TAFSIR NEGARA PANCASILA DAN AGAMA
Oleh : Dr. Ir. Sri Suwartiningsih, M.Si (dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi UKSW Salatiga) Tgl Publikasi : 30 September 2010
TRAGEDI berdarah G30S oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) kini tidak lagi diperingati oleh bangsa
Indonesia. Berbeda dari zaman Orde Baru, tiap tanggal 30 September selalu diputar film yang
memperlihatkan kekejaman PKI itu, melalui televisi atau bioskop dengan menghadirkan anak sekolah
yang diwajibkan menontonnya. Dengan tidak diputarnya lagi film itu, apakah karena Indonesia sudah
benar-benar terbebas dari ancaman ideologi komunis atau perubahannya? Nyatanya sekarang terorisme
meningkat dan pelakunya merupakan aktor-aktor perang ideologi. Ideologi agama menjadi salah satu
domain ideologi dari teroris, dalam hal ini adalah ideologi agama Islam. Tidak dapat dimungkiri bahwa
usia kemerdekaan negara kita sudah 65 tahun. Secara biologis sudah masuk kategori lanjut usia (lansia),
seandainya manusia boleh saja pikun (pelupa) tetapi apakah elite politik dan rakyat juga sudah
mengalami sindrom pikun terhadap roh dasar dari terbentuknya negara ini atau berpura-pura pikun.
Lalu apa sebenarnya yang sudah dilupakan orang-orang? Penulis sedikit membuka roh dasar ideologi
dari pendiri negeri ini. Roh tersebut salah satu di antaranya menyoal hubungan antara agama dan
negara. Pada waktu itu para pendiri negara tidak mudah membuat keputusan. Sejarah menceritakan
bahwa ada pertentangan alot antara kubu nasionalis dan kubu Islam pada saat mempersiapkan ideologi
negara. Kaum Islam yang diwakili Sukiman (tokoh Masyumi) menyatakan, Menciptakan negara Islam di
Indonesia adalah tujuan kemerdekaan. Kaum nasionalis (diwakili Ir Soekarno) menyatakan rencana UUD
memuat persatuan agama dan negara tentu akan ditolak oleh badan perwakilan, atau bila dipaksakan,
berarti demokrasi ditinggalkan. Bagi Soekarno hanya ada dua alternatif dalam hubungan ini yaitu
persatuan staat-agama tetapi zonder democratie, atau democratie tetapi staat dipisahkan dari agama
(Noer, 1982 dalam Dwiyatmi, 2010) Berdasarkan dokumen sejarah dan seiring perjalanan waktu negara
ini, apakah aktivitas aktor negara sudah mengimplementasikan tentang hubungan agama dan negara
yang mendukung kesatuan dan persatuan, atau justru sebaliknya. Lihatlah, Peraturan Bersama Menag
dan Mendagri (biasa disebut PBM) Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 yang mengatur pemeliharaan dan
pemberdayaan kerukunan umat beragama dan prosedur pendirian tempat ibadah, sebenarnya dasar
filosofinya apa sehingga mengalami distorsi pemaknaan. Pluralisme Negara Kalau memang tidak akan
direvisi maka bagaimana pembuat kebijakan dapat memberikan penjelasan yang dapat diterima secara
adil oleh semua pemeluk agama yang membutuhkan rumah ibadah. Sebenarnya, penggali Pancasila, Ir
ini memahami dasar tersebut sebagai fondasi dalam membangun rumah negeri Indonesia dengan ciri
bangsa yang berkebangsaan. Nasionalisme kita adalah paham kebangsaan yang menerima rasa
hidupnya sebagai suatu wahyu, dan menjalankan rasa hidupnya itu sebagai suatu bakti. Me-review
sejarah intelektual, dapat dianalisis bahwa jika pelaku bangsa ini konsisten menaati substansi yang
sudah ditulis pendiri negeri ini maka negeri ini tidak akan menjadi lahan yang subur bagi teroris dan
kaum yang tidak cinta persatuan dan kerukunan antarumat beragama. Next, what can I do? Sebagai
bangsa yang ingin dan cinta damai maka masing-masing pribadi dari warga negara hendaknya sadar
bahwa negeri ini dapat terwujud lewat perjuangan dan pengorbanan. Karena itu, agar tidak tersesat dan
menuju persimpangan, sekali-kali perlu menoleh ke belakang. Bung Karno selalu mengingatkan tentang
jas merah(jangan sekali-kali melupakan sejarah). Dalam konteks Hari Kesaktian Pancasila, kita bisa
menerjemahkan bahwa Indonesia bukan milik agama tertentu. Berbekal semangat bahwa negeri ini
dibangun dengan susah payah maka motivasi untuk selalu bergandengan tangan dan tidak mudah
terprovokasi bisa menjadi daya yang kuat dalam menjalin persatuan dan kesatuan antarumat serta