• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Dalam mendesain jalan rel mempunyai dua aspek yang harus dipenuhi agar jalan rel dapat dikatakan layak atau tidaknya untuk beroperasi. Salah satu aspek yang harus dipenuhi adalah aspek ekonomi yaitu pada perencanaan biaya pembangunan serta pemeliharaan dengan biaya seminim mungkin namun tidak mengurangi kenyamanan serta keamanan. Aspek yang kedua adalah aspek Teknis kontruksi yaitu aspek syarat dan kemampuan jalan rel untuk digunakan dalam rentan waktu tertentu, (atmaji, 2015).

Peraturan Menteri Perhubungan No 60 Tahun 2012 terkait Persyaratan teknis jalur rel kereta api dijadikan pedoman dalam penyusunan tugas akhir ini. Namun sebelumnya acuan yang terlebih dahulu sebelum PM No 60 2012 yaitu PD 10 tahun 1986 tentang perencanaan kontruksi jalan rel. Namun acuan yang sering digunakan adalah PM 60 tahun 2012 karena penyempurnaan dari PD 10.

Perancangan jalur rel kereta api pada penyusunan tugas akhir ini menggunakann sepur 1067 dan kontruksi Double track. Pemilihan kontruksi Double track mempunyai banyak alasan, salah satunya adalah untuk menunjang dan memperlancar pengangkutan batubara dalam sekala besar sesuai dengan target pemerintah dan PT. Bukit Asam Tbk sebesar tampa mengganggu kereta penumpang.

2.1.1 Pemilihan Alternatif Trase

Dalam Penentuan jalur kereta api pada sebagian alternatif trase jalan yang akan dibahas pada tugas akhir ini tidak hanya berpatokan dengan beberapa kriteria tertentu saja. Perluasan kriteria yang tepat juga dibutuhkan untuk memperoleh alternatif trase jalan kereta api yang optimal baik dari segi tata ruang, lingkungan, ekonomi dan teknis. Sehingga tugas akhir ini menggunakan metode analisis multi kriteria dalam proses pemilihan alternatif trase jalan kereta api. (Octavia,2018)

(2)

6

Kriteria pemilihan trase diatas perlu diberikan penilaian untuk masing-masing kriteria, dengan memberikan skor antara skala 0 hingga 10. Penilaian 0 diberikan untuk alternatif trase yang kurang memenuhi syarat kriteria terendah, lalu untuk 10 diberikan alternatif trase yang dapat memenuhi syarat kriteria terbesar. Pada penilaian pemilihan alternatif trase menggunakan metode variabel kuantitatif pada masing-masing jenis kriteria yang akan dijelaskan dibawah ini :

1. Penilaian variabel kuantitatif

Pada penilaian kriteria variabel kuantitatif metoda yang digunakan adalah metoda proporsional untuk perbandingan langsung pada nilai variable kriteria yang ditampilkan. Proses penilaian dilakukan dengan cara kuantitatif seperti dibawah ini :

a. Nilai usulan variabel yang terbaik dari kriteria diberi nilai maksimum, yaitu 10.

b. Nilai lain yang lebih kecil didapatkan untuk proporsi dengan variabel pada alternatif terbaik menggunakan penilaian sebagai berikut :

1) Angka tertinggi digunakan untuk variabel maksimum :

Skor kriteria X = ( (Nilai variabel X)

(Nilai variabel terbaik)) x 10 (2.1)

2) Angka terendah digunakan untuk variabel minimum :

Skor kriteria X = ( (Nilai variabel terbaik)

(Nilai variabel X) ) x 10 (2.2)

Penjelasan tentang kriteria, sub kriteria, parameter,bobot serta indikator penilaian dalam pemilihan alternatif trase terdapat pada di Tabel 2.1 dan Tabel 2.2.

Tabel 2.1 Kriteria pemilihan Alternatif Trase

No Kriteria Sub Kriteria Parameter yang diukur Bobot

a. Topografi Persentase panjang jalur melewati kelandaian tertentu 10%

b. Waktu Perjalanan Persentase sepanjang jalur KA yang melewati kawasan 10%

c. Trase terpendek Panjang jalur KA yang memiliki jarak terpendek 10%

d. Jumlah jembatan Jumlah jembatan yang dilalui jalur KA 10%

a. Penggunaan kawasan lindung Persentase jalur KA yang melintasi kawasan lindung 10% b. Integrasi Simpul Transportasi Jumlah simpul transportasi yang terakses oleh jalur KA 10%

c. Lokasi Potensi Angkutan Letak lokasi potensi angkutan terbesar 10%

a. Hambatan Alam Jumlah lokasi daerah hambatan yang dilalui jalur KA 10%

b. Konflik Sosial Konflik yang diakibatkan oleh pembebasan lahan sepanjang jalur 10% 4 Biaya a. Biaya Kontruksi jembatan dan terowongan Biaya kontruksi jembatan terkecil 10% 3 Lingkungan

1 Teknis

(3)

7 Tabel 2.2 Kualifikasi Penilaian Kriteria Pemilihan Alternatif Rute

Bobot Indikator Emplasmen (0‰ - 1,5‰) 10 Lintas Datar (1,5‰ - 10‰) 8 Lintas Pegunungan (10‰ - 40‰) 6 Lintas Rel Gigi (40‰ - 80‰) 4 Lintas Curam (>80‰) 2 Pelabuhan Internasional 10 Pelabuhan Nasional 8 Pelabuhan Lokal 6 Bandara Internasional 10 Bandara Nasional 8 Terminal Kategori A 10 Terminal Kategori B 8 Terminal Kategori C 6 sangat besar 10 sedang 8 Sungai kecil(<50m) 8 Sungai besar(>50m) 6 Jalan Nasional 4 Jalan Provinsi 6 Jalan Kota 8 Tidak ada 10 Kecil (0% - 10%) 8 Sedang (10% - 25%) 6 Cukup Besar (25% - 40%) 4 Besar (40% - 75%) 2 Sangat Besar (75% - 100%) 0 Tanpa Jembatan dan terowongan 10

Biaya Jembatan 8

Biaya Terowongan 6

No Sub Kriteria Indikator Kualifikasi Penilaian

4 Jumlah Jembatan Jumlah jembatan yang dilalui Skor = ( Jumlah jembatan terkecil / jumlah jembatan jalur alternatif) x 10 3 Trase terpendek Panjang jalur terkecil skor = (Panjang jalur ka terkecil/panjang jalur alternatif ka) x 10

Konflik Sosial 9

8 Hambatan Alam dan buatan skor = ( jumlah lokasi hambatan terkecil / jumlah lokasi hambatan alternatif ) x 10

5 Penggunaan Kawasan Lindung Hutan lindung/konservasi/cagar alam/pelestarian alam 10

Skor =( Persentase terkecil kawasan lindung yang dilalui jalur KA / persentase alternatif trase yang dimelewati kawasan lindung

Skor = ( jumlah simpul transportasi yang dilewati alternatif trase / jumlah simpul terbesar ) x 10

Integrasi Simpul Transportasi 6

1 Topografi Skor = (prensentasi kelandaian tertentu yang dilewati jalur ka/ presentasi terbesar jalur ka yang melewati kelandaian tertentu ) x 10

10 Biaya Kontruksi Jembatan skor = ( Jumlah biaya terkecil / Jumlah biaya pada jalur alternatif ) x 10 skor = ( presentasi panjang jalur ka yanng terdapat konflik terkecil/

Panjang konflik jalur alternatif ka ) x 10

Skor = (Presentasi waktu perjalanan ka terpendek/ Waktu perjalanan alternatif ka) x 10

Waktu Perjalanan

2 waktu perjalanan tercepat

7 Potensi angkutan Skor = hasil dari perhitungan kelas jalan rel

(4)

8 2.1.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang digunakan dalam referensi pada penelitian ini terlampir dalam Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu

No Nama Penulis Judul Tujuan Penelitian Hasil Penelitian

1. Tilaka Wasanta (Institut Teknologi Bandung, 2015)

Perencanaan Jalan Rel Simpang – Mariana dengan Lebar Sepur 1435mm

1. Mendesain geometri jalan rel Simpang – Mariana

2. Mendesain struktur jalan rel dan drainase jalan rel Simpang – Mariana 3. Mendesain emplasment dan wesel

stasiun

4. Mengidentifikasi perbaikan tanah pada jalan rel Simpang - Mariana

1. Desain geometri, struktur, emplasment, wesel, dan identifikasi perbaikan tanah pada jalan rel Simpang – Mariana dengan lebar sepur 1435.

2. Priyo Atmaji (Institut Teknologi Bndung, 2015 )

Perancangan Jalan Rel Simpang - Mariana denga Lebar Sepur 1067 mm

1. Mendesain geometri serta potongan melintang jalan rel Simpang -Mariana 2. Mendesain struktur rel dan drainnase

jalan rel Simpang -Mariana

3. Mendesain emplasment dan wesel stasiun

1. Desain geometri, struktur, emplasment, wesel, dan identifikasi perbaikan tanah pada jalan rel Simpang –

(5)

9

4. Mendesain perbaikan tanah pada trase jalan rel Simpang -Mariana.

Mariana dengan lebar sepur 1067.

3. Ervan Sjukri (Institut Teknologi Bnadung, 2015)

Perencanaan Geometri Jalan Rel Kereta Api Bandara Internasional Soekarno Hatta Trase Batu Ceper -Bandara

1. Perancangan geommetri jalan rel kereta api Bandara Internasional Soekarno Hatta (Trase Batuceper – Bandara).

1. Menghasilkan perencanaan geometri jalan rel kereta api Bandara Internasional Soekarno Hatta yang sesuai dengan aturan yang berlaku. 4. Akhmad Syaifullah

Faiz (Institut Teknologi Bandung, 2015)

Perancangan Jalan Rel Lintas Rancaekek – Tanjungsari Lebar Sepur 1435 mm.

1. Merancang geometri jalan rel Rancaekek – Tanjungsari

2. Merancang operasi jalan rel 3. Merancang struktur jalan rel.

1. Rancangan geometri, operasi, serta struktur jalan rel pada trase Rancaekek -Tanjungsari. 5. Akhmad Musalim Ridho ( Institut Teknologi Sumatera, 2019) Perencanaan Geometri Jalan Rel Kereta Api Trase Bakauheni – Sidomulyo

1. Merencanakan trase jalan kereta api jalur baru dan efisien

2. Mendesain geometri jalan kereta api yang sesuai dengan persyaratan

3. Mendesain struktur dan drainase jalan rel

4. Mendapatkan volume galian timbunan yang diperlukan dalam perencanaan

1. Mendapatkan perencanaan jalan kereta api yang baru dan efisien, serta mendapatkan desian geometri, struktur serta drainase dan volume galian timbunan pada jalur tersebut.

(6)

10 2.2 Landasan Teori

Landasan teori yang digunakan dalam penyusunan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut :

2.2.1 Ketentuan Umum Jalan Rel

Dalam perancangan kontruksi jalan rel dipengaruhi oleh beberapa hal seperti jumlah beban, kecepatan maksimum, beban gandar, serta pola operasi kereta api. 1. Kecepatan dan Beban Gandar

a. Kecepatan

Kecepatan rencana merupakan kecepatan yang akan digunakan dalam perencanaan kontruksi jalan rel. Untuk mencari kecepatan rencana yang akan digunakan berdasarkan PD 10 adalah sebagai berikut:

Vr = 1,25 X Vmax (2.3)

Sedangkan pada perencanaan peninggian rel , perencanaan jari – jari lengkung horizontal adalah sebagai berikut :

Vr = 1,25 X ∑ 𝑁𝑖 𝑋 𝑉𝑖

∑ 𝑁𝑖 (2.4)

Dengan :

Ni = Total kereta api yang melewati jalur tersebut Vi = Kecepatan operasi

Vrencana = Vmaksimum (2.5)

b. Beban Gandar

Pada Peraturan Dinas 10 tentang Perencanaan Kontruksi Jalan Rel menjelaskan Beban gandar merupakan berat yang akan diperoleh jalan rel pergandar, sedangkan beban maksimum dari seluruh gandar sebesar 18 ton pergandar.

2. Standar Jalan Rel

Beradasarkan Peraturan Menteri Nomor 60 Tahun 2012 mengatur tentang klasifikasi kelas jalan rel, dalam perencanaan jalur kereta api terdapat standar-standar klasifikasi dalam pembagian kelas jalan rel pada perlintasan rel seperti kecepatan maksimum, beban gandar, daya angkut lintas dan lainnya yang tercantum pada Tabel 2.4.

(7)

11 Tabel 2.4 Klasifikasi jalan rel

Sumber: PM No. 60 Tahun 2012

3. Daya Angkut Lintas Jalan rel

Volume angkutan yang melewati suatu lintas jalan rel dalam jangka waktu satu tahun disebut juga sebagai daya angkut lintas. Dari data tersebut dapat menunjukan volume muatan total, beraneka macam data serta jangka waktu kereta yang melintas dalam kurun waktu satu tahun Daya angkut disebut juga daya angkut T dengan satuan ton/tahun dengan persamaan sebagai berikut :

T = 360 X S X TE (2.6)

TE = Tp + KbTb + K1T1 (2.7)

Dengan:

TE : tonase ekuivalen (ton/hari)

Tp : tonase pada kereta penumpang dan kereta harian

Tb : tonase gerbong barang dan gerbong harian

Kb : koefsien yang jumlahnya bergantung pada beban gandar (1,5 pada

Beban gandar yang tidak mencapai 18 ton dan 1,3 pada beban gandar yang lebih dari 18 ton)

K1 : koefesien yang besarnya = 1,4

T1 : tonase lokomotif harian.

S : 1,1 pada perlintas dengan kereta penumpang dan kecepatan

tertinggi 120 km/jam

S : pada lintas tampa kereta penumpang digunakan nilai 1

(ton/Tahun) (km/jm) (ton) Jarak Antar Sumbu

bantalan (cm) penambat (cm) (cm) I > 20. 106 120 18 R.60/R54 EG 30 60 10.106 – 20.106 5.106 – 10.106 IV 2,5.10 6 < 5. 106 90 18 R.54/R.50/R42 EG/ET 25 40 V < 2,5.106 80 18 R.42 ET 25 35 EG 30 40 II 110 18 R.54/R50 III 100 18 R.54/R.50/R42

Jenis Bantalan Jenis

Tebal Balas Atas Lebar Bahu Balas EG 30 50 Daya Angkut Lintas V maks P maks gandar Kelas

Jalan Tipe Rel

(8)

12

4. Ruang Bebas dan Ruang Bangun

Saat mendesain jalur kereta api memiliki banyak kualifikasi yang berkaitan dengan alokasi ruang jalur kereta untuk keperluan perencanaan serta pengoprasian. Pada peraturan PM No.60 Tahun 2012 tentang kepentingan operasi mengusulkan persyaratan jalur kereta api wajib mempunyai pengaturan ruang seperti ruang bebas dan ruang bangun.

Ruang bebas ialah ruang diatas sepur yang mesti bebas dari seluruh rintangan serta seluruh yang mengahalangi jalannya kereta. Ruangan ini didistribusikan untuk lalu lintas rangkaian kereta api. Untuk dimensi ruang bebas pada jalur tunggal maupun ganda pada perlintasan lurus ataupun melengkung dengan dimensi ruang bebas untuk kereta dengan elektrifikasi atau non elektrifikasi yang dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Ruang bebas lebar sepur 1067 mm pada jalur lurus

Sumber : PM Perhubungan No.60 Tahun 2012

Keterangan:

Batas 1 : Pada jembatan dengan kecepatan sampai 60 km/jam

Batas 2 : Pada ‘Viaduk’ dan terowongan dengan kecepatan sampai 60 km/jam Dan untuk jembatan tampa pembatasan kecepatan

Batas 3 : Pada ‘Viaduk’ baru dan bangunan lama kecuali terowongan dan Jembatan.

(9)

13 Gambar 2.2 Ruang bebas untuk lebar sepur 1067 mm pada lengkungan

Sumber : PM Perhubungan No.60 Tahun 2012

Gambar 2.3 Ruang bebas lebar sepur 1067 mm pada jalur lurus untuk jalan ganda

(10)

14 Gambar 2.4 Ruang bebas lebar sepur 1067 mm pada jalur lengkung untuk jalan

ganda

Sumber : PM Perhubunngan No. 60 Tahun 2012

Pada ruang bebas diatas telah memenuhi memenuhi persyaratan perhitungan kebutuhan ruangan untuk digunakan gerbong kontainer atau peti kemas ISO (Iso Container Size) dengan “Standar height”.

Ruang bangun merupakan ruang bagian sepur yang senantiasa harus bebas dari segala bangunan tetap seperti tiang semboyan, tiang listrik dan pagar.

Tabel 2.5 Jarak Ruang Bangun

Segmen Jalur

Lebar Jalan Rel 1067 mm dan 1067 mm

Jalur Lurus Jalur Lengkung

R<800

Lintas Bebas

Jarak terkecil 2,35 m di kiri Kanan as jalan

rel

R < 300, minimal 2,55 m R> 300, minimal 2,45 m di kiri kanan as jalan

rel Emplasmen

Jarak terkececil 1,95 m di kiri Kanan as jalan

rel

Minimal 2,35 m di kiri kanan as jalan

rel Jembatan, Trowongan 2,15 m di kiri kanan as jalan rel 2,15 m di kiri kanan as jalan rel Sumber : PM No 60 Tahun 2012

(11)

15 2.2.2 Geometri Jalan Rel

Pada perencanaan geometri jalur rel dapat direncanakan bersumber pada kecepatan rencana dan dimensi kereta yang hendak melewatinya dengan mencermati aspek keamanan, kenyamanan, ekonomi, serta kelestarian area sekitarnya. Perencanaan geometri jalun rel menyangkut berupa perencanaan wujud serta dimensi jalur rel, seperti arah melebar ataupun di arah memanjang. Perencanaan memanjang harus mencermati pengaruh terhadap area disekitar lokasi perlintasan kereta api. (PM No 60,2012)

1. Lebar Sepur

Lebar sepur merupakan jarak terkecil dari kedua sisi kepala rel, dikur pada daerah 0-14 mm dibawah permukaan teratas kepala rel. Terdapat dua jenis lebar sepur yang digunakan diindonesia, yaitu 1435 mm dan 1067 mm. Penggunaan sepur diindonesia lebih cenderung menggunakan 1067 mm dibandingankan 1435 mm yang saat ini aktif terdapat pada lintas kereta aceh. Toleransi pelebaran jalan rel untuk jalan rel 1435 mm sebesar -3 dan +3 sedangkan untuk lebar sepur 1067 mm adalah sebesar +2 dan 0.(faiz,2015) 2. Alinyemen Horizontal

Alinyemen horizontal merupakan proyeksi sumbu jalan rel pada bidang horizontal,ainyemen horizontal terdiri dari garis lurus dan lengkungan. Dua garis lurus yang membentuk sudut harus dihubungkan dengan menggunakan lengkung berbentuk lingkaran, dengan atau tampa lengkung peralihan.(PM. 60,2012)

a. Lengkung Lingkaran

Dua garis lurus yang sama-sama memanjang dan saling memicu terbentuknya sudut perlu dihubungkan dengan lengkung yang membentuk lingkaran, dengan atau tampa lengkung-lengkung peralihan. Dari beraneka ragam kecepatan rencana, besarnya jari-jari terkecil yang harus dipenuhi terdapat pada Tabel 2.7.

b. Lengkung Peralihan

Pada PM No.60 tahun 2012 menjelaskan tentang Lengkung peralihan merupakan lengkung yang jari-jarinya berganti menjadi beraturan. Lengkung Peralihan digunakan untuk peralihan ruang bagian lurus dan

(12)

16

bagian lingkaran serta untuk peralihan antara sepasang jari-jari lingkaran yang berlainan. Lengkung peralihan digunakan untuk jari-jari lengkung yang relatif minim, terlihat pada tabel 2.3 dengan panjang terkecil lengkung peralihan diatur menggunakan rumus dibawah ini :

Lh = 0,01 x h x v . (2.8)

Dengan:

Lv = Panjang minimum lengkung peralihan

h = peninggian relatif antara sepasang bagian yang dihubungkan (mm)

v = Kecepatan rencana pada lengkung peralihan (km/jam)

Tabel 2.6 Persyaratan perencanaan lengkungan

Sumber:PM No. 60 Tahun 2012

c. Lengkung S

Jika terdapat dua lengkung dari suatu lintas yang berbeda arah legkungnya terletak bersambungan maka disebut lengkung S. Antara kedua lengkung yang berbeda arah ini wajib terdapat bagian lurus minimal sejauh 20 m dari luar lengkung peralihan.(PD.10)

d. Pelebaran Sepur

Perencanaan pelebaran sepur khusus agar roda kendaraan rel bisa melewati lengkung tampa menghadapi hambatan. Pelebaran sepur didapatkan dengan menggeser rel dalam kearah dalam. Besar pelebaran sepur pada berbagai jari-jari tikungan adalah seperti tercantum dalam tabel 2.7 dibawah ini :

(13)

17 Tabel 2.7 Pelebaran sepur

Sumber : Peraturan Dinas tentang Perencanaan Kontruksi Jalan Rel

Pemasangan pelebaran sepur dilakukan dengan mengikuti langkah sebagai berikut:

1) Pengurangan dibuat sejauh lengkung peralihan jika mempunyai lengkung peralihan dilengkungan jalur kereta api.

2) Dalam hal tidak terdapat lengkung peralihan, maka pengurangan dilakukan sedapatnya dengan panjang pengurangan yang sama. Untuk yang tampa peninggian rel, pengurangan dilakukan menurut panjang standar 5 meter atau lebih diukur dari ujung lengkungan. Namun untuk lengkungan wesel maka panjang pengurangan ditentukan secara terpisah bergantung pada kondisi yang ada.

e. Peninggian Rel

Untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang dialami oleh rangkaian kereta pada saat melewati lengkungan, dilakukan peninggian rel bagian luar. Besar peninggian rel pada beberapa kecepatan rencana dapat dilihat pada tabel 2.8.

hnormal = 5,95 x

𝑉2 rencana

𝑅 (2.9)

Peninggian rel didapatkan maupun dikurangi secara bertahap sepanjang lengkung peralihan hingga rel Kembali normal. Pada tikungan yang tidak menggunakan lengkung peralihan peninggian rel didapatkan secara bertahap tepat di luar lengkung lingkaran sejauh lengkung peralihan, panjang terkecil peralihan dapat didapatkan dengan rumus 2.9. Ketentuan di peninggian rel pada lebar sepur 1067 mm terdapat pada Tabel 2.8.

Pelebaran Sepur (mm) Jari-jari tikungan (meter) 0 R>600 5 550<R<600 10 400<R<550 15 350<R<400 20 100<R<350

(14)

18 Tabel 2.8 Peninggian Rel

sumber : Peraturan dinas 10 tentang perencanaan kontruksi jalan rel

3. Alinyemen Vertikal.

Proyeksi sumbu jalur rel di bagian vertikal yang melewati sumbu jalur rel disebut alinyemen vertikal, Alinyemen vertikal terdapat garis lurus, dengan ataupun tidak terdapat kelandaian, serta lengkung vertikal yang berupa busur

(15)

19

lingkaran. Besar jari-jari terkecil dari lengkung vertikal dipengaruhi dengan besar kecepatan rencana yang terdapat pada tabel 2.9 sebagai berikut :

Tabel 2.9 Jari-jari minimum lengkung vertikal.

Sumber : Peraturan dinas 10 Tentang Perencanaan Kontruksi Jalan Rel

a. Landai

1) Pengelompokan Lintas

Dari data kelandaian pada sumbu jalan rel dibedakan menjadi 4 golongan yang terdapat pada tabel 2.10.

Tabel 2.10 Pengelompokan lintas berdasarkan pada kelandaian

Sumber : Peraturan Dinas tentang Perencanaan Kontruksi Jalan Rel

2) Landai Penentu

Landai penentu merupakan kelandaian yang terbesar pada suatu lintas lurus perlintasan kereta api. Besar landai penentu berpengaruh pada kombinasi daya tarik lokomotif dan rangkaian yang akan dioprasikan. Pada setiap kelas jalan rel memiliki besar kelandaian penentu seperti pada Tabel 2.11 dibawah ini.

3) Landai Curam

Peraturan Dinas 10 tentang Perencanaan Kontruksi Jalan Rel menerangkan Pada kondisi yang memaksakan kelandaian dari lintas menenerus dapat melebihi kelandaian penentu, kelandaian seperti ini disebutkan kelandain curam. Untuk mendapatka Panjang terbesar kelandaian curam digunakan rumus dibawah ini:

(16)

20

l = 𝑣𝑎

2− 𝑣𝑏2

2g(𝑠𝑘−𝑠𝑚) (2.10)

Dimana1:

L = Panjang maksimum landai curam (m).

Va = Kecepatan terkecil pada puncak yang diperbolehkan pada

kaki landai curam (m/detik)

Vb = Kecepatan terkecil pada puncak landai curam (m/detik)

Vb≥ 1

2 Va

G = Percepatan gravitasi

Sk = Besar landai curam (‰)

Sm = Besar landai penentu (‰)

Tabel 2.11 Landai penentu

Kelas Jalan Rel Landai Penentu

1 10‰

2 10‰

3 20‰

4 25‰

5 25‰

Sumber : Peraturan Dinas 10 tentang Perencanaan Kontruksi Jalan Rel

2.2.3 Susunan Jalan Rel

1. Rel

Pada pembangunan Jalan rel ITERA – Tegineneng menggunakan jenis baja karbon tinggi tipe UIC – 60 dengan berat minimal tidak kurang 60 kg/m.

Dengan kuat tarik minimum 90 kg/mm2 dan dengan perpanjangan minimum

10%.Berdasarkan panjangnya rel dibedakan menjadi 3 jenis sebagai berikut : a. Rel standar adalah rel yang panjangnya 25 meter.

(17)

21

c. Rel panjang merupakan rel yang dibuat dari beberapa rel pendek yang dihubungkan dengan las dilapangan serta memiliki panjang yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan dilapangan.

Untuk mendapatakan operasi jalan rel yang aman dan nyaman, diperlukan sambungan rel dengan menggunakan pelat penyambung dan baut-mur. Dari kedudukan terhadap bantalan dibedakan menjadi dua macam sambungan rel yaitu:

a. Sambungan melayang

Jarak ujung bantalan dengan ujungan bantalain lain adalah 30 cm, dan jarak sumbu dengan sumbu ujung bantalan ujung adalah 52 cm.

Gambar 2.5 Sambungan meyalang

Sumber : Peraturan Dinas 10 tentang Perencanaan Kontruksi Jalan Rel

b. Sambungan menumpu

Gambar 2.6 Sambungan Menumpu

Sumber : Peraturan Dinas 10 tentang Perencanaan Kontruksi Jalan Rel

Jika dilihat dari penempatan pada sepur, terdapat dua jenis sambungan rel. a. Peletakan secara sudut dimana antara sambungan terletak pada satu garis

tegak lurus dengan sumbu sepur.

Gambar 2.7 Sambungan siku

(18)

22

b. Menyelang-nyelingkan Pemasangan dari kedua sambungan rel agar lokasi tidak pada satu garis yang tegak lurus dengan sumbu sepur.

Gambar 2.8 Sambungan Berselang-seling

Sumber : Peraturan Dinas 10 tentang Perencanaan Kontruksi Jalan Rel

Jalur pada jembatan wajib diusahakan untuk tidak mempunyai sambungan rel. jika pada jembatan menggunakan rel standa dan rel pendek, maka posisi sambungan rel wajib terletak diluar awal jembatan. Pada sambungan rel wajib memiliki jarak yang menyerap munculnya perubahan pada panjang rel yang diakibatkan oleh berubahnya suhu di rel, dan besarnya celah diatur oleh jenis rel seperti dibawah ini :

Tabel 2.12 Besar celah untuk semua tipe rel pada sambungan

Sumber : Peraturan Dinas 10 tentang Perencanaan Kontruksi Jalan Rel

2. Wesel

Pada jalan rel terdapat pertemuan antara sebagian jalur kereta (sepur), yang wajib dilaksanakan pada kontruksi utama. Kontruksi utama yang dibutuhkan dalam kontruksi ini adalah Wesel (switch), sehingga wesel berfungsi untuk memindahkan kereta dari suatu sepur ke sepur lainnya. Pemilihan bentuk wesel pada emplasmen dipengaruhi oleh kecepatan, panjang peron, tujuan peron, dan lain-lain sesuai pada kebutuhan penggunaannya. Terdapat 3 jenis wesel yang dapat digunakan adalah sebagai berikut :

(19)

23

a. Wesel Biasa

Gambar 2.9 Wese Biasa

Sumber : Peraturan Dinas 10 Ttentang Perencanaan Kontruksi Jalan Rel

b. Wesel Tiga Jalur

Gambar 2.10 Wesel Tiga Jalur

Sumber : Peraturan Dinas 10 Ttentang Perencanaan Kontruksi Jalan Rel

c. Wesel Inggris

Wesel ini dilengkapi dengan gerakan – gerakan lidah serta sepur – sepur yang bengkok.

Gambar 2.11 Wesel Inggris

Sumber : Peraturan Dinas 10 Ttentang Perencanaan Kontruksi Jalan Rel

Pada wesel memiliki komponen – komponen dapat dilihat pada Gambar 2.12. 1) Lidah , bagian dari wesel yang dapat bergerak, pangkal lidah disebut akar. 2) Jarum dan sayap-sayapnya, bagian yang memberi kemungkinan kepala flens roda melalui perpotongan bidang-bidang jalan yang terputus antara dua rel.

3) Rel lantak, suatu rel yang diperkuat badannya yang berguna untuk bersandarnya lidah-lidah wesel.

4) Rel paksa,dibuat dari rel biasa yang kedua ujungnya di bengkok kedalam. Rel paksa luar dibuat pada rel lantak dengan menempatkan blok pemisah diantaranya.

5) Sistem penggerak atau pembalik wesel, mekanisme untuk menggerakan ujung lidah.

(20)

24

6) Sudut tumpu, sudut antara lidah dengan rel lantak. Sudut tumpu dinyatakan dengan tangennya, yaitu tg β = 1:m, dimana harga m berkisar antara 25 sampai 100.

Gambar 2.12 Bagian – bagian Wesel

Sumber : Peraturan Dinas 10 tentang Perencanaan Kontruksi Jalan Rel

Nomor wesel n, menyatakan tangen sudut simpang yaitu tg α = 1 : n. Kecpatan izin pada wesel tercantum pada Tabel 2.10.

Tabel 2.13 Nomor Wesel dan Kecepatan Izinnya

Tg 1:81 1:10 1:12 1:14 `1:16 1:20

No.Wesel W 8 W 10 W 12 W 14 W 16 W 12 Kecepatan ijin

(km/j).

25 35 45 50 60 70

Sumber : Peratudan Dinas 10 tentang Perencanaan Kontruksi Jalan Rel

3. Bantalan

Bantalan adalah tempat menyalurkan beban kereta serta berat kontruksi jalur rel menuju balas. Bantalan pada umumya terbuat dari kayu, baja, dan beton. Penggunaan bantalan dipilih berdasarkan pada kelas pengelompokan jalan rel yang berlaku diindonesia. Perlintasa lurus memiliki jumlah bantalan yang digunakan dalam satu kilometer berjumlah 1.667 buah, baik bantalan beton, baja dan kayu. Disaat posisi jalur melengkung, bantalan dengan bantalan lainnua berjarak 60 cm diukur di rel luar. Sebelum digunakan bantalan terlebih dahulu di uji kemampuan dengan pengujian beban statis, uji beban dinamis dan uji cabut. Pada perencanaan biasa ada 2 jenis bantalan yang sering digunakan dalam perencanaan adalah bantalan beton dengan bantalan kayu. Untuk bantalan kayu, biasanya kayu yang digunakan sejenis kayu kulim,

(21)

25

bangkarai, giam, dan merbabu dengan ukuran bantalan 200 x 220 x 180 mm. Namun pada bantalan beton harus memiliki mutu K-500.(PM. 60, 2012) 4. Balas

Balas adalah lapisan lanjutan dari tanah dasar, yang terletak didaerah yang terdapat konsentrasi tegangan paling besar yang berdampak dari lalu lintas kereta di jalan rel. Pada Peraturan Dinas 10 menjelaskan fungsi balas yaitu sebagai berkut :

a. Menyalurkan dan mendistribusikan berat bantalan ketanah dasar. b. Menguatkan kedudukan bantalan

c. Mengalirkan air sehingga tidak menimbulkan genangan air pada area bantalan rel.

Dengan tujuan untuk menekan biaya kontruksi jalan rel, pada kontruksi jalan rel terdapat 2 lapisan berupa lapisan tas serta lapisan bawah. Lapisan atas disebuat lapasan balas dengan material sangat baik dan pada lapisan bawah dengan mutu material dibawah lapisan atas. Lapisan balas atas tersusun dari batu pecah yang keras, yang bersudut tajam dengan ukurannya 2-6 cm dan harus menjalankan sesuai pada syarat-syarat lainnya yang terdapat pada peraturan bahan Jalan Rel Indonesia (PBJRI). Pada lapisan balas atas harus bisa menyalurkan aliran air dengan baik agar tidak terjadi genangan pada jalur perlintasan kereta api. Lapisan balas bawah tersusun dengan kerikil halus, kerikil sedang, atau pasir kasar yang harus memenuhi syarat – syarat yang tercantum dalam Peraturan Menteri no 10 tahun 2012. Lapisan ini memiliki manfaat yaitu untuk penyaring antara tanah dasar dan lapisan balas atas serta wajib dapat mengalirkan air secara baik. Pada lapisan balas bawah memiliki tebal minimum sebesar 15cm dan lebar bahu balas disamping bantalan 50cm. Secara garis besar bahan-bahan penyusun balas wajib sesuai dengan persyaratan :

a. Balas wajib berisikan berupa batu pecah 25-60 mm dan memiliki kekuatan yang baik, kekuatan gesek yang tinggi serta tidak sulit dipadatkan

b. Material balas wajib memiliki sudut banyak serta tajam c. Porositas maksimum 3%

d. Kuat tekan rata-rata maksimal 1000 kg/cm e. Specific grafity minimal 2,6

(22)

26

f. Kapasitas tanah, lumpur dan organik maksimum 0,5%

g. Kapasitas minyak maksimum 0,2%

h. Keausan balas sesuai dengan Test Los Angeles tidak melebihi dari 25%

2.2.4 Pematusan

Pada Peraturan Dinas 10 tentang Perencanaan Kontruksi Jalan Rel menjelaskan te Pematusan merupakan metode pengaliran air di suatu daerah jalan rel agar tidak menimbulkan genangan pada jalur kereta api. Sistem pematusan memiliki beberapa fungsi diantaranya :

1. Dapat memperkecil dampak air yang bisa mengubah kesesuaian tanah sehingga badan jalan selalu dalam situasi firm ( mantap, keras dan padat ), sehingga tidak menimbulkan kantong-kantong balas.

2. Tidak menimbulkan genangan air di jalur rel(baik diarea balas ataupun tubuh jalan), dimana ini akan menimbulkan terjadinya pembuangan lempung serta gaya (efek) pompa diwaktu kereta api melewati perlintasan tersebut yang dapat mengurangi kestabilan serta ketahanan jalur rel.

3. Tidak mengganggu perjalanan kereta api, Maka perencanaan pematusan wajib berdiskusi lebih dalam dengan staff perencanaan jalur kereta api.

4. Membuang air dibawah permukaan serta menerima dan membuang air dari lapisan tembus air.

Dibawah ini adalah tiga jenis pematusan, yaitu: 1. Pematusan Permukaan (Surface Drainage)

Perlu atau tidaknya pematusan permukaan bergantung pada toopografi dari daerah yang diperhatikan. Pematusan permukaan terdiri dari dua macam yaitu pematusan memanjang (slide-ditch) dan pematusan melintang (cross

drainage). Pembuangan air ditentukan sedemikian rupa agar tidak

mengganggu PJKA. Dalam perencanaan pematusan, data- data yang diperlukan yaitu :

a. Data curah hujan dalam jam, harian maupun tahunan.

b. Keadaan permukaan tanah (topografi)dan tata guna (landuse) setempat Yang termasuk dalam pematusan memanjang adalah saluran terbuka dan saluran tertutup, serta memiliki bentuk penampang trapesium, lingkaran atau

(23)

27

segitiga terbalik. Pematusan melintang adalah culvert (gorong – gorong) tunggal atau banyak dan memiliki aliran air tertutup. Untuk menjaga kestabilan saluran, perancangan kemiringan saluran direncanakan dengan mengikuti situasi dilapangan serta suai dengan kecepatan aliran. Untuk mencegah terjadinya erosi maka kecepatan aliran pembuangan (V) tidak boleh terlalu besar dan tidak terlalu lambat agar tidak terjadi endapan secara cepat. Bahan pembentuk saluran memiliki pengaruh terhadap kecepatan aliran, maka digunakan tabel 2.14 sebagai acuan dalam mendesain saluran.

Terdapat beberapa tahap dalam mendesain pematusan memanjang dan melintang yaitu :

a. Menentukan curah hujan maksimum

Untuk mencari curah hujan maksimal pada data curah hujan yang telah didapatkan dapat menggunakan rumus sebagai berikut :

Sd = [⅀ (𝑙𝑜𝑔𝑥−𝑙𝑜𝑔𝑅) 2 𝑛−1 ] 0.5 (2.9) CS = [ 𝑛 𝑥 ⅀ (log 𝑥−log 𝑅 )2 (𝑆𝑙𝑜𝑔𝑥)3 𝑛−1 𝑥 (𝑛−2) ] 0.5 (2.10) Xtr = 1 Log R + Slogx x Ktr (2.11) Dimana: Sd : Standar Deviasi CS : Koefisien Kesimetrian Xtr : Curah hujan maksimum b. Menentukan periode ulang

Waktu hipotetik hujan dengan suatu besaran tertetu akan disamai atau terlampaui atau waktu perkiraan kemampuan rencana drainase dalam menampung curah hujan maksimal sampai terlampaui atau tidak terlampaui sama sekali dalam kurun waktu terntu disebut periode ulang.(ocw.upj.ac.id) I = 𝑅25 24( 24 𝑡(𝑗𝑎𝑚) ) 2/3 (2.12)

c. Menentukan waktu konsentrasi

Waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan atau mengalirkan air hujan dari titik terjauh menuju titik tertentu disebut juga waktu konsentrasi.

(24)

28 t =(2 3 x 3.28 x L x 𝑛𝑑 √𝑖𝑠) 0.167 (2.13) d. Debit aliran

Satuan dengan tujuan untuk mendekati nilai-nilai hidrologis pada lapangan disebut dengan debit aliran.

I = 832.513 x Tc-0.667 (2.14)

Q = CxIxA (2.15)

Dimana:

Q = Debit aliran C = koefisien limpasan I = Intensitas curah hujan A = Luas daerah tangkapan e. Dimensi saluran

Dimensi saluran adalah ukuran saluran yang dibutuhkan dalam perencanaan. W= √ .5 𝑥 ℎ (2.16) A= b x h (2.17) P= 2h + b (2.18) Dimana: W = Tinggi jagaan H = Tinggi Saluran B = Lebar saluran A = Luas penampang P = Keliling basah

Dalam perencanaan saluran, dimensi saluran dibuat cukup besar untuk bisa membuang debit air yang diterima pada saluran tersebut (strom water ruoff). Maka dapat menggunakan rumus sebagai berikut:

Q2 >1,20xQ1 (2.19) Q2 = V2 x A2 (2.20) V2= 1 𝑛 𝑅2 2 3 . 𝑖21 2 (2.21) R2 = 𝑃22 (2.22)

(25)

29

Dengan:

Q1= Debit air dibuangan (m3/.det)

Q2= Debit air yang direncanakan pada saluran

V2= Kecepatan aliran rencana dalam saluran(m/ det)

Besarnya harus masuk dalam harga batasnya

R2= Jari-jari hidrolik saluran rencana( m)

I = Kemiringan muka aliran air dalam saluran rencana

n = Koefisien kekasaran saluran rencana

Gambar 2.13 Ukuran saluran A, P dan H

Sumber : Peraturan Dinas 10 tentang Perencanaan Kontruksi Jalan Rel

H = Tinggi aliran air, bervariasi

W = Ambang bebas (waking free board)

Dengan kuantitas koefisien kekasaran saluran (n) maka ditentukan pada kondisi permukaan saluran.

Tabel 2.14 Kecepatn aliran terhadap bahan

Sumber : Peraturan Dinas 10 tentang Perencanaan Kontruksi Jalan Rel

Tabel 2.15 Nilai Koefisiensi saluran

(26)

30

Besar debit yang harus dibuang, Q1 (m3 / det ) tergantung pada luas daerah

pengaliran air yang akan menyerap jalan rel, A (km2) , Intensitas hujan

rata-rata maksimum didaerah termaksud I (mm/jam) , dan koefisiensi pengaliran dari daerah termaksud (C). Dengan dinyatakan rumus :

Q1 = 1

3 6 . C . I . A1 (2.23)

Dimana :

C =Koefisien aliran bergantung pada kondisi permukaan tanah (terrain) setempat dan tata gunanya.

A1 =Luasan area pengaliran air yang akan menyerap air yang harus dibuang

pada jalur rel, besarnya ditentukan pada peta topografi yang terbaru pengukuran luas bisa dengan alat planimeter

I =Intensitas hujan rata-rata maksimal yang lamanya sama dengan lama waktu konsentrasi dengan masa ulang tertentu dinyatakan dalam satuan mm/jam. serta pada pematusan melintang atau gorong-gorong adalah :

a. Pemasangan bak penampung tanah disetiap bertemunya antara pematusan melintang dengan pematusan memanjang (Sand trap).

b. Pada bidang disekeliling pematusan wajib dilakukan pemadatan dengan baik dan benar, serta harus menyesuaikan dengan usulan perencanaan tubuh jalan rel.

c. Untuk menghindari atau meminimalisir masalah hidrolika seperti aliran yang terhambat atau munculnya kavitasi pada saluran, maka sebaiknya aliran pada gorong-gorong jenis aliran terbuka.

d. Ukuran minimum penampang berdiameter 60 cm, dengan bertujuan untuk mempermudah saat pemeliharaan ataupun pembersihan endapan.

e. Agar tidak menyebabkan melemahnya badan jalan rel (subgrade) pada bawa saluran yang dapat merusak dan membahayakan jalan rel maka tidak di perbolehkan terjadi kebocoran dan merembesnya air dari sambungan. 2. Pematusan Bawah Tanah (Sub Drainage)

a. Menjaga konsentrasi serta kestabilan badan jalan rel yang terletak dibawah balas agar tetap dalam kondisi baik serta menjaga agar elevasi muka air tanah tidak mencapai permukaan tanah pada badan jalan rel yang memang harus dilindungi merupakan tujuan dari pematusan bawah tanah.

(27)

31

b. Salah satu yang dapat mengganggu dan melemahkan kestabilan serta kemantapan badan jalan rel adalah naiknya elevasi muka air menuju permukaan tanah pada jalan rel yang disebabkan oleh rembesan (seepage) dan kapilaritas air dari samping badan jalan rel.

c. Bagian jalan yang dilindungi khususnya yang berada pada kondisi permukaan asli atau daerah galian, dimana tebal tanah tubuh jalan yang harus tetap kering adalah lebih besar atau sama dengan 75 cm dibawah dasar balas. Bagi tubuh jalan yang merupakan tanah timbunan, maka konstruksi pematus bawah tanah tidak diperlukan, karena sudah ada lapisan filter. Bila pembuatan pematusan semacam itu tidak dapat dilakukan, seperti dipinggir pantai, maka perlu dicarikan jalan keluar yang investasinya paling rendah.

d. Pemberian lubang di pipa (perforated pipe) pada konstruksi pematusan yang dipasang pada bawah tanah di pinggir kiri atau kanan tubuh jalan. Pipa berlubang ini terletak di lapisan pasir dengan tebal +10 cm, serta diatasnya dihampar dan dipadatkan kerikil dasar dengan ketebalan 15 cm, lalu menghamparkan material kedap air pada atas kerikil dengan tujuan untuk melindungi saluran pipa tersebut.

3. Pematusan Lereng

Pematusan lereng merupakan pematusan yang direncanakan untuk mencegah melemahnya jalur kereta api serta untuk mencegah terjadinya longsor yang diakibatkan oleh tingginya arus air dari permukaan lereng yang dapat membuat gerusan pada permukaan,kaki serta rembesan pada lereng.

Gambar

Tabel 2.1 Kriteria pemilihan Alternatif Trase
Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu
Gambar 2.1 Ruang bebas lebar sepur 1067 mm pada jalur lurus
Gambar 2.3 Ruang bebas lebar sepur 1067 mm pada jalur lurus untuk jalan ganda
+7

Referensi

Dokumen terkait

 WIKA : Bidik Kontrak Baru Luar Negeri Rp6 triliun Tahun Depan  EXCL : XL Prediksi Trafik Data Naik 15% pada Akhir Tahun  TPIA : Pabrik baru resmi

Nilai rata-rata potensi produksi gas diterjemahkan sebagai parameter bagian bahan organik (BO) yang potensial terfermentasi didalam rumen (b) dan laju produksi

Interaksi konsentrasi pupuk cair Nipka- Plus dan jarak tanam berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman dan pertambahan diameter batang pada umur 17 HSPT,

H 0A = Tidak ada perbedaan yang signifikan antara model pembelajaran yang dilakukan terhadap hasil belajar mahasiswa semester V untuk mata kuliah Termodinamika

Hal tersebut didukung oleh teori Lowenfeld dalam Friend (2005) tentang karakteristik kognitif anak dengan hambatan penglihatan yaitu keterbatasan dalam tingkat dan

Sejalan dengan itu, tujuan pendidikan progresivisme harus mampu memberikan keterampilan dan alat-alat yang bermanfaat untuk berinteraksi dengan lingkungan yang

(2006), “Analisis faktor psikologis konsumen yang mempengaruhi keputusan pembelian roti merek Citarasa di Surabaya”, skripsi S1 di jurusan Manajemen Perhotelan, Universitas

1. Objeknya : dalam kegiatan usaha permainan judi tanpa izin.. Bentuk keempat ini juga hampir sama dengan bentuk kedua. Perbedaanya terletak pada unsur turut sertanya. Pada