• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Beta karoten merupakan salah satu bentuk karotenoid yaitu zat yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Beta karoten merupakan salah satu bentuk karotenoid yaitu zat yang"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Beta karoten merupakan salah satu bentuk karotenoid yaitu zat yang disintesis oleh tanaman, alga, dan bakteri fotosintesis sebagai sumber warna kuning, oranye, dan merah bagi tumbuhan (International Agency for Research on Cancer, 1998). Sebagian beta karoten diubah menjadi vitamin A yang keduanya dapat bertindak sebagai antioksidan di dalam tubuh untuk melawan radikal bebas yang menjadi penyebab kebanyakan dari penyakit degeneratif dan kronis seperti penyakit kardiovaskular, neurodegeneratif, kanker, penyakit autoimun, rheumatoid artritis, katarak, dan aging (Tapan, 2005; Pham-Huy dkk., 2008). Beta karoten banyak dikonsumsi sebagai suplemen karena sifatnya sebagai antioksidan tersebut.

Pemanfaatan karotenoid sebagai bahan fungsional dalam makanan dan minuman saat ini masih terbatas karena memiliki kelarutan yang rendah di dalam air, titik leleh yang tinggi, ketidakstabilan secara kimiawi, serta bioavailabilitas yang rendah (Qian dkk., 2012). Sifat beta karoten yang tidak larut di dalam air (United States Pharmacopeial Convention, 2006) menyebabkan beta karoten harus dikonsumsi bersama dengan makanan atau susu untuk membantu kelarutannya di dalam tubuh sehingga dapat diabsorbsi dan menimbulkan efek. Banyak peneliti (Yuan dkk., 2008; Silva dkk., 2011; Qian dkk., 2012) yang telah mengembangkan sediaan nanoemulsi beta karoten. Fase air yang terdapat di

(2)

dalam sediaan nanoemulsi dikhawatirkan akan mempengaruhi stabilitas beta karoten (Gupta dkk., 2011). Adanya kandungan oksigen dalam air akan menyebabkan sifat antioksidan beta karoten menurun (Sutresna, 2008). Selain itu, air akan mempengaruhi stabilitas biologi beta karoten karena kandungan air yang tinggi memicu pertumbuhan mikroba (Arisman, 2008).

Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan formulasi sediaan SNEDDS (Self-Nanoemulsifying Drug Delivery Sistem) yaitu sistem yang terdiri dari campuran minyak, surfaktan, dan kosurfaktan. SNEDDS dapat membentuk nanoemulsi secara spontan ketika bertemu fase air melalui agitasi yang ringan dalam lambung dengan ukuran tetesan emulsi berkisar nanometer (Mahmoed dkk., 2013). SNEDDS akan menghasilkan sediaan yang lebih stabil secara biologi dan kimiawi serta volume penggunaan yang lebih acceptable dibandingkan bentuk sediaan nanoemulsi. Sifat-sifat yang dimiliki SNEDDS antara lain memiliki kapasitas kelarutan yang tinggi, ukuran partikel yang kecil, dan stabilitas fisik yang sangat baik. SNEDDS dapat meningkatkan permeasi melewati membran usus, mengurangi atau menghilangkan efek makanan, dan meningkatkan bioavaibilitas obat (Rane dan Anderson, 2008; Wasan dkk., 2009).

Pada penelitian ini, formulasi SNEDDS beta karoten dilakukan dengan menggunakan minyak zaitun (Olea europaea) serta surfaktan dan kosurfaktan yang sesuai. Minyak zaitun dipilih sebagai fase minyak dalam pembuatan sediaan SNEDDS ini karena memiliki sifat antioksidan yang dapat melindungi beta karoten dari proses degradasi serta dapat meningkatkan absorbsi karotenoid di

(3)

dalam tubuh (Vissers dkk., 2004). Hasil sediaan tersebut kemudian dioptimasi berdasarkan waktu emulsifikasi dan kejernihan nanoemulsi yang dihasilkan. Kemudian dilakukan karakterisasi meliputi stabilitas fisik di dalam cairan lambung buatan, ukuran dan distribusi ukuran tetesan nanoemulsi, serta potensial zeta nanoemulsi formula optimum. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan bentuk sediaan beta karoten yang memiliki sistem penghantaran lebih baik daripada bentuk sediaan beta karoten lain yang sudah ada di pasaran, yaitu tablet dan kapsul.

B. Rumusan Masalah

1. Berapa perbandingan minyak zaitun, surfaktan, dan kosurfaktan optimum yang dapat digunakan untuk membuat sediaan SNEDDS beta karoten dengan dosis 3 mg/g?

2. Bagaimana karakteristik SNEDDS beta karoten dengan formula optimum meliputi waktu emulsifikasi, nilai transmitan nanoemulsi, stabilitas fisik nanoemulsi dalam media AGF (artificial gastric fluid), ukuran dan distribusi ukuran tetesan nanoemulsi, serta potensial zeta nanoemulsi?

(4)

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui perbandingan minyak zaitun, surfaktan, dan kosurfaktan optimum yang dapat digunakan untuk membuat sediaan SNEDDS beta karoten dengan dosis 3 mg/g.

2. Mengetahui karakteristik SNEDDS beta karoten dengan formula optimum meliputi waktu emulsifikasi, nilai transmitan nanoemulsi, stabilitas fisik nanoemulsi dalam media AGF (artificial gastric fluid), ukuran dan distribusi ukuran tetesan nanoemulsi, serta potensial zeta nanoemulsi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai formulasi SNEDDS beta karoten sehingga dapat menjadi alternatif dalam formulasi beta karoten terutama untuk penggunaan per oral.

(5)

E. Tinjauan Pustaka 1. Beta Karoten

Karotenoid merupakan zat yang disintesis oleh tanaman, alga, dan bakteri fotosintesis. Molekul karotenoid yang kaya akan warna merupakan sumber warna kuning, oranye, dan merah bagi tumbuhan (International Agency for Research on Cancer, 1998). Karotenoid provitamin A merupakan karotenoid yang dapat dikonversi menjadi retinol seperti alfa karoten, beta karoten, dan beta kriptoksantin sedangkan karotenoid non provitamin A merupakan karotenoid yang tidak memiliki aktivitas vitamin A seperti likopen, lutein, dan zeaksantin (United States Department of Agriculture, 2000). Karena warnanya mempunyai kisaran dari kuning sampai merah, maka deteksi panjang gelombangnya diperkirakan antara 430 – 480 nm (Schwartz dan Elbe, 1996).

Beta karoten merupakan salah satu bentuk karotenoid yang dapat ditemukan pada buah-buahan berwarna hijau tua atau kuning tua (seperti wortel). Sebagian beta karoten diubah menjadi vitamin A yang keduanya dapat bertindak sebagai antioksidan di dalam tubuh (Tapan, 2005). Beta karoten banyak dikonsumsi sebagai suplemen karena memiliki berbagai manfaat antara lain untuk kesehatan mata, mencegah penyakit kanker, meningkatkan daya tahan tubuh melalui peningkatan komunikasi antarsel, mengurangi risiko terjadinya stroke, dan memberikan efek analgetik serta antiinflamasi (Kasih, 2008). FDA (2015) merekomendasikan diet vitamin A dalam sehari adalah sebesar 5000 IU atau setara dengan 3 mg beta karoten sintesis.

(6)

Gambar 1. Struktur kimia beta karoten (Kusumaningtyas and Limantara, 2009) Beta karoten memiliki nama kimia (all-E)-1,1'-(3,7,12,16-tetramethyl-

1,3,5,7,9,11,13,15,17-octadecanonaene-1,18-diyl)bis(2,6,6-trimethylcyclohexene). Beta karoten mengandung tidak kurang dari 96,0 persen dan tidak lebih dari 101,0 persen rumus molekul C40H56 dengan bobot molekul

536,87 g/mol serta titik leleh antara 176o dan 182o yang disertai dekomposisi. Senyawa ini harus disimpan dalam kemasan tertutup rapat dan terlindung dari cahaya karena mudah terdegradasi oleh oksidan serta cahaya (USP Convention, 2006).

Beta karoten yang termasuk dalam golongan karotenoid memiliki sifat larut dalam minyak, kloroform, benzena, karbon disulfida, aseton, dan petroleum eter; tidak larut dalam air, etanol, dan metanol dingin; peka terhadap oksidasi, autooksidasi, dan cahaya; serta memiliki ketahanan panas dalam keadaan vakum (Meyer, 1966 dalam Gunawan, 2009). Faktor utama yang mempengaruhi karotenoid selama pengolahan dan penyimpanan adalah oksidasi oleh oksigen maupun perubahan struktur oleh panas. Pemanasan sampai dengan suhu 600C akan mengakibatkan perubahan stereoisomer pada beta karoten. Panas juga akan menyebabkan dekomposisi pada beta karoten (Klauni dan Bauernfeind, 1981 dalam Gunawan, 2009). Beta karoten adalah senyawa tetraterpen yaitu tersusun dari 8 unit isoprena yang mengalami siklisasi pada kedua ujungnya (Dreasti, 2012). Tetraterpen merupakan senyawa terpen rantai panjang sehingga memiliki

(7)

sifat yang tidak dapat menguap pada suhu ruang, berbeda dengan terpen rantai pendek seperti monoterpen dan seskuiterpen yang mudah menguap pada suhu ruang (Bach dan Rohmer, 2012).

2. Minyak Zaitun

Minyak zaitun adalah minyak yang diperoleh dari buah pohon zaitun (Olea europaea). Minyak zaitun memiliki kandungan utama asam lemak tidak jenuh antara lain asam oleat (80%), asam linoleat (6%), asam linolenat (0,7%), dan asam palmitoleat (0,6%). Minyak zaitun juga mengandung asam lemak jenuh, antara lain asam palmitat (9%), asam stearat (3%), dan asam arakidat (0,4%) (Singh dkk., 2009). Minyak zaitun merupakan salah satu minyak alami yang dapat digunakan untuk pembuatan SNEDDS (Dash dkk., 2015). Minyak zaitun banyak dipilih sebagai fase minyak dalam formulasi SNEDDS karena mengandung asam oleat yang memiliki kemampuan self-emulsifying yang tinggi dan kapasitas drug loading yang besar (Surya, 2014).

Gambar 2. Struktur kimia asam oleat (Kelter dkk., 2009)

Karakteristik minyak zaitun yang memiliki kandungan utama asam lemak tidak jenuh menguntungkan dalam pembuatan SNEDDS beta karoten ini karena karotenoid lebih tahan disimpan dalam lingkungan asam lemak tidak jenuh daripada asam lemak jenuh. Asam lemak tersebut lebih mudah menerima radikal bebas dibandingkan dengan karotenoid. Sehingga apabila ada faktor yang menyebabkan oksidasi, asam lemak akan teroksidasi terlebih dahulu dan karotenoid akan telindungi lebih lama (Chichester dan Feeters, 1970). Minyak

(8)

zaitun juga mengandung vitamin E yang diketahui dapat meningkatkan efisiensi absorbsi karotenoid di dalam tubuh serta dapat bertindak sebagai antioksidan yang melindungi karotenoid dari degradasi (Moore, 1957).

3. SNEDDS (Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System)

SNEDDS adalah sistem yang terdiri dari campuran minyak, surfaktan, dan kosurfaktan yang dapat membentuk nanoemulsi secara spontan ketika bertemu fase air melalui agitasi ringan di dalam lambung dengan ukuran tetesan emulsi berkisar nanometer (Mahmoud dkk., 2013). SNEDDS secara spontan apabila terkena cairan lambung akan membentuk nanoemulsi minyak dalam air dengan ukuran tetesan kurang dari 100 nm (Mou dkk., 2008; Thakur dkk., 2013).

Kelebihan SNEDDS dibandingkan nanoemulsi yang mengandung air adalah lebih stabil dan lebih kecil volumenya sehingga memungkinkan untuk dijadikan bentuk sediaan hard atau soft gelatin capsule. SNEDDS juga dapat meningkatkan kelarutan obat yang sukar larut dalam air dengan melewati tahapan disolusi obat. Selain itu, SNEDDS dapat meningkatkan ketersediaan hayati obat di dalam plasma darah (Gupta dkk., 2011).

SNEDDS memiliki komponen utama berupa minyak sebagai pembawa obat, surfaktan sebagai pengemulsi minyak ke dalam air melalui pembentukan dan penjagaan stabilitas lapisan film antarmuka, dan kosurfaktan untuk membantu tugas surfaktan sebagai pengemulsi. Perbandingan dan sifat fisikokimia masing-masing komponen SNEDDS, pH dan suhu saat emulsifikasi terjadi, serta sifat fisikokimia obat akan mempengaruhi karakteristik formula SNEDDS (Obitte dkk., 2011).

(9)

Komponen utama SNEDDS antara lain a. Fase minyak

Minyak merupakan komponen paling penting dalam formulasi SNEDDS karena berperan sebagai pembawa obat hidrofobik dalam jumlah tertentu dan mampu meningkatkan fraksi obat hidrofobik yang tertransport melalui sistem intestinal limfatik sehingga meningkatkan absorpsi dari saluran gastro intestinal tergantung dari struktur molekul trigliserida (Gursoy dan Benita, 2004). Kelarutan obat pada fase minyak menentukan efisiensi drug loading dan bagian terlarut obat selama penyimpanan dan dilusi in vivo. Minyak yang dipilih untuk formulasi SNEDDS adalah minyak yang mampu melarutkan obat secara maksimal dan juga mampu menghasilkan nanoemulsi dengan ukuran tetesan yang diharapkan (Makadia dkk., 2013). Penelitian ini menggunakan minyak zaitun (Olea europaea) sebagai fase minyak karena memiliki kandungan utama asam lemak tidak jenuh yang dapat bertindak sebagai antioksidan sehingga dapat melindungi beta karoten dari degradasi serta dapat meningkatkan absorbsi karotenoid di dalam tubuh (Vissers dkk., 2004).

b. Surfaktan

Surfaktan merupakan komponen lain yang juga vital dalam formulasi SNEDDS (Makadia dkk., 2013). Surfaktan berperan mengurangi tegangan antar muka minyak dengan air saat pembentukan emulsi. Komposisi surfaktan dalam formulasi SNEDDS tidak boleh terlalu banyak karena dapat mengakibatkan iritasi saluran cerna sehingga jumlahnya harus disesuaikan. Surfaktan yang

(10)

bersifat amfifilik dapat melarutkan jenis obat hidrofobik dalam jumlah banyak (Sapra dkk., 2012).

Surfaktan dengan nilai HLB < 10 bersifat hidrofobik seperti sorbitan monoester dapat membentuk nanoemulsi air dalam minyak (w/o). Sedangkan surfaktan dengan nilai HLB > 10 bersifat hidrofilik seperti polisorbat 80 dapat membentuk nanoemulsi minyak dalam air (o/w). Dalam beberapa formulasi, dapat digunakan campuran surfaktan hidrofobik dan hidrofilik untuk membentuk nanoemulsi dengan karakteristik yang diinginkan (Debnath dkk., 2011).

Kemampuan emulsifikasi surfaktan menentukan kemampuan SNEDDS terdispersi secara cepat dalam kondisi pengadukan ringan. Surfaktan juga meningkatkan kemampuan minyak dalam melarutkan obat (Patel dkk., 2011). Surfaktan nonionik yang larut air banyak digunakan dalam formulasi SNEDDS. Surfaktan jenis ini juga lebih aman, biokompatibel dan tidak terpengaruh oleh pH jika dibandingkan dengan jenis surfaktan ionik (Singh dkk., 2009). Surfaktan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Tween 80

Tween 80 atau polyoxyethylene (20) sorbitan monooleate (C64H124O26)

merupakan salah satu surfaktan yang merupakan ester oleat dari sorbitol di mana tiap molekul anhidrida sorbitolnya berkopolimerisasi dengan 20 molekul etilenoksida.

(11)

Gambar 3. Struktur molekul Tween 80 (Rowe dkk., 2009)

Tween 80 berwujud cairan kental berwarna kekuningan, memiliki nilai HLB 15, dan dikategorikan sebagai generally regarded as nontoxic and nonirritant dengan LD50 pemberian secara oral bagi tikus sebesar 25 g/kg BB (Rowe dkk., 2009; Zhao dkk., 2010).

2) Tween 20

Tween 20 atau polisorbat 20 (C26H50O10) memiliki berat molekul 1128

g/mol (Rowe dkk., 2009). Tween 20 adalah ester laurat dari sorbitol dan anhidridanya berkopolimerisasi dengan sekitar 20 molekul etilen oksida untuk setiap molekul sorbitol dan anhidrida sorbitol. Nilai HLB Tween 20 adalah 16,7.

Gambar 4. Struktur molekul Tween 20 (Rowe dkk., 2009) w + x + y + z = 20; R = asam laurat

Penampilan fisik Tween 20 berupa cairan, berwarna kuning muda hingga coklat muda, dan berbau khas lemah. Tween 20 larut di dalam air, etanol, etil

(12)

asetat, metanol, dan dioksan, serta tidak larut dalam minyak mineral (Depkes RI, 1995).

c. Kosurfaktan

Kosurfaktan merupakan senyawa ampifilik yang memiliki afinitas terhadap fase air dan minyak. Kosurfaktan digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan drug loading pada sistem SNEDDS, memodulasi waktu self-nanoemulsification, memodulasi ukuran tetesan nanoemulsi, serta meningkatkan kemampuan spontanitas surfaktan untuk membentuk sistem nanoemulsi. Pada SNEDDS, umumnya kosurfaktan yang digunakan berupa alkohol rantai pendek yang terbukti dapat menurunkan tegangan antarmuka dan pembentukan spontan nanoemulsi (Makadia dkk., 2013). Kosurfaktan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) PEG 400

Gambar 5. Struktur molekul PEG 400 (Rowe, 2009)

PEG 400 atau polietilenglikol memiliki rumus kimia H(O-CH2-CH2)nOH

dimana harga n antara 8,2 dan 9,1. Wujud PEG 400 berupa cairan kental jernih, tidak berbau atau praktis tidak berwarna, dan memiliki bau khas lemah. PEG 400 larut dalam air, dalam etanol (95%) P, dalam aseton P, dalam glikon lain dan dalam hidrokarbon aromatik; praktis tidak larut dalam eter P dan dalam hidrokarbon alifatik (Depkes RI, 1979).

(13)

2) Propilen glikol

Gambar 6. Struktur molekul propilen glikol (Rowe, 2009)

Propilen glikol memiliki bobot molekul 76,09 g/mol (Rowe dkk., 2009). Wujud dari propilen glikol berupa cairan kental, jernih, tidak berwarna, berasa khas, praktis tidak berbau, dan menyerap air pada udara lembap. Propilen glikol dapat bercampur dengan air, aseton, dan kloroform. Selain itu, propilen glikol juga larut dalam eter dan beberapa minyak esensial tetapi tidak dapat larut dengan minyak lemak. Bobot jenis dari propilen glikol berkisar antara 1,035 dan 1,037 (Depkes RI, 1995).

4. Simplex Lattice Design

Simplex lattice design merupakan salah satu metode optimasi, yaitu metode atau desain eksperimental untuk memudahkan dalam penyusunan dan interpretasi data secara matematis (Bolton, 1997). Simplex lattice design digunakan untuk menentukan formula optimum dari berbagai perbedaan jumlah komposisi bahan (dinyatakan dengan berbagai bagian), yang jumlah totalnya dibuat sama yaitu satu bagian.

Profil respon dapat ditentukan melalui persamaan berdasarkan simplex lattice design sebagai berikut.

(14)

Keterangan :

B1 = Respon dari bahan A B2 = Respon dari bahan B

B12 = 4 (Respon dari 50% bahan A dan 50% bahan B) – 2 (Respon dari bahan A + Respon dari bahan B)

(Bolton, 1997) Nilai respon yang didapat dari hasil percobaan disubtitusikan ke dalam persamaan di atas, maka dapat dihitung nilai koefisien a, b dan ab. Jika nilai-nilai koefisien ini telah diketahui, dapat pula dihitung nilai Y (respon) pada setiap variasi campuran A dan B sehingga didapatkan gambaran profilnya (Bolton, 1997). Metode ini digunakan untuk optimasi rasio komponen yang digunakan dalam pembuatan SNEDDS sehingga dapat dihasillkan SNEDDS dengan sifat-sifat yang diharapkan.

(15)

F. Landasan Teori

Beta karoten banyak digunakan sebagai suplemen karena merupakan salah satu antioksidan yang memiliki manfaat untuk mencegah berbagai penyakit, meningkatkan daya tahan tubuh, dan memberikan efek analgetik dan antiinflamasi (Kasih, 2008). Sifat beta karoten yang tidak larut dan mudah teroksidasi di dalam air menjadi masalah dalam formulasi beta karoten untuk aplikasi per oral terkait disolusi, absorbsi, dan bioavailabilitasnya di dalam tubuh (Qian dkk., 2012). Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut adalah formulasi beta karoten dalam bentuk SNEDDS (Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System).

SNEDDS adalah bentuk sediaan yang mengandung minyak, surfaktan, dan kosurfaktan yang dapat membentuk nanoemulsi secara spontan di dalam cairan gastrointestinal. SNEDDS memiliki ukuran tetes emulsi dalam kisaran nanometer sehingga dapat meningkatkan disolusi dan absoprsi oral lalu meningkatkan bioavailabilitas dalam tubuh secara signifikan (Nazzal dkk., 2002). Tidak adanya kandungan air di dalam SNEDDS memberikan keuntungan yaitu lebih menjaga stabilitas beta karoten dan memberikan kenyamanan penggunaan bagi pasien karena volume sediaan lebih kecil dibandingkan nanoemulsi konvensional.

Beta karoten diketahui dapat larut di dalam minyak (Meyer, 1966 dalam Gunawan, 2009). Minyak zaitun digunakan sebagai fase minyak karena memiliki kandungan utama asam lemak tidak jenuh dan vitamin E yang dapat bertindak sebagai antioksidan sehingga dapat melindungi beta karoten dari degradasi serta

(16)

dapat meningkatkan absorbsi karotenoid di dalam tubuh (Vissers dkk., 2004; Moore, 1957). Surfaktan dan kosurfaktan yang kompatibel dengan minyak zaitun akan membentuk lapisan film dan menurunkan tegangan muka tetesan minyak sehingga dapat membentuk nanoemulsi secara spontan di dalam cairan gastrointestinal. Surfaktan yang digunakan dalam formulasi SNEDDS beta karoten ini adalah Tween 80 atau Tween 20 dan kosurfaktan yang digunakan adalah PEG 400 atau propilen glikol.

Keberhasilan dalam formulasi SNEDDS dapat dilihat dari parameter waktu emulsifikasi, kejernihan, stabilitas fisik nanoemulsi dalam AGF, ukuran dan distribusi ukuran tetesan nanoemulsi yang dinyatakan dalam PI (polydispersity index), dan potensial zeta nanoemulsi. SNEDDS yang baik akan menghasilkan nanoemulsi dengan waktu emulsifikasi kurang dari satu menit (Makadia dkk., 2013), kejernihan atau nilai transmitan lebih dari 90% (Costa dkk., 2012), stabil secara fisik dalam AGF selama 4 jam (Ziessman dkk., 2007), ukuran tetesan nanoemulsi rata-rata kurang dari 100 nm dengan PI kurang dari 1 (Thakur dkk., 2013; Elsheikh dkk., 2012), dan potensial zeta lebih besar dari 30 mV dengan muatan negatif atau positif (Singh dan Liliard, 2009).

Telah banyak formulasi SNEDDS yang berhasil dilakukan menggunakan surfaktan dan kosurfaktan yang digunakan dalam penelitian ini. Fitriani (2013) dalam penelitiannya berhasil memformulasikan SNEDDS Pentagamavunon-0 menggunakan minyak zaitun sebagai fase minyak, Tween 80 sebagai surfaktan, dan PEG 400 sebagai kosurfaktan. Fathirnadiva (2015) dalam penelitiannya berhasil memformulasikan SNEDDS ekstrak akar purwoceng gunung dengan

(17)

asam oleat sebagai fase minyak, Tween 20 sebagai surfaktan, dan propilen glikol sebagai kosurfaktan. Beta karoten juga sudah pernah diformulasikan ke dalam bentuk nanoemulsi oleh Qian dkk. (2012) dengan menggunakan trigliserida rantai panjang sebagai fase minyak dan Tween 20 sebagai surfaktan. Perbandingan yang digunakan untuk komposisi minyak, surfaktan, dan kosurfaktan dalam pembuatan SNEDDS beta karoten diperkirakan adalah 1:8:1 berdasarkan pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, antara lain oleh Rachmawati dkk. (2010) dan Rachmawati dkk. (2014) dalam pembuatan SNEDDS Bovine Serum Albumine dan kurkumin yang memiliki permasalahan kelarutan di dalam air seperti beta karoten (Diederich dan Noworyta, 2012).

Berdasarkan hasil beberapa penelitian yang telah disebutkan dan teori yang mendukung, diperkirakan formulasi SNEDDS beta karoten menggunakan minyak zaitun, surfaktan, dan kosurfaktan tertentu dapat dilakukan.

(18)

G. Hipotesis

1. SNEDDS beta karoten dengan dosis 3 mg/g dapat dibuat menggunakan minyak zaitun, surfaktan, dan kosurfaktan dengan perbandingan kurang lebih 1:8:1.

2. SNEDDS beta karoten dengan formula optimum memiliki karakteristik waktu emulsifikasi kurang dari 1 menit, nilai transmitan nanoemulsi lebih dari 90%, stabil secara fisik dalam media AGF selama 4 jam, ukuran tetesan nanoemulsi kurang dari 100 nm dengan Polydispersity Index kurang dari 1, dan potensial zeta nanoemulsi lebih dari ±30 mV.

Gambar

Gambar 1. Struktur kimia beta karoten (Kusumaningtyas and Limantara, 2009)
Gambar 4. Struktur molekul Tween 20 (Rowe dkk., 2009)  w + x + y + z = 20; R = asam laurat

Referensi

Dokumen terkait

Undang-undang parti tahun 1999 hingga 2009 masih belum stabil disebabkan oleh empat keadaan iaitu mengenai pembentukan dan pendaftaran parti, peserta pilihan raya,

Skripsi dengan judul “STUDI KELAYAKAN RENCANA PENDIRIAN RUMAH KOS DI KAWASAN RSUD DR.ISKAK TULUNGAGUNG” disusun untuk memenuhi dan melengkapi syarat untuk memperoleh gelar

Proses analisa dan desain Sistem Informasi Geografis Pemetaan Lokasi Sekolah Garis Depan Berbasis Android Di Provinsi Gorontalo berjumlah ±25 sekolah yang terdiri dari SD sebanyak

1. Pelaksanaan bimbingan agama yang diterapkan pada anak-anak di Panti Asuahan Tenku Ampuan Fatimah Kuantan Malaysia meliputi bimbingan kejiwaan dimana pada umumnya yang

Dalam konteks politik, nama Hidayat Nur Wahid sebetulnya mulai dikenal ketika ia menjabat sebagai Presiden Partai Keadilan (PK) pada 21 Mei 2000,

Banyaknya keluhan pemakai layanan jasa internet terhadap provider Indosat (IM2) dan Telkomsel (Telkomsel Flash) karena adanya ketidakpuasan pengguna terhadap layanan

(2007: 441), stres adalah suatu respons adaptif, dimoderasi oleh perbedaan individu, yang merupakan konsekuensi dari setiap tindakan, situasi, atau peristiwa yang

Hipermetropi dikenal dengan rabun dekat yang merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata, yang mana pada keadaan ini sinar sejajar jauh tidak cukup.. dibiaskan