• Tidak ada hasil yang ditemukan

Res e n s i Bu k u. Resensi Buku 109

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Res e n s i Bu k u. Resensi Buku 109"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

R

esensi

B

uku

Judul : Gereja Misioner Yang Diterangi Sabda Allah Bersama Wilhelmus van der Weiden MSF

Editor : Al. Bagus Irawan MSF Penerbit : Kanisius

Tahun : 2011 Halaman : 352

“Aku telah menetapkan kamu supaya kamu pergi dan menghasilkan buah” (Yoh 15: 16). Kutipan di atas merupakan moto tahbisan imamat Wilhelmus van der Weiden MSF, yang pada tanggal 23 Juli 2011 merayakan pesta emas imamat. Imam yang lahir di Waalwijk, Belanda pada tanggal 5 April 1936 ini dikenal sebagai dosen Kitab Suci yang mengajar di berbagai fakultas di Nusantara, antara lain Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta, STFK Ledalero, dan STFT Pematangsiantar.

Romo Wim, demikian biasanya beliau disapa, tiba di Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1969. Sebelum kedatangannya di Indonesia, beliau telah menempuh studi teologi di Universitas Gregoriana Roma, spesialisasi Kitab Suci di Institut Biblikum Roma, studi Kitab Suci di Institut Catholique di Paris, serta meraih gelar doktor ilmu Kitab Suci dari Institut Biblikum Roma.

Beliau membagikan wawasan yang mendalam akan Kitab Suci kepada begitu banyak orang dalam rentang waktu yang panjang melalui aneka cara: kuliah, khotbah, ceramah, dan tulisan. Beberapa buku karya beliau adalah Kitab Kebijaksanaan Salomo, Mazmur dalam Ibadat Harian, Seni Hidup, Pengantar Kitab Suci Perjanjian Lama, dan Setia Kendati Lemah.

Selain berkiprah di bidang pengajaran Kitab Suci, Romo Wim juga memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan Gereja Indonesia dan Semesta sebagai imam misionaris. Beliau pernah menunaikan tugas pelayanan sebagai Propinsial MSF Propinsi Jawa (1974-1976) serta Pemimpin Umum Kongregasi MSF (1995-2007).

Melihat rekam jejak Romo Wim tersebut, sangat pantaslah pribadi-pribadi yang selama ini menjadi rekan pelayanan beliau mempersembahkan buah-buah pemikiran mengenai wajah Gereja yang dihidupi dan diupayakan oleh Romo Wim. Buah-buah pemikiran tersebut dirangkai menjadi buku “Gereja Misioner Yang Diterangi Sabda Allah Bersama Wilhelmus van der Weiden MSF”.

Buku ini tersusun atas 5 bagian tematis yang secara keseluruhan terdiri atas 15 tulisan. Bagian Pertama membahas wajah Gereja yang misioner. Mgr. Fransiskus

(2)

Xaverius Prajasuta MSF menguraikan wajah Gereja yang misioner dalam terang peristiwa Yesus Kristus dan perutusan Roh Kudus. Setiap warga Gereja dipanggil untuk terlibat aktif dalam perutusan Kristus sesuai peran masing-masing. Selanjutnya, Mgr. Al. Sutrisnaatmaka MSF mengaitkan misi dengan nilai-nilai injili yang terkandung dalam kebudayaan tertentu. Pelaku pewartaan Injil seharusnya mampu berdialog dengan kebudayaan setempat. Dalam konteks Indonesia, misi sepantasnya dijalankan dengan memperhitungkan pluralitas kebudayaan masyarakat. Sementara itu, Mgr. Y. Harjosusanto MSF menekankan pentingnya menumbuhkan semangat misi dalam diri setiap anggota Gereja. Mewartakan Injil bukan semata-mata kewajiban, melainkan dorongan batiniah yang sepantasnya muncul dalam diri pengikut Kristus.

Dalam Bagian Kedua, dipaparkan bahwa Gereja yang pada hakikatnya misioner mempunyai landasan kokoh pada Sabda Allah. Sabda Allah menjadi terang bagi misi Gereja. Al. Purwahadiwardoyo MSF memaparkan gagasan mengenai keterkaitan antara misi dan evangelisasi. Karya evangelisasi adalah bagian yang sangat penting dan harus ada dalam setiap karya misi. Di mana ada karya misi, di sana ada karya evangelisasi. Demi keberhasilan misi dan evangelisasi, Gereja memerlukan para pewarta, baik dari kalangan imam, religius, maupun awam. Sementara itu, Paulinus Yan Olla MSF menguraikan Sabda Allah yang mendasari misi Gereja. Misi Gereja hanya mungkin jika Gereja dibakar oleh kasih Allah, yang bersumber pada penghayatan Sabda-Nya. Selanjutnya, YB. Prasetyantha MSF merefleksikan secara kontekstual misi Gereja di Indonesia. Misi Gereja di Indonesia adalah membuka cakrawala kepada masyarakat Indonesia akan keluasan kasih Allah yang dinyatakan oleh Yesus dari Nazaret. Bermisi secara kontekstual berarti meragakan jiwa unggul dalam kebhinekaan.

Selanjutnya, Bagian Ketiga menampilkan kerasulan misioner sebagai tanggapan atas Sabda Allah. Kerasulan misioner bertujuan untuk mendorong kaum awam dan religius untuk mewartakan Injil sesuai peran masing-masing. YB Haryono MSF mengetengahkan gaya hidup misionaris sebagai gaya hidup yang melintas batas. Misionaris yang menembus batas berarti menghormati dan mempromosikan identitas yang jelas dan “keberlainan” dari mereka yang dievangelisasi. Selanjutnya, Ag. Suwartana Susilo MSF membahas misi di kalangan kaum muda. Misi di tengah kaum muda memuat dua unsur penting yang perlu diperhatikan. Di satu sisi, kaum muda adalah sasaran pewartaan Injil. Di sisi lain, mereka bukanlah “botol kosong” yang hanya menunggu diisi, melainkan pribadi-pribadi potensial yang juga dipanggil untuk menjadi pelaku pewartaan Injil. Sementara itu, Benediktus Triwidayatno MSF menekankan pentingnya membangun jejaring misi untuk menolong kaum miskin, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel. Untuk mencapai tujuan mulia tersebut, perlu dibangun pusat-pusat pelayanan kemanusiaan melalui lembaga-lembaga yang didukung tenaga, dana, dan doa yang memadai.

(3)

Dalam Bagian Keempat, dipaparkan kerasulan keluarga sebagai upaya mewujudkan keluarga kristiani yang misoner. Dalam rangka membentuk misionaris (baca: pewarta Injil) yang unggul, peran keluarga sangat menentukan. Oleh karena itu, kerasulan keluarga sangat erat berkaitan dengan kerasulan misioner. Keluarga kristiani yang misioner menjadi lahan yang baik bagi tumbuhnya benih-benih panggilan sebagai religius dan awam yang tangguh. Sementara itu, Silvester Susianto Budi Nugroho MSF membahas pastoral perkawinan menurut Kitab Hukum Kanonik 1983. Tujuan pastoral keluarga ialah kesejahteraan suami-istri, yang harus saling diterima dan diberikan oleh pasangan pada saat memberikan kesepakatan nikah. Selanjutnya, Yohanes Aristanto Hadi Setiawan MSF membahas keutamaan moral perkawinan menurut ajaran Yesus. Moral perkawinan tidak pertama-tama berbicara mengenai perceraian atau kasus-kasus perkawinan, melainkan spiritualitas perkawinan yang diajarkan Yesus. Yesus mengajarkan perkawinan sebagai relasi cinta-kasih suami istri. Bernardinus Realino Agung Prihartana MSF membahas pastoral keluarga sebagai “gereja mini”. Pastoral keluarga sering disalahartikan sebagai pendampingan bagi keluarga-keluarga bermasalah. Padahal, pastoral keluarga bermaksud membantu keluarga-keluarga menyadari tugas dan perutusannya sebagai sel terkecil Gereja. Pendampingan keluarga semestinya bersifat realistis. Artinya, pastoral tersebut harus berangkat dari kenyataan masing-masing keluarga yang didampingi.

Sebagai penutup, Bagian Kelima buku ini menerangkan seluk-beluk kerasulan panggilan sebagai pembinaan calon religius, imam, dan misionaris. Kerasulan panggilan yang bertujuan membina panggilan hidup membiara dan imamat pantas diperhatikan. Bagaimanapun hebatnya kaum awam, kaum awam tetap memerlukan imam dan kaum biarawan-biarawati sebagai mitra pewartaan. Vincentius Wahyu Harjanto MSF memaparkan spiritualitas imamat sebagai partisipasi dalam hidup Yesus, Sang Imam Abadi yang murni, taat, dan miskin. Seorang imam perlu mengembangkan kemampuan mencintai secara jujur seumur hidupnya sehingga ia sunguh dapat meragakan pelayanannya “in persona Christi”. Antonius Marga Murwanto MSF membahas perkembangan kepribadian sesuai perkembangan usia menurut Erik H. Erikson. Erikson memandang ada delapan tahap yang berurutan dalam perkembangan diri. Tahap-tahap ini mengungkapkan apa yang menjadi motivasi individu dan apa yang menjadi preokupasi pribadi. Selanjutnya, dipaparkan seluk-beluk bimbingan rohani yang memadai. Setiap pembimbing rohani diharapkan menguasai teknik-teknik dasar bimbingan rohani agar bimbingan rohani dapat membuahkan hasil yang baik.

Keunggulan buku ini ialah bahwa tema bahasannya luas, mulai dari eklesiologi, misiologi, sampai psikologi hidup rohani. Masing-masing bagian tematis dibahas oleh sejumlah penulis yang kompeten di bidang tersebut. Selain itu, sesuai dengan sifat buku ini sebagai rangkaian tulisan, pembaca dapat memilih bagian mana yang relevan untuk dibaca sesuai dengan minat dan kepentingan masing-masing.

(4)

Di tengah kurangnya buku-buku yang membahas eklesiologi serta seluk-beluk misiologi, buku ini hadir guna menawarkan pencerahan-pencerahan intelektual maupun spiritual bagi siapapun yang membacanya. (Bobby Steven MSF)

Judul buku : Christian Symbol and Ritual. An Introduction Pengarang : Bernard Cooke dan Gary Macy

Penerbit : Oxford University Press, Oxford - New York Tahun : 2005

Halaman : ix + 178

Kehidupan manusia zaman sekarang ditandai oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang sangat pesat. Kehidupan orang sekarang tidak dapat lagi dilepaskan dari globalisasi dari segala seginya. Bahkan sekarang ini dikenal istilah generasi Y untuk mereka yang lahir dari awal tahun 1980-an hingga tahun 1995-an. Mereka inilah yang sekarang disebut kaum muda, entah mungkin masih ada yang kuliah ataupun sudah banyak yang bekerja. Kaum muda inilah yang termasuk generasi yang tumbuh seiring dengan berkembangnya teknologi informasi seperti internet dan komunikasi massa. Pertanyaan di bidang religius ialah apakah anak-anak dan kaum muda dari generasi seperti ini masih mengenal dan memahami berbagai simbol agama yang kebanyakan berasal dari zaman dahulu? Dalam lingkungan Gereja Katolik dan Kristen, apakah kaum muda dan anak-anak kita masih mengenal dengan baik arti simbol-simbol sakramen dan liturgi yang biasa dirayakan di gereja? Apakah anak-anak dan kaum muda kita mengenal dan memahami arti air, altar, pakaian liturgi seperti kasula dan pluviale? Apakah anak-anak dan kaum muda sekarangmengenal dan memahami macam-macam upacara yang biasa dilaksanakan dalam tata liturgi Gereja?

Buku Christian Symbol and Ritual. An Introduction yang ditulis bersama oleh Bernard Cooke dan Gary Macy ini ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Seperti pengakuan para penulisnya, buku ini ditujukan untuk para mahasiswa atau kaum muda yang umumnya sudah tidak terlalu mengenal lagi makna simbol dan ritual kristiani. Yang sangat menarik, buku ini lahir dari pengalaman langsung mengajar di ruangan kelas pada Universitas San Diego. Penulis menyadari bahwa kebanyakan mahasiswa atau kaum muda sekarang ini berasal dari keluarga yang tidak lagi memiliki praktek religius dalam keluarganya, khususnya di lingkungan Amerika dan negara-negara Barat. Itulah sebabnya, buku ini ditulis dengan dua tujuan (hlm. viii). Pertama, buku ini ditulis untuk memberikan pengantar mengenai ritual kristiani kepada para pembaca yang tidak atau hanya sedikit memiliki latar belakang tradisi kristiani; dan kedua, untuk mencoba mengantar para pembaca (pada umumnya) kepada ritual kristiani pada umumnya. Cooke dan Macy berupaya menjelaskan makna simbol dan ritual kristiani tidak hanya secara deskriptif tetapi

(5)

juga secara teologis dan historis mengenai masing-masing simbol dan ritual kristiani yang dibahas. Buku ini memang ditulis oleh pengarang dari Gereja Katolik Roma, namun demikian tampak sekali dari uraiannya, penulis berupaya untuk menjelaskan macam-macam makna simbol dan ritual itu secara ekumenis. Artinya, penulis buku berupayan membahasakan pikirannya secara lebih umum sehingga tetap dapat dibaca dari orang-orang Kristen yang non-Katolik.

Buku Christian Symbol and Ritual. An Introduction terdiri atas 8 Bab, dengan sebelumnya penulis memberikan sebuah introduksi yang cukup panjang mengenai makna simbolisme sebagai akar ritual (hlm. 3-17), dan pada akhir menyampaikan kesimpulan yang berjudul: kehidupan kristiani sebagai ritual (hlm. 161-169).

Setelah mengupas beberapa pengertian simbol, baik itu akar simbolisme (hlm. 6-7), manusia sebagai makhluk simbolis, hubungan simbolisme dan pengalaman, maupun fungsi simbol dan interpretasi atas simbol dalam introduksi, penulis buku membahas bab I mengenai sifat-sifat dan fungsi ritual (hlm. 19-33). Menurut Cooke dan Macy, sifat dan fungsi ritual tidak dapat dipisahkan dari cara pandang dan penghayatan kelompok yang meyakini dan menghidupi ritual itu. Sebuah simbol ataupun rangkaian ritual dari suatu budaya akan sangat lain cara pandangnya antara insider atau orang yang menghidupi simbol dan ritual itu dan outsider atau orang lain yang tidak menghidupi simbol dan ritual tersebut. Ritual bukanlah sekedar merayakan nilai terdalam dari suatu budaya, tetapi juga menciptakan, memelihara dan mengesahkan budaya tersebut (hlm. 21). Demikianlah kemudian simbol dan ritual itu memiliki daya atau power. Daya atau kekuatan dari simbol dan ritual itu sangat terasa dalam usaha memelihara struktur kekuasaan atau kepemimpinan dalam masyarakat. Cooke dan Macy menyebut bahwa simbol-simbol dan upacara-upacara ritual itu bersifat esensial dalam memelihara struktur kekuasaan dari suatu masyarakat. Dan tampaknya dalam Gereja pun hal ini terjadi. Gereja memiliki berbagai simbol dan upacara yang melestarikan struktur kekuasaan dalam kepemimpinan Gereja. Upacara tahbisan misalnya dilihat oleh penulis buku ini sebagai salah satu contoh bagaimana upacara-upacara ritual itu (tahbisan) mengesahkan kuasa kepemimpinan Gereja yang diterima oleh masyarakat, khususnya umat beriman sendiri. Dalam bab I pula, penulis menyampaikan beberapa kupasan dari sifat ritual seperti ciri ambiguitasnya, keunikannya, pertumbuhannya, tahap-tahap pematangannya, dan beberapa contoh ritual seperti ritual untuk struktur kekuasaan, ritual persahabatan dan perkawinan, ritual perjamuan, ritual kematian dan penyembuhan.

Pada bab II (hlm. 35-53) Cooke dan Macy mengupas ritual atau upacara-upacara dalam konteks kristiani. Di sini pembicaraan mulai masuk ke lingkungan iman kristiani. Bila pada introduksi dan bab I, penulis lebih membahas makna dan sifat-sifat simbol dan ritual menurut konteks masyarakat pada umumnya, kini Cooke dan Macy masuk ke pengantar sakramentalitas dan cakupan simbolisme dan ritual dalam lingkungan kristiani. Dengan bahasa yang diupayakan mudah, para penulis ini membahas tema-tema dasar sebagai penjelasan umum mengenai sakramen pada

(6)

umumnya. Misalnya saja dibahas sakramen-sakramen, ritual dan simbol. Lalu Yesus adalah simbol, yang kiranya mau menunjukkan bahwa Yesus Kristus sendiri adalah sakramen Allah. Selain itu juga dibahas komunitas kristiani sebagai simbol, yang tampaknya mau mengupas sekitar tema Gereja sebagai sakramen Kristus pula. Yang menarik, Cooke dan Macy menyebut lima unsur ritual yang terdiri atas: hermeneutik atas pengalaman, kematangan, kehadiran, pelayanan dan persahabatan atau persaudaraan. Kelima unsur ini bukan hanya menjadi ciri-ciri ritual yang menghadirkan rahmat Allah, tetapi juga menjadi sarana orang-orang Kristen menghayati hidupnya untuk semakin mampu menafsirkan pengalaman hidup atas dasar iman, proses kematangan rohaninya, pengalaman kehadiran Kristus, dan bagaimana orang Kristen mesti hidup melayani dan membangun persekutuan. Menurut Cooke dan Macy, kelima unsur ritual ini dapat digunakan untuk membahas berbagai ritual dalam lingkungan kristiani, termasuk khususnya ketujuh sakramen Gereja.

Bab III hingga bab VIII terdiri atas uraian dan penjelasan mengenai tujuh sakramen Gereja secara kreatif dan menurut bahasa yang relatif mudah ditangkap oleh kaum muda zaman ini. Bahkan dari judul-judulnya orang malah sering tidak mengira bahwa bab-bab ini terdiri atas uraian mengenai tujuh sakramen. Yang amat khas dalam buku ini ialah bagaimana Cooke dan Macy mengakhiri setiap pembahasan bab-bab ini dengan sudut pandang kelima unsur ritual di atas (yaitu hermeneutik atas pengalaman, kematangan, kehadiran, pelayanan dan persahabatan atau persaudaraan). Kelima unsur ini selalu ditampilkan lagi untuk memberi makna ritual masing-masing sakramen.

Bab III (hlm.55-68) diberi judul: ritual persahabatan (Rituals of Friendship) yang ternyata berisi kupasan mengenai proses persahabatan hingga suatu perkawinan. Lalu penulis menjelaskan dalam bab III ini sakramen perkawinan. Bab IV (hlm. 69-86) diberi judul lebih eksplisit: ritual inisiasi Kristen (Rituals of Christian Initiation). Dari judulnya sudah tampak bahwa bab IV ini menguraikan makna sakramen-sakramen inisiasi, khususnya sakramen baptis dan penguatan. Bab V (hlm. 87-107) menguaraikan sakramen Ekaristi sebagai sakramen puncak hidup Gereja. Yang menarik, Cooke dan Macy memberi judul bab ini Rituals of Prayer, Worship, and the Eucharist. Dari judul ini tampak bahwa penulis membahas Ekaristi dalam hubungannya dengan komunitas yang berdoa dan beribadat. Dikatakan bahwa sejak awal komunitas Kristen menghubungkan doa dengan perjamuan makan. Secara khusus penulis buku ini membahas beberapa tema dasar untuk menjelaskan pengertian sakramen Ekaristi dan tempatnya dalam hidup Gereja. Bahkan pembicaraan mengenai realis praesentia, posisi Gereja Katolik dan Reformasi disampaikan pula meskipun singkat saja.

Bab VI membahas secara khusus sakramen tobat. Cooke dan Macy memberi judul Rituals of Reconciliation. Kiranya tepat memang bahwa sakramen tobat diberi judul sakramen rekonsiliasi. Penulis buku ini berpangkal dari kisah pelayanan hidup Yesus sendiri yang senantiasa menyembuhkan orang sakit dan terutama

(7)

juga mendekati orang berdosa dan mengampuni para pendosa. Dalam bab ini juga dipaparkan beberapa segi mengenai sakramen rekonsiliasi, sedikit sejarahnya, dan juga bentuk-bentuk penerimaan sakramen tobat. Bab VII (hlm. 119-146) menguraikan sakramen tahbisan dengan judul Rituals of Service and Ministry. Dari judul sudah tampak bahwa penulis ingin menggaris bawahi semangat pelayanan pada mereka yang ditahbiskan dan menjadi pemimpin Gereja. Tema-tema menyangkut sakramen tahbisan disinggung cukup lengkap meski pembahasannya singkat-singkat saja. Misalnya saja penulis membahas kemestian adanya struktur kepemimpinan dalam masyarakat termasuk agama, apostolisitas, munculnya hirarki dan perkembangan sejarah kepemimpinan Gereja.

Bab VIII (hlm. 147-159) merupakan bab terakhir dari buku ini yang berjudul: Rituals for Healing, Suffering, Death. Dari judulnya kita sudah dapat menduga bahwa bab ini mau menjelaskan sakramen pengurapan orang sakit. Penulis buku mengupas sakramen ini dengan berpangkal dari pengalaman manusiawi atas sakit dan perlunya penyembuhan. Disampaikan dalam tulisan ini pula sejarah munculnya sakramen pengurapan orang sakit ini.

Cooke dan Macy menutup tulisan bukunya dengan kesimpulan bahwa hidup kita sebagai orang kristiani adalah sebuah ritual. Ritual di sini bukanlah ritual yang kosong dan sekedar rutinitas atau upacara menurut tingkatan yang dangkal atau ritualisme. Ritual menurut pengertian buku ini merupakan bagian hidup yang amat penting dari komunitas kristiani dan bahkan komunitas manusia manapun. Pada dasarnya manusia dan komunitasnya tidak pernah bisa melepaskan diri dari ritual-ritual tersebut yang bahkan memiliki daya cipta dan membentuk kelangsungan hidup komunitas Gereja dan manusia pada umumnya.

Buku ini pantas diberi apresiasi khususnya cara penuturan dan penggunaan istilah-istilah yang mudah ditangkap (harapannya) oleh kaum muda dan orang-orang yang tidak biasa dengan latar belakang agama khususnya kristiani. Buku ini juga berusaha untuk berciri umum atau dapat dibaca oleh umum termasuk berbagai keyakinan iman dari Gereja-gereja non Katolik juga. Hanya saja harus diakui bahwa kupasan dan uraiannya sering terlalu umum dan kurang mendalam. Bagi pemula dan kaum muda yang tidak biasa dengan terminologi teologis tentu buku ini sangat berguna. Akan tetapi bagi mereka yang ingin memperdalam atau studi yang lebih mendalam mengenai sakramen-sakramen Gereja, buku ini tentu tidak membantu banyak. Pendasaran teologis dan pilihan-pilihan terminologinya terasa ringan dan tampaknya itu “kurang lebih” disengaja juga oleh para penulis. Bagaimana pun juga untuk generasi Y ataupun orang yang kurang bisa belajar teologi, buku ini dapat menjadi pengantar yang baik dan barangkali pula bagi para guru yang ingin memperkenalkan sakramen-sakramen Gereja untuk para mahasiswa non-teologi atau kaum muda umumnya buku ini dapat digunakan. (E. Martasudjita)

Referensi

Dokumen terkait

• Fungsi yang digunakan untuk mengambil nilai terendah dari suatu range dalam program pengolah angka adalah ……

Mencari solusi untuk setiap potongan kecil mungkin memberikan perspektif yang lebih baik dari mana untuk menentukan bagaimana potongan elemen kembali bersama-sama

Namun dalam hal analisis kadar air beras terlihat tidak begitu maksimal karena beras termasuk dalam tidak memenuhi syarat, (8) Pelaporan yang dilakukan oleh Perum

Penjualan iklan Spot dalam 1 menit dengan harga Rp200.000 untuk sekali penayangan. Penjualan iklan Blocking Sponsor diasumsikan sebanyak 1-2 kali dalam 1 hari dengan harga

pellita yang dihasilkan dari penelitian ini sebesar 0,89%(b/b) yang ditentukan dari nilai perbandingan antara berat minyak atsiri hasil penyulingan dengan berat

Rendahnya po- limorfisme pada 25 sampel M.balbisiana ini perlu diteliti lebih lanjut dengan menggunakan primer yang polimorfik dan marka molekular yang berbeda

Melalui penerapan sistem data warehouse dapat memberikan dampak positif bagi perusahaan, diantaranya proses analisis ataupun pengelolaan informasi berdasarkan data

Ketidakmampuan manusia dalam menjalankan kehidupan sehari- hari akan mendorong manusia untuk selalu mengadakan hubungan timbal balik dengan sesamanya serta bertujuan