IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL UJI RELIABILITAS DAN VALIDITAS
Pengujian kuesioner diawali dengan pengujian draft kuesioner kepada 8 orang warga Desa Sinarsari, yaitu 3 orang ibu, 3 orang bapak dan 2 orang anak. Pengujian dilakukan untuk mengetahui apakah kalimat yang disusun dalam kuesioner dapat dipahami dengan benar oleh responden. Berdasarkan uji yang dilakukan, diperlukan perbaikan pada poin-poin kuesioner ini. Pada beberapa poin seperti pengetahuan tentang pola makan sehat dan sikap kognitif diperlukan perbaikan baik dari segi tata bahasa atau pemilihan kata yang tepat, dan juga penyampaian pertanyaan yang tepat agar maksud dari pertanyaan tersebut dapat dimengerti oleh responden.
Pertanyaan-pertanyaan yang bersifat negatif seperti “Bapak memperbolehkan anak jajan apabila anak tidak menyukai makanan yang dihidangkan di rumah” pada komponen sikap kognitif perlu lebih ditekankan pada responden sehingga tidak keliru mengartikan pertanyaan yang diajukan. Pada bagian dari pengetahuan responden tentang pola makan sehat, pernyataan “Sayuran mentah selalu lebih baik daripada sayuran olahan.” dihilangkan karena menimbulkan kebingungan pada responden.
Setelah perbaikan kalimat-kalimat dalam kuesioner, kemudian dilakukan pengujian reliabilitas dan validitas kuesioner. Dari hasil pengujian reliabilitas kuesioner, diperoleh koefisien korelasi dari masing-masing variabel sebagaimana tercantum pada Tabel 10. Demikian juga hasil pengujian validitas dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil uji validitas dan uji reliabilitas kuesioner
Item Nilai r
(Sperman)
Nilai Validasi (Spearman)
Pola asuh keluarga 0.725* -0,470 – 0,886**
Pengetahuan tentang kesehatan 0.711* 0,455 – 0,779* Pengetahuan tentang pola makan sehat 0,439 0,130 – 0,813*
Sikap kognitif 0,073 0 – 0,655
Sikap afektif -0,028 0,257 – 0,339
Kecenderungan perilaku -0,266 0,540- 0,756*
B. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 1. Kabupaten Bogor
Kabupaten Bogor terletak di Propinsi Jawa Barat. Kota ini terletak 54 km sebelah selatan Jakarta dengan luas 298.838.304 Ha. Batas strategis dari Kabupaten Bogor ini antara lain, sebelah utara berbatasan dengan kota Depok, sebelah Barat dengan Kabupaten Lebak, sebelah barat daya berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang, sebelah timur daya berbatasan dengan Kabupaten Bekasi, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi, sebelah tenggara berbatasan dengan Kabupaten Cianjur, dan sebelah tengah berbatasan dengan Kota Bogor. Kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan, dimana jumlah tersebut adalah hasil pemekaran 5 kecamatan di tahun 2005. Kecamatan tersebut antara lain Kecamatan Leuwisadeng
(pemekaran Kecamatan Leuliwiang), Kecamatan Tanjungsari (pemekaran Kecamatan Cariu), Kecamatan Cigombong (pemekaran Kecamatan Cijeruk), Kecamatan Tajurhalang (pemekaran kecamatan Bojong Gede) dan Kecamatan Tenjolaya (pemekaran Kecamatan Ciampea).
Kabupaten Bogor terletak pada ketinggian 190 m sampai 330 m dari permukaan laut. Udaranya relatif sejuk dengan suhu udara rata-rata setiap bulannya adalah 26 °C dan kelembaban udaranya kurang lebih 70%. Suhu rata-rata terendah di Kabupaten Bogor adalah 21,8 °C, paling sering terjadi pada Bulan Desember dan Januari. Arah mata angin dipengaruhi oleh angin muson. Bulan Mei sampai Maret dipengaruhi angin muson barat. Berdasarkan sistem klasifikasi iklim Schmidt Ferguson, iklim di Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis tipe A (sangat basah) di bagian selatan dan tipe B (basah) di bagian utara (Irianto & Surmaini 2000).
Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor menyatakan bahwa Kabupaten Bogor merupakan kabupaten terbesar di Propinsi Jawa Barat dan banyak penduduknya yang termasuk keluarga pra sejahtera. Dalam bidang perekonomian, laju perekonomian Kabupaten Bogor sebesar 4,05% pada tahun 2009 yang merupakan penurunan di tahun sebelumnya yaitu sebesar 5,58 % pada tahun 2008 (BPS Kabupaten Bogor 2009). Sektor lapangan usaha dikelompokkan ke dalam kategori sektor primer (pertanian, pertambangan, dan penggalian), sektor sekunder seperti industri pengolahan, listrik, gas, air minum serta bangunan, dan sektor tersier seperti perdagangan, hotel, restoran, pengangkutan, komunikasi, keuangan, persewaan, jasa perusahaan, dan jasa-jasa. Dimana sektor sekunder mengungguli sektor lainnya dalam tahun 2007-2009 (BKKBN 2009).
Jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2010 sebanyak 5.058.538 jiwa yang terdiri atas 2.446.251 jiwa laki-laki dan 2.316.958 jiwa perempuan. Setiap tahun rata-rata penduduk Kabupaten Bogor bertambah 3,16% atau meningkat hingga 140 ribu jiwa. Dari segi struktur penduduk, Kabupaten Bogor mempunyai struktur penduduk umur muda, hal ini akan membawa akibat semakin besarnya jumlah angkatan kerja. Perbandingan antara Jumlah Angkatan Kerja (JAK) dengan penduduk berumur 15 tahun lebih disebut dengan Partisipasi Angkatan Kerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Kabupaten Bogor untuk laki-laki 70,35%, perempuan 38,86% dan secara total 55,24% (BPS Kabupaten Bogor 2010).
Pada tahun 2009, jumlah SD/MI Negri ada sebanyak 1.550 dengan jumlah guru 8.899 orang. SD/MI swasta berjumlah 688. Adapun SLTP/MTS Negri berjumlah 146 dengan jumlah guru 2.782 orang, SLTP/MTS Swasta ada 601 dengan jumlah guru 8.259 orang. Sedangkan untuk jenjang SLTA/MA/SMK ada sebanyak 44 SLTA Negri dengan jumlah guru 469 orang dan SLTA/MA/SMK Swasta berjumlah 360 orang dengan jumlah guru 4.897 orang. Pada Tabel 11 dapat dilihat jumlah penduduk yang masih bersekolah.
Tabel 11. Penduduk 7-24 tahun yang masih sekolah menurut jenis kelamin di Kabupaten Bogor tahun 2009
Kelompok umur
(tahun) Laki-laki Perempuan Jumlah
7-12 274.859 269.665 544.524 13-15 112.143 93.519 205.662 15-18 66.378 53.563 119.941 19-24 11.129 11.194 22.323 25+ 1.639 1.023 2.662 Kabupaten Bogor 464.509 428.964 895.112
Sumber : BPS Kabupaten Bogor 2010
2. Kecamatan Dramaga
Kecamatan Dramaga merupakan salah satu dari sepuluh kecamatan yang ada di Kabupaten Bogordengan luas wilayah sebesar 2.437.636 Ha. Kecamatan Dramaga merupakan pemekaran dari Kecamatan Ciomas. Batas wilayah Kecamatan Dramaga adalah sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Rancabungur, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Ciomas, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Ciampea, dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bogor Barat. Kecamatan Dramaga termasuk dalam dataran bergelombang dengan ketinggian 500 m dpl. Dari segi administratif, Kecamatan Dramaga terdiri atas 10 desa, 24 dusun, 72 RW, 309 RT dan 20.371 KK. Desa-desa yang terdapat di Kecamatan Dramaga antara lain Desa babakan, Ciherang, Cikarawang, Neglasari, Petir, Purwasari, Sinarsari, Sukadamai, dan Sukawening
Jumlah penduduk Kecamatan Dramaga pada tahun 2009 untuk laki-laki adalah sebanyak 47.434 jiwa dan perempuan sebanyak 44.968 jiwa dengan total sebanyak 92.402 jiwa. Mata pencaharian penduduk berada di beragam sektor, yaitu sektor pertanian, perdagangan, buruh, ABRI/TNI, dan PNS. Sebanyak 47,01% penduduk memiliki pekerjaan sebagai buruh tani. Tingkat pendidikan di Kecamatan Dramaga masih termasuk rendah, dimana sebanyak 41,97% penduduk tidak tamat SD, 31,88% penduduk tamat SD, 12,87% penduduk tamat SMP, 10,39% tamat SMA, diploma hanya sebanyak 1,13% dan sarjana hanya sebesar 1,75% (Anonim 2011a). Pada Tabel 12 dapat dilihat jumlah penduduk Kecamatan Dramaga berdasarkan tingkat kesejahteraannya.
Tabel 12. Jumlah Penduduk Kecamatan Dramaga berdasarkan tingkat kesejahteraannya
Kelompok penduduk Jumlah (jiwa)
Keluarga pra sejahtera 7.220
Keluarga sejahtera I 2.986
Keluarga sejahtera II 3.786
Keluarga sejahtera III 493
Keluarga sejahtera III plus 136
Total 14.621
Sumber : BPS Kabupaten Bogor 2010
Kurangnya lapangan pekerjaan membuat mereka sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan juga memenuhi kebutuhan tambahan untuk menunjang kesehatan mereka.Pembangunan infrastruktur dan juga pengembangan sumber daya manusia kerap dilakukan di Kecamatan Dramaga untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik.
3. Desa Sinarsari
Desa Sinarsari merupakan pemekaran dari Desa Neglasari pada tahun 1985 yang memiliki luas wilayah sebesar 172,24 Ha. Jumlah penduduk Desa Sinarsari sebanyak 8.446 jiwa yang terdiri atas 4.318 jiwa laki-laki dan 4.128 jiwa perempuan dengan jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 2.018 KK. Sementara itu, jumlah keluarga miskin (Gakin) sebanyak 586 KK dengan (29%). Batas administratif Desa Sinarsari yaitu sebelah utara berbatasan dengan Desa Dramaga, sebelah timur berbatasan dengan Desa Ciherang, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sukawening, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Neglasari dan Kecamatan Ciampea. Pada Gambar 4 dapat dilihat peta Desa Sinarsari.
Gambar 4. Peta Desa Sinarsari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor
Dilihat dari topografi dan kontur tanah, Desa Sinarsari secara umum berupa daratan dan lembah/rawa yang berada pada ketinggian antara 196 m sampai dengan 200 m dpl dengan suhu rata-rata berkisar antara 22-28˚C. Desa Sinarsari terdiri atas dua dusun, empat RW, dan 22 RT. Orbitasi dan waktu tempuh dari ibukota kecamatan adalah 2 km2 dengan waktu tempuh 12 menit dan waktu tempuh dari ibukota kabupaten adalah 35 km2 dengan waktu tempuh 60 menit (Anonim 2011b). Mata pencaharian penduduk di Desa Sinarsari juga beragam. Pada Tabel 13, dapat dilihat jenis pekerjaan penduduk di Desa Sinarsari dan jumlahnya.
Tabel 13. Mata pencaharian penduduk Desa Sinarsari
Mata Pencaharian Jumlah (jiwa)
Karyawan swasta 1600 Buruh 800 Pedagang 250 Petani 300 Wirausaha 250 TNI/Polri 10 Sumber : Anonim 2011b
Pada Desa Sinarsari, mata pencaharian terbesar adalah sebagai karyawan swasta yaitu sebanyak 1.600 orang. Jumlah terbanyak kedua yaitu buruh. Pekerjaan buruh dapat berupa buruh tani atau buruh lepas, seperti sebagai kuli bangunan, perbaikan alat-alat rumah
tangga dan sebagainya. Desa Sinarsari tidak memiliki balai pengobatan klinik dan dokter umum. Masyarakat melakukan pelayanan kesehatan di posyandu (8 buah), bidan (3 orang), dan dukun bayi terlatih (4 orang).
Masalah pendidikan di Desa Sinarsari menyerupai dengan data pendidikan yang terdapat pada Kecamatan Dramaga pada Tabel 11 sebelumnya, jumlah penduduk yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi semakin lama semakin berkurang jumlahnya. Di Desa Sinarsari, sebagian besar penduduk tidak lulus SD, bahkan hingga ke generasi penerusnya. Penduduk Desa Sinarsari lebih mementingkan mencari uang, dibandingkan dengankan mengejar pendidikan. Tidak ada komoditas khusus yang dihasilkan oleh penduduk Desa Sinarsari. Penduduk kebanyakan menanam palawija, sayur-sayuran, buah-buahan, tetapi tidak menanam padi. Hal ini terjadi karena sistem bercocok tanam di Desa Sinarsari secara individual, dimana lahan pertanian bebas ditanamkan suatu komoditi tanpa aturan yang mengikat.
Untuk sarana dan prasarana ekonomi, di Desa Sinarsari hanya terdapat 5 buah industri rumah tangga dan 2 buah perusahaan kecil. Pembagian kelas penduduk di Desa Sinarsari dibagi menjadi lima kelompok keluarga, antara lain Pra-KS yaitu keluarga yang hidup di bawah kesejahteraan dimana penghasilan keluarga mereka tidak mencapai UMR kota Bogor, dan juga dilihat dari kondisi tempat tinggalnya. Sebanyak 545 KK atau sebanyak 27% penduduk Desa Sinarsari termasuk dalam kelompok Pra-KS. Pada Tabel 14 dapat dilihat tingkat kesejahteraan penduduk di Desa Sinarsari berdasarkan pendapatan mereka. Tabel 14. Tingkat kesejahteraan kelompok keluarga Desa Sinarsari berdasarkan pendapatan
Kelompok Pendapatan
Pra keluarga sejahtera < Rp 800.000,00
Keluarga sejahtera I Rp 800.000,00 - Rp 1.000.000,00 Keluarga sejahtera II Rp 1.000.000,00 – Rp 2.000.000,00 Keluarga sejahtera III (memiliki kendaraan) Rp 2.000.000,00 – Rp 5.000.000,00 Keluarga sejahtera III Plus (memiliki
kendaraan dan usaha sendiri)
>Rp 5.000.000,00
Sumber : Anonim 2011b
Banyaknya penduduk yang termasuk dalam keluarga pra-KS menunjukkan bahwa rendahnya penghasilan penduduk membuat penduduk kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, termasuk memperoleh asupan vitamin A. Tidak heran apabila diantara penduduk Desa Sinarsari, masih banyak yang mengalami gizi buruk, atau kekurangan zat gizi baik makro maupun mikro. Hal ini menjadi perhatian, karena gizi yang baik terutama untuk anak, akan baik untuk perkembangan anak ke depannya dalam menjalani kehidupan dan demi terciptanya generasi penerus yang berkualitas.
C. KARAKTERISTIK RESPONDEN
1. Karakteristik Responden Berdasarkan Aspek Sosiodemografi Umur& Jenis Kelamin
Responden dalam penelitian ini terdiri atas anak-anak, remaja, dewasa dan manula. Umur anak dalam penelitian ini dimulai dari 9 tahun sampai 12 tahun sesuai dengan target peneliti untuk meneliti anak mulai dari usia sekolah dan usia pada saat berkembangnya sisi psikomotorik anak tersebut. Sementara responden remaja berumur 13 sampai 17 tahun. Responden dengan umur 18 sampai 55 tahun dikelompokkan dalam kelompok dewasa. Sedangkan pada kelompok manula, berumur 55 tahun ke atas. Perbandingan umur responden pada penelitian dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini.
Gambar 5. Sebaran responden berdasarkan umur dan jenis kelamin
Responden pada penelitian ini berjumlah 101 orang, dengan prosentase anak-anak sebesar 10,9%, remaja sebanyak 11,9%, dewasa 68,3%, dan manula sebanyak 9%. Dilihat dari prosentase yang didapat, sebanyak 68,3% responden terdiri atas responden dewasa, dimana mereka berada dalam fase produktif dan dapat menerima pengetahuan mengenai kesehatan dan mengembangkannya untuk keluarga mereka masing-masing.
Perbandingan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang digunakan pada penelitian ini diharapkan menghasilkan jumlah yang berimbang dengan tujuan agar dapat dilihat respon yang berimbang antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan Gambar 5, dapat dilihat perbandingan jumlah responden laki-laki dan perempuan pada penelitian ini. Jumlah pria sebanyak 42 orang dan perempuan sebanyak 59 orang. Jumlah tersebut termasuk orang tua, serta anak-anak yang menjadi target dari penelitian ini. Kebanyakan pria terutama kepala rumah tangga dan anak laki-laki yang sudah dewasa bekerja sehingga tidak berkenan menjadi responden dalam penelitian ini. Pada fase umur dewasa, jumlah responden sebanyak 68,3% dari total responden terdiri dari 22,8% responden laki-laki dan 45,5% responden perempuan. Umur berpengaruh terhadap kecepatan seseorang untuk menerima dan merespon informasi yang diterima. Pada penelitian Rita (2002), umur merupakan salah satu faktor yang berhubungan signifikan dengan preferensi konsumsi
pangan.Umur dapat mempengaruhi selera seseorang terhadap suatu barang atau jasa (Kotler& Armstrong 1995).
Lama Pendidikan
Karakteristik penduduk Desa Sinarsari yang terlibat dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6 sebagai berikut.
Gambar 6. Sebaran responden berdasarkan lama pendidikan
Tingkat pendidikan mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam pengalokasian pendapatan untuk kebutuhan pangan. Sebanyak 75% dari responden penelitian ini, memiliki lama pendidikan antara 1 sampai 6 tahun, atau sekolah dasar. Kebanyakan penduduk Desa Sinarsari dan juga desa-desa lainnya di Kecamatan Dramaga tidak menyelesaikan pendidikan dasarnya karena terlibat masalah ekonomi. Mereka lebih mementingkan untuk bekerja mencari nafkah untuk keluarganya, termasuk anak-anak, dibandingkan dengan melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi (Anonim 2011b).
Tingkat pendidikan seseorang akan menentukan kemampuan seseorang untuk menangkap suatu informasi, pola pikir, dan tingkat pengetahuannya. Tingkat pendidikan orang tua merupakan faktor yang mempengaruhi pemilihan pangan keluarga. Tingginya tingkat pendidikan orang tua memberi peluang lebih besar memperoleh pengetahuan tentang gizi dan tentang makanan sehat bagi keluarga, dimana atribut gizi suatu produk pangan menjadi penting bagi mereka (Madaniyah 2003).
Pekerjaan
Penduduk Desa Sinarsari memiliki beragam mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Di Desa Sinarsari tersebut, tidak ada komoditi khusus yang menjadi mata pencaharian utama dari penduduknya. Lahan pertanian dimiliki oleh individu dan mereka bebas menanam apa saja tanpa ada keharusan dari pihak desa. Pada Tabel 15 dapat dilihat sebaran penduduk Desa Sinarsari berdasarkan pekerjaan mereka.
Tabel 15. Sebaran responden berdasarkan pekerjaan Jenis pekerjaan Jumlah n % IRT 41 40,59 Buruh 25 24,75 Pelajar 20 19,80 Karyawan 7 6,93 Tidak bekerja 7 6,93 Pedagang 1 0,99 Total 101 100
Berdasarkan data yang telah diperoleh, prosentase paling besar terdapat pada pekerjaan sebagai ibu rumah tangga yaitu 40,59%. Selanjutnya adalah pekerjaan sebagai buruh, sebesar 24,75%. kebanyakan dari kepala keluarga responden berprofesi sebagai buruh lepas, dimana setiap hari pekerjaan mereka tidak menentu, dari mulai buruh bangunan, buruh properti, hingga pemulung sampah.
Pendapatan per Kapita per Bulan
Berdasarkan jenis pekerjaan yang ada pada Tabel 14, didapat pula pendapatan per kapita per bulan dari masing-masing kepala keluarga. Dari 40 keluarga, dapat dilihat pendapatan per kapita per bulan para responden yang terbanyak berada pada jumlah Rp 100.000,00 – Rp 250.000,00 per bulan. Sementara itu pendapatan rata-rata perkapita per bulan sebesar Rp 217.502,71. Tingkat pendapatan akan menentukan jenis pangan yang akan dibeli (Berg 1986). Sanjur (1982) menyatakan bahwa tingkat pendapatan yang tinggi akan memberikan peluang yang lebih besar untuk memilih pangan yang lebih baik. Pendapatan per kapita dapat dilihat pada Gambar 7 sebagai berikut.
Gambar 7. Sebaran responden berdasarkan pendapatan per kapita per bulan Pendapatan per kapita berhubungan erat dengan besar keluarga. Pendapatan per kapita berkurang dengan penambahan jumlah anggota keluarga. Semakin besar ukuran keluarga, maka pendapatan per kapita yang diterima semakin kecil. Keluarga yang berpenghasilan cukup atau lebih tinggi akan lebih mudah dalam menentukan pilihan bahan pangan yang
baik (Nasoetion & Riyadi 1995). Kesulitan dalam memperoleh bahan makanan pokok maupun bahan makanan tambahan penunjang kesehatan, menimbulkan kemungkinan bagi responden untuk menderita penyakit-penyakit, termasuk KVA.
2. Karakteristik Responden Berdasarkan Pengenalan dan Pengetahuan Tentang Minyak Sawit dan Produknya
Pada program SawitA, dilakukan kegiatan sosialisasi pada awal, tengah, dan akhir kegiatan penelitian. Kuesioner pengetahuan responden mengenai kelapa sawit dan produknya dilakukan pada saat tepat sebelum kegiatan sosialisasi pertama dilakukan, yaitu pada awal bulan pertama. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner tersebut kemudian ditanyakan kembali ke responden setelah kegiatan sosialisasi akhir berlangsung, yaitu akhir bulan kedua. Pada Tabel 16 dapat dilihat hasil kuesioner mengenai pengetahuan responden tentang kelapa sawit sebelum diberikan sosialisai dan setelah diberikan sosialisasi.
Tabel 16. Sebaran responden berdasarkan pengetahuan tentang kelapa sawit sebelum dan setelah sosialisasi Item Penjawab Benar (%) No. Sebelum sosialisasi Setelah sosialisasi 1. Melihat dan mengetahui pohon sawit 44,6 78
2. Mengenal CPO 4 22
3. Mengenal produk minyak sawit 15,8 52,5
4. Mengetahui minyak sawit merah 3 65,3
5. Mengetahui manfaat minyak sawit merah 3 64,4 6. Pernah mencoba minyak sawit merah 2 79,2
Hasil dari penyajian kuesioner sebelum dan sesudah kegiatan menunjukkan peningkatan yang signifikan pada setiap poin pertanyaan. Peningkatan pengetahuan responden tentang kelapa sawit disebabkan karena adanya tiga kali sosialisasi, juga setiap minggu peneliti datang memberi produk SawitA sekaligus melakukan monitoring penggunaan produk. Pada saat monitoring, seringkali terjadi tanya jawab antara peneliti dan responden berkaitan dengan produk SawitA. Diskusi tersebut mengenai penguatan tentang produk, cara memakai, dan manfaat yang akan diperoleh responden.
Walaupun terjadi peningkatan yang signifikan pada pernyataan telah mencoba minyak sawit merah, namun hasil sesudah sosialisasi akhir menunjukkan 79,2% bukan 100%. Padahal seluruh responden mendapatkan akses untuk mencoba minyak sawit merah. Kemungkinan hal ini terjadi karena responden tidak menyadari bahwa nama produk yang dikonsumsinya adalah minyak sawit merah. Adanya peningkatan pada pengetahuan responden sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Madanijah (2003), bahwa dengan adanya pendidikan gizi, dalam hal ini sosialisasi, berdampak positif pada pengetahuan seseorang. Pentingnya penyuluhan kepada responden memberikan dampak positif terhadap pengetahuan masing-masing individu.
3. Karakteristik Responden Berdasarkan Pola Asuh Makan Keluarga, Pengetahuan Tentang Vitamin A dan Pola Makan Sehat
Pola Asuh Makan Keluarga
Pola asuh makan keluarga dapat dilihat dari seberapa sering kebersamaan pada saat makan yang berpengaruh terhadap hubungan orang tua dan anak. Selain itu, perhatian orang tua terhadap apa yang anak makan dan peraturan makan juga termasuk dalam pola asuh makan keluarga. Peraturan makan dalam keluarga diterapkan agar anak tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan atau dikonsumsi. Perilaku orang tua akan dilihat dan ditiru oleh anak-anaknya. Bagaimana pola asuh orang tua terhadap anak mereka, apakah orang tua menegur apabila makanan anak tidak habis, apakah orang tua mengizinkan anak untuk jajan apabila ia tidak menyukai makanan yang disajikan ibunya, dan apakah ibu menyediakan makanan yang disukai oleh keluarga atau tidak.
Ke-12 pertanyaan dalam kuesioner dikelompokkan menjadi tiga kegiatan yaitu kegiatan makan bersama, perhatian orang tua dan kegiatan peraturan makan yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 17. Rincian data masing-masing pertanyaan dapat dilihat pada Lampiran 13.
Tabel 17. Sebaran responden berdasarkan pola asuh makan keluarga
No. Item
Frekuensi kejadian (%) Sering
Kadang-kadang
Jarang Tidak pernah
1. Makan bersama 30,37 24,09 21,78 24,09 2. Perhatian orang tua 68,98 17,49 5,94 7,59 3. Peraturan makan 56,27 18,11 14,52 10,40
Pada kegiatan makan bersama, responden paling sering melakukan kegiatan makan malam bersama, yaitu sebanyak 38,61%. Sementara itu, untuk kegiatan makan siang paling jarang dilakukan. Hal ini dikarenakan pada siang hari, orang tua terutama bapak sedang bekerja di luar rumah dan mereka jarang mendapatkan kesempatan untuk makan bersama keluarga pada siang hari. Pada malam hari, orang tua sudah pulang kerja dan anak berada di rumah, sehingga frekuensi makan malam bersama lebih besar.
Pada poin perhatian orang tua, baik ibu maupun bapak telah memberikan perhatian yang baik kepada keluarganya, yaitu sebesar 68,98%, tetapi perhatian yang jauh lebih besar diberikan ibu kepada keluarganya. Hal ini terjadi karena sebagian besar ibu pada keluarga responden berprofesi sebagai ibu rumah tangga, mereka memiliki intensitas waktu yang lebih banyak dengan anggota keluarga lainnya dibandingkan dengan bapak yang harus bekerja di luar rumah. Peraturan makan di dalam keluarga juga sudah diterapkan dengan baik, yaitu sebanyak 56,27% sering menerapkannya. Dalam hal ini, frekuensi ibu dalam menegur dan melarang anaknya untuk jajan sembarangan tetap lebih besar, karena ibu yang berada di dalam rumah, mereka lebih mengetahui apa saja yang dikonsumsi anaknya, bagaimana pola makan anaknya, dan interaksi langsung lainnya. Skor responden mengenai pola asuh makan dapat dilihat pada Tabel 18 berikut ini.
Tabel 18. Kategori skor responden tentang pola asuh makan keluarga Kategori n Prosentase (%) Baik (≥ 80) 23 22,8 Cukup baik (60-79,9) 51 50,5 Kurang baik (< 60) 27 26,7 Total 101 100,0 Rataan ± SD 66,91±0,706 11-94 Nilai minimal-maksimal
Berdasarkan hasil yang diperoleh, nilai rataan yang diperoleh yaitu 66,91 dapat dikatakan sebagian besar responden penelitian telah memiliki pola asuh makan keluarga yang cukup baik. Sebanyak 50,5% responden, telah memiliki pola asuh makan keluarga yang cukup baik. Sedangkan sebanyak 26,7% responden memiliki pola asuh makan yang kurang baik, dan sebanyak 22,8% responden memiliki pola asuh makan keluarga yang baik. Nilai yang dihasilkan oleh responden mulai dari yang paling rendah yaitu 11 hingga yang paling tinggi 94. Hal ini menunjukkan bahwa pola asuh makan tiap responden pada penelitian ini beragam. Semakin baik intensitas keluarga untuk berkumpul bersama melakukan kegiatan makan bersama, maka akan semakin timbul rasa nyaman dari tiap anggota keluarga dan akan meningkatkan kualitas pola asuh keluarga (Pramuditya 2010).
Pengetahuan Responden Tentang Kesehatan
Pengetahuan tentang kesehatan meliputi pengetahuan responden mengenai vitamin A dan vitamin E. Hal ini meliputi tingkat pengetahuan terhadap kandungan vitamin A dan vitamin E pada produk SawitA dan pengetahuan tentang vitamin alami dan sintetik. Pada kuesioner uji di Lampiran 1, terdapat poin mengenai kesehatan responden. Di dalamnya terdapat 20 pertanyaan yang diajukan kepada responden. Pengambilan data kuesioner ini dilakukan pada saat seluruh kegiatan sosialisasi berakhir.Tingkat pengetahuan responden dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Prosentase responden berdasarkan tingkat pengetahuan mengenai kesehatan
Pada poin pengetahuan dasar mengenai vitamin A, banyak responden yang menjawab dengan benar dengan nilai responden lebih besar dari 80%. Hal ini terjadi karena pengetahuan dasar mengenai vitamin A merupakan pengetahuan umum yang mudah didapatkan informasinya, terutama pada saat duduk di bangku sekolah dasar, seperti wortel mengandung vitamin A, vitamin A baik untuk penglihatan dan sebagainya. Nilai yang kurang baik yaitu di bawah 60% ada pada poin mengenai kegunaan vitamin A untuk penyakit seperti kanker dan jantung, juga kegunaan vitamin E untuk penyakit degeneratif dan mengenai vitamin E sintetik. Hal ini terjadi karena informasi tersebut merupakan informasi khusus yang tidak mudah bagi para responden untuk mengakses informasi tersebut. Pengetahuan responden mengenai istilah degeneratif dan sintetik mungkin kurang baik sehingga mereka tidak mengerti dan menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban yang salah. Kategori skor responden berdasarkan tingkat pengetahuan responden mengenai kesehatan dapat dilihat pada Tabel 20 berikut ini
Tabel 20. Kategori skor responden berdasarkan tingkat pengetahuan mengenai kesehatan
Kategori n Prosentase (%) Baik (≥ 80) 46 45,5 Cukup baik (60-79,9) 32 31,7 Kurang baik (< 60) 23 22,8 Total 101 100,0 Rataan ± SD 71,39±0,795 10-100 Nilai minimal-maksimal
Dari hasil yang diperoleh, nilai rata-rata responden sebesar 71,39, jumlah tersebut termasuk dalam kategori cukup baik secara keseluruhan responden. Nilai minimal yang dihasilnya sebesar 10 dan nilai maksimalnya sebesar 100. Hasil yang bervariasi tesebut menunjukkan pengetahuan tiap responden mengenai kesehatan sangat beragam.
Item Pengetahuan Jawaban Benar (%)
Vitamin A untuk penglihatan 91,09
Vitamin A menggantikan sel-sel mati 62,38
Vitamin A untuk pertumbuhan anak 67,33
Vitamin A untuk penyakit jantung 54,46
Vitamin A untukpenyakit kanker 54,46
Ibu hamil banyak membutuhkan vitamin A 84,16 Ibu menyusui banyak membutuhkan vitamin A 62,38 Buah-buahan dan sayuran berwarna merah mengandung vitamin A 82,18
Produk sawitA mengandung vitamin A 94,06
Vitamin A terdapat pada wortel 89,11
Tomat mengandung vitamin A 79,21
Pepayamengandung vitamin A 74,26
Vitamin E pada minyak sawit merah 76,24
Vitamin E untuk kesehatan kulit 76,24
Vitamin E untuk kesehatan 69,31
Antioksidan pada vitamin E 72,28
Vitamin E untuk penyakit degeneratif 50,50
Vitamin E untuk kekebalan tubuh 68,32
Vitamin E sintetik dalam jumlah banyak menimbulkan racun 56,44 Vitamin A alami jumlah banyak menghasilkan racun 63,37
Pengetahuan Responden Tentang Pola Makan Sehat
Pada bagian pengetahuan responden tentang pola makan sehat, hal yang ditanyakan lebih condong kepada pola pikir responden, seperti rasa makanan yang bergizi, mutu pangan dengan harga murah, dan dampak makan makanan yang bervariasi. Hasil kuesioner uji pada Lampiran 1 dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Sebaran responden berdasarkan pengetahuan tentang pola makan sehat
No Item Jawaban
benar (%)
1 Makanan bergizi tinggi, enak rasanya 28,71
2 Makanan murah, bergizi rendah 39,60
3 Makanan tampilannya menarik, bergizi tinggi 56,44 4 Semua makanan bergizi tinggi disukai orang 30,69 5 Konsumsi sumber karbohidrat secara bervariasi 73,27 6 Konsumsi sumber protein secara bervariasi 74,26 7 Konsumsi sumber sayuransecara bervariasi 89,11
Pengetahuan responden mengenai pola makan sehat dapat dilihat dari data yang dihasilkan melalui kuesioner yang digunakan. Pada poin nomor 1 hingga 4, pernyataan yang diajukan mengenai persepsi reponden mengenai makanan bergizi. Hasil yang diperoleh, persepsi makanan yang bergizi dari para responden belum menunjukkan hasil yang baik. Mereka berpikir bahwa makanan yang enak pasti bergizi tinggi, makanan yang murah pasti bergizi rendah dan makanan yang tampilannya menarik pasti bergizi tinggi. Apabila diilustrasikan, tidak semua orang menyukai rasa dari sayur, tetapi sayur-sayuran merupakan makanan yang bergizi. Jika dilihat dari keadaan lingkungan sekitar, tidak sulit mendapatkan makanan bergizi. Makanan bergizi tersebut tidak harus mahal, dapat berupa sayur-sayuran, hasil sawah dan perkebunan penduduk yang dapat mereka peroleh dengan mudah. Pada poin 5 hingga 7, pernyataan mengenai keharusan makan makanan yang mengandung karbohidrat, protein dan sayuran secara bervariasi, pengetahuan responden termasuk baik. Mereka mengetahui bahwa sumber karbohidrat, protein dan sayuran ada berbagai macam, sehingga dapat dikonsumsi secara bervariasi. Kategori skor responden berdasarkan pola makan sehat dapat dilihat pada Tabel 22 berikut ini.
Tabel 22. Kategori skor responden berdasarkan pola makan sehat
Berdasarkan data yang diperoleh dan dapat dilihat di Lampiran 3, nilai rata-rata responden sebesar 56,01 menunjukkan bahwa pola makan sehat responden tergolong kurang baik. Sebanyak 64,4% responden memiliki pengetahuan yang kurang baik tentang pola makan sehat, hal ini karena perbedaan pola pikir responden mengenai harga, tampilan dari suatu produk makanan, yang menurut mereka apabila makanan murah pasti tidak sehat, makanan bergizi pasti kemasannya bagus dan sebagainya. Nilai minimal yang diperoleh
Kategori n Prosentase (%) Baik (≥ 80) 20 19,8 Cukup baik (60-79,9) 16 15,8 Kurang baik (< 60) 65 64,4 Total 101 100,0 Rataan ± SD 56,01±0,794 0-100 Nilai minimal-maksimal
secara keseluruhan sebesar 0, dan nilai maksimal sebesar 100. Variasi nilai tersebut menunjukkan responden yang digunakan sangat beragam dari sisi pola makannya.
D. SIKAP RESPONDEN TERHADAP MENGKONSUMSI PRODUK SAWITA
1. Sikap Kognitif Terhadap Mengkonsumsi Produk Sawit
Pada sikap kognitif dari responden penelitian ini, responden menyatakan kepercayaannya atas dasar pengetahuan yang mereka miliki. Seperti misalnya, apabila dengan mengkonsumsi SawitA, kebutuhan vitamin A dan E mereka akan terpenuhi, dan mereka yakin dengan pengetahuannya bahwa SawitA baik untuk kesehatan, dapat mencegah kanker, dan baik untuk ibu hamil dan menyusui. Hasil kuesioner uji pada Lampiran 1 yang diperoleh mengenai sikap kognitif dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Prosentase responden berdasarkan sikap kognitif terhadap mengkonsumsi produk SawitA
No Keyakinan mengkonsumsi produk SawitA Jawaban benar (%)
1. Memenuhi kebutuhan vitamin A 96,04
2. Memenuhi kebutuhan vitamin E 81,19
3. Membuat kulit lebih halus 75,25
4. Membuat penglihatan lebih jelas 97,03
5. Tidak berisiko terkena penyakit kanker 75,25 6. Tidakberisiko terkena penyakit jantung 72,28
7. Menggantikan sel-sel mati 77,23
8. Memenuhi kebutuhan vitamin A terutama pada ibu hamil
84,16 9. Memenuhi kebutuhan vitamin A terutama pada ibu
menyusui
78,22
Kognisi (kepercayaan) merupakan komponen sikap yang lebih mudah diubah daripada komponen sikap lainnya. Berdasarkan hierarki pengaruh keterlibatan menyatakan bahwa perubahan dalam kepercayaan mendahului perubahan sikap (Setiadi 2003). Dengan adanya kepercayaan responden terhadap produk yang mereka gunakan, akan memudahkan responden untuk memiliki sikap yang positif sehingga dapat mempengaruhi perilaku responden tersebut. Responden percaya bahwa pengetahuannya mengenai produk SawitA itu adalah benar. Seperti contohnya pada kuesioner, responden percaya bahwa produk SawitA dapat memenuhi kebutuhan vitamin A dan vitamin E mereka. Hal tersebut akan terus berada pada ingatan responden sehingga responden akan terus mengonsumsi produk SawitA. Kategori skor sikap kognitif responden dapat dilihat di Tabel 24.
Tabel 24. Kategori skor responden berdasarkan sikap kognitif terhadap mengkonsumsi produk SawitA
Kategori n Prosentase (%) Baik (≥ 80) 61 60,4 Cukup baik (60-79,9) 23 22,8 Kurang baik (< 60) 17 16,8 Total 101 100,0 Rataan ± SD 81,85±0,766 0-100 Nilai minimal-maksimal
Berdasarkan data yang diperoleh dan skor yang dapat dilihat di Lampiran 4, sikap kognitif dari responden dapat dikatakan baik, dilihat dari skor rata-rata responden sebesar 81,85, hal ini berarti mereka percaya akan pengetahuannya mengenai produk SawitA bahwa produk tersebut akan memberikan manfaat bagi dirinya. Hanya 16,8% responden yang memiliki sikap kognitif yang kurang baik terhadap mengkonsumsi produk SawitA.
2. Sikap Afektif Responden Terhadap Mengkonsumsi Produk SawitA
Pada sifat afektif konsumen, dilihat tingkat kesukaan dari responden terhadap mengkonsumsi produk SawitA. Seperti apakah mereka suka menambahkan SawitA pada masakan mereka, apakah mereka suka atribut-atribut sensori yang terdapat pada produk SawitA seperti rasa, aroma, warna, dan apakah dengan menggunakan produk SawitA, mereka dapat merasakan tingkat kelahapan saat makan yang meningkat. Sikap afektif responden terhadap mengkonsumsi produk SawitA dapat dilihat di Tabel 25 sebagai berikut.
Tabel 25. Sebaran responden berdasarkan sikap afektif terhadap mengkonsumsi produk SawitA
Pernyataan
Prosentase (%)
Tidak Setuju Kurang Setuju Agak Setuju Setuju
Suka rasanya 0,99 0,99 8,91 89,11
Tidak suka baunya 45,54 11,88 12,87 29,70
Tidak suka warnanya 73,27 9,90 2,97 13,86
Mudah digunakan 0,99 0,99 0,00 98,02 Senang menggunakan 0,00 0,00 9,90 90,10 Banyak fungsinya 0,00 1,98 2,97 95,05 Rasanya enak 0,00 0,99 13,86 85,15 Baunya mengganggu 75,25 12,87 4,95 6,93 Warnanya mengganggu 81,19 11,88 1,98 4,95
Makan lebih lahap 0,99 3,96 14,85 80,20
Komponen afektif merupakan komponen yang digunakan untuk mengevaluasi suatu merek. Dimana komponen ini merupakan pusat dari telaah sikap karena evaluasi merek merupakan ringkasan dari kecenderungan konsumen untuk menyenangi atau tidak menyenangi produk tertentu (Setiadi 2003). Hasil data menunjukkan bahwa sikap afektif responden dapat dibilang baik. Secara lebih rinci pada poin-poin dalam kuesioner dapat dilihat, responden menyatakan suka dengan atribut-atribut yang ada pada produk SawitA seperti rasa, bau, warna, kemudahan dalam penggunaan, fungsional, dan timbul rasa senang saat menggunakannya. Pada pernyataan 2 dan 8 terlihat responden tidak setuju dengan pernyataan bau produk mengganggu. Sama halnya seperti pada pernyataan 3 dan 9, menurut para responden warna merah dari produk SawitA tidak mengganggu. Kategori skor sikap afektif responden dapat dilihat pada Tabel 26 berikut ini.
Tabel 26. Kategori skor responden berdasarkan sikap afektif terhadap mengkonsumsi produk SawitA Kategori n Prosentase (%) Baik (≥ 80) 85 84,2 Cukup baik (60-79,9) 14 13,9 Kurang baik (< 60) 2 2,0 Total 101 100,0 Rataan ± SD 88,81±0,433 50-100 Nilai minimal-maksimal
Berdasarkan data yang diperoleh secara keseluruhan pada Lampiran 4, nilai rata-rata yang diperoleh tergolong baik yaitu sebesar 88,81. Sebanyak 84,2% responden memiliki sikap afektif yang baik terhadap konsumsi produk SawitA. Nilai minimal yang diperoleh 50 dan nilai maksimal 100, nilai tersebut dapat dikatakan cukup seragam. Dapat diartikan sikap afektif responden cukup seragam terhadap mengkonsumsi produk SawitA.
3. Kecenderungan Perilaku Responden Terhadap Mengkonsumsi Produk SawitA
Komponen kecenderungan perilaku dilihat apakah responden berkeinginan untuk menggunakan produk SawitA di rentang waktu yang akan datang. Dalam hal ini, responden memiliki keinginan untuk melanjutkan mengkonsumsi produk SawitA atau tidak dan juga kecenderungan perilaku responden untuk tetap mengkonsumsi produk SawitA atau tidak. Kecenderungan perilaku responden terhadap produk SawitA dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Prosentase responden berdasarkan kecenderungan perilaku terhadap
mengkonsumsi produk SawitA Pernyataan Prosentase (%) Sangat Ingin Ingin Sekali-kali ingin Tidak Ingin Berkesempatan makan masakan produk
SawitA
6,93 83,17 8,91 0,99 Berusaha senang makan masakan produk
SawitA
14,85 73,27 9,90 1,98 Lebih sering makan masakan produk
SawitA
8,91 79,21 10,89 0,99 Keinginan kuat makan masakan produk
SawitA
8,91 78,22 8,91 2,97 Memilih lauk yang dimasak dengan
SawitA terlebih dahulu
24,75 62,38 9,90 2,97
Komponen kecenderungan perilaku atau disebut juga komponen konatif merupakan komponen yang berarti maksud dari seseorang untuk membeli (Setiadi 2003). Berdasarkan kuesioner yang telah diberikan, pernyataan-pernyataan mengenai keinginan responden untuk terus mengkonsumsi SawitA dibagi menjadi 5 pernyataan. Dimana setiap responden diberikan pernyataan yang meyakinkan dan menguatkan keinginan responden mengkonsumsi produk SawitA. Dilihat dari hasil yang diperoleh, kecenderungan perilaku responden terhadap konsumsi produk SawitA sudah baik. Hal ini dapat dilihat dari setiap pernyataan menghasilkan nilai yang cukup besar untuk pernyataan “sangat ingin” dan “ingin”. Hal ini menunjukkan bahwa responden memiliki kecenderungan perilaku untuk mengkonsumsi produk SawitA. Kategori skor responden berdasarkan kecenderungan perilaku dapat dilihat pada Tabel 28.
Tabel 28. Kategori skor responden berdasarkan kecenderungan perilaku terhadap mengkonsumsi produk SawitA
Kategori n Prosentase (%) Baik (≥ 80) 12 11,9 Cukup baik (60-79,9) 73 72,3 Kurang baik (< 60) 16 15,8 Total 101 100,0 Rataan ± SD 66,27±0,536 27-100 Nilai minimal-maksimal
Berdasarkan hasil yang diperoleh secara keseluruhan pada Lampiran 4, rata-rata skor responden cukup baik yaitu sebsar 66,27. Sebanyak 72,3% responden memiliki kecenderungan perilaku yang cukup baik terhadap konsumsi produk SawitA. Lalu sebanyak 15,8% responden memiliki kecenderungan perilaku yang kurang baik terhadap konsumsi produk Sawit. Nilai yang diperoleh minimal 27 dan nilai maksimal 100. Nilai yang dihasilkan cukup beragam, dapat diartikan kecenderungan perilaku responden juga beragam.
4. Sikap Responden Terhadap Mengkonsumsi Produk SawitA
Komponen sikap kognitif, afektif, dan kecenderungan perilaku merupakan tiga komponen sikap. Hasil kategori skor sikap responden secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 29.
Tabel 29. Kategori skor sikap responden secara keseluruhan terhadap mengkonsumi produk SawitA
Rata-rata total skor Nilai min-maks Rataan ± SD
Sikap kognitif 0-100 81,85±0,766
Sikap afektif 50-100 88,81±0,433
Kecenderungan perilaku 27-100 66,27±0,536
Sikap responden 33-100 78,98 ± 0,641
Setelah diperoleh seluruh skor untuk masing-masing komponen sikap, maka dapat diperoleh skor sikap responden secara keseluruhan. Rata-rata skor sikap responden secara keseluruhan sebesar 78,98 dimana nilai tersebut termasuk cukup baik. Hal ini berarti responden memiliki sikap yang positif dan cukup baik terhadap konsumsi produk SawitA. Hubungan antara tiga komponen sikap tersebut (kognitif, afektif, dan kecenderungan perilaku) memiliki pengaruh keterlibatan tinggi dalam pembentukan sikap seseorang (Setiadi 2003).
E. PERBANDINGAN CPO DAN MSMTF
Pada bulan pertama, responden diberikan produk SawitA CPO. Selama satu bulan tersebut, responden menilai atribut yang ada pada produk SawitA CPO berupa rasa, warna, aroma, dan diidentifikasikan cara konsumsi produk tersebut. Terdapat beragam respon dan pernyataan dari responden mengenai produk SawitA CPO. Hasil wawancara dengan kuesioner pada Lampiran 2 ditampilkan pada Tabel 30 dibawah ini.
Tabel 30. Cara konsumsi CPO dan MSMTF
Jenis
Cara mengkonsumsi produk SawitA (%)
Makanan Pokok Lauk pauk Minuman Camilan Lain-lain
CPO 35 59 2 4 0
MSMTF 44 49 1 5 1
Pada bulan kedua, responden diberikan produk yang berbeda dari bulan sebelumnya, yaitu produk SawitA MSMTF. Wawancara kembali dilakukan dengan pertanyaan yang sama seperti bulan sebelumnya. Pada masing-masing keluarga, pengunaan produk minyak sawit merah digunakan untuk beragam produk makanan ataupun minuman. Berdasarkan data yang diperoleh pada Lampiran 6, penggunaan produk sawit merah CPO paling banyak pada lauk-pauk seperti tempe goreng, tahu goreng, telur, ikan, ayam, ataupun tumis sayuran sebanyak 67% dan menurun menjadi 59% pada produk SawitA MSMTF. Penggunaan minyak sawit merah pada makanan pokok, seperti pada nasi goreng sebanyak 52,48% lalu meningkat menjadi 79,21% pada penggunaan SawitA MSMTF. Alasan responden menggunakan produk SawitA pada jenis makanan tertentu karena menurut pendapat 41,58% untuk produk SawitA CPO dan 59,41% untuk produk SawitA MSMTF, produk tersebut membuat makanan menjadi lebih enak. Maka dari itu, responden kerap menggunakannya di waktu-waktu berikutnya. Frekuensi penggunaan produk SawitA dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 31. Frekuensi penggunaan produk SawitA
Jenis
Frekuensi Penggunaan (%)
Setiap hari 5-6x/minggu 3-4x/minggu 1-2x/minggu Lain-lain
CPO 84 2 7 4 3
MSMTF 86 6 4 4 0
Pada bulan pertama, responden menerima produk minyak sawit merah berupa CPO. Frekuensi penggunaan produk dibagi menjadi lima kelompok yaitu 1-2x/minggu, 3-4x/minggu, 5-6x/minggu, setiap hari, atau keterangan lainnya. Berdasarkan data yang diperoleh, sebanyak 84% responden menggunakan produk CPO setiap hari. Frekuensi penggunaan produk SawitA MSMTF menunjukkan peningkatan yang berbeda dari produk sebelumnya. Responden yang menggunakan produk SawitA MSMTF selama setiap hari sebanyak 86%. Hal ini menunjukkan bahwa responden menyukai menggunakan produk SawitA setiap harinya. Peningkatan jumlah frekuensi dari 84% menjadi 86% dikarenakan responden lebih banyak yang menyukai produk MSMTF dibandingkan dengan produk CPO. Pada Lampiran 5 terdapat alasan responden menggunakan produk SawitA dalamfrekuensi waktu tertentu. Sebanyak 51,49% menyatakan suka untuk produk SawitA CPO dan juga produk SawitA MSMTF. Pada Tabel 32 dapat dilihat jenis masakan yang diaplikasikan dengan produk CPO dan MSMTF.
Tabel 32. Jenis masakan yang diaplikasikan
Jenis
Jenis Masakan (%)
Rebus Tumis Goreng Lain-lain
CPO 9,9 85,15 37 1
Pada tahap sosialisasi, telah diberitahukan pada responden bahwa dianjurkan penggunaan produk minyak sawit pada masakan yang ditumis. Data yang diperoleh pada Lampiran 7, sebanyak 85,15% responden menggunakan produk Sawit A CPO dan sebanyak 91,09% responden menambahkan produk SawitA MSMTF untuk menumis, seperti menumis kangkung, sawi, tauge, dan beragam sayuran lainnya. Sebanyak 1% responden menambahkan produk minyak sawit merah CPO dan MSMTF dengan instruksi yang tidak biasa yaitu pada produk makanan lainnya, seperti menambahkan pada sereal, mengoleskan pada roti, dan menambahkan pada sambal. Produk SawitA CPO lebih banyak digunakan pada jenis masakan goreng dibandingkan produk SawitA MSMTF. Sementara itu, pada produk SawitA MSMTF lebih banyak digunakan pada jenis masakan tumisan dibandingkan produk SawitA CPO. Pada Tabel 33, dapat dilihat pendapat konsumen mengenai atribut rasa, aroma, dan warna dari produk SawitA.
Tabel 33. Kesan konsumen terhadap atribut rasa, aroma, warna sensori produk SawitA
Pada Tabel 32, di antara beragam jenis masakan yang menggunakan produk SawitA, sebanyak 72,28% responden menyatakan rasa masakannya dengan penambahan produk SawitA biasa saja, tidak ada yang aneh ataupun terasa berbeda. Pada produk di bulan kedua, yaitu produk SawitA MSMTF, sebanyak 58,42% menyatakan bahwa rasa masakannya juga biasa saja, tidak ada perbedaan yang berarti jika dibandingkan dengan penggunaan minyak komersil. Sebanyak 1,98% responden menyatakan bahwa rasa masakan dengan produk SawitA CPO terasa pahit dan pada produk SawitA MSMTF tidak ada lagi yang menyatakan bahwa rasanya pahit.
Data menunjukkan bahwa pada produk SawitA MSMTF rasa yang dihasilkan lebih gurih dibandingkan dengan produk SawitA CPO. Rasa gurih tersebut berasal dari fraksi stearin dari minyak kelapa sawit tersebut. Sedangkan rasa yang kurang enak yang berasal dari produk SawitA CPO kemungkinan berasal dari komponen minor dari CPO itu sendiri seperti asam lemak bebas yang telah teroksidasi (Ketaren 1986), dimana jumlah asam lemak bebas pada produk SawitA CPO lebih banyak daripada jumlah asam lemak pada produk SawitA MSMTF (Winarno 1999).
Pada atribut aroma, setelah menggunakan produk SawitA CPO, sebanyak 45,54% responden menyatakan bahwa aroma masakannya beraroma minyak seperti masakan pada
Karakteristik CPO MSMTF Rasa (%) Pahit 1,98 0 Biasa 72,28 58,42 Gurih 12,87 41,58 Lainnya 12,87 0 Aroma (%) Minyak 45,54 41,58 Tengik 17,82 1,98 Wangi 13,86 27,72 Lainnya 22,78 28,72 Warna (%) Warna (%) Mengganggu 1,98 0 Tidak mengganggu 98,02 100
menyatakan aroma masakannya dengan keterangan lain-lain, yaitu biasa saja, tidak bau, tidak suka, dan “enek”. Responden yang menyatakan bahwa aroma masakannya setelah menggunakan produk SawitA CPO beraroma tengik sebesar 17,82%, tetapi pada produk SawitA MSMTF jumlah tersebut berkurang menjadi 1,98%. Pada CPO tidak dilakukan proses deodorisasi atau penghilangan bau, maka dari itu bau asli dari minyak tersebut masih tercium. Pada proses pembuatan produk SawitA MSMTF dilakukan proses deodorisasi sehingga bau tidak enak dari minyak kelapa sawit tersebut hilang. Aroma yang kurang sedap, seperti bau khas dari minyak sawit pada produk SawitA CPO ditimbulkan oleh persenyawaan beta ionone (Ketaren 1986).
Produk SawitA CPO berbasis minyak sawit merah memiliki warna merah berbeda dari produk minyak goreng pada umumnya. Pada saat digunakan pada masakan, warna masakan yang timbul sedikit lebih merah kekuningan dibandingkan dengankan dengan masakan yang menggunakan minyak goreng komersil. Berdasarkan hasil masakan tersebut, sebanyak 98,02% responden tidak merasa terganggu dengan warna masakannya dan sebanyak 1,98% responden menyatakan terganggu dengan warna masakan yang dihasilkan produk SawitA CPO. Sementara itu, setelah menggunakan produk SawitA MSMTF, seluruh responden tidak merasa terganggu dengan warna yang dihasilkan oleh produk ini. Hal ini terjadi dikarenakan warna produk SawitA MSMTF lebih jernih dibandingkan dengan dengan produk SawitA CPO. Sehingga responden tidak merasa keberatan saat menggunakan produk SawitA MSMTF.
Warna merah pada hasil masakan yang menggunakan kedua produk SawitA berasal dari tingginya kandungan karotenoid dari minyak sawit merah tersebut sehingga terbentuk warna merah alami yang sebenarnya merupakan salah satu pigmen alami yang bermanfaat bagi kesehatan, yaitu pigmen karoten (Ketaren 1986). Produk SawitA MSMTF memiliki warna yang lebih jernih karena telah dilakukan proses netralisasi menggunakan penambahan soda kaustik untuk menghilangkan kotoran yang terdapat pada minyak. Responden telah mengkonsumsi kedua produk SawitA yaitu CPO dan MSMTF, dan telah mengetahui atribut dari setiap produk, perbedaan dari tiap produk, sehingga responden secara keseluruhan dapat memilih produk mana yang lebih mereka sukai. Hasil yang diperoleh, sebanyak 83% responden lebih memilih produk SawitA MSMTF dibandingkan dengankan dengan SawitA CPO. Sementara itu, sebanyak 17% responden memilih produk SawitA CPO. Perbedaan yang cukup besar ini disebabkan oleh pada produk SawitA MSMTF bau asal dari minyak kelapa sawit sudah dihilangkan dengan proses deodorisasi, sementara pada SawitA CPO menggunakan minyak sawit asli.
Berdasarkan data pada Lampiran 8, komponen yang mereka tidak sukai dari produk SawitA CPO adalah, teksturnya yang seperti berlemak dan bergajih, kental, tidak enak, getir dan aromanya yang kurang enak, seperti obat. Hal yang mereka sukai dari produk SawitA MSMTF adalah warnanya yg jernih, rasanya yang tidak jauh berbeda dari minyak goreng komersial, dan aromanya yang tidak mengganggu. Hanya sebagian kecil responden di antara 17% responden yang memilih produk SawitA CPO menyatakan bahwa mereka lebih memilih produk SawitA CPO karena sudah terbiasa dengan rasanya dan teksturnya yang lebih padat jadi tidak cepat habis digunakan.
F. HUBUNGAN ANTARA VARIABEL
Untuk melihat apakah ada suatu hubungan antara suatu variabel dengan variabel lainnya digunakan analisis korelasi. Analisis korelasi bermanfaat untuk mengukur kekuatan
hubungan antara dua variabel atau lebih dari dua variabel dengan skala-skala tertentu (Sarwono 2006).
a. Hubungan antara variabel sosiodemografi dengan variabel pola asuh makan, pengetahuan tentang kesehatan, dan pengetahuan tentang pola makan sehat
Berdasarkan data yang diperoleh dan dapat dilihat pada Lampiran 10, nilai r yang terbesar terdapat pada hubungan antara variabel pendapatan dan pengetahuan pola makan sehat yaitu sebesar 0,185* dan hubungan antara lama pendidikan dan pola asuh yaitu sebesar 0,182*. Dengan nilai tersebut maka termasuk ke dalam kisaran 0 < x ≤ 0,25 (Sarwono 2006) yang berarti hubungan antar variabel sangat lemah tetapi signifikan pada taraf 0,05.Pada Tabel 34, dapat dilihat hubungan faktor sosiodemografi dengan pola asuh makan, pengetahuan kesehatan dan pengetahuan pola makan sehat responden.
Tabel 34. Hubungan antara faktor sosiodemografi dengan pola asuh makan, pengetahuan kesehatan, dan pengetahuan pola makan sehat
Variabel
Nilai r Pola Asuh Pengetahuan
kesehatan
Pengetahuan pola makan sehat Umur -0,004 0,049 0,016 Lama pendidikan 0,182* 0,003 -0,019 Pendapatan -0,026 0,057 0,185* Jenis kelamin 0,095 -0,098 -0,026
b. Hubungan antara variabel sosiodemografi dengan variabel sikap dan perilaku konsumen
Pada hasil analisis antara sosiodemografi responden dengan sikap dan perilaku responden, dapat dilihat nilai koefisien korelasi yang diperoleh. Pada Tabel 35 dapat dilihat hubungan antara faktor sosiodemografi dengan sikap dan perilaku konsumen.
Tabel 35. Hubungan antara faktor sosiodemografi dengan sikap dan perilaku konsumen
Variabel Nilai r Sikap kognitif Sikap afektif Kecenderungan perilaku Sikap responden Frekuensi penggunaan Umur 0,169* -0,060 -0,156 0,068 -0,044 Lama pendidikan -0,117 -0,160 -0,022 -0,063 -0,125 Pendapatan -0,054 0,012 0,005 -0,085 0,055 Jenis kelamin -0,038 -0,088 -0,257** -0,103 -0,139
Pada variabel jenis kelamin dengan kecenderungan perilaku, nilai koefisien korelasinya sebesar -0,257** hal ini menunjukkan bahwa variabel tersebut memiliki hubungan yang cukup kuat antara satu sama lain dan dapat dimaknai kebenarannya. Tanda negatif (-) yang ditunjukkan disebabkan karena pada pengolahan data jenis kelamin laki-laki disimbolkan dengan angka “0” maka responden laki-laki lebih memiliki kecenderungan perilaku yang positif terhadap produk SawitA. Hal ini terjadi, karena sebagian besar responden laki-laki dalam hal ini anak dan bapak, cenderung mengikuti apa saja yang ibu atau istri mereka masak dan tidak banyak mengeluh terhadap makanan yang disediakan.
c. Hubungan antara variabel pola asuh makan, pengetahuan tentang kesehatan, dan pengetahuan tentang pola makan sehat dengan variabel sikap dan perilaku konsumen Data yang diperoleh dari pengolahan data pada Lampiran 12 untuk variabel antara pola asuh makan pengetahuan tentang kesehatan, dan pengetahuan tentang pola makan sehat terhadap sikap dan perilaku konsumen menunjukkan bahwa variabel pengetahuan kesehatan dengan sikap kognitif memiliki nilai koefisien korelasi sebesar 0,566** yang berarti antara variabel tersebut memiliki hubungan yang signifikan dan kuat. Pada Tabel 36 menunjukkan hubungan antara pola asuh makan, pengetahuan tentang kesehatan dan pengetahuan tentang pola makan sehat dengan sikap dan perilaku konsumen.
Tabel 36. Hubungan antara pola asuh makan, pengetahuan tentang kesehatan, dan pengetahuan tentang pola makan sehat dengan sikap dan perilaku konsumen
Variabel Nilai r Sikap kognitif Sikap afektif Kecenderungan perilaku Sikap responden Frekuensi penggunaan Pola asuh 0,127 -0,063 0,051 0,153 -0,057 Pengetahuan kesehatan 0,566** 0,224* 0,073 0,493** -0,046 Pengetahuan pola makan 0,104 -0,054 -0,021 0,113 -0,001
Pada variabel pengetahuan kesehatan dengan sikap responden secara keseluruhan memiliki nilai koefisien korelasi sebesar 0,493** yang berarti kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang signifikan dan cukup kuat. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Madanijah (2003), yang menyatakan bahwa tingkat pengetahuan seseorang mengenai gizi atau kesehatan akan mempengaruhi sikap seseorang. Sikap kognitif yang positif muncul karena adanya sosialisasi dan penguatan mengenai produk berkali-kali yang diberikan kepada responden.
d. Hubungan antara sikap dan perilaku konsumen
Hubungan antara sikap dan perilaku konsumen dapat dilihat dari hasil yang didapat. Pada komponen sikap, baik sikap kognitif, sikap afektif, dan kecenderungan perilaku memiliki korelasi yang positif terhadap sikap responden secara keseluruhan. Hubungan antara sikap dan perilaku konsumen dapat dilihat pada Tabel 37 berikut ini.
Tabel 37. Hubungan antara sikap dan perilaku konsumen mengkonsumsi produk SawitA
Variabel Nilai r Sikap kognitif Sikap afektif Kecenderungan perilaku Sikap responden Frekuensi penggunaan Sikap kognitif 1,000 0,416** 0,190* 0,723** 0,139 Sikap afektif 0,416** 1,000 0,391** 0,597** 0,162 Kecenderungan perilaku 0,190* 0,391** 1,000 0,434** 0,223* Sikap responden 0,723** 0,597** 0,434** 1,000 0,071 Frekuensi penggunaan 0,139 0,102 0,223** 0,071 1,000
Dapat dilihat lebih rinci, pada variabel sikap kognitif dan sikap responden memiliki nilai koefisien korelasi sebesar 0,723** yang berarti antara kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang signifikan dan kuat. Lalu, pada variabel sikap afektif dengan sikap responden menghasilkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,597**antara kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang juga signifikan dan kuat. Sedangkan pada variabel kecenderungan perilaku dengan sikap responden memiliki nilai koefisien korelasi sebesar 0,434** yang berarti kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang signifikan dan cukup kuat. Hal ini menunjukkan bahwa sikap responden terbentuk dari tiga komponen sikap yaitu, sikap kognitif, sikap afektif, dan kecenderungan perilaku (Setiadi 2003).
Pada variabel sikap afektif dan sikap kognitif, nilai r yang diperoleh sebesar 0,416**dan nilai r yang diperoleh dari hubungan antar variabel kecenderungan perilaku dengan variabel sikap afektif sebesar 0,391**. Nilai r tersebut berarti hubungan tiap variabel signifikan dan cukup kuat.Pada komponen sikap dan perilaku, hasil menunjukkan bahwa variabel kecenderungan perilaku memiliki hubungan dengan frekuensi penggunaan yang signifikan tetapi sangat lemah dengan nilai r sebesar 0.223*. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat dikatakan bahwa sikap kognitif dan sikap afektif merupakan bagian dari komponen sikap responden, begitu pula dengan kecenderungan perilaku. Untuk mendapatkan kecenderungan perilaku yang positif diperlukan sikap kognitif yang juga positif yang dapat diperoleh dari adanya sosialisasi pengetahuan mengenai produk SawitA.
Adanya peran sikap afektif atau tingkat penerimaan responden terhadap mengkonsumsi produk minyak pada frekuensi mengkonsumsi produk minyak sawit walaupun secara tidak langsung karena berhubungan dengan kecenderungan mengkonsumsi produk minyak sawit. Kecenderungan perilaku yang positif akan berhubungan dengan perilaku responden yang juga positif. Hal ini dinyatakan pula oleh Rakhmawati (2010) mengenai adanya perubahan pengetahuan akan mendorong perubahan sikap, dan perubahan sikap akan mendorong perubahan perilaku. Sehingga, komponen antara sikap dan perilaku saling berkaitan.