Universitas Sumatera Utara BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dismenore
2.1.1. Definisi Dismenore
Dismenore (dysmenorrhoea) berasal dari bahasa Yunani, dimana “dys”
berarti gangguan/nyeri hebat/abnormalitas, “meno” berarti bulan dan “rrhea”
berarti aliran, sehingga dismenore (dysmenorrhoea) dapat diartikan dengan
gangguan aliran darah haid (Winknjosastro, 2005).
Menurut Prawihardjo (2008), dismenore adalah nyeri saat haid, biasanya
dengan rasa kram dan terpusat di abdomen bawah. Keluhan nyeri haid dapat
terjadi bervariasi mulai dari yang ringan sampai berat. Nyeri haid yang dimaksud
adalah nyeri haid berat sampai menyebabkan perempuan tersebut datang berobat
ke dokter atau mengobati dirinya sendiri dengan obat anti nyeri.
Dismenore adalah nyeri kram dan sering diikuti dengan nyeri punggung
bawah, mual dan muntah, sakit kepala, diare, dan dialami saat menstruasi
(Schorge et.al, 2008).
Menurut Calis (2013), dismenore merujuk pada keseluruhan gejala-gejala
nyeri yang timbul ketika menstruasi, yang dapat dibedakan menjadi dismenore
primer dan sekunder.
Dismenore didefinisikan oleh Stenchever (2002) dan Chudnoff (2005)
sebagai sensasi nyeri yang seperti kram pada abdomen bawah sering bersamaan
dengan gejala lain seperti keringat, takikardia, sakit kepala, mual, muntah, diare
dan tremor yang terjadi saat menstruasi.
2.1.2. Epidemiologi Dismenore
Angka kejadian dismenore di dunia sangat besar. Rata-rata lebih dari 50%
perempuan di setiap Negara mengalami dismenore. Di Amerika angka
presentasinya sekitar 60% dan di Swedia sekitar 72%. Sementara di Indonesia
Universitas Sumatera Utara Angka kejadian (prevalensi) dismenore berkisar 45-95% di kalangan wanita usia
produktif (Proverawati dan Misaroh, 2009).
Pada tahun 2005 di Jepang angka kejadian dismenore primer 46 %, dan
27,3 % dari penderita absen dari sekolah dan pekerjaannya pada hari pertama
menstruasi (Osuga, 2005).
Pada tahun 2007 prevalensi dismenore di Malaysia 62,33% dimana 80,7%
memiliki riwayat keluarga yang mengalami dismenore (Liliawati, 2007).
Hasil penelitian di Oman tahun 2011 menunjukkan bahwa remaja putri di
Oman yang mengalami menstruasi ada 94% dengan derajat kesakitan 27%
dismenore ringan, 41% dismenore sedang, dan 32% dismenore berat (Rahma &
Anbarin, 2011).
Pada tahun yang sama dilakukan penelitian pada mahasiswa keperawatan di
Libanon dan diperoleh prevalensi kejadian dismenore sebesar 38,1 % (Karout,
2011).
Hasil penelitian Olaf Sianipar pada tahun 2009 menunjukkan 31,6% remaja
putri di Jakarta Timur mengalami dismenore.
Pada tahun 2010, prevalense dismenore di Manado sebesar 98,5% dengan
keluhan 10,1% mengalami mual muntah, 14,1% nyeri kepala, 33,7% gangguan
emosi dan 1% pingsan (Lestari, 2010).
Klein dan Litt (1981) dalam Eman (2012) melaporkan prevalensi dismenore
dunia mencapai 59.7%. Dari pasien yang mengalami keluhan, 12%
mendeskripsikan nyeri yang severe, 37% mengalami nyeri moderate dan 49%
mengalami nyeri mild. Dismenore menyebabkan 14% remaja putri ketinggalan
pelajaran sekolah. Selain itu, dikatakan bahwa dismenore lebih sering terjadi pada
Universitas Sumatera Utara 2.1.3. Etiologi Dismenore
Banyak teori telah dikemukakan untuk menerangkan penyebab dismenorea
primer tetapi patofisiologinya belum jelas dimengerti. Rupanya beberapa faktor
memegang peranan sebagai penyabab dismenorea primer antara lain:
1) Faktor kejiwaan dan fisik, dimana pada gadis-gadis yang emosinya belum
stabil dan tidak mendapat penerangan yang baik tentang proses haid mudah
timbul dismenore. Selain itu kesehatan fisik yang menurun juga erat
hubungannya dengan faktor tersebut diatas, faktor ini dapat juga menurunkan
ketahanan terhadap rasa nyeri. Faktor-faktor seperti anemia, penyakit
menahun, dan sebagainya dapat mempengaruhi timbulnya dismenore
(Simanjuntak, 2007).
2) Faktor obstruksi kanalis servikalis, salah satu teori yang paling tua untuk
menerangkan terjadinya dismenore primer. Pada wanita dengan uterus dalam
hiperantefleksi mungkin dapat terjadi stenosis kanalis servikalis, akan tetapi
hal ini sekarang tidak dianggap sebagai faktor yang penting sebagai penyebab
dismenore. Banyak wanita menderita dismenore tanpa stenosis servikalis dan
tanpa uterus dalam hiperantefleksi. Sebaliknya, terdapat banyak wanita tanpa
keluhan dismenorea, walaupun ada stenosis servikalis dan uterus terletak
dalam hiperantefleksi atau hiperretrofleksi. Mioma submukosum bertangkai
atau polip endometrium dapat menyebabkan dismenore karena otot-otot
uterus berkontraksi keras dalam usaha untuk mengeluarkan kelainan tersebut
(Simanjuntak, 2007).
3) Faktor endokrin, pada umumnya ada anggapan bahwa kejang yang terjadi
pada dismenore primer disebabkan oleh kontraksi uterus yang berlebihan.
Faktor endokrin mempunyai hubungan dengan kontraktilitas otot uterus.
Novak dan Reynolds yang melakukan penelitian pada uterus kelinci
berkesimpulan bahwa hormon estrogen merangsang kontraktilitas uterus,
sedangkan hormon progesteron menghambat atau mencegahnya. Tetapi, teori
ini tidak dapat menerangkan fakta mengapa tidak timbul rasa nyeri pada
Universitas Sumatera Utara kadar estrogen yang berlebihan tanpa adanya progesteron (Simanjuntak,
2007).
4) Faktor alergi, teori ini dikemukakan setelah memperhatikan adanya asosiasi
antara dismenore dengan urtikaria, migraine atau asma bronkhiale. Smith
menduga bahwa sebab alergi ialah toksin haid (Simanjuntak, 2007).
Penyebab dari dismenorea sekunder adalah pemakaian alat kontrasepsi,
adenomiosis, uterine myoma (fibroid), polip rahim, adhesi, kelainan bawaan
sistem mullerian , striktur atau stenosis serviks, kista ovarium, pelvic congestion
syndrome, Allen-Masters syndrome, Mittelschmerz (nyeri pertengahan siklus
ovulasi) dan sakit psikogenik (Norwitz & Schorge, 2006).
2.1.4. Faktor Resiko Dismenore
Beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan dismenore primer berupa
usia yang sangat muda ketika menarche (<12 tahun), nulliparity, perdarahan
menstruasi yang berlebihan dan lama berhenti, merokok, konsumsi alkohol,
adanya riwayat dismenore pada keluarga, obesitas (Edmons, 2007).
Adapun faktor resiko yang turut berkontribusi dalam timbulnya dismenore
sekunder adalah leiomiomata (fibroid), pelvic inflammatory disease, abses
tubaovarian, endometriosis, adenomiosis (Calis, 2013).
2.1.5. Patofisiologi Dismenore
Penelitian membuktikan bahwa dismenore primer disebabkan karena adanya
Prostaglandin F2α (PGF2α), yang merupakan stimulan miometrium poten dan
vasokonstriktor pada endometrium. Kadar prostaglandin yang meningkat selalu
ditemui pada wanita yang mengalami dismenore dan tentu saja berkaitan erat
dengan derajat nyeri yang ditimbulkan. Peningkatan kadar ini dapat mencapai 3
kali dimulai dari fase proliferatif hingga fase luteal, dan bahkan makin bertambah
ketika menstruasi.
Selama fase luteal dan menstruasi, PGF2αdisekresi. Pelepasan PGF2α yang
Universitas Sumatera Utara menyebabkan vasospasme arteriol uterus, sehingga mengakibatkan iskemia dan
kram abdomen bawah yang bersifat siklik.
Adapun hormon yang dihasilkan pituitari posterior yaitu vasopresin yang
terlibat dalam penurunan aliran menstrual dan terjadinya dismenore. Selain itu,
diperkirakan faktor psikis dan pola tidur turut berpengaruh dengan timbulnya
dismenore tetapi mekanisme terjadinya dan pengaruhnya dengan dismenore
belum jelas dan masih dipelajari (Calis, 2013).
Wanita dengan dismenore berat mempunyai kadar prostaglandin yang tinggi
selama masa siklus haid, konsentrasi tinggi ini terjadi selama 2 hari dari fase
menstruasi (Cunningham, 2008).
Peningkatan kadar prostaglandin juga ditemui pada dismenore sekunder,
tetapi harus ditemui adanya kelainan patologis pada panggul yang jelas untuk
menegakkan diagnosa dismenore sekunder (Baradero, 2006)
Faktor yang ditemukan dalam patogenesis dismenore sekunder adalah
endometriosis, pelvic inflammatory disease, kista dan tumor ovarium,
adenomiosis, fibroid, polip uteri, adanya kelainan kongenital, pemasangan
intrauterine device, transverse vaginal septum, pelvic congestion syndrome dan
allen-masters syndrome (Calis, 2013).
2.1.6. Klasifikasi Dismenore a. Dismenore Primer
Menurut Prawihardjo (2011), dismenore primer adalah nyeri haid tanpa
ditemukan keadaan patologi pada panggul.
Dismenore primer merupakan dismenore yang paling umum terjadi pada
wanita. Hal ini disebabkan oleh peningkatan produksi prostglandin. Dismenore
primer berhubungan dengan siklus ovulasi dan disebabkan oleh kontraksi
miometrium sehingga terjadi iskemia akibat adanya prostaglandin yang
diproduksi oleh endometrium pada fase sekresi. Perempuan dengan dismenore
primer didapatkan kadar prostaglandin lebih tinggi dibandingkan dengan
Universitas Sumatera Utara menstruasi pertama dan berlangsung sebelum atau sesudah menstruasi selama 2-3
hari.
b. Dismenore Sekunder
Dismenore sekunder pada umumnya terjadi akibat dari kelainan struktural
serviks atau uterus, benda asing seperti alat kontrasepsi dalam rahim (IUD),
endometriosis atau endometritis. Endometriosis merupakan suatu kondisi dimana
implantasi jaringan endometrium ditemukan pada lokasi ektopik dalam rongga
peritonium (Hamilton, 2009).
Menurut Prawihardjo (2011), dismenore sekunder adalah nyeri haid yang
berhubungan dengan berbagai keadaan patologis di organ genitalia, misalnya
endometriosis, adenomiosis, mioma uteri, stenosis serviks, penyakit radang
panggul, perlekatan panggul atau irritable bowel syndrome.
2.1.7. Manifestasi Klinis Dismenore
Gejala dismenore primer biasanya dimulai 6-12 bulan setelah menarche,
pada saat ovulasi mulai terjadi. Nyeri digambarkan sebagai nyeri kram, rasa tidak
nyaman pada abdomen bagian bawah, yang mulai beberapa jam setelah
menstruasi. Nyeri biasanya berlangsung selama 1 atau 2 hari. Gejala yang
menyertainya berupa sakit kepala, mual, muntah, diare, dan nyeri punggung
(Corwin, 2009).
Gejala dismenore sekunder cenderung terjadi tidak berhubungan dengan
menarche. Penyebab yang sering terjadi adalah endometriosis.Selain itu, dapat
juga disebabkan oleh infeksi pelvis, kehamilan intrauteri atau ekstrauteri, dan
pemakaian IUD. Gejala khas dari dismenore sekunder adalah nyeri hebat saat
Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1. Perbedaan gambaran klinis dismenorea primer dan sekunder
Dismenorea primer Dismenorea sekunder
Onset singkat setelah menarche Onset dapat terjadi kapan saja setelah menarche
Nyeri kram di perut bawah atau pelvis dengan awal keluarnya darah selama 8-72 jam
Waktu dari nyeri berubah-ubah sepanjang siklus menstruasi
Pola nyeri sama setiap siklus Memburuk setiap waktu, dapat unilateral, dapat memburuk pada waktu berkemih
Tidak dijumpai kelainan patologis pelvis
Dijumpai abnormalitas pelvis patologis
Sumber: Diagnosis and management of dysmenorrhea (Proctor dan Farquhar,
2006)
2.1.8. Penegakan Diagnosa Dismenore
Menurut Calis (2013), anamnese yang perlu ditanyakan kepada pasien
dengan keluhan dismenore adalah sebagai berikut :
a. Usia menarche.
b. Frekuensi menstruasi tiap bulan, durasi menstruasi, banyak darah yang
keluar.
c. Onset, durasi, ciri khas, dan derajat nyeri yang dirasakan.
d. Adanya faktor eksternal yang menyebabkan nyeri
e. Pengaruh terhadap aktivitas sehari-hari.
f. Adanya riwayat keluarga.
Selain anamnese, perlu dilakukan pemeriksaan fisik secara lengkap,
terutama untuk dewasa muda yang baru menstruasi. Pemeriksaan dapat berupa
(Calis, 2013) :
a. Inspeksi pada genitalia eksterna, untuk melihat apakah ada rash,
Universitas Sumatera Utara b. Inspeksi apakah ada vaginal discharge, darah ataupun benda asing.
c. Inspeksi pada serviks, apakah ada massa atau benda asing.
d. Pemeriksaan palpasi bimanual, apakah ada nyeri tekan atau adanya
massa pada pelvik.
Pada kebanyakan pasien dengan nyeri menstruasi, terapi empiris diberikan
dengan presumpsi diagnosis dismenore primer, berdasarkan riwayat adanya nyeri
pelvik anterior bagian bawah yang dimulai pada masa remaja dan berhubungan
secara spesifik dengan periode menstruasi. Riwayat yang inkonsisten dan atau
adanya penemuan massa di pelvik pada pemeriksaan fisik, keluarnya cairan
vagina yang abnormal, atau kaku pelvik yang tidak terbatas pada periode
menstruasi mengarahkan diagnosis kepada dismenore sekunder (French, 2005).
2.1.9. Tatalaksana Dismenore
2.1.9.1.Tatalaksana Non-Farmakologi
Penanganan nyeri menstruasi non obat menurut Wylio (2011) adalah :
a. Tempelkan bantal pemanas ke perut bagian bawah (di bawah pusar). Jika
tidak memiliki bantal pemanas, penderita dapat memasukkan air panas ke
dalam botol dan membungkus botol tersebut dengan kain sebelum
menempelkan ke perut.
Pendapat senada dikemukakan Hembing (2011) bahwa untuk
mengurangi nyeri menstruasi dapat dilakukan dengan kompres hangat
bagian perut yang terasa nyeri dengan handuk kecil. Jika ingin panas
lebih lama, penderita dapat menggunakan botol atau hot water bag yang
telah diisi air panas dan diletakkan di bagian perut bawah atau pinggang.
Rasa hangat yang diberikan akan menstimulus untuk merasa jauh lebih
nyaman.
b. Letakkan kaki lebih tinggi dari jantung dan perut saat anda berbaring,
atau berbaring miring dengan lutut menekuk. Berbaring telentang sambil
mengganjal bagian bawah lutut dengan bantal adalah cara yang tepat
Universitas Sumatera Utara perlahan. Minum minuman hangat juga dapat digunakan untuk
meminimalkan sensasi nyeri yang dirasakan (Hembing, 2011).
c. Pijatlah perut bagian bawah dengan pijatan melingkar yang ringan. Cara
lain untuk mengurangi nyeri menstruasi adalah dengan pijat dengan
lembut daerah perut secara perlahan. Pijatan-pijatan kecil akan
melonggarkan sedikit ketegangan otot yang ditimbulkan dari reaksi
hormonal dalam rahim (Hembing, 2011).
d. Minumlah minuman yang hangat.
e. Bila penderita merasa mual sehingga selera makannya terganggu,
penderita dapat mengganti makan besar dengan makanan ringan yang
lebih sering.
f. Pilih diet kaya karbohidrat kompleks seperti biji-bijian, buah-buahan, dan
sayuran yang rendah garam, gula, dan tanpa kafein.
g. Perbanyak asupan vitamin B6, kalsium dan magnesium.
h. Mandi dengan air hangat.
i. Turunkan berat badan jika penderita kelebihan berat badan.
j. Berolahraga dapat mengurangi nyeri menstruasi. Olahraga ringan seperti
senam, jalan kaki, atau bersepeda yang dilakukan sebelum dan saat
menstruasi sangat penting dilakukan untuk melancarkan aliran darah
pada otot di sekitar rahim (Okparasta, 2003).
2.1.9.2.Tatalaksana Farmakologi
Beberapa obat yang dapat digunakan untuk menangani dismenore adalah:
a. Obat antiinflamasi nonsteroid / NSAID
NSAID adalah terapi awal yang sering digunakan untuk dismenore.
NSAID mempunyai efek analgetika yang secara langsung menghambat
sintesis prostaglandin dan menekan jumlah darah haid yang keluar
(Prawihardjo, 2011).
Seperti diketahui sintesis prostaglandin diatur oleh dua isoform
siklooksigenase (COX) yang berbeda, yaitu COX-1 dan COX-2. Sebagian
Universitas Sumatera Utara b. Pil Kontrasepsi Kombinasi
Bekerja dengan cara mencegah ovulasi dan pertumbuhan jaringan
endometrium sehingga mengurangi jumlah darah haid dan sekresi
prostaglandin serta kram uterus. Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi
sangat efektif untuk mengatasi dismenore dan sekaligus akan membuat
siklus haid teratur. Progestin dapat juga dipakai untuk pengobatan
dismenore, misalnya medroksi progesteron asetat (MPA) 5 mg atau
didrogestron 2x10 mg mulai haid hari ke-5 sampai 25. Bila penggunaan
obat tersebut gagal mengatasi nyeri haid sebaiknya dipertimbangkan untuk
mencari penyebab dismenore sekunder ( Prawihardjo, 2011).
c. Gonadotropin-Releasing Hormone Agonists dan Androgen
Efek penurunan estrogen yang dimilik obat ini menyebabkan atrofi
dari endometrium dan penurunan kadar prostaglandin (Schorge, 2008).
2.2.Menstruasi
2.2.1. Definisi Menstruasi
Menstruasi adalah suatu keadaan fisiologis atau normal, merupakan
peristiwa pengeluaran darah, lendir dan sisa-sisa sel secara berkala yang berasal
dari mukosa uterus dan terjadi relatif teratur mulai dari menarche sampai
menopause, kecuali pada masa hamil dan laktasi (Ganong, 2003).
Menstruasi ialah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai
pelepasan (deskuamasi) endometrium (Prawirohardjo, 2007).
Menstruasi atau haid adalah perubahan fisiologis dalam tubuh perempuan
yang terjadi secara berkala dan dipengaruhi oleh hormon reproduksi. Periode ini
penting dalam reproduksi. Pada manusia, hal ini bisa terjadi setiap bulan antara
Universitas Sumatera Utara 2.2.2. Fisiologi Menstruasi
Haid normal merupakan hasil akhir suatu siklus ovulasi. Siklus ovulasi
diawali dari pertumbuhan beberapa folikel antral pada awal siklus, diikuti ovulasi
dari satu folikel dominan, yang terjadi pada pertengahan siklus. Kurang lebih
lebih 14 hari pascaovulasi, bila tidak terjadi pembuahan akan diikuti dengan haid
(Sherwood, 2011).
Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) yang disekresi hipotalamus
mengontrol siklus baik pada ovarium dan uterus. GnRH merangsang
dilepaskannya follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH)
oleh pituitari anterior. FSH berperan dalam pertumbuhan folikel, sedangkan LH
berperan dalam perkembangan dari folikel tersebut. FSH dan LH menstimulasi
folikel-folikel untuk mensekresikan estrogen. Selain itu, LH juga berperan untuk
merangsang theca cells dari suatu folikel yang sedang berkembang untuk
mensekresi androgen. Androgen yang dihasilkan ini nantinya akan dikonversi
menjadi estrogen karena adanya pengaruh dari FSH. LH akan memicu terjadinya
ovulasi dan pembentukan corpus luteum, corpus luteum akan menghasilkan
estrogen, progesterone, relaxin dan inhibin.
Estrogen yang disekresi oleh folikel memiliki beberapa fungsi yang
penting :
1) Perkembangan dari struktur reproduksi wanita dan karakteristik seks
sekunder.
2) Meningkatkan anabolisme protein, termasuk pertumbuhan tulang
(bekerja bersama dengan Growth Hormone).
3) Menurunkan level kolesterol darah.
4) Inhibisi pelepasan GnRH oleh hipotalamus dan sekresi LH serta FSH
oleh pituitari anterior.
Progesteron, disekresi oleh sel yang terdapat pada corpus luteum, bersama
dengan estrogen untuk mempertahankan endometrium agar dapat terjadi
implantasi jika terjadi pembuahan dan mempersiapkan kelenjar mamae untuk
sekresi air susu. Relaksin diproduksi untuk menginhibisi kontraksi uterus yang
Universitas Sumatera Utara luteum setelah ovulasi, fungsinya untuk mencegah sekresi FSH dan mengurangi
kadar LH (Tortora & Derrickson, 2011).
Siklus haid pada wanita umumnya antara 24-36 hari. Fase-fasenya terbagi
empat antara lain (Tortora & Derrickson, 2011):
1) Fase menstrual
Fase ini terjadi pada 5 hari pertama dari suatu siklus. Pada ovarium,
fase ini adalah fase ketika terjadi perkembangan folikel primordial
menjadi folikel sekunder sedangkan di uterus terjadi peluruhan 50-150
ml yang berupa darah, jaringan serta mukus. Peluruhan ini terjadi
karena penurunan kadar progesteron dan estrogen yang memicu sekresi
prostaglandin sehingga menyebabkan arteriol uterus menjadi
vasokonstriksi.
2) Fase pre-ovulatori
Fase pre-ovulatori merupakan waktu antara hari terakhir menstruasi
dengan ovulasi. Fase ini terjadi pada hari ke-6 hingga hari ke-13. Di
ovarium, folikel sekunder mulai mensekresikan estrogen dan inhibin.
Pada hari ke-6, folikel sekunder akan menyebabkan folikel lainnya
menjadi folikel dominan. Sedangkan pada uterus, estrogen yang
dibebaskan ke dalam darah oleh folikel ovarium menstimulasi
regenerasi dari endometrium sehingga ketebalan endometrium menjadi
lebih kurang 4 - 10 mm. Fase preovulatori juga disebut juga fase
proliferatif karena endometrium sedang berproliferasi.
3) Fase ovulasi
Fase ini merupakan fase rupturnya folikel matur (graafian) dan
dilepaskannya oosit sekunder ke rongga pelvik, pada umumnya terjadi
pada hari ke-14.
4) Fase post-ovulatori
Fase post ovulatori terjadi antara ovulasi dengan onset dari
menstruasi berikutnya. Fase ini terjadi pada hari 15 sampai hari
ke-28. Di ovarium, folikel matur mengalami degenerasi menjadi corpus
Universitas Sumatera Utara ditransformasi menjadi corpus luteum karena pengaruh LH. Fase ini
disebut juga dengan fase luteal. Pada uterus, progesteron dan esterogen
yang dihasilkan oleh corpus luteum menyebabkan perkembangan
kelenjar endometrial, vaskularisasi dari endometrium dan penebalan
endometrium. Fase ini disebut juga dengan fase sekretori. Apabila tidak
terjadi fertilisasi, maka kadar hormon akan turun karena degenerasi
corpus luteum.
2.2.3. Usia Menarche
Menarche adalah haid yang pertama terjadi, yang merupakan ciri khas
kedewasaan seorang wanita yang sehat dan tidak hamil (Rumdasih & Heryati,
2005).
Perubahan dari masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa salah satunya
ditandai dengan menarche atau mentruasi yang pertama kali. Biasanya terjadi
pada usia 12-13 tahun tetapi menstruasinya masih tidak teratur karena tanpa
pelepasan telur. Setelah itu, sekitar usia 18-19 tahun siklus menstruasinya mulai
teratur karena disertai dengan pelepasan telur (Manuaba, 2009).
2.2.4. Lama Menstruasi
Pola haid merupakan suatu siklus menstruasi normal, dengan menarche
sebagai titik awal. Pada umumnya menstruasi akan berlangsung setiap 28 hari
selama lebih kurang 7 hari. Lama perdarahannya sekitar 3-5 hari, ada yang 1-2
hari diikuti darah yang sedikit-sedikit dan tidak terasa nyeri. Jumlah darah yang
hilang sekitar 30-40 cc. Puncaknya hari ke-2 atau ke-3 dengan jumlah pemakaian
pembalut sekitar 2-3 buah. (Manuaba, 2010).
2.2.5. Gangguan Menstruasi
Gangguan haid pada masa reproduksi (Prawihardjo, 2011) :
a. Gangguan lama dan jumlah darah haid : hipermenorea (menoragia) dan
hipomenorea.
Universitas Sumatera Utara c. Gangguan perdarahan di luar siklus haid : menometroragia.
d. Gangguan lain yang berhubungan dengan haid : dismenore dan sindroma
pra-haid.
Gangguan menstruasi adalah masalah yang umum terjadi pada masa remaja.
Gangguan ini dapat menyebabkan rasa cemas yang signifikan pada pasien
maupun keluarganya. Faktor fisik dan psikologis berperan pada masalah ini
(Chandran, 2008).
2.3. Riwayat Keluarga
Keluarga memiliki asosiasi yang kuat dengan kesehatan dan penyakit
seseorang melalui hubungan dan dinamika kehidupannya. Dengan mengetahui
salah satu riwayat penyakit keluarga, seseorang dapat melakukan pencegahan
serta menurunkan risiko untuk mengalami suatu penyakit tertentu (Azwar, 2002).
Menurut Notoadmodjo (2007) keadaan keluarga secara keseluruhan
memang mempunyai pengaruh yang amat besar terhadap kesehatan setiap
anggotanya. Pengaruh tersebut dapat dilihat setidaknya pada lima hal yaitu:
a. Penyakit keturunan
Apabila ditemukan kelainan tertentu pada faktor genetik keluarga,
seseorang dapat menderita penyakit genetik tertentu pula.
b. Perkembangan bayi dan anak
Meskipun keadaan fisik dan mental bayi atau anak mempunyai
kemampuan mengatasi berbagai pengaruh lingkungan, namun jika bayi
tersebut dibesarkan dalam lingkungan keluarga dengan fungsi yang
tidak sehat, maka perkembangan bayi atau anak tersebut akan terganggu,
baik fisik maupun perilaku.
c. Penyebaran penyakit
Apabila di lingkungan keluarga terdapat penderita penyakit infeksi,
maka tidak sulit diperkirakan bahwa anggota keluarga yang lain akan
Universitas Sumatera Utara Menstruasi
Lama Menstruasi Siklus Menstruasi
Pelepasan Prostaglandin
Dismenore Primer d. Pola penyakit dan kematian
Seorang yang hidup tanpa pasangan atau bercerai cenderung
memperlihatkan angka penyakit dan kematian yang lebih tinggi dari
mereka yang berkeluarga.
e. Proses penyembuhan penyakit
Pless dan Satterwhite membuktikan bahwa penyembuhan penyakit
pada anak-anak yang menderita penyakit kronis jauh lebih baik pada
keluarga dengan fungsi keluarga yang sehat daripada keluarga dengan
fungsi keluarga yang sakit.
2.4. Kerangka Teori
Usia Menarche
Faktor Fisik:
Merokok
Status Gizi
Kebiasaan berolahraga
Nulipara
Diet
Faktor Psikis
(Stres)