• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembentukan Identitas Diri Foreclosure P (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pembentukan Identitas Diri Foreclosure P (1)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Pembentukan Identitas Diri Foreclosure Pada Remaja dalam Menempuh Pendidikan di Pondok pesantren

Ainul Zulqoifah Asmawati (ainul.zulqoifah@gmail.com)

Faizah Sumi Lestari

Universitas Brawijaya Malang

Abstract

This research was conducted to understand the process of foreclosure identity formation in adolescents for taking education. Foreclosure identity status represented by individuals who are not experienced exploration period (crisis) but they have made a number of commitments that are not from the search itself and prepared by those around him. This study used qualitative methods with phenomenological approach. Subjects in this study were 4 adolescents who have been educated in boarding school since junior high to high school and had foreclosure identity in his education. Data collection techniques were interviews, and observation. Analysis technique used coding analysis (open coding, axial coding, selective coding). The results found that the formation of identity Foreclosure indicated by lower exploration capabilities illustrated by the lack of knowledge about the place of education, the boarding school information obtained by nearby, and following the decision of the surrounding. Adolescents have demonstrated commitment conducted by diligent and obedient to the rules. Stages of its formation, the adolescents have barriers to identity crisis and identity diffusion, and identification was conducted in order to gain the attention and respect of the people around.

Keywords: identity foreclosure, Adolescents, boarding school education.

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk memahami proses pembentukan identitas diri foreclosure pada remaja dalam menempuh pendidikan. Status identitas foreclosure digambarkan dengan individu yang tidak mengalami periode eksplorasi (krisis) tapi mereka telah membuat sejumlah komitmen yang bukan berasal dari pencarian sendiri dan sudah disiapkan oleh orang disekitarnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Subjek dalam penelitian ini merupakan 4 remaja yang telah menempuh pendidikan dipondok pesantren sejak SMP hingga SMA dan memiliki status identitas foreclosure dalam menempuh pendidikan. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, dan observasi. Teknik analisa menggunakan analisis coding (open coding, axial coding, selective coding). Hasil penelitian menemukan bahwa pembentukan identitas diri Foreclosure ditunjukkan dengan kemampuan eksplorasi yang rendah yang digambarkan dengan kurangnya pengetahuan mengenai tempat pendidikan, informasi pondok pesantren didapatkan orang terdekat, dan mengikuti keputusan dari sekitar. Remaja telah memiliki komitmen yang ditunjukkan dengan perilaku rajin dan patuh pada peraturan. Untuk tahapan pembentukannya remaja memiliki hambatan pada identity crisis dan identity diffusion, dan identifikasi (identification) dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian dan penghargaan dari orang sekitar.

(2)

Latar Belakang

Seiring dengan bertambahnya usia dan berkembangnya fisik yang dialami oleh manusia dalam menjalani kehidupan, manusia akan melalui masa yang disebut dengan masa remaja. Masa remaja sering sekali diartikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik, psikis, dan psikososial (Dariyo, 2004), dengan adanya masa remaja yang berada pada masa transisi inilah yang menjadikan para remaja masih belum dapat digolongkan sebagai dewasa dan juga tidak dapat disebut sebagai anak-anak. Keinginan remaja untuk menentukan nasib sendiri, menjadikan remaja mulai memiliki ketertarikan untuk mempertanyakan kehidupannya dimasa lalu, siapakah dirinya, ingin menjadi seperti apa, dan apa yang ingin diraih di masa yang akan datang, pertanyaan-pertanyaan yang muncul tersebut menjadikan remaja untuk membuat sebuah keputusan yang akan mengarahkan untuk menentukan identitas dirinya, seperti yang kemukakan oleh Acher (Baihaqi., Kartini., Ihsan., Musthofa, 2009) bahwa keputusan-keputusan yang telah diambil selama masa remaja mulai membentuk inti tentang bagaimana individu menunjukkan keberadaanya sebagai manusia, konsep ini yang disebut para ahli sebagai identitas diri.

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh rahmat (2005) disebutkan 18% santriwati tidak mengetahui tujuan hidup mereka dan 4% bingung menentukan tujuan hidupnya, dapat diketahui bahwa sebagian santriwati belum dapat menentukan dan memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan masa depan dan hidup mereka, hal ini selaras dengan hasil penggalian data awal yang dilakukan terhadap beberapa santriwati disalah satu asrama pondok pesantren Darul Ulum, beberapa remaja mengatakan bahwa mereka menempuh pendidikan di pondok pesantren bedasarkan pada pilihan orang tua, begitu pula dengan pemilihan jurusan/peminatan bidang studi antara IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), dengan didasari oleh alasan kebingunan dalam menentukan pilihan maka mereka menganggap bahwa pilihan dari orang tua adalah yang terbaik tanpa terlebih dahulu melihat minat dan kemampuan yang mereka miliki, sebagaimana yang diungkapkan oleh Moesono (Sawitri, 2009) bahwa ternyata siswa SMA tidak pernah betul-betul tahu apa yang diinginkannya, tidak terbiasa tertantang menggali informasi sampai tuntas, namun hanya bermodal informasi yang hanya 40% petunjuk orang tua.

Keputusan yang diambil oleh remaja untuk tinggal dan menempuh pendidikan dipondok pesantren tidak sepenuhnya didasarkan pada keinginan dari diri mereka sendiri, orang tua mereka juga terlibat dalam keputusan tersebut, kebanyakan dari para santriwati memang dianjurkan oleh orang tua mereka untuk menuntut ilmu dipondok pesantren saat mereka mulai beranjak remaja, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ghonimah (2010) bahwa pesantren merupakan pilihan alternatif para orang tua untuk dijadikan tempat tinggal sekaligus tempat belajar dan bersosialisasi yang tepat pada anak. Hal ini dikarenakan anak mereka berada dibawah tangan para Kyai yang merupakan tokoh agama dan panutan masyarakat, menjadikan para orang tua percaya dan yakin dengan bimbingan para Kyai dan guru, seorang anak akan menjadi muslim yang berilmu dan berakhlak baik, sehingga motif untuk tinggal dipesantren pun sedikit mereka paksakan agar anak mau belajar di pesantren dan jauh dari keluarga.

(3)

dipondok pesantren, hal ini dikarenakan sifat dari para remaja yang menginginkan untuk hidup atas pilihan mereka sendiri. Dalam penggalian data awal yang dilakukan terhadap beberapa remaja di salah satu asrama dipondok pesantren Darul Ulum, diketahui bahwa dengan adanya kesediaan untuk menempuh pendidikan dan tinggal dipesantren atas keputusan dari orang tua dengan tanpa menanyakan hasil dari keputusan remaja sendiri menjadikan mereka tidak mengetahui apa yang hendak mereka lakukan setelah berada dipondok pesantren, merekapun menjadikan mengaji, dan bersekolah sebagai rutinitas dalam keseharian yang harus dilakukan jika tidak ingin mendapatkan hukuman. Alasan lain yang mendasari mereka memilih untuk menempuh pendidikan di pondok pesantren adalah keluarga inti dari mereka yaitu ayah dan saudara kandung mereka juga menempuh pendidikan dipondok pesantren, sehingga menempuh pendidikan di pondok pesantren telah menjadi sebuah keharusan bagi mereka sehingga merekapun tidak pernah membuat rencana atau tidak pernah memikirkan keinginan mereka yang sebenarnya seperti halnya keinginan untuk melanjutkan sekolah di lembaga pendidikan selain pondok pesantren, mereka menganggap bahwa mereka hanya perlu untuk menuruti, menjalankan dan mematuhi apa yang telah direncanakan oleh orang tua mereka.

Adanya fenomena yang ditemukan dilapangan yang menyatakan bahwa keputusan yang dipilih oleh remaja untuk menempuh pendidikan dipondok pesantren ditunjukan dengan adanya keputusan yang dilandasi oleh tradisi keluarga yaitu bersekolah dipondok pesantren secara turun temurun serta atas dasar keinginan orang tua, maka remaja tersebut dapat dikatakan memiliki status identitas foreclosure dalam menempuh pendidikan dipondok pesantren atau memiliki status identitas foreclosure dalam domain vocational (pendidikan/karir), seperti yang diungkapkan oleh Kau (2008) status identitas foreclosure dalam dalam bidang pendidikan diartikan sebagai individu yang memiliki tingkat eksplorasi yang rendah terhadap beberapa alternatif pilihan dalam menempuh pendidikan namun memiliki komitmen yang tinggi terhadap suatu pilihan bidang pendidikan. Padahal mengutip pendapat Erikson (Dariyo, 2004) dijelaskan bahwa untuk menjadi orang dewasa, maka remaja akan melalui masa krisis dimana remaja berusaha untuk mencari identitas diri serta sifat dari remaja yang ingin menentukan nasib sendiri, akan tetapi mengapa pada remaja dengan status identitas foreclosure ini mereka tidak membuat keputusan dam memilih alternatif pilihan tempat untuk menempuh pendidikan, hal ini menjadikan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian secara empiris mengenai pembentukan identitas diri foreclosure pada remaja dalam menempuh pendidikan dipondok pesantren.

Landasan Teori

A. Identitas Diri

1. Pengertian Identitas Diri

Muss (Mulyono, 2007) mengungkapkan bahwa Erikson menyebutkan istilah pencarian identitas diri sebagai sebuah upaya untuk meneguhkan suatu konsep diri yang bermakna, merangkum semua pengalaman berharga di masa lalu, realitas kekinian yang terjadi termasuk juga aktivitas yang dilakukan sekarang serta harapan di masa yang akan datang menjadi

sebuah kesatuan gambaran tentang ‘diri’ yang utuh, berkesinambungan dan unik. Dalam

(4)

kondisi psikologis secara keseluruhan yang membuat individu menerima dirinya, memiliki orientasi dan tujuan dalam mengarahkan hidupnya serta keyakinan internal dalam mempertimbangkan berbagai hal.

2. Pembentukan Identitas Diri

Marcia (Kau, 2008) menyebutkan bahwa pembentukan identitas diri merupakan suatu proses mengkobinasikan pengalaman, kepercayaan, dan identifikasi yang dimiliki pada masa kanak-kanak kepada kesatuan yang unik dan akan semakin lebih atau tidak koheren, yang akan memberikan para dewasa awal baik perasaan keterkaitan dengan masa lalu maupun arah bagi masa yang akan datang. Marcia (Santrock, 2009) menyatakan bahwa pembentukan identitas diri dapat digambarkan melalui status identitas berdasarkan ada tidaknya eksplorasi (krisis) dan komitmen.

Menurut Marcia (Kau, 2008) indikasi ada tidaknya eksplorasi pada remaja ditunjukkan oleh kriteria sebagai berikut : 1). Pengetahuan, 2). Aktivitas untuk mengumpulkan informasi, 3). Tingkat emosi, 4). Keinginan untuk membuat keputusan secara dini; dan kriteria yang digunakan oleh Marcia (Purwadi,2004) untuk mengukur tingkat komitmen remaja dalam rangka proses pembentukan identitas diri meliputi unsur-unsur sebagai berikut: 1).Penguasaan pengetahuan (knowledgeability), 2) kegiatan yang diarahkan untuk melaksanakan elemen identitas yang telah dipilih, 3) suasana emosi, 4) identifikasi pada orang yang dianggap tepat, 5) proyeksi diri kemasa depan, dan 6) daya tahan terhdap goncangan yang terjadi.

3. Tahapan Pembentukan Identitas Diri

Dalam tahapan pembentukannya menurut Olson (Yuniardi, 2010) identitas diri memiliki tiga tahapan pembentukan identitas diri antara lain :

a. Identity crisis

Tahap ini terjadi ketika seseorang melihat dirinya tidak lagi sesuai dengan perubahan kondisi yang terjadi di dalam kehidupannya. Tahap ini terjadi secara normal selama masa remaja atau pada usia tengah baya.

b. Identity diffusion

Tahap ini terjadi jika seseorang gagal menyesuaikan diri dengan harapan dan tuntutan masyarakat. Individu tersebut tidak dapat mengembangkan dan mempertahankan persepsi mengenai dirinya sendiri dan memberikan cara-cara respon yang terkait. Olson membedakan tahap ini menjadi 2 (dua)bagian yaitu : acute identity diffusion dan chronic identity diffusion. acute identity diffusion ini bersifat sementara tapi cukup kuat pengaruhnya di dalam mematahkan pembentukan identitas diri seseorang, sedangkan Chronic identity diffusion adalah ketidakmampuan individu untuk menyesuaikan diri sehingga mengganggu perkembangan psikologisnya secara serius.

c. Identification

(5)

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Identitas Diri.

Fuhrmann (Ristianti, 2008) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan identitas diri:

a. Pola asuh

b. Homogenitas lingkungan c. Model untuk identifikasi d. Pengalaman masa kanak-kanak e. Perkembangan kognisi

f. Sifat individu g. Pengalaman kerja h. Identitas etnik

Sedangkan Marcia (Dariyo, 2004) menjelaskannya melalui tabel sebagai berikut : Tabel. 1. Faktor-faktor pembentuk status identitas menurut James Marcia

Faktor Identitas matang Foreclosure Moratorium Identity diffusion

Keluarga

Orang tua : supportif, perhatian, mempercayai

anak.

Orang tua : tak terima sikap / perasaan anak. Tak dengarkan

keluhan / kehendak anak.

Orang tua tidak punya aturan jelas.

Anak bingung terhadap otoritas orang tua. Orang tua permisif, tidak berwibawa dan tidak beri arahan,

dan bimbingan dengan baik. Kepribadian Anak punya kekuatan ego, kemandirian, kontrol diri internal, akrab, percaya diri, inisiatif, kreatif, dan berprestasi. Anak tergantung, kontrol diri eksternal, cemas, tidak percaya diri.

Anak cemas, takut gagal, egois, kurang percaya diri, harga diri /

konsep diri rendah.

Perkembangan konsep diri anak

lambat, kemampuan kognitif tidak berfungsi baik, ragu – ragu, pasif

tidak inisiatif.

5. Status Identitas Diri Remaja

Marcia (Dariyo, 2004), melakukan perluasan dan pengembangan dari teori psikososial Erikson identity versus identity confusion, yang merupakan krisis ke-lima dalam tahap perkembangan psikososial yang diutarakan oleh Erikson. Marcia berpendapat bahwa teori perkembangan identitas Erikson terdiri dari empat status identitas, atau cara yang ditempuh dalam menyelesaikan krisis identitas. Keempat status identitas tersebut (Santrock,2007). Kempat status identitas tersebut antara lain :

a. Identity Diffused, Merupakan istilah yang digunakan Marcia untuk merujuk pada remaja yang belum pernah mengalami krisis ataupun membuat komitmen apapun.

b. Identity Foreclosure, adalah istilah yang digunakan oleh Marcia untuk merujuk pada kondisi remaja yang telah membuat komitmen namun tidak pernah mengalami krisis. c. Identity moratorium, adalah istilah yang digunakan oleh Marcia untuk merujuk pada

kondisi remaja yang berada di pertengahan krisis namun belum memiliki komitmen yang jelas terhadap identitas tertentu.

(6)

6. Status Identitas Foreclosure

Kroger (Schwartz; Luyckx; Vignoles, 2011) menyatakan bahwa :

“Foreclosures may appear as strong and self-directed as achievements. However, there is a

brittleness, and, hence, underlying fragility, to their position. Because of their difficulty in considering alternatives seriously, they must maintain their stances defensively and either deny or distort disconfirming information. If their values are generally mainstream and they

stay within social contexts supporting those values, they appear “happy,” “well-adjusted,”

loving their families and their families loving them. But if they stray from these conforming positions, they experience both self and familial rejection”.

Individu dengan status identitas foreclosure seakan-akan terlihat kuat dan mengarahkan diri mereka seperti halnya identitas achievement. Namun, ada kerapuhan, dan, karenanya, yang melandasi kerentanan, posisi mereka. Dengan adanya kesulitan serius dalam mempertimbangkan alternatif, foreclosure harus menjaga sikap mereka untuk membela diri dan juga menolak atau mendistorsi (mengubah) informasi yang kurang menyenangkan baginya. Jika nilai-nilai mereka pada umumnya merupakan arus utama dan mereka berada dalam konteks sosial yang mendukung nilai-nilai tersebut, mereka terlihat "bahagia," "menyesuaikan dengan baik," mencintai keluarga mereka dan keluarga merekapun mencintai mereka, tetapi jika mereka mengalami penyimpangan atau melenceng dari konteks sosial yang mendukung nilai-nilai tersebut mereka mengalami penolakan baik penolakan diri maupun keluarga.

Kemudian Cramer, Marcia (Kroger, 2008) menyatakan bahwa

Foreclosed individuals have consistently shown personality characteristics such as high levels of conformity, authoritarianism, and levels of aspiration change, coupled with low anxiety, and use of defensive narcissism”.

Selanjutnya Blustein & Phillips menambahkan bahwa (Kroger, 2008)

Foreclosed individuals rely on dependent strategies for their decision making and are not generally open to new experiences.”

Individu yang foreclosure secara konsisten menunjukkan karakteristik kepribadian menguntungkan seperti tingginya tingkat kesesuaian, otoritarianisme, dan tingkat perubahan cita-cita, ditambah dengan kecemasan rendah, dan penggunaan narsisme untuk pertahanan diri. Individu dengan status identitas foreclosure bergantung pada strategi atau pilihan orang lain dalam melakukan pengambilan keputusan mereka, dan secara umum mereka tidak terbuka terhadap pengalaman baru.

Menurut Donovan (Marcia, 1993) dalam desertasinya yang secara luas melengkapi pandangan lebih dalam mengenai status identitas menemukan bahwa :

“Foreclosures were the "best behaved" of the statuses. They studied diligently, kept

regular hours, and seemed happy -even in the face of upsetting circumstances

(7)

dengan rajin, menjaga jam secara teratur, dan tampak bahagia bahkan dalam menghadapi situasi menjengkelkan.

B. Remaja

1. Pengertian Remaja

Remaja (adolescence) adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial. Untuk menjadi orang dewasa, mengutip pendapat Erikson, remaja akan melalui masa krisis, dimana remaja berusaha untuk mencari identitas diri (search for self-identity) (Dariyo, 2004). Masa remaja dibedakan oleh para ahli perkembangan menjadi periode awal dan periode akhir. Masa remaja awal (early adolescence) ini berlangsung pada masa sekolah menengah pertama (SMP) dan menengah akhir (SMA) dan pada masa ini perubahan pubertal terjadi, sedangkan masa remaja akhir kurang lebih terjadi pada pertengahan dasawarsa yang kedua dari kehidupan. Pada masa ini eksplorasi identitas sering kali lebih menonjol dibandingkan pada masa remaja awal (Santrock, 2007).

2. Tugas-tugas Perkembangan Remaja

Dariyo (2004) mendefinisikan tugas perkembangan (development tasks) merupakan tugas-tugas atau kewajiban yang harus dilalui oleh setiap individu sesuai dengan tahap perkembangan individu itu sendiri. Dari sejak dikandungan, bayi, anak-anak, remaja, dewasa awal sampai dewasa akhir, setiap individu harus melakukan tugas tersebut.

Berkaitan dengan tugas perkembangan remaja, Erikson mengatakan bahwa tugas utama remaja adalah menghadapi identity versus identity confusion, yang merupakan krisis ke-lima dalam tahap perkembangan psikososial yang diutarakannya. Yang dimaksud dengan krisis ialah suatu masalah yang berkaitan dengan tugas perkembangan yang harus dilalui oleh setiap individu termasuk remaja. Tugas perkembangan ini bertujuan untuk mencari identitas diri agar nantinya remaja dapat menjadi orang dewasa yang unik dengan sense of self yang koheren dan peran yang bernilai di masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2001).

Metode

(8)

Hasil

Pada proses pembentukannya menurut furhmann (Ristianti,2008) identitas diri dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah pola asuh. Gambaran cara pengasuhan yang ditemukan dalam penelitian adalah keseluruhan orang tua mengontrol subjek yaitu remaja dalam menentukan pilihan pendidikan tanpa memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengekspresikan pendapat, bahkan menghiraukan kehendak dan keluhan dari subjek yaitu remaja. Gaya atau cara pengasuhan yang dilakukan oleh para orang tua subjek biasanya disebut dengan istilah pola pengasuhan otoritarian. Grotevan dan Cooper (Kroger, 2008) bahwa orang tua yang menghambat dan mencegah ekspresi pendapat individual diantara anggota keluarga memiliki remaja yang menunjukan level ekplorasi rendah.

Adapun cara untuk melihat dan menilai proses eksplorasi menurut Marcia (Kau, 2008) ditunjukkan melalui kriteria sebagai berikut: 1). Pengetahuan, 2). Aktivitas untuk memperoleh informasi, 3). Pertimbangan alternatif elemen identitas yang ada, 4). Suasana emosi, 5).Keinginan untuk membuat keputusan secara dini.

Pada remaja dengan status identitas foreclosure dalam menempuh pendidikan, dalam unsur yang pertama yaitu pengetahuan mengenai tempat pendidikan, masing-masing subjek kurang memiliki pengetahuan mengenai berbagai alternatif-alternatif pendidikan yang dapat berguna bagi dirinya, hal ini dapat dilihat dalam unsur selanjutnya yaitu unsur aktivitas untuk memperoleh informasi. Pada unsur aktivitas untuk memperoleh informasi, dalam hal ini informasi mengenai tempat pendidikan yang akan mereka tempuh, subjek 1,2, dan subjek 4 menggali informasi yang mereka butuhkan guna mengetahui kualitas dan kenyamanan tempat pendidikan yang dipilih hanya didasarkan pada informasi dari orang terdekatnya seperti orang tua, saudara kandung dan saudara sepupu, sedangkan pada subjek ke-3 sepenuhnya menyerahkan pemilihan tempat pendidikan kepada orang tuanya.

(9)

subjeklah yang mencari dan menggali informasi mengenai pondok dan kemudian diterima dan disetujui oleh subjek.

Salah satu faktor yang juga muncul dan mempengaruhi pembentukan identitas selain pola asuh yang diterapkan orang tua adalah sifat dari masing-masing individu, seperti yang diungkapkan oleh Fuhrmann (Ristianti, 2008). Sifat dari masing-masing subjek yang tidak percaya diri dan terlalu bergantung pada pilihan orang tua serta cemas dengan akibat dari pilihan tersebut diwaktu yang akan datang, menjadikan para subjek ragu-ragu dalam menentukan pilihan atau pengambilan keputusan hingga tidak berani untuk menentukan dan menjalankan pilihan-pilihan bidang dan tempat pendidikan yang mereka inginkan, pada akhirnya masing-masing subjek memilih untuk menjalankan apa yang telah disiapkan para orang tua.

Pertimbangan untuk memilih alternatif-aternatif pendidikan lebih banyak berasal dari orang terdekat subjek sehingga keputusan yang telah diambil lebih memberikan kebahagiaan dan keuntungan pada orang-orang yang berada disekitar dibandingkan dirinya sebagai individu yang menjalankan keputusan tersebut. Selain itu orang tua yang tidak pernah memberikan kesempatan untuk memilih, serta keinginan untuk membahagiakan orang tua serta tidak adanya pilihan lain, menjadi penyebab pada masing-masing subjek sehingga tidak memenuhi kriteria dalam unsur kecenderungan untuk membuat keputusan dengan segera, sehingga para subjek terlihat cenderung untuk mengikuti keputusan yang dibuat oleh orang tua mereka. Blustein & Phillips (Kroger, 2008) menyatakan bahwa individu dengan identitas foreclosure bergantung pada strategi pilihan yang diberikan orang lain dalam pengambilan keputusan mereka.

Melihat pada keseluruhan dari proses eksplorasi yang terjadi pada masing-masing subjek, yang dilihat melalui pengecekan terhadap unsur-unsur eksplorasi, menunjukan bahwa masing-masing subjek memiliki kemampuan yang rendah dalam melakukan eksplorasi yang ditunjukkan dengan pengetahuan mengenai tempat pendidikan yang rendah dan informasi hanya diperoleh dari orang terdekat, pertimbangan yang kurang matang serta keputusan cenderung lebih memberikan kebahagiaan dan keuntungan bagi orang terdekat dibandingkan dirinya, sehingga remaja belum melakukan eksplorasi yang signifikan (penting/berarti) bagi dirinya, hal ini sesuai dengan pengungkapan dari Marcia (Kroger,2008) bahwa individu dengan status foreclosure telah membentuk/membuat komitmen tanpa eksplorasi yang signifikan (penting/berarti) dan Kroger & Marcia (Schwartz, 2011) menyebutkan bahwa individu dengan status identitas foreclosure mengambil komitmen dari seseorang yang dianggap penting (significant others), seperti orang tua dengan sedikit atau tanpa eksplorasi.

Selanjutnya kriteria yang digunakan oleh Marcia (Purwadi, 2004) untuk mengukur tingkat komitmen remaja dalam rangka proses pembentukan identitas diri meliputi unsur-unsur sebagai berikut: 1).Penguasaan pengetahuan (knowledgeability), 2) kegiatan yang diarahkan untuk melaksanakan elemen identitas yang telah dipilih, 3) suasana emosi, 4) identifikasi pada orang yang dianggap tepat, 5) proyeksi diri kemasa depan, dan 6) daya tahan terhadap goncangan yang terjadi.

(10)

pengetahuan yang kurang mengenai pendidikan dipondok pesantren, hal ini dipengaruhi oleh faktor homogenitas lingkungan keluarga dalam menempuh pendidikan, seperti yang diungkapkan oleh Furhmann (Ristianti,2008) bahwa homogenitas lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses pembentukan identitas diri.

Pada unsur ke-dua yang berupa kegiatan yang diarahkan untuk melaksanakan elemen identitas yang telah dipilih, subjek yang berupa keputusan menempuh pendidikan dipondok masing-masing subjek menunjukan aktivitas yang diarahkan untuk melaksanakan elemen identitas yang dipilihnya dengan selalu mengikuti dan menaati segala kegiatan yang ditentukan oleh pondok seperti mengaji, muhadloroh dan shalat berjama’ah. Subjek juga menaati hingga mematuhi setiap peraturan yang ada dipondok pesantren sehingga masing-masing subjek selalu berkelakuan baik dan jarang mendapatkan hukuman. Hal ini sesuai dengan pengungkapan dari Donovan (Marcia,1993:117) mengenai perilaku dari individu dengan status identitas foreclosure sebagai berikut bahwa individu dengan status identitas foreclosure merupakan yang "berkelakuan terbaik" dari semua status, mereka belajar dengan rajin, menjaga jam secara teratur, dan tampak bahagia bahkan dalam menghadapi situasi menjengkelkan.

Kemudian untuk suasana emosi yang berkaitan dengan alternatif pilihannya, masing-masing subjek mengalami rasa sedih dalam menjalankan alternatif pilihan pendidikan yang didasarkan atas keputusan dari orang-orang terdekat. Unsur yang menjadi indikator komitmen selanjutnya adalah identifikasi pada orang yang dianggap tepat. Menurut Purwadi (2004) dalam hal ini remaja mengidentifikasi diri pada seseorang yang telah nyata, memiliki prestasi dalam bidang yang sesuai dengan alternatif yang dipilih. Pada remaja dengan status identitas foreclosure dalam menempuh pendidikan ini, individu yang dianggap tepat untuk di identifikasi oleh mereka adalah para individu yang cenderung memiliki kesamaan pendidikan dengan dirinya seperti orang terdekatnya yaitu orang tua (ayah), saudaranya (kakak), dan tokoh dalam sejarah islam yang juga dianggap dapat memberikan motivasi kepada dirinya.

Untuk unsur selanjutnya yaitu proyeksi terhadap masa depan, masing-masing subjek cenderung kurang memiliki kemampuan untuk memproyeksikan masa depan seperti pada subjek 2, subjek memilih untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dengan pilihan bidang studi yang dipilih oleh ayahnya, hal ini dikarenakan subjek takut untuk mengambil pilihannya dikarenakan ketakutatan dan kecemasan subjek terhadap resiko dari pilihan yang berasal dari dirinya sendiri.

Unsur yang terakhir dari komitmen apabila yang bersangkutan menunjukan kemampuan untuk bertahan pada alternatif pilihannya; walaupun mendapat goncangan dan gangguan seberat atau sebesar apapun yang akan mengoyahkan pilihannya (Purwadi, 2004). Dalam hal ini masing-masing subjek menunjukan kemampuan untuk bertahan pada alternatif pilihannya dengan tetap bertahan untuk melaksanakan pilihannya bersekolah dipondok pesantren hingga sekolah menengah atas (SMA) walaupun masing-masing subjek tidak betah saat berada didalam pondok pesantren yang disebabkan dengan adanya hambatan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan dan peraturan serta kegiatan yang ada dipondok pesantren.

(11)

melaksanakan,menaati dam mematuhi peraturan, serta mampu untuk bertahan terhadap alternatif piihan pendidikan yang telah dipilih, walaupun keputusan yang diambil dipengaruhi oleh keputusan dari orang-orang terdekat, pengetahuan (knowledgaability) yang rendah mengenai tempat pendidikan.

Marcia (Kau, 2008) menyebutkan bahwa pembentukan identitas diri merupakan suatu proses mengkobinasikan pengalaman, kepercayaan, dan identifikasi yang dimiliki pada masa kanak-kanak kepada kesatuan yang unik dan akan semakin lebih atau tidak koheren, yang akan memberikan para dewasa awal baik perasaan keterkaitan dengan masa lalu maupun arah bagi masa yang akan datang. Dengan demikian maka pada remaja yang menempuh pendidikan dipondok pesantren ini, pada pembentukannya mengkombinasikan pengalaman yang didapatkan dari pengalaman orang lain dalam artian orang terdekat mereka bukan dari diri mereka sendiri, sehingga kepercayaan diri untuk membuat keputusan secara mandiripun tidak muncul dan menyerahkan segala keputusan kepada orang tua mereka dengan anggapan bahwa pilihan orang tua dan orang terdekat mereka pilihan yang paling baik bagi dirinya. Anggapan tersebut muncul pada setiap subjek dikarenakan mereka melakukan petahanan diri yang berupa rasionalisasi dan regresi untuk menutupi kekurangannya yang takut untuk menghadi resiko dari pilihan mereka pada masa yang akan datang. Selain itu dengan adanya identifikasi para subjek terhadap orang terdekat mereka yaitu pada ayah, kakak maupun tokoh yang memiliki pengalaman dan kesamaan dengan dirinya inilah yang membentuk identitas foreclosure pada masing-masing subjek dalam menempuh pendidikan dipondok pesantren.

Olson (Yuniardi, 2010) menyebutkan bahwa dalam pembentukannya identitas diri terdiri dari tiga tahapan antara lain : 1.identity crisis, 2.identity diffusion, dan 3. Identification. Pada tahapan yang pertama yaitu identity crisis. Pada tahapan identity crisis yang mana Olson (Yuniardi, 2010) menyebutnya dengan periode transisi yang ditandai dengan kebingungan, mencoba-coba (bereksperimen), dan penuh dengan muatan emosi. Pada masing-masing subjek keinginan untuk mencoba atau bereksperimen dengan alternatif pendidikan yang ada di lingkungan masyarakat tidaklah muncul, adanya keinginan dari para orang tua agar anak menempuh pendidikan dipondok pesantren hingga menempatkan anak untuk menempuh pendidikan dipondok pesantren sejak usia dini serta kedua orang tua yang memiliki riwayat pendidikan yang sama yaitu menempuh pendidikan dipondok pesantren menjadi alasan yang mendasari tidak munculnya keinginan dari masing-masing subjek untuk mencoba (bereksperimen) pada alternatif yang ada. Tidak munculnya keinginan untuk mencoba alternatif tempat pendidikan selain pendidikan pondok pesantren, dan lebih memilih untuk mengukuti pendidikan yang telah di jalankan oleh individu dalam keluarga, hal ini sesuai dengan perilaku dari individu yang berada pada status identitas foreclosure yang mana menurut Kroger & Marcia (Schwartz, 2011) disebutkan bahwa individu pada status identitas foreclosure tampak seperti pewaris identitas yang diwariskan dari pada membentuk identitas sendiri melalui proses eksplorasi.

(12)

memiliki hambatan yang berbeda-beda, pada subjek 1 hambatan dalam penyesuaian terhadap tuntutan dari teman-temannya yang dikarenakan gaya berbicara (logat), dan ketidakcocokan dengan teman memberikan konsekuensi tersendiri bagi subjek seperti menarik diri dari interaksi dengan temannya, dan memilih untuk selalu rajin dan disiplin terhadap kegiatan agar jarang untuk bertemu dengan teman-temannya. begitu juga dengan sabjek 3 gaya berbicara yang ceplas-ceplos menjadi salah satu hambatan dalam melakukan komunikasi dan interaksi dengan temannya sehingga penyesuaian diri denga lingkungannya berlangsung sangat lama, konsekuensinya adalah menjadi kurang disukai oleh temanya, dan tidak percaya diri dan selalu mengedepankan pendapat dari orang lain.

Pada subjek 4 hambatan pada tahapan identity diffusion muncul dikarenakan subjek lebih suka untuk menyendiri sehingga sangat sulit untuk melakukan interaksi dan sosialisasi dengan temannya, rasa tidak betah berada dipondok pesantren serta adanya sifat pendiam dan kurang terbuka kepada orang lain. pada subjek 2 hambatan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan pondok dan tuntutan (harapan) orang tua dikarenakan subjek mengalami kegagalan yaitu tinggal kelas (tidak naik kelas), tidak dapat mengawali interaksi dengan orang lain, mengulang kembali untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, sifat pendiam yang dimilikinya sehingga sulit untuk mengungkapkan perasaan serta pendapat kepada orang tuanya dan orang sekitar.

Pada tahapan yang ketiga identifikasi (identification), pada tahap ini para remaja yang berada pada status identitas foreclosure dalam menempuh pendidikan di pondok pesantren mengidentifikasikan dirinya dengan orang-orang atau tokoh yang memiliki latar belakang pendidikan yang sama dengan subjek, seperti orang tua yaitu ayah, kakak kandung dan tokoh islam wanita. Dilakukannya identifikasi terhadap role model yang dilakukan oleh masing-masing subjek bertujuan untuk mendapatkan pengakuan dari orang-orang terdekat bahwasanya mereka patut untuk dibanggakan karena mereka merupakan anak-anak yang bertingkah laku baik. Selain itu sebagai motivasi untuk bertahan dan melakukan seluruh kegiatan dan peraturan baik saat di asrama maupun di sekolah merupakan alasan bagi masing-masing subjek untuk melakukan identifikasi pada individu yang diidolakan oleh mereka.

Diskusi

(13)
(14)

Daftar Pustaka

Baihaqi., Kartini,Titin., Ihsan,Helli., Musthofa,A.M. (2009). Status Identitas dan Spiritualitas Remaja (Studi Korelasi dan Demografis Mahasiswa UPI Bandung). Artikel. Fakultas ilmu pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.

Dariyo,Agus. (2004). Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor Selatan: Penerbit Ghalia Indonesia.

Ghonimah,Lailatul. (2010). Kualitas Kelekatan (Attachment) Santri Berdasarkan Figure Lekat Santri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Skripsi. Universitas Islam Negeri Malang.

Herdiansyah, Haris. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : Salemba Humanika.

Iskandar. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : Gaung Persada (GP press). Kau, Muhrima A. (2008). Pencapaian Status Identitas Diri Bidang Pendidikan Dalam

Hubungannya dengan Gaya Pengasuhan Orang Tua Enabling – Constraining Siswa – Siswi SMA Negeri 3 Gorontalo. Jurnal Penelitian dan Pendidikan, Vol.5 No.2 Universitas Negeri Gorontalo.

Kroger, Jane. (2008). Identity Development During Adolescence, Blackwell Handbook of Adolescence (eds G. R. Adams and M. D. Berzonsky) chapter:10. Oxford, UK : Blackwell Publishing Ltd. doi: 10.1002/9780470756607. Published Online: 21 JAN 2008 Online ISBN: 9780470756607

Marcia, James E. (1993). Handbook of Adolescent Psychology. J. Adelson. New York : Wiley & Sons.

Mulyono, Ninin Kholida. (2007). Proses Pencarian Identitas Diri Pada Remaja Muallaf. Skripsi. Universitas Diponegoro.

Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman, Ruth D. (2001). Human development (8th ed.). Boston: McGraw-Hill

Purwadi. (2004). Proses pembentukan identitas diri remaja. Humanitas : Indonesian Psychologycal journal Vol.1.

Rahmat. (2005). Perkembangan remaja dalam mencari jati diri (survey bimbingan koseling Mts. Daarel-Qolam). Artikel . http://chil-ki.blogspot.com. Diakses pada tanggal 10 januari 2011.

Ristianti, Amie. (2008). Hubungan Antara Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Identitas Diri Pada Remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta. Skripsi. Universitas Gunadarma.

Santrock, John W. (2007). Remaja. Edisi kesebelas jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga. ______________. (2009). Perkembangan Anak. Edisi Ke-11 jilid 2. Jakarta : Penerbit

Erlangga.

(15)

Schwartz,S.J., Luyckx, K., Vignoles,V.L. (2011). Handbook of Identity Theory and Research, DOI 10.1007/978-1-4419-7988-9_2, Springer Science Business Media.

Gambar

Tabel. 1. Faktor-faktor pembentuk status identitas menurut James Marcia

Referensi

Dokumen terkait

Melalui penelitian ini juga ditunjukkan bahwa secara umum dari ketiga media periklanan: televisi, majalah, dan radio, yang paling efektif dalam menyampaikan pesan iklan kepada

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai pengaruh efisiensi operasi, kualitas aktiva, permodalan dan likuiditas

Hasil ini menunjukkan bahwa pelarut buffer fosfat dengan durasi waktu maserasi 24 jam adalah metode yang terbaik untuk mendapatkan rendemen fikoeritrin tertinggi

Penjadualan menggunakan Algoritma Heuristic HC yang mempunyai tujuan yang sama dengan Algoritma Genetika maka didapatkan penjadualan job : 6-5-2-1-3-8-4-7 dengan makespan

produktivitas tanaman jagung di wilayah daratan Kabupaten Sumenep. Bentuk kegiatan berupa penentuan anjuran pemupukan spesifik lokasi pada tanaman jagung di masing-masing

RINCIAN DOKUMEN PELAKSANAAN ANGGARAN BELANJA TIDAK LANGSUNG SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH KODE REKENING URAIAN JUMLAH (Rp) RINCIAN PERHITUNGAN Satuan Harga Satuan Volume 1 2 3 4 5 6

Peneliti selanjutnya mampu berkontribusi dalam mengatasi perulaku agresif verbal yang dialami oleh siswa SMA Negeri 1 Rembang melalui konseling rational emotive

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya beberapa kelemahan-kelemahan dalam sistem informasi akuntansi pendapatan yaitu sering terjadi ketidak cocokan antara kwitansi yang