• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KONSEP DAN MODEL PENELITIAN. Kajian Pustaka pada penelitian ini adalah yang berhubungan dengan bangunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KONSEP DAN MODEL PENELITIAN. Kajian Pustaka pada penelitian ini adalah yang berhubungan dengan bangunan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KONSEP DAN

MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian Pustaka pada penelitian ini adalah yang berhubungan dengan bangunan rumah tinggal tradisional Bali dan aktivitasnya, serta faktor-faktor yang mempengaruhi laju perubahan spasial natah, tinjauan ini bukan dimaksud untuk menghasilkan landasn teori, akan tetapi lebih bersifat memperkaya bacground knowledge sesuai dengan paradigma penelitian yang digunakan yaitu kualitatif.

Beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan topik bahasan ini adalah tesis Samsul Alam Paturusi (1988) dengan judul Pengaruh Pariwisata Terhadap Pola Tata Ruang Perumahan Tradisional Bali. Penelitian ini menekankan pada bagaimana perubahan tata ruang rumah yang terjadi pada saat penelitian ini dilaksanakan yang ditinjau dari konsep kosmologi, tata ruang perumahan ruang tradisional Bali. Hal ini dilakukan untuk menjawab kekhawatiran, apakah benar tata ruang rumah yang terjadi pada saat itu telah merusak nilai-nilai sosial budaya masyarakat, khususnya nilai yang berkaitan dengan tata ruang. Selain itu untuk menjawab, berapa besar perubahan tata ruang yang terjadi pada saat itu, jika ditinjau dari konsep kosmologi?.

Studi ini mengambil suatu kasus di daerah domisili wisatawan terbesar di pulau Bali yaitu, kawasan wisata Kuta yang berada di kabupaten Badung.

Nyoman Warnata (1998) dengan judul Perubahan Wujud Budaya Fisik Rumah Tradisional Bali, penelitian ini menekankan pada perubahan fisik yang terjadi pada rumah-rumah tradisional yang terjadi di Ubud, yang meliputi perubahan bentuk, perubahan dimensi. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk Memahami bagaimana masyarakat Desa Adat Ubud menghadapi dan menginterprestasikan masalah-masalah

(2)

kebutuhan hidup yang timbul, dan mendorong terjadinya perubahan pada rumah tinggalnya. Dengan cara mendiskripsikan perubahan yang terjadi pada pola-pola perubahan wujud budaya fisik rumah tinggal tradisionalnya serta dapat menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut secara keseluruhan.

Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan menggunakan paradigma naturalistik, satuan kajiannya adalah suatu rumah tinggal, penentuan pemelihan sampel dilakukan secara purposif. Cara pengumpulan data adalah dengan cara pengamatan, pengumpulan dokumen,wawancara, pengukuran dan studi literatur.

Penelitian tersebut memiliki kemiripan dengan penelitian yang akan dilakukan. Untuk data yang bersifat kualitatif diperoleh dari hasil wawancara dan analisis deskiptif. Dimana analisis deskiptif ini menjabarkan atau memaparkan keadaan obyek yang diteliti berdasarkan fakta atau sesuai dengan kenyataan di lapangan.Untuk lebih jelasnya rangkuman kajian pustaka dipresentasikan pada Tabel 2.1 sebagai berikut :

Tabel 2.1

Rangkuman Tinjauan Pustaka Pada Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian I Penelitian II Penelitian IGLB Oka

Tujuan Penelitian  Untuk Mengetahui perubahan tata ruang rumah yang terjadi yang ditinjau dari: konsep kosmologi tata ruang perumahan tradisional Bali. Hal ini dilakukan untuk menjawab kekhawatiran, apakah benar tata ruang rumah yang terjadi pada saat itu telah merusak nilai-nilai sosial  Untuk Memahami bagaimana masyarakat Desa Adat Ubud menghadapi dan menginterprestasika n masalah-masalah kebutuhan hidup yang timbul, dan mendorong terjadinya perubahan pada rumah tinggalnya.dan faktor-faktor yang mempengaruhinya  Untuk mengetahui perubahan spasial natah pada karang wed dan

pengaruhnya terhadap aktivitas upacara pitra yadnya dan manusa yadnya.Hal ini dilakukan untuk mengetahui perubahan prosesi upacara pitra dan manusa

yadnya,yang diakibatkan oleh

(3)

budaya masyarakat ( khususnya nilai yang berkaitan dengan tata ruang).

perubahan tata letak, dimensi,orientasi,pa da natah.

Metode Penelitian  Metode penelitian komparasi dalam dimensi,waktu dan lokasi  Metode penelitian kualitatif dengan paradigma naturalistik  Metode Penelitian kualitatif deskiptif

Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsepsi ruang yang berkaitan dengan masalah spiritual dan bersifat sakral masih tetap bertahan dan konsisten, sedangkan yang sifatnya matrial dan profan cenrung berubah. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya perubahan pola-pola fungsi di dalam pekarangan rumah tinggal,perubahan perwujudan bangunan yang mengarah ke bentuk arsitektur modern dan akletik, penambahan massa bangunan yang mengidentifikasikan perubahan pola massa, perubahan orientasi yang cendrung keluar pekarangan yang berdampak pada pada wajah desa. Diantara perubahan yang masih tetap bertahan adalah ruang dan massa bangunan yang difungsikan untuk kegiatan prosesi ritual.

Data perubahan pada karang wed yang meliputi perubahan tata letak,dimensi dan orientasi dan pengaruh perubahan tersebut terhadap prosesi upacara pitra dan manusa yadnya.

(4)

2.2 Konsep

Konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati. Konsep menentukan hubungan empiris antar variable (Tan dalam Putra, 2008). Konsep merupakan pemikiran abstrak sehingga tidak dapat diamati. Maka dari itu konsep diubah menjadi definisi operasional, yaitu definisi yang menggambarkan perilaku atau gejala yang dapat diamati dan diuji serta dapat ditentukan kebenarannya oleh orang lain.

2.2.1 Perubahan Spasial

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perubahan yaitu berasal dari kata dasar ubah yang berarti lain; beda. Jadi perubahan yaitu hal atau keadaan berubah; peralihan; pertukaran; pergeseran atau berbeda dari semula.

Dalam konteks arsitektur, ruang dianggap sebagai suatu proses asimilasi. Untuk menerangkan suatu gejala spatial dan pengaruhnya terhadap persepsi manusia, maka proses adaptasi merupakan optimalisasi pencapaian manusia akan keseimbangan dalam gerak bakunya dengan lingkungan sekitar.

Oleh sebab itu ada ruang-ruang yang dibuat dengan intensi tertentu, ada juga yang terjadi dengan sendirinya. Ruang-ruang yang diciptakan dengan intensi tertentu disebutkan Asihara sebagai ruang-ruang positif; sementara yang sifatnya spontan dan tidak terencana disebut ruang negatif, (Asihara, 1981: 21dalam Krismantoro K).

Mengamati hunian tradisional Bali, sangat berbeda dengan hunian pada umumnya. Hunian tinggal tradisional Bali terdiri dari beberapa masa yang mengelilingi sebuah ruang terbuka. Gugusan masa tersebut dilingkup oleh sebuah tembok/dinding keliling. Dinding pagar inilah yang membatasi alam yang tak terhingga menjadi suatu ruang yang oleh Yoshinobu Ashihara disebut sebagai ruang luar. Jadi halaman di dalam hunian masyarakat Bali adalah sebuah ruang luar. Konsep pagar keliling dengan masa-masa di dalamnya memperlihatkan adanya kemiripan

(5)

antara konsep Bali dengan dengan konsep ruang luar di Jepang. Konsep pagar keliling yang tidak terlalu tinggi ini juga sering digunakan dalam usaha untuk "meminjam" unsur alam ke dalam bangunan.

Masa-masa seperti Umah meten, bale tiang sanga, bale sakepat, bale sakenam, lumbung dan paon adalah masa bangunan yang karena beratap, mempunyai ruang dalam. Masa-masa tersebut mempunyai 3 unsur kuat pembentuk ruang yaitu elemen lantai, dinding dan atap (pada bale tiang sanga, bale sikepat maupun bale sekenam dinding hanya 2 sisi saja, sedang yang memiliki empat dinding penuh hanyalah umah meten).

Keberadaan tatanan uma meten, bale tiang sanga, bale sakepat dan bale sakenam membentuk suatu ruang pengikat yang kuat sekali yang disebut natah. Ruang pengikat ini dengan sendirinya merupakan ruang luar. Sebagai ruang luar pengikat yang sangat kuat, daerah ini sesuai dengan sifat yang diembannya, sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi.

Pada saat tertentu natah digunakan sebagai ruang tamu sementara, pada saat diadakan upacara adat, dan fungsi natah sebagai ruang luar berubah, karena pada saat itu daerah ini ditutup atap sementara/darurat. Sifat Natah berubah dari 'ruang luar' menjadi 'ruang dalam' karena hadirnya elemen ketiga (atap) ini. Elemen pembentuk ruang lainnya adalah lantai tentu, dan dinding yang dibentuk oleh ke-empat masa yang mengelilinginya. Secara harafiah elemen dinding yang ada adalah elemen dinding dari

bale tiang sanga, bale sakepat dan bale sakenam yang terjauh jaraknya dari pusat natah,

apabila keadaan ini terjadi, maka adalah sangat menarik, karena keempat masa yang mengelilinginya ditambah dengan natah (yang menjadi ruang tamu) akan menjadi sebuah hunian besar dan lengkap seperti hunian yang dijumpai sekarang. Keempatnya ditambah

natah akan menjadi suatu 'ruang dalam' yang 'satu', dengan paon dan lumbung adalah

(6)

Jadi dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perubahan spasial adalah hal atau keadaan berubah; peralihan; pertukaran; pergeseran atau berbeda dari semula. Dalam konteks arsitektur, ruang dianggap sebagai suatu proses asimilasi. Untuk menerangkan suatu gejala spatial dan pengaruhnya terhadap persepsi manusia, maka proses adaptasi merupakan optimalisasi pencapaian manusia akan keseimbangan dalam gerak bakunya dengan lingkungan sekitar.

2.2.2 Natah

Natah adalah suatu istilah dalam bahasa Bali, yang umum digunakan untuk menyatakan suatu halaman yang berada di tengah- tengah suatu rumah, yang dikelilingi oleh masa-masa bangunan. Kata natar juga menunjukkan hal yang serupa dengan natah namun lasim digunakan untuk menyatakan sebagi halaman pura, yang tersusun oleh beberapa bangunan suci atau pelinggih yang ada dalam tempat peribadatan umat Hindu, seperti pura dan merajan ( Jiwa :1992 :41).

Dari definisi yang telah disebutkan diatas maka yang dimaksud dengan perubahan natah pada konteks ini adalah terjadinya pergeseran dari keadaan awal natah yang diasumsikan sebagai natah pada rumah tradisional Bali dengan keadaan natah saat ini yang diasumsikan sebagai natah pada rumah tradisional Bali di karang wed yang telah berkembang. Perubahan ini dilihat dari segi tata letak, orientasi, dimensi dan makna dalam kaitannya dengan prosesi upacara yadnya. Natah dapat dikatakan mengalami perubahan tata letak apabila terdapat perubahan letak natah telah mengalami perkembangan. Perubahan natah dilihat dari orientasi adalah pada dasarnya natah sebagai sentral. Jadi semua bangunan yang mengelilinginya berorientasi ke natah. Bangunan-bangunan yang mengelilingi natahpun merupakan bale/bangunan tradisional Bali yang penamaannya di sesuaikan dengan letak bangunan ataupun jumlah tiang pada bale. Namun pada saat ini, dimana rumah pada

(7)

karang wed telah mengalami perkembangan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya perubahan/ perkembangan bentuk ataupun adanya penambahan atau pengurangan bangunan. Dengan demikian telah terjadi perubahan bangunan yang berorientasi pada natah. Perubahan dimensi natah dapat dilihat dari dimensi natah yang berbeda dari kondisi awal baik mengecil maupun membesar yang dipengaruhi oleh penambahan dan pengurangan bangunan. Perubahan fungsi natah dapat dilihat bila adanya penambahan atau pengurangan fungsi natah bagi pemilik rumah bersangkutan. Begitu pula dengan makna natah. Apabila adanya perubahan persepsi pada makna natah maka dapat dikatakan adanya perubahan makna pada natah.

Gambar 2. 1 Pola Natah

Arsitektur Tradisioanal Bali

Perumahan tradisional Bali yang dilandasi konsepsi seperti; hubungan yang harmonis antara Bhuana Agung dengan Bhuana Alit, Manik Ring Cucupu, Tri Hita Karana, Tri Angga, Hulu-Teben sampai melahirkan tata nilai Sanga Mandala yang memberi arahan tata ruang, baik dalam skala rumah (umah) maupun perumahan

Keterangan: A. Merajan B. Bale Daja C. Bale Dauh D. Bale Dangin E. Paon F. Bale Delod G. Lumbung H. Lebuh I. Natah F A D G B C E H I

Sumber: www Arsitektur Tradisional Bali.com dikunjungi tanggal 15 maret 2012 pkl 09.00 wita

(8)

(desa). Hasil dari penurunan konsep tata ruang ini sangat beragam, namun Ardi P. Parimin (1986) menyimpulkan adanya 4 atribut dalam perumahan tradisional Bali, yaitu:

1. Atribut Sosiologi menyangkut sistem kekerabatan masyarakat Bali yang dicirikan dengan adanya sistem desa adat, sistem banjar, sistem subak, sekeha, dadia, dan perbekalan.

2. Atribut Simbolik berkiatan dengan orientasi perumahan, orientasi sumbu utama desa, orientasi rumah dan halamannya.

3. Atribut Morpologi menyangkut komponen yang ada dalam suatu perumahan inti (core) dan daerah periphery di luar perumahan, yang masing-masing mempunyai fungsi dan arti pada perumahan tradisional Bali.

4. Atribut Fungsional menyangkut fungsi perumahan tradisional Bali pada dasarnya berfungsi keagamaan dan fungsi sosial yang dicirikan dengan adanya 3 pura desa. Berdasarkan patokan dasar diatas maka akan diidentifikasi aset-aset yang ada pada perumahan tradisional Bali yang meliputi aspek sosial, aspek simbolis, aspek morpologis dan aspek fungsional.

Peran natah tidak bisa terlepas dari kehidupan masyarakat bali, baik dalam kehidupan praktisnya maupun kehidupan simboliknya, termasuk pada kehidupan; spiritual, ekonomi, budaya. Begitu juga perannya pada arsitektur Bali Tradisional yang membawa simbol tiga alam; Dewa, Manusia, Buta.

Natah bisa berguna pada berbagai tatanan kehidupan, bukan hanya pada bagaimana yang bermakna fisik semata tetapi sejak dari lahan terbuka atau kosong. Sudah tentu kebutuhan akan fungsi ruang juga berorientasi pada natah. Jadi natah

(9)

yang tidak bisa dilepaskan, ditinggalkan dan diabaikan dari tatanan kehidupan masyarakat Bali.

Natah dimulai dari melakukan ritual menyucikan alam yaitu dilakukan pada tiga natah (merajan, bale, lebuh). Natah umah terletak di tengah rumah yang keberadaannya paling dominan dan sebagai pedoman. Natah sebagai pusat bangunan-bangunan yang mengelilinginya, jadi jelas natah dalam hal ini tidak terlepas dari kehidupan sosial. Seiring dengan perkembangan yang dialami, natah mengalami perubahan dimensi yang diakibatkan oleh penambahan fungsi-fungsi baru, yang dibutuhkan oleh penghuninya. Masing-masing Natah mempunyai variasi dari tingkat yang sempurna sampai dengan yang bersahaja. Dalam perkembangannya natah mengalami berbagai perubahan, diantaranya perubahan bentuk dan dimensi yang disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya penambahan fungsi-fungsi baru.

Jadi dari pengertian diatas natah dapat disipulkan sebagai berikut: natah adalah ruang kosong yang dikelili oleh massa-massa bengunan sesuai arah yang mengelilinginya, dalam penelitian ini lebih difokuskan pada atribut fungsional dan atribut morfologi.

2.2.3 Aktivitas Upacara Yadnya

Sistem religi (dalam kerangka dasar agama Hindu adalah Tattwa) berpedoman pada Panca Srada (lima pokok kepercayaan dalam agama Hindu) sebagai pokok-pokok kepercayaan, dan Panca Yadnya (lima pokok-pokok persembahan secara tulus iklas dalam agama Hindu) sebagai pokok-pokok pelaksanaan upacara keagamaan. Dari Panca Sradha, timbul sistem relegi yang memupuk stabilitas kepercayaan dan sistem pengetahuan yang mengilmiahkan kepercayaan, adat dan ajaran agama. Sedangkan dalam Panca Yadnya timbul sistem relegi yang menganut tata cara , tata nilai dan simbol-simbol relegi yang menuju sasaran. Sistem pengetahuan yang mengajarkan

(10)

proses, elemen dan sarana sebagai sistem komunikasi ritual yang diilmiahkan (Wiana, 1995:48)

Pelaksanaan sistem relegi tersebut, selain berlandaskan pada ajaran Agama Hindu juga berlandaskan pada dresta ( tradisi ) yang telah ada dan dianggap benar, dengan dilakukannya kegiatan-kegiatan upacara agama dan upacara adat Panca Maha Yadnya ( Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya,Manusa Yadnya, dan Bhuta Yadnya), sudah barang tentu akan menemukan permasalahan dari pemenfatan ruangnya, sehingga perlu mendapatkan perhatian untuk pembangunan, perbaikan dan penataan saran dan prasarana upacara tersebut dengan tetap memperhatikan daerah-daerah peruntukan kegiatan upacara dimaksud, baik dari nilai estetika, maupun radius kesuciannya, upacara panca maha yadnya yang membutuhkan ruang sesuai dengan pelaksanaannya.antara lain:

1. Kebutuhan ruang dalam pelaksanaan Dewa Yadnya (persembahan kepada Tuhan) antara lain terhadap peruntuka tempat suci dan radius kesuciannya, peruntukan sarana-sarana upacara, disamping pula sarana pendukung seperti jalan-jalan yang dipergunakan sebagai proses upacara.

2. Kebutuhan ruang dalam pelaksanaan Rsi Yadnya (persembahan kepada para guru), biasanya kebutuhan ruangnya sama dengan upacara Manusa Yadnya (persembahan kepada sesama manusia), yaitu terbatas pada ruang-ruang permukiman dan atau perumahan. Namun ada pula yang menggunakan ruas jalan sebagai prosesi upacara.

3. Kebutuhan ruang dalam pelaksanaan Pitra Yadnya (persembahan kepada para leluhur), selain pada perumahan dan permukiman, juga memanfaatkan ruas jalan Pempatan Agung/perempatan utama sebagai tempat memutar wadah/bade (tempat mayat), setra (kuburan) yang terdapat pada setiap desa adat, serta campuhan dan

(11)

pantai yang dimanfaatkan sebagai tempat membuang abu jenasah dalam rangkaian prosesi Upacara Ngaben (pembakaran mayat).

4. Upacara Butha Yadnya (persembahan kepada lingkungan) yang paling

Utama dan secara mutlak membutuhkan ruang adalah upacara Bhuta Yadnya yang dilaksanakan secara berkala, yaitu tawur nangluk merana yang biasanya di laksanakan pada tilem sasih ke enem, (pada bulan mati antara bulan November-Desember), yang mengambil tempat lokasi pada pempatan agung setiap desa adat yang bersangkutan. Upacara Bhuta Yadnya Tawur Kesanga ( menjelang Hari Raya Nyepi) dilaksanakan di alun-alun, pempatan agung di setiap wilayah di desa adat, dan di Pura Desa. Upacara tersebut dilanjutkan dengan Ngerupuk (kegiatan mengelilingi desa disertai dengan bunyi-bunyian dan mengusung Ogoh-ogoh). Sebelum upacara puncak Tawur Kesanga, terlebih dahulu dilakukan upacara melasti ke pantai atau campuhan yang memiliki makna sebagai tempat pembersihan segala yang kotor.

Dalam setiap prosesi upacara yadnya, keterlibatan berbagai komponen masyarakat merupakan bentuk dari sebuah interaksi sosial, yang sudah terbentuk dari karakteristik masyarakat Hindu Bali. Adanya komponen masyarakat adat, banjar merupakan bentuk dukungan dalam melaksanakan upacara yadnya dan keluarga sebagai aktor inti dalam yadnya tersebut.

Jadi dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa aktivitas upacara yadnya adalah suatu korban suci yang laksanakan secara tulus hiklas,yang diikuti oleh beberapa komponen masyarakat.

(12)

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Bali Dalam Lingkup Keruangan.

Pelaksanaan penyelarasan diri dengan kosmos, pada dasarnya berpangkal pada kitab suci Weda dan kerangka dasar agama Hindu, kerangka dasar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Tattwa. ( filsafat): memberikan petunjuk filosofi yang mendalam mengenai pokok-pokok keyakinan ( Panca Srada) antara lain: Widhi Srada ( keyakinan dengan adanya Tuhan), Atman Srada ( keyakinan dengan adanya atman/ roh yang bersumber dari paraatman/ tuhan), Punarbhawa Srada. ( Keyakinan terhadap adanya rangkaian kehidupan ke dalam bentuk kehidupan lain / kelahiran kembali.), ( keyakinan terhadap adanya hukum sebab akibat), dan Moksa Srada ( keyakinan terhadap bersatunya Atman dengan Paraatman). Ajaran Tattwa dalam wujud Panca Sradha ini akan mewujudkan pola-pola atau konsepsi keruangan dan mempengaruhi pola pemukiman desa, kota, pengaturan pekarangan dan perwujudan tata bangunan.

2. Susila (etika ): merupakan aturan dan kerangka tingkah laku yang baik sesuai dengan Dharma, menguraikan pemahaman benar- salah, baik- buruk, dan sebagainya, Susila ini mengatur pola berpikir serta tingkah laku yang mempengaruhi pikiran, perkataan, dan perbuatan( Tri Kaya Parisudha). Berdasarkan ajaran Susila ini timbul norma-norma dan aturan-aturan, baik tata cara hubungan dengan tuhan, dengan sesama, maupun dengan lingkungan alam sekitarnya. ketiga hubungan yang harmonisini akan mengwujudkan tata nilai dan tata letak dalam konsep keruangan, serata sistem kemasyarakatan.

3. Upacara :merupakan kerangka ntuk menghubungkan diri dengan Dewa (Tuhan), Pitra (leluhur), para Rsi (guru),sesama manusia dan hubungan dengan bhuta (kekuatan alam) dalam bentuk persembahan.Esensi dari Upacara pada dasarnya

(13)

adalah yadnya (korban suci dengan tulus ikhlas). Dasar hukum dari yadnya adalah Tri Rna (tiga hutang yang harus dibayar melalui panca maha yadnya) antara lain:

Dewa Rna adalah hutang kepada Tuhan dan Lingkungan, yang dilaksanakan melalui Dewa yadnya dan Bhuta Yadnya.,Rsi Rna adalah hutang kepada para Rsi (Guru), pelaksanaannya melalui Rsi yadnya, Pitra Rna adalah hutang kepada roh leluhur dan kepada sesama manusia sehingga menimbulkan PitraYadnya dan Manusa Yadnya

Ketiga kerangka dasar diatas sangat mempengaruhi sikap hidup dan struktur kemasyarakatan, aktivitas, dan pengaturan lingkungan hidupnya, ketiga hal tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi yang digambarkan sebagai Manik Ring Cacupu (bayi dalam kandungan), membentuk konsep-konsep ruang secara runtut dari sekala makro (alam), Lingkungan hunian. (desa), pekarangan rumah, bangunan, peralatan, sampai pada komponen-komponen terkecil (Putra , 1991).

2.3.2 Perwujudan Budaya dalam Pola Tata Ruang Tradisional Bali A. Perwujudan dalam Pekarangan

Perwujudan pola tata ruang tradisional Bali dalam lingkup pekarangan diturunkan dari konsep Nawa Sanga atau Sanga Mandala yang kemudian menjadi suatu pola ruang Natah. Pola ini membagi petak pekarangan menjadi sembilan bagian sebagai perwujudan mikro kosmos. Pola natah ini selanjutnya menjadi dasar pembangunan unit fungsi dalam area pekarangan. Tata nilai fungsi akan membedakan besaran akan perwujudan bangunan. Sebagai alat untuk menjelaskan dimensi ruang, akan dilakukan melalui pekarangan yang berfungsi sebagai tempat tinggal, dimana peranannya sangat dominan dalam pola ruang tradisional Bali (Meganada, 1990 : 72). Hal tersebut dapat dijelaskan dalam gambar sebagai berikut:

(14)

GAMBAR 2.2

Tata Nilai Pola Ruang Natah

(Sumber : Budihardjo, 1985,Menganada,1990, Putra 1991)

Dimensi dasar yang dipakai adalah anggota badan dari pemilik rumah atau kepala keluarga (Ginarsa , 1967 : 3-6: Tonjaya 1982 : 15-16). Penjelasannya sebagai berikut :

1. Pengukuran petak pekarangan

Pengukurannya dengan menggunakan Depa (rentangan dua tangan), ukuran Depa ini dibagi empat, yakni Depa Alit (rentangan tangan) dan Depa Agung (rentangan dua tangan terbuka), Depa Asta (jarak antara ujung kaki dengan rentangan tangan dibuka) dan Depa Asta Musti (rentang ujung kaki kanan dengan ujung kiri dibuka kurang lebih 2,4 m). Ukuran-ukuran ini dalam penggunaanya selalu diikuti dengan pengurip, sebagai tambahan dengan memakai dasar ukuran tangan/lengan (gegulak). Ukuran pekarangan ini akan berpengaruh terhadap pintu masuk. Dimensi dasar peletaknya dengan membagi lebar/panjang pekarangan menjadi sembilan, sesuai dengan filosofi Dewata Nawa Sanga. Pada setiap pertemuan pagar pekarangan diikat dengan Paduraksa (padu artinya pertemuan, dan raksa artinya memegang/menjaga), dari arah kaja-kangin (timur laut) berturut-turut disebut Sri, Aji, Rudra, Kala. Kemudian antara jalan dengan pagar pekarangan terhadap area kosong

(15)

yang disebut Telajakan ( lebarnya 0,5 depa), dan ruang peralihan di depan pintu masuk yang disebut Lebuh dengan lebar 1 depa dari tepi jalan.

2. Pengukuran perletakan bangunan

Ketentuan ini adalah dengan memakai telapak kaki atau disebut dengan Asta Wara. Jarak antara bangunan ditentukan dengan kelipatan ukuran dasar yang diberi urutan nama (simbul), dimulai dengan Sri, Indra, Guru, Yama, Rudra, Brahma, Kala, Uma, dan Urip (tampak ngandang/telapak kaki melintang). Besarnya kelipatan ukuran menunjukkan status sosial, profesi penghuninya dan perwujudan dalam mencapai keselarasan, ketetapan dasar jarak antara bangunan tersebut ditentukan dengan jatuhnya kelipatan ukuran, seperti yang dijelaskan dalam Gambar 2.4.

B. Perwujudan dalam Tata Bangunan

Perwujudan pola tata ruang tradisional Bali, dalam tata bangunan diturunkan dari pola-pola sebelumnya yang secara konsepsi diterjemahkan dalam Konsep Tri Angga. Konsep ini mengandung pengertian, dimana pada dasarnya tiap bangunan dibedakan kedalam tiga bagian, yakni atap (menyimbulkan utama angga), kerangka tiang dan dinding (menyimbulkan madya angga) dan bataran atau lantai (menyimbulkan nista angga).

GAMBAR 2.3

Pengukuran Petak Pekarangan

(16)

GAMBAR 2.4

Pengukuran Perletakan Bangunan

(Sumber : Ginarsa 1967,Tonjaya 1982, Putra I991)

Dasar ukuran yang dipakai untuk menjaga keserasian antara ketiga bagian-bagian di atas adalah lengan dan tangan atau disebut Gegulak, sedangkan standar ukuran yang dipakai disebut Rai (lebar tiang). Satu Rai sama dengan jarak antara ujung telunjuk sampai pangkal ruas ketiga atau disebut juga Tri Adnyana sampai dengan Sangga. Keserasian ukuran antara panjang, lebar, dan tinggi disesuaikan dengan fungsi dan status pemakainya (Ginarsa,1967 : 11-16; Sularto, tanpa tahun dalam Putra, 1991 : 42-46).

(17)

2.3.3 Perwujudan Budaya dalam Sistem Religi, Upacara Agama dan Upacara Adat.

Sistem relegi (dalam kerangka dasar agama Hindu adalah Tattwa) berpedoman pada Panca Srada (lima pokok kepercayaan dalam agama Hindu) sebagai pokok-pokok kepercayaan, dan Panca Yadnya (lima pokok-pokok persembahan secara tulus iklas dalam agama Hindu) sebagai pokok-pokok pelaksanaan upacara keagamaan. Dari Panca Sradha, timbul sistem relegi yang memupuk stabilitas kepercayaan dan sistem pengetahuan yang mengilmiahkan kepercayaan, adat dan ajaran agama. Sedangkan dalam Panca Yadnya timbul sistem relegi yang menganut tata cara, tata nilai dan simbol-simbol relegi yang menuju sasaran. Sistem pengetahuan yang mengajarkan proses, elemen dan sarana sebagai sistem komunikasi ritual yang diilmiahkan

( Wiana, 1995:48)

Pelaksanaan sistem religi tersebut, selain berlandaskan pada ajaran Agama Hindu juga berlandaskan pada dresta ( tradisi ) yang telah ada dan dianggap benar, dengan dilakukannya kegiatan-kegiatan upacara agama dan upacara adat Panca Maha Yadnya (Dewa Yadnya,Rsi Yadnya, Pitra Yadnya,Manusa Yadnya, dan Bhuta Yadnya), sudah barang tentu akan menemukan permasalahan dari pemanfatan ruangnya, sehingga perlu mendapatkan perhatian untuk pembangunan, perbaikan dan penataan saran dan prasarana upacara tersebut dengan tetap memperhatikan daerah-daerah peruntukan kegiatan upacara dimaksud, baik dari nilai estetika, maupun radius kesuciannya, Upacara Panca Maha Yadnya yang membutuhkan ruang sesuai dengan pelaksanaannya.antara lain:

1. Kebutuhan ruang dalam pelaksanaan Dewa Yadnya (persembahan kepada Tuhan) antara lain terhadap peruntuka tempat suci dan radius kesuciannya, peruntukan sarana-sarana upacara, disamping pula sarana pendukung seperti jalan-jalan yang dipergunakan sebagai proses upacara.

(18)

2. Kebutuhan ruang dalam pelaksanaan Rsi Yadnya (persembahan kepada para guru), biasanya kebutuhan ruangnya sama dengan upacara Manusa Yadnya (persembahan kepada sesama manusia), yaitu terbatas pada ruang-ruang permukiman dan atau perumahan. Namun ada pula yang menggunakan ruas jalan sebagai prosesi upacara.

3. Kebutuhan ruang dalam pelaksanaan Pitra Yadnya (persembahan kepada para leluhur), selain pada perumahan dan permukiman, juga memanfaatkan ruas jalan Pempatan Agung/perempatan utama sebagai tempat memutar wadah/bade (tempat mayat), setra (kuburan) yang terdapat pada setiap desa adat, serta campuhan dan pantai yang dimanfaatkan sebagai tempat membuang abu jenasah dalam rangkaian prosesi Upacara Ngaben (pembakaran mayat).

4. Upacara Butha Yadnya (persembahan kepada lingkungan) yang paling

Utama dan secara mutlak membutuhkan ruang adalah upacara Bhuta Yadnya yang dilaksanakan secara berkala, yaitu tawur nangluk merana yang biasanya di laksanakan pada tilem sasih ke enem, (pada bulan mati antara bulan November-Desember), yang mengambil tempat lokasi pada pempatan agung setiap desa adat yang bersangkutan. Upacara Bhuta Yadnya Tawur Kesanga ( menjelang HariRaya Nyepi) dilaksanakan di alun-alun, pempatan agung di setiap wilayah di desa adat, dan di Pura Desa. Upacara tersebut dilanjutkan dengan Ngerupuk (kegiatan mengelilingi desa disertai dengan bunyi-bunyian dan mengusung Ogoh-ogoh). Sebelum upacara puncak Tawur Kesanga, terlebih dahulu dilakukan Upacara Melasti ke pantai atau campuhan yang memiliki makna sebagai tempat pembersihan segala yang kotor.

(19)

2.3.4 Natah dalam Pola Tata Ruang Bali

Natah adalah suatu istilah dalam bahasa Bali, yang umum digunakan untuk menyatakan suatu halaman yang berada di tengah- tengah suatu rumah, yang di kelilingi oleh masa-masa bangunan. Kata natar juga menunjukkan hal yang serupa dengan natah namun lazim digunakan untuk menyatakan sebagi halaman pura, yang tersusun oleh beberapa bangunan suci atau pelinggih yang ada dalam tempat peribadatan umat Hindu, seperti pura dan merajan ( Jiwa :1992 :41) pada hakekatnya pengertian natah dan natar adalah sama, yaitu sama-sama ruang luar yang terbentuk oleh masa bangunan yang mengelilingi dalam suatu lingkungan tertentu.

Natah untuk istilah umum dalam masyarakat sedangkan natar berkonotasi terhadap hal yang lebih hasus dan kuna. Beranjak dari pernyataan tersebut maka dari itu kenyataan di lapangan dengan adanya tingkat lingkungan, dapat juga di ketemukan berbagai jenis tingkat natah tersebut. Masing-masing natah mempunyai variasi dari tingkat yang sempurna sampai dengan yang bersahaja. dalam hal ini natah dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:

 Natah Rumah : natah dalam rumah masyarakat Hindu di Bali daratan sudah sangat jelas bentuk dan oleh adanya bangunan-bangunan yang mengelilinginya, karena bangunan dasar yang mengelilinginya pada dasarnya adalah berbentuk segi empat, begitu pula dengan bentuk natahnya adalah bangun dasar segi empat, natah sebagai ruang luar tengah tidak terbentuk secara sempurna, karena adanya penerusan-penerusan, keruang luar bawahannya.Terjadi karenya jarak antar bangunan satu dengan yang lainnya. Dalam peraturam membangun tradisional Bali (Asta Bhumi) natah dapat terbentuk sabagai akibat dari penentuan letak bangunan dengan dasar perhitungan astawara dipilih agar sesuai dengan fungsi bangunan. sri untuk lumbung, indra untuk bale dangin, guru untuk bale meten, yama untuk pengijeng karang, ludra

(20)

untuk bale dauh, Brahma untuk dapur, kala untuk penunggun karang, dan Uma untuk jarak bangunan ke tembok pagar. Cara lain untuk menentukan ukuran natah adalah dengan cara menentukan dimensi natah dalam dua sumbu utara selatan atau timur barat,penentuan dimensi dapatdibedakan menjadi dua yaitu: hitungan langsung dan berhenti pada ukuran yang dianggap baik dan sesuai dengan cita-cita kepala kelurga penghuni rumah. Dan yang kedua dengan menentukan jumlah depa yang dipakai standar dan ditambah jumlah sesa, sesuai denga tujuan dari si kepala keluarga tersebut.semua penetatap jumlah ukuran hendaknya di isi pengurip dengan satu ukuran kaki melintang. Seiring dengan perkembangan zaman, telah terjadi tuntukan kebutuhan akan ruang, kemajuan teknologi dan pengaruh budaya asing. Disatu sisi kebutuhan lahan semakin meningkat dengan daya beli yang tidak dapat mengimbagi, oleh karna itu terjadilah perubahan-perubahan pola-pola masa bangunan baru yang berdampak pula pada perubahan natah dan variasi-variasi baru pada bangun dasar natah, yang secara tradisional terdiri atas tiga atau empat masa dan kini berubah menjadi tiga atau dua bahkan satu.

 Natah Desa : Suatu lingkungan yang lebih makro dari natah rumah adalah natah desa,natah desa memiliki elemen- elemen lingkungan yang terdiri dari: rumah-rumah penduduk fasilitas pelayanan. Dan prasaran suatu halam desa terbentuk oleh elemen-elemen ini. analog dengan natah di rumah, pada desa terbentut oleh deretan pemukiman dan rumah-rumah penduduk yang berada disisi kanan dan kirinya,desa-desa di Bali pada umumnya berbentuk linier, sehingga bentuk natahnya memanjang sesuai dengan arah kaja-kelod, natah desa bisa berupa margi agung atau ruang komunitas yang di dalamnya terdapat bangunan-bangunan fasilitas desa.

 Natah Kota : natah dalam kota –kota tradisional pada masa kerajaan di Bali, berada pada suatu simpang empat di tengah- tengah kota, yang merupakan kedudukan

(21)

fasilitas utama Kota, seperti Puri yang merupakan pusat pemerintahan pada zamannya, pasar dan bencingah Puri dengan fasilitas wantilannya,dan terdapat pula ruang hijau kota simpang empat seperti ini lasim disebut catus patha, simpang empat seperti ini belum sah di sebut sebagai Catus patha sebelum melalui proses upacara pemelaspas dan pemasupatian, natah kota dalam catus patha pada masa kerajaan di fungsikan sebagai halaman untuk upacara keagamaan,seperti tawur agung yang secara periodik, upacara nangluk mrana, ngulapin, nebusin, dan prosesi upacara pengabenan,

2.3.5 Aspek Perilaku Manusia dengan Lingkungan

Teori yang berorientasi pada lingkungan dalam fisikologi lebih banyak dikaji berdasarkan behavioristik yaitu suatu teori yang memandang perilaku manusia lebih ditentukan oleh faktor lingkungan dimana manusia tersebut hidup, adanya perbedaan lokasi dimana tumbuh dan berkembang akan menghasilkan perilaku yang berbeda, (Helmi ,1995:7) dari pernyataan tersebut diatas memberikan gambaran tentang keanekaragaman prilaku manusia yang disebabkan oleh faktor lingkungan mereka tinggal. Dan berpengaruh terhadap karakteristik kehidupannya.

Perilaku manusia dapat diartikan sebagai berikut: Perilaku diartikan sebagai suatu aksi-reaksi organisme dalam hal ini manusia terhadap lingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan yang menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu. (Notoatmojdo,1997) Perilaku atau aktfitas individu dalam pengertian yang lebih luas mencakup perilaku yang nampak (over behavior) dan perilaku yang tidak nampak (inert behavior). Perilaku manusia tidak muncul dengan sendirinya tanpa pengaruh stimulus yang di terima, baik stimulus yang bersifat eksternal maupun internal.

(22)

Namun demikian, sebagian besar perilaku manusia adalah akibat respon terhadap stimulus eksternal yang diterima (Bimo,1999:12).

Selanjutnya perilaku adalah sikap yang di ekspresikan (Myers,1983). Perilaku dengan sikap saling berinteraksi, saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Sementara (Lewin,1951) merumuskan satu model hubungan perilaku yang mengatakan bahwa perilaku (B) adalah fungsi karakteristik individu (P) dan lingkungan (E) dengan rumus: B = f(P.E). Karakteristik individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat kepribadian dan sikap yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya dan kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar daripada karakteristik individu tersebut.

2.3.6 Jenis-jenis Prilaku

Perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu perilaku alami (innate behavior) dan perilaku operan (operant behavior). Perilaku alami yang berupa reflek dan insting adalah perilaku yang dibawa manusia sejak manusia dilahirkan. Sedangkan perilaku operan adalah perilaku yang dibentuk melalui proses belajar, yang selanjutnya disebut sebagai perilaku psikologis (Skinner,1976).

Pada manusia perilaku operan atau perilaku psikologis lebih dominan berpengaruh akibat dari bentuk kemampuan untuk mempelajari dan dapat dikendalikan atau di ubah melalui proses pembelajaran. Sebaliknya reflek merupakan perilaku yang pada dasarnya tidak dapat untuk di kendalikan.

(23)

2.3.7 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku

Perilaku individu dan lingkungan saling berinteraksi yang artinya bahwa perilaku individu dapat mempengaruhi individu itu sendiri, juga berpengaruh terhadap lingkungan. Adapun secara spesifik faktor lingkungan dan individu adalah sebagai berikut :

1. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku, bahkan sering kekuatannya lebih besar dari faktor individu (Azwar,1998:11). Dalam hubungan antara perilaku dengan lingkungan dibagi dalam tiga kelompok, yaitu lingkungan alam/fisik (kepadatan, kebersihan), lingkungan sosial (organisme social, tingkat pendidikan, mata pencaharian, tingkat pendapatan) dan lingkungan budaya (adat istiadat, peraturan, hukum) (Sumaatmaja,1998).

2. Faktor Individu

Faktor individu yang menentukan perilaku manusia antara lain adalah tingkat intelegensia, pengalaman pribadi, sifat kepribadian dan motif (Azwar,1998:14)

2.3.8 Faktor-faktor Pembentuk Perilaku

Pembentukan perilaku sangat diperlukan untuk mengendalikan perilaku manusia agar seperti yang diharapkan antara lain dengan, pembentukan perilaku dengan kondisioning atau kebiasaan, adalah pembentukan perilaku yang ditempuh dengan mengkondisikan atau membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan. Kemudian pembentukan perilaku dengan pengertian (insight), adalah pembentukan perilaku yang dilakukan dengan cara pembelajaran disertai dengan memberikan pengertian. Unsur yang ketiga adalah pembentukan perilaku dengan model atau contoh, adalah pembentukan perilaku dengan mengunakan model atau contoh dan biasanya didasarkan atas bentuk-bentuk perilaku yang telah ada.

(24)

Dalam rangkaian pembentukan perilaku manusia terdapat dua jenis pembelajaran yaitu pembelajaran secara fisik1 dan pembelajaran secara psikis dimana seorang mempelajari perannya dan peran orang lain dalam kontak sosial (social learning), dan selanjutnya orang tersebut akan menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan peran sosial yang telah dipelajarinya. (Sarwono,2002:23)

2.3.9 Setting Perilaku (Behavior setting)

Behavior setting atau seting perilaku dapat diartikan secara sederhana sebagai suatu interaksi antara suatu kegiatan dengan tempat yang spesifik. Dengan demikian behavior setting mengandung unsur-unsur sekelompok orang yang melakukan kegiatan , aktivitas atau perilaku dari sekelompok orang tersebut, tempat dimana kegiatan tersebut dilakukan, serta waktu spesifik saat kegiatan itu dilaksanakan. (Haryadi B Setiawan,1995 :26)

2.4 Model Penelitian

Penentuan model penelitian ini merupakan abstraksi antara teori dan permasalahan penelitian yang digambarkan sebagai penentu variasi sempel, dalam hal ini adalah untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber, dan tujuannya adalah untuk merinci kekhususan yang ada dalam ramuan konteks yang unik, serta menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul. Dengan demikian dalam penelitian ini tidak ada sempel yang acak , tetapi sampel bertujuan (purposive sample) dengan ciri-ciri : bersifat sementara, rancangan sampel berurutan (teknik sampling “bola salju”), diiterasi, sampel pemilihan berakhir jika sudah terjadi pengulangan atau jenuh.

Penetapan suatu kajian (unit of analysis) sangat mempengaruhi penentuan sampel, besar dan strategi sampling. Satuan kajian bisa bersifat perseorangan, kelompok, serta keseluruhan latar. Dalam penelitian ini satuan kajiannya berupa unit rumah

(25)

tinggal tradisional dan aktivitas ritualnya, dengan demikian penelitian ini diarahkan pada keanekaragaman satuan tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut di atas penentuan keanekaragaman sampel atau kasus didasari atas pertimbangan fenomena pada lokasi di Desa Kawan Bangli, dimana sampel yang diambil yaitu terbagi atas : posisi rumah yakni unit rumah tinggal dipinggir jalan raya, jalan penghubung antara perumahan dengan jalan raya serta unit rumah tinggal yang terletak di gang-gang. Selain itu juga dipilih pula kasus berdasarkan status pemilik rumah yang

Dalam hal ini terbagi atas pemilik non bangsawan (orang biasa) dan Bangsawan ( hanya unit rumah tinggal bangsawan diluar puri kawan Bangli)

Kriteria yang lain adalah kasus dipilih berdasarkan tingkat perubahan spasial natah rumah tinggal tradisional, yaitu perubahan relatif besar, sedang dan kecil

(26)

GAMBAR 2.5 MODEL PENELITIAN

INTERNAL KARANG WED EXSTERNAL

NATAH PERUBAHAN SPASIAL NATAH  Jumlah penghuni  Kebutuhan ruang  Perubahan pola pikir  Makna  Fungsi  Dimensi  Tata letak  Orientasi Manusa Yadnya  Otonan  Potong Gigi  Pernikahan Pitra Yadnya  Mendem sawa Ngaben/ Pelebon  Memandikan jenasah  Prosesi pembrangkatan jenasah ke kuburan Perkembang an,wilayah yang sangat peset meliputi, ekonomi,pen didikan PROSESI UPACARA YADNYA TEORI Teori  Atribut Morfologi  Atribut Fungsional  Dewa yadnya  Bhuta Yadnya  Rsi yadnya  Manusa Yadnya 1. Pitra YJumlah penghuni 2. Kebutuhan ruang 3. Perubahan pola pikir  adnya

Gambar

Gambar 2. 1  Pola Natah
GAMBAR 2.5     MODEL PENELITIAN

Referensi

Dokumen terkait

Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis didalam mushhaf, dimulai dari surat al- Fātiḥah dan diakhir dengan surat al-Nās, (3) Alquran merupakan kalam Allah

MEDIA CENTER & SINGLE BOARD COMPUTER Dalam merancang sistem yang dibutuhkan untuk implementasi sistem informasi kuliner berbasis Single Board Computer ini,

(3) Mahasiswa yang dinyatakan lulus wajib memperbaiki naskah Skripsi dengan memperhatikan saran dari para anggota Tim Penguji melalui Pembimbing Utama dan menyerahkan naskah

Validitas merupakan derajat ketetapan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti (Sugiyono,2017:269).Uji

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kekuatan geser pelekatan resin komposit packable dengan intermediate layer resin komposit flowable menggunakan

Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi penurunan pernikahan usia muda di tahun 2015 dengan perbandingan tahun 2011, tingginya pernikahan usia muda sebagian besar

Dari hasil diatas, maka dapat disimpulkan belajar passing sepakbola dengan penerapan possession game sudah terlaksana dengan baik, ini dibuktikan pada tabel 5 ada

Namun sekarang ini lambat laun potensi sumber daya alam Desa Sariwangi yang sebelumnya merupakan areal pertanian dataran tinggi/peladang penghasil palawija dan bunga- bunga kini