PLURALISME AGAMA DAN SOLIDARITAS INTELEKTUAL:
SEBUAH PERSPEKTIF KRISTIANI
Oleh Benyamin F. Intan1 I. Pengantar
Interpretasi yang beragam terhadap Pancasila sebagai “ideologi terbuka” (open
ideology) adalah sesuatu yang wajar, asal saja tidak ada usaha untuk saling memaksakan,
sebaliknya selalu berupaya mencari jalan tengah untuk menghadirkan nilai-‐nilai “kebaikan bersama” (common good) yang baru, itulah semangat pluralisme yang dijunjung Pancasila dalam slogannya, Bhinneka Tunggal Ika. Sayangnya, interpretasi yang beragam itu oleh Orde Baru dianggap sebagai bahaya yang harus ditiadakan. Ditetapkannya interpretasi tunggal atas Pancasila yang kemudian menjadi asas tunggal membuat Pancasila tidak lagi mampu berfungsi dalam menghadirkan nilai-‐nilai yang mengandung kebaikan bersama. Pancasila yang mestinya menjadi payung yang lebar bagi kelompok agama-‐agama menjadi menyempit. Bahkan kemudian, Pancasila menjadi sistem tertutup (closed system) yang anti keragaman. Disini, pluralisme yang telah lama tumbuh dengan subur di bumi Indonesia mulai terpinggirkan, apalagi dengan makin menguatnya otoritarianisme Orde Baru, ironisnya ini terus terjadi di era reformasi dan hingga kini masih tetap memprihatinkan.
Menguapnya penghargaan terhadap pluralisme itu kemudian menafikan nilai-‐nilai kebaikan bersama, yang hadir kemudian adalah nilai-‐nilai yang eksklusif dan diskriminatif dari usaha transformasi Pancasila ke dalam undang-‐undang, karena transformasi Pancasila ke dalam undang-‐undang itu tidak lagi diwadahi oleh semangat Bhinneka Tunggal Ika yang adalah jiwanya Pancasila yang menghargai pluralisme agama, dan pada kondisi ini, Pancasila menjadi tidak bermakna.
Ditetapkannya perda-‐perda agama yang marak pada awal reformasi dan terus berlanjut hingga saat ini adalah bukti yang tak terbantahkan makin menipisnya penghargaan terhadap pluralisme. Kehadiran perda-‐perda agama itu memang di klaim demokratis, namun pada realitasnya, banyak kelompok agama yang terdiskriminasikan. Fakta makin menipisnya penghargaan terhadap pluralisme yang adalah syarat penting untuk menghadirkan negara yang demokratis itu terbaca jelas dengan kuatnya hujatan terhadap pluralisme itu. Disini definisi pluralisme dari agama-‐agama yang berbeda itu menjadi suatu kebutuhan.
Demikian juga untuk menumbuhkan kesadaran pentingnya pluralisme yang meniscayakan nilai-‐nilai kebaikan bersama menurut penulis diperlukan suatu revitalisasi kebaikan bersama. Untuk itu “solidaritas intelektual” (intellectual solidarity) adalah syarat penting yang harus ditumbuhkan, dan agama-‐agama tentunya berkewajiban mencari dasar yang kokoh untuk menumbuhkan solidaritas intelektual itu. Dalam tulisan ini penulis akan
1 Penulis adalah Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion and Society, Jakarta. Berlatar belakang
Teknik Elektro, penulis melanjutkan studi Teologi dan Etika Sosial di USA: memperoleh gelar M.A. in Theological Studies (M.A.T.S.) di Reformed Theological Seminary, gelar M.A. in Religion (M.A.R.) dalam bidang Etika Sosial di Yale University, serta gelar Ph.D. dalam bidang Etika Sosial di Boston College tahun 2004.
memberikan sumbangan pemikiran dari perspektif Kristen untuk meletakkan landasan bagi pertumbuhan solidaritas intelektual.
II. Pluralisme Agama
Pluralisme agama bukan hanya sebuah “kenyataan” (what is) yang harus diterima, tapi juga suatu “keharusan” (what ought) yang tidak dapat dihilangkan. Teologi Kristen mengkonfirmasi akan hal ini. Salah satu fase terpenting dalam the Biblical story adalah fase kejatuhan manusia ke dalam dosa (the Fall). Yang terjadi sesungguhnya dalam the Fall adalah Allah mengijinkan kebebasan manusia bukan hanya untuk menyembah “allah lain,” tapi juga untuk memberontak melawan Dia. Disini pertama kalinya Tuhan membolehkan pluralisme agama. Jikalau Tuhan sendiri, Oknum yang paling berkepentingan terhadap agama, “mengharuskan” pluralisme agama, lalu siapa kita yang notabene hanya ciptaan Tuhan, berani melarang, bahkan “menghujat” pluralisme agama.
Patut dicatat, pluralisme agama secara menyeluruh dan holistik harus dimengerti sebagai “keharusan kategoris” (categorical imperative) yang bersifat universal dan
unconditional. Sedangkan pluralisme agama secara parsial dan fragmentasi berciri “keharusan
hipotetis” (hypothetical imperative) dengan sifatnya yang particular dan conditional.
Kisah the Fall juga mengajarkan kita bahwa prinsip “kebebasan beragama” (baca: kebebasan berpindah agama) tidak bisa dilepaskan dari konsep pluralisme agama. Tuhan mengijinkan manusia berpindah agama dengan menyembah “allah lain,” allah-‐allahan, allah yang bukan diriNya. Dengan demikian, mirip pluralisme agama, kebebasan beragama berciri keharusan kategoris. Kekristenan sebagai “agama hati” dengan ethics of being sangat menjunjung tinggi prinsip kebebasan beragama (contoh Yudas). Doktrin pilihan (doctrine of
election) yang diprakarsai Rasul Paulus dan Bapa Gereja Augustinus menuntut kebebasan
beragama dari pihak agama lain.
Dengan demikian, jelaslah pluralisme agama bukan “indiferentisme relijius” yang menganggap semua agama sama baiknya dan sama benarnya, yang disalahmengertikan MUI (Majelis Ulama Indonesia) sehingga mengeluarkan fatwa haram untuk pluralisme agama karena pluralisme agama dianggap merelatifkan agama-‐agama yang akhirnya menuju pada sinkretisme agama. Padahal, menerima pluralisme agama tidak harus merelatifkan agama-‐ agama apalagi menyamakan semua agama untuk kemudian mencampurkannya secara bersama.
III. Solidaritas Intelektual
Seperti telah disinggung di atas, keberadaan pluralisme agama bukan hanya sebuah kenyataan, tapi juga suatu persoalan. Untuk menyelesaikan pluralisme agama sebagai suatu persoalan, menurut hemat penulis, amatlah tepat mendasarkannya pada prinsip perspektif “solidaritas intelektual” (intellectual solidarity) yang didefinisikan Prof. David Hollenbach dari Boston College sebagai berikut:
Solidaritas intelektual adalah salah satu faktor kunci bagi revitalisasi kebaikan bersama (common good) di dalam dunia kita yang beragam secara religius dan budaya....Solidaritas intelektual adalah orientasi yang mengarahkan seseorang untuk melihat perbedaan-‐perbedaan secara positif dan bukannya dengan pola pikir yang ditandai oleh kecurigaan atau ketakutan. Solidaritas intelektual mulai dari sikap yang
menerima pemahaman-‐pemahaman asing atau aneh mengenai kebaikan bersama ke dalam dunia mental seseorang di dalam semangat keramahan, bukannya berjaga-‐jaga dengan curiga terhadap pemahaman-‐pemahaman tersebut. Orientasi yang menerima ini diharapkan bisa mempelajari sesuatu yang berharga dengan mendengarkan orang-‐ orang yang mempunyai pemahaman mengenai kebaikan bersama yang berbeda dengan pandangan sendiri. Orientasi ini juga diharapkan bisa mengajarkan sesuatu yang berharga kepada mereka yang berbeda dengan cara berbicara kepada mereka dengan penuh rasa hormat tentang pemahaman sendiri mengenai kebaikan bersama. Solidaritas intelektual tumbuh dari sikap belajar saling memberi-‐menerima di antara orang-‐orang yang melihat dunia dengan cara berbeda. Solidaritas intelektual adalah sebuah sikap yang didasarkan pada harapan bahwa kita benar-‐benar bisa mencapai suatu titik dimana jika kita memutuskan untuk mendengarkan mengenai apa yang dipikirkan oleh orang-‐orang lain tentang seperti apa kebaikan bersama itu dan pada gilirannya menceritakan kepada mereka mengapa kita melihat kehidupan yang baik itu sebagaimana kita melihatnya.2
Solidaritas intelektual pada hakikatnya adalah toleransi dalam bentuknya yang paling kuat, seperti dijelaskan Prof. David Little dari Harvard Divinity School,
Dalam arti ini, seorang yang toleran adalah orang yang berpikiran terbuka, yang menerima keberagaman. Toleransi menurut arti ini tidak berarti kesepakatan total atau menerima kepercayaan-‐kepercayaan lain. Jika terdapat kesepakatan total, seluruh ide toleransi hilang. Tetapi, toleransi mengandung arti, seseorang bisa belajar sesuatu dari kepercayaan-‐kepercayaan lain tanpa memeluknya secara penuh, dan toleransi juga mengandung arti bahwa bahkan dimana ketidaksepakatan dan ketidaksetujuan yang tajam berlanjut, proses perbedaan pendapat dan argumentasi di antara ide-‐ide yang bersaing melayani kepentingan semua orang secara bersama-‐sama. Rasa sakit yang muncul ketika menghadapi kepercayaan-‐kepercayaan yang tidak bisa diterima atau menyimpang, atau dengan kritik yang “membuat menderita,” memberikan manfaat besar karena di dalam proses itu wawasan-‐wawasan menjadi tajam, dan orang menjadi lebih jujur dan lebih kritis terhadap diri sendiri, semuanya di dalam kerangka yang tidak menggunakan kekerasan daripada dengan menggunakan kekerasan. Seperti halnya latihan tubuh, ada manfaat dari rasa sakit.3
Berdasarkan kedua kutipan di atas, pluralisme agama dalam bangunan solidaritas intelektual mencakup beberapa hal: Pertama, pluralisme agama bukan hanya sekedar menghargai keberagaman agama, tetapi lebih dari itu menerima keberagaman sebagai hal positif untuk melakukan oto kritik (self-‐critical). Itu sebabnya mengapa pluralisme agama adalah sebuah keharusan. Dengan demikian, keharusannya bukan lagi sekedar “keharusan yang tidak dapat dihilangkan,” tetapi “keharusan yang membawa manfaat.”
2 David Hollenbach, The Common Good and Christian Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), hal.
138.
3 David Little, “Tolerance, Equal Freedom, and Peace: A Human Rights Approach,” dalam The Essence of Living
Kedua, pluralisme agama berbasis solidaritas intelektual sangat menghargai proses
dialog take-‐and-‐give. “Serious dialogue,” kata Hollenbach, “is risky business.” Artinya, dialog serius menuntut perubahan pada kedua belah pihak. Adalah sah-‐sah saja jika setiap agama mengklaim kebenaran yang dimilikinya sebagai kebenaran universal yang bersifat intrinsik, artinya kebenaran yang dapat diterima oleh berbagai kelompok agama yang berbeda. Namun paradigma keuniversalan masing-‐masing agama bukan hanya tercermin pada kemampuannya untuk berkontribusi (to give), tapi juga pada keterbukaannya untuk menerima (to take). Kekristenan yang meyakini akan adanya anugerah umum (common grace) menghargai kebenaran agama-‐agama dan kebudayaan di dalam mengemban mandat budaya (cultural
mandate) sebagai reaksi terhadap wahyu umum (general revelation) Allah.4
Ketiga, berfondasikan solidaritas intelektual, pluralisme agama mengharuskan
kebebasan beragama bukan hanya dalam bentuk negative immunity bahwa agama harus bebas dari cengkraman kekuatan sosial-‐politik termasuk negara, tetapi juga dalam pengertian
positive immunity dimana agama distimulasi menjalankan peran publiknya dalam kehidupan
sosial-‐politik bangsa.5 Tanpa jaminan negative immunity, positive immunity mustahil direalisasikan. Keempat, pluralisme agama dengan solidaritas intelektual mensyaratkan ruang publik (public sphere) memiliki empat karakteristik utama: participation, plurality, persuasion, dan comonality.6 Tanpa keempat elemen tersebut, peran publik agama menjadi kerdil dan kontraproduktif.
Kelima, itu berarti misi agama-‐agama di ruang publik dalam konteks pluralisme agama
berlandaskan solidaritas intelektual, sudah semestinya bukan usaha untuk menuntut dominasinya dan memarginalkan yang lain terlebih lagi menghapus eksistensi agama lain (live
and let die). Hubungan antar agama juga bukan coexistence, pada kondisi ini memang ada
pembicaraan antar agama yang berbeda itu, tapi tidak saling menyapa, artinya dalam hubungan ini agama bertekad untuk tidak saling mengganggu (live and let live) sehingga belum muncul kesadaran interdependensi (interdependence). Pada realitas seperti itu partisipasi agama terhadap agama lainnya masih sangat minim. Hubungan yang terbaik adalah proexistence yang ditandai dengan usaha untuk saling memperhatikan yang lahir dari kesadaran adanya interdependensi. Pada kondisi ini, agama-‐agama yang pasif bukan saja tidak boleh dibiarkan mati tetapi juga harus diaktifkan untuk memberikan kontribusinya karena interdependensi agama mensyaratkan terhapusnya eksistensi satu agama akan berpengaruh pada hasil genuine civil consensus yang mau dicapai. Apabila kesadaran interdependensi agama ini terus bertumbuh maka maksimalisasi agama dalam ruang publik dapat dimungkinkan.
IV. Masa Depan Pluralisme Agama
Pluralisme agama adalah sesuatu yang niscaya dalam suatu negara yang demokratis. Penerimaan pluralisme agama bukanlah mengarahkan pada usaha untuk merelatifkan agama-‐
4 Benyamin F. Intan, “Hegemoni Agama,” Suara Pembaruan, 16 Juni, 2007.
5 David Hollenbach, “Public Reason/Private Religion? A Response to Paul J. Weithman, ” Journal of Religious
Ethics 22, no. 1 (1994): hal. 42.
6 William Johnson Everett, Religion, Federalism, and the Struggle for Public Life, hal. 13-15. Lihat juga William
Johnson Everett, God's Federal Republic: Reconstructing Our Governing Symbol (New York: Paulist Press, 1988), hal. 54-62, 129-44.
agama yang ada. Sebaliknya penerimaan terhadap pluralisme agama adalah sesuatu yang didasarkan oleh solidaritas intelektual yang sangat menghargai keberbedaan. Agama-‐agama boleh saja berbelas kasihan terhadap orang beragama lain yang tidak memeluk agama, sesuai yang dipercayainya, sebagaimana yang tercetus dalam misi agama-‐agama, namun ketika menjalankan misi agamanya tidak boleh memaksakan kepercayaannya kepada yang berbeda agama.
Kesediaan untuk mendengarkan orang lain juga tidak mesti diartikan sebagai sikap kompromi, sinkretis yang mencampuradukkan agama atau menyamakan semua agama. Kesediaan menerima kebenaran-‐kebenaran universal-‐intrinsik yang berasal dari agama-‐agama yang berbeda merupakan suatu pertanda keterbukaan dan kejujuran bahwa kebenaran juga ada dalam agama lain berdasarkan anugerah umum Allah, dan penerimaan kebenaran agama itu tidak perlu diartikan persetujuan akan kesamaan agama-‐agama, tetapi itu adalah aplikasi dari dialog antar agama yang saling memberi dan menerima. Kebenaran adalah milik Tuhan (all truth is God’s truth), dan Tuhan dapat memberikan kebenarannya dengan cara-‐Nya sendiri menurut kehendak kedaulatanNya (God’s sovereign will).
Pemahaman bahwa kebenaran adalah milik Tuhan akan menolong kita untuk terbuka pada setiap kebenaran yang berasal dari manapun, tak perduli agama apapun yang mengutarakannya, kebenaran tetap kebenaran yang semestinya diterima, karena kebenaran itu dibutuhkan manusia untuk hidup bersama dengan baik. Dengan demikian jelas, penerimaan kebenaran agama-‐agama yang berbeda bukanlah merupakan percampuran agama, tetapi memperkaya agama-‐agama. Keragaman agama tetap terpelihara, namun agama-‐agama mampu memetik manfaat dari agama-‐agama yang ada dari suatu pengorbanan dalam aplikasi solidaritas intelektual mereka.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pluralisme agama merupakan suatu keniscayaan karena itu adalah pengakuan bahwa agama-‐agama dapat belajar dari agama-‐ agama yang berbeda tanpa harus merelatifkan agama yang dianutnya. Dalam hubungan dengan “bidat,” pengakuan bahwa kebenaran tersebar dimana-‐mana dan ada dalam setiap agama, itu berarti dialog agama-‐agama juga harus dapat terjadi antara agama dan agama yang disebut “bidat,” karena kesediaan mendengar “bidat” pun setidaknya dapat memperluas wawasan umat beragama.