• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Konstipasi adalah kesulitan buang air besar dengan konsistensi feses yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Konstipasi adalah kesulitan buang air besar dengan konsistensi feses yang"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konstipasi 2.1.1 Definisi

Konstipasi adalah kesulitan buang air besar dengan konsistensi feses yang

padat dengan frekuensi buang air besar lebih atau sama dengan 3 hari sekali.

Konstipasi memiliki persepsi gejala yang berbeda-beda pada setiap anak tergantung

pada konsistensi tinja, frekuensi buang air besar dan kesulitan keluarnya tinja. Pada

anak normal yang hanya buang air besar setiap 2-3 hari dengan tinja yang lunak tanpa

kesulitan bukan disebut konstipasi. Namun, buang air besar setiap 3 hari dengan tinja

yang keras dan sulit keluar, sebaiknya dianggap konstipasi. Menurut World

Gastroenterology Organization (WGO) konstipasi adalah defekasi keras (52%), tinja seperti pil/ butir obat (44%), ketidakmampuan defekasi saat diinginkan (34%), atau

defekasi yang jarang (33%) (Devanarayana dkk., 2010). Menurut North American

Society of Gastroenterology and Nutrition, konstipasi adalah kesulitan atau lamanya defekasi, timbul selama 2 minggu atau lebih, dan menyebabkan ketidaknyamanan

pada pasien (Van den Berg dkk., 2007), sedangkan menurut Paris Consensus on

Childhood Constipation Terminology menjelaskan definisi konstipasi sebagai defekasi yang terganggu selama 8 minggu dengan mengikuti minimal 2 gejala

sebagai berikut: defekasi kurang dari 3 kali per minggu, inkontinensia frekuensi tinja

(2)

abdomen, perilaku menahan defekasi, nyeri saat defekasi (Drossman dan Dumitrascu,

2006; Voskuijl dkk., 2004).

2.1.2 Epidemiologi

Konstipasi merupakan masalah yang sering terjadi pada anak. Penelitian

Loening-Baucke (2007) didapatkan prevalensi konstipasi pada anak usia 4-17 tahun

adalah 22,6%, sedangkan prevalensi konstipasi pada anak usia di bawah 4 tahun

hanya sebesar 16%. Penelitian Rasquin dkk. (2006) didapatkan bahwa 16% anak usia

9-11 tahun menderita konstipasi. Sebanyak 90-97% kasus konstipasi yang terjadi

pada anak merupakan suatu konstipasi fungsional (Van Den Berg dkk., 2006) dan

kejadiannya sama antara laki-laki dan perempuan (Loening-Baucke, 2004). Hal ini

berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Borowitz dkk. (2003), konstipasi

lebih banyak dijumpai pada anak laki-laki dengan perbandingan 2:1. Penelitian di

Indonesia pernah dilakukan pada anak sekolah taman kanak-kanak di wilayah Senen,

Jakarta. Prevalensi konstipasi didapatkan sebesar 4,4% (Firmansyah, 2007).

2.1.3 Etiologi

Penyebab tersering konstipasi pada anak yaitu fungsional, fisura ani, infeksi

virus dengan ileus, diet dan obat. Konstipasi pada anak 95% akibat konstipasi

fungsional. Konstipasi fungsional pada umumnya terkait dengan perubahan kebiasan

diet, kurangnya makanan mengandung serat, kurangnya asupan cairan, psikologis,

takut atau malu ke toilet (Van Dijk dkk., 2010; Uguralp dkk., 2003; Ritterband dkk.,

(3)

2.1.4 Patofisiologi

Frekuensi defekasi pada anak-anak bervariasi menurut umur. Pada anak umur

0-3 bulan dengan mengkonsumsi ASI frekuensi defekasi 3 kali/hari, anak umur 0-3

bulan dengan mengkonsumsi susu formula frekuensi defekasi 2 kali/hari, dan anak umur ≥ 1 tahun frekuensi normal defekasi yaitu 1 kali/hari. (Iacono dkk., 2005).

Proses defekasi normal memerlukan keadaan anatomi dan inervasi normal

dari rektum, otot puborektal dan sfingter ani (Gambar 2.1). Rektum adalah organ

sensitif yang mengawali proses defekasi. Tekanan pada dinding rektum akan

merangsang sistam saraf intrinsik rektum dan menyebabkan relaksasi sfingter ani

interna, yang dirasakan sebagai keinginan untuk defekasi. Sfingter anal eksterna

kemudian menjadi relaksasi dan feses dikeluarkan mengikuti peristaltik kolon melalui

anus. Relaksasi sfingter tidak cukup kuat, maka sfingter ani eksterna dibantu otot

puborektal akan berkontraksi secara refleks dan refleks sfingter interna akan

menghilang, sehingga keinginan defekasi juga menghilang (Van Der Plas dkk., 2000;

Degen dkk., 2005; Bu LN dkk., 2007).

Gejala dan tanda klinis konstipasi pada anak dimulai dari rasa nyeri saat

defekasi, anak akan mulai menahan tinja agar tidak dikeluarkan untuk menghindari

rasa tidak nyaman yang berasal dari defekasi dan terus menahan defekasi maka

keinginan defekasi akan berangsur hilang oleh karena kerusakan sensorik di kolon

dan rektum sehingga akan terjadi penumpukan tinja (Degen dkk., 2005). Proses

defekasi yang tidak lancar akan menyebabkan feses menumpuk hingga menjadi lebih

(4)

berakibat pada spasme sfingter ani. Feses yang terkumpul di rektum dalam waktu

lebih dari satu bulan menyebabkan dilatasi rektum yang mengakibatkan kurangnya

aktivitas peristaltik yang mendorong feses keluar sehingga menyebabkan retensi feses

yang semakin banyak. Peningkatan volume feses pada rektum menyebabkan

kemampuan sensorik rektum berkurang sehingga retensi feses makin mudah terjadi

(Van Der Plas dkk., 2000).

Gambar 2.1 Patofisiologi defekasi (Van Der Plas dkk., 2000) 2.1.5 Gejala dan tanda klinis

Gejala klinis konstipasi adalah frekuensi defekasi kurang dari tiga kali per

minggu, nyeri saat defekasi, tinja keras, sering mengejan pada saat defekasi, perasaan

kurang puas setelah defekasi. (Uguralp dkk., 2003; Rajindrajith dkk., 2010)Keluhan Rektum

Saraf instrinsik

Relaksasi sfingter interna

Refleks defekasi hilang Lemah

Kuat

Lama Konstriksi sfingter eksterna

Relaksasi sfingter eksterna

Otot puborektal Konstriksi anus

(5)

lain yang biasa timbul adalah nyeri perut, kembung, perdarahan rektum (tinja yang

keluar keras dan kehitaman). Keluhan tersebut makin bertambah berat, bahkan

sampai timbulnya gejala obstruksi intestinal (Van der Plas dkk., 2010). Berikut

beberapa gejala dan tanda yang timbul pada anak dengan konstipasi yaitu berdasarkan

anamnesis dan pemeriksaan fisik (Tabel 2.1)

Tabel 2.1 Gejala dan tanda klinis konstipasi

Gejala dan tanda klinis Persentase (%) Anamnesis

Defekasi jarang 80-100

Feses keras 58-100

Nyeri saat defekasi 50-90

Feses lembek 35-96

Inkontinensia fekalis 45-75

Masalah psikologis 20-65

Nyeri perut 10-64

Anoreksia/ nafsu makan kurang 10-47

Riwayat keluarga konstipasi 9-49

Kelainan traktus urinarius 5-43

Distensi abdomen 0-61

Muntah 8-10

Pemeriksaan fisik

Masa di rektum 28-100

Masa di abdomen 30-71

Fisura dan perdarahan rektum 5-55

Prolaps rektum 0-3

(Sumber: Van Der Plas dkk., 2000)

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis konstipasi sesuai dengan kriteria Rome III adalah sebagai berikut:

1. Frekuensi defekasi dua kali atau kurang dalam seminggu tanpa pemberian

(6)

2. Terdapat minimal satu kali episode soiling/enkopresis dalam seminggu.

3. Riwayat retensi tinja yang berlebihan.

4. Riwayat nyeri atau susah defekasi.

5. Riwayat pengeluaran feses yang besar sampai dapat menyumbat toilet.

6. Teraba masa fekal yang besar di rektum.

Diagnosis ditegakkan bila terdapat minimal dua dari enam gejala selama dua

bulan. Soiling didefinisikan sebagai pengeluaran feses secara tidak disadari dalam

jumlah sedikit sehingga sering mengotori pakaian dalam. Enkopresis diartikan

sebagai pengeluaran feses dalam jumlah besar secara tidak disadari (Van Der Plas

dkk., 2000).

2.1.7 Faktor-Faktor Risiko Konstipasi

Pengenalan dini faktor risiko terjadinya konstipasi dapat membantu untuk

mencegah konstipasi. Beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan konstipasi

pada anak telah diteliti yaitu ketidakcukupan asupan serat dan cairan harian, riwayat

penyakit kronis, riwayat keluarga konstipasi, psikologis, alergi susu sapi dan riwayat

asupan susu sapi pada usia awal kehidupan, kelainan yang berhubungan kolon dan

rektum seperti irritable bowel syndrome, hirschsprung disease, dan fisura ani

(Borowizt dkk., 2003).

2.1.7.1 Asupan serat harian

Asupan serat merupakan faktor penting penyebab konstipasi pada anak.

Asupan serat harus ditingkatkan secara bertahap di masa kanak-kanak, karena diet

(7)

yang dilakukan oleh Ip dkk. (2005) menunjukkan bahwa gejala konstipasi pada anak

sangat berkaitan dengan asupan serat makanan yang rendah. Penelitian serupa

dilakukan oleh Lee dkk. (2008) yang menyatakan bahwa asupan serat yang rendah

berhubungan dengan kejadian konstipasi pada anak sekolah taman kanak-kanak di

Hongkong. Penelitian di Hong Kong dan Maldives (India) menunjukkan bahwa

konsumsi serat pada anak lebih rendah dari nilai yang dianjurkan (Lee dkk., 2008).

Serat adalah bahan makanan nabati yang tidak dapat dicerna oleh enzim

pencernaan dalam tubuh. Berdasarkan analisis kimia, serat dalam makanan

digolongkan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah selulosa yang

merupakan polisakarida. Selulosa adalah serat yang paling banyak dijumpai pada

sayuran dan buah-buahan. Kelompok kedua adalah pektin, gum dan mucilago, yang

merupakan polisakarida non-selulosa. Pektin mempunyai sifat membentuk gel jika

bergabung dengan air. Gum pada tanaman biasanya diproduksi saat kulit tanaman

tergores, dan ditemukan juga dalam biji-bijian, seperti buncis, kacang polong dan

kapri (Gremse dkk., 2002).

Berdasarkan sifat larutan, serat dibedakan menjadi dua golongan yaitu serat

yang larut dalam air, seperti pektin, gum, mucilago, dan serat yang tidak larut dalam

air seperti selulosa, hemi-selulosa dan lignin (Pashankar dkk., 2003). Serat makanan

bersifat hidrofilik atau pembentuk masa. Kemampuan serat makanan sebagai

laksansia tergantung dari kemampuannnya menghindari pencernaan dan absorpsi di

usus halus dan menghindari metabolisme bakteri di kolon. Peningkatan volume di

(8)

peningkatan transit isi usus melalui kolon, sehingga meningkatkan feses yang

dikeluarkan. Konsistensi feses juga dipengaruhi oleh serat makanan sehingga

mempermudah defekasi. Efektivitas serat makanan sebagai bahan pembentuk masa

tergantung pada jumlah, kemampuan mengikat air, banyaknya penghancuran oleh

proses fermentasi bakteri dan efektivitas produk fermentasi yang dapat meningkatkan

efek laksatif (Pijpers dkk., 2010).

Pada anak asupan serat makanan harian yang direkomendasikan oleh

American Academy of Pediatrics Committee On Nutrition adalah 0,5 gram/kilogram berat badan sampai dengan 35 gram per hari. Kebutuhan serat berdasarkan

rekomendasi tersebut terlalu besar bagi anak usia muda sehingga diperbaharui

kembali berdasarkan usia, namun beberapa penelitian menyatakan saat ini asupan

serat makanan pada anak di negara maju dan berkembang tidak sesuai dengan

rekomendasi, sedangkan menurut American Health Foundation untuk anak di atas

usia 2 tahun minimal diberi diet serat dengan formula usia + 5 g/hari dan maksimal

usia + 10 g/hari (Lee dkk., 2008).

Diet serat harus dilakukan bertahap yaitu dengan mulai menambah satu atau

lebih jenis makanan tiap harinya. Jenis makanan yang dapat diberikan berupa buah

segar yang tinggi serat (seperti apel, blueberry, pisang, kurma, pir, jeruk), sayuran

segar atau telah diproses (seperti brokoli, tauge, wortel, jagung, kacang polong dan

kentang dengan kulitnya, atau salad dalam jumlah banyak. Setiap sediaan buah segar

memberikan serat sebanyak 2-3 gram dan sayuran memberikan serat 2-2,5 gram. Diet

(9)

bertambah dan lebih lunak sehingga asupan air juga ditingkatkan (Van Der Plas dkk.,

2000).

2.1.7.2 Asupan cairan harian

Jumlah cairan yang dibutuhkan pada anak agar feses bertambah lunak

diperkirakan 6-8 gelas per hari (Tabel 2.2). Jumlah cairan yang dikonsumsi

mempengaruhi konsistensi tinja. Penambahan cairan pada kolon dan masa tinja

membuat pergerakan usus menjadi lebih lembut dan mudah dilalui. Oleh karena ini

penderita yang mengalami konstipasi sebaiknya mengkonsumsi banyak cairan setiap

hari yaitu sekitar tujuh gelas setiap hari. (Lee dkk., 2008).

Tabel 2.2 Jumlah cairan minimal yang dianjurkan

Usia Jumlah cairan Usia Jumlah cairan

6-12 bulan 800cc/hari 9-13 tahun L: 2400 cc/hari

P : 2100 cc/hari

>1-3 tahun 1300 cc/hari 14-18 tahun L: 3300 cc/hari

P : 2300 cc/hari

4-8 tahun 1700 cc/hari

(Sumber: Lee dkk., 2008)

2.1.7.3 Riwayat keluarga dengan konstipasi

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa riwayat konstipasi pada keluarga

merupakan salah satu faktor risiko terjadinya konstipasi. Hal ini selain karena faktor

genetik, perilaku orang tua mengajarkan toilet training merupakan hal penting. Toilet

training dapat terabaikan atau bahkan orangtua terlalu berlebihan mengajarkan pada anak sehingga terdapat sikap menolak dari anak ketika diajak defekasi (Ip dkk., 2005;

Rajindrajith dkk., 2010).

(10)

Hubungan antara riwayat penyakit kronis dengan konstipasi belum diketahui

secara pasti dari beberapa tinjauan pustaka. Penelitian Firmansyah (2007) didapatkan

hubungan riwayat penyakit kronis seperti tuberkulosis dan penyakit neurologis

(cerebral palsy, epilepsi). Penelitian lainnya didapatkan anak dengan penyakit kronis

seperti asma dan neoplasma, berhubungan dengan konstipasi (Devanarayana dkk.,

2010; Van Dijk dkk., 2007).

2.1.7.5 Psikologis

Penelitian Inan dkk. (2007) didapatkan bahwa trauma fisik dan psikologis

berhubungan dengan kejadian konstipasi pada anak usia sekolah. Penelitian di Sri

Lanka yang mengambil sampel pada anak sekolah usia 10-16 tahun didapatkan

bahwa stres yang berhubungan dengan sekolah seperti kegagalan ujian, orangtua

kehilangan pekerjaan dan hukuman yang sering oleh orang tua merupakan faktor

risiko yang menyebabkan konstipasi (Devanarayana dan Rajindrajith, 2011; Van Der

Plas dkk., 2000; Voskuilj dkk., 2004).

2.1.7.6 Riwayat alergi susu sapi dan pemberian susu formula berlebihan

Beberapa penelitian tentang alergi susu sapi menunjukan bahwa anak yang

mengkonsumsi susu sapi atau susu formula pada usia pertama kehidupan memiliki

konsistensi tinja yang padat dan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya

konstipasi. Hal ini disebabkan susu sapi mengandung mineral dan lemak yang lebih

banyak dan lebih sedikit mengandung karbohidrat, serta mengandung asam palmitat

pada posisi Sn1 dan Sn3 sehingga asam palmitat membutuhkan hidrolisis oleh lipase

(11)

dengan kalsium sehingga membentuk calcium fatty acid soaps yang sulit diserap.

Pembentukan calsium soaps ini berhubungan bermakna dengan tingkat kepadatan

feses sehingga anak yang mengkonsumsi susu formula memiliki tinja yang lebih

padat dan dapat menimbulkan konstipasi (Iacono dkk., 2005; Daher dkk., 2001).

2.1.8 Metode penilaian asupan makanan 1. Dietary record

Responden diminta mencatat jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi

selama satu hari. Jumlah yang dikonsumsi dapat diukur dengan skala atau ukuran

rumah tangga (seperti cangkir, sendok makan), atau diperkirakan menggunakan

model, gambar atau tidak ada bantuan khusus. Pencatatan dilakukan tiga atau empat

hari berturut-turut karena pencatatan lebih dari empat hari berturut-turut hasilnya

tidak memuaskan karena kelelahan responden. Ip dkk. (2005) mengunakan metode

ini dalam penelitiannya di Hongkong.

2. Food recall 24 jam

Responden diwawancarai oleh ahli gizi atau tenaga kesehatan lainnya yang

telah dilatih. Responden diminta untuk mengingat dan melaporkan semua makanan

dan minuman yang dikonsumsi dalam 24 jam atau di hari sebelumnya. Pencatatan

dan pengkodean langsung dilaporkan setelah wawancara. Metode ini digunakan oleh

Lee dkk. (2008).

3. Food Frequency Questionaaire (FFQ)

Responden diminta untuk melaporkan frekuensi makanan yang biasa mereka

(12)

memasak atau kombinasi dalam makanan juga dilaporkan. Keseluruhan perkiraan

asupan gizi diperoleh dengan menjumlahkan semua produk makanan dari frekuensi

yang dilaporkan dengan jumlah nutrisi yang ditentukan dari porsi makanan itu (Ip

dkk., 2005).

4. Brief Dietary Assessment Methods

Beberapa metode singkat penilaian makanan telah dikembangkan. Instrumen

ini dapat berguna dalam situasi yang tidak memerlukan penilaian baik dari diet total

atau akurasi kuantitatif dalam diet (Lee dkk., 2008).

5. Diet history

Responden diminta untuk melaporkan tentang riwayat diet masa lalu. Anak

cenderung memiliki diet yang sangat bervariasi dari hari ke hari, dan pola makan

mereka dapat berubah dengan cepat. Anak kurang mampu mengingat,

memperkirakan, dan bekerja sama dalam prosedur penilaian diet biasa. Informasi

yang diperoleh pada anak usia sekolah melalui orang yang sehari-hari mengurus anak

tersebut, bisa orang tua atau pengasuh (kakek-nenek, pembantu). Informasi yang

diperoleh hanya dari satu responden, kemungkinan laporan yang diperoleh kurang

lengkap. Sebuah konsensus metode recall, anak dan orangtua bersama-sama

memberikan tanggapan pada 24 jam dietary recall telah terbukti memberikan

informasi lebih akurat daripada recall dari salah satu orang saja (Lee dkk., 2008).

Hal penting yang perlu diketahui adalah bahwa dengan recall 24 jam data

yang diperoleh cenderung lebih bersifat kualitatif. Oleh karena itu, untuk

(13)

secara teliti dengan menggunakan alat URT (sendok, gelas, piring dan lain-lain) atau

ukuran lainnya yang biasa dipergunakan sehari-hari atau model dari makanan (food

model). Pengukuran dilakukan 1 kali (1×24 jam), maka data yang diperoleh kurang

representatif untuk menggambarkan kebiasaan makanan individu. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa minimal 3 kali recall 24 jam berturut-turut termasuk

hari libur, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan

memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu.

Kelebihan metode recall 24 jam yaitu mudah melaksanakannya serta tidak

terlalu membebani responden, biaya relatif murah, karena tidak memerlukan

peralatan khusus dan tempat yang luas untuk wawancara, cepat, sehingga dapat

mencakup banyak responden, dapat digunakan untuk responden yang buta huruf,

dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi individu sehingga

dapat dihitung intake zat gizi sehari. Kekurangan metode recall 24 jam yaitu tidak

dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari, bila hanya dilakukan recall satu

hari, ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden, oleh karena itu

responden harus mempunyai daya ingat yang baik. Dibutuhkan tenaga atau petugas

yang terlatih dan terampil dalam menggunakan alat-alat bantu URT dan ketepatan

Gambar

Gambar 2.1 Patofisiologi defekasi (Van Der Plas dkk., 2000)  2.1.5  Gejala dan tanda klinis

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian antibiotik pada umumnya tidak diperlukan pada semua diare akut oleh karena sebagian besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self limited dan tidak dapat

(2) Kelas II, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertamanan,

Pemberian obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit, pemberian obat untuk kondisi yang sebenarnya merupakan kontraindikasi pada pasien, pemberian obat yang

Diare adalah kehilangan cairan elektrolit yang berlebihan terjadi karena frekuensi buang air besar lebih dari 3 kali, dengan bentuk tinja cair atau enecr (WHO, 1980).. Menurut

Bagian anus atau dubur terasa penuh, tidak plong, dan bagai terganjal sesuatu disertai rasa sakit akibat bergesekan dengan feses yang kering dan keras atau karena mengalami

Besar kecilnya pemanfaatan air pada jenis kegiatan ini sangat berkaitan dengan jumlah rumah tangga yang melakukan kegiatan mencuci lantai serta banyaknya

Institut Teknologi Nasional Tabel 2.1 Sifat-sifat Umum Tanah Lunak Thoha, 1989 No Parameter Nilai 1 Kadar air 80-100% 2 Batas cair 80-100% 3 Batas plastik 30-45% 4 Lolos saringan

Sumber air yang dimanfaatkan sebagai air minum hendaknya diolah dengan baik, proses pengelolahan sumber air yang kurang baik akan mengakibatkan air minum rentan terkontaminasi oleh