• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Usia Menarche, Menstruasi, dan Riwayat Keluarga dengan Kejadian Dismenore pada Siswi SMK Negeri 8 Medan Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Usia Menarche, Menstruasi, dan Riwayat Keluarga dengan Kejadian Dismenore pada Siswi SMK Negeri 8 Medan Tahun 2015"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Universitas Sumatera Utara BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dismenore

2.1.1. Definisi Dismenore

Dismenore (dysmenorrhoea) berasal dari bahasa Yunani, dimana “dys”

berarti gangguan/nyeri hebat/abnormalitas, “meno” berarti bulan dan “rrhea”

berarti aliran, sehingga dismenore (dysmenorrhoea) dapat diartikan dengan

gangguan aliran darah haid (Winknjosastro, 2005).

Menurut Prawihardjo (2008), dismenore adalah nyeri saat haid, biasanya

dengan rasa kram dan terpusat di abdomen bawah. Keluhan nyeri haid dapat

terjadi bervariasi mulai dari yang ringan sampai berat. Nyeri haid yang dimaksud

adalah nyeri haid berat sampai menyebabkan perempuan tersebut datang berobat

ke dokter atau mengobati dirinya sendiri dengan obat anti nyeri.

Dismenore adalah nyeri kram dan sering diikuti dengan nyeri punggung

bawah, mual dan muntah, sakit kepala, diare, dan dialami saat menstruasi

(Schorge et.al, 2008).

Menurut Calis (2013), dismenore merujuk pada keseluruhan gejala-gejala

nyeri yang timbul ketika menstruasi, yang dapat dibedakan menjadi dismenore

primer dan sekunder.

Dismenore didefinisikan oleh Stenchever (2002) dan Chudnoff (2005)

sebagai sensasi nyeri yang seperti kram pada abdomen bawah sering bersamaan

dengan gejala lain seperti keringat, takikardia, sakit kepala, mual, muntah, diare

dan tremor yang terjadi saat menstruasi.

2.1.2. Epidemiologi Dismenore

Angka kejadian dismenore di dunia sangat besar. Rata-rata lebih dari 50%

perempuan di setiap Negara mengalami dismenore. Di Amerika angka

presentasinya sekitar 60% dan di Swedia sekitar 72%. Sementara di Indonesia

(2)

Universitas Sumatera Utara Angka kejadian (prevalensi) dismenore berkisar 45-95% di kalangan wanita usia

produktif (Proverawati dan Misaroh, 2009).

Pada tahun 2005 di Jepang angka kejadian dismenore primer 46 %, dan

27,3 % dari penderita absen dari sekolah dan pekerjaannya pada hari pertama

menstruasi (Osuga, 2005).

Pada tahun 2007 prevalensi dismenore di Malaysia 62,33% dimana 80,7%

memiliki riwayat keluarga yang mengalami dismenore (Liliawati, 2007).

Hasil penelitian di Oman tahun 2011 menunjukkan bahwa remaja putri di

Oman yang mengalami menstruasi ada 94% dengan derajat kesakitan 27%

dismenore ringan, 41% dismenore sedang, dan 32% dismenore berat (Rahma &

Anbarin, 2011).

Pada tahun yang sama dilakukan penelitian pada mahasiswa keperawatan di

Libanon dan diperoleh prevalensi kejadian dismenore sebesar 38,1 % (Karout,

2011).

Hasil penelitian Olaf Sianipar pada tahun 2009 menunjukkan 31,6% remaja

putri di Jakarta Timur mengalami dismenore.

Pada tahun 2010, prevalense dismenore di Manado sebesar 98,5% dengan

keluhan 10,1% mengalami mual muntah, 14,1% nyeri kepala, 33,7% gangguan

emosi dan 1% pingsan (Lestari, 2010).

Klein dan Litt (1981) dalam Eman (2012) melaporkan prevalensi dismenore

dunia mencapai 59.7%. Dari pasien yang mengalami keluhan, 12%

mendeskripsikan nyeri yang severe, 37% mengalami nyeri moderate dan 49%

mengalami nyeri mild. Dismenore menyebabkan 14% remaja putri ketinggalan

pelajaran sekolah. Selain itu, dikatakan bahwa dismenore lebih sering terjadi pada

(3)

Universitas Sumatera Utara 2.1.3. Etiologi Dismenore

Banyak teori telah dikemukakan untuk menerangkan penyebab dismenorea

primer tetapi patofisiologinya belum jelas dimengerti. Rupanya beberapa faktor

memegang peranan sebagai penyabab dismenorea primer antara lain:

1) Faktor kejiwaan dan fisik, dimana pada gadis-gadis yang emosinya belum

stabil dan tidak mendapat penerangan yang baik tentang proses haid mudah

timbul dismenore. Selain itu kesehatan fisik yang menurun juga erat

hubungannya dengan faktor tersebut diatas, faktor ini dapat juga menurunkan

ketahanan terhadap rasa nyeri. Faktor-faktor seperti anemia, penyakit

menahun, dan sebagainya dapat mempengaruhi timbulnya dismenore

(Simanjuntak, 2007).

2) Faktor obstruksi kanalis servikalis, salah satu teori yang paling tua untuk

menerangkan terjadinya dismenore primer. Pada wanita dengan uterus dalam

hiperantefleksi mungkin dapat terjadi stenosis kanalis servikalis, akan tetapi

hal ini sekarang tidak dianggap sebagai faktor yang penting sebagai penyebab

dismenore. Banyak wanita menderita dismenore tanpa stenosis servikalis dan

tanpa uterus dalam hiperantefleksi. Sebaliknya, terdapat banyak wanita tanpa

keluhan dismenorea, walaupun ada stenosis servikalis dan uterus terletak

dalam hiperantefleksi atau hiperretrofleksi. Mioma submukosum bertangkai

atau polip endometrium dapat menyebabkan dismenore karena otot-otot

uterus berkontraksi keras dalam usaha untuk mengeluarkan kelainan tersebut

(Simanjuntak, 2007).

3) Faktor endokrin, pada umumnya ada anggapan bahwa kejang yang terjadi

pada dismenore primer disebabkan oleh kontraksi uterus yang berlebihan.

Faktor endokrin mempunyai hubungan dengan kontraktilitas otot uterus.

Novak dan Reynolds yang melakukan penelitian pada uterus kelinci

berkesimpulan bahwa hormon estrogen merangsang kontraktilitas uterus,

sedangkan hormon progesteron menghambat atau mencegahnya. Tetapi, teori

ini tidak dapat menerangkan fakta mengapa tidak timbul rasa nyeri pada

(4)

Universitas Sumatera Utara kadar estrogen yang berlebihan tanpa adanya progesteron (Simanjuntak,

2007).

4) Faktor alergi, teori ini dikemukakan setelah memperhatikan adanya asosiasi

antara dismenore dengan urtikaria, migraine atau asma bronkhiale. Smith

menduga bahwa sebab alergi ialah toksin haid (Simanjuntak, 2007).

Penyebab dari dismenorea sekunder adalah pemakaian alat kontrasepsi,

adenomiosis, uterine myoma (fibroid), polip rahim, adhesi, kelainan bawaan

sistem mullerian , striktur atau stenosis serviks, kista ovarium, pelvic congestion

syndrome, Allen-Masters syndrome, Mittelschmerz (nyeri pertengahan siklus

ovulasi) dan sakit psikogenik (Norwitz & Schorge, 2006).

2.1.4. Faktor Resiko Dismenore

Beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan dismenore primer berupa

usia yang sangat muda ketika menarche (<12 tahun), nulliparity, perdarahan

menstruasi yang berlebihan dan lama berhenti, merokok, konsumsi alkohol,

adanya riwayat dismenore pada keluarga, obesitas (Edmons, 2007).

Adapun faktor resiko yang turut berkontribusi dalam timbulnya dismenore

sekunder adalah leiomiomata (fibroid), pelvic inflammatory disease, abses

tubaovarian, endometriosis, adenomiosis (Calis, 2013).

2.1.5. Patofisiologi Dismenore

Penelitian membuktikan bahwa dismenore primer disebabkan karena adanya

Prostaglandin F2α (PGF2α), yang merupakan stimulan miometrium poten dan

vasokonstriktor pada endometrium. Kadar prostaglandin yang meningkat selalu

ditemui pada wanita yang mengalami dismenore dan tentu saja berkaitan erat

dengan derajat nyeri yang ditimbulkan. Peningkatan kadar ini dapat mencapai 3

kali dimulai dari fase proliferatif hingga fase luteal, dan bahkan makin bertambah

ketika menstruasi.

Selama fase luteal dan menstruasi, PGF2αdisekresi. Pelepasan PGF2α yang

(5)

Universitas Sumatera Utara menyebabkan vasospasme arteriol uterus, sehingga mengakibatkan iskemia dan

kram abdomen bawah yang bersifat siklik.

Adapun hormon yang dihasilkan pituitari posterior yaitu vasopresin yang

terlibat dalam penurunan aliran menstrual dan terjadinya dismenore. Selain itu,

diperkirakan faktor psikis dan pola tidur turut berpengaruh dengan timbulnya

dismenore tetapi mekanisme terjadinya dan pengaruhnya dengan dismenore

belum jelas dan masih dipelajari (Calis, 2013).

Wanita dengan dismenore berat mempunyai kadar prostaglandin yang tinggi

selama masa siklus haid, konsentrasi tinggi ini terjadi selama 2 hari dari fase

menstruasi (Cunningham, 2008).

Peningkatan kadar prostaglandin juga ditemui pada dismenore sekunder,

tetapi harus ditemui adanya kelainan patologis pada panggul yang jelas untuk

menegakkan diagnosa dismenore sekunder (Baradero, 2006)

Faktor yang ditemukan dalam patogenesis dismenore sekunder adalah

endometriosis, pelvic inflammatory disease, kista dan tumor ovarium,

adenomiosis, fibroid, polip uteri, adanya kelainan kongenital, pemasangan

intrauterine device, transverse vaginal septum, pelvic congestion syndrome dan

allen-masters syndrome (Calis, 2013).

2.1.6. Klasifikasi Dismenore a. Dismenore Primer

Menurut Prawihardjo (2011), dismenore primer adalah nyeri haid tanpa

ditemukan keadaan patologi pada panggul.

Dismenore primer merupakan dismenore yang paling umum terjadi pada

wanita. Hal ini disebabkan oleh peningkatan produksi prostglandin. Dismenore

primer berhubungan dengan siklus ovulasi dan disebabkan oleh kontraksi

miometrium sehingga terjadi iskemia akibat adanya prostaglandin yang

diproduksi oleh endometrium pada fase sekresi. Perempuan dengan dismenore

primer didapatkan kadar prostaglandin lebih tinggi dibandingkan dengan

(6)

Universitas Sumatera Utara menstruasi pertama dan berlangsung sebelum atau sesudah menstruasi selama 2-3

hari.

b. Dismenore Sekunder

Dismenore sekunder pada umumnya terjadi akibat dari kelainan struktural

serviks atau uterus, benda asing seperti alat kontrasepsi dalam rahim (IUD),

endometriosis atau endometritis. Endometriosis merupakan suatu kondisi dimana

implantasi jaringan endometrium ditemukan pada lokasi ektopik dalam rongga

peritonium (Hamilton, 2009).

Menurut Prawihardjo (2011), dismenore sekunder adalah nyeri haid yang

berhubungan dengan berbagai keadaan patologis di organ genitalia, misalnya

endometriosis, adenomiosis, mioma uteri, stenosis serviks, penyakit radang

panggul, perlekatan panggul atau irritable bowel syndrome.

2.1.7. Manifestasi Klinis Dismenore

Gejala dismenore primer biasanya dimulai 6-12 bulan setelah menarche,

pada saat ovulasi mulai terjadi. Nyeri digambarkan sebagai nyeri kram, rasa tidak

nyaman pada abdomen bagian bawah, yang mulai beberapa jam setelah

menstruasi. Nyeri biasanya berlangsung selama 1 atau 2 hari. Gejala yang

menyertainya berupa sakit kepala, mual, muntah, diare, dan nyeri punggung

(Corwin, 2009).

Gejala dismenore sekunder cenderung terjadi tidak berhubungan dengan

menarche. Penyebab yang sering terjadi adalah endometriosis.Selain itu, dapat

juga disebabkan oleh infeksi pelvis, kehamilan intrauteri atau ekstrauteri, dan

pemakaian IUD. Gejala khas dari dismenore sekunder adalah nyeri hebat saat

(7)

Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1. Perbedaan gambaran klinis dismenorea primer dan sekunder

Dismenorea primer Dismenorea sekunder

Onset singkat setelah menarche Onset dapat terjadi kapan saja setelah menarche

Nyeri kram di perut bawah atau pelvis dengan awal keluarnya darah selama 8-72 jam

Waktu dari nyeri berubah-ubah sepanjang siklus menstruasi

Pola nyeri sama setiap siklus Memburuk setiap waktu, dapat unilateral, dapat memburuk pada waktu berkemih

Tidak dijumpai kelainan patologis pelvis

Dijumpai abnormalitas pelvis patologis

Sumber: Diagnosis and management of dysmenorrhea (Proctor dan Farquhar,

2006)

2.1.8. Penegakan Diagnosa Dismenore

Menurut Calis (2013), anamnese yang perlu ditanyakan kepada pasien

dengan keluhan dismenore adalah sebagai berikut :

a. Usia menarche.

b. Frekuensi menstruasi tiap bulan, durasi menstruasi, banyak darah yang

keluar.

c. Onset, durasi, ciri khas, dan derajat nyeri yang dirasakan.

d. Adanya faktor eksternal yang menyebabkan nyeri

e. Pengaruh terhadap aktivitas sehari-hari.

f. Adanya riwayat keluarga.

Selain anamnese, perlu dilakukan pemeriksaan fisik secara lengkap,

terutama untuk dewasa muda yang baru menstruasi. Pemeriksaan dapat berupa

(Calis, 2013) :

a. Inspeksi pada genitalia eksterna, untuk melihat apakah ada rash,

(8)

Universitas Sumatera Utara b. Inspeksi apakah ada vaginal discharge, darah ataupun benda asing.

c. Inspeksi pada serviks, apakah ada massa atau benda asing.

d. Pemeriksaan palpasi bimanual, apakah ada nyeri tekan atau adanya

massa pada pelvik.

Pada kebanyakan pasien dengan nyeri menstruasi, terapi empiris diberikan

dengan presumpsi diagnosis dismenore primer, berdasarkan riwayat adanya nyeri

pelvik anterior bagian bawah yang dimulai pada masa remaja dan berhubungan

secara spesifik dengan periode menstruasi. Riwayat yang inkonsisten dan atau

adanya penemuan massa di pelvik pada pemeriksaan fisik, keluarnya cairan

vagina yang abnormal, atau kaku pelvik yang tidak terbatas pada periode

menstruasi mengarahkan diagnosis kepada dismenore sekunder (French, 2005).

2.1.9. Tatalaksana Dismenore

2.1.9.1.Tatalaksana Non-Farmakologi

Penanganan nyeri menstruasi non obat menurut Wylio (2011) adalah :

a. Tempelkan bantal pemanas ke perut bagian bawah (di bawah pusar). Jika

tidak memiliki bantal pemanas, penderita dapat memasukkan air panas ke

dalam botol dan membungkus botol tersebut dengan kain sebelum

menempelkan ke perut.

Pendapat senada dikemukakan Hembing (2011) bahwa untuk

mengurangi nyeri menstruasi dapat dilakukan dengan kompres hangat

bagian perut yang terasa nyeri dengan handuk kecil. Jika ingin panas

lebih lama, penderita dapat menggunakan botol atau hot water bag yang

telah diisi air panas dan diletakkan di bagian perut bawah atau pinggang.

Rasa hangat yang diberikan akan menstimulus untuk merasa jauh lebih

nyaman.

b. Letakkan kaki lebih tinggi dari jantung dan perut saat anda berbaring,

atau berbaring miring dengan lutut menekuk. Berbaring telentang sambil

mengganjal bagian bawah lutut dengan bantal adalah cara yang tepat

(9)

Universitas Sumatera Utara perlahan. Minum minuman hangat juga dapat digunakan untuk

meminimalkan sensasi nyeri yang dirasakan (Hembing, 2011).

c. Pijatlah perut bagian bawah dengan pijatan melingkar yang ringan. Cara

lain untuk mengurangi nyeri menstruasi adalah dengan pijat dengan

lembut daerah perut secara perlahan. Pijatan-pijatan kecil akan

melonggarkan sedikit ketegangan otot yang ditimbulkan dari reaksi

hormonal dalam rahim (Hembing, 2011).

d. Minumlah minuman yang hangat.

e. Bila penderita merasa mual sehingga selera makannya terganggu,

penderita dapat mengganti makan besar dengan makanan ringan yang

lebih sering.

f. Pilih diet kaya karbohidrat kompleks seperti biji-bijian, buah-buahan, dan

sayuran yang rendah garam, gula, dan tanpa kafein.

g. Perbanyak asupan vitamin B6, kalsium dan magnesium.

h. Mandi dengan air hangat.

i. Turunkan berat badan jika penderita kelebihan berat badan.

j. Berolahraga dapat mengurangi nyeri menstruasi. Olahraga ringan seperti

senam, jalan kaki, atau bersepeda yang dilakukan sebelum dan saat

menstruasi sangat penting dilakukan untuk melancarkan aliran darah

pada otot di sekitar rahim (Okparasta, 2003).

2.1.9.2.Tatalaksana Farmakologi

Beberapa obat yang dapat digunakan untuk menangani dismenore adalah:

a. Obat antiinflamasi nonsteroid / NSAID

NSAID adalah terapi awal yang sering digunakan untuk dismenore.

NSAID mempunyai efek analgetika yang secara langsung menghambat

sintesis prostaglandin dan menekan jumlah darah haid yang keluar

(Prawihardjo, 2011).

Seperti diketahui sintesis prostaglandin diatur oleh dua isoform

siklooksigenase (COX) yang berbeda, yaitu COX-1 dan COX-2. Sebagian

(10)

Universitas Sumatera Utara b. Pil Kontrasepsi Kombinasi

Bekerja dengan cara mencegah ovulasi dan pertumbuhan jaringan

endometrium sehingga mengurangi jumlah darah haid dan sekresi

prostaglandin serta kram uterus. Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi

sangat efektif untuk mengatasi dismenore dan sekaligus akan membuat

siklus haid teratur. Progestin dapat juga dipakai untuk pengobatan

dismenore, misalnya medroksi progesteron asetat (MPA) 5 mg atau

didrogestron 2x10 mg mulai haid hari ke-5 sampai 25. Bila penggunaan

obat tersebut gagal mengatasi nyeri haid sebaiknya dipertimbangkan untuk

mencari penyebab dismenore sekunder ( Prawihardjo, 2011).

c. Gonadotropin-Releasing Hormone Agonists dan Androgen

Efek penurunan estrogen yang dimilik obat ini menyebabkan atrofi

dari endometrium dan penurunan kadar prostaglandin (Schorge, 2008).

2.2.Menstruasi

2.2.1. Definisi Menstruasi

Menstruasi adalah suatu keadaan fisiologis atau normal, merupakan

peristiwa pengeluaran darah, lendir dan sisa-sisa sel secara berkala yang berasal

dari mukosa uterus dan terjadi relatif teratur mulai dari menarche sampai

menopause, kecuali pada masa hamil dan laktasi (Ganong, 2003).

Menstruasi ialah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai

pelepasan (deskuamasi) endometrium (Prawirohardjo, 2007).

Menstruasi atau haid adalah perubahan fisiologis dalam tubuh perempuan

yang terjadi secara berkala dan dipengaruhi oleh hormon reproduksi. Periode ini

penting dalam reproduksi. Pada manusia, hal ini bisa terjadi setiap bulan antara

(11)

Universitas Sumatera Utara 2.2.2. Fisiologi Menstruasi

Haid normal merupakan hasil akhir suatu siklus ovulasi. Siklus ovulasi

diawali dari pertumbuhan beberapa folikel antral pada awal siklus, diikuti ovulasi

dari satu folikel dominan, yang terjadi pada pertengahan siklus. Kurang lebih

lebih 14 hari pascaovulasi, bila tidak terjadi pembuahan akan diikuti dengan haid

(Sherwood, 2011).

Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) yang disekresi hipotalamus

mengontrol siklus baik pada ovarium dan uterus. GnRH merangsang

dilepaskannya follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH)

oleh pituitari anterior. FSH berperan dalam pertumbuhan folikel, sedangkan LH

berperan dalam perkembangan dari folikel tersebut. FSH dan LH menstimulasi

folikel-folikel untuk mensekresikan estrogen. Selain itu, LH juga berperan untuk

merangsang theca cells dari suatu folikel yang sedang berkembang untuk

mensekresi androgen. Androgen yang dihasilkan ini nantinya akan dikonversi

menjadi estrogen karena adanya pengaruh dari FSH. LH akan memicu terjadinya

ovulasi dan pembentukan corpus luteum, corpus luteum akan menghasilkan

estrogen, progesterone, relaxin dan inhibin.

Estrogen yang disekresi oleh folikel memiliki beberapa fungsi yang

penting :

1) Perkembangan dari struktur reproduksi wanita dan karakteristik seks

sekunder.

2) Meningkatkan anabolisme protein, termasuk pertumbuhan tulang

(bekerja bersama dengan Growth Hormone).

3) Menurunkan level kolesterol darah.

4) Inhibisi pelepasan GnRH oleh hipotalamus dan sekresi LH serta FSH

oleh pituitari anterior.

Progesteron, disekresi oleh sel yang terdapat pada corpus luteum, bersama

dengan estrogen untuk mempertahankan endometrium agar dapat terjadi

implantasi jika terjadi pembuahan dan mempersiapkan kelenjar mamae untuk

sekresi air susu. Relaksin diproduksi untuk menginhibisi kontraksi uterus yang

(12)

Universitas Sumatera Utara luteum setelah ovulasi, fungsinya untuk mencegah sekresi FSH dan mengurangi

kadar LH (Tortora & Derrickson, 2011).

Siklus haid pada wanita umumnya antara 24-36 hari. Fase-fasenya terbagi

empat antara lain (Tortora & Derrickson, 2011):

1) Fase menstrual

Fase ini terjadi pada 5 hari pertama dari suatu siklus. Pada ovarium,

fase ini adalah fase ketika terjadi perkembangan folikel primordial

menjadi folikel sekunder sedangkan di uterus terjadi peluruhan 50-150

ml yang berupa darah, jaringan serta mukus. Peluruhan ini terjadi

karena penurunan kadar progesteron dan estrogen yang memicu sekresi

prostaglandin sehingga menyebabkan arteriol uterus menjadi

vasokonstriksi.

2) Fase pre-ovulatori

Fase pre-ovulatori merupakan waktu antara hari terakhir menstruasi

dengan ovulasi. Fase ini terjadi pada hari ke-6 hingga hari ke-13. Di

ovarium, folikel sekunder mulai mensekresikan estrogen dan inhibin.

Pada hari ke-6, folikel sekunder akan menyebabkan folikel lainnya

menjadi folikel dominan. Sedangkan pada uterus, estrogen yang

dibebaskan ke dalam darah oleh folikel ovarium menstimulasi

regenerasi dari endometrium sehingga ketebalan endometrium menjadi

lebih kurang 4 - 10 mm. Fase preovulatori juga disebut juga fase

proliferatif karena endometrium sedang berproliferasi.

3) Fase ovulasi

Fase ini merupakan fase rupturnya folikel matur (graafian) dan

dilepaskannya oosit sekunder ke rongga pelvik, pada umumnya terjadi

pada hari ke-14.

4) Fase post-ovulatori

Fase post ovulatori terjadi antara ovulasi dengan onset dari

menstruasi berikutnya. Fase ini terjadi pada hari 15 sampai hari

ke-28. Di ovarium, folikel matur mengalami degenerasi menjadi corpus

(13)

Universitas Sumatera Utara ditransformasi menjadi corpus luteum karena pengaruh LH. Fase ini

disebut juga dengan fase luteal. Pada uterus, progesteron dan esterogen

yang dihasilkan oleh corpus luteum menyebabkan perkembangan

kelenjar endometrial, vaskularisasi dari endometrium dan penebalan

endometrium. Fase ini disebut juga dengan fase sekretori. Apabila tidak

terjadi fertilisasi, maka kadar hormon akan turun karena degenerasi

corpus luteum.

2.2.3. Usia Menarche

Menarche adalah haid yang pertama terjadi, yang merupakan ciri khas

kedewasaan seorang wanita yang sehat dan tidak hamil (Rumdasih & Heryati,

2005).

Perubahan dari masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa salah satunya

ditandai dengan menarche atau mentruasi yang pertama kali. Biasanya terjadi

pada usia 12-13 tahun tetapi menstruasinya masih tidak teratur karena tanpa

pelepasan telur. Setelah itu, sekitar usia 18-19 tahun siklus menstruasinya mulai

teratur karena disertai dengan pelepasan telur (Manuaba, 2009).

2.2.4. Lama Menstruasi

Pola haid merupakan suatu siklus menstruasi normal, dengan menarche

sebagai titik awal. Pada umumnya menstruasi akan berlangsung setiap 28 hari

selama lebih kurang 7 hari. Lama perdarahannya sekitar 3-5 hari, ada yang 1-2

hari diikuti darah yang sedikit-sedikit dan tidak terasa nyeri. Jumlah darah yang

hilang sekitar 30-40 cc. Puncaknya hari ke-2 atau ke-3 dengan jumlah pemakaian

pembalut sekitar 2-3 buah. (Manuaba, 2010).

2.2.5. Gangguan Menstruasi

Gangguan haid pada masa reproduksi (Prawihardjo, 2011) :

a. Gangguan lama dan jumlah darah haid : hipermenorea (menoragia) dan

hipomenorea.

(14)

Universitas Sumatera Utara c. Gangguan perdarahan di luar siklus haid : menometroragia.

d. Gangguan lain yang berhubungan dengan haid : dismenore dan sindroma

pra-haid.

Gangguan menstruasi adalah masalah yang umum terjadi pada masa remaja.

Gangguan ini dapat menyebabkan rasa cemas yang signifikan pada pasien

maupun keluarganya. Faktor fisik dan psikologis berperan pada masalah ini

(Chandran, 2008).

2.3. Riwayat Keluarga

Keluarga memiliki asosiasi yang kuat dengan kesehatan dan penyakit

seseorang melalui hubungan dan dinamika kehidupannya. Dengan mengetahui

salah satu riwayat penyakit keluarga, seseorang dapat melakukan pencegahan

serta menurunkan risiko untuk mengalami suatu penyakit tertentu (Azwar, 2002).

Menurut Notoadmodjo (2007) keadaan keluarga secara keseluruhan

memang mempunyai pengaruh yang amat besar terhadap kesehatan setiap

anggotanya. Pengaruh tersebut dapat dilihat setidaknya pada lima hal yaitu:

a. Penyakit keturunan

Apabila ditemukan kelainan tertentu pada faktor genetik keluarga,

seseorang dapat menderita penyakit genetik tertentu pula.

b. Perkembangan bayi dan anak

Meskipun keadaan fisik dan mental bayi atau anak mempunyai

kemampuan mengatasi berbagai pengaruh lingkungan, namun jika bayi

tersebut dibesarkan dalam lingkungan keluarga dengan fungsi yang

tidak sehat, maka perkembangan bayi atau anak tersebut akan terganggu,

baik fisik maupun perilaku.

c. Penyebaran penyakit

Apabila di lingkungan keluarga terdapat penderita penyakit infeksi,

maka tidak sulit diperkirakan bahwa anggota keluarga yang lain akan

(15)

Universitas Sumatera Utara Menstruasi

Lama Menstruasi Siklus Menstruasi

Pelepasan Prostaglandin

Dismenore Primer d. Pola penyakit dan kematian

Seorang yang hidup tanpa pasangan atau bercerai cenderung

memperlihatkan angka penyakit dan kematian yang lebih tinggi dari

mereka yang berkeluarga.

e. Proses penyembuhan penyakit

Pless dan Satterwhite membuktikan bahwa penyembuhan penyakit

pada anak-anak yang menderita penyakit kronis jauh lebih baik pada

keluarga dengan fungsi keluarga yang sehat daripada keluarga dengan

fungsi keluarga yang sakit.

2.4. Kerangka Teori

Usia Menarche

Faktor Fisik:

Merokok

Status Gizi

Kebiasaan berolahraga

Nulipara

Diet

Faktor Psikis

(Stres)

Gambar

Tabel 2.1. Perbedaan gambaran klinis dismenorea primer dan sekunder

Referensi

Dokumen terkait

Penurunan pH tanah sebagai akibat pemberian bahan organik dapat terjadi karena dekomposisi bahan organik yang banyak menghasilkan asam-asam dominan (sitrat, tatrad, acetat)

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor risiko yang meliputi riwayat merokok, mengunyah tembakau, menyirih, dan konsumsi alkohol pada pasien kanker rongga mulut di

Penelitian ini menggunakan data 83 semen pejantan sapi FH yang dalam 176 perkawinan, sehingga didapatkan 176 data produksi laktasi pertama anak betina di Balai Besar Pembibitan

KEY WORDS: Urban Sensing, Building Extraction, Building Classification, Airborne LiDAR, Satellite SAR, Data

Konseptual Akuntansi Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. Standar

Figure 5 shows the results of the camera calibration using each of the six distortion models and the results show the proportional accuracy normalized by the standard

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-4/W5, 2015 Indoor-Outdoor Seamless Modelling, Mapping and Navigation,

MoU selaku gentlemen agreement maksudnya tidak sama dengan perjanjian biasa walaupun dibuat secara notarial, serta hanya sebatas pengikatan moral biasa, dalam arti