• Tidak ada hasil yang ditemukan

RUKUN DAN SYARAT ISTISNA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "RUKUN DAN SYARAT ISTISNA (1)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

FIQIH MU’AMALAH

RUKUN DAN SYARAT ISTISNA’

Makalah ini disusun guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Fiqih Mu’amalah

Dosen Pengampun: Imam Mustofa

Disusun Oleh:

Putri Wulandari (1502100099)

Kelas C

PROGRAM PERBANKAN SYARIAH

JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JURAI SIWO METRO

(2)

2 RUKUN DAN SYARAT ISTISNA’

A. PENDAHULUAN

Fiqih muamalah merupakan sebuah ilmu yang diderivasi dari al-Qur’an dan

Al-Sunnah dengan menggunakan kerangka sebuah metode yang di sebut usul

fiqh.1 Muamalah merupakan bagian dari hukum islam yang mengatur hubungan

antara dua pihak atau lebih, baik antara seorang pribadi dengan peribadi lain, maupun antar badan hukum, seperti perseroan, firma, yayasan, negara, dan sebagainya. Awalnya cakupan muamalah didalam fiqih meliputi permasalahan keluarga, seperti perkawinan dan peceraian. Akan tetapi setelah terjadi disintegrasi di dunia islam, khususnya di zaman utsmani (turki ottoman), terjadi perkembangan pembagian fiqh. Cakupan bidang muamalah dipersempit, sehingga masalah yang berhubungan dengan hukum keluarga tidak masuk lagi dalam pengertian muamalah. Muamalah kemudian difahami sebagai hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dengan sesamanya yang menyangkut

harta dan hak serta penyelesaian kasus diantara mereka.2

Sesungguhnya Islam adalah agama yang syumul. Kesyumulan Islam dibuktikan melalui perbincangan aktiviti muamalat yang menjadi tunjang bagi kehidupan harian manusia. Manusia tidak akan terlepas dari ikatan kontrak dan pertukaran. Kontrak pertukaran secara umumnya menjadi salah satu amalan dalam aktiviti ekonomi yang melibatkan hubungan dua hala. Pengaplikasian kontrak pertukaran ini dapat dilihat dalam aktiviti perniagaan dan perdagangan yang menjadi elemen penting dalam kehidupan berekonomi. Islam hadir dalam memberi garis panduan bagi aktiviti ini dalam memastikan wujudnya hubungan baik antara individu dalam masyarakat dan memelihara hak individu itu sendiri. Kontrak hendaklah dibina atas dasar amanah dan saling menghormati agar kesucian kontrak ini terpelihara. Hal ini dapat dilihat melalui firman Allah swt

Nurfaizal, “Prinsip-Prinsip Muamalah Dan Implemenasinya Dalam Hukum

(3)

3

dalam surah al-Ma’idah: 1 yang membawa maksud “Wahai orang-orang Yang

beriman, penuhi serta sempurnakanlah perjanjian-perjanjian”.3

Jual beli Istishna’ menurut para ulama merupakan suatu jenis khusus dari

akad bay‟ as-salam (jual beli salam). Jenis jual beli ini dipergunakan dalam

bidang manufaktur. Pengertian bay‟ Istishna‟ adalah akad jual barang pesanan di

antara dua belah pihak dengan spesifikasi dan pembayaran tertentu. Barang

yang dipesan belum diproduksi atau tidak tersedia di pasaran. Pembayarannya

dapat secara kontan atau dengan cicilan tergantung kesepakatan kedua belah

pihak.4 Dalam fatwa DSN MUI akad istishna adalah akad jual beli dalm bentuk

pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu

yang disepakati antar pemesan (pembeli, mustashni‟) dan penjual (pembuat,

shani‟).

Secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai‟ as- salam juga

berlaku pada bai‟ al-istishna‟. Menurut Hanafi, bai‟ al- istishna‟ termasuk akad

yang dilarang karena mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna‟, pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Namun mazhab Hanafi menyutui kontrak istishna‟ atas dasar istisnha.5

B. RUKUN ISTISNA’

Dalam mengerjakan suatu amal ibadah yang baik dan benar, tentunya dibutuhkan aturan yang mengatur bagaimana amalan tersebut dilakukan sehingga didapatkan ibadah yang baik dan benar. Rukun adalah ketentuan yang harus dipenuhi, dalam melakukan suatu pekerjaan/ibadah. Bila tidak terpenuhi

maka ibadah/pekerjaan tersebut tidak sah.6

3

Nurul Izza binti Ahad dan Mohd Adib Ismail, “ Pembentukan Parameter Syariah Bagi Kontrak Jual Beli”, dalam Jurnal Prosiding Persidangan Kebangsaan Ekonomi Malaysia Ke VIII 2013 Jilid 2 (2013) 593 – 602, h. 594

4

Siti Mujiatun, “Jual Beli Dalam Perspektif Islam : Salam Dan Istisna‟ “, dalam Jurnal Riset Akuntansi Dan Bisnis Vol 13 No . 2 / September 2013, h. 202

5

Enny Puji Lestari ,”Risiko Pembiayaan Dalam Akad Istishna Pada Bank Umum Syariah”, dalam Jurnal Hukum dan Ekonomi Syari‟ah, Vol. 02 No. 1, Mei 2014, h. 4

6

(4)

4

Rukun-rukun Bay„al-Istisna„ adalah juga mengikut rukun-rukun jual beli biasa.

Ini kerana kontrak ini adalah salah satu dari kontrak al-bay„.7 Rukun dari akad

istishna yang harus dipernui dalam transaksi ada beberap hal, yaitu :

1) Pelaku akad, yaitu mustashni’ (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesa barang, dan shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang pesanan.

2) Objek akad, yaitu barang atau jasa (mashnu’) dengan spesifikasinya dan harga (tsaman); dan

3) Shighah, yaitu ijab dan qabul.8

Syarat orang yang berakad

Ulama fiqih sepakat, bahwa orang yang melakukan transaksi jual beli harus memenuhi syarat-syarat :

1. Berakal. Dengan syarat tersebut maka anak kecil yang belum berakal tidak boleh melakukan transaksi jual beli, dan jika telah terjadi transaksinya tidak sah. Jumhur ulama berpendapat, bahwa orang yang melakukan transaksi jual beli itu harus telah akil baliqh dan berakal. Apabila orang yang bertransaksi itu masih mumayyiz, maka transaksi jual beli itu tidak sah. Sekalipun mendapat izin dari walinya.

2. Orang yang melakukan transaksi itu, adalah orang yang berbeda. Maksud dari syarat tersebut adalah bahwa seorang tidak boleh menjadi pembeli dan

penjual pada waktu yang bersamaan.9

3. Pelaku harus cakap hukum.10

7

Mohd Sollehudin Shuib, Mohammad Taqiuddin Mohamad dan Ahmad Azam Sulaiman, “Kemungkiran Pemaju dalam Produk Pembiayaan Perumahan Secara Islam:Analisis Pendekatan Penyelesaian” dalam Jurnal Pengurusan 38 (2013) 141 – 149, h. 144

8

Ascarya, “Akad Dan Produk Bank Syariah”, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h. 97

9

Syaifullah, “Etika Jual Beli Dalam Islam”, dalam Jurnal Studia Islamika Vol. 11, No. 2, Desember 2014: 371-387, h. 377

10

(5)

5 Syarat barang yang diperjual belikan.

Syarat yang diperjualbelikan secara umum, adalah sebagai berikut :

1. Barang itu ada, atau tidak ada ditempat, tetapi pihak penjual menyatakan sanggup untuk mengadakan barang itu

2. Barang tersebut dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh karena itu keluar dari syarat ini adalah menjual khamar, bangkai haram untuk diperjualbelikan, karena tidak bermanfaat bagi manusia dalam pandangan syara’.

3. Milik seseorang. Maksudnya adalah barang yang belum milik seseorang tidak boleh menjadi objek jual beli, seperti menjual ikan yang masih di laut, emas

yang masih dalam tanah, karena keduanya belum menjadi milik penjual.11

Ketentuan syariah objek akad istisna’

a. Ketentuan tentang pembayaran adalah sebagai berikut.

1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat, demikian juga dengan cara pembayarannya. 2. Harga yang telah ditetapkan daam akad tidak boleh berubah. Akan tetapi

apabila setelah akad di tandatanganni pembeli mengubah spesifikasi dalam akad maka penambahan biaya akibat perubahan ini menjadi tanggung jawab pembeli.

3. Pembayaran dilakukan sesuai kesepakatan

4. Pembayaran tidak boleh berupa pembebasan utang. b. Ketentuan tentang barang, sebagai berikut :

1. Barang pesanan harus jelas spesifikasinya (jenis, ukuran, mutu) sehingga tidak ada lagi jahalah dan perselisihan dapat di hadapi.

2. Barang pesanan diserahkan kemudian.

3. Waktu dan penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.

4. Barang pesanan yang beum diterima tidak boleh dijual

5. Tidak boleh menukar barang kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.

11

(6)

6 6. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan dan membatalkan akad.

7. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat, tidak boleh dibatalkan sehingga penjual tidak

dirugikan karena ia telah menjalankan kewajibannya sesuai

kesepakatan.12

Ijab kabul (sighat) dalam akad jual beli

Ijab dan kabul sebagai salah satu rukun akad merupakan manifestasi kerelaan yang terdapat dalam batin seseorang. Namun harus dipahami juga bahwa dalam ijab dan kabul terdapat dua dimensi yang satu sama lain tidak terpisahkan, keduanya saling terpaut yaitu dimensi perijinan atau kerelaan dan ungkapannya berupa ijab dan kabul. Dimensi perijinan atau kerelaan merupakan substansi dari sebuah akad yang dijalin sedangkan ungkapan yang diwujudkan dengan ijab dan kabul adalah sarana atau penanda adanya kerelaan tersebut. Karena bersifat substansi, maka perijinan atau kerelaan merupakan sesuatu yang bersifat abstrak, batin dan berada dalam sanubari hati seseorang yang tidak mungkin bisa diketahui oleh orang lain.

Oleh karena itu, perlu ada perwujudan perijinan atau kerelaan tersebut dalam bentuk tanda yang dapat dipahami bahwa itu merupakan cerminan dari batin seseorang. Dari uraian ini, menurut Syamsul Anwar jelas bahwa yang dimaksud dengan shigat akad dalam rukun jual beli adalah “an taradhin” yang diartikan sebagai kerelaan atau perijinan yang bersifat substansi. Sedangkan apa yang dimaksud dengan ungkapan atau ijab dan kabul tidak menjadi rukun, karena itu adalah hanya penenda dari yang bersifat subtansi di atas. Sebuah ungkapan ijab dan kabul tanpa adanya “an taradhin” dalam sebuah transaksi dinyatakan sebagai sebuah transaksi yang hampa, tanpa substansi.18 Hal ini sejalan dengan apa yang terungkap dalam Alquran surah An-Nisaa ayat 29 yang artinya:

12

(7)

7

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu”

Dengan demikian dapat dipahami bahwa shigat ijab dan kabul yang menjadi salah satu rukun dalam sebuah transaksi merupakan media untuk memunculkan dan mendeskripsikan kehendak batin yang tersembunyi. Oleh karena itu, shigat ijab dan kabul bisa saja dilakukan berupa ucapan, tindakan atau perbuatan, isyarat dan juga tulisan.

Shigat akad ijab dan kabul berupa ucapan merupakan yang lazim dan biasa dilakukan oleh, terutama di tengah masyarakat yang masih bertransaksi secara tradisional dan memegang teguh budaya dan kebiasaan, seperti di daerah Kalimantan Selatan pada umumnya yang bermazhab Syafi ’i. Ada dua bentuk shigat akad berupa ucapan yaitu dengan kalimat yang jelas (kalimah sharih) dan kalimat sindiran (kalimah kinayah). Kalimat yang jelas (sharih) adalah

shigat jual beli yang mengandung makna jual beli, dan tidak ada arti yang lain seperti kalimat “saya jual kepada engkau barang ini dengan harga sekian” kemudian dijawab dengan kalimat “saya beli barang tersebut dari kamu dengan harga sekian”. Sedangkan sindiran (kinayah) adalah kalimat yang tidak hanya mengandung makna jual beli saja, namun juga mengandung makna lain. Apabila kalimat tersebut disertai dengan penyebutan harga maka kalimatnya menjadi sharih. 13

Shigat akad berupa perbuatan dalam literatur fi kih dikenal dengan

konsep ta‟athi atau mua‟atah. Yang dimaksud dengan konsep ini adalah bahwa

para pihak yang bertransaksi tidak menggunakan kata, isyarat ataupun tulisan

dalam menyatakan persetujuannya terhadap transaksi yang mereka lakukan,

namun dengan cara perbuatan langsung untuk menutup transaksi yang mereka lakukan. Jual beli yang dilakukan dengan shigat akad seperti ini disebut dengan ba‟i al-mu‟athah.Praktik jual beli seperti ini biasa di lakukan di pasar-pasar

modern seperti mall, swalayan, mini market, dan lain-lain yang mana pembeli

dan kasir sama-sama menyerahkan uang dan barang sebagai bukti terjadinya

13

(8)

8 kesepakatan untuk bertransaksi tanpa mengeluarkan kata-kata yang merupakan bentuk shigat akad.

Shigat akad berupa isyarat adalah salah satu cara untuk mengungkapkan kehendak bertransaksi melalui isyarat yang dapat dipahami. Dengan demikian, bentuk isyarat merupakan solusi bagi pihak yang bisu untuk menggantikan kedudukan ucapan dalam berkomunikasi. Sehubungan dengan hal ini menurut Hasbi ash-Shiddieqy ada kaidah yang ditetapkan yang maknanya adalah bahwa isyarat bagi orang yang bisu sama dengan ucapan lidah (sama dengan penjelasan menggunakan lidah). Penggunaan isyarat sebagai shigat akad menurut Syamsul Anwar harus memenui kriteria berupa isyarat yang dapat dipahami yaitu jelas maksudnya dan tegas menunjukkan kepada suatu kehendak

untuk melakukan transaksi.14

Shigat akad dengan tulisan adalah merupakan salah satu cara untuk mewujudkan akad dengan melalui sebuah tulisan. Kedudukan tulisan ini sesuai dengan kaidah fikih yang artinya bahwa tulisan sama dengan ucapan. Pilihan untuk melakukan shigad akad dengan tulisan ini muncul dari kenyataan bahwa para pihak yang ingin melakukan sebuah transaksi berada pada tempat yang saling berjauhan, tidak pada satu tempat (satu majelis), sehingga komunikasi transaksi sangat sulit untuk dilakukan. Dalam praktiknya, apabila ada seseorang yang berada pada tempat yang jauh dengan pemilik barang dan mereka sepakat untuk menjalin komunikasi transaksi, maka ijab dan kabul bisa dilakukan pada tempat yang terpisah berupa ijab dalam bentuk tulisan disampaikan kepada pihak lain dan menerima pernyataannya (kabul) pada tempat dia menerima tulisan itu, maka transaksinya dinyatakan sah, bahkan selama tulisan itu masih ada pada pihak yang menerima (kabul) maka transaksinya tetap dinyatkan sah walaupun yang menerima tidak menyatakan penerimaannya di tempat dia

menerima tulisan tersebut.15

14

Ibid, h. 201

15

(9)

9 C. SYARAT-SYARAT ISTISNA’

Berkaitan dengan syarat istishna’, kalangan hanafiayah mensyaratkan tiga hal agar istisna’ sah. Tiga syarat ini apabola salah satunya tidak terpenuhi, maka akad istisna’ dianggap rusak atau batal.

a) Barang yang menjadi objek istisna harus jelas, baik jenis, macam , kadar dan sifatnya. Apabila salah satu unsur ini tidak jelas, maka akad istisna rusak. Karena barang tersebut pada dasarnya adalah objek jual beli yang harus diketahui. Apabila seseorang memesan suatu barang, harus dijelaskan spesifikasinya; bahan, jenis, mode, ukuran, bentuk, sifat, kualitasnya serta hal-hal yang terkaitu dengan barang tersebut. Jangan sampai ada hal yang tidak jelas, karena hal tersebut dapat menimbukan perselisihan di antara para pihak yang bertransaksi.

b) Barang yang dipesan merupakan barang yang biasa digunakan untuk keperluan dan sudah umum digunakan, seperti pakaian, perabotan rumah, furnitur dan sebagainya.

c) Tidak diperbolehkan menetapkan dan memastikan waktu tertentu untuk menuerahkan barang pesanan. Apabila waktu penyerahan telah ditetapkan

maka dikategorikan sebagai akad salam.16

Adapun syarat-syarat lainnya yaitu, sebagai berikut:

 Produsen dan pemesan (shani dan mustashni) cakap hukum, tidak dalam

keadaan terpaksa, dan tidak ingkar janji.

 Produsen (shani) memiliki kapasitas dan kesanggupan untuk membuat/

mengadakan barang yang dipesan.17

16

Imam Mustofa, “Fiqih Mu‟amalah..., h. 96-97

17

Veithzal Rivai dan Andriana Permata Veithzal, “Islamic Financial Management:

teori, konsep, dan aplikasi panduan praktis untuk lembaga keuangan, nasabah, praktisi,

(10)

10 DAFTAR PUSTAKA

Imam Mustofa, “Fiqih Mu‟amalah Kontemporer”, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016

Ascarya, “Akad Dan Produk Bank Syariah”, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011

Veithzal Rivai dan Andriana Permata Veithzal, “Islamic Financial

Management”, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008

Sri Nurhayati Dan Wasilah, “Akuntansi Syariah Di Indonesia”, Jakarta:

Salemba Empat, 2015

Nurfaizal, “prinsip-prinsip muamalah dan implemenasinya dalam hukum

perankan indonesia”, dalam Jurnal Hukum Islam. Vol. XII No. 1 Nopember 2013, (192-205),

Siti Mujiatun, “Jual Beli Dalam Perspektif Islam: Salam Dan Istisna‟“,

Jurnal Riset Akuntansi Dan Bisnis, (Sumatera Utara: Universitas

Muhammadiyah, Vol 13, No . 2, September 2013).

Enny Puji Lestari ,”Risiko Pembiayaan Dalam Akad Istishna Pada Bank

Umum Syariah”, Jurnal Hukum dan Ekonomi Syari‟ah, (Metro: STAIN Jurai Siwo, Vol. 02, No. 1, Mei 2014)

Mohd Sollehudin Shuib, Mohammad Taqiuddin Mohamad dan Ahmad

Azam Sulaiman, “Kemungkiran Pemaju dalam Produk Pembiayaan Perumahan

Secara Islam: Analisis Pendekatan Penyelesaian” Jurnal Pengurusan, (Malaysia:

Universitas Islam Malaysia, Vol 38, 141 – 149, Oktober 2013)

Rusdiyah dan Zainal Muttaqin, Sa'adah, “Sighat Ijab Kabul Transaksi Jual

Beli: Perspektif Ulama Kalimantan Selatan”, Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman (Banjarmasin: IAIN Antasari, Vol. 14, 198 No. 2, Juli-Desember 2015)

Syaifullah, “Etika Jual Beli Dalam Islam”, Jurnal Studia Islamika, ( Palu:

(11)

11

Nurul Izza binti Ahad dan Mohd Adib Ismail, “ Pembentukan Parameter

Syariah Bagi Kontrak Jual Beli”, Jurnal Prosiding Persidangan ( Malaysia:

Universitas Kebangsaan Malaysia, Ke VIII 2013 Jilid 2 (2013) 593 – 602)

Ahmad Harisandi, “Pengertian Syarat, Rukun, Sah Da Batal” ,

Referensi

Dokumen terkait

1) Merelakan kedua belah pihak pelaku akad. Apabila salah satu pihak dipaksa untuk melakukan akad, maka akadnya tidak sah. 2) Mengetahui manfaat barang tersebut dengan jelas

a. Adanya ukuran suka rela dari para pihak yang melakukan akad. Syarat ini terkait dengan para pihak. Suka sama suka juga menjadi syarat dalam jual beli. Tidak boleh ada

Menurut mereka, Istishna’ hukumnya sah, baik waktunya ditentukan atau tidak karena menurut adat kebiasaan penentuan waktu ini bisa digunakan dalam akad Istishna’.. Telah

Perkara yang Diwakilkan/Obyek Wakalah, Sesuatu yang dapat dijadikan obyek akad atau suatu pekerjaan yang dapat dikerjakan orang lain, perkara- perkara yang mubah

awal dari barang yang dijual. Berlaku untuk semua bentuk jual beli amanah. Laba harus diketahui karena merupakan bagian dari harga. Modal yang terukur secara pasti. Tidak

Objek akad harus sudah ada pada saat akad diadakan. Barang yang belum tersedia tidak dapat menjadi objek akad menurut pendapat mayoritas ahli fikih, karena hukum dan akibat

Jika dalam akad jual beli objek transaksinya adalah barang, namun pada akad ijarah objek transaksinya adalah barang maupun jasa (Karim, 2004). Pendidikan jasmani

Ketika pembiayaan diberikan kepada nasabah dan tidak lain dana itu digunakan untuk membiayai pendidikan dan akad yang diberikan adalah akad Al Ijarah, maka