetapi anak yang dilahirkan tetap berada dalam kelompok suami dan tidak boleh dibawa ibu (Simanjuntak, 2006: 117-118). Disini kelihatan bagaimana lemah dan tersubordinasinya kedudukan perempuan Batak Toba karena adanya mahar/mas kawin (tuhor uang boli) seakan-akan perempuan sudah dibeli pihak keluarga laki-laki.
Secara kultural konseptualisasi orang Batak mengenai anak memang hanya mengacu kepada anak laki-laki bukan kepada anak perempuan karena istilah anak dalam bahasa Batak Toba berorientasi kepada anak laki-laki dan boru kepada anak perempuan. Oleh karena itu hak waris hanya akan diberikan kepada anak laki-laki bukan kepada perempuan. Menurut Irianto (2000: 268-269), ada tiga alasan mengapa anak perempuan tidak dianggap sebagai ahli waris ayahnya. Pertama, berkaitan dengan konsep Raja Parhata, atau ahli waris yang selalu mengacu kepada anak laki-laki, karena dialah yang dipandang mempunyai tanggung jawab besar untuk meneruskan keturunan ayahnya (marga, clan). Kedua, anak perempuan dianggap akan menjadi anggota clan suaminya, menjadi marga lain, dan melipatgandakan anggota marga lain tersebut, dan bersama suaminya sekaligus ikut “menikmati” harta warisan dari mertuanya. Ketiga, dimaksudkan untuk mencegah penguasaan tanah yang terlalu luas oleh pihak marga penumpang (terutama suami dari anak perempuan).
Sementara itu bahkan perempuan janda juga tidak ditempatkan sebagai ahli waris suaminya. Menurut Irianto, (2000: 269) ada dua alasan mengapa perempuan janda tidak ditempatkan sebagai ahli waris suaminya. Pertama, pembuka kampung dan penguasa tanah pertanian (akses produksi) selalu dikaitkan dengan laki-laki padahal perempuanlah sebagai “pekerjanya”. Kedua, sebagai
“pasangan”, istri dengan konsep persemaian (panamean), “tempat” melahirkan dan membesarkan anak bagi suaminya (akses reproduksi). Dengan demikian janda hanya berhak mengelola dan menikmati harta peninggalan suami semasa hidupnya, sampai anak laki-lakinya cukup besar untuk diserahi harta tersebut. Apabila seorang janda kemudian menikah lagi, maka harta akan kembali kepada keluarga suaminya. Ketentuan ini berlaku sama bagi janda dengan keturunan laki-laki, perempuan ataupun tanpa keturunan (Irianto, 2005: 11).
Menurut Hutabarat (1999: 87) posisi perempuan dalam budaya Batak sebagaimana terwujud dalam sistem Dalihan Na Tolu tergolong lemah dan tidak setara dengan laki-laki. Ada tiga julukan yang menggambarkan posisi perempuan dalam kebudayaan Batak Toba. Pertama, perempuan disebut sebagai “boru ni rajanami” oleh suaminya yang artinya “putri raja kami”. Kendati julukan ini terdengar terhormat, namun dapat diartikan posisi perempuan ditentukan oleh ayahnya, ia adalah bagian dari ayahnya. Kedua, perempuan disebut sebagai “inang soripada” artinya “raja rumah yang dimuliakan”, yang lebih menunjukkan peran domestik dari kaum perempuan. Julukan ini sejajar dengan “portalaga” yang artinya “pelaksana pekerjaan kerumahtanggaan dengan segala macam tetek bengeknya”, juga sejajar dengan istilah “pardihula”, dia yang mempunyai kepentingan dalam kampung, sedangkan julukan suami adalah “pardibalian” artinya yang memajukan urusan keluarga di luar cakupan rumah tangga. Ketiga, perempuan dianggap sebagai “pembuka hubungan baru”. Hanya melalui perkawinan dan melahirkan anak laki-laki seorang perempuan memiliki makna dan martabat kemanusiaannya dalam masyarakat Batak Toba. Perempuan membuka hubungan kekerabatan baru melalui perkawinan. Tanpa perkawinan ia
tidak mempunyai status dan martabat apapun dalam masyarakat Batak Toba. Menurut Ihromi memang harus diakui bahwa dalam hal-hal tertentu terlihat posisi perempuan lemah, hal ini bisa dilihat dari perempuan yang tidak memiliki anak laki-laki atau perempuan yang hanya memiliki anak perempuan dan yang paling menyedihkan adalah posisi perempuan yang tidak mempunyai anak (Vergouwen, 1986).
Sebagaimana yang tergambar dalam karya sastra legendaries Ende Siboru Tombaga (EST) yang menggambarkan mengenai hak dan kedudukan perempuan Batak Toba yang tidak mempunyai saudara laki-laki dalam pembagian harta warisan. Dalam EST digambarkan pengobatan ayah Siboru Tombaga yang sakit keras (kebetulan adalah seorang raja) tanpa anak laki-laki dianggap pengobatan yang tidak sempurna sehingga berakibat meninggalnya ayah mereka. Disini kelihatan sekali bagimana posisi lemah dan tersubordinasinya perempuan.
Kungkungan adat yang demikian kuat digambarkan dalam EST sebenarnya menyengsarakan dan membuat kesedihan yang mendalam baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki dikarenakan tidak memiliki anak laki-laki. Eksistensi keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki bahkan dianggap tidak lengkap, tidak sejahtera dan lebih rendah dari yang lain meskipun mereka dari keluarga yang kaya raya. Dalam EST digambarkan anak-anak yang tidak mempunyai saudara laki-laki tidak dibolehkan secara adat untuk mengenakan emas pada tangan kanannya. Dahulu anak-anak perempuan yang tidak memiliki saudara laki-laki akan menunjukkan sikap dan prilaku yang berbeda. Dengan kata lain anak-anak perempuan tersebut menunjukkan simbol-simbol yang berbeda dengan anak lainnya yang mempunyai saudara laki-laki. Menurut Sibarani dan Simanjuntak
(1999: 50) anak perempuan yang tidak memiliki saudara laki-laki antara lain akan terbatas berpakaian, bergerak dan bergaul (sulit menemukan jodoh), merasa terasing dari lingkungannya seperti pepatah “songan tandiang na hapuloan” artinya “orang yang terasing/terisolir”. Selain itu pada saat menari tor-tor perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-laki melilitkan ulos di antara pinggang dan ketiaknya sedangkan perempuan yang mempunyai saudara laki-laki melilitkan ulos di pinggangnya. Ritual kematian orang tua pun dianggap lebih rendah tingkatannya. Dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak mempunyai anak laki-laki dahulu akan mengalami hal-hal sebagai berikut: (1) “Dang boi pajongjong adat di harajaon” yang artinya “tidak dapat mengadakan pesta besar’’ (2) Tidak ada penerus marga (putus marga); (3) Saat meninggal, tidak dilakukan ritual saurmatua. Ritual saurmatua merupakan “tingkatan kesejahteraan menurut adat yang berpengaruh pada upacara kematian seseorang”; (4) “Boru siparsondak ibana” yang artinya “putri yang akan menguruskan orang tuanya semasa hidup sampai meninggal dunia” yang seharusnya adalah laki-laki; (5) Tidak memiliki “hula-hula” pemberi istri (perempuan) yang dapat berfungsi memberikan berkat secara kultural; (6) “Songon tandinag na hapuloan” yang artinya “merasa terasing”; (7) “Mangkel di sihapataran, tangis di sihabunian” yang artinya “tertawa di tempat ramai, tetapi menangis di tempat tersembunyi” (Sibarani dan Simanjuntak, 1999: 51).
Dalam kenyataannya tidak mengherankan melihat seorang istri Batak yang melahirkan anak perempuan terus menerus sampai akhirnya mendapatkan anak laki-laki. Sering sekali perempuanlah yang dijadikan pihak yang bersalah karena
tidak mendapatkan keturunan laki-laki. Anggapan demikian tentu saja sangat meminggirkan perempuan dan merugikan kualitas hidup perempuan.
Selain itu ada beberapa ungkapan dalam adat Batak Toba yang merendahkan martabat perempuan antara lain: (1) “Si goki jabu ni halak do anggo boru” artinya “anak perempuan adalah untuk mengisi rumah orang”; (2) “Mangan tuhor ni boru” artinya “anak perempuan dianggap barang dagangan yang diperjualbelikan” dan (3) “Holan anak di sijalo tenteanan”, “zaman dahulu ada tuntutan untuk mendahulukan anak laki-laki dalam melestarikan marga dan juga pertanahan, sehingga anak laki-laki berhak memiliki serta berbicara mengenai ikatan adat secara hukum” (Vergouwen dalam Tiorista, 2008: 75-76).
Dalam cerita rakyat Si Gale-gale (SGG) yang ditulis kembali oleh Rayani Sri Widodo menggambarkan bahwa perempuan Batak Toba pada zaman dahulu, apabila sudah menikah dan kemudian meninggal tanpa memiliki anak maka dipercaya rohnya tidak akan diterima di alam baka (Nurelide, 2007: 125). Anak yang dimaksud dalam cerita ini tentunya berorientasi pada anak laki-laki. Cerita Si Gale-gale ini merupakan sebuah tradisi lisan yang unik diwujudkan dalam seni patung yang dikenal dengan nama Si Gale-gale. Di masa lampau, Si Gale-gale muncul dalam acara penguburan di mana ia berfungsi sebagai anak laki-laki. Orang yang mati tanpa meninggalkan anak cucu dianggap mati tidak sempurna. Biasanya pada upacara kematian bagi orang yang mati tanpa keturunan, diadakan tortor (tari) Si Gale-gale (Nurelide, 2007: 12). Makna dari cerita Si Gale-gale ini menggambarkan bagaimana lemahnya posisi perempuan apabila: (1) tidak menikah, (2) menikah tapi tidak memiliki anak laki-laki dan (3) menikah kemudian meninggal tanpa memiliki anak laki-laki. Jadi dengan kata lain tanpa
perkawinan dan tanpa memiliki anak laki-laki perempuan tidak mempunyai status dan martabat apapun dalam masyarakat Batak Toba.
Dalam kenyataannya perempuan Batak Toba dari dulu dikenal sebagai “pekerja” keras dalam keluarganya. Di daerah asalnya mereka dikenal sebagai petani dan peladang yang giat bekerja mengolah sawah maupun ladang milik keluarga pihak suaminya. Tidak mengherankan bila melihat mereka bekerja sambil menggendong anak yang masih balita di punggungnya. Sebagai migran informal perempuan Batak Toba juga dikenal sebagai parlangsam yaitu sebagai orang yang mengumpulkan pakaian-pakaian dan barang-barang bekas untuk dijual kembali. Sementara di perantauan kiprah mereka di dunia ekonomi dikenal dengan sebutan inang-inang. Terlepas dari semua pekerjaan yang dilakukan perempuan, perempuan Batak Toba juga berfungsi sebagai mediator terutama dalam ritual-ritual adat Batak Toba. Untuk mempersiapkan segala sesuatunya dalam berbagai ritual umumnya dilakukan oleh perempuan. Dengan kata lain tanpa kehadiran perempuan berbagai ritual tidak akan berjalan sebagaimana mestinya (Bemmelen, 1992: 135-165). Begitu paradoksnya peran perempuan dalam sistem kekerabatan orang Batak Toba, namun dalam kenyataannya pihak keluarga yang tidak memiliki anak perempuan tidak akan pernah menjadi pihak “hula” (pemberi istri). Dalam sistem kekerabatan Batak Toba pihak hula-hula inilah yang dianggap memiliki kedudukan tertinggi dalam struktur Dalihan Na Tolu dan sangat dihormati karena dapat memberikan pemberkatan dalam setiap ritual orang Batak. Hula-hula dapat dianggap penjelmaan dari Mula Jadi Nabolon (penggantinya Tuhan Yang Maha Kuasa). Dikatakan bahwa hula-hula adalah Tuhan yang terlihat (debata na tarida). Atau dalam peristilahan lain
hula-hula adalah wakil ni De bata (khalifatullah) karena merupakan pihak yang telah memberikan istri. Hula-hula adalah sumber kekuatan adikodrati, daya hidup yang memberi semangat kepada boru-nya (Vergouwen, 1986: 55-56). Namun demikian tetap saja kalau dalam sebuah keluarga ada anak perempuan tapi tidak ada anak laki-laki, keluarga tersebut juga tidak bisa menjadi pihak hula-hula.
Merujuk laporan Richard Burton dan N. M Ward dari English Baptist Mission Society yang memasuki pedalaman tanah Batak tahun 1824 yang menyatakan hampir semua pekerjaan dilakukan oleh kaum wanita, seolah-olah kaum wanita merupakan “budaknya laki-laki”. Burton dan Ward menyatakan bahwa kaum wanita merupakan tulang punggung aktivitas ekonomi dalam keluarga dan rumah tangganya (Harahap dan Siahaan, 1987: 180). Begitu juga Nomensen yang datang ke tanah Batak dalam rangka menyebarkan agama Kristen pernah menyatakan keheranannya bahwa tidak ada yang tidak dikerjakan perempuan Batak, semua hal dikerjakan oleh mereka (Pedersen, 1975).
Demikianlah gambaran yang tercatat dan terekam dari dulu dan mungkin juga sampai sekarang. Di mana sering terlihat sekelompok laki-laki sedang main gitar, catur dan berdiskusi hangat mengenai percaturan politik yang terjadi di negeri ini di kedai-kedai kopi atau lapau-lapau tuak, sementara perempuan mencangkul di ladang atau melakukan pekerjaan apapun agar dapat menghidupi keluarga dan rumah tangganya.
Salah satu pekerjaan yang dekat dengan kehidupan ibu-ibu Batak Toba yaitu berdagang kecil-kecilan yang dikenal dengan istilah parengge-rengge. Menurut Harahap dan Siaahan (1987: 95) parengge-rengge merupakan suatu ciri khas dari tipe ekonomi pasar yang sangat padat karya, yang menandai kehidupan
masyarakat prakapitalis dan merupakan suatu sistem sosial dan kebudayan pasar yang mempunyai ciri-ciri keunikan dan khas. Dalam bahasa Batak pasar disebut sebagai onan yang pada awalnya tidak hanya berfungsi untuk aktivitas ekonomi, tetapi berfungsi juga sebagai aktivitas sosial budaya. Namun demikian, dalam perkembangannya fungsi onan mengalami perubahan dengan masuknya agama Kristen sehingga fungsi sosial budaya onan banyak digantikan dengan gereja (Sinaga, 2011: 246). Pada masa pendudukan Belanda onan yang paling ramai terdapat di daerah Toba yaitu di Balige. Sebagaimana pasar-pasar tradisional yang ada umumnya pasar dianggap aktivitas kerja ranahnya perempuan, terutama pedagang-pedagang kecil (eceran). Situmorang (2009: 293) mencatat bahwa sejak masa pendudukan Kolonial Belanda laki-laki yang datang ke pasar hanya sekedar untuk menyaksikan jual beli barang dagangan istri mereka saja. Oleh karena pekerjaan berdagang hanya dianggap ranahnya pekerjaan perempuan, dengan demikian laki-laki merasa tidak perlu untuk ikut serta di dalamnya.
Kelompok etnik Batak Toba ini tentunya mengembangkan orientasi nilai-nilai budaya mereka terhadap tantangan situasi perkotaan (urban). Salah satunya terkait adanya kegiatan dagang perempuan Batak Toba yang dikenal dengan istilah inang-inang yang popular di daerah perantauan (di daerah asalnya dikenal dengan istilah parengge-rengge). Istilah inang-inang kemudian dapat diartikan sebagai suatu golongan sosial yang terdapat dalam masyarakat Batak Toba di perantauan yang pada umumnya terdiri dari ibu-ibu yang telah berumah tangga. Munculnya kegiatan dagang inang-inang ini berkaitan dengan strategi adaptasi dalam lingkungan baru agar mereka tetap survive di perkotaan.
Menurut Panjaitan (1977: 114) kegiatan dagang inang-inang ini pada awalnya dapat disamakan dengan kegiatan dagang sambil berlayar. Hubungan antara Medan, Singapura dan Jakarta menarik minat ibu-ibu Batak Toba untuk ikut melakukan kegiatan dagang. Panjaitan (2004: 72) menyatakan untuk memahami mengapa kegiatan inang-inang tetap mendapat tempat di kalangan masyarakat Batak Toba harus dicari pada hal-hal yang dinilai tinggi oleh masyarakatnya yaitu dalam kaitan pendidikan anak. Dengan bekerjanya inang-inang ini memberikan kontribusi yang besar bagi keluarganya terutama bagi pendidikan anak-anaknya. Sikap ini sangat dipuji dan dihargai oleh orang Batak Toba. Pendidikan dianggap jalan yang strategis untuk mencapai “kemuliaan hidup” sebagaimana misi budaya mereka atau tujuan hidup mereka. Tujuan hidup orang Batak ini pada masa kini telah mengalami pergeseran makna seiring dengan perkembangan ekonomi, sosial dan politik yaitu menjadi akses kepada modal, tenaga kerja, barang-barang non-material seperti informasi, pengetahuan, pendidikan, dan jaringan dengan kaum elit Batak Toba (Simbolon, 1998:3).
Inang-inang Batak Toba selain melakukan aktivitas yang bertujuan agar dapat mempertahankan kesinambungan hidup (survive) dan menambah penghasilan keluarga juga tentunya bermakna sosial budaya. Sebagaimana yang dinyatakan Sairin (2002: 324), umumnya masyarakat Indonesia memiliki orientasi nilai budaya yang memandang kegiatan bekerja tidak hanya untuk kepentingan mencari nafkah tetapi juga untuk kepentingan peningkatan status sosial.
Dalam penelitian Cunningham (1958) tentang migrasi orang Batak Toba ke Sumatera Timur menyatakan banyak orang Batak Toba yang menghasilkan pengusaha Indonesia yang agresif dan memiliki semangat kewirausahaan yang
tinggi. Sifat kewirausahaan ini ternyata juga dimiliki oleh perempuan Batak Toba (inang-inang) yang menjalankan kegiatan dagangnya. Studi yang dilakukan Marbun (2002) juga menguatkan bukti bahwa perempuan Batak Toba memiliki sifat entrepreneurship terutama pedagang emas - berlian yang ada di Jakarta. Inang-inang Batak Toba dikenal sebagai perempuan pekerja keras, tangguh dan “perkasa”. Merujuk hasil penelitian Silaen (2006) ternyata gerakan kemasyarakatan (sosial movement) perlawanan rakyat menghadapi perusahaan PT Inti Indorayon Utama (Indorayon) selama periode 1983-2000 tidak tercetus oleh kaum terpelajar di kota, melainkan oleh sepuluh orang ibu (inang-inang) berumur antara 42-70 tahun di sebuah desa di pedalaman Tanah Batak, melalui aksi pencabutan tanaman ekaliptus yang ditanam perusahaan itu di tanah adat mereka. Kehidupan di daerah perkotaan (urban) merupakan kehidupan yang penuh dengan tantangan akibat kepadatan penduduk (density), keanekaan suku bangsa dan agama serta spesifikasi pekerjaan atau keahlian (division of labor) (Wirth, 1938). Hal ini menyebabkan para pendatang harus mengubah strategi adaptasi agar dapat bertahan hidup dan survive. Bagi para pendatang yang telah berkeluarga seperti pendatang Batak Toba tentunya harus dapat juga mengembangkan strategi tertentu untuk menghadapi kehidupan ekonomi yang sulit di perkotaan. Dalam keadaan seperti inilah ibu-ibu pedagang Batak Toba yang dikenal sebagai inang-inang tergerak untuk bekerja keras dalam kegiatan berdagang. Dalam hal ini nampak adanya paradoks dalam cara orang Batak menempatkan perempuan dalam aspek kulturalnya. Paradoks dalam hal ini diartikan sebagai suatu yang bertolak belakang antara pandangan konstruksi kultural dengan kenyataan sebenarnya (konstruksi realitas). Menjadi menarik
untuk mengetahui apa sebenarnya makna bekerja bagi inang-inang. Menurut Wallman (1979) kerja memiliki makna yang berbeda-beda dalam setiap kebudayaan. Kerja bukan hanya menyangkut aspek ekonomi melainkan juga terkait aspek sosial budaya di dalamnya. Oleh karena masing-masing kebudayaan memaknai kerja itu berbeda, begitu juga dengan inang-inang.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan Stoler (1982: 183) perempuan yang melakukan kegiatan dagang bukan menunjukkan kebebasan dari segi ekonomi semata, melainkan karena ia mendapatkan suatu penghasilan yang teratur dan dapat diandalkan dengan kegiatannya itu. Stoler menyatakan bahwa bagi rumah tangga miskin penghasilan seorang perempuan dari usaha dagangnya memberinya kesempatan untuk memegang peranan penting dalam ekonomi rumah tangganya, dan bagi rumah tangga yang lebih kaya memberinya dasar material untuk kekuasaan sosial.
Oleh karena itu menjadi sesuatu yang paradoks bahwa secara kultural dalam kebudayaan Batak Toba perempuan tidak diperhitungkan dalam hak atas harta warisan sementara dalam kehidupan nyata peran mereka sangat besar. Menurut Ihromi (1975: 357) prinsip keturunan yang ada dalam sebuah kebudayaan akan membawa pengaruh terhadap peran dan status perempuan dan laki-laki pada masyarakat tersebut. Ihromi (1994:525) menyatakan bahwa dominasi laki-laki pada budaya Batak tampil pada norma-norma yang dijalani yang memberi perempuan status yang lebih rendah. Status dan kedudukan yang rendah inilah yang menempatkan perempuan Batak Toba tidak diperhitungkan sebagai ahli waris. Sebagaimana yang dikemukan oleh Irianto (2005:300), keadaan ini menyebabkan kelompok perempuan tertentu menciptakan budaya
hukum dan sub budaya hukumnya sendiri yang tercermin dari cara perempuan Batak Toba memilih institusi peradilan dalam proses penyelesaian sengketa waris. Secara umum, kehidupan patrilineal Batak Toba yang begitu dominan, mungkin hanya sesuai dalam kehidupan komunal dan agraris di pedesan yang homogen. Ketika mereka merantau ke daerah perkotaan (urban), mereka memerlukan suatu mekanisme adaptasi dalam kehidupan baru di perkotaan yang penuh dengan tantangan.
B. Permasalahan
Penelitian ini pada langkah pertama mencoba untuk memetakan dan mendapatkan gambaran mengenai pola kegiatan dagang inang-inang sebagai kelompok migran di Kota Medan dan memahami makna kerja mereka. Di antara berbagai kelompok etnik pendatang ke kota Medan, kelompok etnik Batak Toba memainkan peranan penting di kota ini. Oleh karena itulah pola perantauan mereka disebut juga sebagai perantauan yang “ekspansionis” (Pelly, 1994: 295) dengan motto “mendapatkan anak dan tanah” (halalui anak halalui tano). “Anak dan tanah” bagi mereka adalah simbol “martabat, kekuasaan dan kekayaan” sebagaimana dengan misi budaya mereka yaitu hagabeon, hamaraon dan hasangapon. Motto hidup orang Batak Toba “anakkokin do hamoraon di ahu” yang artinya anak adalah harta yang paling berharga. Implikasinya mereka akan berusaha semaksimal mungkin menyekolahkan anaknya walaupun dalam keadaan yang terbatas. Ini menunjukkan bahwa pendidikan anak mendapat tempat dan nilai yang lebih tinggi dari nilai yang lain (Napitupulu, 2011: 273).
Kota Medan merupakan pusat kehidupan penduduk dari berbagai kelompok etnik dan agama. Setelah kemerdekaan tercatat lebih dari selusin kelompak etnik di kota ini (Bruner, 1974; Pelly, 1994) antara lain Jawa, Cina, Minangkabau, Melayu, Batak Toba, Mandailing, Karo, Simalungun, Aceh, Sunda, Bugis, Banjar keturunan Arab, India, Belanda dan kelompok-kelompok etnis yang berasal dari berbagai daerah lainnya dengan bahasa dan agama yang berbeda-beda. Menurut Bruner (1974) Medan merupakan kota multietnik, namun dalam masyarakat kota itu tidak ditemui adanya kelompok budaya dominan (dominant cultural group).
Dengan demikian permasalahan penelitian ini berputar pada pertanyaan mengapa sebenarnya perempuan Batak Toba (inang-inang) terlibat dalam kegiatan ekonomi (dagang) padahal secara kultural dengan sistem patrilineal tanggung jawab nafkah ada di tangan laki-laki (suami)? Dengan kata lain apa sebenarnya makna bekerja bagi inang-inang? Dengan mengambil kota Medan sebagai setting lokasi penelitian, penelitian ini juga diharapkan dapat menggambarkan dinamika yang terjadi dalam kehidupan inang-inang yang terkait erat dengan relasi sosial dalam kehidupan rumah tangga, keluarga dan masyarakatnya. Dari permasalahan ini, sejumlah pertanyaan berikut menjadi penting dalam penelitian ini:
1. Bagaimanakah keterlibatan perempuan pedagang Batak Toba (inang-inang) dalam kegiatan perdagangan di kota Medan?
2. Bagaimanakah makna bekerja sebagai pedagang bagi perempuan Batak Toba (inang-inang) di kota Medan?
3. Bagaimanakah keterlibatan dagang perempuan Batak Toba (inang-inang) mempengaruhi relasi sosial dalam kehidupan rumah tangga, keluarga dan masyarakat Batak Toba yang patrilineal?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Menggambarkan keterlibatan perempuan pedagang Batak Toba (inang-inang) dalam kegiatan perdagangan di kota Medan.
2. Menggambarkan makna bekerja sebagai pedagang bagi perempuan Batak Toba (inang-inang) di kota Medan.
3. Menggambarkan pengaruh keterlibatan dagang perempuan Batak Toba (inang-inang) terhadap relasi sosial dalam kehidupan rumah tangga, keluarga dan masyarakat Batak Toba yang patrilineal.
Studi mengenai peranan perempuan dalam pemenuhan kehidupan ekonomi keluarga telah banyak dilakukan. Namun demikian, penelitian ini tidak hanya menambah daftar panjang peranan perempuan dalam kehidupan ekonomi. Penelitian ini berkeinginan memahami makna kerja bagi perempuan pedagang Batak Toba (inang-inang). Selain itu penelitian ini berkeinginan juga menggambarkan bagaimana kelompok masyarakat migran kota dalam hal ini masyarakat Batak Toba di Medan memaknai kerja inang-inang dan mengadopsi nilai-nilai baru. Penelitian mengenai masyarakat Batak Toba di perkotaan antara lain dilakukan oleh Cunningham (1958), Bruner (1974), Pelly (1994), Ihromi (1994) dan Irianto (2005). Tulisan-tulisan ini umumnya berkisar masalah
bagaimana kelompok etnik Batak Toba sebagai etnik pendatang beradaptasi dalam kehidupan di perkotaan. Tetapi tidak menukik lebih dalam ke ranah budaya Batak Toba dalam kaitannya dengan makna kerja kegiatan dagang inang-inang.
Secara teoritis manfaat penelitian ini menambahkan kajian tentang makna kerja dalam kaitannya dengan relasi gender dalam kultur patrilineal Batak Toba di kota Medan. Selain itu juga menambah kajian tentang strategi adaptasi migran perantauan khususnya perempuan pedagang Batak Toba (inang-inang) dalam menyikapi perubahan-perubahan situasi perkotaan di Medan dalam dinamika kehidupan rumah tangga, keluarga dan masyarakatnya. Secara praktis penelitian ini bermanfaat memberikan pemahaman baru dalam melihat persoalan perempuan Batak Toba yang bekerja dalam kultur patrilineal Batak Toba di perkotaan.
D. Tinjauan Pustaka
1. Perempuan di Sektor Informal
Pola kegiatan ekonomi yang dilakukan inang-inang dapat dikategorikan sebagai kegiatan ekonomi di sektor informal. Walaupun demikian batasan mengenai sektor informal sebagai sebuah fenomena yang sering muncul di perkotaan masih dirasakan kurang jelas, karena kegiatan-kegiatan perekonomian yang tidak memenuhi kriteria sektor formal - terorganisir, terdaftar, dan dilindungi oleh hukum - dimasukkan kedalam sektor informal, yaitu suatu istilah yang mencakup pengertian berbagai kegiatan yang seringkali tercakup dalam istilah umum “usaha sendiri”. Dengan kata lain, sektor informal merupakan jenis kesempatan kerja yang kurang terorganisir, sulit dicacah, dan sering dilupakan
dalam sensus resmi, serta merupakan kesempatan kerja yang persyaratan kerjanya jarang dijangkau oleh aturan-aturan hukum (Breman, 1994:4).
Istilah sektor informal pertama kali dilontarkan oleh Hart (1996) dengan menggambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja kota yang berada di luar pasar tenaga terorganisasi. Untuk lebih memahami pengertian akan sektor informal, ada baiknya kita melihat aktivitas-aktivitas informal yang tidak hanya terbatas pada pekerjaan-pekerjaan di pinggiran kota-kota besar, tetapi bahkan juga meliputi berbagai macam aktivitas ekonomi. Adapun ciri-ciri kegiatan sektor informal menurut Breman (1994:6) dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) manajemennya sederhana; (2) tidak memerlukan izin usaha; (3) modal rendah; (4) padat karya; (5) tingkat produktivitas rendah; (6) tingkat pendidikan formal yang biasanya rendah; (7) penggunaan teknologi yang sederhana; (7) sebagian pekerja adalah keluarga dan pemilikan usaha oleh keluarga; (9) mudahnya keluar masuk usaha; dan (10) kurangnya dukungan dan pengakuan pemerintah.
Menurut Hart (1996: 79), ada dua macam sektor informal dilihat dari kesempatan memperoleh penghasilan. Pertama, Sah; terdiri atas: (a) Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder - pertanian, perkebunan yang berorientasi pasar, kontraktor bangunan, dan lain-lain; (b) Usaha tersier dengan modal yang relatif besar - perumahan, transportasi, usaha-usaha untuk kepentingan umum, dan lain-lain, distribusi kecil-kecilan - pedagang kaki lima, pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang asongan, dan lain-lain; (c) Transaksi pribadi - pinjam-meminjam, pengemis; (d) Jasa yang lain - pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sampah, dan lain-lain. Kedua, Tidak sah; terdiri atas : (a) Jasa - kegiatan dan perdagangan gelap pada umumnya: penadah barang-barang curian,
lintah darat, perdagangan obat bius, penyelundupan, pelacuran, dan lain-lain; (b) Transaksi - pencurian kecil (pencopetan), pencurian besar (perampokan bersenjata), pemalsuan uang, perjudian, dan lain-lain.
Breman (1994: 4) membedakan sektor formal dan informal yang menunjuk pada suatu sektor ekonomi masing-masing dengan konsistensi dinamika strukturnya sendiri. Sektor formal digunakan dalam pengertian pekerja bergaji atau harian dalam pekerjaan yang permanen meliputi: (1) sejumlah pekerjaan yang saling berhubungan yang merupakan bagian dari suatu struktur pekerjaan yang terjalin dan amat terorganisir; (2) pekerjaan secara resmi terdaftar dalam statistik perekonomian; dan (3) syarat-syarat bekerja dilindungi oleh hukum. Kegiatan-kegiatan perekonomian yang tidak memenuhi kriteria ini kemudian dimasukkan dalam istilah sektor informal, yaitu suatu istilah yang mencakup pengertian berbagai kegiatan yang sering kali tercakup dalam istilah umum sebagai ‘usaha mandiri’.
Kaitan antara sektor informal dan penyerapan tenaga kerja dapat dikemukakan menurut Breman (1994) sebagai berikut: (a) Persyaratan Masuk. Angkatan kerja mudah terserap pada sektor informal karena sektor informal memberikan kebebasan pada angkatan kerja untuk masuk dan keluar tanpa adanya persyaratan seperti pada sektor formal. Artinya, siapapun yang berminat dapat langsung terserap sesuai dengan jenis yang diminati; (b) Waktu kerja. Memberikan kebebasan waktu kepada angkatan kerja sehingga akan lebih fleksibel dalam menjalankan usahanya; (c) Umur. Sektor ini relatif tidak memberikan batasan umur. Artinya, tidak ada istilah usia produktif atau non produktif; (d) Jenjang pendidikan. Sektor ini tidak memerlukan pendidikan khusus
untuk menjalaninya. Dengan pendidikan apapun, setiap orang dapat memasuki usaha sektor informal.
Dengan adanya keunggulan-keunggulan sektor informal tersebut, maka sektor informal memberikan dampak yang positif, yakni mampu menyerap angkatan kerja dan mampu menciptakan lapangan kerja baru. Breman (1996: 155-157) menyimpulkan bahwa hubungan antara sektor informal dan formal tidak dapat dilihat sebagai dualitas dari dua sektor yang berdiri sendiri, melainkan sebagai hubungan ketergantungan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ketertinggalan dan ketidakberdayaan sektor informal merupakan syarat bagi kemajuan sektor formal, sedangkan hubungan antara kedua sektor menunjukkan subordinasi dan ketergantungan dari sektor informal kepada sektor formal. Penelitiannya terhadap industri kecil di Kalkuta, India menunjukkan bahwa penyebab kemiskinan para pengusaha kecil bukanlah kecilnya lingkup usaha atau kesalahan manajemen, melainkan ketimpangan pembagian surplus dari atas. Bagi Breman, yang ada adalah suatu sektor kapitalis yang berhubungan erat dengan ekonomi internasional dan sektor lain yang mengikuti cara-cara produksi pra-kapitalis. Komponen-komponen sektor ini saling mempengaruhi satu dengan lainnya dan secara berangsur-angsur kehilangan identitas dan otonominya, sehingga akan berhadapan dengan kesatuan sistem yang koheren dengan watak dan dinamikanya. Berdasarkan pandangan bahwa sektor informal ada berkat sektor formal, Breman menyimpulkan bahwa ketertinggalan hanya dapat diakhiri dengan perubahan radikal keseluruhan sistem ekonomi.
Beberapa penelitian melihat adanya kecenderungan para migran perempuan memasuki berbagai pekerjaan di sektor informal karena keterdesakan
ekonomi rumah tangga dan keluarganya. Alasan utama perempuan migran memasuki sektor ini antara lain karena sektor informal ini tidak memerlukan persyaratan pendidikan dan keahlian tertentu serta modal yang besar. Beberapa penelitian menggambarkan bahwa migrasi yang dilakukan perempuan dan laki-laki dalam kenyataannya membawa keuntungan yang berbeda bagi perempuan dan laki-laki. Pada beberapa kasus tergambar perempuan di sektor informal menjadi survive dan kemudian menjadi tumpuan kehidupan keluarganya. Gender ternyata memainkan peran yang sentral dalam keputusan untuk migrasi dan bagaimana komposisi migrasi berlangsung dengan konsekuensi-konsekuensi bagi pembentukkan migran berikutnya. Pengalaman migran juga berdampak secara mendalam terhadap kehidupan publik dan private perempuan, kekuatan partisipasi kerja, konsentrasi pekerjaan, ketaatan, peranan dan kepuasan dalam perkawinan, kepercayaan diri dan otonomi mereka. Oleh karena, kita dapat melihat bahwa pengalaman para migran membawa keuntungan yang berbeda bagi perempuan dan laki-laki (Pedraza, 1991: 321-322; Rodenburg, 2000: 259; Cooke, 2003:338).
2. Gender, Keluarga, Kerja dan Perubahan Sosial Budaya
Studi mengenai berkiprahnya perempuan dalam kegiatan ekonomi keluarga dan rumah tangga sudah banyak dilakukan. Beberapa studi di antaranya mencoba untuk memahami kerja rumah tangga, partisipasi kerja, pembagian kerja, relasi gender dan posisi perempuan dalam komunitas keluarga dan masyarakat yang sedang mengalami perubahan. Hare-Mustin (1988:36) menggunakan pendekatan psikologi menyoroti fenomena ibu bekerja dengan peran ganda yang menderita beban berlebih, dikuatkan dengan berbagai penelitian dalam
masyarakat tradisional seperti masyarakat Cina dan masyarakat industri Amerika Serikat. Penelitiannya menyimpulkan bahwa peranan dan sosialisasai ganda perempuan membuat perlunya menemukan model perbedaan gender dengan mengenali bentuk-bentuk asimetri dalam hal tanggung jawab perempuan dan laki-laki.
Koo dan Smith (1983:219) mengkaji beberapa issu yang ada dalam sektor informal dan migrasi di lingkungan kota-kota Philipina dengan menganalisis data-data demografi yang ada. Ia menemukan empat pola. Pertama, ada kecenderungan para migran terutama migran perempuan memasuki struktur pekerjaaan perkotaan melalui sektor informal. Kedua, sektor informal tidaklah harus diidentifikasikan dengan kemiskinan perkotaan. Ketiga, pengaruh pedesaan dan keterlibatan sektor informal kelihatannya bervariasi antara Manila dan kota-kota sekunder. Keempat, batas-batas sektoral kelihatannya tidak signifikan membentuk penghalang mobilitas, tetapi mengurangi kesempatan mobilitas pekerjaan di kota-kota Philipina.
Studi yang dilakukan Beneria (2001: 27) menyatakan bahwa pertumbuhan partisipasi perempuan dalam aktivitas informal, memperlihatkan suatu yang kontradiktif menyangkut pekerjaan perempuan. Meskipun diskriminasi gender sulit untuk dihilangkan dan adanya berbagai rintangan terhadap kemajuan perempuan. Namun demikian, kemajuan perempuan telah nampak di beberapa tempat, seperti di bidang pendidikan dan dalam banyaknya penyerapan pekerja perempuan dalam bidang proses produksi. Sementara itu kajian dilakukan di Indonesia oleh Papanek dan Schwede (1988: 73) melihat bahwa perbedaan gender merupakan faktor kunci dalam proses alokasi pada semua tingkat organisasi sosial
dalam semua masyarakat. Proses akumulasi dan distribusi bersama rumah tangga menurut mereka merefleksikan negosiasi dan tawar menawar Di antara anggotanya. Penelitian ini menemukan bahwa perempuan urban kelas menengah dan kelas bawah di Jakarta memiliki akses terbatas terhadap pasar kerja. Pada umumnya mereka terdiri dari keluarga patrilineal.
Haggis (2000: 108) mengkaji studi kasus terhadap aktivitas masyarakat misionaris London di Selatan Travancore, India Selatan selama abad 19 dan abad awal 20. Haggis menyimpulkan bahwa pemusatan pembentukan kembali feminitas mengalami perubahan menyangkut makna kerja dalam relasinya dengan ‘rumah’ dan kaum wanita, terkait dengan sebuah idiom religius dan kerangka dari perilaku. Haggis menemukan bahwa terdapat beberapa kontradiksi. Satu sisi, perempuan Indian Kristen direkonstruksi kembali sebagai istri, ibu dan pekerja. Sementara disisi lain, istri misionaris memandang dirinya hanya sebagai tambahan saja bagi suaminya, usaha yang dianggap “aman” dalam ranah domestik. Sementara perempuan single mendapatkan sebuah status baru sebagai pekerja yang professional. Selain itu, Singley dan Hynes (2005:376) mengkaji peranan kebijakan work-family dalam pengambilan keputusan terhadap pasangan yang bekerja dan berpengasilan selama transisi menjadi orang tua. Selama masa periode yang dekat dengan kelahiran, terdapat perbedaan-perbedaan dalam akses menjadi ibu dan ayah, interaksi yang berkaitan dengan ideologi pengasuhan anak dalam mempengaruhi perbedaan gender dalam pengaturan kerja. Pekerja perempuan lebih menggunakan dan menciptakan kembali fleksibilitas dalam pengaturan kerja dibandingkan suami mereka yang kurang menggunakan kebijakan work-family.
Levey dan Silver (2006:659) menganalisis identitas sosial gender di Jepang dan Amerika Serikat, negeri dengan persamaan komparasi sistem ekonomi postindustrial dan perbedaan dalam tradisi kultural. Dengan menggunakan survey (1995), penulis menemukan perbedaan gender dalam orientasi nilai menjadi tidak sistematis dan konsisten. Mereka kadang menghilang setelah ada kontrol tehadap variabel demografi dan human-capital. Variabel-variabel lain membuktikan lebih penting memprediksi nilai-nilai dibandingkan gender.
Studi yang dilakukan oleh Shimray (2004: 1698) mengenai masyarakat Naga menyimpulkan bahwa perempuan memiliki serangkaian tanggung jawab yang besar, dari pekerjaan domestik hingga berbagai aktivitas pertanian dengan beban kerja yang begitu besar. Pengukuran disparitas gender memperlihatkan bahwa tanggung jawab laki-laki terhadap aktivitas rumah tangga semakin menurun sementara pekerjaan perempuan semakin meluas. Penelitian lain menyoroti permasalahan perempuan di pasar yaitu yang dilakukan oleh Nyanzi dkk. (2005:13). Berdasarkan penelitian ini disimpulkan bahwa perdagangan pasar menyediakan akses terhadap uang, pengambil keputusan secara mandiri, mobilitas, ketegasan dan interaksi sosial bagi perempuan. Perdagangan di pasar menghasilkan label-label “maskulin” bagi perempuan seperti “kiwagi” yang dicirikan independen, sukar diatur dan dan tidak subordinat. Namun demikian mendapatkan uang ternyata tidak meubah harapan laki-laki mengenai perilaku ideal seorang istri.
Barooah (2000: 371) mempelajari transformasi dalam perdagangan jarak jauh dalam komunitas daerah dataran tinggi Timur Laut India. Dia menyimpulkan bahwa perempuan dan laki-laki menggunakan kesempatan ini untuk menghasilkan
pola yang berbeda dari pekerjaan biasa dalam konsepsi lokal menyangkut gender dan kelas sosial. Sementara itu Lee (2006: 382) melakukan studi mempelajari pengalaman kerja dan kepercayaan gender pada janda dan bukan janda Okinawan. Orientasi perempuan terhadap nafkah ditemukan dalam membentuk kepercayaan gender yang mereka pegang. Para janda yang mendefinisikan kerja mereka sebagai pencari nafkah utama. Yang bukan janda melihat bahwa pekerjaan mereka hanya sebagai tambahan bagi penghasilan suami mereka. Studi ini menguatkan bahwa orientasi konsep pencari nafkah utama hanya diperuntukkan bagi perempuan yang telah kehilangan suaminya. Sebaliknya perempuan yang masih memiliki suami, nafkah perempuan hanya dianggap sebagai tambahan saja bagi keluarganya walaupun dalam kenyataan tidak demikian adanya.
Studi lain dilakukan oleh Meyer (2003: 351) mempelajari efek dari globalisasi ekonomi terhadap pembagian kerja secara seksual dan ketidaksamaan dalam pekerjaan. Hasilnya mengindikasikan bahwa ekonomi gobal mengurangi pemisahan pekerjaan berdasarkan seks dan ketidaksamaan. Bagaimanapun, pengaruh ini ditentukan oleh posisi sistem negara dan daerahnya. Sementara itu Moon (2003:840) menganalisis relasi gender dalam keluarga perempuan imigran pekerja Amerika Serikat dalam kaitannya dengan pengasuhan anak. Penelitian Moon menyimpulkan: (1) pengasuhan anak didasarkan pada transisional, transgenerasi dan jaringan kerja keluarga inti; (2) pengasuhannya terisolasi dan mengalami privatisasi; (3) pengasuhan anak dapat dilakukan perempuan setelah tidak bekerja dengan penuh waktu.
Menarik untuk mencermati penelitian Clark (1999: 717) mengenai menjadi ibu, kerja dan gender di daerah perkotaan Asante Ghana menyatakan
bahwa masyarakat Asante yang matrilineal mengasumsikan kesetiaan terhadap peran ibu mengalami konflik. Perempuan dalam perkawinan diharapkan bekerja berpenghasilan dan tidak penuh waktu. Masyarakat Asante mengekspresikan pengabdian keibuan pada umumnya dengan bekerja tanpa mengenal lelah dalam memenuhi kebutuhan keuangan anak-anaknya, bukan dengan cara tinggal di rumah bersama anak mereka. Clark menggunakan life history method dan pengkajian lapangan terhadap ibu-ibu pedagang Kumasi. Menurut Clark berdagang di pasar bukan merupakan perkerjaan yang cocok dengan pengasuhan anak. Namun demikian, kegiatan berdagang di pasar dianggap sebagai pekerjaan ideal yang dapat dilakukan sambil mengasuh anak dan menghasilkan pendapatan yang teratur. Konsep mengenai ayah yang “menjadi ibu” (motherly fathers), perempuan “seperti laki-laki” (manly women), yang mengelabui gender keduanya menunjukkan bagaimana distribusi penghasilan dan modal menjelaskan tindakan gender dan peranan hubungan keluarga. Masyarakat Asante telah menyesuaikan perubahan sejarah dalam ekspektasi gender mengenai kerja, menjadi orang tua, perkawinan dengan melakukan negosisasi dan renegosiasi mengenai kepuasan dalam hubungan keluarga. Penelitian ini membicarakan terjadinya perubahan pada masyarakat Asante yang matrilineal, menjadi menarik bagaimana halnya kalau itu terjadi pada masyarakat dengan sistem patrilineal seperti dalam kasus perempuan pedagang Batak Toba (inang-inang) di Medan?
Akhir-akhir ini ada penekanan mengenai transformasi gender dengan bekerjanya perempuan dalam ranah publik. Penelitian yang dilakukan Sullivan (2004: 207) melihat perubahan dalam relasi gender antara pasangan heteroseksual yang merepresentasikan bukti-bukti perubahan pada berbagai level. Sullivan
membuat kerangka teoretikal untuk menganalisis perubahan yang didasarkan pada “bekerjanya gender” dan perspektif kesadaran gender. Sullivan berargumen bahwa dalam kehidupan sehari-hari konsepsi gender mengalami perubahan yang lambat dan tidak seimbang secara lintas generasi.
Pada umumnya studi-studi mengenai perempuan, kerja dan perubahan di atas menyoroti adanya perubahan gender dengan bekerjanya perempuan dalam ranah publik. Dalam berbagai studi ini tergambar juga bahwa walaupun perempuan telah bekerja, perempuan juga diharapkan mampu untuk tetap melakoni peran domestiknya dengan baik. Dengan demikian perempuan selalu digambarkan memiliki beban ganda (double burden). Penelitian-penelitian yang dilakukan umumnya melihat adanya hubungan yang erat antara konsep gender, keluarga, kerja dan perubahan sosial. Namun demikian penelitian-penelitian tersebut tidak secara spesifik menyoroti persoalan sosial budaya yang memberikan andil besar mengapa perempuan bekerja dan juga tidak mengambarkan aspek yang terkait dengan kontradiksi-kontradiski, paradoks dan kelangsungan yang menyangkut pekerjaan perempuan. Penelitian ini akan mengkaji mengenai makna kerja perempuan pedagang Batak Toba (inang-inang) di Medan dengan menggunakan kerangka pemikiran makna kerja dari Wallman, konseptualisasi relasi gender dan liminalitas Turner. Dengan menggunakan kerangka pemikiran tersebut diharapkan realitas dan persoalan inang-inang yang berkerja dapat dipahami makna dan paradoks yang tercipta serta ditempatkan dalam kerangka sosial budaya masyarakatnya. Dengan adanya kegiatan dagang yang dilakukan inang-inang diharapkan dapat menjelaskan mengapa realitas ini muncul dalam
masyarakat Batak Toba di Medan yang dikenal dengan sistem kekerabatan patrilineal.
E. Kerangka Pemikiran 1. Makna Kerja
Kerja mempunyai makna bebeda-beda dalam berbagai masyarakat dan kebudayaan. Kerja adalah berkenaan mengenai kontrol fisik dan psikologis, sosial dan simbolik yang dilakukan manusia dalam memenuhi berbagai kebutuhannya. Tujuan utama dari kerja bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan cara mengkontrol lingkungan lewat kebudayaannya (Wallman, 1979:1). Oleh karena itu butuh kontrol terhadap lingkungannya agar bisa memenuhi kehidupannya. Dapat dikatakan bahwa kerja adalah berkenaan dengan energi fisik dan psikis yang dikerahkan seorang pekerja dalam memproduksi, mengatur atau meubah sumberdaya ekonomi. Tetapi pilihan, keputusan dan penghargaan para pekerja didasarkan pada sistem logis di mana dia bekerja.
Menurut Wallman (1979: 1-4), makna kerja dapat dianalisis berdasarkan empat faktor. Pertama, transformasi fisik. Transformasi fisik berhubungan dengan berpindahnya seseorang (pekerja) secara fisik dari tempat ia tinggal kemudian berpindah ke tempat di mana ia bekerja. Ada perbedaan secara fisik tempat di mana pekerja itu tinggal dan tempat di mana ia melakukan aktivitas kerja. Kedua, transaksi sosial. Transaksi sosial berhubungan dengan adanya transaksi antara peran (role) dan status (status) sosial seseorang (pekerja) dari tempat ia tinggal kemudian mengalami perbedaan peran dan status sosial saat seseorang (pekerja) melakukan aktivitas kerjanya. Ketiga, aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi yang
dilakukan oleh seorang pekerja tentunya diharapkan dapat memberikan pemasukan ekonomi dalam rangka pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup mereka sehari-hari sebagai manusia. Keempat, identitas personal. Dengan berkerjanya seseorang dalam satu atau lebih pekerjaan ini tentunya akan membentuk identitas dirinya yang melekat dalam pekerjaannya. Dengan kata lain identitas seseorang ditentukan oleh pekerjaannya.
Selain itu ada sepuluh faktor dimensi kerja yang penting menurut Wallman (1979: 4-22). Kesepuluh dimensi ini saling berhubungan satu sama lain dan tidak merupakan sebuah rangking. Pertama, energi (energy). Dalam bekerja manusia pasti membutuhkan energi dan mengeluarkan energi. Menurut Wallman definisi fisik dapat berhubungan dengan sektor ekonomi dengan pekerja kelompok sama seperti pekerja individu. Dalam peristilahan psikologi, setiap orang menghabiskan energi sebagaimana usaha mereka untuk bekerja, bahkan energi fisik yang membakar kalori. Apabila semua berjalan lancar termasuk sumber daya non material (institusi, simbol dan informasi) maka semua sistem kerja adalah sistem energi.
Namun demikian kerja tidak dapat dipahami sebagai fungsi mekanis yang menghabiskan energi karena pekerjaan manusia lebih kurang secara langsung akan menghasilkan sesuatu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh White mengenai energi dan evolusi budaya. White menyatakan pada dasarnya manusia dalam budayanya melaksanakan adaptasi terhadap lingkungannya dengan mengerahkan energi yang tersedia dan memperkerjakannya demi kepentingan manusia tersebut. White telah mengajukan suatu rumus untuk menjelaskan perkembangan kultur. Dengan pernyataan budaya mengalami kemajuan seukuran
dengan tingginya peningkatan besarnya energi yang dikerahkan perkapita pertahun atau seukuran dengan peningkatan efisien pemanfaatan energi (E X T -> C, diman E adalah Energi, T adalah efisiensi alat atau teknologi dan C adalah Culture, budaya). Dalam proses pengerahan energi ini White melihat bahwa semua tatanan institusional utama dalam budaya (teknologi, organisasi sosial, politik dan ideologi) memberikan sumbangan kepada efektifitas sistem itu dalam menjatah serta memanfaatkan energi yang tersedia baginya (Kaplan dan Manners, 2002: 62). Jadi dengan demikian menurut White fungsi utama budaya untuk menghimpun dan mengkontrol energi demi kelangsungan hidup manusia.
Kedua, Insentif (incentive). Menurut Wallman (1979) sebagaimana dalam ekonomi bisnis tujuan yang ingin didapatkan dari definisi kerja secara sederhana adalah kerja menghabiskan energi manusia pada akhirnya ingin menghasilkan sesuatu, dengan mengorbankan kenyamanan dan waktu luang. Insentif yang didapatkan tidak hanya bersifat materi bisa juga bersifat non materi (simbolis). Kerja bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi, ia mempunyai alasan lain dari pada itu. Kerja pada saat yang bersamaan bisa merupakan aktivitas ekonomi, politik dan perilaku religius atau pengalaman sejenisnya. Insentif yang dihasilkan dari kerja bukan saja menyangkut tujuan ekonomi namun berkenaan juga dengan tujuan sosial, simbolis, eksistensial atau tujuan non ekonomi lainnya yang merupakan bagian yang penting dari kerja.
Ketiga, sumber daya (resources). Sumber daya bisa termasuk sumber daya manusia dan sumber daya lingkungan alam. Sumber daya manusia tentunya sangat menentukan berhasil atau tidak suatu aktivitas. Menurut Wallman (1979) dalam kenyataannya sebuah pekerjaan formal dalam sebuah masyarakat industri
sekalipun ternyata mempunyai aspek lain selain nilai uang. Implikasinya yang diharapkan dari “kerja” lebih dari sekedar aktivitas ekonomi formal. Bukan hanya sumber ekonomi yang merupakan bagian yang penting untuk mendapatkan dan memperlihatkan sebuah pekerjaan. Kriteria lain dari ekonomi juga akan digunakan oleh pekerja dan masyarakatnya dalam melihat sebuah pekerjaan.
Keempat, nilai (value). Menurut Wallman (1979) nilai kerja tidak hanya tergantung pada nilai yang ada dalam masyarakat di mana kita tinggal. Nilai kerja juga berkenaan dengan rintangan atau kewajiban-kewajiban lainnya. Penilaian mengenai kerja oleh karena itu mengalami perubahan sejalan dengan konteks sejarah dan sosial serta dengan kejadian-kejadian yang personal. Oleh karena itu perlu kejelasan siapa yang melakukan penilaian. Ini berhubungan dengan isu dan konteksnya, apa yang dinilai. Apakah dalam penilaian kriteria yang digunakan ekonomi, sosial atau personal. Dimensi kerja merupakan point yang penting dalam penilaian. Oleh karena itu nilai kerja selain berhubungan dengan insentif yang diperoleh juga sifatnya bisa non material.
Kelima, waktu (time). Berapa banyak sebenarnya waktu yang dihabiskan seseorang untuk bekerja. Keenam, tempat (place). Tempat di mana seseorang bekerja menentukan karakteristik pekerjaan seseorang. Ketujuh, person. Menurut Wallman (1979) person berhubungan dengan kapasitas, kemampuan dan motivasi. Person sangat berhubungan dengan psikologis seseorang. Kedelapan, teknologi (technology). Teknologi diciptakan manusia pada dasarnya untuk memudahkan kehidupan manusia. Namun demikian tidak dapat dipungkiri teknologi dapat membawa dampak yang tidak baik bagi manusia yaitu yang bersifat merugikan manusia lainnya. Dengan terciptanya misalnya teknologi
transportasi memberikan kemudahan dalam memidahkan berbagai hasil produksi dari satu tempat ke tempat lain.
Kesembilan, identitas dan alienasi (identity and alienation). Menurut Wallman (1979), pada saat sistem sosial itu dalam proses harus diidentifikasi investasi kerjanya. Beberapa perubahan dalam pola identitas muncul melewati sejarah waktu umumnya diikuti dengan perkembangan perubahan dalam teknologi atau organisasi seperti nilai ekonomi dari bentuk-bentuk khusus mengenai kerja berubah. Orang akan menemukan bentuk-bentuk yang mengancam dan terus melakukan identifikasi kerja yang telah kehilangan signifikansi ekonominya. Beberapa pekerjaan mungkin tidak memuaskan para pekerja sehingga dapat menciptakan krisis identitas bagi pekerjanya.
Kesepuluh, domain, lingkungan, sistem (domains, spheres, systems). Domain, lingkungan dan sistem merupakan satu kesatuan. Domain, lingkungan dan sistem merujuk ke sebuah tempat atau daerah lingkungan dan aktivitas dengan sebuah sistem yang berlaku. Menurut Wallman (1979) persoalan lingkungan (spheres) atau domain apakah itu aktivitas, pertukaran atau makna terhadap sumber daya khusus atau berbagai jenis sumber daya berhubungan dengan pertukaran dalam kondisi-kondisi di mana ada rintangan dan kesempatan. Perbedaan antara lingkungan (atau domain) dari aktivitas, pertukaran atau makna dan konversi antara sistem sumber daya akhirnya kembali kepada pertanyaan apa itu kerja dalam perspektif antropologi. Semakin kompleks keseluruhan sistem sosial semakin kompleks juga lingkungan kerja.
Permasalahan dalam penelitian ini akan dianalisis menyangkut faktor-faktor yang membentuk makna kerja dari Wallman (1979) yang dikerahkan
inang-inang dalam menjalankan aktivitas kerja mereka. Aktivitas kerja yang dilakukan inang-inang baik dalam kegiatan berdagang maupun sebagai ibu dengan peran domestiknya sangat bermakna bagi kehidupan mereka dan tidak terlepas dari masyarakat dan kebudayaannya.
2. Konseptualisai Relasi Gender
Konsep gender tentunya berbeda dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis (Moore, 1998). Perbedaan jenis kelamin merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan, sehingga sifatnya permanen dan universal. Berbeda halnya dengan gender. Adapun pengertian “gender” dikemukakan oleh Fakih (2008:8-9) sebagai berikut:
“Konsep gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat dan dikonstruksi secara sosial dan kultural, melalui ajaran agama maupun negara”.
Dengan mengenali perbedaan gender sebagai sesuatu yang tidak tetap, tidak permanen, memudahkan kita untuk membangun gambaran tentang realitas relasi perempuan dan laki-laki yang dinamis. Relasi gender merujuk pada sesuatu yang kompleks dan khusus, secara kultural dan historis menyangkut sistem sosial yang mengorganisir dan mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan sebagaimana nilai-nilai sosial relatif mereka (Cook, 2007:1). Penggambaran perempuanpun lebih sering diasosiasikan dengan maskulinitas dan perempuan dengan feminitas sehingga menghasilakan hirarki gender. Sering sekali gender juga disalahartikan sebagai studi tentang perempuan dan feminitas. Padahal relasi gender lebih fokus pada hubungan antara maskulinitas dan feminitas, nilai-nilai
laki-laki perempuan dan akses relatif mereka terhadap kontrol pada sumber daya yang ada (Cook, 2007:1). Namun demikian, kaitan antara jenis kelamin dengan sifat-sifat feminin dan maskulin ternyata bukanlah merupakan korelasi yang absolut dan kaku (Moore, 1998; Abdullah, 2006; Cook, 2007; Fakih, 2008). Hal ini diakibatkan bahwa kategori feminin dan maskulin bukanlah kategori yang ditentukan secara biologis melainkan merupakan konstruksi sosial budaya dari hasil interaksi sosial sehari-hari. Dengan kata lain masing-masing kebudayaan memiliki definisi sendiri menyangkut apa itu feminin dan maskulin. Bahkan kategori yang dianggap maskulin dalam suatu kebudayaan bisa menjadi feminin dalam budaya lain (Abdullah, 2006: 242).
Menurut Fakih (2008: 13-17) ketidakadilan dan diskriminasi gender yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari adalah: (a) marginalisasi (peminggiran), baik yang terjadi di rumah, tempat kerja, masyarakat, bahkan oleh negara yang keseluruhannya bersumber dari kebudayaan, keyakinan, tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun asumsi-asumsi pengetahuan (teknologi), (b) subordinasi (penomorduaan), anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mampu memimpin, cengeng, dan lain sebagainya mengakibatkan perempuan jadi nomor dua setelah laki-laki, (c) pandangan steriotipe atau pelabelan/citra baku yang melekat pada peran, fungsi, dan tanggung jawab yang membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat, (d) kekerasan (violence) yaitu serangan fisik, seksual dan psikis. Perempuan, pihak paling rentan yang mengalami kekerasan, di mana hal itu terkait dengan marginalisasi, subordinasi, maupun steriotipe dan (e) Beban ganda (double
burden) yaitu tugas dan tanggung jawab perempuan yang berat dan terus menerus, baik di lingkup rumah tangga maupun di luar rumah tangga.
Hubungan gender yang terbentuk dalam berbagai aspek kehidupan sosial tidak lain merupakan kelanjutan dari bentukan sosial yang telah mendapatkan pengesahan. Apabila ada penyesuaian-penyesuaian atau bahkan perubahan pola hubungan gender dapat dimungkinkan karena terjadinya perubahan pola sosialisasi gender dengan legitimasi-legitimasi sosial melalui berbagai pranata dan lembaga sosial terutama dalam keluarga. Perubahan sosial dapat terjadi pada saat proses eksternalisasi di mana manusia berusaha untuk melakukan proses penyesuaian diri dengan lingkungannya yang menuntut mereka dengan tatanan baru (Berger dan Luckmann, 2013).
Hubungan otonomi dan pengambilkeputusan dalam rumah tangga dan keluarga dapat dipahami dengan mendapatkan gambaran relasi sosial yang terjalin di antara anggota di dalam keluarga dan rumah tangga inang-inang. Pemahaman terhadap relasi sosial ini juga memerlukan pemahaman secara mendalam mengenai konsep patriarki. Sebagai suatu konsep patriarki memiliki dua aspek, yaitu sebagai ideologi dan sebagai sistem. Sebagai ideologi patriarki didefinisikan secara ringkas sebagai “kekuasaan laki-laki”, hubungan sosial di mana laki-laki menguasai perempuan (Bhasin, 1996: 1). Sebagai sebuah sistem, patriarki secara luas dapat didefinisikan sebagai “a system of interrelated structures through which men exploit women” (Walby, 1990: 20). Dapat diartikan bahwa patriarki adalah sebuah sistem dari struktur sosial dan kebiasaan di mana laki-laki menguasai, menekan dan mengeksploitasi perempuan. Patriarki sebagai suatu ideologi menyatu dalam budaya manusia, lebih lanjut Saptari dan Holzner
(1997:21) menggambarkan bagaimana ideologi patriarki ini termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai berikut:
“Manifestasi ideologi patriarki dapat terlihat melalui praktek-praktek eksploitasi, marginalisasi, feminisasi, domestikasi, dan/atau “pengiburumahtanggaan” yang semua itu tergantung pada konteks sosial dan historisnya”.
Selain konsep patriarki sebagai ideologi, ideologi familialisme (ideology of familialism) atau ibuisme atau “pengiburumahtanggaan” ternyata juga sangat mempengarui kehidupan sosial politik, ekonomi dan budaya. Ibuisme adalah ideologi yang menempatkan perempuan sebagai ibu utama dalam keluarga, masyarakat bahkan negara. Ideologi ini memposisikan perempuan sebagai makluk yang penuh cinta kasih yang selalu akan merawat dan memelihara keluarga serta bersedia berkorban demi orang lain tanpa mengharapkan kekuasaan atau penghargaan terhadap apa yang telah dilakukannya (Djajadiningrat-Nieuwehuis, 1987; Abdullah, 1997; Blackburn, 2009; dan Suryakusuma, 2011). Lebih lanjut Abdullah (1997: 7) menyatakan ideologi semacam ini telah menjadi blue-print yang tidak hanya mempengaruhi sikap dan prilaku sosial laki-laki terhadap perempuan melainkan juga menentukan bagaimana perempuan mengambil tempat dan peran di dalam keseluruhan proses sosial. Ideologi tersebut kemudian secara politis dimanipulasi untuk mengkontrol akses perempuan terhadap berbagai sumber daya dan memarginalisasikan perempuan. Ideologi tersebut disosialisasilkan dan berusaha diwujudkan dalam setiap kegiatan melalui institusi-institusi sosial yang formal. Secara kultural budaya Batak Toba sangat terkait erat dengan ideologi ibuisme dan “pengiburumahtanggan”. Orang Batak Toba sangat menempatkan perempuan terutama yang telah berkeluarga bertanggung jawab
terhadap pengasuhan dan kelangsungan keluarga dan rumah tangganya sebagaimana misi budaya mereka. Kedirian perempuan Batak Toba yang telah menikah tidak dapat dilepasakan dari perannya sebagai ibu dan istri. Bahkan tanpa perkawinan dan mempunyai anak terutama anak laki-laki, ia dianggap tidak mempunyai status dan martabat apapun dalam masyarakat Batak Toba. Perempuan Batak Toba dianggap sebagai makhluk sosial dan budaya yang utuh apabila telah memainkan kedua peran tersebut dengan baik. Meis (1985) ternyata juga menggunakan istilah housewidization yang senada dengan konsep ibuisme dan “pengiburumahtanggan” untuk menunjukkan suatu kondisi bahwa peran perempuan sebagai ibu rumah tangga dianggap merupakan peran utama yang harus dijalaninya dalam segala aspek kehidupannya.
Merujuk teori Marx, mode dan hubungan produksi sebagai kekuatan sosial utama yang menentukan perkembangan suatu masyarakat dan kebudayaannya. Demikian juga bahwa struktur kekuasaan dan dominasi ditentukan oleh pemilikan sarana produksi. Keluarga di mana sarana produksinya berada di tangan suami sebagai kepala keluarga, dalam hal ini adalah sumber keuangan dan dominasi kekuasaan akan berada di tangan suami. Disini kemudian peran dan status istri menjadi tersubordinasi dibanding suaminya. Marx memandang kerja produksi sebagai suatu sistem yang eksploitatif karena dalam kerja produksi sebenarnya mempergunakan kekuatan bekerja, pengeluaran energi, dan intelegensi pekerja (Tong, 1998). Namun demikian, dengan berbaginya suami istri dalam sarana produksi oleh karena istri bekerja dan berpenghasilan, tentunya sedikit banyak akan berbagi pula kekuasaan di antara suami istri. Sebaliknya apabila keluarga di mana sarana produksinya berada di tangan istri apakah akan berdampak pada
sumber keuangan dan dominasi kekuasaan akan berada di tangan istri? Menjadi menarik mengkaji kasus perempuan pedagang Batak Toba yang dikenal sebagai “tulang punggung” bagi keluarga dan rumah tangganya. Marx selalu mencoba mengemukakan bagaimana hubungan antara manusia terjadi dilihat dari hubungan antara posisi masing-masing terhadap sarana produksi. Beberapa penelitian antara lain yang dilakukan oleh Stoler (1982), Maynard (1985) dan Blumberg (1991) memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan antara golongan istri yang bekerja dan berpenghasilan yang memiliki sarana produksi dibandingkan dengan golongan istri yang tidak berpenghasilan dan bekerja di dalam struktur kekuasaan keluarga, terutama dalam pengambilankeputusan. Berbagai penelitian tersebut mengindikasikan dengan keterlibatan perempuan dalam aktivitas ekonomi yang berpenghasilan merupakan salah satu cara mereka untuk meningkatkan posisi tawar (bargaining position) mereka dalam memperoleh kekuasaan di dalam rumah tangga. Namun demikian, penghasilan yang mereka peroleh dalam bekerja ternyata tidak secara otomatis dapat meningkatkan aspek kekuasaan mereka dalam rumah tangga karena ada faktor-faktor lain yang mempunyai andil di dalamnya. Selain itu perempuan yang bekerja yang masih berada dalam sistem yang patriarki dihadapkan dengan beban ganda (double burden) yang sebagian besar dari mereka “tetap diharuskan” atau “merasa harus” mengerjakan pekerjaan domestik dalam rumah tangga dengan baik.
Selain penguasaan terhadap sarana produksi dapat menentukan seberapa besar kekuasaan seseorang dalam keluarga, ternyata faktor budaya juga memainkan peranan yang cukup signifikan dalam mempengaruhi pengambilankeputusan dan otonomi perempuan. Faktor budaya meliputi sistem