• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan hukum pidana Islam terhadap penganiayaan yang mengakibatkan cacat seumur hidup : studi putusan nomor : 107/Pid.B/2013/PN.Pso.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan hukum pidana Islam terhadap penganiayaan yang mengakibatkan cacat seumur hidup : studi putusan nomor : 107/Pid.B/2013/PN.Pso."

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

“TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN CACAT SEUMUR HIDUP”

(Studi putusan Nomor : 107/Pid.B/2013/PN.Pso)

SKRIPSI

Oleh:

Khotibul Umam

NIM C33213065

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Fakultas Syari’ah dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam Program Studi Hukum Pidana Islam

Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi dengan judul Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Penganiayaan yang mengakibatkan cacat seumur hidup ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab pertanyaan bagaimana pertimbangan hukum Hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Poso nomor : 107/Pid.B/2013/Pn.Pso tentang tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan cacat seumur hidup, serta bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan Pengadilan Negeri Poso nomor : 107/Pid.B/2013/Pn.Pso tentang tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan cacat seumur hidup.

Data penelitian ini dihimpun melalui kajiana teks putusan yang selanjutnya akan dianalisis menggunakan teknik deskriptif analisis.

Hasil penelitian ini menemukan fakta bahwa dalam putusan Pengadilan Negeri Poso nomor: 107/Pid.B/2013/Pn.Pso tentang tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan cacat seumur hidup, Majelis Hakim memutuskan untuk menjatuhkan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun penjara kepada terdakwa. Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan

meyakinkan melakukan tindak pidana “Penganiayaan berat” yang mengakibatkan korban menderita cacat seumur hidup pada kedua tangannya, sebagaimana yang didakwakan kepada terdakwa yaitu dakwaan primair pasal 354 ayat (1) tentang penganiayaan berat. Dalam hukum Pidana Islam, penganiayaan hukuman pokoknya adalah hukuman kisas, namun ada beberapa hal yang mengakibatkan kisas susah untuk diterapkan dalam kasus ini, jadi hukuman diat adalah hukuman yang bisa diterapkan dalam kasus ini. Jika dikenakan hukuman diat maka terdakwa harus membayar diat sebesar 100 (seratus) ekor unta kepada korban.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 11

C. Batasan Masalah... 12

D. Rumusan Masalah ... 12

E. Kajian Pustaka ... 13

F. Tujuan Penelitian ... 15

G. Kegunaan Hasil Penelitian ... 15

(8)

I. Metode Penelitian ... 17 J. Sistematika Pembahasan ... 19

BAB II TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM.

A. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan ... 21 B. Pembagian Tindak Pidana Penganiayaan ... 22 C. Hukuman Tindak Pidana Penganiayaan ... 25

BAB III PUTUSAN PENGADILAN NEGERI POSO NOMOR 107/PID.B/2013/PN.PSO TENTANG TINDAK PIDANA

PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN CACAT

SEUMUR HIDUP

A. Deskripsi Kasus ... 46 B. Dasar Hukum Hakim ... 57 C. Amar Putusan Pengadilan ... 66

BAB IV TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP

TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG

(9)

A. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim dalam Putusan Pengadilan NegeriPosoNomor: 107/Pid.B/2013/Pn.pso tentang Penganiayaan yang mengakibatkan cacat seumur

hidup ... 71

B. Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap pertimbangan hukum hakim dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan cacat seumur hidup

(studi putusan nomor 107/Pid.B/2013/PN.Pso) ... 78

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 91 B. Saran ... 93 DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kejahatan selalu ada dan muncul di dalam kehidupan masyarakat, dengan perkembangan zaman yang semakin modern, kejahatan berkembangan bersama dengan mengikuti zaman, dengan banyaknya kejahatan baru yang muncul di zaman modern ini. Semakin banyaknya kejahatan baru yang muncul, manusia ingin hidup secara tentram, tertib, damai dan berkeadilan.1 Apa yang menyebabkan suatu perbuatan dianggap sebagai tindak kejahatan tidak lain adalah karena pebuatan ini sangat merugikan bagi masyarakat, dirugikan dari segi harta benda, nama baik, kehormatan, jiwa dan lainnya.

Hukum pada pokoknya adalah produk pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subjek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan, atau keharusan, ataupun kebolehan. Hukum negara adalah hukum yang ditetapkan dengan keputusan kekuasaan negara sebagai hasil tindakan pengaturan, penetapan, dan pengadilan.2 Salah satunya adalah hukum pidana dan hukum pidana Islam. Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan dan larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah

1 Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya menanggulangi kejahatan dalam Islam), (Jakarta : PT Raja

Grafindo Persada, 2000). 5

(11)

2

dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman.3 Sedangkan Hukum pidana Islam kerap digambarkan dengan wajah yang kejam dan tidak manusiawi. Kesan itu muncul karena dilihat secara tidak utuh. Seharusnya hukum pidana Islam dibaca dalam konteks yang menyeluruh dengan bagian lain dari syariat Islam. Contoh hukuman potong tangan yang sering dituding terlalu kejam dan tidak adil. Padahal, hukuman ini baru dijatuhkan ketika sejumlah syarat yang ketat dipenuhi.4 Suatu sanksi diberikan kepada pelanggar peraturan dengan tujuan agar seseorang tidak mudah berbuat tindak pidana dan pembelajaran bagi pelaku dan juga masyarakat yang luas.5

Hukum pidana tidak hanya berkaitan dengan penentuan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana serta kapan orang yang melakukan perbuatan pidana itu dijatuhi pidana, tetapi juga proses peradilan yang harus dijalankan oleh orang tersebut. Dalam artian hukum pidana mengandung 2 hal yaitu hukum pidana formal dan materiil. Hukum pidana formal diatur dalam KUHAP sedangkan hukum pidana materiil diatur dalam KUHP.6 Perbuatan – perbuatan pidana ini menurut ujud atau sifatnya adalah bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, mereka adalah perbuatan yang melanggar hukum. Tegasnya : mereka merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang baik dan adil.

3 Lamintang, Dasar-dasar Hukum pidana (Jakarta : Sinar Grafika, 2014). 2

(12)

3

Karenanya perbuatan itu dilarang keras atau pantang dilakukan.7 Contoh perbuatan-perbuatan yang mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat adalah tindak pidana penganiayaan.

Penganiayaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur dalam pasal 351-355 Kuhp yang dibagi menjadi 5 jenis penganiayaan yaitu :8

1. Penganiayaan ringan yang diatur dalam pasal 352 KUHP. 2. Penganiayaan biasa yang diatur dalam pasal 351 KUHP.

3. Penganiayaan biasa yang direncanakan diatur dalam pasal 353 KUHP. 4. Penganiayaan berat yang diatur dalam pasal 354 KUHP.

5. Penganiayaan berat yang direncanakan diatur dalam pasal 355 KUHP. Seperti kasus yang terjadi di desa tadaku jaya kecamatan petasian kabupaten morowali Poso. Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh terdakwa Andi Iskandar yang telah menganiaya korban yang benama Syamsu Nabi. Bahwa terdakwa Andi Iskandar, pada hari Sabtu tanggal 26 Januari 2013 sekitar jam 21.00 Wita atau setidak-tidaknya pada bulan Januari 2013, bertempat Desa Tadaku Jaya Kecamatan Petasia Kab. Morowali, di saat saksi Syamsu Nabi sedang berjalan dijalan desa Tadaku Jaya dengan tujuan hendak ke rumah Adi baru saja berjalan beberapa meter didepan rumah, saksi bertemu dengan terdakwa Andi Iskandar yang berjalan dari arah depan yang lalu bertanya kepada saksi dengan menggunakan

bahasa bugis yang berarti “… mau kemana..” dijawab oleh saksi Syamsu

Nabi dengan bahasa bugis yang artinya “.. mau ke rumah Adi.., saya mau

(13)

4

pulang ke selatan sebentar subuh..” mendengar jawaban saksi Syamsu

tersebut tanpa sebab yang jelas secara tiba-tiba terdakwa Andi Iskandar menyerang saksi Syamsu Nabi dengan menggunakan sebilah parang terhunus dengan cara mengayunkan parang secara kuat dan cepat yangdipegangnya dengan tangan kiri kearah saksi Syamsu Nabi yang mengenai pinggang sebelah kanan, setelah itu terdakwa kembali mengayunkan parang yang dipegangnya secara kuat dan cepat kearah saksi Syamsu Nabi, mendapat serangan tersebut saksi Syamsu kaget secara spontan berusaha untuk menangkap parang yang ditebaskan oleh terdakwa tersebut namun terdakwa menarik secara kuat sehingga pegangan saksi terlepas, setelah itu terdakwa kembali secara membabi buta menyerang saksi Syamsu Nabi secara berulang kali dengan cara menebaskan/mengayunkan parangnya secara kuat dan cepat kearah tubuh saksi Syamsu Nabi yang mengenai bahu sebelah kanan dan rahang saksi Syamsu Nabi, karena mendapat serangan secara bertubi-tubi tersebut saksi yang sudah kewalahan berteriak minta tolong hingga terdakwa menghentikan perbuatannya dan pergi meninggalkan saksi Syamsu Nabi.

(14)

5

penjara maksimal 8 tahun, namun dalam kasus ini putusan hakim menghukum terdakwa hanya dengan pidana penjara 3 Tahun.9

Pengertian dari istilah Jinayah pada dasarnya mengacu pada hasil perbuatan seseorang pengertian tersebut hanya terbatas pada perbuatan yang dilarang, di kalangan Fuqaha, jinayah berarti perbuatan-perbuatan yang terlarang menurut syarak. Meskipun demikian pada umumnya, fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa. Selain itu terdapat fuqaha yang membatasi istilah jinayah kepada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hu<dud dan

kisas, tidak termasuk perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman takzir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayah adalah Jarimah yaitu larangan-larangan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had dan takzir.10 Sedangkan tujuan hukum Islam (syarak) dapat terbagi manjadi tiga tingkatan. Pertama, tingkatan al-d}aruriyah yaitu tingkatan esensi dalam kehidupan manusia, baik kehidupan diniyah maupun dunia. Kedua tingkatan al-h}a>jjiyah yaitu segala yang dibutuhkan manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak masyaqot. Ketiga tingkatan al-tahsiniyah yaitu segala

yang berhubungan dengan kewibawaan dan keutamaan akhlaq sekedar untuk

memenuhi keindahan tradisi, baik dalam ibadah, mu’amalah, kebiasaan

maupun uqu>bat.11

9 Putusan Nomor : 107/PID.B/2013/PN.PSO

10 Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya menanggulangi kejahatan dalam Islam)., Hal. 1

(15)

6

Ditinjau dari unsur-unsur jarimah atau tindak pidana, objek utama kajian fikih jinayah dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu : rukn al-syar’i atau unsur formil, al-rukn al-madi atau unsur materiil, al-rukn al-adabi

atau unsur moril. Sedangkan bentuk jarimah dibagi menjadi tiga macam yaitu : jarimah h}u<dud, jarimah kisas/diat, dan jarimah takzir.12 Kisas adalah

hukuman timbal balik bagi tindak pidana jiwa dan selain jiwa. Penganiayaan dalam hukum pidana Islam di hukumi dengan hukuman kisas sebagai hukuman pokok dan diat atau takzir sebgai hukuman pengganti.

Kisas dalam penganiayaan secara eksplisit dijelaskan dalam surat Al-Maidah :

َ نلا َنَأ اَهيِف ْمِهْيَلَع اَنْ بَ تَكَو

ِّنِّسلِِ َنِّسلاَو ِنُذُِِْْ َنُذُْْاَو ِفْنَِِْْ َفْنَْْاَو َِْْعْلِِ ََْْعْلاَو ِسْفَ نلِِ َسْف

ٌصاَصِق َحوُرُْْاَو

“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat)

bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga oleh telinga, gigi dengan gigi, dan laku-luka (pun) ada kisashnya” (QS. Al-Maidah : 45).13

Dalam kajian ushul fikih, ayat ini termasuk salah satu syariat umat sebelum Islam yang diperselisihkan ulama. Antara lain pendapat para ulama :14

12 Nurul Irfan, Musyarofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta : Amzah, 2013). 2

(16)

7

1. Menurut jumhur ulama, Hanafiyah, malikiyah, sebagian Syafi’iah, dan

sebuah riwayat ahmad, dimana pendapat ini dinilai sebagai yang paling tepat, ayat-ayat tentang kisash terhadap anggota badan tetap berlaku bagi umat Islam.

2. Menurut Asy’ariyah, Mu’tazilah dan sebagian pengikut Syafi’iah,

yang juga didukung oleh Al-zuhaili, Al-ghazali, Al-amidi, Al-razi dan

Ibnu Hazm. Berpendapat bahwa syari’at ini tidak berlaku bagi umat

Islam.

3. Menurut Ibnu Al-Qusyairi dan Ibnu Burhan, terhadap ayat samacam ini lebih baik bersikap diam sampai terdapat dalil shahih yang menegaskan.

Dari pendapat di atas menurut jumhur ulama lah yang paling kuat

dengan dasar dari Al qur’an surat Asy-syura :

ىَصَو اَم ِنيِّدلا َنِم ْمُكَل َعَرَش

ْ يَحْوَأ يِذَلاَو اًحوُن ِهِب

ىَسوُمَو َميِاَرْ بِإ ِهِب اَنْ يَصَو اَمَو َكْيَلِإ اَن

ىَسيِعَو

ۖ

ۚ ِهيِف اوُقَرَفَ تَ ت َََو َنيِّدلا اوُميِقَأ ْنَأ

ۚ ِهْيَلِإ ْمُوُعْدَت اَم َِْكِرْشُمْلا ىَلَع َرُ بَك

ِهْيَلِإ َِِتََْ ََُا

ُبيِنُي ْنَم ِهْيَلِإ يِدْهَ يَو ُءاَشَي ْنَم

“ Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah

(17)

8

tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya” ( QS.

Asy-Syura : 13).15

Tindak pidana atas selain jiwa dibagi menjadi tiga bagian : Tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja, Tindak pidana atas selain jiwa yang menyerupai sengaja, dan Tindak pidana atas selain jiwa karena kesalahan. Perbedaan yang paling mencolok dalam tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja, menyerupai sengaja, dan kesalahan adalah dalam bentuk hukuman pokok. Dalam tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja sepanjang kondisi memungkinkan hukuman pokoknya adalah kisas. Sedangkan untuk menyerupai sengaja dan kekeliruan, hukuman pokoknya adalah diat atau irsh. Namun diat dan irsh juga diberlakukan untuk tindak pidana sengaja sebagai pengganti kisas.16

Jenis-jenis jarimah penganiayaan yaitu : Pertama penganiayaan yang berupa memotong atau merusak anggota tubuh korban seperti memotong tangan, kaki, jari atau yang lainnya. Yang biasa disebut al-Athraf. Kedua menghilangkan fungsi anggota tubuh walaupun fisiknya masih utuh. Ketiga penganiayaan fisik bagian kepala dan wajah (ash-Shajjaj). Keempat penganiayan dibagian tubuh (al-Jarh}) terdiri dari dua macam yaitu al-Ja>’ifah

dan ghairu al-Ja>’ifah. Kelima penganiayaan yang tidak termasuk kedalam empat kategori di atas .17

15

Kemenag, Al - Quran dan terjemahannya,

(18)

9

Diat adalah ganti rugi yang wajib dibayarkan oleh orang yang melakukan pencideraan terhadap jiwa dan anggota tubuh. Diat ada dua macam : kategori berat dan kategori ringan. Diat berat adalah 100 ekor unta dari 30 unta Hiqqah, 30 unta Jadza’zah dan 40 unta khalifah (unta hamil). Diat ringan adalah total 100 unta dari 20 untuk Hiqqah, 20 Jadza’ah, 20 unta

bintu labun, 20 unta ibnu labun, dan 20 unta bintu makhad. Untuk pembayaran Diat untuk yang mencederai anggota badan : setiap tangan dan kaki seharga 50 ekor unta. Hidung setiap lubang seharga sepertiga Diat pembunuhan. Dua telinga setiap telinga seharga 50 ekor unta baik mendengar atau tidak. Setiap mata 50 ekor unta. Setiap pelupuk mata seharga 25 ekor unta. Lidah bagi yang bisa bicara meski cadel dan gagap yaitu 100 unta.18

Dalam kasus putusan Nomor : 107/PID.B/2013/PN.PSO terdakwa didakwa oleh penuntut umum dengan pasal 354 ayat (1) KUHP dengan ancaman penjara maksimal 8 tahun. Jika di lihat dari dakwaan penutut umum tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa adalah penganiayaan berat yang mengakibatkan luka berat. Luka berat dalam pasal 90 KUHP di jelasakan sebagai berikut :

a. Luka yang tidak dapat diharapkan akan dapat sembuh secara sempurna atau menimbulkan bahaya bagi nyawa.

b. Ketidakcakapan untuk melaksanakan kegiatan jabatan atau pekerjaan secara terus menerus.

18 Faisal Amin dkk, Menyingkap sejuta permasalahan Fath Al-Qarib, (Kediri : Lirboyo Pers,

(19)

10

c. Kehilangan kegunaan dari salah satu pancaindra d. Lumpuh

e. Terganggunya akal sehat selama waktu lebih dari empat minggu f. Keguguran atau matinya janin dalam kandungan seorang wanita.

Jika melihat akibat yang ditimbulkan dari tindakan kasus tersebut maka jelas bisa dikatakan sebagai luka berat karena akibat perbuatan tersebut kedua tangan korban menjadi cacat seumur hidup dan tidak bisa lagi menafkahi keluargannya. Dalam hukum pidana ada beberapa teori pemidanaan yang biasa digunakan, pertama, teori Absholut yaitu teori yang bertujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban. Pendekatan teori absholut meletakkan gagasannya tentang hak untuk menjatuhkan pidana yang keras, dengan alasan karena seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya. Singkatnya teori ini menjelaskan ketika seseorang bersalah maka harus di hukum. Kedua, teori relatif, yaitu teori ini secara prinsip mengajarkan bahwa penjatuhan pidana dan pelaksanaannya setidaknya harus berorientasi pada upaya pencagahan dari kemungkinan seseorang mengulangi lagi tindakannya. Ketiga, teori gabungan. Yaitu penggabungan kedua teori di atas .19 Apakah putusan tersebut sudah sesuai dengan teori pemidaan di atas .

Jika di lihat dari hukum pidana Islam maka kasus putusan Nomor 107/PID.B/2013/PN.PSO ini masuk dalam tindak pidana atas selain jiwa

(20)

11

dengan hukuman kisash sebagai hukuman pokok jika kemungkinan bisa dilaksanakan dan diat atau takzir jika hukuman kisash tidak mungkin dilaksanakan atau korban memaafkan terdakwa. Dalam hukum islam seperti yang dijelaskan di atas juga mempunyai tujuan yang salah satunya adalah menjaga jiwa dan harta yang juga bersangkutan dengan putusan tersebut.

Berdasarkan penjelasan masalah di atas penulisan skripsi ini akan menganalisis sanksi terhadap pelaku penganiayaan berat yang mengakibatkan luka berat dalam putusan di atas. Bahwa terdakwa terbukti bersalah menganiaya korban sehingga mengakibatkan korban cacat seumur hidup dan tidak bisa lagi bekerja seperti yang biasa dilakukan sehari-hari. Sedangkan dalam hukum pidana Islam hukuman bagi pelaku penganiayaan dengan segaja adalah kisash jika memungkinkan untuk dilakukan dan diat atau takzir sebagai hukuman penggantunya. Berdasarkan hal tersebut yang melatarbelakangi penulisan skripsi ini akan mengangakat topik pembahasan

penulisan skripsi dengan judul “TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM

TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG

MENGAKIBATKAN CACAT SEUMUR HIDUP (Studi Putusan : Nomor . 107/PID.B/2013/PN.PSO)”.

B. Identifikasi Masalah

(21)

12

1. Putusan hukum hakim tentang tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan cacat seumur hidup dalam putusan Pengadilan Negeri Poso Nomor : 107/PID.B/2013/PN.PSO.

2. Pertimbangan hukum hakim terhadap tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan cacat seumur hidup dalam putusan hakim Pengadilan Negeri Poso dalam putusan Nomor : 107/PID.B/2013/PN.PSO

3. Tindak pidana penganiayaan dalam hukum pidana Islam dan Hukumannya.

4. Tinjauan hukum pidana islam terhadap tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan cacat seumur hidup dalam putusan Pengadilan Negeri Poso Nomor : 107/PID.B/2013/PN.PSO dan sanksi hukuman terhadap penganiayaan yang mengakibatkan cacat seumur hidup.

C. Batasan Masalah

Dari identifikasi masalah di atas , maka penulis memberikan batasan maslah sebagai berikut :

1. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Poso dalam putusan putusan Nomor. 107/Pid.B/2013/PN.Pso. Tentang Tindak Pidana Penganiayaan Yang Mengakibatkan cacat seumur hidup.

2. Tinjauan Hukum Pidana Islam tentang Tindak Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan cacat seumur hidup dalam putusan Nomor.

(22)

13

D. Rumusan Masalah

Dari batasan masalah di atas , Adapun rumusan masalah yang akan diteliti oleh penulis adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pertimbangan Hakim terhadap Tindak Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan cacat seumur hidup dalam putusan Nomor 107 / Pid.B / 2013 / Pn.Pso?

2. Bagaimana tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap pertimbangan hukum hakim dalam putusan Nomor 107/Pid.B/2013/Pn.Pso tentang Tindak Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan cacat seumur hidup?

E. Kajian pustaka

Kajian Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.20

Berikut beberapa skripsi yang membahas tentang tindak pidana penganiayaan.

20 Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis

(23)

14

Dalam skripsi yang ditulis oleh Muhammad Yusuf prodi Hukum

Pidana Islam (Jinayah) yang berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam

Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Bangkalan Nomor 236/Pid.B/2014/Pn.Bkl)”. Dalam penelitian ini penulis menitikberakan

pembahasan tentang tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian dalam hal ini efek dari penganiayaan tersebut adalah korban meninggal dunia, dalam hukum pidana Islam kasus ini masuk dalam pembubuhan semi sengaja. 21

Selanjutnya skripsi yang ditulis oleh M. Imam susanto yang berjudul

“Tinjauan Fiqih Jinayah Terhadap Penganiayaan Yang Berakibat Luka Berat

Dan Sanksi Hukumnya”. Dalam penelitian ini penulis menitikberatkan

kepada hukuman atau sanksi pidana bagi pelaku penganiayaan dilihat dari Pasal 354 ayat (1) KUHP dan Hukum pidana Islam.22

Skripsi di atas memiliki kesamaan dengan penelitian skripsi ini yaitu sama-sama membahas tentang penganiayaan. Sedangkan perbedaan dari kedua penilitian di atas yang pertama tentang akaibat dari penganiayaan tersebut jika penelitian oleh Muhammad Yusuf penganiayaan yang mengakibatkan kematian sedangkan penelitian ini tetang penganiayaan yang mengkaibatkan cacat seumur hidup. Kedua yaitu dari segi bahasan yang akan

21 Muhammad Yusuf, “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan

Yang Mengakibatkan Kematian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Bangkalan Nomor

236/Pid.B/2014/Pn.Bkl)”.

22 M. Imam susanto, “Tinjauan Fiqih Jinayah Terhadap Penganiayaan Yang Berakibat Luka Berat

(24)

15

di bahas, jika skripsi dari M. Imam susanto membahas hukuman oleh KUHP dan hukum pidana islam dan yang menjadi fokus adalah pasal 354 ayat (1). Sedangkan penelitian ini yaitu penelitian tentang putusan Pengadilan Negeri Poso Nomor 107/Pid.B/2013/PN.Pso tentang penganiayaan yang mengakibatkan cacat seumur hidup, jadi dalam skripsi ini lebih spesifik langsung ke contoh kasus dilihat dari Hukum Pidana dan Hukum pidana Islam.

F. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan pertimbangan hakim dalam putusan pengadilan Negeri Poso Nomor : 107/ PID.B/2013/PN.Pso tentang tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan cacat semur hidup

2. Menganalisis tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan cacat seumur hidup dalam putusan Pengadilan Negeri Poso Nomor : 107/PID.B/2013/PN.Pso.

G. Kegunaan Hasil Penelitian

Kegunaan hasil penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat dalam hal : 1. Aspek keilmuan (teoritis)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih ilmu

(25)

16

Tindak Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan cacat seumur hidup.

2. Aspek Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan penelitian yang akan datang serta sangat berharap dapat dijadikan landasan atau acuan bagi penegak hukum untuk membuat putusan atau penerapan sanksi bagi pelaku penganiayaan yang mengakibatkan cacat seumur hidup.

H. Definisi Operasional

Untuk mempermudah memahami judul skripsi yang akan penulis bahas, maka dirasa perlu untuk menjelaskan secara operasional sebagai berikut :

1. Hukum pidana Islam adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak

pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh mukallaf, sebagai

hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Alqu’an

dan Hadits.

2. Penganiayaan diartikan sebagai perbuatan menyakiti atau menyiksa orang atau binatang secara melawan hukum. Pengertian lain penganiayaan di sini adalah perbuatan pidana (tindak kejahatan), yang berupa melukai, merusak, atau menghilangkan fungsi anggota tubuh. 3. Cacat seumur hidup. Cacat yaitu keadaan berkurangnya atau hilangnya

(26)

17

akan menghilangkan kemampuan pekerja untuk melakukan pekerjaan. Sedangkan cacat seumur hidup adalah cacat yang mengakibatkan seseorang sama sekali tidak mampu untuk melakukan suatu pekerjaan sehingga membutuhkan bantuan orang lain.

I. Metode penelitian

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Penelitian ini sendiri berarti sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina, serta mengembangkan ilmu pengetahuan.

1. Jenis Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang diangkat, maka jenis penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kepustakaan (Library Research).

Penelitian kepustakaan adalah salah satu bentuk metodologi penelitian yang menekankan pada pustaka sebagai suatu objek studi. Pustaka hakekatnya merupakan hasil oleh budi karya manusia dalam bentuk karya tertulis guna.

2. Sumber Data

Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah : Sumber Bahan Primer

Sumber bahan yang diperoleh atau dikumpulkan langsung dari sumber pokok yang memuat tentang pembahasan yaitu Dokumen Putusan

(27)

18

3. Teknik Pengambilan Data

Tekhnik pengumpulan data yang sesuai dengan bentuk penelitiannya yakni kajian pustaka (library research), maka penelitian ini

dilakukan dengan cara pengumpulan berbagai buku yang terkait dengan permasalahan yang diteliti, kemudian memilih secara mendalam sumber data kepustakaan yeng relevan dengan maslaah yang dibahas.

4. Teknik Pengolahan Data

Setelah semua data yang terkait dengan permasalahan tersebut kemudian akan diolah dengan beberapa teknik sebagai berikut:

a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali data-data yang berkaitan dengan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan cacat seumur hidup yang diperoleh dari berbagai buku dan dokumen-dokumen mengenai topik penelitian terutama kejelasan makna, dan keselarasan antara data satu dengan yang lainnya.

b. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematikan data yang berkaitan dengan Pasal 354 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum pidana dan fikih jinayah yang diperoleh dalam kerangka uraian yang

telah direncanakan.

c. Analizing, yaitu melakukan analisis terhadap data yaitu mengenai tinjauan terrhadap putusan Pengadilan Negeri Poso Nomor : 107/Pid.B/2013/PN Pso dengan menggunakan teori, dalil hingga diperoleh kesimpulan akhir sebagai jawaban dari permasalahan yang

(28)

19

5. Teknik Analisis Data

Teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik deskriptif analisis, dimana penulis menggambarkan atau menguraikan tentang tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan cacat seumur hidup secara keseluruhan, mulai dari deskripsi kasus, landasan hukum yang dipakai oleh Hakim, isi putusan kemudian dilakukan analisis berdasarkan data yang ada.

J. Sistematika Pembahasan

Agar memudahkan dalam pembahasan dan memudahkan dalam memahami maka dibuat sistematika pembahasan skripsi tersebut secara umum sebagai berikut:

Bab satu, pada bab ini diuraikan tentang pendahuluan yaitu meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab dua, bab ini membahas tentang tindak pidana penganiayaan dalam fikih Jinayah. Meliputi: pengertian, unsur-unsur, macam-macam, serta sanksi hukumannya.

Bab tiga, bab ini mendiskripsikan secara singkat tentang kasus penganiayaan yang mengakibatkan cacat seumur hidup, dasar hukum dan pertimbangan hakim tentang kasus penganiayaan yang mengakibatkan cacat

(29)

20

107/Pid.B/2013/PN Pso tentang tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan cacat seumur hidup.

Bab empat, bab ini membahas tentang analisis terhadap putusan Pengadilan Negeri Poso tentang Penganiayaan yang mengakibatkan cacat seumur hidup yang meliputi analisis terhadap pertimbangan hukum hakim, serta menganalisis tentang tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hukum hakim dalam putusan Nomor 107/Pid.B/2013/PN.Pso tentang tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan cacat seumur hidup.

(30)

21

BAB II

TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

A. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan

Penganiayaan dalam hukum pidana Islam disebut dengan istilah tindak pidana atas selain jiwa atau jinayat selain pembunuhan. Yang artinya setiap tindakan haram yang dilakukan terhadap anggota tubuh, baik dengan cara memotong, melukai maupun menghilangkan fungsinya.1 Yang dimaksud dengan tindak pidana atas selain jiwa atau penganiayaan, seperti dikemukakan oleh Abdul Qadir Awdah adalah setiap perbuatan mnyakiti orang lain yang mengenai badannya, tetapi tidak sampai menimbulkan kematian atau menghilangkan nyawa. Pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili, bahwa tindak pidana atas selain jiwa adalah setiap tindakan melawan hukum atas badan manusia, baik berupa pemotongan anggota badan, pelukaan, maupun pemukulan, sedangkan jiwa atau nyawa dan hidupnya masih tetap tidak terganggu.2

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana, jika ada unsur formil yaitu harus ada nas yang melarang perbuatan dan mengancam dengan hukuman, unsur materiil yaitu melakukan perbuatan yang membentuk tindak pidana, baik perbuatan maupun sikap tidak berbuat. dan unsur moral yaitu pelaku harus seorang mukallaf artinya dia bertanggung

1

Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqh Sunnah, terjemah : Abu Ihsan, (Jakarta:Pustaka At-Tazkia, 2006). 319

2

(31)

22

jawab atas tindak pidana yang diperbuat, sebuah kejahatan jika tidak memenuhi unsur-unsur tersebut maka tidak bisa dikatakan jarimah (tindak pidana). Adapun unsur-unsur dalam Jari>mah Penganiayaan yaitu :

1. Adanya pelaku tindak pidana penganiayaan; 2. Adanya kesengajaan Adanya perbuatan;

3. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), rasa sakit pada tubuh, dan atau luka pada tubuh;

4. Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya;

5. Adanya perencanaan penganiayaan sehingga mengakibatkan luka berat.

B. Pembagian Tindak Pidana Penganiayaan

Ada dua klasifikasi dalam menentukan pembagian tindak pidana atas selan jiwa, yaitu : ditinjau dari segi niatnya, dan ditinjau dari segi objek (sasaranya).

1. Ditinjau dari segi niatnya3

Ditinjau dari segi niat pelaku, tindak pidana atas selain jiwa dapat dibagi kepada dua bagian.

a. Tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja b. Tindak pidana atas selain jiwa dengan tidak sengaja.

Pengertian tindak pidana dengan sengaja adalah setiap perbuatan dimana pelaku sengaja melakukan perbuatan dengan maksud melawan

3

(32)

23

hukum. Sedangkan tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja adalah pelaku dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang dengan maksud supaya perbuatnnya itu mengenai dan menyakiti ornag lain.

Tindak pidana karena kesalahan atau tidak sengaja adaah suatu perbuatan dimana pelaku sengaja melakukan suatu perbuatan, tetapi tidak ada maksud untuk menyakiti atau melukai orang lain dengan melawan hukum. Jadi tindak pidana atas selain jiwa dengan tidak sengaja atau kesalahan adalah pelaku memang dengan sengaja melakukan perbuatan, tetapi pernuatan trsebut sama sekali tidak dimaksudnkan untuk mengenai atau menyakiti orang lain. Namun kenyataannya ada korban akibat perbuatan tersebut. Sebagai contoh seseorang melempar batu dengan maksud membuangnya, namun karena kurang hati-hati batu tersebut mengenai orang yang sedang lewat dan melukainya.

Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah selain dua diatas masih ada

tindak pidana atas selain jiwa yang ketiga, yaitu tindak pidana atas selain jiwa menyerupai sengaja. Contoh dari tindak pidana atas selain jiwa menyerupai sengaja adalah jika ada seseorang memukul seseorang dengan ringan namun akibatnya sampai orang tersebut mederita luka berat.

2. Ditinjau dari segi objeknya/sasarannya

Tindak pidana atas selain jiwa bisa berupa pemotongan dan

(33)

24

menghilangkan fungsi tanpa merobek dan memisahkan. Berikut pembagian tindak pidana atas selain jiwa.4

a. Jinayat dengan memotong dan memisahkan anggota badan.

Adapun yang dimaksud dengan jenis yang pertama adalah tindakan terhadap perusakan anggota badan dan anggota lain yang disetarakan dengan anggota badan, baik berupa pelukaan atau pemotongan. Dalam kelompok ini yaitu termasuk, tangan, kaki, jari, kuku, hidung, zakar, biji pelir, telinga, bibir, pencongkelan mata, merontokan gigi, bibir kemaluan wanita, dan lidah.

b. Menghilangkan manfaat anggota badan sedangkan jenisnya masih tetap utuh

Maksud dari jenis yang kedua ini adalah tindakan yang merusak manfaat dari anggota badan, sedangkan jenis anggota badanya masih utuh. Dengan demikian, apabila anggota hilang atau rusak, sehingga manfaatnya juga ikut hilang maka itu termasuk kelompok pertama diatas.yang termasuk dalam kelompok ini adalah hilangnya pendengaran, penglihatan, penciuman, perasa lidah, kemampuan berbicara, bersetubuh dan lain-lain.5

c. Ash-Shajjaj

Yang dimaksud ash shajjaj adalah pelukaan khsusus pada bagian muka dan kepala. Sedangkan pelukaan atas badan selain muka dan kepala termasuk kelompok keempat yang akan di bahas berikutnya.

4

Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqh Sunnah.324

5

(34)

25

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa shajjaj adalah pelukaan pada bagian wajah dan kepala, tetapi khusus dibagian tulang saja, seperti dahi. Sedangkan pipi yang banyak dagingnya tidak termasuk shajjaj, tetapi ulama lain berpendapat bahwa shajjaj adalah pelukaan peda bagian muka dan kepala secara mutlak.6 Adapun organ-organ tubuh yang temasuk kelompok anggota badan, meskipun pada bagian muka, seperti mata, telingga dan lain-lain tidak termasuk shajjaj. Yang termasuk Shajjaj adalah muwaddhihah, Kharisah, Daimiyah, Badhi>’ah, Mutala>himah, Simhaq, muwaddhihah, h}ashi>mah, munaqqilah dan aa>mah,

d. Al- Jirah

Al- jirah adalah pelukaan pada anggota badan selain wajah, kepala

dan athraf. Anggota badan yang termasuk dalam golongan jirah ini meliputi leher, dada, perut, sampai batas pinggul. Al jirah ada dua, yaitu :

1) Ja>’ifah, yaitu pelukaan yang sampai kebagian dalam dari perut dan dada, baik pelukaan dari depan, belakang, atau samping.

2) Ghair ja>’ifah, yaitu pelukaan yang tidak sampai bagian dalam dari dada dan perut, tetapi hanya bagian luarnya saja.7

6

Ibid, 182

7

(35)

26

C. Hukuman Tindak Pidana Penganiayaan

Hukuman bagi tindak pidana penganiayaan dalam hukum pidana Islam dibagi menjadi 2, yaitu hukuman pokok dan hukuman pengganti. hukuman pokok bagi tindak pidana penganiayaan adalah hukuman kisas, sedangkan hukuman pengganti hukuman pokok apabila hukuman kisas terhalang atau gugur karena beberapa sebab adalah hukuman diat dan takzir.

1. Hukuman kisas

Secara literal, kisas merupakan kata turunan dari Qas}s}a – yaqus}s}u –

qas}s}an wa qas}s}an yang artinya menggunting, mendekati, menceritakan,

mengikuti (jejaknya), dan membalas. Sedangkan secara istilah, Ibnu Manzur di dalam Lisa>n al-Arab menyebutkan suatu hukuman yang ditetapkan dengan cara mengikuti bentuk tindak pidana yang dilakukan.8 Penerapan Kisas dalam kasus tindak pidana selain jiwa atau penganiayaan harus memenuhi beberapa syarat, antara lain:

a) Pelaku baligh

b) Pelaku Berakal termasuk juga pemabuk dengan ada niatan c) Pelaku bukan keturunan korban

d) Korban status sosialnya tidak dibawah pelaku, seperti budak dan kafir.9

8

Paisol Burlian, Implementasi Konsep Hukum Qishash di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2015). 28

9

(36)

27

e) Aman dari bahaya yang berkelanjutan. Yaitu, dengan cara memotong dipergelangan dan persendian, jika tidak demikian maka kisas tidak dapat dilakukan.

f) Adanya persamaan anggota tubuh korban dengan pelaku, sama dalam hal nama dan keberadaan.

g) Anggota tubuh korban dan pelaku harus sama dari segi kesehatan dan kesempurnaan.10

2. Hukuman Diat

Ad-Diyah adalah bentuk jamak dari ad-Diyah. Secara bahasa, diat

adalah bila wali pembunuh memberikan harta sebagai tebusan nyawa atau selainnya. Sedangkan jika dalam kasus tindak pidana penganiyaan adalah sebagai hukuman pengganti dari hukuman kisash. Sedangkan menurut istilah syariat, diat adalah harta yang wajib dibayarkan kepada korban atau walinya karena disebabkan oleh jinayat (tindak pidana) terhadap jiwa atau selain jiwa.11 Kadar hukuman diat yang biasa menjadi patokan adalah dengan unta untuk tindak pidana penganiayaan hukuman paling berat adalah 100 ekor unta. Jika tidak dapat unta maka beralih pada harga unta, atau membayar 100 dinar atau 12.500 dirham.12 Hukuman diat adalah hukuman pengganti dari hukuman kisas jika tidak mungkin dilaksanakan.

10

Saleh Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Terjemah : Ahmad Ikhwani. (Jakarta: Gema Insani press, 2005).789-790

11

Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqh Sunnah, terjemah : Abu Ihsan. 342

12

(37)

28

Hikmah adanya hukuman adanya kisas dan diat, sebgaimana dijelaskan oleh al-Jurjawi adalah keberlangsungan hidup manusia di dunia, karena itu Islam menghukum orang yang membunuh orang lain. Hukuman tersebut pada dasarnya sebagai tindakan previntif sehingga manusia tidak gampang saling membunuh yang akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat. Sementara diat dengan harta bertujuan untuk kepentingan dua belah pihak.13

Hukuman diat merupakan hukuman penganti untuk hukuman kisas apabila hukuman kisas terhalang karena suatu sebab, atau gugur karena sebab-sebab. Diat sebagai hukuman pengganti berlaku dalam tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja. Di samping itu, diat juga merupakan hukuman pokok apabila jinayahnya menyerupai sengaja atau kesalahan. Diat, baik sebagai hukuman pokok atau hukuman pengganti, di gunakan pengertian untuk diat yang penuh (ka>milah). Yaitu seratus ekor

unta. Adapun untuk hukuman yang kurang dari diat yang penuh maka digunakan istilah irsh. Irsh sendiri ada dua macam yaitu, irsh yang sudah ditentukan (muqaddar), dan irsh yang belum ditentukan (ghairu muqaddar).14 Irshun muqaddar adalah ganti rugi yang sudah ditentukan

batas dan jumlahnya oleh syara’. Contoh seperti diat untuk satu tangan atau satu kaki. Sedangkan irshun ghairu muqaddar adalah ganti rugi yag

belom ditentukan oleh syara’. Dan untuk penentuannya diserahkan

kepada hakim. Diat yang kedua ini disebut juga dengan h}uku>mah.

13

Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam.Hal. 129-130.

14

(38)

29

Berikut adalah macam-macam hukuman diat dalam tindak pidana penganiayaan.

1. Diat untuk anggota badan

Anggota badan yang berlaku diat ka>milah (penuh) ada empat kelompok, yaitu :

a. Anggota yang tanpa pasangan, yang antara lain : Hidung, Lidah, zakar (kemaluan), tulang belakang, lubang kencing, lubang dubur, kulit, rambut dan jenggot.

b. Anggota yang berpasangan (dua buah). Yang termasuk kelompok ini adalah : Tangan, kaki, mata, telingan, bibir, alis, payudara, telur kemaluan laki-laki, bibir kemaluan wanita, pinggul, dan tulang rahang.

c. Anggota yang terdiri dari dua pasang.yang termasuk dalam kelompok ini adalah : Kelopak mata dan Bulu mata.

d. Anggota yang terdiri dari lima pasang atau lebih, yaitu : Jari tangan, jari kaki dan gigi.

(39)

30

Jika dalam perusakan lidah, irsh berlaku jika perusakan berakibat pada

kurang sempurnannya dalam perkataan.15

Berikut pembagian hukuman diat untuk anggota tubuh secara lebih rinci, antara lain:

a. Diat Hidung

Diat yang sempurna untuk hidung berlaku apabila bagian yang rusak adalah tulang rawan. Alasannya adalah bahwa pada hidung terdapat keindahan dan manfaat. Pemotongan sebagian dari hidung juga dikenakan hukuman diat, sesuai dengan kadar kerusakan. Apabila hidung yang dipotong itu separuh maka diatnya separuh, dan apabila yang dipotong itu sepertiga maka hukumannya sepertiga diat. Bagian-bagian dari hidung, yaitu dua sisi kanan dan kiri yang disebut munkhar, dan di antara keduanya ada penyekat yang disebut ha>jiz, menurut Imam Nawawi untuk masing-masing bagian adalah sepertiga diat. Apabila yang dipotong tulang rawan

dan batang hidung, manurut mazhab Syafi’i dan salah satu pendapat

fuqaha Hanabilah, untuk tulang rawan satu diat dan untuk batang hidung berlaku H}uku>mah. Menurut Imam Malik dan Imam Hanabilah serta salah satu pendapat Hanabilah, dalam kasus ini pelaku hanya dikenakan satu diat, karena tulang rawan dan batang

15

(40)

31

hidung kedua-duanya merupakan satu kesatuan yang disebut hidung.16

b. Diat lidah

Dalam perusakan atau pemotongan lidah berlaku hukuman diat karena dalam diat terdapat keindahan dan manfaat. Ada dua manfaat pada lidah, pertama untuk berbicara dan kedua untuk merasakan berbagai rasa masakan. Hukuman diat untuk perusakan lidah yang mampu berbicara sehingga menjadi bisu maka dikenakan hukuman diat sempurna, meskipun lidahnya masih utuh. Sedangkan dalam perusakan lidah yang bisu, menurut Imam Malik dan Imam Hanafiah, hanya beraku h}uku>mah. Sedangkan menurut mazhab

Syafi’i dalam kasus ini dibedakan antara perbuatan yang

mengakibatkan hilangnya perasaan lidah dan tidak menghilangkannya. Apabila perusakan tersebut menghilangkan perasaan lidah maka pelaku wajib dikenakan diat, dan apabila tidak menghilangkannya, maka pelaku hanya dikenakan H}uku>mah. Dalam

mazhab Hanabilah ada pendapat bahwa dalam hal perusakan lidah yang bisu tidak wajib diat secara mutlak.17

c. Diat Zakar

Dalam perusakan zakar (alat kelamin laki-laki) dan menghilangkan manfaat, berlaku hukuman diat, karena zakar merupakan alat yang sangat vital bagi manusia yang mengandung

16

Ibid. 198.

17

(41)

32

unsur keindahan dan manfaat yang sangat besar. Dalam pemotongan kepala kemaluan tetap berlaku datu diat, karena kepala kemaluan merupakan bagian yang menyebabkan sempurnannya manfaat zakar. Dalam pemotongan sebagian Hasyafah berlaku separuh diat. Dalam pemotongan zakar yang lemah karena dikebiri atau karena impoten,

terjadi perbedan pendapat. Menurut mazhab Syafi’i, Hanbali, dan

salah satu pemdapat mazhab Maliki, tetap berlaku diat. Alasan merekan adalah karena anggotannya (zakarya) tetap sempurna

(sehat), sedangkan lemahnya kemampuan jima’, disebabkan karena

unsur yang lain. Akan tetapi menurut Imam Abu Hanifah, dalam kasus ini hanya berlaku hukumah, karena yang menjadi ukuran standar adalah adanya kemampuan untuk melakukan hubungan seksual. Pendapat ini merupakan salah satu pendapat mazhab Maliki. Dalam hal zakar tanpa hasyafah para ulama sepakat bahwa hanya berlaku h}uku>mah.18

d. Diat Tulang Belakang

Dalam perusakan tulang belakang berlaku diat, rusaknya tulang belakang dapat mengakibatkan hilangnya manfaat anggota badan yang lain, misalnya kemampuan berjalan. Apabila kerusakan tersebut hanya retak saja, menurut salah satu pendapa dalam mazhab Hanbali beraku hukuman diat. Sedangan pendapat yang lain dalam mazhab Hanbali, sama dengan pendapat jumhur fuqaha, yaitu

18

(42)

33

hanya dikenakan hukumah, selama perusakan tersebut tidak sampai menghilangkan manfaat kemampuan berjalan dan berjima’. Akan

tetapi, apabila retaknya tulang belakang tersebut mengakibatkan

korban tida mampu berjalan dan berjima’, hukumannya adalah diat.

e. Diat saluran kencing dan lubang dubur

Apabila suatu tindak pidana mengakibatkan rusaknya saluran kencing atau saluran dubur sehingga air kencing dan/atau kotoran tidak dapat dikendalikan, pada masing-masing saluran tersbut berlaku hukuman diat. Hal ini karena kedua anggota badan tersebut merupakan anggota yang sangat penting dalam tubuh manusia. Oleh karena itu kedudukannya sama dengan organ tubuh yang lain seperti telinga dan mata. Apabila manfaat kedua saluran tadi rusak karena suatu tindak pidana pelaku dikenakan dua diat, karena keduanya merupakan dua jenis anggota badan yang fungsinya berlainan. Hal ini disepakati oleh para fuqaha. Namun dikalanan mazhab Maliki ada pendapat yang menyatkan bahwa untuk kedua saluran tersebut masing-masing hanya berlaku h}uku>mah.19

f. Diat kulit

Menurut mazhab Syafi’i berlaku hukuman diat atas tindak pidana yang mengakibatkan kulit rusak atau terkelupas seluruhnya, karena pada umumnya seseorang jarang yang dapat bertahan hidup dalam kondisi tubuh tanpa kulit. Imam Malik berpendapat bahwa

19

(43)

34

pada kulit berlaku hukuman diat apalagi pelaku hukuman melakukan perbuatan yang mengakibatkan kulit menjadi hitam dan belang. Akan tetapi menurut Imam Abu Hanifah dan Imam ibn Hanbal, pada perusakan kulit tidak berlaku hukuman diat, melainkan h}uku>mah.20

g. Diat Tangan

Menghilangkan tangan bisa dikenakan diat jika hukuman kisas tidak bisa dilaksanakan, hukuman diat untuk salah satu tangan yang hilang, rusak, atau potong hukumannya separuh diat. Sedangkan untuk kedua tangan dikenakan diat penuh.21 Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan tangan. Menurut kebanyakan fuqaha

dari madzhab syafi’i dan sebagian fuqaha Hanabilah serta Imam

Abu Hanifah dan Imam Muhammad bin Hasan yang dimaksud dengan tangan adalah telapak tangan (sampai batas pergelangan tangan). Konsekuensi dari pengertian tersebut adalah hukuman diat berlaku untuk pemotongan tangan sampai batas pergelangan tangan.

Apabila pemotongan melebihi telapak tangan, untuk kelebihan tersebut berlaku h}uku>mah. Menurut Imam Malik, sebagian besar

ulama Hanabilah, sebagian fuqaha mazhab syafi’i, dan Imam Abu

Yusuf dari mazhab Hanafi, yang dimaksud dengan tangan itu adalah keseluruhan tangan dari mulai telapak tanga sampai pundak. Konsekuensi dari pengertian ini adalah bahwa hukuman diat berlaku

20

Ibid. 201.

21

(44)

35

untuk pemotongan telapak tangan maupun selebihnya. Pemotongan jari tangan dikenakan hukuman sepersepuluh diat, yaitu sepuluh ekor unta untuk satu jari. Alasannya karena jari itu jumlahnya ada sepuluh buah, sehingga perhitungan diatnya untuk satu jari, seratus ekor unta dibagi sepuluh. Pemotongan bagian-bagian jari, selain ibu jari dikenakan hukuman sepertiga diat, sedangkan pemotongan ibu jari hukumannya adalah separuh diat.

Pemotongan tangan atau jari yang lumpuh hanya berlaku hukumah alasannya karena dalam kasus ini yang dirusak hanya keindahannya saja sedangkan manfaatnya memang sejak awal sudah tidak ada. Akan tetapi menurut pendapat sebagian fuqaha Hanabilah, dalam kasus ini hukumannya adalah sepertiga diat.22 h. Diat Kaki

Perusakan atau pemotongan kedua kaki dikenakan hukuman diat kamilah, sedangkan untuk satu kaki separuh diat.23 Seperti halnya mengartikan kaki. Menurut kebanyakan fuqaha dari madzhab

Syafi’i, sebagian ulama Hanabilah, dan Imam Abu Hanifah serta

Muhammad Ibnu Hasan , yang dimaksud dengan kaki adalah telapak kaki (sampai batas mata kaki). Konsekuensi dari pengertian ini adalah hukuman diat berlaku untuk pemotongan kaki sampai batas mata kaki. Apabila pemotongan melebihi mata kaki, maka untuk kelebihan tersebut, disamping diat, berlaku juga hukumah.

22

Imam Wardhi Muslich, Hukum Pidana Islam, 202.

23

(45)

36

Menurut Imam Malik, sebagian besar ulama Hanabilah, sebagian fuqaha mazhab Syafi’i, dan Imam abu Yusuf dan Imam Hanafi,

yang dimaksud dengan kaki adalah keseluruhan kaki dari mulai telapak kaki sampai pangkal paha. Konsekuensi hukum dari pengertian ini adalah baik pemotongan telapak kaki maupun selebihnya hanya berlaku satu diat kamilah, tanpa ada tambahan hukumah. Pemotongan jari kaki hukumanya sama dengan pemotongan jari tangan, yaitu sepersepuluh diat untuk satu jari. i. Diat Mata

Hukuman diat untuk perusakan kedua mata adalah diat penuh sedangkan untuk perusakan sebelah mata daitnya adalah separuh diat. Untuk mata yang buta sebelah, sedangkan yang sebelahnya

masih normal, manurut Imam abu Hanifah dan Imam Syafi’i, untuk

keduanya berlaku separuh diat, karena mata yang sebelah tidak berfungsi. Namun menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, untuk keduannya berlaku diat yang sempurna. Hilangnya daya penglihatan juga menyebabkan berlakunya hukuman diat, meskipun matanya masih utuh.24

j. Diat Telinga

Perusakan atau pemotongan kedua telinga dikenakan hukuman diat penuh, sedangkan perusakan salah satu dikenakan separuh

24

(46)

37

diat.25 Pemotongan sebagian telinga, juga dikenakan hukuman diat sesuai dengan kadar atau ukuran pemotogannya, misalnya separuh, sepertiga, atau seperempat. Apabila pemotongan kedua telinga tidak mengakibatkan hilangnya daya pendengaran maka menurut jumhur fuqaha, yaitu Imam Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad,

dan sebagian fuqaha Malikiyah pelaku tetap dikenakan hukuman diat. Alasannya karena kedua telingan mempunyai manfaat yang terpisah dari daya pendengaran, yaitu menampung dan mengumpulkan suara sebelum suara masuk ke gendang telinga. Akan tetapi sebagian fuqaha Malikiyah berpendapat bahwa dalam kasus ini pelaku hanya dikenakan hukumah. Alasanya adalah kedua daun telinga itu tidak memiliki manfaat, melainkan hanya berfungsi sebagai keindahan saja dan imbangan untuk keindahan itu hanyalah h}uku>mah.26

k. Diat Bibir

Perusakan kedua bibir dikenakan diat sempurna, yaitu seratus ekor unta. Pemotongan satu bibir baik sebelah atas maupun bagian bawah dikenakan separuh diat, yaitu 50 ekor unta.27

25

Sayyid sabiq, FikihSunnah,terj : Ali, 110.

26

Imam Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 204.

27

(47)

38

l. Diat Biji Pelir (Telur Laki-laki)

Perusakan dua buah biji pelir dikenakan hukuman diat sempurna, jika perusakan hanya salah satu dari biji pelir dikenakan hukuman separuh diat.28

m. Diat Bibir Kelamin Perempuan

Dalam pemotongan dua bibir kemaluan perempuan berlaku hukuman diat yang sempurna apabila pemotongan tersebut sampai mengakibatkan kelihatan tulangnya. Pemotongan salah satunya dikenakan hukuman separuh diat. Alasannya adalah karena pada kedua bibir kemaluan tersebut terdapat keindahan dan manfaat yang tidak ada duanya. Dengan demikian, anggota badan tersebut disamakan statusnya dengan anggota badan yang lain.

n. Diat Pinggul

Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad,

hukuman diat berlaku pada perusakan dua buah pinggul, dan pada perusakan salah satunya dikenakan separuh diat. Alasannya adalah karena pinggul merupakan anggota badan yang jenis dan fungsinya berbeda dengan anggota badan yang lain. Di samping itu juga pada pinggul terdapat keindahan dan manfaat, seperti halnya anggota badan yang lain. Pendapat ini juga dikemukakan oleh sebagian ulama Malikiyah. Akan tetapi menurut sebagian ulama Malikiyah, pada perusakan dua buah pinggul hanyaberlaku h}uku>mah, baik

28

(48)

39

perusakan sampai kepada tulang yang ada di bawahnya maupun hanya sebagiannya.29

o. Diat Tulang Rahang

Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa dalam

perusakan dua rahang berlaku hukuman diat yang sempurna dan pada perusakan salah satunya berlaku hukuman siat separuh. Dalam tulag rahang memiliki manfaat dan keindahan. Di samping itu juga tulang rahang merupakan anggota badan yang tidak ada padanannya dalam tubuh, yang fungsinya berbeda dengan anggota tubuh yang lian. Apabila gigi turut rontok akibat perusakan rahang tersebut maka hukumannya ditambang dengan diat gigi.

Akan tetapi menurut Imam Malik, perusakan rahang tidak mewajibkan diat yang sempruna, melainkan disamakan dengan hukuman diat untuk muka. Yaitu lima ekor unta.

p. Diat Kelopak Mata

Menurut jumhur fuqaha, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam

Syafi’i, dan Imam Ahmad, pada perusakan semua kelopak mata berlaku hukuman diat kamilah, yaitu seratus ekor unta. Kelopak mata itu terdiri atas dua pasang atau ada empat buah maka untuk masing-masing berlaku seperempat diat atau dua puluh lima ekor unta. Akan tetapi menurut Imam Malik, untuk kelopak mata tidka berlaku hukuman diat melainkan hukumah yang penetapannya

29

(49)

40

diserahkan kepada ijtihad hakim. Alasannya adalah karena dalam kasus ini tidak ada dalil yang menetapkan hukuman diatnya, dan Imam Malik tidak memberlakukan kiyas, sebagaimana yang diberlakukan oleh imam-imam yang lain.30

q. Diat Gigi

Hukuman diat yang berlaku untuk perusakan atau pencabutan setiap gigi adalah lima ekor unta. Tidak ada perbedaan antara diat gigi taring, gigi geraham, dan gigi lainnya. Bilamana gigi ditanggalkan (orang) sekalipun hanya satu, maka orang yang menanggalkan tersebut wajib membayar diatnya, demikian halnya merontokkan gigi orang lain sekalipun giginya sudah menghitam.31 Namun apabila karena tindak pidana itu gigi berubah warnanya menjadi hitam, hijau, merah, atau kuning maka menurut madzhab Maliki harus ada ganti rugi apabila perubahan tersebut menyamai hitam. Apabila tidak maka hanya dihukum hukumah. Sedangkan mazhab Hanafi dalam kasus ini berlaku ganti rugi apabila warna kuning tersebut menyamakan hitam. Menurut salah satu pendapat

mazhab Syafi’i, dalam semua perubahan warna gigi tersebut hanya

berlaku h}uku>mah.32

Apabila satu tindak pidana merontokkan gigi seluruhnya, yaitu tiga puluh dua gigi, menurut jumhur Ulama yang terdiri dari Abu

30

Ibid. 207.

31

Sayyid sabiq, FikihSunnah,terj : Ali,110.

32

(50)

41

Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad ibn Hanbal, diatnya adalah 160 ekor unta. Hal ini didasarkan kepada ketentuan bahwa diat satu buah gigi adalah lima ekor unta. Dengan demikian apabila gigi yang rontok tiga puluh dua buah, maka lima dikalikan tiga puluh dua dan hasilnya 160 ekor unta.

Di kalangan mazhab Syafi’i dalam kasus ini berkembang dua

pendapat. Pendapat pertama yaitu pendapat yang Ra>jih sama dengan pendapat jumhur. Sedangkan pendapat kedua berpendapat bahwa dalam kasus ini berlaku satu diat sempurna, yaitu seratus ekor unta, karena gigi merupakan satu jenis anggota badan yang terdiri atas baberapa buah, seperti halnya jari. Oleh karena itu gigi secara keseluruhan merupakan satu paket maka diatnya tidak boleh dari seratus ekor unta.33

2. Diat untuk hilangnya fungsi anggota tubuh

Mengenai Diat terhadap fungsi anggota tubuh yang dimaksud disini adalah fungsi semua anggota tubuh sebagaimana seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, indra untuk dan berjalan, yang disetiap anggota tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda. Dengan demikian indra tersebut dibagi menjadi empat : indra Pendengaran, penglihatan, penciuman dan indra perasa. Di setiap indar tersebut jika hilang atau lenyap fungsinya, maka diatnya adalah diat penuh yaitu 100 ekor unta.

33

(51)

42

Dalam kitabnya, Umar Ibn Hazm berkata “demikian pula dalam

indra penciuman”. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh khalifah Umar

bin Khattab ketika menghukumi seorang laki yang memukul laki-laki lain hingga hilang pndengarannya, penglihantannya, kemaluannya, dan akalnya dengan hukuman harus membayar empat kali lipat dari Diat penuh, sedangkan korban masih tetap hidup. Tidak ada seorang sahabat pun yang berbeda pendapat tentang masalah ini.

Demikian halnya diwajibkan membayar diat penuh bagi orang yang menghilangkan alat berbicara seseorang atau akalnya atau alat untuk berjalan atau alat untuk makan, alat kelaminnya yang menyebabkan air kencing dan buang air besar tidak lancar. Karena setiap anggota tubuh ini memiliki fungsi yang sangat vital yang tidak dapat digantikan anggota tubuh yang lainnya.34Ada pendapat lain tentang Diat melenyapkan manfaat angota badan yang lebih terperinci, yaitu sebgai berikut:

a. Hilangnya akal, dikenakan diat penuh.

b. Hilangnya pendengaran, dikenakan diat penuh.

c. Hilangnya daya penglihatan, dikenakan diat penuh jika kedua mata, setengah diat jika satu mata.

d. Hilangnya daya penciuman, dikenakan diat penuh. e. Hilangnya kemampuan berbicara, dikenakan diat penuh. f. Hilangnya daya perasaan oleh lidah, dikenakan diat penuh.

34

(52)

43

g. Hilangnya kemampuan perempuan untuk berketurunan, dikenakan diat penuh.

h. Hilangnya kemampuan bersetubuh, dikenakan diat penuh.

i. Hilangnya daya gerak tangan sehingga lumpuh, dikenakan diat penuh.

j. Hilangnya kemampuan berjalan, dikenakan diat penuh.35 3. Diat untuk Ash-Shajjaj

Shajjaj (luka pada kepala dan wajah). Jumhur ahli fikih (ulama

Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah serta salah satu pandangan dalam madzhab Asy-Syafi’iah) berpendapat, tidak wajibnya diat tertentu pada shajjaj yang kadarnya kurang dari muwaddhihah, yaitu

Kharisah, Daimiyah, Badhi’ah, Mutala>himah dan Simhaq. Akan tetapi

pada masing-masing ini ditentukan oleh keputusan pengadilan, karena memang tidak ada diat yang ditentukan tapi tidak boleh di sia-sia kan, sehingga harus ditetapkan keputusan pengadilan. Semua ulama berpendapat telah sependapat bahwa pengertian ungkapan h}uku>mah adalah bila seseorang mengalami luka karena dilukai, maka tidak ada diat yang ditentukan.36

Adapun untuk luka muwaddhihah, h}ashi>mah, munaqqilah dan aa>mah, masing-masing ada diat nya yang telah ditetapkan.37

35

Paisol Burlian, Implementasi Konsep Hukum Qishash di Indonesia. 61-62

36

Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqh Sunnah. 360-361.

37

(53)

44

a. Muwaddhihah. Para ahli fiqih sepakat bahwa Diat untuk muwaddhihah adalah lima ekor unta pada laki-laki Muslim merdeka. Pada luka muwaddhihah, diat bagi laki-laki dan perempuan sama.

b. H{ashi>mah. Tidak ada ketentuan pasti tentang diat luka H}ashi>mah, baik secara as-Sunnah maupun Ijma’. Karena itu para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai hal ini. Mayoritas mereka berpendapat, diatnya adalah sepersepuluh diat atau sepuluh ekor unta. Ini pendapat ulama Hanafiyah dan Hanabilah, salah satu pendapat

dikalangan ulama Syafi’iah, bila luka ini juga menampakkan tulang,

dan salah satu pendapat di kalangan ulama Malikiyah. Adapun luka h}ashi>mah yang tidak sampai terlihat tulang maka dikenakan diat

lima ekor unta, namun ada juga yang berpendapat hukumannya diserahkan kepada pengadilan. Ibnu al-Mundzir mengatakan, pada luka hasyimah Diatnya diputuskan oleh pengadilan karena tidak ada

ketentuan dalam Sunnah dan Ijma’.

c. Munaqqilah. Tidak ada perbedaan dilakalangan ulama bahwa diat luka munaqqilah adalah 15 ekor unta.

d. Ma’mu>mah atau Aa>mah. Luka ini mengharuskan sepertiga Diat, menurut jumhur ulama (Hanfiyah, Hanabila, malikiyah, dan

pendapat shahih ulama Syafi’iah). Sedangkan menurut salah satu

ulama Syafi’iah yang dinukil oleh an-Nawawi dari al-Mawardi,

(54)

45

e. Damighah. Yaitu luka yang lebih parah daripada Aamah, biasnya korban luka ini bisa meninggal. Oleh sebab itu sebagian ulama ahli fiqih tidak mencantumkan damighah dalam shajjaj. Namun jika korban tidak meninggal setelah luka damighah, maka jumhur ulama (Hanfiyah, Malikiyah, sebagian ulama Hanabilah dan sebgian ulama

Syafi’iah) berpendapat bahwa dikenakan hukuman diat sama seperti

Ma’mu>mah yaitu sepertiga. Pendapat lain dari sebagian ulama

Syafi’iyah dan sebagian ulama Hanabilah adalah diat sepertiga dan

keputusan pengadilan. Sedangkan ada pendapat lain di kalangan Malikiyah yaitu hukumannya adalah diat yang diputuskan oleh pengadilan.

4. Diat atas pelukaan \Ja>’ifah

Hukuman diat untuk ghair jaifah adalah hukumah. Sedangkan untuk ja>’ifah adalah sepertiga diat.38 Pendapat lain adalah luka-luka

selain pada wajah dan kepala. Para ahli fikih sepakat bahwa tidak diwajibkan diat tertentu pada semua luka tubuh kecuali ja>’ifah, tapi diat ditentukan oleh keputusan pengadilan. Demikian ini, karena tidak ada nash syariat yang menyatakan dan sulit untuk memastikan dan memperkirakan. Adapun luka ja>’ifah adalah luka yang sampai kebagian dalam, baik luka itu dimulai dari perut, punggung, dada, maupun lainnya, maka para ahli fiqh sepakat bahwa diatnya adalah sepertiga diat, baik sengaja atau tidak sengaja. Mereka juga sepakat bahwa luka

38

(55)

46

ja>’ifah itu dari satu sisi menembus kesisi lainnya, maka dianggap sebagai dua luka ja>’ifah sehingga pelakunya dikenai dua pertiga diat.39

39

(56)

47

BAB III

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI POSO NOMOR 107/PID.B/2013/PN.PSO TENTANG TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN

CACAT SEUMUR HIDUP

A. Deskripsi kasus tindak pidana yang mengakibatkan cacat seumur hidup dalam putusan nomor 107/Pid.B/2013/Pn.Pso.

Putusan pengadilan negeri poso nomor 107/PID.B/2013/PN.PSO adalah putusan hakim yang diberikan pada perbuatan pidana yang dilakukan oleh Andi Iskandar. Peristiwa ini terjadi pada hari Sabtu tanggal 26 Januari 2013 sekitar jam 21.00 Wita atau setidak-tidaknya pada bulan Januari 2013, bertempat Desa Tadaku Jaya Kecamatan Petasia Kab. Morowali. Pelaku, dalam putusan majelis hakim tersebut, dengan sengaja melakukan tindak pidana penganiayaan berat terhadap orang lain.1

Dalam putusan majelis hakim, perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa digambarkan sebagaimana keterangan berikut:

Bahwa pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas disaat saksi Syamsu Nabi sedang berjalan dijalan desa Tadaku Jaya dengan tujuan hendak ke rumah Adi baru saja berjalan beberapa meter didepan rumah, saksi bertemu dengan terdakwa Andi Iskandar yang berjalan dari arah depan yang lalu bertanya kepada saksi dengan menggunakan bahasa bugis yang berarti

“… mau kemana..” dijawab oleh saksi Syamsu Nabi dengan bahasa bugis

yang artinya “.. mau ke rumah Adi, saya mau pulang ke selatan sebentar

(57)

48

subuh..” mendengar jawaban saksi Syamsu tersebut tanpa sebab yang jelas

secara tiba-tiba terdakwa Andi Iskandar menyerang saksi Syamsu Nabi dengan menggunakan sebilah parang terhunus dengan cara mengayunkan parang secara kuat dan cepat yang dipegangnya dengan tangan kiri kearah saksi Syamsu Nabi yang mengenai pinggang sebelah kanan, setelah itu terdakwa kembali mengayunkan parang yang dipegangnya secara kuat dan cepat kearah saksi Syamsu Nabi, mendapat serangan tersebut saksi Syamsu kaget secara spontan berusaha untuk menangkap parang yang ditebaskan oleh terdakwa tersebut namun terdakwa menarik secara kuat sehingga pegangan saksi terlepas, setelah itu terdakwa kembali secara membabi buta menyerang saksi Syamsu Nabi secara berulang kali dengan cara menebaskan/mengayunkan parangnya secara kuat dan cepat kearah tubuh saksi Syamsu Nabi yang mengenai bahu sebelah kanan dan rahang saksi Syamsu Nabi, karena mendapat serangan secara bertubi-tubi tersebut saksi yang sudah kewalahan berteriak minta tolong hingga terdakwa menghentikan perbuatannya dan pergi meninggalkan saksi Syamsu Nabi. 2

Akibat dari perbuatan terdakwa tersebut saksi Syamsu Nabi mengalami luka robek pada pipi kanan bawah, luka terbuka pada leher, luka robek pada telapak tangan kanan dan luka robek pada telapak tangan kiri, hal ini sesuai dengan visum et Repertum nomor:07.01/350/II/RSUD K.Dale/2013 tanggal 26 Pebruari 2013 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Oktafian S. Pamuna dokter Pemerintah pada Rumah Sakit Umum Daerah

(58)

49

Kolonodale Kabupaten Morowali, tanggal 26 Pebruari 2013, (Lihat dalam putusan beri komentar) telah melakukan pemeriksaan terhadap Samsul N. dengan hasil pemeriksaan ditemukan sebagai berikut:

1. Keadaan umum : Penderita masuk rumah sakit dalam keadaan sadar dengan tekanan darah seratus per enam puluh mmHg koma denyut nadi delapan puluh delapan kali per menit koma suhu badan tiga puluh enam koma lima derajat celcius koma pernapasan delapan belas kali per menit;

2. Kepala : Tampak luka robek pada pipi kanan bawah ukuran enam kali nol koma lima kali dua koma lima sentimeter tepi luka tajam ujung runcing;

3. Leher : Tampak luka terbuka ukuran enam kali tiga kali sentimeter ujung runcing.

4. Alat gerak atas : Tampak luka robek ditelapak tangan kanan ukuran empat kali dua sentimeter koma luka robek ditelapak tangan kiri ukuran empat koma lima kali dua sentimeter koma nol koma lima kali satu sentimeter ujung luka runcing;

5. Kesimpulan : Luka-luka tersebut di atas disebabkan oleh benda tajam dan mengakibatkan korban mengalami cacat seumur hidup.

Akibat dari perbuatan tersebut terdakwa di dakwa karena telah melanggar ketentuan yang diatur dan diancam pidana berdasarkan Pasal 354 ayat (1) KUHP.3

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian Susu Formula Pada Bayi Usia 0-6 Bulan Di Kelurahan Helvetia Timur, Tesis, FKM USU, Jakarta.. Hubungan antara pengetahuan

Laki-laki dari tanah karo memiliki sifat yang sabar dan mau menolong. “Datang seseorang laki -laki dari Tanah Karo memberitahukan kepada Guru Penawar bahwa dua anaknya

Mekanisme seleksi lomba inovasi pembelajaran guru SMP diatur sebagai berikut. 1) Secara garis besar seleksi lomba inovasi pembelajaran pada tingkat satuan pendidikan

Siti Rahayu Hassan, Mohammad Syuhaimi Ab-Rahman, Aswir Premadi and Kasmiran Jumari. The Development of Heart Rate Variability Analysis Software for Detection of Individual

Telah banyak riset yang membuktikan bahwa rokok sangat menyebabkan ketergantungan, di samping menyebabkan banyak tipe kanker, penyakit jantung, penyakit pernapasan,

Dari pernyataan di atas dapat diartikan bahwa penerapan reward dan punishment itu sangat penting untuk membentuk karakter siswa, karena dengan adanya reward dan

Ini disebut sebagai non physical boundaries atau sering disebut dengan batas terbuka ( open boundaries ). Untuk mensimulasikan perambatan gelombang yang dapat

Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menentukan sebaran batuan yang mengandung bijih besi menggunakan metode geomagnet di Desa Pringgabaya Utara