• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN I. Pengaruh Beban (Jumlah dan Diameter Inti) terhadap Tingkat Stress A. Metabolisme Basal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN I. Pengaruh Beban (Jumlah dan Diameter Inti) terhadap Tingkat Stress A. Metabolisme Basal"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

I. Pengaruh Beban (Jumlah dan Diameter Inti) terhadap Tingkat Stress A. Metabolisme Basal

Respons organisme akuatik terhadap jumlah dan diameter inti dapat diketahui melalui tingkat energi yang dibelanjakan untuk metabolisme. Pengelolaan pembelanjaan energi secara positif adalah prasyarat bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup individu dan hal ini dapat menjadi kriteria penting untuk mengevaluasi adanya pengaruh perlakuan (Smaal dan Widdows 1994). Pada hewan air, besarnya energi yang dibutuhkan untuk metabolisme dapat diestimasi melalui pengukuran laju konsumsi oksigen. Hasil pengukuran laju konsumsi oksigen kijing dengan jumlah inti dan diameter berbeda selama masa pemeliharaan 9 bulan dapat dilihat pada Lampiran 1A.

Oksigen merupakan salah satu parameter yang sangat dibutuhkan untuk mengoksidasi nutrient agar dihasilkan energi bebas pada proses katabolisme di dalam sel. Energi bebas ini dibutuhkan untuk berbagai proses kontraksi sel/jaringan/organ seperti kontraksi jantung, mulut, saluran pencernaan dan lain-lain. Oksigen yang ada di perairan berasal dari hasil fotosintesa fitoplankton dan tumbuhan air yang hidup di badan air serta hasil difusi oksigen dari udara melalui permukaan air. Kandungan oksigen terlarut di perairan terkait dengan suhu dan alkalinitas dan kelarutan gas-gas lain. Pada suhu dan alkalinitas yang tinggi maka kelarutan oksigen di perairan menurun dan demikian juga sebaliknya. Seperti halnya suhu, kandungan oksigen terlarut di perairan berfluktuasi dari waktu ke waktu. Perubahan kandungan oksigen ini harus disikapi oleh organisme air melalui proses penyesuaian atau pengaturan (Affandi et al. 2009).

Kandungan oksigen terlarut di perairan akan mempengaruhi tingkat konsumsi oksigen oleh organisme air. Pada kisaran toleransi, tingkat konsumsi oksigen meningkat dengan meningkatnya kandungan oksigen di perairan dan mencapai nilai maksimum ketika dicapai konsentrasi optimum. Di atas konsentrasi optimum, tingkat konsumsi oksigen oleh organisme air relatif konstan. Oksigen yang telah berada di dalam tubuh (oksigen diikat oleh haemoglobin pada sel hemolimf) merupakan oksigen yang tersedia untuk digunakan pada proses katabolisme (proses oksidasi nutrien agar dihasilkan energi). Energi yang

(2)

dihasilkan dari proses katabolisme antara lain akan digunakan untuk proses mencerna dan menyerap makanan, mengkonsumsi makanan dan mengaktivasi proses-proses anabolisme yang mempengaruhi pertumbuhan (Affandi et al. 2009).

Kadar oksigen terlarut air kolam berkisar antara 4,69 hingga 5,32 mgl-1 berada pada kisaran toleransi kijing, sehingga dapat digunakan secara optimum pada proses katabolisme (oksidasi nutrien untuk menghasilkan energi). Energi yang dihasilkan dari proses katabolisme tersebut dimanfaatkan kijing untuk mengkonsumsi pakan dan proses-proses anabolisme. Selanjutnya proses-proses tersebut meningkatkan laju pertumbuhan bobot soft

tissue, bobot dan panjang cangkang kijing, proses pelapisan serta ketebalan lapisan mutiara.

Kandungan oksigen terlarut di perairan terkait dengan suhu dan alkalinitas dan kelarutan gas-gas lain. Kisaran suhu (25,10 - 25,90oC) dan alkalinitas air kolam (90,65 - 99,70 mgl-1

Menurut hasil analisis varian (lampiran 1B) menunjukkan bahwa jumlah dan diameter inti berpengaruh nyata terhadap laju konsumsi oksigen (P < 0,05) dan tidak terdapat pengaruh interaksi (P > 0,05) antara jumlah inti dengan diameter inti. Perlakuan I (jumlah inti dua per individu) dan diameter 10 mm memiliki nilai laju konsumsi oksigen tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 1C), respons laju konsumsi oksigen (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear negatif dengan persamaan: Y = -18,75x + 97,98 dengan R

) berada pada kondisi ideal bagi pemeliharaan kijing sehingga menjamin kelarutan oksigen di perairan.

2

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pembelanjaan energi untuk metabolisme basal (C-J g

= 0,96. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara laju konsumsi oksigen dengan jumlah inti yang diimplantasi. Nilai laju konsumsi oksigen kijing menurun dengan semakin meningkatnya jumlah inti.

-1 jam-1

Rosas et al. (2001) mengemukakan bahwa pakan dengan rasio energi optimum menggambarkan titik keseimbangan antara jumlah energi yang dibutuhkan untuk metabolisme basal dan pertumbuhan. Kadar nutrien dalam pakan juga mempengaruhi

) kijing tertinggi terjadi pada jumlah 6 inti per individu dengan diameter 12 mm. Terlihat kecenderungan bahwa semakin besar jumlah dan diameter inti maka semakin meningkat laju metabolisme basal (Gambar 21 dan Lampiran 1D).

(3)

pertumbuhan dan keseimbangan antara protein dan energi untuk pertumbuhan adalah salah satu kunci mendapatkan pakan yang sesuai. Pakan yang kekurangan energi akan menyebabkan sebagian besar protein pakan digunakan sebagai sumber energi untuk keperluan metabolisme. Sebaliknya jika kandungan energi pakan terlalu tinggi dapat menyebabkan pakan yang dimakan berkurang dan penerimaan nutrien lainnya termasuk protein yang diperlukan untuk pertumbuhan juga berkurang (Satpathy et al. 2003; Jobling

et al. 2001).

Gambar 21 Metabolisme basal (C-J g-1jam-1

0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama

) kijing yang diimplantasi dengan perlakuan

pemeliharaan

Pada keadaan tersedia makanan, hewan air akan mengkonsumsi makanan hingga memenuhi kebutuhan energinya, demikian juga halnya dengan kijing. Smith (2001) menyatakan bahwa bila 100 kalori dihasilkan dari pencernaan, maka 80 diantaranya siap digunakan oleh hewan air. Jika 40 kalori digunakan untuk metabolisme basal (maintenance), maka 40 kalori sisanya digunakan untuk aktivitas, pertumbuhan dan produksi gamet.

Laju metabolisme basal kijing antar perlakuan, nilainya meningkat dengan semakin bertambahnya jumlah inti. Namun bila dibandingkan dengan kontrol, implantasi 2 inti menurunkan laju metabolisme basal hingga 13% dan implantasi 4 inti menurunkan hingga 10% , sedangkan implantasi 6 inti hanya menurunkan 8% saja.

(4)

B. Kadar Glukosa Hemolimf

Hasil pengukuran kadar glukosa hemolimf kijing dengan jumlah inti dan diameter berbeda selama masa pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 22 dan Lampiran 2A. Kecenderungan yang tampak adalah bahwa kadar glukosa hemolimf meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah dan diameter inti. Pada jumlah inti 4 dan 6 kadar glukosa hemolimf ini mencapai kestabilan. Dari data tersebut terlihat bahwa kijing mengalami stress akibat implantasi inti. Hal ini sesuai dengan pendapat Mamangkey (2009) yang menyatakan bahwa stress pada kijing akan meningkatkan kadar glukosa hemolimf.

Gambar 22 Kadar glukosa hemolimf (mg 100 ml-1

perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm ) kijing yang diimplantasi dengan

selama pemeliharaan

Stress pada kijing dapat pula disebabkan oleh penyisipan inti di dalam mantel. Li et

al. (2010) menyatakan bahwa efek dari penyisipan inti mutiara pada kijing Hyriopsis cumingii berpengaruh terhadap visceral mass (organ dalam) yaitu kehadiran faktor immun

di dalam hemolimf. Studi ini menunjukkan bahwa terjadi mekanisme respons immun pada kijing mutiara setelah implantasi inti. Salmon et al. (2005) memakai relaxant dalam implantasi Pinctada fucata untuk menimbulkan relaksasi sebelum penyisipan inti ke dalam tubuh tiram. Kelangsungan hidup tiram yang mendapat treatment relaxant tersebut adalah 100%. Pemberian treatment relaxant pada Pinctada maxima sebelum implantasi inti ke dalam tubuh tiram tersebut terbukti menurunkan tingkat kematian tiram tersebut.

(5)

Menurut hasil analisis varian (Lampiran 2B) menunjukkan bahwa jumlah dan diameter inti berpengaruh nyata terhadap kadar glukosa hemolimf (P < 0,05). Tidak terdapat pengaruh interaksi (P > 0,05) antara jumlah inti dengan diameter inti. Perlakuan III (jumlah inti dua per individu) dan diameter 10 mm memiliki nilai kadar glukosa hemolimf tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 2C), respons kadar glukosa hemolimf (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear positif dengan persamaan: Y = 0,75x + 69,52 dengan R2

II. Pengaruh Beban (Jumlah dan Diameter Inti) terhadap Respons Makan

= 0,82. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara kadar glukosa hemolimf dengan jumlah inti yang diimplantasi. Nilai glukosa hemolimf kijing menurun dengan semakin meningkatnya jumlah inti.

Kijing

A. Tingkat Konsumsi Pakan

Tingkat konsumsi pakan relatif kijing A. woodiana didekati dengan data ISC. Hasil pengukuran tingkat konsumsi pakan relatif kijing pada masing-masing perlakuan disajikan pada Gambar 23 dan Lampiran 3A. Terdapat penurunan tingkat konsumsi pakan seiring dengan kenaikan jumlah dan diameter inti.

Gambar 23 Tingkat konsumsi pakan kijing didekati dengan ISC (%) yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan

(6)

Struktur sel yang kokoh dan lentur terhadap stressor dari luar, misalnya tekanan osmotik, suhu dan lain-lain, sangat ditentukan oleh kualitas bahan penyusun struktur sel terutama membran selnya. Oleh karena bahan penyusun stuktur sel tersebut berasal dari makanan yang dimakan, maka tingkat konsumsi pakan dan kualitas pakan (terutama kadar dan kualitas protein dan lemak) sangat menentukan kualitas sel (Affandi et al. 2009). Tingkat konsumsi kijing yang diimplantasi mengalami penurunan dibandingkan dengan kijing kontrol. Dengan demikian maka jelaslah bahwa tingkat konsumsi pakan dan mutu pakan yang dikonsumsi akan mempengaruhi kemampuan adaptasi baik pada tingkat sel maupun pada tingkat individu.

Hasil analisis varian (Lampiran 3B) menunjukkan bahwa jumlah dan diameter inti berpengaruh nyata terhadap tingkat konsumsi pakan (P < 0,05) dan terdapat pengaruh interaksi (P > 0,05) antara jumlah inti dengan diameter inti. Perlakuan I (jumlah inti dua per individu) dan diameter 10 mm memiliki nilai tingkat konsumsi pakan tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 3C), respons tingkat konsumsi pakan (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear negatif dengan persamaan: Y = -5,77x + 26,18 dengan R2

B. Metabolisme Rutin

= 0,98. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara tingkat konsumsi pakan dengan jumlah inti yang diimplantasi. Nilai tingkat konsumsi pakan kijing menurun dengan semakin meningkatnya jumlah inti. Implantasi 4 inti menurunkan konsumsi hingga 50% sedangkan implantasi 6 inti menurunkan hingga 63% sedangkan implantasi 2 inti hanya menurunkan 25% saja.

Metabolisme adalah proses pemanfaatan nutrien, baik secara energi maupun materi melalui proses perombakan dan sintesis. Proses metabolisme terjadi di dalam sel, dapat dilakukan secara anabolisme dan katabolisme. Metabolisme rutin didefinisikan sebagai tingkat pembelanjaan energi pada kondisi normal, untuk mempertahankan struktur dan fungsi jaringan agar organisme tersebut tetap hidup. Pengukuran metabolisme rutin ini dilakukan pada kondisi organisme tetap diberi pakan selama percobaan, atau masih diberi pakan sesuai jadwal sampai sebelum dilakukan pengukuran laju konsumsi oksigen (Affandi

(7)

et al. 2009; Gosling 2004; Soria et al. 2007). Pada penelitian ini laju konsumsi oksigen

menurun seiring dengan bertambahnya jumlah dan diameter inti yang diimplantasi.

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pembelanjaan energi untuk metabolisme rutin (C-J g-1jam-1

Laju metabolisme rutin kijing antar perlakuan, nilainya menurun dengan semakin bertambahnya jumlah inti. Namun bila dibandingkan dengan kontrol, implantasi 2 inti meningkatkan laju metabolisme rutin hingga 19% dan implantasi 4 inti meningkatkan hingga 7% , sedangkan implantasi 6 inti hanya meningkatkankan 6% saja.

) kijing tertinggi terjadi pada jumlah inti 2 per individu diameter 10 mm dan terendah pada jumlah inti 6 per individu diameter 12 mm (Gambar 24 dan Lampiran 4A). Terlihat kecenderungan bahwa semakin tinggi jumlah dan diameter inti maka laju metabolisme rutin menurun. Laju metabolisme rutin kijing lebih besar jika dibandingkan dengan laju metabolisme basal, karena energi selain dipakai untuk pemeliharaan (maintenance) juga dipakai untuk mencerna, menyerap dan mengkonsumsi makanan.

Gambar 24 Metabolisme rutin (C-J g-1jam-1

perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama ) kijing yang diimplantasi dengan

pemeliharaan

Hasil analisis varian (Lampiran 4B) menunjukkan bahwa jumlah dan diameter inti berpengaruh nyata terhadap laju metabolisme rutin (P < 0,05) dan terdapat pengaruh interaksi (P > 0,05) antara jumlah inti dengan diameter inti. Perlakuan I (jumlah inti dua per

(8)

individu) dan diameter 10 mm memiliki laju metabolisme rutin tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 4C), respons kadar glukosa hemolimf (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear negatif dengan persamaan: Y = -0,041x + 0,614 dengan R2

Energi yang dibelanjakan untuk metabolisme adalah total energi yang dikeluarkan untuk kegiatan metabolisme basal (standart), standart dinamic action (SDA) dan aktivitas dari ketiga komponen energi metabolisme ini, kebutuhan energi untuk metabolisme dasar ini tidak dapat diperkecil atau diturunkan. Energi yang dibelanjakan untuk SDA dapat dihemat dengan pemberian pakan yang berimbang. Energi yang dibelanjakan untuk aktivitas meliputi energi untuk aktivitas gerak terutama dalam mencari makan dan mungkin pula untuk mempertahankan posisi tubuh dari arus (melawan arus). Dengan demikian penghematan energi untuk metabolisme paling rasional adalah penghematan energi untuk aktivitas (Affandi et al. 2009).

= 0,91. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara laju metabolisme rutin dengan jumlah inti yang diimplantasi. Nilai laju metabolisme rutin kijing menurun dengan semakin meningkatnya jumlah inti.

Banyaknya metabolisme aktif tergantung pada lamanya aktivitas, intensitas dan kondisi percobaan. Sulit untuk mengetahui tingkat maksimal karena hasil studi di laboratorium sering tidak menggambarkan kondisi alam. Dalam penelitian A. woodiana, dilakukan pengukuran O2 pada level metabolisme standar kemudian mengestimasi konsumsi O2 dalam keadaan aktif. Hasil yang diperoleh adalah nilai konsumsi O2

C. Kadar kalsium hemolimf

pada metabolisme rutin sebesar 2,5 kali nilai metabolisme basal. Hasil penelitian ini ternyata lebih tinggi daripada yang diperoleh Brett dan Grovers (1979) pada pengukuran metabolisme rutin ikan. Tingginya nilai ini diduga karena kijing yang diukur berada pada kondisi kenyang (lambungnya penuh makanan).

Hasil pengukuran kadar kalsium hemolimf kijing dengan jumlah inti dan diameter berbeda selama masa pemeliharaan 9 bulan nampak pada Gambar 25 dan Lampiran 5A. Penurunan kadar kalsium hemolimf terjadi seiring dengan penambahan jumlah dan inti yang diimplantasi.

(9)

Gambar 25 Kadar kalsium hemolimf (µg Ca l-1

perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm ) kijing yang diimplantasi dengan

selama pemeliharaan

Menurut Moura et al. (2000), moluska bivalvia seperti A. cygnea, menunjukkan perubahan musiman dalam kalsifikasi. Siklus kalsifikasi ini sebagai akibat dari fluktuasi musiman dari komposisi organik cairan tubuh kijing, yaitu hemolimf dan cairan ekstrapalial, yang merupakan media cair untuk biomineralisasi. Dalam cairan kijing A.

cygnea sepanjang setahun siklus, terdapat fluktuasi konstituen organik, yaitu protein, glycosaminoglycans (GAGs) dan hexosamines yang diketahui sangat penting dalam

biomineralisasi. Seluruh fluktuasi yang terdeteksi dalam cairan biologis kijing ini menandakan bahwa variasi yang berhubungan dengan siklus kalsifikasi dapat dihitung, yaitu berdasarkan perbedaan komponen biomineralisasi dalam periode spesifik, sehingga didapatkan hasil spesifik pula.

Penurunan tingkat Ca hemolimf akibat stress oleh bahan pencemar cobalt pada siput

Lymnaea stagnalis telah diteliti oleh Schamphelaere et al. (2008). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pertumbuhan siput yang terekspos oleh 79 µg Co l-1 dan konsentrasi yang lebih tinggi lebih telah menyebabkan kerusakan pada akhir 2 minggu pemaparan dan diikuti oleh penurunan konsentrasi Ca hemolimf pada akhir pemaparan. Mekanisme yang

(10)

mungkin dari toksisitas Co terhadap pertumbuhan siput diduga menurunkan pengambilan Ca dan menghalangi aktivitas makan. Kadar Ca hemolimf pada siput kontrol (yang tidak mengalami pemaparan Co) tidak lebih dari 590,00 µg Ca l-1 sedangkan siput yang mengalami stress sebesar 270 µg Ca l-1

Kadar Ca hemolimf pada penelitian ini berkisar antara 328,83 hingga 538,00 µg Ca l

. Respons fisiologis siput Lymnaea stagnalis terhadap bahan pencemar Co berupa penurunan tingkat Ca hemolimf akibat stress. Hal yang sama juga terjadi pada A. woodiana yang mengalami stress akibat implantasi inti.

-1

, kisaran nilai tersebut berbeda nyata terhadap Ca hemolimf kijing kontrol (yang tidak diimplantasi inti) yaitu 592,17 µg Ca l-1

Hasil analisis varian (Lampiran 5B) menunjukkan bahwa jumlah dan diameter inti berpengaruh nyata terhadap kadar kalsium hemolimf (P < 0,05) dan terdapat pengaruh interaksi (P > 0,05) antara jumlah inti dengan diameter inti. Perlakuan I (jumlah inti dua per individu) dan diameter 10 mm memiliki nilai kadar kalsium hemolimf tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 5C), respons kadar kalsium hemolimf (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear negatif dengan persamaan: Y = -90,16x + 606,5 dengan R

. Hal tersebut menunjukkan bahwa penyisipan inti berpengaruh terhadap kadar Ca hemolimf kijing, yaitu mengakibatkan penurunan kadar Ca hemolimf kijing. Diduga penyisipan inti mengakibatkan berkurangnya pengambilan Ca (Ca intake) oleh kijing dan menghalangi aktivitas makan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada pertumbuhan A. woodiana.

2

Hasil yang sama terjadi pula pada kasus implantasi inti pada Pinctada fucata. Pertumbuhan yang relatif rendah pada fase awal setelah implantasi inti mungkin disebabkan oleh tidak diadaptasikannya tiram P. fucata pada air yang mengalir dan tanpa pemberian antibiotik untuk menyembuhkan luka akibat implantasi (Kripa et al. 2007). Kehilangan cairan tubuh teramati pada tiram yang diimplantasi sebanyak sepertiga hemolimf dapat hilang akibat luka pada mantel saat penyisipan inti.

= 0,98. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara kadar kalsium hemolimf dengan jumlah inti yang diimplantasi. Nilai kadar kalsium hemolimf kijing menurun dengan semakin meningkatnya jumlah inti.

(11)

III. Pengaruh Beban (Jumlah dan Diameter Inti) terhadap Survival Rate, Pertumbuhan, dan Pelapisan mutiara

A. Survival Rate A. woodiana

Nilai survival kijing dengan jumlah inti dan diameter berbeda selama masa pemeliharaan 9 bulan disajikan pada Gambar 26 dan Lampiran 6A. Laju survival rate menurun sejalan dengan semakin besar jumlah inti blister yang diimplantasi. Implantasi 4 inti menurunkan survival rate hingga 45% dan 6 inti menurunkan survival rate 56%, sedangkan implantasi 2 inti hanya menurunkan survival sebesar 15% saja.

Gambar 26 Survival rate (%) kijing pada berbagai macam implantasi dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan

Menurut Gricourth et al. (2006) untuk memproduksi induk kijing yang baik secara kualitas maupun kuantitas diperlukan kondisi pemeliharaan, perkembangan dan proses-proses fisiologis, termasuk jumlah dan diameter inti yang optimal bagi pertumbuhan.

Mortalitas kijing yang diimplantasi bervariasi tergantung pada lokasi budi daya kijing (Alagarswarni 1991, Victor et al. 2003) dan diameter inti (Dharmaraj dan Sukumaran, 2003). Penggunaan diameter inti yang lebih besar menurunkan tingkat pelapisan mutiara dari 70% hingga 40% pada tiram Akoya di Jepang (Shirai 1981). Jagadis

(12)

kedalaman tempat budi daya tiram, di Gulf Mannar. Alagarswarni (1991) melaporkan bahwa jumlah inti yang diimplantasi pada tiram berperan penting dalam survivalnya. Menurut Kripa et al. (2007), di Southwest Coast, India, kematian pada tiram yang diimplantasi dengan inti berdiameter 6 mm lebih tinggi dibandingkan dengan yang berdiameter 5 mm.

Berdasarkan hasil kajian survival A. woodiana, implantasi inti dua per individu dan diameter 10 mm tidak mengganggu proses-proses fisiologis yang mengatur organisme tetap dalam kondisi seimbang dan terkontrol. Nilai kematian yang tinggi pada awal fase budi daya mungkin disebabkan beberapa faktor, seperti treatment sebelum penyisipan (Taylor dan Knauer, 2002) dan sesudah penyisipan inti yang tidak benar (Meng dan Xing, 1991).

Hasil analisis varian (Lampiran 6B) menunjukkan bahwa jumlah dan diameter inti berpengaruh nyata terhadap survival (P < 0,05) dan tidak ada interaksi (P > 0,05) antara jumlah inti dengan diameter inti. Perlakuan I (jumlah inti dua per individu) dan diameter 10 mm memiliki nilai survival tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Terdapat kecenderungan penurunan survival rate dengan semakin meningkatnya jumlah dan diameter inti. Berdasarkan hasil analisis regresi Lampiran 6C), respons survival (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear negatif dengan persamaan: Y = -18,75x + 97,98 dengan R2

Menurut Smaal dan Widdows (1994), pada metabolisme rutin tingkat konsumsi oksigen tertinggi akan diikuti oleh survival yang tinggi pula. Kajian ini juga mencatat hal yang sama, yaitu pada tingkat konsumsi oksigen tertinggi (0,179 mg O

= 0,96. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara survival dengan jumlah inti yang diimplantasi. Nilai survival kijing menurun dengan semakin meningkatnya jumlah inti.

2 g-1 jam-1)

B. Laju Pertumbuhan Bobot Rataan Harian

memiliki

survival tertinggi pula (93,33%).

Pertumbuhan bobot rataan harian terdiri dari bobot soft tissue dan bobot cangkang kijing. Hasil pengukuran dengan jumlah inti dan diameter berbeda selama masa pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 27, 28 dan 29 dan Lampiran 7A. Penurunan laju pertumbuhan bobot rataan harian terjadi seiring dengan bertambahnya jumlah dan diameter inti. Penurunan laju bobot rataan harian ini hampir sama dengan penurunan konsumsi

(13)

pakan. Implantasi 4 inti menurunkan laju pertumbuhan bobot harian sebesar 54% dan implantasi 6 inti menurunkan bobot sebesar 72%, sedangkan implantasi 2 inti hanya menurunkan sebesar 28% saja.

Gambar 27 Laju pertumbuhan bobot rataan harian (%) kijing yang diimplantasi dengan perlakuan jumlah 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan

Menurut Wu et al. (2003) pertumbuhan bobot tubuh dipengaruhi oleh sistem pemeliharaan, yaitu sistem polikultur menghasilkan nilai pertumbuhan bobot tubuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem monokultur. Pada kajian ini, sistem pemeliharaan polikultur dengan ikan nila menunjukkan nilai pertumbuhan bobot tubuh yang cukup tinggi yaitu 10,07 g selama 9 bulan pemeliharaan.

Laju penurunan pertumbuhan bobot soft tissue dan cangkang juga menunjukkan pola yang sama yaitu akibat implantasi 4 inti sebesar 53% dan 60% ; implantasi 6 inti sebesar 71% dan 80% ; sedangkan implantasi 2 inti hanya menurunkan 35% dan 40%.

Nilai pertumbuhan bobot tubuh maksimum pada kijing yang diimplantasi dengan jumlah 2 inti per individu dan berdiameter 10 mm tampaknya dipengaruhi oleh peningkatan densitas kijing dan pakan yang berlimpah pada suhu yang mendukung pertumbuhan bobot tubuh kijing (Bascinar 2009). Menurut Aldridge (1999) bahwa Anodonta spp. memiliki periode pembuahan yang panjang dari musim gugur hingga musim panas dibandingkan dengan Unio spp. di sungai Thames, Inggris.

(14)

Gambar 28 Laju pertumbuhan bobot soft tissue rataan harian (%) kijing yang diimplantasi dengan perlakuan jumlah 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan

Menurut hasil analisis varian (Lampiran 7B) menunjukkan bahwa waktu pemeliharaan dan jumlah inti berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bobot tubuh (P < 0,05) dan terdapat interaksi (P < 0,05) antara waktu pemeliharaan dengan jumlah inti.

Gambar 29 Laju pertumbuhan bobot cangkang rataan harian (%) yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan

(15)

Perlakuan I (jumlah inti dua per individu) dan waktu pemeliharaan 9 bulan memiliki nilai pertumbuhan bobot tubuh tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 7C), respons pertumbuhan bobot tubuh (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear negatif dengan persamaan: Y = -18,75x + 97,98 dengan R2

Menurut Smaal dan Widdows (1994), pada metabolisme rutin tingkat konsumsi oksigen tertinggi akan diikuti oleh laju pertumbuhan yang tinggi pula. Kajian ini juga mencatat hal yang sama, yaitu pada tingkat konsumsi oksigen tertinggi (0,179 mg O

= 0,96. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara pertumbuhan bobot tubuh dengan jumlah inti yang diimplantasi. Nilai pertumbuhan bobot tubuh kijing menurun dengan semakin meningkatnya jumlah inti.

2 g-1 jam-1)

C. Diameter dan Jarak Ruang Antar Sel Batang Mantel

memiliki laju pertumbuhan tertinggi pula, yaitu laju pertumbuhan bobot soft tissue (0,75%), bobot cangkang (0,08%) dan panjang cangkang (0,68%).

Hasil pengukuran diameter dan jarak ruang antar sel batang mantel kijing dengan perlakuan jumlah inti dan diameter berbeda selama masa pemeliharaan 0 dan 9 bulan dapat dilihat pada Gambar 30 dan Lampiran 8.

Gambar 30 Diameter sel batang mantel kijing yang diimplantasi dengan perlakuan 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama awal (0 bulan) dan akhir pemeliharaan (9 bulan)

(16)

Hasil analisis karakteristik spesifik struktur histologis mantel dianalisis pada kontrol (tanpa pemberian inti) dan perlakuan (2, 4 dan 6 inti per individu serta diameter 10 dan 12 mm). Analisis histologis menunjukkan adanya berkas jaringan sel mantel kijing yang berbentuk batang (kolom), karena bagian mantel tersusun dari berkas jaringan sel yang berbentuk batang.

Berdasarkan pengukuran di bawah mikroskop dengan pembesaran 50 x maka terlihat bahwa perbandingan antar kontrol dengan perlakuan dari awal (0 bulan) sampai dengan akhir (9 bulan pelapisan), ukuran sel menjadi semakin besar tetapi kepadatannya menjadi semakin berkurang (Gambar 31 dan 32). Dari hasil tersebut terlihat penurunan diameter sel batang mantel seiring dengan kenaikan jumlah dan diameter inti.

Menurut Salmon et al. (2004) Pinctada fucata yang telah diberi 500 mgl-1 benzocaine dan bagian tepi mantelnya diambil, menunjukkan survival rate 100% setelah 4 minggu perlakuan. Tiram mengalami regenerasi dari jaringan mantel yang hilang. Setelah tiga minggu, analisis histologis mantel menunjukkan regenerasi lengkap dari mantel dan strukturnya. Penemuan ini membuktikan bahwa mantel tiram pulih dari pengambilan jaringan mantel dan dapat digunakan sebagai cadangan induk bagi operasi budidaya tiram. Analisis histologis mantel antara kijing kontrol dengan kijing yang diimplantasi dalam penelitian ini juga menunjukkan kijing mengalami gangguan pertumbuhan akibat penyisipan inti.

Perbandingan diameter dan jarak antar ruang jaringan sel batang mantel antara kontrol dengan perlakuan memperlihatkan bahwa semakin besar jumlah dan diameter inti, maka semakin kecil diameter sel batang mantel dan semakin bertambah jarak antar ruang jaringan sel batang mantel. Peningkatan beban mengakibatkan bertambahnya tingkat stress yang mengganggu pertumbuhan mantel kijing, hal ini ditunjukkan dengan menurunnya diameter dan bertambahnya jarak antar ruang jaringan sel batang mantel kijing.

(17)

Gambar 31. Analisis histologis mantel pada awal (0 bulan) pemeliharaan

Kontrol Diameter Sel Batang

2 inti/individu, diameter 10 mm 2 inti/individu, diameter 12 mm 4 inti/individu, diameter 10 mm 4 inti/individu, diameter 12 mm 6 inti/individu, diameter 10 mm 6 inti/individu, diameter 12 mm ± 4 µm ± 4 µm ± 4µm ± 4µm ± 4µm ± 4µm ± 4 µm

Kont Diameter sel batang

2 inti/individu, diameter 10 mm 2 inti/individu, diameter 12 mm 4 inti/individu, diameter 10 mm 4 inti/individu, diameter 10 mm 6vinti/individu, diameter 10 mm 6 inti/individu, diameter 10 mm

Jaringan sel batang mantel

memanjang dan ruang antar jaringan rapat, dengan diameter berukuran 4 µm.

Jaringan sel batang mantel

memanjang dan ruang antar jaringan rapat, dengan diameter berukuran 4 µm.

Jaringan sel batang mantel

memanjang dan ruang antar jaringan rapat, dengan diameter berukuran 4 µm.

Jaringan sel batang mantel

memanjang dan ruang antar jaringan rapat, dengan diameter berukuran 4 µm.

Jaringan sel batang mantel

memanjang dan ruang antar jaringan rapat, dengan diameter berukuran 4 µm.

Jaringan sel batang mantel

memanjang dan ruang antar jaringan rapat, dengan diameter berukuran 4 µm.

Jaringan sel batang mantel

memanjang dan ruang antar jaringan rapat, dengan diameter berukuran 4 µm.

(18)

Gambar 32. Analisis histologis mantel pada akhir (9 bulan) pemeliharaan

Kontrol Diameter Sel Batang

2 inti/individu, diameter 10 mm 2 inti/individu, diameter 12 mm 4 inti/individu, diameter 10 mm 4 inti/individu, diameter 12 mm 6 inti/individu, diameter 10 mm 6 inti/individu, diameter 12 mm ±15µm ±13µm ±11µm ±10µm ±9µm ±8µm ±7µm

Kontrol Ukuran Ø sel batang

A-2 B-4 A-6 B-2 A-4 B-6

Jaringan sel batang mantel

memanjang dan ruang antar jaringan rapat, dengan diameter berukuran 15 µm.

Jaringan sel batang mantel

memanjang dan ruang antar jaringan agak rapat, dengan diameter

berukuran 13 µm.

Jaringan sel batang mantel

memanjang dan ruang antar jaringan agak rapat, dengan diameter

berukuran 11 µm.

Jaringan sel batang mantel

memanjang dan ruang antar jaringan kurang rapat, dengan diameter berukuran 10 µm.

Jaringan sel batang mantel

memanjang dan ruang antar jaringan kurang rapat, dengan diameter berukuran 9 µm.

Jaringan sel batang mantel

memanjang dan ruang antar jaringan tidak rapat, dengan diameter

berukuran 8 µm.

Jaringan sel batang mantel

memanjang dan ruang antar jaringan tidak rapat, dengan diameter

(19)

D. Laju Pertumbuhan Panjang Total Rataan Harian

Hasil pengukuran panjang cangkang kijing dengan jumlah inti dan diameter berbeda selama masa pemeliharaan 9 bulan nampak pada Gambar 33 dan Lampiran 9A. Laju pertumbuhan panjang total rataan harian menurun seiring dengan meningkatnya jumlah dan diameter inti yang diimplantasi. Fenomena yang sama terjadi pula pada pertumbuhan panjang total yaitu akibat implantasi 4 inti telah menurunkan laju pertumbuhan panjang total sebesar 36% dan 6 inti sebesar 49% sedangkan implantasi 2 inti hanya menurunkan 37% saja.

Gambar 33 Laju pertumbuhan panjang cangkang total rataan harian (%) kijing yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama 9 bulan pemeliharaan

Menurut Rubio et al. (2006), pertumbuhan panjang cangkang tiram mutiara Pteria

sterna di perairan La Paz, Mexico, merupakan bertambahnya ukuran otot adduktor, yang

pada beberapa kasus tumbuh melapisi inti yang disisipkan ke dalam tubuh tiram. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang cangkang pada P. sterna yang tidak diimplantasi inti tidak berbeda nyata dengan tiram yang diimplantasi, yaitu sebesar 1,75 cm selama 11 bulan setelah implantasi inti. Pada penelitian ini, pertumbuhan panjang cangkang

(20)

0,79 cm selama 9 bulan pemeliharaan. Walaupun secara statistik perbedaan di atas belum terlihat nyata.

Menurut hasil analisis varian (Lampiran 9B) menunjukkan bahwa jumlah inti tidak berpengaruh nyata terhadap panjang cangkang (P > 0,05) dan diameter inti berpengaruh nyata terhadap panjang cangkang (P < 0,05). Tidak terdapat pengaruh interaksi (P > 0,05) antara jumlah inti dengan diameter inti. Perlakuan I (jumlah inti dua per individu) dan diameter 10 mm memiliki nilai panjang cangkang tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 9C), respons panjang cangkang (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear negatif dengan persamaan: Y = -18,75x + 97,98 dengan R2

E. Keberhasilan Pelapisan Mutiara 3, 6 dan 9 Bulan

= 0,96. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara panjang cangkang dengan jumlah inti yang diimplantasi. Nilai panjang cangkang kijing menurun dengan semakin meningkatnya jumlah inti.

Hasil pengukuran keberhasilan pelapisan mutiara kijing dengan jumlah inti dan diameter berbeda selama masa pemeliharaan 9 bulan nampak pada Gambar 34 dan Lampiran 10A. Terdapat kecenderungan bahwa keberhasilan pelapisan mutiara semakin menurun dengan bertambahnya jumlah dan diameter inti.

Menurut Kripa et al. (2007) pada tiram Pinctada fucata ada kemungkinan menghasilkan lapisan mutiara dalam waktu 10 bulan pemeliharaan. Tebal deposisi mutiara di Southwest coast of India dapat 9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan deposisi di perairan Jepang dan 2,2 hingga 2,3 kali daripada di Indian Southeast coast. Kualitas mutiara yang dihasilkan juga lebih tinggi apabila ukuran inti berdiameter 5 mm dengan total persentase pelapisan sebesar 72,4 % dan hanya 13,7% saja yang tidak dilapisi nacre. Deposisi nacre sangat dipengaruhi oleh suhu perairan, pada suhu yang tinggi akan mengakselerasi deposisi nacre sedangkan suhu rendah menurunkan pelapisan mutiara, tetapi meningkatkan kualitas mutiara (Shirai, 1981).

Di daerah tropis, dengan suhu yang tinggi hampir sepanjang tahun, sekresi nacre lebih cepat jika dibandingkan dengan di daerah empat musim (Alagarswarni, 1991). Meskipun memiliki keunggulan cepatnya proses pelapisan mutiara, teknologi implantasi

(21)

tetap perlu ditingkatkan (Kripa et al. 2007). Pada penelitian ini, jumlah dan diameter inti yang disisipkan pada kijing A. woodiana berpengaruh nyata terhadap persentase pelapisan mutiara. Hal ini sejalan dengan pernyataan tersebut di atas, yaitu jumlah dan diameter inti yang optimum (2 inti per individu, diameter 10 mm) menghasilkan persentase pelapisan mutiara tertinggi.

Gambar 34 Keberhasilan pelapisan mutiara (%) kijing yang diimplantasi dengan perlakuan 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan

Menurut hasil analisis varian (Lampiran 10B) menunjukkan bahwa jumlah inti berpengaruh nyata terhadap keberhasilan pelapisan mutiara (P < 0,05) namun diameter inti tidak berpengaruh nyata terhadap keberhasilan pelapisan mutiara. Tidak terdapat pengaruh interaksi (P > 0,05) antara jumlah inti dengan diameter inti. Perlakuan I (jumlah inti dua per individu) dan diameter 10 mm memiliki nilai keberhasilan pelapisan mutiara tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 10C), respons keberhasilan pelapisan mutiara (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear negatif dengan persamaan: Y = -18,75x + 97,98 dengan R2 = 0,96. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara keberhasilan pelapisan mutiara dengan jumlah inti yang diimplantasi. Nilai keberhasilan pelapisan mutiara kijing menurun dengan semakin meningkatnya jumlah inti.

(22)

F. Ketebalan lapisan mutiara

Hasil pengukuran ketebalan lapisan mutiara kijing dengan jumlah inti dan diameter berbeda selama masa pemeliharaan 9 bulan nampak dapat dilihat pada Gambar 35, 36 dan Lampiran 11A. Penurunan ketebalan lapisan mutiara terjadi seiring dengan meningkatnya jumlah dan diameter inti.

Menurut Kripa et al. (2007), produksi mutiara Akoya dari tiram Pinctada fucata di Southwest Coast, India, menghasilkan persentase deposisi nacre pada inti yang diimplantasi sebesar 4 µm per hari (pada inti berdiameter 5 mm) dan 3 µm per hari (diameter 6 mm). Di antara hasil panen yang tidak terpakai (reject) umumnya karena tipisnya lapisan nacre (tanpa pelapisan setelah 317 hari pemeliharaan) juga terdapat lipatan/tonjolan mantel pada satu sisi atau dua sisi yang berlawanan pada cangkang tiram. Beberapa dari pelipatan tersebut merupakan jaringan kering, sebagai bagian kalsifikasi yang rendah, namun umumnya lipatan tersebut merupakan deposisi nacre yang tidak merata. Pada P. margaritifera, tonjolan kalsifikasi tersebut disebut ”ekor” dan ditemukan mengandung sel inflammatory yang mati (Gervis dan Sims 1992; Friedman dan Southgate 1999). Hasil penelitian ini tidak terjadi kasus lipatan tersebut. Hal ini mungkin disebabkan oleh inti yang diimplantasi berupa inti blister bukan inti round.

Gambar 35 Ketebalan lapisan mutiara (µm) kijing yang diimplantasi dengan dengan perlakuan 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan

(23)

Pada penelitian ini, ketebalan maksimum mutiara terdapat pada kijing yang disisipkan jumlah 2 inti per individu dengan diameter 10 mm, dan tidak terdapat ”ekor” (tonjolan mantel). Tebalnya lapisan dua kali lipat dibandingkan pada implantasi dengan 4 inti akan tetapi menjadi lebih besar lagi bila dibandingkan dengan implantasi 6 inti yaitu menjadi 5,5 kalinya. Berdasarkan hal tersebut, diduga bahwa metode penyisipan yang tepat menghasilkan ketebalan mutiara yang maksimum. Selain itu, suhu media pemeliharaan yang berkisar antara 25,10 – 25,90 o

Menurut hasil analisis varian (Lampiran 11B) menunjukkan bahwa jumlah dan diameter inti berpengaruh nyata terhadap ketebalan lapisan mutiara (P < 0,05) dan tidak terdapat pengaruh interaksi (P > 0,05) antara jumlah inti dengan diameter inti. Perlakuan I (jumlah inti dua per individu) dan diameter 10 mm memiliki nilai ketebalan lapisan mutiara tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 11C), respons ketebalan lapisan mutiara (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear negatif dengan persamaan: Y = -18,75x + 97,98 dengan R

C, turut mendukung kecepatan sekresi nacre sehingga menghasilkan lapisan mutiara yang tebal.

2

G. Kapasitas Total Lapisan Mutiara

= 0,96. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara ketebalan lapisan mutiara dengan jumlah inti yang diimplantasi. Nilai ketebalan lapisan mutiara kijing menurun dengan semakin meningkatnya jumlah inti.

Berdasarkan hasil pengukuran volume lapisan mutiara yang terbentuk pada cangkang 160 ekor induk kijing yang tetap hidup hingga 9 bulan masa pemeliharaan, maka diperoleh kapasitas total lapisan mutiara sebesar 631.852,64 mm3 per 160 individu kijing atau 3.949,079 mm3

Kapasitas lapisan mutiara terbesar diperoleh dari induk kijing yang diimplantasi dengan jumlah dua inti per individu dan diameter 10 mm, yaitu 853,920 mm

per individu kijing.

3

. Pada penelitian ini, kapasitas total mutiara yang terbentuk pada cangkang bagian dalam kijing semakin meningkat, seiring dengan penurunan jumlah dan ukuran diameter inti yang diimplantasi. Hal ini diduga disebabkan oleh stressor, yaitu kehadiran inti dalam jumlah dan ukuran diameter yang berbeda, yang mempengaruhi kemampuan regenerasi mantel dalam menghasilkan lapisan nacre dan conchiolin.

(24)

Gambar 36. Ketebalan lapisan mutiara pada (I) 3 bulan, (II) 6 bulan dan (III) 9 bulan pemeliharaan (I) 3 bulan 2 inti/individu, diameter 10 mm 2 inti/individu, diameter 12 mm 4 inti/individu, diameter 10 mm 4 inti/individu, diameter 12 mm 6 inti/individu, diameter 10 mm 6 inti/individu, diameter 12 mm (III) 9 bulan 2 inti/individu, diameter 10 mm 2 inti/individu, diameter 12 mm 4 inti/individu, diameter 10 mm 4 inti/individu, diameter 12 mm 6 inti/individu, diameter 10 mm 6 inti/individu, diameter 12 mm (II) 6 bulan 2 inti/individu, diameter 10 mm 2 inti/individu, diameter 12 mm 4 inti/individu, diameter 10 mm 4 inti/individu, diameter 12 mm 6 inti/individu, diameter 10 mm 6 inti/individu, diameter 12 mm ± 6µm ± 4µm ± 5µm ± 2µm ± 2µm ± 0,5µm ±9µm ±7µm ±8µm ±4µm ±0,75µ ±1µm ±17µm ±13µm ±9µm ±5µm ±4µm ±1µm

(25)

Kapasitas total mutiara dibagi jumlah inti pada tiap individu kijing yang diimplantasi dengan berbagai jumlah inti dan ukuran diameter 10 dan 12 mm tidaklah sama. Terjadi penurunan kapasitas mutiara yang dihasilkan dengan semakin bertambahnya jumlah dan diamter inti. Hal ini membuktikan bahwa jumlah dan diameter inti memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan mantel yang pada akhirnya mengakibatkan sedikitnya deposit mutiara yang dihasilkan (Gambar 37 dan Lampiran 12A).

Gambar 37 Kapasitas lapisan mutiara yang terbentuk pada cangkang A. woodiana selama 9 bulan pemeliharaan

Salmon dan Southgate (2005) menyatakan bahwa jaringan mantel dalam kerang mutiara (Pteriidae) berperan dalam mengeluarkan mother of pearl atau lapisan nacre. Dalam percobaan untuk menilai proses regenerasi mantel dan excision mantel pada

Pinctada fucata dan P. margaritifera, jaringan mantel sembuh dalam tiga hari pertama

setelah eksisi dan mulai tumbuh sebagai jaringan ikat. Otot berkembang terlihat antara 60 dan 90 hari setelah eksisi. Pembentukan cangkang dan pelapisan mutiara ditemukan 15 hari setelah eksisi, ketika sekresi sel-sel dan conchiolin pertama kali terlihat. Pada kedua jenis tiram tersebut, regenerasi mantel seperti struktur awalnya terjadi pada hari ke-90. Sejalan dengan hasil penelitian ini, kapasitas mutiara yang dihasilkan meningkat setelah mantel kijing sembuh dari stress akibat penyisipan inti.

(26)

H. Kadar Kalsium Soft Tissue

Hasil pengukuran kadar kalsium soft tissue kijing dengan jumlah inti dan diameter berbeda selama penelitian disajikan pada Gambar 38 dan lampiran 13A.

Gambar 38 Kadar kalsium soft tissue (mg 100 g-1

dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter ) kijing yang diimplantasi

10 dan 12 mm selama pemeliharaan

Menurut Zoltan (2005) bahwa kadar Ca soft tissue Sinanodonta woodiana dan

Dreissena Polymorpha di Duna Drava National Park, Hongaria, dipengaruhi oleh

kontaminan dalam perairan. Kadar Ca soft tissue kijing yang hidup pada habitat yang tidak tercemar yaitu sekitar 360 mg 100 g-1. Kadar Ca soft tissue kijing yang diimplantasi 2, 4, 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm pada penelitian ini berkisar antara 237,33– 412,33 mg 100 g-1. Nilai ini berbeda nyata dengan kadar Ca soft tissue kijing kontrol, yaitu sekitar 414,17 mg 100 g-1

pakan dan pada akhirnya akan membawa dampak terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan A. woodiana.

. Diduga penyisipan inti tersebut berpengaruh terhadap konsumsi

Menurut hasil analisis varian (Lampiran 13B) menunjukkan bahwa jumlah dan diameter inti berpengaruh nyata terhadap kadar kalsium soft tissue (P < 0,05) dan tidak terdapat pengaruh interaksi (P > 0,05) antara jumlah inti dengan diameter inti. Perlakuan I

(27)

(jumlah inti dua per individu) dan diameter 10 mm memiliki kadar kalsium soft tissue tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 13C), respons kadar kalsium soft tissue (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear negatif dengan persamaan: Y = -18,75x + 97,98 dengan R2

I. Konsentrasi Kalsium yang Berperan Terhadap Pertumbuhan Ketebalan Lapisan Mutiara

= 0,96. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara kadar kalsium soft tissue dengan jumlah inti yang diimplantasi. Nilai kadar kalsium soft tissue kijing menurun dengan semakin meningkatnya jumlah inti.

Kalsium yang berperan terhadap ketebalan lapisan mutiara diduga terdapat pada: a) lingkungan air yaitu dalam kisaran konsentrasi sebesar 6,8 - 7 mgl-1 CaCO3; b) substrat pemeliharaan yaitu 21,27 – 50,58 mgl-1; c) pada tubuh kijing di dalam hemolimf dengan konsentrasi berkisar antara 275,67 – 590,55 µg Ca l-1; dan d) soft tissue yaitu antara 193,667 – 412,33 mg 100 g-1

Tabel 7 Kandungan Ca yang berperan terhadap ketebalan lapisan mutiara (Tabel 7). Kisaran kandungan Ca Air kolam pemeliharaan (mg l-1 CaCO3 Substrat kolam pemeliharaan ) (mg l-1 Hemolimf kijing ) (µg Ca l-1 Soft tissue ) kijing (mg 100 g-1) 6,8 - 7 21,27 – 50,58 275,67 – 590,55 193,667 – 412,33

Rendahnya konsumsi pakan akan menyebabkan semakin rendah juga nutrien-nutrien pakan seperti mineral yang terserap oleh kijing, sehingga mineral yang disimpan dalam tubuh juga rendah dan pada akhirnya akan menyebabkan pertumbuhan kijing semakin lambat. Mineral yang terkandung di dalam pakan (misalnya Na, K, Ca dan lain-lain) akan digunakan sebagai material dalam proses biosintesis menjadi komponen cangkang, komponen sel hemolimf, dan lain-lain. Mineral-mineral tersebut juga akan digunakan untuk mempertahankan tekanan osmotik cairan tubuh dan juga dapat berfungsi sebagai komponen enzim (Affandi et al. 2009). Oleh karena itu menurut Guillaume et al. (2001), bahwa kekurangan kalsium dapat menghambat pertumbuhan, pembentukan cangkang serta mengakibatkan dekalsifikasi. Dari hal tersebut dapat terlihat bahwa

(28)

kandungan kalsium di dalam pakan akan sangat berperan dalam menunjang pertumbuhan kijing.

Apabila dilihat dari ketersediaan kalsium di lingkungan tempat hidup kijing maka alur pengambilan (fiksasi) Ca adalah sebagai berikut: Ca dari lingkungan masuk ke dalam tubuh menjadi kalsium hemolimf dan selanjutnya dimanfaatkan untuk biomineralisasi dan pertumbuhan. Dengan demikian kadar kalsium media berpengaruh terhadap kadar kalsium hemolimf kijing, selanjutnya kadar kalsium hemolimf kijing mempengaruhi laju pertumbuhan dan proses pelapisan mutiara. Kadar kalsium hemolimf pada penelitian ini yaitu 275,67 – 590,55 µg Ca l-1 (sedangkan kadar kalsium media tempat hidup kijing 6,8 - 7 mgl-1 CaCO3). Hal ini lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar kalsium hemolimf pada penelitian Kelabora (2010), yaitu 2.025 µg Ca l-1 (sedangkan kadar kalsium medianya sebesar 25 mgl-1 CaCO3). Menurut Kelabora, penambahan kalsium 25 mgl-1 pada media menyebabkan efisiensi pemanfaatan kalsium tertinggi dengan gradient osmotic terendah menghasilkan laju pertumbuhan tertinggi, yaitu 1,1%. Oleh karena itu untuk meningkatkan laju pertumbuhan termasuk proses pelapisan dan ketebalan lapisan mutiara, maka untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan penambahan kalsium ke perairan hingga mencapai 25 mgl-1

IV. Kondisi Lingkungan Pemeliharaan Kijing .

A. Parameter Fisika dan Kimia Kolam Pemeliharaan

Data hasil pengukuran parameter fisika dan kimia air yang dilakukan pada setiap bulan selama 9 bulan pemeliharaan tercantum pada Tabel 8. Data parameter fisika dan kimia air tersebut selanjutnya dibandingkan dengan kisaran ideal menurut pustaka. Data selengkapnya pada lampiran 14. Secara keseluruhan, parameter fisika dan kimia air selama masa pemeliharaan kijing masih berada dalam kisaran ideal untuk pemeliharaan kijing. Data curah hujan selama penelitian tercantum pada Lampiran 15.

Parameter hidrobiologi seperti suhu, TSS, alkalinitas, dan konsentrasi oksigen terlarut mempengaruhi pertumbuhan bobot tubuh (Pouvreau et al. 2000). Pada penelitian ini parameter hidrobiologi masih berada pada kisaran ideal pemeliharaan kijing A.

woodiana, kecuali nilai TSS yang melebihi ambang batas menurut Effendi (2003) yaitu

(29)

bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 µm) yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0,45 µm. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik. Bahan-bahan ini terutama berasal dari kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Bahan-bahan tersuspensi dan terlarut pada perairan alami tidak bersifat toksik, akan tetapi jika berlebihan, terutama TSS, akan dapat meningkatkan nilai kekeruhan.

Tabel 8. Data parameter fisika dan kimia air kolam selama percobaandibandingkan dengan beberapa pustaka

Kualitas Air Kisaran selama 9 bulan pemeliharaan Kisaran ideal Pustaka Fisika Suhu (oC) 25,10 – 25,90 24 - 29 Suwignyo (2005) Kecepatan arus (cm/det) TSS (mgl-1 0,25 – 1,00 ) 26,49 – 29,67 < 25 Effendi (2003)

Kecerahan (cm) 40 - 50 40 – 50 Skinner et al. (2007)

Kimia pH 6,5 – 7,1 6,0 - 7,6 Suwignyo (2005) DO (mgl-1) 4,69 – 5,32 3,8 – 12,5 Suwignyo (2005) Nitrat (mgl-1) 0,36 - 0,82 < 1,0 Oliver (2000) Nitrit (mgl-1) 0,03 – 0,09 0,5 - 5 Boyd (1992) Alkalinitas (mgl-1 Ca (mg CaCO ) 3 l-1 90,65 – 99,70 ) 6,8 – 7,0 13,2 – 93,0 25 Boyd (1992) Kelabora (2010)

Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai TSS adalah < 25 mgl-1. Nilai TSS di antara 25 hingga 80 mgl-1 mempengaruhi kehidupan A. woodiana karena akan menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh terhadap proses fotosintesis di perairan. Nilai TSS perairan berkorelasi positif dengan kelangsungan hidup dan pertumbuhan bobot tubuh tiram Pinctada fucata yang diimplantasi di Southwest Coast, India dan faktor-faktor lingkungan berperan penting terhadap proses biomineralisasi nacre (Kripa et al. 2007). Nilai TSS pada penelitian tersebut (29,27 mgl-1) menyebabkan tingkat kematian 17,3 % pada tiram yang diimplantasi dengan inti berdiameter 6 mm dan 10,7% pada yang berdiameter 5 mm. Kandungan Ca pada media air pertumbuhan kijing pada penelitian ini relatif kecil dibandingkan produktivitas ideal bagi biomineralisasi untuk pelapisan mutiara (Kelabora 2010).

(30)

B. Parameter Biologi Kolam Pemeliharaan

Kijing A. woodiana termasuk organisme pemakan bahan tersuspensi di perairan (suspension feeder) dengan cara menyaring makanan (filter feeder) sehingga komposisi jenis dan kelimpahan plankton merupakan faktor utama untuk pertumbuhan kijing. Hasil analisis fitoplankton dari air kolam pemeliharaan kijing, ditemukan 11 jenis fitoplankton (Gambar 39), yang didominasi oleh jenis Coelosphaerium sp. (Chlorophyta) dengan kelimpahan 8,62 individu ml-1 dan Scenedesmus (7,52 individu ml-1).

Gambar 39. Komposisi dan kelimpahan jenis fitoplankton di kolam pemeliharaan A.

woodiana

Terdapat 5 jenis zooplankton dari air kolam pemeliharaan kijing, yang didominasi oleh jenis Daphnia sp. (Entomostraca) dengan kelimpahan 3,3 individu ml-1

Plankton merupakan sumber pakan utama bagi bivalvia (Knauer dan Southgate 1999). Fitoplankton seperti micro algae berukuran kurang dari 10 µm merupakan jenis pakan hidup yang paling disukai kijing mutiara. Selama pemeliharaan, pakan potensial bagi kijing mutiara adalah plankton dalam konsentrasi sedang (kisaran kelimpahan fitoplankton yaitu 0,55 - 20,35 dan zooplankton yaitu 0,55 – 3,3 individu ml

(Gambar 40 dan Lampiran 16).

-1

) tetapi selalu tersedia dalam kolam pemeliharaan sehingga mendukung pertumbuhan kijing A. woodiana. Preferensi kijing terhadap pakan sangat tergantung pada ukuran dan species.

(31)

Masing-masing jenis kijing mempunyai kemampuan berbeda-beda, dalam memilah dan mengambil makanan yang disukai. Pada prinsipnya, plankton yang digunakan sebagai pakan kijing atau organisme akuatik lainnya, hendaknya mempunyai ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut, cepat dicerna, mengandung nilai nutrisi tinggi, potensial dikultur dalam skala massal, cepat tumbuh dengan kepadatan tinggi dan tidak menghasilkan substansi racun (Ponis et al. 2006).

Gambar 40. Komposisi dan kelimpahan zooplankton di kolam pemeliharaan A. woodiana

Menurut Affandi et al. 2009 aktivitas makan pada biota akuatik, termasuk kijing, berhubungan erat dengan selera makan karena akan menentukan jumlah makanan yang dimakan (food intake). Faktor pakan mempengaruhi pertumbuhan kijing selain faktor fisika dan kimia perairan seperti suhu, oksigen terlarut, amoniak dan karbodioksida. Oleh karena itu pada pemeliharaan kijing, faktor pakan serta lingkungan harus diperhatikan dengan seksama (Effendi, 2004). Suhu, oksigen terlarut dan amoniak akan mempengaruhi nafsu makan kijing dan jumlah/kuantitas pakan yang dikonsumsi oleh kijing. Pakan, yang dikonsumsi oleh kijing baik secara kuantitas maupun kualitas akan mengalami proses metabolisme sehingga menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan menghasilkan buangan metabolisme (amoniak dan karbondioksida).

(32)

Hasil penelitian Kelabora (2010) menunjukkan bahwa unsur kalsium 25 mgl-1 merupakan konsentrasi terbaik yang dapat memberikan ketersediaannya unsur hara untuk memacu pertumbuhan populasi plankton. Diduga bahwa nutrien, terutama nutrien makro, dalam media percobaan dengan konsentrasi kalsium 25 mgl-1, jumlahnya relatif banyak sehingga dapat membantu proses pertumbuhan dan produksi fitoplankton. Pada saat nutrien tersedia, maka populasi fitoplankton meningkat, namun pada penelitian ini konsentrasi Ca dalam air kolam relatif rendah yaitu berkisar antara 6,8 – 7,0 mg CaCO3 l-1

C. Kualitas Substrat Kolam Pemeliharaan

sehingga diduga kurang mendukung pertumbuhan dan produksi fitoplankton. Ca merupakan salah satu nutrien makro (yang dibutuhkan dalam jumlah banyak) oleh tumbuhan dan fitoplankton di samping C, H, N, P,dan Mg.

Data hasil pengukuran parameter fisika dan kimia substrat yang dilakukan pada setiap bulan selama 9 bulan pemeliharaan tercantum pada Tabel 9. Data parameter fisika dan kimia substrat tersebut selanjutnya dibandingkan dengan kisaran ideal menurut pustaka. Data selengkapnya pada lampiran 17. Secara keseluruhan, parameter fisika dan kimia substrat selama masa pemeliharaan kijing masih berada pada kisaran ideal untuk pemeliharaan kijing.

Tanah berperan sebagai substrat habitat hidup biota air, memberikan ruang bagi biota air untuk beraktifitas di atasnya. Substrat tanah berfungsi sebagai wadah penampung air dan berinteraksi dengan memberi dan menerima nutrien dari dan ke dalam air. Semuanya bersama-sama mendukung proses kimia dan biologi dalam satu kesatuan unit ekosistem kolam (AIYU, 2010). Substrat tanah sebagai tempat hidup kijing bersifat dinamis. Hal ini karena substrat tersebut melangsungkan reaksi reaksi biokimia yang kompleks, dengan sifat fisik dan dan sifat kimia dari banyak kombinasi reaksi dan komposisi makro-mikro hara tertentu.

(33)

Tabel 9. Data parameter fisika dan kimia substrat kolam selama percobaan dibandingkan dengan beberapa pustaka

Pengetahuan ini dapat dimanfaatkan untuk tujuan budidaya dengan teknik terapan fisika, biologi dan kimia, terutama dalam meningkatkan produksi mutiara air tawar. Matriks rekapitulasi hasil percobaan pengaruh beban terhadap tingkat stress, respon makan kijing,

survival dan pertumbuhan A. woodiana tercantum dalam Lampiran 18.

V. Prospek Biologis terhadap Efektifitas dan Produktifitas Pelapisan mutiara Respon Fisiologis Kijing terhadap Proses Pelapisan mutiara

Implantasi inti setengah bulat telah mengakibatkan kijing mengalami stress. Benda asing yang masuk ke dalam tubuh itu dianggap sebagi “musuh” sehingga kijing tersebut mempertahankan diri. Cara mempertahankan diri adalah dengan dikeluarkannya eksudat berupa nacre dan conchiolin oleh sel epitel mantel (Gambar 41).

Perkembangan kerangka kalsium karbonat metazoan diatur oleh sebuah matriks protein ekstraseluler, yang tertanam di dalam eksoskeleton. Menurut berbagai studi biokimia, lokalisasi yang tepat dari protein rangka untuk waktu yang lama sebagai suatu proses biokimia yang belum dipahami. Teknik untuk memvisualisasikan protein matriks cangkang pada permukaan kristal kalsium karbonat dalam biomineralisasi adalah melalui antibodi berupa immunogold (Marin et al

Kualitas Substrat

. 2007). Kisaran selama

pemeliharaan

Kisaran ideal Pustaka

Fisika Tekstur -Debu (%) -Liat (%) -Pasir (%) 17 – 40 17 - 30 30 - 66 27 – 47,33 7,33 – 34,67 18 – 65,67 Suwignyo (2005) Kimia pH Ca (ppm) 8,2 – 8,26 21,27 – 50,58 7,5 – 8,5 16 - 100 Boyd (1992) Boyd (1992) Mg (ppm) 16,03 – 26,62 6 - 108 Boyd (1992) Bikarbonat (ppm) 126,5 – 227,7 102 - 308 Boyd (1992)

(34)

Inti mutiara Epithelium luar

Jaringan penghubung Epithelium dalam Nacreconchiolindan

(A) 0 bulan (B) 4,5 bulan (C) 9 bulan Cangkang

Gambar 41. Respon pertahanan diri kijing A. woodiana akibat implantasi inti blister (A) 0 bulan, (B) 4,5 bulan, dan (C) 9 bulan setelah implantasi. Dengan pewarnaan perak, sampel kemudian diamati dengan pemindaian mikroskop elektron menggunakan SEM. Teknik ini diterapkan pada contoh dari kalsit prismatik yang membentuk lapisan terluar dari kerang kipas Mediterania, Pinna nobilis. Suatu protein caspartin utama larut, yang diidentifikasi baru-baru ini, sebagian diurutkan setelah ekstraksi enzimatik. Sebuah antibodi poliklonal yang timbul berlawanan dengan caspartin, digunakan untuk lokalisasi di dalam prisma. Lokalisasi immunogold menunjukkan bahwa caspartin selain mengelilingi kalsit prismatik, juga tersebar selama biomineralisasi. Contoh ini menggambarkan dampak yang mendalam pada pembentukan matriks protein intracrystalline yang berlawanan dengan intercrystalline. Selain itu, hal tersebut juga merupakan alat penting untuk menentukan fungsi putatif bagi matriks protein

Respon fisiologis akibat tekanan implantasi inti blister dapat dijelaskan berdasarkan alur pada Gambar 42. Dari gambar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

. Pengetahuan tentang biomineralisasi pada moluska ini dapat diterapkan terhadap efektifitas dan produktifitas pelapisan mutiara pada kijing air tawar A. woodiana.

(1). Pengaruh beban (jumlah dan diameter inti) terhadap tingkat stress. Kecenderungan yang tampak adalah bahwa semakin besar beban (jumlah dan diameter inti), maka semakin tinggi tingkat stress yang dialami oleh kijing. Hal ini ditunjukkan oleh meningkatnya kadar glukosa hemolimf dan laju metabolisme basal. Tingginya kadar

(35)

glukosa hemolimf merupakan indikator bahwa kijing mengalami stress akibat adanya tambahan jumlah dan ukuran diameter inti. Temuan yang sama juga disampaikan oleh Anwar (2002), bahwa kadar glukosa Pteria Penguin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah inti yang diimplantasikan pada kijing tersebut. Survival rate A.

woodiana juga semakin menurun dengan semakin meningkatnya jumlah dan ukuran

diameter inti, hal ini menunjukkan bahwa adanya beban merupakan penyabab kematian akibat stress. Kondisi normal yang berubah menjadi kondisi stress inilah yang diduga mengakibatkan kijing tidak makan (tingkat kelaparan tinggi), infeksi akibat luka setelah penyisipan inti dan kehilangan cairan tubuh (Affandi et al. 2009).

(2). Pengaruh beban (jumlah dan diameter inti) terhadap aktivitas makan kijing. Terdapat kecenderungan semakin besar beban (jumlah dan diameter inti), maka semakin rendah aktivitas makan kijing. Kejadian ini dibuktikan dengan menurunnya tingkat konsumsi pakan, laju metabolisme rutin, dan kadar Ca hemolimf. Pengaruh jumlah dan ukuran diameter inti terhadap aktivitas makan, tampak pada semakin menurunnya nilai ISC dan nilai metabolisme rutin kijing seiring dengan semakin bertambahnya beban. Faktor luar yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan kijing adalah ketersediaan pakan di perairan, dan didukung oleh kondisi lingkungan kualitas perairan yang optimum. Pertumbuhan kijing sangat ditentukan oleh ketersediaan pakan di perairan, sebab pakan merupakan sumber energi dan materi yang akan digunakan dalam proses metabolisme sehingga kijing dapat hidup dan tumbuh baik. Dengan melihat kondisi perairan yang mendukung meningkatnya kelimpahan fitoplankton sebagai sumber pakan kijing, maka perairan tersebut dapat meningkatkan proses pembentukan lapisan mutiara, karena aktivitas makan kijing berlangsung terus menerus dengan melakukan penyaringan. Menurut Anwar (2002) pertumbuhan lapisan mutiara terjadi sepanjang waktu yang dipacu oleh adanya trigger dan proses metabolisme. Pertumbuhan sangat bergantung kepada energi yang tersedia dalam pakan dan pembelanjaan energi tersebut. Pertumbuhan juga sangat bergantung pada tingkat konsumsi pakan dan efisiensi pakan. Pertumbuhan akan terjadi apabila kebutuhan energi untuk pemeliharaan (maintenance) telah terpenuhi.

(36)

Beban: jumlah & diameter

Tingkat

Stress

Glukosa hemolimf Tingkat konsumsi pakan (ISC) Laju konsumsi Oksigen pada Metabolisme rutin Pertumbuhan A. woodiana Keberhasilan pelapisan dan ketebalan lapisan mutiara Somatik Pembelanjaan energi Ca hemolimf

Input Proses Output

Gambar 42 Diagram alur proses dari pengaruh beban (jumlah dan diameter) inti terhadap tingkat stress, respon makan,

survival dan pertumbuhan A. woodiana

Survival A. woodiana Ca soft tissue dan diameter sel batang mantel Cangkang Laju konsumsi Oksigen pada Metabolisme basal Kapasitas total mutiara

(37)

(3). Pengaruh beban (jumlah dan diameter inti) terhadap survival rate, pertumbuhan, dan pelapisan mutiara. Kecenderungan yang tampak adalah bahwa semakin besar beban (jumlah dan diameter inti), maka semakin rendah survival rate, pertumbuhan, dan pelapisan mutiara. Hal ini berakibat pada laju pertumbuhan bobot

soft tissue, bobot cangkang, dan panjang cangkang serta persentase pelapisan dan

ketebalan lapisan mutiara.

Proses pelapisan mutiara kijing Anodonta woodiana akan tetap berlangsung apabila kebutuhan minimumnya untuk hidup pokok telah terpenuhi. Energi diperoleh sebagai akibat metabolisme, yang terlebih dahulu digunakan untuk memenuhi seluruh kebutuhan aktivitas dan pemeliharaan tubuh. Demikian juga untuk kebutuhan pertumbuhan pelapisan mutiara (nacreous layer) dibutuhkan energi yang berasal dari makanan yang diperoleh dari alam maupun dari cadangan yang tersimpan dalam tubuh kijing. Jika energi pakan tidak seimbang, akan menimbulkan gangguan pertumbuhan sebagai akibat dari proses metabolisme yang abnormal atau kurang maksimum.

Pada pengamatan bulan ke 3 sampai dengan bulan ke 9 lapisan mutiara mulai terbentuk sebesar 0,5 - 6 µm dan 1 – 17 µm (Gambar 36), dengan kondisi demikian proses metabolisme kijing sesuai dengan kemampuan adaptasi kijing. Berdasarkan data yang diperoleh jumlah inti berpengaruh nyata terhadap ketebalan mutiara (P < 0,05), didapatkan pelapisan mutiara maksimum sebesar 18 µm dengan jumlah inti optimum (2 inti per individu). Ini diduga jumlah inti optimum telah merangsang epitelium mantel yang terdapat pada bagian dalam mantel (inner fold) untuk mensekresikan glikoprotein asam dan glikoprotein netral membentuk lapisan

nacreous (nacreous layer) serta pemanfaatan pakan untuk pertumbuhan akan lebih

efisien bila jumlah inti tersebut ideal terhadap kemampuan kijing. Dengan ketersediaan energi pakan yang memadai memungkinkan aktivitas enzim anhydrase pada berkas jaringan mantel mengefisienkan peningkatan proses metabolisme.

Jumlah inti di bawah optimum maka proses sekresi kelenjar nacreous berjalan normal sedangkan jika melebihi batas optimum kemampuan mantel dan energi yang

(38)

tersedia sangat terbatas, sehingga lapisan mutiara yang terbentuk lebih tipis. Hal ini berbanding lurus dengan persentase kejadian pelapisan mutiara yang berbentuk linear. Menurut Anwar (2002), bahwa mantel tidak hanya mensekresikan kelenjar nacreous tetapi juga lapisan prismatik (prismatic layer) dan lapisan periostrakum (periostracum layer).

Interaksi antara Tingkat Stress, Survival Rate dan Pelapisan Mutiara

Interaksi yang terdapat di antara tiga parameter penelitian ini, yaitu tingkat

stress, survival rate dan pelapisan mutiara, adalah sebagai berikut:

(1) implantasi inti mutiara berpengaruh terhadap kijing yaitu menimbulkan

stress yang ditunjukkan dengan peningkatan laju metabolisme basal dan kadar

glukosa hemolimf (yang mempengaruhi pembelanjaan energi). Stress tersebut kemudian mengakibatkan penurunan konsumsi pakan yang tampak dari laju metabolisme rutin dan kadar Ca hemolimf yang menurun juga.

(2) Selanjutnya, stress yang timbul dan penurunan tingkat konsumsi pakan tersebut mempengaruhi survival rate dan pertumbuhan serta pelapisan mutiara. Apabila beban (jumlah dan ukuran) diameter inti besar, maka survival rate akan menurun dan petumbuhan juga akan rendah (baik pertumbuhan somatik, yang ditunjukkan dengan penurunan Ca soft tissue dan diameter sel batang mantel, maupun pertumbuhan cangkang yang meliputi kapasitas total mutiara, keberhasilan pelapisan serta ketebalan lapisan mutiara yang menurun juga).

(3) Sebaliknya, jika beban ringan maka survival rate dan pertumbuhan juga akan tinggi (hal ini terlihat pada peningkatan Ca soft tissue dan diameter sel batang mantel, maupun pertumbuhan cangkang yang meliputi kapasitas total mutiara, keberhasilan pelapisan serta ketebalan lapisan mutiara yang meningkat juga).

Interaksi ketiga parameter tersebut di atas sejalan dengan pendapat Affandi et

al. (2009) yang menyatakan bahwa gangguan dari luar yang masuk ke dalam tubuh

kijing akan menimbulkan respon fisiologis kijing yang ditunjukkan oleh beberapa parameter, yaitu tingkat stress yang indikatornya adalah laju metabolisme basal dan kadar glukosa hemolimf dalam tubuh kijing. Selanjutnya, stress tersebut akan

(39)

mempengaruhi tingkat konsumsi pakan yang terlihat dari laju metabolisme rutin dan kadar Ca hemolimf (yang mempengaruhi pembelanjaan energi dan survival rate). Hal tersebut juga akan memicu pertumbuhan bobot soft tissue, cangkang dan panjang cangkang serta mempengaruhi proses pelapisan mutiara. Diduga stress yang ditimbulkan oleh benda asing yang disisipkan di antara cangkang bagian dalam dan mantel kijing tersebut, justru akan memicu proses pelapisan inti mutiara yang pada akhirnya akan meningkatkan produksi mutiara air tawar. Berdasarkan respon fisiologis dan kemungkinan pengembangan budidayanya maka dapat dikatakan bahwa kijing air tawar A. woodiana memiliki prospek masa depan yang baik sebagai produsen mutiara air tawar di Indonesia.

Biomineralisasi Tingkat Seluler Pada Proses Pelapisan mutiara

Proses biomineralisasi pada kijing membutuhkan metabolisme kalsium yang melibatkan berbagai jenis protein diantaranya adalah Calmodulin (CaM) dan Calmodulin like protein (CaLP). Calmodulin like protein adalah bagian dari matriks protein cangkang yang berhubungan dengan pembentukan kristal kalsit pada lapisan prismatik cangkang (Li et al. 2010). Penelitian pada tiram mutiara jenis Pinctada

fucata dengan pewarnaan imunohistologi pada cangkang telah dideteksi keberadaan

CaLP di sekitar lapisan prismatik (kalsit) dan bagian nacre (aragonit). Secara in vitro, CaLP berperan dalam pembentukan kristal kalsit, dan apabila berkombinasi dengan protein yang larut dalam air akan membentuk kristal aragonit pada nacre (Yan et al. 2007). Secara bersama-sama kedua protein tersebut melakukan absorbsi, transport, sekresi, deposisi dan akumulasi kalsium dalam tubuh kijing.

Selain CaM dan CaLP telah diketahui protein lain yaitu nacrein yang berperan dalam biomineralisasi. Nacrein adalah komponen matriks organik moluska pertama kali diidentifikasi terlibat khusus dalam pembentukan lapisan nacreous (Miyamoto et

al. 1996). Distribusi dan fungsi protein nacrein berdasarkan analisis struktural telah

diteliti oleh Norizuki dan Samata (2008). Untuk mengetahui fungsi dari protein nacrein, percobaan berfokus pada struktur primer protein nacrein, struktur tersier

(40)

nacrein dan kristalisasi in vitro dari protein tersebut. Nacrein diklasifikasikan menjadi empat tipe, yaitu MSI31, N16, MSI60 dan Prismalin-14.

Protein yang kaya asam aspartat berperan penting untuk membangun prisma kalsit pada moluska (Marin et al. 2005). Protein yang terdapat pada cangkang tersebut beragam dan multifungsi serta mungkin memiliki asal-usul berbeda (Marin dan Luquet 2004). Penelitian Marin dan Luquet (2005) menggunakan detektor

immunogold didapat bahwa makromolekul dari cangkang P. nobilis terdiri dari tiga

protein: pertama adalah mucoperlin yang spesifik pada lapisan nacreous. Sedangkan dua lainnya, yaitu caspartin dan calprismin terdapat pada lapisan prismatik kalsit. Pokroy et al. (2007) menggunakan kristal tunggal difraksi x-ray, telah menemukan bentuk kembar kristal kalsit yang berkembang dari larutan protein 17-kDa cangkang moluska yang sebelumnya diketahui sebagai caspartin dan calprismin. Protein

intracrystalline ini diekstraksi dari prisma kalsit Pinna nobilis tersebut. Marie et al.

(2007) menggambarkan dampak yang nyata dari penemuan protein matriks

intracrystalline pada proses biomineralisasi mutiara.

Peran matriks protein sangat penting dalam mencapai proses biomineralisasi (Michenfelder et al, 2003). Pearlin dan peral keratin berinteraksi untuk menginduksi nukleasi aragonit (Matsushiro et al. 2003). CaLP mengikat protein untuk memfasilitasi trasformasi kalsite pada lapisan prismatik menjadi aragonit pada lapisan nacre (Marin dan Luquet 2004). Enzim alkaline fosfatase sangat berperan dalam biomineralisasi mutiara karena menurut Chen et al (2005) pada Pinctada

fucata, arginin dan lysine merupakan subtrat yang diaktifkan oleh enzim alkaline

fosfatase selama pembentukan mutiara di nacre. Jing et al (2007) menemukan bahwa enzim alkalin fosfatase terdistribusi di hepatic duct sampai saluran pencernaan. Selanjutnya dijelaskan bahwa secara imunohistokimia asam fosfat ditemukan pada bagian kelenjar pencernaan dan filamen atau lembaran insang.

Saat ini, matriks ekstraseluler kapur dari cangkang muncul sebagai suatu sistem yang terintegrasi. Sistem ini mengatur protein mineral, interaksi protein-protein serta

Gambar

Gambar 21  Metabolisme basal (C-J g -1 jam -1
Gambar 25  Kadar kalsium hemolimf (µg Ca l -1
Gambar 27  Laju pertumbuhan bobot rataan harian (%) kijing yang diimplantasi dengan        perlakuan jumlah 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm        selama pemeliharaan
Gambar 29  Laju pertumbuhan bobot cangkang rataan harian (%) yang diimplantasi        dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm        selama pemeliharaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 8 Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 17 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Kendal.. Pasal 8 Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2011

Dari 13 kasus perceraian yang terjadi di luar pengadilan yang tidak diselesaikan melalui Mahkamah Syari’yah Kota Langsa, ditemukan 9 kasus diantaranya bahwa

Dengan ini kami mengembangkan dari dua penelitian sebelumnya yang dapat menampilkan ketinggian air, debit air, dan lokasi banjir berada kedalam website untuk admin

DATA HASIL INVENTARISASI PLOT SAMPEL PENDUGAAN BIOMASSA DAN KARBON HUTAN MENGGUNAKAN METODE IHMB DI PT. BATU KARANG SAKTI, KABUPATEN

Kasi Rehsos Luar Panti Subdit Rehsos ODK Tubuh dan BPP Kronis Direktorat Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Kecacatan Kementerian Sosial..

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Komposisi spesies tumbuhan sepanjang pantai Desa Kerobokan-Desa Sangsit, dan Desa Giri Mas adalah sebanyak 21 spesies yang terdiri

Sebelum perlakuan pada penelitian ini yaitu melakukan pengukuran awal tekanan darah pada pasien Hipertensi Pada Lansia Di Dusun Krajan Desa Truwolu pada 36 responden

Pelaksanaan kampanye yang dilakukan oleh Partai NU salah satunya adalah kegiatan yang dilakukan di Jombang pada tanggal 15 s/d 18 April 1971 dengan 700 alim